Lukaku Belum Seberapa - 4,5,6

43
4
Deskripsi

BAB 4
♡♡♡

“Dia itu gila, Kek! Beneran gila! Aku nggak tahan tinggal di sini. Pokoknya jemput Binar pulang!”

Sudah nyaris tengah malam. Binar sama sekali tak bisa tidur. Kantuk pun seolah enggan menyapa. Padahal besok ia ada kelas pagi.

Agra jangan ditanya. Dia sudah berkelana di alam mimpi sejak satu jam lalu. Terlelap seperti bayi di atas ranjang empuk berukuran sedang, satu-satunya tempat tidur yang tersedia di apartemen mereka. Sendiri, tentu saja. Sedang Binar memilih meringkuk di sofa ruang tengah. Tv sudah dimatikan sejak tadi, tapi mata sama sekali tak bisa diajak berkompromi.

Untungnya, Binar menemukan selimut tipis di salah satu koper yang dibawanya dari rumah. Paling tidak, ini bisa sedikit membantu menghalau dingin yang entah mengapa terasa begitu menggigit malam ini. Barangkali sisa hujan sore tadi. Diperparah dengan ... Agra sialan yang memaksanya mandi dua kali.

Benar. Binar yang tak punya pilihan terpaksa menurut. Sesuatu yang ia sesali kemudian. Bahkan perut kenyang sdtelah menghabiskan sekotak pizza pun belum bisa membuatnya senang.

Iya, sekotak pizza. Binar bukan gadis rumahan yang baik, berhati lembut, rajin bersih-bersih dan pandai memasak. Sama sekali bukan. Jadi pilihan satu-satunya saat lapar mendera hanya memesan makanan secara daring.

Agra, oh ... dia memasak saat Binar mandi tadi. Satu mangkuk. Tanpa menawari teman seatapnya. Baik sekali memang suami Binar itu.

Benar. Agra juga bukan tokoh di drama, film, komik atau novel. Si sempurna ber-IQ 260, jago olah raga dan pintar masak.

Bukan!

Eh, Agra lumayan pintar memasak. Mulai dari soto padang, kari ayam, ayam geprek, ayam bawang, cakalang, baso sapi, kaldu, iga penyet, bahkan rendang—dalam bentuk mie instan. Dan yang tadi dibuatnya adalah ... baso sapi.

“Jangan berlebihan, Bin. Kamu sudah besar sekarang. Dan ini sudah larut. Kakek mengantuk!” balas Hilman, kakeknya, dari seberang saluran. Wajah lelaki yang tahun ini memasuki usia lima puluh sembilan tahun itu tampak sekali kelelahan dan setengah kesal.

Oh, tentu saja. Binar memaksa beliau bangun dengan melakukan panggilan video berulang-ulang. Bahkan kini Kakek tampak terkantuk-kantuk.

“Ini semua salah Kakek!”

“Kenapa jadi salah Kakek? Kamu yang bikin Kakek terbangun. Harusnya Kakek yang nyalahin kamu!”

“Kenapa Kakek kasih aku apartemen kecil kayak gini?! cuma satu kamar?! Kakek pikir aku bakal tidur di mana?!”

Hilman mendesah lelah. Lelaki tua itu mengubah posisi berbaringnya menjadi miring. Ia menguap kecil sebelum balik bertanya, “Kamu pikir, seharusnya kamu tidur di mana?”

“Di rumah.”

“Sana ngadu sama mama kamu. Kalau mamamu setuju, Kakek jemput kamu malam ini juga.”

Serangan terakhir. Tepat mengenai sasaran. Binar langsung terdiam dengan bibir cemberut.

Mengadu pada Maia? Hilman tahu betul kelemahan cucunya. Karena Binar tidak akan pernah berani melakukan itu. Yang Maia tahu, binar dan Agra saling menyukai. Karena kesan itulah yang selama ini Binar tampakkan di depan sang ibu.

Perjodohan ini murni kesepakatan Binar dengan Hilman demi menghindari tanggung jawab bisnis keluarga mereka. Kalau Maia mengetahui betapa Agra sama sekali tidak mencintainya, pun sebaliknya, Maia tentu akan menjemput Binar malam ini juga. Bahkan mungkin dengan membawa berkas perceraian.

Binar tidak mau. Ia tak ingin menambah beban Maia dengan ini. Ibunya sudah cukup banyak menanggung kesedihan. Binar harus bantu meringankannya meski hanya sedikit.

Ayah Binar, Mirza, sudah gagal mendapat kepercayaan penuh dari Kakek dengan memilih jalan sendiri. Lelaki yang dulu sempat menjadi tangan kanan beliau, hingga padanya Hilman percayakan kebahagiaan Maia. Tapi tidak berhasil. Mungkin bukan sepenuhnya salah Mirza. Maia ikut andil dalam menghancurkan pernikahannya sendiri. Mirza sudah cukup berusaha di awal-awal pernikahan mereka, tapi Maia tak pernah bisa lepas dari jerat masa lalu.

Masa lalu bersama lelaki biasa yang tak bisa Hilman terima. Laki-laki biasa yang tidak akan mampu mengambil alih usaha keluarga mereka.

“Tidak semua orang bisa mendapatkan apa yang diinginkan, Bin,” kata Kakek pada cucunya yang masih berusia 15 tahun. Awal kesepakatan itu bermula. Kalimat sederhana yang semula tak Binar mengerti, tapi dapat ia pahami saat ini.

Bukan salah Maia tidak bisa menggantikan posisi sang ayah. Dulu Hilman memiliki anak lain yang bisa diharapkan. Sulung laki-laki yang begitu beliau banggakan pada dunia. Tapi, semesta kadang menyiapkan kejutan besar yang tak bisa manusia terima. Di usia keemasannya, 27 tahun, Tuhan mengambil harapan itu dari tangan Hilman. Putranya.

Bagi dunia, Hilman mungkin hanya lelaki tua gila harta yang rela mengorbankan kebahagiaan anak cucu demi mempertahankan aset keluarga. Namun lebih dari itu, kejayaan yang kini mereka nikmati adalah berkat kerja keras beliau dan sang ayah dulu. Semua ini didapat dengan keringat dan air mata, pun waktu yang tidak sebentar.

Hilman tak bisa menyerah hanya karena anak cucunya tidak bisa diandalkan. Setidaknya, harus ada yang bisa menjaga warisan ini, buah dari perjuangannya hingga harus rela kehilangan masa kecil dan remaja yang berharga.

Beruntung Binar paham itu, berbeda dari Maia yang lebih mementingkan dirinya sendiri.

Melihat sang cucu kesayangan cemberut, Hilman mendesah. “Di mana Agra?” tanyanya lagi. “Kakek mau bicara.”

“Dia tidur kayak kebo!”

“Di ranjang?”

“Kakek pikir dia mau tukar tempat sama aku? Dia bahkan nyuruh aku tidur di kamar mandi!”

Tertawa hanya akan lebih menyinggung perasaan Binar, namun Hilman tak bisa menahan diri. Ia terkekeh melihat betapa kesal Binar dan betapa dalam kerutan di antara kedua alisnya.

Hilman menyukai Agra bukan tanpa alasan. Pemuda itu punya wibawa bahkan di usia yang masih sangat muda. Agra juga memiliki aura kepemimpinan. Dia tegas dan dapat diandalkan.

Menurut Hilman, Binar butuh laki-laki yang seperti itu.

“Saya sudah menawarkan agar kamu tidur di kamar, tapi kamu menolak.”

Ponsel yang Binar pegang jatuh mengenai tulang hidungnya. Membuat ia terpekik kaget sekaligus kesakitan. “Jantung, jantung eh jantuuunggg ...!”

Menoleh ke sumber suara yang entah sejak kapan menjulang di balik sandaran sofa, gadis praktis terlonjak hingga nyaris jatuh terguling andai ia tak bisa dengan segera menyeimbangkan diri dalam kungkungan selimut yang sempat membuat membuat kakinya keserimpet. Ponselnya yang malang bahkan sudah teronggok tak berdaya di atas karpet bulu di dekat kaki meja.

“Lo ... lo ... lo ngapain di sini?”

Binar merasa ia akan segera gagal jantung. Bahkan mungkin umurnya tidak akan lama. Belum juga dua belas jam tinggal bersama Agra, organ pemompa darah itu sudah diuji dua kali. Agra memiliki bakat terpendam untuk mengagetkan orang lain, lebih alami ketimbang jelangkung yang datang tak dijemput dan pulang tak diantar itu!

Refleks, Binar menaikkan selimut setinggi leher hanya untuk dibuat kelimpungan saat tak sengaja menyentuh rambutnya yang terjuntai bebas di bahu. Seketika, ia menatap Agra dengan mata membola sebelum kembali terpekik  dan menyembunyikan diri di balik selimut sepenuhnya sambil menyumpah serapah. "Ngapain masih di sini?! Sana balik ke kamar!"

Melihatnya, Agra sedikit memiringkan kepala. “Keriting,” komentarnya pendek sebelum melangkah ke depan meja demi memungut ponsel malang itu. Sambungan panggilan video masih terhubung. Hilman menunggu di seberang sana dengan kening yang berkerut-kerut. Barang kali heran dengan kehebohan yang mendadak terjadi.

Begitu mendapati sosok Agra di layar, kerutan di kening lelaki tua itu bertambah dalam. “Apa yang terjadi, Agra?”

Agra mengangkat bahu tak acuh. Dia mengarahkan kamera ponsel pada Binar yang membentuk buntelan di sofa. Pemandangan konyol yang sontak membuat sang kakek tak lagi bisa menahan tawa.

Berbeda dengan Maia dan kedua orangtua Agra, Hilman tahu tak ada kasih sayang dalam pernikahan sang cucu. Tapi kesediaan Agra dan Binar yang dengan suka rela menerima perjodohan ini memberi Hilman harapan.

Harapan terakhir. Kalau yang ini gagal, mungkin beliau memang harus menyerah.

♡♡♡

“Lo kayak zombie!”

Benar. Zombie. Jangankan Prisila dan Noni, ia saja takut menatap pantulan dirinya di cermin. Wajah pucat dan lingkaran hitam di bawah mata. Bahkan concealer tak mampu menyamarkannya.

Namun alih-alih haus darah, Binar hanya butuh tidur. Sebentar saja. Sayang keadaan tak sekali pun mendukung. Bahkan saat ini. Kelas pagi yang paling Binar benci.

Ah, memang apa yang ia suka? Tak ada!

Menjatuhkan kepala ke meja, ia tutup wajah dengan buku manajemen. Dosen pengajar belum tiba. Binar berharap sejenak dirinya bisa memejamkan mata sebagai pembayaran utang atas waktu lelapnya semalam yang tercuri.

“Emang apa aja yang lo lakuin semalem sampe nggak tidur sih, Bin?” Noni berusaha mengambil buku yang dijadikan penutup wajah oleh Binar, tapi berhasil ditahannya dengan tangan.

“Kasih gue sepuluh menit, plis!” gumamnya setengah mengerang. Ia mengubah posisi kepalanya menghadap ke tembok, berharap tak mendapat gangguan lagi berupa pertanyaan apa pun, terlebih perihal kejadian semalam.

Binar tidak ingin membahasnya. Sekadar mengingat pun tidak, kalau bisa. Karena hal tersebut hanya akan membuat ia kesal.

“Ngedrakor kali dia,” celetuk Prisil yang tetap Binar abaikan. Walau dalam hati ia menggerutu, untuk apa menonton drakor saat hidupnya bahkan lebih konyol dari drama mana pun?

Ah, terserah lah! Binar mengantuk. Abaikan Noni. Abaikan Prisila. Abaikan suasana riuh kelas yang mulai ramai. Abaikan dunia. Abaikan segalanya. Dan selamat datang di alam mimpi yang—

“Binar Thahira Latief?”

Binar sudah separuh terlelap saat mendengar seseorang menyerukan namanya dengan nada heran. Gadis itu sudah akan kembali tak acuh dan lanjut memasuki dunia kedua, tepat saat kalimat selanjutnya dari pemilik suara yang sama kembali menyapa telinga dengan pertanyaan yang tak bisa diabaikan.

“Kenapa buku Binar bisa ada sama lo, Gra?”

Spontan Binar membuka mata. Punggungnya langsung tegak. Buku yang semula menutupi wajahnya jatuh ke lantai, menimbulkan bunyi gedebuk pelan yang berhasil menarik perhatian sebagian penghuni kelas.

Binar menghadap ke muka, pada Agra yang duduk di barisan terdepan. Lelaki itu tampak menunduk dengan punggung kaku. Di sampingnya, Nara menatap penasaran. Pun Emili yang masih berdiri di sisi lain sambil memegang buku manajemen yang tampak masih baru, sesekali menatap Agra dan Binar bergantian dengan tatapan ingin tahu.

“Eh, ini juga bukan punya lo kayaknya kan, Bin?” Prisil, yang entah sejak kapan membungkuk, mengambilkan buku Binar yang jatuh ke lantai, mendongak. “Ini udah agak lecek. Banyak catatannya juga. Keliatan kayak sering dibaca, tapi nggak ada namanya.”

Hidup Binar sudah kacau balau. Tolong ... gadis itu merintih dalam hati, jangan ditambah lagi dengan ini! Mendesah, Binar tahu a tidak akan mendapat kesempat tidur pagi ini.

“Gue nggak tahu kalau kalian deket sampe bisa tukeran buku,” adalah celetukan polos Nara yang membuat lebih banyak mata menatap Binar dan Agra.

Agra dan Binar bagai minyak dengan air. Tidak, mereka bukan tak akur, hanya ... selama ini dua mahasiswa itu terkesan saling menjauh dan tak ingin terlibat satu sama lain. Bahkan, keduanya tak pernah terlihat saling menyapa meski sudah berada di kelas yang sama hampir selama empat semester.

Baiklah, saatnya melupakan kantuk dan memperbaiki keadaan. Binar menyipit erat, kemudian mengerjap-ngerjapkan mata berusaha mendapatkan kendali diri dan mengusir kuap menjauh. Berdiri, ia rebut buku manajemen dari tangan Prisil dan memeriksanya hanya untuk mengeluh dalam hati. Bagaimana bisa tertukar?

Buku di tangannya memang tak bernama, tapi dari catatan tambahan, beberapa kalimat yang diblok dengan stabilo, Binar tak perlu lagi bertanya.

Ck. Ini gara-gara kakek yang pelit dan hanya menyediakan satu meja belajar di kamar mereka! Tidak. Yang benar, salah kakek karena hanya menyediakan satu kamar tidur untuk Binar Agra. Karenanya, Binar jadi tak bisa tidur, pun ditambah dengan hal ini.

Benar, pagi ini Binar tampak bagai zombie karena dirinya memang tidak tidur semalam. Menelepon Kakek untuk mengadu adalah sebuah kesalahan. Karena setelahnya, Kakek menegur Agra dan meminta lelaki itu membawa paksa Binar ke kamar.

Tolong jangan berpikir macam-macam. Usai memberikan instruksi lewat panggilan video, Kakek langsung mematikan sambungan. Dan Agra yang penurut itu melakukan semua sesuai perintah.

Meletakkan ponsel Binar ke atas meja, Agra lepas paksa selimut yang Binar jadikan tameng untuk melindungi dirinya dari pandangan jahat lelaki itu, yang langsung terbuka dalam sekali singkap.

“Gue nggak mau tidur di kamar bareng lo!” cetusnya kemudian, masih berusaha menutupi rambutnya yang ... apa kata lelaki itu tadi? Kriting?! Rambut Binar tidak kriting, hanya agak ikal dan berantakan.

“Kamu dengar sendiri apa yang kakek bilang.” Agra pasti terlahir tanpa emosi, atau hanya dengan emosi terbatas. Atau hanya pandai menyembunyikan perasaan. Binar nyaris tidak pernah melihatnya tertawa atau marah, kecuali saat hari pernikahan mereka, itu pun hanya ditampakkan pada Binar seorang.

Kali ini pun, saat ia seharusnya kesal karena permintaan sewenang-wenang Kakek, lelaki itu masih terlihat dengan ekspresi datar.

“Kita tidak harus melakukannya.”

Agra tarik kembali selimut yang berusaha Binar selubungkan ke kepalanya hingga sepenuhnya terlepas dan jatuh teronggok ke lantai. "Saya sudah melihat rambut keriting kamu, tidak perlu ditutupi lagi."

Tahukah Agra, komentar buruk tentang bagian tubuh seseorang adalah bentuk kejahatan terutama untuk perempuan? Binar mendelik. Tentu saja Agra tak akan pernah tahu! Sekalipun tahu, dia mungkin akan pura-pura tak tahu. Hanya kepada Binar.

“Tapi saya bukan orang yang tidak patuh,” ujar lelaki itu seraya menarik tangan Binar hingga gadis yang resmi diperistrinya minggu lalu itu bangkit berdiri dan melangkah terseok-seok menuju ruang tidur. Binar yang keras kepala tentu tak menyerah begitu saja. Ia berusaha melepaskan cekalan Agra dari lengannya, tapi seberapa keras berusaha, kekuatannya tak sebanding dengan si menantu pilihan Kakek.

Begitu memasuki kamar, Agra lansung menutup pintu rapat-rapat. Hanya ada satu ranjang berukuran besar, lemari empat pintu, serta meja belajar di sudut dalam ruangan yang memiliki luas tak seberapa itu.

Merasa cekalan Agra melonggar, Binar mengempas tangannya hingga terlepas. Ia hendak kembali berbalik dan keluar, tapi Agra dengan tangkas menghalangi. Ia mengunci pintu kamar mereka kemudian, lalu menarik kuncinya dan memasukkan ke saku celana.

Dasar licik!

“Lo bilang, lo bahkan nggak peduli sekali pun gue tidur di kamar mandi!”

“Memang.”

“Terus ini apa? Lo maksa gue tidur di sini—”

“Jangan salah paham, Binar. Saya hanya menjalankan perintah.”

“Perintah?”

“Menikahi kamu memang sebuah perintah.”

“Lo nggak harus menuruti perintah itu!”

Ada riak dalam tatapan mata kelam Agra, sekilas yang membuat Binar mendadak takut. Lalu saat seringai kecil terbit di sudut bibir sang lawan bicara, Binar sadar dirinya telah melakukan kesalahan. “Sejak awal, hanya kamu yang punya pilihan itu, Binar.”

Binar memalingkan pandangan, ke mana saja asal tidak berserobok dengan sepasang telaga bening Agra yang tampak kejam. Ah, memang tak seharusnya ia mengungkit apa pun yang berhubungan dengan awal mula perjodohan bodoh ini. Karena memang hanya dirinya yang memiliki kebebasan memilih di antara mereka. Tidak dengan Agra.

Membuang muka, gadis itu berbalik. Tanpa banyak kata, ia naik ke atas ranjang dan menutup dirinya dengan selimut. Agra menyusul kemudian. Mereka berbaring saling memunggungi dengan bentang luas di tengah-tengah kasur. Guling yang malang, melintang di sana, bagai dinding pemisah yang tak bisa ditembus.

Suasana yang sunyi itu menyiksa. Bunyi detak jam seolah berusaha membuat Binar gila.

Binar tidak bisa tidur. Ia sudah memejamkan mata rapat-rapat, tapi kantuk belum juga mau menyapa.

Semalaman Binar hanya berbaring miring tanpa berani melakukan pergerakan. Sedang Agra beberapa kali mengubah posisi, sesekali mendengkur pelan. Ah ... si menyebalkan itu pasti tidur nyenyak.

Ingat. Binar hanya interior ruangan yang tidak menarik bagi Agra!

Huh, haruskah Binar tersinggung karena bahkan Agra tidak terusik berada di ranjang yang sama dengannya? Apa Binar memang tidak semenarik itu?!

Ck. Lupakan kejadian semalam yang kalau mengingatnya hanya akan membuat gondok. Karena pagi ini pun ada hal yang harus dibereskan untuk mencegah terjadinya kecurigaan dalam bentuk apa pun. Sebab bukan hanya Agra, Binar juga tak ingin ada yang mengetahui tentang pernikahan mereka.

Tidak untuk saat ini.

♡♡♡
BAB 5
♡♡♡

Mari mengarang bebas untuk membuat mereka percaya, pikir Binar seraya merebut buku Agra dari tangan Prisila, mengabaikan satu alis Noni yang spontan terangkat melihat tingkahnya. Seolah menyadari, hal tidak beres sedang terjadi.

Noni dan instingnya memang agak mengkhawatirkan. Sedang Prisila yang lamban beripikir, hanya menopang dagu melihatnya.

Binar suka menonton drama, membaca novel dan komik. Tentu ia sudah menemukan skenario sebagai penjelasan.

Tabrakan. Itu ide yang sempurna. Katakan saja mereka tak sengaja bertemu di tempat parkir. Binar yang berjalan sambil memainkan ponsel tak sengaja menabrak Agra dari belakang hingga bawaan mereka jatuh berceceran. Saat itulah buku mereka tak sengaja tertukar!

Ah, Binar memang berbakat menjadi pengarang.

Membuka mulut hendak menjawab, semua adegan dalam kepala gadis itu di-cut bahkan sebelum dimulai. Alih-alih bibir, yang terbuka lebar justru kelopak matanya begitu mendengar pemilik buku yang kini ia dekap berkata ... jujur.

“Kami berangkat bersama,” dengan nada datar setengah bosan yang sudah menjadi ciri khasnya.

Andai bukan ciptaan Yang Mahakuasa, Binar yakin bola matanya sudah pasti jatuh mengikuti undangan gravitasi bumi dan bergelinding ke arah kaki Agra berada untuk melayangkan serangan.

Apa dia gila? Pikir Binar tak percaya. Kenapa masih bertanya!

Agra memang sungguh gila. Lelaki itu yang mewanti-wanti agar tidak ada yang mengetahui pernikahan mereka selain keluarga, lantas ini apa? APA?!

Benar, mereka berangkat bersama. Satu kendaraan. Menggunakan mobil Agra.

Tidak. Ini tidak direncanakan. Binar bahkan sudah memesan taksi daring, sedang Agra sama sekali tak peduli bagaimana cara ia sampai ke kampus. Entah jalan kaki atau merangkak sekali pun, asal jangan melibatkan lelaki itu dalam masalah.

Namun bukankah Binar sudah mengatakan, semesta seolah tak ingin berhenti bermain-main dengannya. Tepat begitu ia membuka pintu saat hendak berangkat kuliah, senyum cerah adik perempuan Agra menyilaukan pandangan mata. Gadis yang hampir lulus SMA itu entah bagaimana bisa sampai di sana. Berdiri bagai dewi pagi di muka pintu. Dia menyapa Binar ceria seolah dunia selalu bertabur bunga.

Bunga bangkai tepatnya—dalam dunia Binar.

"Halo, kakak ipar!" Tanpa ba-bi-bu, gadis itu, Aira, menerobos masuk begitu saja. Tak memberi pilihan pada Binar selain berbasa-basi dan meladeninya dengan keramah-tamahan palsu.

Ugh, kendati sudah bertunangan lima tahun, bukan berarti Binar akrab dengan seluruh keluarga Agra. Yang benar, tidak sama sekali. "Halo, Aira," balasnya agak canggung. Terpaksa ia menutup pintu kembali seraya mengikuti adik bungsu suaminya mengelilingi rumah kecil mereka. "Kamu ... ngapain ke sini pagi-pagi?"

"Mau ngecek pengantin baru," jawab sang lawan bicara sambil tersenyum cengengesan. Tanpa sungkan, Aira menjatuhkan diri ke atas sofa di ruang tengah dengan kepala celangak-celinguk. "Apartemen kalian di luar dugaan. Kirain bakal gede," komentarnya. Binar menahan diri untuk tak memutar bola mata dan berusaha bersikap baik dengan mengambilkan gadis itu air putih dari kulkas. Bukan pelit, yang tersedia di apartemennya memang hanya itu.

"Kami belum sempet belanja, jadi adanya ini aja. Silakan diminum."

Aira mengedik pelan sembari mengambil air kemasan yang disuguhkan Binar dan meminumnya. "Abang mana?"

Belum sempat Binar menjawab, pintu kamar lebih dulu terbuka. Agra tampak sudah rapi dalam setelah kemeja kotak-kotak kebesaran yang dimasukkan ke dalam celana denim gombrongnya. Lengan kemeja yang longgar dan panjang,  lelaki itu lipat nyaris sebatas siku. Dia ... yah, lumayan keren, pikir Binar masam.

"Abang di sini. Ngapain kamu ke tempat Abang pagi-pagi?" sapa Agra pada adiknya. Masih tanpa senyum, ia mengambil alih sisa minuman Aira dan menandaskannya dalam beberapa kali tegukan.

Tak ada sarapan bagi pagi pengantin baru itu. Hanya air putih.

"Tadi aku bareng Bang Arya, cuma tiba-tiba dia dapet telepon mendesak dan harus putar balik ke tempat kontruksi, katanya. Kebetulan kami di deket sini. Bang Arya nyuruh aku minta anterin Bang Agra aja sekalian jadinya. Sekolah aku kan searah sama kampus Abang dan Kak Binar."

Begitulah. Binar terpaksa harus membatalkan pesanan taksi daringnya dan berangkat bersama sepasang kakak beradik itu—dengan berat hati. Terlebih begitu di mobil hanya tinggal ia dan Agra berdua, keadaan menjadi begitu hening dan agak mencekam. Binar merasa bagai melangkah di pinggir kuburan pada tengah malam. Tingkat ketegangannya kurang lebih sama.

“Kalian—” suara Emili yang terdengar ragu, berhasil menarik kembali perhatian Binar. Ia menoleh pada Emili yang bertukar pandang dengan Nara sebelum memusatkan perhatian kepadanya. Menatap Binar seolah gadis itu merupakan alien dari Mars yang datang membawa ancaman kehancuran bagi bumi. “—berangkat bersama?”

Tak hanya Nara dan Emili, Noni serta Prisila bahkan kini menyipitkan mata. Menunggu jawaban. Tapi bagaimana Binar bisa menjawab, sedang bukan dirinya yang memberi umpan. Jadi, gadis itu hanya bisa megap-megap seperti ikan koi dalam aquarium dengan mata membulat.

“Kenapa? Ada yang aneh?” Alih-alih menjawab, Agra justru balik bertanya. Ekspresi wajahnya yang tanpa dosa membuat Binar gemas ingin melemparkan sepatu ke kepala lelaki yang kini bangkit dari tempat duduknya seraya mengambil alih buku manajemen Binar dari tangan Emili dan ... membawanya pada sang empunya yang duduk di baris bangku paling belakang. Pojok pula.

Bagai aktor pemenang piala penghargaan yang berjalan di sepanjang bentang karpet merah, nyaris semua mata di kelas mengikuti setiap langkah Agra dari bangku depan menuju ke arahnya.

“Mungkin buku kita tertukar di dalam mobil,” Agra dengan kepercayaan diri yang sulit diruntuhkan, mengulurkan buku management yang masih tampak baru itu pada Binar dengan pose menyebalkan. Kepala agak meneleng ke kiri, sedang satu tangannya yang bebas dimasukkan ke dalam saku celana. “Kan?”

Dia bisa menekan seseorang tanpa harus mengancam.

Mendelik, Binar sudah akan mengambil bukunya dari Agra, tapi gerak tangannya terhenti begitu saja di udara saat mendengar celetukan Rina yang duduk di pojok lain. “Bukannya rumah kalian nggak searah?”

Serangan kedua di pagi yang buruk. Tangan yang semula hendak Binar gunakan untuk mengambil alih bukunya dari Agra, ia angkat ke atas demi menarik hijabnya yang entah mengapa terasa melonggar ke belakang hingga kembali mengencang. Ia menatap Agra penuh tuduhan, yang lagi-lagi lelaki itu abaikan.

Alih-alih bingung mencari jawaban, Agra membungkuk, sedikit melewati tubuh Binar yang spotan menegang kala lelaki itu meletakkan buku sang istri dengan gerak seanggun citah ke atas meja tempat duduk gadis itu, membuat Binar harus menahan napas.

Saat kembali menegakkan badan, Agra menghentikan gerakan sejenak tepat saat posisi wajahnya sejajar dengan kepala Binar. Suaminya yang baaaaaik sekali itu berbisik, “Punya alasan bagus?” Lantas menarik diri hingga punggungnya kembali tegap sempurna, seiring dengan Binar yang mengambil langkah mundur dan langsung menudingnya.

“Sialan lo!”

Bukan lagi hanya menarik perhatian sebagian penghuni kelas, kini semua mata dalam ruangan itu menoleh pada mereka. Binar-Agra yang selama dua tahun tak pernah terlihat berbicara satu sama lain bahkan saat mereka berada di kelompok tugas yang sama kini ... saling tuding?

Dengan wajah yang masih terpasang ekspresi tanpa dosa, Agra menarik buku miliknya dari dekapan Binar hingga terlepas. “Maaf,” katanya yang kali ini disuarakan dengan volume normal, “saya tidak tahu kalau hal itu harus dirahasiakan.”

Agra pasti sengaja. Pasti. Lihat saja sorot mata dan ujung bibirnya yang sedikit tertarik membentuk seringai itu. Binar mengepalkan tangan kesal. Andai ia tokoh dalam komik, pasti kepalanya sudah mengeluarkan asap setebal yang bisa dikeluarkan si jago merah saat insiden kebakaran gedung pencakar langit. Sangat tebal. Sangat pekat.

“Rahasia?”

“Saya?”

Entah siapa yang bertanya dengan nada penasaran yang tak ditutup-tutupi itu, Binar tak peduli. Lebih dari segalanya, ia ingin menonjok Agra saat ini juga hingga pingsan, lantas membongkar isi kepalanya.

Apa mau lelaki ini sebenarnya? Dia yang pertama meminta hubungan mereka dirahasiakan, tapi justru kini dialah yang seolah hendak membongkar rahasia mereka.

“Kalian mencurigakan.” Emili, teman Agra yang selalu ingin tahu segala hal, melipat tangan di depan dada tanpa melepas bidikan dari dua tersangka utama yang masih berdiri berhadapan di bagian belakang pojok kelas. “Rahasia apa? Kenapa lo harus pake bahasa formal sama Binar, Gra?”

“Dan ...” Prisila dengan nada polosnya menambahkan, “gue nggak tahu kalau kalian seakrab itu sampe berangkat bareng, padahal arah rumah berlawanan.”

Satu tangan Agra sama sekali tak beranjak dari dalam saku celana, sedang satu tangan lain menenteng buku manajemen, sumber masalah pagi itu. Berkedip sekali, Agra tatap mata Binar yang menyala-nyala seraya menjawab, “Binar cucu rekan bisnis bokap, jadi gue harus sopan. Karena menurut strata sosial kami, keluarga Binar berada satu kelas di atas keluarga gue. Dan,” kobar dalam telaga being Binar kian membara—andai tatapan bisa membunuh, Agra yakin dirinya sudah hangus terbakar, “gue pindah ke apartemen sejak kemarin. Jadi, sekarang kami searah.”

Agra tidak suka ditanya-tanya perihal kehidupan pribadinya. Dia benci berada dalam posisi harus menjawab sesuatu yang bisa ia simpan sendiri. Terlebih, yang bertanya adalah orang-orang yang sama sekali tidak bersangkutan.

Namun, kali ini berbeda. Agra merasa perlu menjawab dan memberi penjelasan. Sedikit penjelasan yang akan membuat Binar tak nyaman.

Benar, Binar. Ini baru hari pertama setelah mereka tinggal bersama, dan baru satu minggu pasca pernikahan mereka di kantor agama, tapi Binar sudah nyaris membuat rahasia yang mereka sepakati terbongkar.

Apa yang harus Agra lakukan pada gadis ini?!

“Itu belum menjawab kenapa kalian bisa semobil bareng. Dan, kenapa hal sesepele itu harus dirahasiakan?”

Ini menyebalkan. Agra menipiskan bibir. Ia melirik pada pemilik suara, Nara, yang menatapnya dengan pandangan ... entahlah, jarak mereka terlalu jauh untuk Agra bisa membaca riak dalam tatapan salah satu kawan perempuannya itu.

Lebih dari semua yang terjadi pagi ini, Nara tahu Agra benci urusan pribadinya dicampuri. Kenapa gadis itu masih juga ikut mengajukan tanya?

Kembali menatap Binar, Agra melempar pertanyaan tersebut pada sang lawan bicara. “Ya, kenapa kebersamaan kita harus dirahasiakan, Binar?”

***

“Serius lo ngerasa malu nebeng sama Agra?” adalah pertanyaan Prisil entah untuk yang keberapa kalinya hari ini. Pertanyaan yang berhasil membuat nafsu makan Binar hilang, padahal ia belum menelan apa pun sejak pagi kecuali air putih.

Kenapa buku mereka harus tertukar? Tidak, pertanyaan yang benar ialah ... kenapa Binar bisa seceroboh itu hingga salah mengambil? Padahal bukunya dan Agra jauh berbeda! Sangat berbeda meski dengan kaver yang sama.

Dan ... kenapa Agra bisa semenyebalkan itu! Apa katanya tadi? Mereka dari kelas strata sosial yang berbeda? Binar di kelas sosial yang lebih tinggi?!

Benar sekali! Sangat! Tepat mengenai sasaran, berhasil mencederai harga diri dan ego Binar.

Bagi teman-teman sekelas, Agra mungkin menjawab pertanyaan mereka. Tapi, Binar dan Agra tahu bukan itu arti sebenarnya.

Agra yang datang dari strata sosial satu kelas di bawah Binar, dapat dengan mudah dibeli oleh Hilman Latief.

Bagi orangtua Agra, mungkin mereka terlalu diberkati hingga bisa menjalin hubungan dengan keluarga Latief. Menjadikan Binar sebagai menantu, sama seperti mendapat durian runtuh. Sayang, yang harus menangkap durian itu adalah Agra, sedang keluarganya hanya tinggal menikmati manis buahnya tanpa tahu tangan putra mereka terluka oleh duri dari si manis berkulit tajam.

Binar jelas merasa terhina kendati hanya ia dan Agra yang mengerti arti penjelasan lelaki itu pagi tadi.

“Kalau nebeng mobil Agra yang import Eropa aja lo malu, gimana perasaan lo pas nebeng mobil gue?”

Noni, yang agak berubah sejak mendengar jawaban Agra untuk pertanyaan Nara, berusaha tampak biasa saja. Tapi Binar tahu, temannya agak tersinggung. Mungkin juga kesal pada Binar yang terkesan membenarkan segala perkataan suaminya, bahwa ia memang sesombong itu.

“Mobil Binar mogok di jalan. Hapenya mati. Kebetulan gue liat dia dan bantu hubungi sopirnya. Sopirnya urus mobil, terpaksa Binar nebeng sama gue sampe kampus. Gue nggak sadar, mungkin aja dia malu ketahuan bareng sama gue. Seharusnya ini hanya antara kami,” kata Agra sebelum berbalik kembali ke bangkunya di barisan depan, tepat berhadapan dengan meja dosen yang masih kosong.

Jangan tanya bagaimana perasaan Binar saat itu. Dia marah. Sangat. Binar dengan segala bentuk emosi berlebih memang tidak cocok, karena ia bukan tipe orang yang bisa menyembunyikan perasaan. Dadanya akan selalu sesak bila tak bisa mengeluarkan segala sesuatu di dalam sana.

Maka, mengepalkan tangan, ia menyahut lantang. “Lo tahu itu, kenapa masih lo bahas?!”

Langkah Agra terhenti di baris bangku kedua. “Untuk lebih memperjelas segalanya, agar saya tahu apa yang bisa saya lakukan ke depannya.” Tanpa menoleh, lantas melanjutkan gerak kakinya yang panjang dengan ayunan mantap.

Sejenak, suasana kelas hening sebelum kedatangan Bagas kembali memberi nyawa pada ruangan yang sempat mati itu seiring dengan bisik-bisik yang mulai merambati udara dari telinga ke telinga. Tentang Binar yang menganggap Arga bahkan tidak selevel dengannya. Mahasiswa yang berada di kelas saat kejadian tersebut, menceritakan pada mereka yang baru tiba. Terus begitu, hingga saat jam makan siang, berita itu sudah menjadi bahan gosip utama bagi seperempat penghuni kampus.

Wajar saja, Agra merupakan salah satu bintang universitas mereka. Si tampan, salah satu idola dari fakultas Ekonomi dan Bisnis yang digadang-gadang sebagai calon kandidat putra kampus kendati banyak yang tahu ia tidak tertarik untuk itu. Dan Binar, salah satu mahasiswa terkaya. Segala sesuatu tentang keduanya tentu akan menjadi gosip yang cukup hangat diperbincangkan. Terlebih, kini keduanya terlibat dalam masalah yang sama.

Binar sudah cukup terbiasa mendengar orang berbisik-bisik sambil diam-diam meliriknya. Disindir terang-terangan seperti yang Bagas lakukan juga bukan hal baru. Jadi, kali ini pun bukan apa-apa. Kecuali tentang dua sahabat yang mulai meragukannya.

“Kalian tahu maksud gue nggak gitu.” Binar memutar sedotan jus buahnya kasar sebelum melepas sembrono. Ia mengempas punggungnya ke sandaran kursi kafe depan kampus dengan pandangan lurus ke arah jendela yang memperlihatkan lalu lalang kendaraan di bawah matahari yang siang itu bersinar terik.

“Nggak. Gue nggak tahu,” ketus Noni keras kepala.

“Gue juga nggak,” tambah Prisila yang dengan santai kembali menyedot jus buah seolah tak ada ketegangan antara dua sahabatnya.

Noni memang agak gampang tersinggung. Sedang Prisila tipe gadis yang hanya hidup untuk hari ini, jadi nikmati saja. Begitu moto favoritnya.

“Gue sama Agra nggak deket.”

“Itu bukan alasan lo malu naik mobil dia.”

“Kalian tahu sendiri dia sama gengnya gimana ke kita? Mereka selalu bilang kita bego. Dan mereka sering nuding gue sombong.”

“Tapi, itu kenyataan kan?”

Mungkin memang benar. Binar mendesah pelan. Tak tahu cara menenangkan Noni. Dan memang tak berkeinginan untuk itu. Suasanya hatinya sedang buruk. Jadilah ia hanya memilih diam.

"Binar kadang emang sombong," ujar Prisila begitu melepas sedotan dari bibirnya, "tapi gue suka sombongnya dia," imbuhnya sambil cengengesan, yang sayang gagal mencairkan suasana. Wajah Noni masih saja masam. Pun ekprsi Binar tetap datar.

Barangkali tak betah dengan keadaan yang menyebalkan, Binar mencangklongkan tasnya ke bahu dan bamgkit berdiri.  "Gue pusing. Balik duluan,  ya!"

"Eh? Kita masih ada kelas abis ini, Bin." Bukan si rajin Noni, Prisila yang berusaha mencegah dan menarik lengannya.

"Gue absen."

"Ini udah kedua kalinya di mata kuliah yang sama. Sekali lagi, lo nggak akan bisa ikut ujian!"

"Tenang aja. Gue Binar. Gue pasti bisa ikut ujian." Ujar berkata demikian, gadis itu pun pergi. Meninggalkan Prisila yang menatap tak percaya, pun Noni yang masih mengaduk-aduk menu makan siangnya tanpa selera.

"Lo sih Non, kenapa nanya kayak gitu coba?"

Noni berdecak. Ia membanting pelan sendoknya hingga menimbulkan bunyi denting yang untungnya tersamar oleh suara musik yang mengalun dari sound system. "Gue cuma mulai heran aja. Binar kaya. Kenapa dia mau temenan sama kita kalau Agra yang setajir itu masih nggak selevel sama dia?"

"Karena," Prisila tidak mempunyai jawaban pasti, "mungkin—"

"—cuma kita yang mau temenan sama dia," pungkas Noni. "Andai ada yang jauh di atas gue sama lo mau temenan sama Binar, gue nggak yakin Binar masih bakal sudi jadi bagian dari kita."

♡♡♡
BAB 6
♡♡♡


Binar tidak menyukai Agra sama sekali. Pun tak membencinya. Namun semenjak mereka bertemu di kampus, ada sesuatu dalam diri Binar yang mulai bangkit secara perlahan terhadap pemuda itu.

Cara Agra menatapnya saat mata mereka tak sengaja bertemu. Cara Agra memberi peringatan agar hubungan mereka tidak diketahui siapa pun. Cara Agra tak mengacuhkannya. Membuat Binar merasa ... rendah diri. Seolah dia memang pantas mendapatkan semua itu.

Padahal, apa yang Agra tahu? Tanpa harus diberi peringatan atau apa pun, Binar juga tidak ingin orang-orang mengetahui betapa menyedihkan hidup mereka. Harus terjebak dalam hubungan yang tak diinginkan. Bukan hanya Agra yang merasa buruk, ia pun demikian.

Lagi pula, ini bukan salah Binar sepenuhnya. Kalau memang tidak suka, seharusnya lelaki itu bisa menolak. Sekeras apa pun keluarga memaksa, bila saja Agra berani menentang keputusan mereka, semua tidak akan sampai sejauh ini.

Berbeda dengan Binar yang memang tidak mempunyai pilihan lain. Karena jika bukan Agra, maka akan ada calon cadangan yang akan dibawa Hilman.

Lantas sekarang, apakah juga salah kalau ... Binar membencinya? Bukan lagi kasihan atau iba, Binar sungguh merasa marah dan benci. Bahkan saat mereka tak sengaja berpapasan di koridor kampus, Binar langsung membuang muka dan mempercepat langkahnya.

Ia muak. Sangat. Perutnya bahkan terasa mual.

Siakap Agra yang sebelum-sebelumnya masih bisa Binar toleransi, tapi kejadian hari ini berbeda. Binar merasa amat sangat dipermalukan. Di depan seluruh kelas. Bahkan membuat salah satu sahabatnya sampai tersinggung.

Dan, di sinilah ia sekarang berada. Di depan gerbang kediaman sang kakek yang terkunci. Terkunci. Bukan tanpa disengaja tentu saja. Hilman yang seolah tahu isi pikiran cucu tunggalnya, melarang Binar datang untuk sementara waktu.

“Binar nggak mau tinggal sama dia. Nggak mau!” teriak gadis dua puluh satu tahun itu di depan pagar besi yang berdiri angkuh nyaris setinggi tiga meter. Tapi bahkan sampai suara serak, tak ada yang menggubris. Hanya satpam yang berjaga di depan, sesekali megintip sambil menatap iba, seolah Binar kucing malang yang ditelantarkan majikannya di pinggir jalan.

Ah, kucing terlantar mungkin masih mending. Mereka bisa mendapat rumah baru yang lebih baik. Sedang Binar? Yang tersedia untuknya hanya ... apartemen bersama Agra.

Pindah? Jangan harap!

Binar tidak mempunyai dana untuk itu. Sejak menikah, ia tidak diberi uang saku. Bahkan kartu debit dibekukan oleh Hilman. Karena kata beliau, “Sekarang kamu tanggung jawab Agra.” Seakan Agra merupakan suami baik hati yang amat penyayang.

Kini yang Binar pegang hanya tak lebih satu juta, sisa tabungan pribadinya sendiri dalam celengan yang ia pecahkan minggu lalu. Tadi pagi Agra memang meletakkan kartu debit atas nama lelaki itu di samping tas kuliah Binar yang tergeletak di meja belajar, tapi harga diri Binar yang setinggi Gunung Rinjani membuatnya menolak menerima. Terlebih, Agra bahkan tidak mengatakan apa pun.

“Kalau Kakek nggak mau buka gerbang, Binar bakal tetap berdiri di sini! Sampe malem juga bakal Binar jabanin!” Ia menendang gerbang dengan kakinya sebelum kemudian duduk berselonjor di atas aspal seperti gelandangan.

Binar tidak mau kembali ke apartemen itu. Binar tidak mau tinggal bersama Agra. Binar tidak mau terlibat apa pun dengannya. Sama sekali.

Ini baru hari pertama, tapi sudah terjadi kekacauan. Lantas besok apa lagi? Membayangkannya saja ia tak berani.

“Kakek nyebelin! Kakek nyebelin! Kakek nyebelin!” pekiknya berkali-kali.

Demi langit yang kembali mendung, ini sudah hampir satu jam. Tapi baik Hilman atau Maia masih belum mengacuhkan Binar. Ponsel ibunya pun tidak aktif.

Hingga matahari mulai turun pun, gerbang masih tertutup rapat. Binar cemberut berat. Matanya bahkan sudah berkaca-kaca.

Binar kenal betul kakeknya. Sekali A, akan tetap A. B hanya opsional bila A gagal. Lantas, bila benar Hilman tidak mau membuka gerbang sampai malam tiba, ke mana Binar akan pergi? Mencari kosan murah? Atau menginap di rumah salah satu temannya?

Ah, tapi Noni masih marah. Prisil juga tinggal bersama orangtua dan tiga saudaranya di rumah yang sederhana. Akan sangat merepotkan kalau Binar nekat datang untuk menginap. Terlebih, untuk berapa lama?

Hah! Kenapa hidup Binar harus sedrama ini?

Mengedor gerbang besi yang hanya membuat punggung tangannya ngilu sekali lagi dengan tenaga yang lebih lemah, Binar mendesah. Meski ia mengatakan akan bertahan sampai daun ganda besar persegi ini terbuka, nyatanya mental Binar tidak sebaja itu. Mungkin ia memang harus mencari penginapan atau kosan murah yang cukup membayar lima ratus ribu sebulan. Tapi, pasti fasilitasnya tidak lengkap. Tak ada ac, tv, shower, bath up.

Tak apalah, yang terpenting wi-fi!

Membuka ponsel untuk mencari kosan di internet, jari jempolnya yang hendak menggulir layar ke bawah tertahan saat mendengar deru halus mobil terhenti di depannya, hanya sejengkal dari ujung kaki gadis itu yang masih berselonjor dengan posisi paling nyaman.

Mendongak, kemarahan itu bangkit kala mendapati  plat nomor yang dihapalnya di luar kepala berada tepat di depan mata.

Mobil Agra.

Memutar bola mata jengah, Binar lanjut menggulir layar hanya untuk dibuat tercengang melihat harga-harga yang tersedia. Uang di sakunya bisa langsung habis tanpa sisa, itu pun untuk kamar kost kecil tanpa kamar mandi di dalam. Lantas selama dalam pelarian, ia akan makan apa?!

Angin?

“Sehari tanpa membuat keributan memang sesulit itu ya buat kamu?” Agra keluar dari mobil dan menutup pintunya dengan kasar, setengah membanting. Ia tatap Binar yang masih tampak bloon di depan layar ponselnya yang menyala. Sama sekali tak mengindahkannya. “Apa setiap kali ada masalah, kamu akan selalu lapor ke kakek kamu? Mengadukan semuanya? Membuat saya terlihat seperti laki-laki brengsek yang tidak punya hati?!” Nada suara Agra meninggi tapi Binar masih cemberut di tempat. Bukan. Bukan karena lelaki itu, melainkan sesuatu yang sepertinya terlalu menarik untuk bisa membuat Binar berpaling.

“Sampai kapan kamu akan bersikap seperti anak kecil? Kamu sudah dewasa sekarang. Kamu bahkan sudah menikah. Binar!” Kesal, Agra rampas benda pipih bersegi yang sejak tadi istrinya perhatikan penuh minat.

Agra benci diabaikan. Terlebih oleh gadis ini. Seseorang yang seharusnya paling memperhatikan dan menurutinya. Seseorang yang membuat Agra ingin memperlihatkan seluruh kebencian yang ia miliki. Seseorang yang membuat dunianya jungkir balik hanya dalam sekejap.

“Hey!”

Agra mengangkat benda itu lebih tinggi saat Binar berusaha merebut kembali. Gadis itu menarik lengan Agra yang bebas dan berdiri, lantas melompat-lompat berusaha meraih ponselnya. Namun gagal. Selisih tinggi badan mereka yang lumayan membuat leher dan punggung Agra ngilu setiap kali mereka berhadapan, cukup menguntungkan di saat-saat seperti ini.

“Kembaliin hp gue, nggak?!” Binar melompat sekali lagi. Ia raih lengan kanan Agra dan ditariknya ke bawah. Gerakannya persis anak monyet yang bergelendotan di dahan untuk meraih pisang. Namun, badan Agra yang sekokoh pohon sama sekali tak bergeming. Dan untuk menghentikannya, Agra tahan tubuh Binar dengan memeluk pinggangnya erat hanya agar gadis itu diam saat ia memeriksa konten yang tadi gadis itu pelototi.

Berhasil. Binar langsung mematung. Kaku. Seperti batu. Tangan-tangannya makin erat melingkari lengan Agra, karena sekali dilepas, Binar takut ubuhnya akan langsung luruh ke tanah karena bahkan saat ini ia hanya bertumpu pada ujung-ujung jari kaki yang mendadak terasa bagai jeli.

Rengkuhan Agra di pinggangnya terlalu ... erat. Binar merasa mulai kesulitan bernapas.

“Kamu mencari kamar kost?” Agra mendengus kasar seperti banteng. Ia menunduk menatap sang lawan bicara dengan tampang meremehkan terang-terangan. Satu alisnya terangkat melihat wajah Binar yang ... memerah.

Seolah menyadari ada sesuatu yang salah, Agra menunduk makin bawah. Ia berdeham salah tingkah sebelum perlahan melepas rengkuhannya dari gadis itu. “Maaf. Kamu terlalu hiperaktif.”

Begitu terlepas, Binar langsung mengambil tiga langkah menjauh dengan gerak rikuh. Ia membuang pandangan seraya mengatur napasnya yang mendadak menderu. “Balikin ponsel gue!” geramnya. Ia mengepalkan kedua tangan erat-erat hingga terasa sakit, berusaha membangun pertahanan dan mengembalikan segala bentuk amarah yang nyaris lenyap hanya karena satu ... satu tindakan kecil lelaki itu. Ini gila. Binar memang tidak pernah dekat dengan lelaki mana pun selain keluarga, tapi bukan berarti tubuhnya bisa menjadi murahan atau lemah begini hanya karena dipeluk tanpa maksud.

Benar Agra suaminya, tapi ia dan Agra bahkan lebih jauh dari dari dua orang asing. Binar lebih menyukai seseorang yang tidak dikenal ketimbang Agra.

“Dan membiarkan kamu mencari kosan?” Agra menurunkan tangan yang masih menggenggam ponsel Binar sebatas dada. Masih menatap gadis itu yang berusaha menghindari kontak mata mereka.

“Gue rasa tinggal terpisah lebih baik untuk satu sama lain.”

“Kamu punya uang untuk itu?”

“Gue bisa cari kerja!”

“Misalnya?”

Misalnya? Binar menelan ludah. Ia membasahi bibir yang mendadak terasa kering saat kembali memikirkan jawaban untuk pertanyaan Agra atas pernyataannya yang asal-asalan.

Benar, kerja apa? Seumur hidup Binar berada di bawah perlindungan Hilman yang memastikan segala kebutuhannya tercukupi tanpa haus memikirkan apa pun.

Pekerjaan macam apa yang tersedia bagi lulusan SMA, sambil kuliah pula?

Tidak mungkin kantoran yang pasti.

Penjaga toko? Pelayan restoran? Tukang cuci piring?

Binar mendadak pening walau hanya memikirkannya.

Mendongak sombong untuk menyembunyikan bayangan ngeri dalam kepala, ia tatap Agra sinis. “Lo nggak perlu tahu.”

Mendengus kecil—kenapa lelaki itu suka sekali mendengus?—Agra ulurkan ponsel Binar pada sang empunya, yang langsung istrinya raih dengan kasar. Dengan gerak santai setengah bosan khasnya, Agra melenggang santai menuju sisi kiri mobil dan tanpa tedeng aling-aling membuka pintu bagian penumpang.

“Kakek menyuruh saya menjemput kamu. Kalau belum yakin dengan apa yang ingin kamu lakukan dan ke mana kamu akan pergi malam ini, sebaiknya kita pulang. Kakek tidak akan membuka gerbang sekali pun kamu menggila di sini. Lagian, saya tahu kamu lapar.”

Seolah membenarkan perkataan Agra, perut Binar yang tak pernah bisa diajak kompromi berbunyi, nyaring sekali. Sialan! Binar berpaling dan meringis malu. “Gue lebih mending tidur di jalan!”

“Begitu?” Agra tampak merenung sesaat. Kerutan kecil di keningnya adalah petanda sesuatu yang tidak bagus. Benar saja, detik kemudian lelaki itu kembali dengan pertanyaan yang berhasil membuat sang lawan bicara gondok. “Omongan wanita dan isi hati mereka hampir selalu bertentangan. Apa ini isyarat agar saya membujuk dan menggendong kamu paksa ke mobil? Mungkin kamu terlalu malu menerima tawaran saya karena merasa masih marah?”

Binar kehilangan kata-kata. Rahangnya bahkan menolak terkatup, terlalu ... terpana terhadap kalimat luar biasa Agra yang nyaris membuatnya menangis frustrasi.

Agra yang Binar kenal tidak banyak bicara. Dulu, Binar merasa kesal karena itu. Sekarang, Agra yang banyak bicara ternyata juga bukan hal bagus!

“Berpikir aja semau lo!” Mencengkeram tali tas selempangnya, Binar berbalik siap pergi.

Benar kata Agra, menggila di sini tak akan membuat Kakek luluh. Sedang matahari sudah hampir tenggelam. Langit pun kian tampak pekat. Sebelum malam, ia harus menemukan tempat. Yang pasti bukan di apartemen.

Mengambil langkah menjauh, Binar berjalan cepat. Walau tak yakin hendak pergi ke mana. Ia hanya ingin membuktikan bahwa takadnya sudah bulat. Agra dan siapa pun tidak akan bisa menghentikannya. Tak akan pernah.

“Kamu yakin akan pergi dengan keadaan seperti itu?”

Binar menjawab tanpa menoleh, malah mengambil langkah lebih lebar dengan kaki-kaki pendeknya. “Lo nggak bakal bisa menghentikan gue kali ini.”

“Kamu tembus.”

Seperti mobil yang mengerem mendadak lantaran nyaris menabrak tiang listrik, Binar langsung terhenti secepat refleksnya bisa bekerja hingga nyaris jatuh tersungkur. Beruntung keseimbangan dirinya cukup bagus, ia masih bisa tetap berdiri kendati rasa percaya dirinya sudah jatuh dan hancur—berserakan di bawah kaki Agra.

Berkedip bagai orang bodoh, Binar menolehkan kepala sembilan puluh derajat, sebatas bisa melirik sang lawan bicara. Ia menunduk sedikit ke bagian belakang rok lipit abu-abu muda yang hari ini menjadi pilihannya sambil berpikir.

Apakah ini sudah masuk waktu datang bulan?

Dan saat hitungan dalam kepalanya pas, Binar menggigit daging pipi dalamnya keras-keras.

Sial! Kenapa harus hari ini?!

“Silakan kalau kamu berkeras tetap pergi.”

Guntur menggelegar di kejauhan, selaras dengan isi hati binar yang mengutuk diri sendiri. Ia berharap kilat menyambarnya atau bumi membelah untuk menelan tubuhnya. Karena kini Binar hanya ingin menghilang dan tidak muncul lagi di depa siapa pun. Terutama Agra yang masih memandanginya dengan tatapan datar itu.

“Tapi kalau kamu berubah pikiran, kita bisa langsung pulang sekarang. Saya tidak suka berkendara dalam keadaan hujan,” tambahnya. “Ah ya, kamu punya stok pembalut di rumah, atau membawa menstrual cup? Kalau tidak, sepertinya kita harus mampir dulu ke super market.”

Binar meremas tali tasnya lebih kencang dan menggigit daging pipinya lebih keras lagi.

Harus semalu apa lagi ia sekarang?!

Lebih dari segalanya, bagaimana bisa Agra menyebut pembalut tanpa canggung sama sekali di depannya? Pun, dari mana Agra mengenal istilah menstrual cup bahkan saat Binar baru mengetahuinya tahun lalu?!

Dan kenapa harus Binar yang merasa malu? Dia perempuan, wajar haid. Wajar tembus. Yang tidak wajar adalah Agra yang terlalu banyak tahu! Harusnya lelaki itu yang malu, kan?

“Kamu benar-benar ingin saya gendong, ya?” tanya si menyebalkan itu lagi setelah beberapa saat dan belum juga mendapat jawaban.

Tidak. Tidak perlu.

Berusaha menyembunyikan rasa malu, Binar kembali berbalik dengan gerak kasar. Ia melangkah lebar-lebar sambil menghentak-hentak bumi dengan sol sepatunya, kemudian memutari tubuh Agra sebelum masuk mobil, lantas menutup pintu penumpang keras-keras di depan hidung lelaki itu, berharap Agra berpikir dirinya marah alih-alih malu setengah mati.

Sudah Binar bilang, kan? Harga dirinya hanya setinggi Rinjani. Cuma karena roknya tembus, ia kalah.

Padahal seharusnya meski badai menghadang, ia tetap pergi.

Seharusnya.

Seharusnya ....


♡♡♡

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Lukaku Belum Seberapa - 7,8,9
38
0
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan