Lukaku Belum Seberapa - 7,8,9

38
0
Deskripsi

BAB 7
♡♡♡

"Lo pasti punya banyak pengalaman sama perempuan kan, sampe tahu detail-detail masalah datang bulan?" Binar bertanya sinis, lebih untuk menutupi rasa malu yang kini memuncak di ubun-ubun setelah melirik ke jok belakang dan mendapati kantung plastik putih berisi beberapa pembalut dari berbagai merk, ukuran dan jenis.

Ada yang bersayap, tidak bersayap, yang panjang, dan yang berukuran sedang.

Andai bisa menendang diri sendiri, Binar tentu sudah melakukannya sejak tadi. Jangan tanya siapa yang membeli barang-barang tersebut. Tentu saja Agra. Seperti yang tadi lelaki itu katakan, mereka mampir ke super market sepulang dari rumah Hilman. Suami barunya itu sempat bertanya jenis pembalut yang biasa Binar pakai. Alih-alih menjawab, Binar justru membuang muka. Jadilah lelaki itu membeli semuanya. Bukan senang, yang ada Binar kian dongkol. Rasa malunya bertambah lima kali lipat.

"Lumayan," jawab Agra dengan nada tak peduli.

"Dasar buaya!"

Agra meliriknya dengan ujung mata. Salah satu alis pemuda itu naik sedikit saat berkata, "Saya harap tidak. Buaya terlalu setia pada satu pasangan."

"Darat!" Binar menambahkan dengan nada lebih sinis, ia bahkan mendelik untuk memperjelas maksudnya. Dalam hati berdoa agar jalanan bisa lebih lengang hingga mereka bisa secepatnya sampai di apartemen. Berdua dengan Agra di dalam ruang mobil yang sempit sungguh menyesakkan. Ah, tapi bahkan di apartemen, Binar tidak memiliki tempat sembunyi atau menyendiri-kecuali ia bersedia tinggal di kamar mandi yang dingin dan berbaring di bathup? Huh, betapa menyedihkan!

"Saya tidak tahu apa yang dulu kamu pelajari di sekolah." Agra menghentikan mobilnya di belakang kendaraan lain saat lampu lalu lintas berubah merah. Waktu yang sudah menjelang pulang kerja membuat jalanan lumayan padat dan macet. Doa Binar jelas tak terkabulkan. "Buaya memang jenis reptil yang hidup di darat dan air. Saya tidak paham kenapa orang-orang menggunakan istilah buaya untuk menggambarkan lelaki tidak setia. Padahal di mana pun dia berada, baik air atau darat, pasangannya tetap satu. Bahkan meski pasangannya mati, buaya tidak mencari pengganti."

Selalu. Selalu. Selalu.

Binar menyentuh kepalanya yang mendadak pusing. Dia stress. Frustrasi. Pening. Atau apa pun sebutan bagi penderita sakit kepala dadakan.

Bagaimana Binar bisa lupa? Agra serasional itu. Secerdas itu. Semenyebalkan itu. Terlebih, Agra yang banyak bicara-terlalu banyak bicara-masih sangat baru baginya. Akan lebih mudah menghadapi Agra yang pendiam dan sinis. Atau karena mungkin kini mereka sudah menikah, jadi lelaki itu pikir tak ada lagi batas di antara mereka hingga Agra bisa menampilkan seluruh sisi dirinya?

Ini bahkan bukan pernikahan semacam itu, walau kemungkinan keduanya tak punya pilihan kecuali tetap bersama sampai tutup usia, namun tetap saja! Harus ada batas.

Lelah, Binar mengangguk saja untuk mengalah.

Terserah. Terserah. Terserah!

Kepala Binar tambah pening. Ia bahkan sampai memeganginya dengan dua tangan. Dalam hati menangis meraung-raung. Haruskah ia menghabiskan sisa hidup dengan lelaki macam ini? Yang satu saat bisa sangat dingin. Di saat lain luar biasa cerewet. Lebih dari segalanya, logika Agra akan berhasil mengikis kewarasan Binar. Akan sangat luar biasa bila satu tahun dari sekarang ia masih waras, minimal tidak memeriksakan diri ke dokter jiwa atau mendaftar sebagai pasien rawat inap RSJ dengan suka rela. "Semerdeka lo sekeluarga sajalah!"

Agra mendengus lagi. Binar curiga memiliki suami ingusan. "Tapi itu kenyataan. Kenapa orang-orang sangat aneh? Menjadikan nama hewan sebagai kambing hitam untuk menyebut manusia lain yang menurut mereka amoral."

Cermin, mana cermin?

Agra mengatakan orang-orang aneh. Tidak tahukah dia, bagi dunia, termasuk Binar, justru lelaki itulah yang aneh! Sangat aneh! Andai para mahasiswi di kampus tahu sisinya yang ini, Binar yakin tidak akan ada satu gadis pun yang mau meliriknya!

Binar memilih bungkam, memendam segala dongkol dalam tenggorokannya demi mempertahankan kewarasan lebih lama. Berbicara dengan Agra adalah kesalahan. Kesalahan besar. Agra jelas terlalu pintar untuk membuat Binar menang. Atau terlalu pintar untuk membuatnya tak berumur panjang.

Namun bahkan kebungkaman itu tak bisa bertahan lama. Rasa ingin tahu mencekiknya saat setelah lampu berubah hijau, mobil kembali melaju. Alih-alih lurus, Agra memutar roda kemudi di perempatan depan dan berbelok ke kanan.

Ini bukan jalan menuju apartemen mereka.

"Mau ke mana kita?" Tak bisa menahan diri, ia bertanya.

"Kamu tahu jalanan ini."

Tentu saja Binar tahu. Hapal malah. Ia sering lewat sini. Terlalu sering. Jalan menuju rumah ... orangtua Agra. Mertuanya. Menelan ludah, Binar menoleh ke arah lelaki itu dan menatapnya ngeri. "Jangan bilang-"

"Ya."

"Kenapa kita ke sana?" Binar tidak pernah suka terjebak di tengah-tengah keluarga Agra. Ayah mertuanya terlalu kolot, sedang mama Agra terlalu ikut campur. Aira terlalu cerewet. Menantu lain di rumah itu-istri si sulung Arya-terlalu pemalu dan amat pendiam. Agra sendiri terlalu kaku.

Benar, seluruh keluarga suaminya memang terlalu. Sangat terlalu. Salah satu alasan Binar tak pernah suka berada bersama mereka.

Hanya Arya yang bisa dikatakan normal. Pemilik tatapan hangat yang saat tersenyum, seluruh ruangan akan tampak bersinar. Ah, andai Binar dijodohkan dengan Arya, cerita mereka akan berbeda. Tak usah ditanya, ia pasti akan bahagia.

Arya yang baik. Yang tampan. Yang ... lebih, lebih, lebih dari Agra.

Namun kenyataan memang tak pernah sesuai dengan harapan, kan? Arya yang beruntung, bertemu dan saling jatuh cinta dengan perempuan dari keluarga berada dan cukup terhormat. Pernikahan mereka mendapat restu dari semua orang dan seluruh semesta. Pasangan yang sempurna. Binar mendesah iri setiap kali melihat mereka. Pun mengingatnya sekarang hanya membuat perasaan gadis itu kian tak keruan.

Betapa tidak adil dunia ini!

"Saya mau cuci mobil."

Binar mengernyit. Ia tatap lelaki di sampingnya dengan ekspresi tak percaya. Bahkan nyaris tertawa kesal. "Cuci mobil di rumah? Lo bercanda?"

Agra meliriknya sekilas-lagi. Masih dengan raut datar yang membuat Binar gatal ingin mencakar wajah yang kata orang-orang tampan itu. "Haruskah saya membawanya ke tempat cuci?"

"Itu yang seharus-" Binar berkedip lambat saat kesadaran menghantamnya. Rahang kecil gadis itu praktis kembali terkatup. Ia berdeham salah tingkah dan memperbaiki posisi duduk dengan gerak kikuk, pura-pura bersandar nyaman pada jok dan menatap lurus ke depan. Sedang batinnya kembali mengumpat.

Bagaimana bisa Binar lupa. Dirinya tembus. Sudah pasti ada noda darah di kulit kursi penumpang yang kini ditempatinya. Banyak noda darah. Bahkan ia duduk dalam posisi tidak nyaman. Roknya terasa berat dan basah.

Ah, sial!

"Mmm, seperti biasa. Lo selalu bisa berpikir cerdas," ujar Binar kemudian sembari memukul pahanya dengan kepalan tangan, kendati yang diinginkannya adalah meninju bibir yang selalu bekerja lebih cepat dari otak.

Setelahnya, sepanjang sisa perjalanan sore itu, Binar tak lagi bicara. Binar berusaha tenang di kursi penumpang dengan tatapan jauh ke luar jendela. Menatap nyaris semua hal yang mereka lewati, dari sisi kiri tempatnya berada. Ia bahkan jatuh tertidur tak sampai sepuluh menit kemudian. Barangkali kelelahan setelah melewati hari yang terasa amat panjang dan tidak menyenangkan.

Entah berapa lama lelap memeluk erat, Binar terbangun lantaran kaget saat sesuatu yang terlalu nyaman dijadikan sandaran, disentak dengan kasar hingga ia nyaris jatuh terhuyung.

Mengerang kecil, Binar mendongak seraya membetulkan posisi kacamata anti radiasinya yang nyaris jatuh, pun pashminanya yang awut-awutan.

Dari posisi tubuh yang condong ke luar, nyaris jatuh dari mobil, Binar tahu sesuatu yang disandarinya adalah jendela kereta besi Agra. Dan lelaki tanpa hati itu, alih-alih menggoyang pelan bahunya untuk membangunkan, malah membukakan pintu dengan kasar. Baik sekali memang dia.

"Kamu bisa keluar sekarang."

Binar cemberut. Setengah sadar akibat kantuk yang belum benar-benar hilang, ia membuka sabuk pengaman dan melompat turun, sedang Agra membuka pintu belakang dan mengambil kresek besar berisi hasil buruannya di super market dan menyerahkan pada Binar, pun dengan sweater cokelat yang tadi lelaki itu kenakan. "Pakai ini untuk menutupi rok kamu yang kotor."

Ah, ya. Roknya kotor. Binar mendesah panjang. Ia mengambil sweater Agra lebih dulu dan diikitkan longgar ke pinggang sebelum menerima kresek yang juga lelaki itu sodorkan.

Kepalanya masih pening, kali ini bukan karena suaminya, melainkan waktu tidur yang terlalu singkat.

Berbalik hendak menutup pintu mobil kembali, kresek yang Binar pegang jatuh. Ia menatap ngeri jok penumpang samping kemudi yang ... banjir.

Bagaimana ... bagaimana mungkin bisa sebanyak ini? Ia haid apa pendarahan sebenarnya?

"Kenapa?" Seolah tahu ada yang salah, Agra mendekat. Buru-buru Binar menyerongkan tubuh hingga membelakangi Agra sepenuhnya, pun menghalangi pandangan lelaki itu dari sesuatu yang memalukan.

Dengan gerak serampangan, Binar mencabut berlembar-lembar tisu yang tersedia di dasbor. Ia mengambil banyak-banyak dan digosokkan ke bekas darahnya berulang-ulang hingga benda putih bersih itu berubah kemerahan. Tapi bahkan jok berlapis kulit itu belum juga bersih.

Setidaknya begini lebih baik, pikir Binar. Ia menegakkan punggung dengan senyum puas sebelum kemudian kembali kebingungan menatap gumpalan tisu hasil karya seninya menumpuk.

Ke mana ia harus menyingkirkan tisu-tisu ini?

"Apa yang kamu lakukan?" Barangkali penasaran dan mungkin sudah mulai kehilangan kesabaran, Agra tarik Binar menjauh dari mobil untuk tahu apa pun yang membuat gadis itu begitu sibuk, hanya untuk menemukan kekacauan lain kemudian. "Kamu-" Agra menatapnya dengan dengan ekspresi tak percaya. Sudah pasti kehilangan kata-kata.

Binar tersenyum tanpa dosa, memamerkan gigi-giginya yang berderet rapi sambil menggaruk tengkuk belakang. "Lo punya kantong kresek hitam?"

Agra mengatup rahangnya yang tanpa sadar ternganga. Binar yang ajaib kemungkinan besar akan berhasil membuat ia mati muda. Mendelik, Agra membuka kotak dasbor dan memberikan plastik hitam yang dilipat rapi membentuk segitiga pada sang lawan bicara yang menerimanya masih dengan senyum kelewat lebar.

"Terima kasih," ucap Binar, menirukan nada anak kecil. Ia bahkan berkedip-kedip cepat saat menatap Agra. Entah apa maksudnya, lantas mendorong sang empunya mobil menjauh, kemudian memungut gumpalan-gumpalan tisu ke dalam kantung kresek secepat tangan-tangannya bisa bergerak. Begitu selesai, Binar mengikat mati bagian pegangan plastik, lalu berbalik badan, kembali menghadap Agra sambil menenteng plastik hitam tersebut di depan hidung. "Di mana gue bisa buang ini?"

Bersama Binar, Agra tidak bisa menahan diri untuk tak menghela napas atau mendengus sering-sering. Tingkah cucu tunggal keluarga Latief ini membuat ia harus menyetok sabar banyak-banyak.

Mendesah sekali lagi, Agra rampas plastik dari tangan Binar seraya mendorong tubuh gadis itu pelan, menjauhkan dari mobilnya. Menaruh kresek ersebut di jok penumpang depan, Agra tutup pintu mobil keras-keras. "Ini biar saya yang urus," katanya. Pemuda itu membungkuk, memunguti kantong putih yang tergeletak malang di atas lantai paving dan menyerahkan kembali pada Binar. "Kamu silakan masuk."

"Tapi, tisunya-"

"Mau kamu buang sendiri ke tempat sampah depan?"

Binar cemberut. Ia menerima kantong putih itu dan mendekapnya di dada sebelum berbalik sambil menghentakkan kaki, melangkah menjauhi Agra yang kembali mendesah seperti penderita sesak napas.

Agra berdecak tak habis pikir sembari bergegas mencari selang untuk mencuci mobilnya yang ... dikotori Binar.

Lucu saat gadis itu bertanya, bagaimana Agra bisa tahu detail-detail tentang datang bulan. Apa dia lupa, Agra punya ibu dan adik perempuan. Kini ada tambahan satu lagi. Istri. Andai Binar tahu berapa rewel Aira saat sakit perut menjelang tamu bulanannya datang, istrinya tak akan banyak bertanya.

Memutar keran yang sudah disambungi selang, sosok Binar muncul lagi di depannya masih sambil memeluk kresek putih besar di dadanya. Nyaris membuat Agra menyemprotnya lantaran kaget.

Ada apa lagi sekarang?

"Kamar lo yang mana?"

Hah. Apa dia tidak bisa bertanya pada pembantu? "Di lantai atas. Ujung kanan."

♡♡♡
BAB 8
♡♡♡

 

Ini merupakan kali pertama Binar memasuki kamar Agra. Nuansa ruangan yang kira-kira berukuran 5x5 meter itu sudah bisa ditebak sejak awal. Maskulin. Dingin. Membosankan. Perpaduan warna hitam dan abu-abu mendominasi. Sama sekali bukan tipe Binar yang lebih menyukai warna-warna terang.

Menarik napas panjang, gadis yang masih memeluk kresek putik besar itu melangkah makin dalam lantas mencampakkan barang bawaannya ke atas ranjang berseprai abu-abu yang tampak rapi. Ah ya, kamar Agra luar biasa bersih dan tertata apik. Amat sangat bersih. Binar sampai mengoleskan jari telunjuknya ke rak buku kecil di sudut ruangan. Alih-alih debu mengotori tangannya, yang ada sidik jarinya membuat jejak di sana. Yah, sebersih itu.

Meninggalkan rak buku, ia membuka ia membuka salah satu pintu lemari baju dan melihat deretan pakaian Agra yang tertata cantik sesuai jenis dan warna. Jauh berbeda dengan kondisi lemari Binar yang ... yah, tak usah disebutkan. Mau dirapikan seciamik mungkin pun, setiap kali ia menarik pakaian yang posisinya di tengah atau bawah, lipatan kain di atasnya langsung tergusur. Jadi, begitulah.

Orang-orang bilang, jodoh merupakan cerminan diri. Melihat kondisinya, Binar terpaksa menolak percaya. Ia dan Agra tidak bisa dikatakan cerminan. Mereka jauh berbeda. Dari segi mana pun. Kecuali nama besar keluarga dan kekayaan mungkin?

Ah, lupakan. Lupakan. Lupakan. Ada hal penting yang harus Binar lakukan sekarang. Yaitu membersihkan diri.

Mengambil salah satu pembalut yang biasa ia pakai dari beberapa bungkus yang Agra belikan, Binar berlari membawanya ke kamar mandi. Aroma antiseptip tajam langsung tercium hidungnya begitu memasuki kamar yang berukuran lebih kecil itu. Binar buru-buru bersembunyi ke bilik shower dan melepas seluruh pakaiannya, meletakkan ke dalam bak besar yang tersedia di sudut kamar mandi hanya untuk kebingungan mencari deterjen kemudian. Binar tidak mungkin menyerahkan pakaiannya yang bernoda darah pada pembantu keluarga Agra, kan? Bukan apa-apa. Ia masih punya rasa malu.

Huh!

Berpikir. Berpikir. Berpikir. Mencuci pakaian tidak harus menggunakan deterjen. Masih banyak sabun yang bisa digunakan. Seperti ... Binar melirik deretan  sabun cair yang berjejer di samping jazuci dengan berbagai varian aroma. Ada lemon. Apel. Mentimun. Dan beberapa jenis buah lain yang membuat Binar berdecak. Kenapa Agra tidak mengoleksi wangi bunga? Seperti lavender, sakura atau mawar kesukaannya.

Ah, peduli setan dengan jenis aroma yang digunakan. Yang penting pakaiannya bersih. Mengambil acak salah satu dari deretan sabun cair itu, Binar mengisi bak dan menuangkan sabun banyak-banyak, kemudian mengubeknya hingga berbusa.

Meski tumbuh di keluarga kaya, bukan berarti ia tidak bisa mencuci tangan. Karena sejak kecil, Maia membiasakannya untuk mencuci pakaian dalam sendiri. Hanya saja, ternyata mencuci pakaian dalam dan pakaian luar itu berbeda. Binar kewalahan saat mengucek roknya yang berbahan berat serta sweater rajut Agra. Dan yang paling susah adalah ... memerasnya!

Selesai mencuci, yang nyaris menghabiskan satu botol sabun cair, Binar memilih berendam dengan air hangat untuk menenangkan diri dan memulihkan tenaga yang terkuras. Entah berapa jam ia berada di kamar mandi, karena begitu keluar, matahari nyaris tenggelam sepenuhnya.

Celangak-celinguk di depan pintu kamar mandi, Binar menggotong bak hitam berisi pakaiannya yang sudah bersih ke arah jendela dengan susah payah. Ia bisa menjemur ini di birai balkon.

Tepat tiga langkah dari jendela balkon, pintu kamar terbuka. Refleks, tubuh gadis yang tengah kesusahan membawa bak berat itu mematung. Bernapas pun tidak.

Ah, apa Agra sudah selesai mencuci mobil? Kenapa cepat sekali? Atau ia yang kelamaan? Sial!

“Apa yang kamu lakukan?” Barangkali merasa aneh dengan posisi berdiri Binar yang yang setengah membungkuk, Agra bertanya. Sang lawan bicara mulai meliriknya takut-takut sambil berusaha keras menegapkan punggung yang terasa pegal, tapi kesulitan dengan beban di kedua tangannya.

Agra yang penasaran, begegegas mendekat. Ia menarik bahu Binar dan membaliknya hanya untuk ... berkedip bagai orang bodoh kemudian.

“Apa ... apa yang—” Pemuda itu kehilangan kata-kata mendapati tubuh binar yang nyaris tenggelam dalam kimononya, pun kepala terbalut handuk. Bukan, bukan itu yang paling membuatnya tak habis pikir, melainkan .... “Apa ini, Binar? Dan ke mana kamu akan membawanya?”

Yang ditanya tersenyum kaku, kelewat lebar. Ia hanya bisa menatap Agra waswas dengan mata membulat besar, seperti kucing yang ketahuan memangsa ikan dalam aquarium majikan.

“Cucian?” alih-alih menjawab, Binar justru balik bertanya masih sambil cengengesan.

“Kamu mencucinya sendiri?”

Binar mengangguk, masih dengan gerakan sekaku robot dengan bibir yang tetap tersenyum kelewat lebar hingga seluruh giginya terlihat.

Agra jangan ditanya. Dia ... ternganga. Mulutnya membuka mulut lebar-lebar, seolah hendak mengatakan sesatu, tapi kemudian mengatupkannya lagi. Terus begitu selama beberapa kali, membuat wajahnya tampak lucu, seperti ikan koi. Andai dalam situasi normal, Binar sudah tentu akan menertawakannya. Namun saat ini tidak bisa dikatakan normal. Posisi Binar sedang sangat rentan. Rentan mendapat masalah tentu saja.

Ugh, ini pasti hari tersialnya. Kalau diurut sejak kejadian tadi pagi, Binar pantas mendapat penghargaan kategori kejadian paling menyebalkan beruntun dalam sehari. Binar harus menandai hari ini dan mungkin memperingatinya setiap tahun.

“Kamu ... ini ... bisa diserahkan ke pembantu!” seru lelaki itu setelah beberapa saat kemudian.

“Ada noda darahnya.”

“Kenapa kalau ada noda darahnya? Saya pikir wajar rok perempuan ternoda darah. Aira juga sering seperti itu sejak berusia sebelas tahun.”

Senyum Binar menghilang. Ia mendesah dan memberengut. “Lo sendiri kenapa nggak nyuruh orang lain bersihin mobil?”

“Kamu mau sopir yang membersihkannya?”

Sial. Sial. Sial.

Kenapa Agra begitu menyebalkan?

Pegal lantaran menahan beban di tangannya, Binar menurunkan bak besar hitam itu nyaris membanting ke lantai kamar Agra yang nyaris terlihat bersinar saking bersihnya. “Gue masih baru di sini. Gue belum kenal ART keluarga lo! Lo pikir sendiri aja gimana?! lo mau gue menghancurkan kesan pertama di mata mereka?”

Agra melipat tangan di depan dada. Ia menatap sebal pada bak yang teronggok di lantai sebelum membawa pupil matanya yang sewarna cokelat batangan itu untuk memelototi sang lawan bicara. “Saya tidak tahu kalau kesan pertama terhadap orang-orang di rumah ini penting buat kamu.”

Kali ini, Binar yang kehilangan kata-kata. Ia memang tidak akan pernah menang melawan Agra. Tak menemukan kalimat balasan dalam benaknya yang mendadak semrawut, Binar hanya bisa membuang muka dan ikut melipat tangannya di depan dada. Segala jenis nama binatang tertahan di tenggorokan. Hanya saja, bibir Binar terlalu kecil untuk mengelurkan anjing dari mulut. Jadilah ia hanya bisa menarik napas panjang dan mengembuskan kasar sebagai bentuk pertahanan diri. Menolak menanggapi.

“Lalu sekarang, apa yang ingin kamu lakukan dengan pakaian basah ini?” tanya Agra lagi sambil menunjuk bak di antara mereka dengan dagu. Mendapati Binar yang tetap diam dengan wajah dipalingkan darinya, Agra menoleh ke balik punggung. Ke arah tempat Binar tadi melangkah. Jendela. Balkon. Lelaki itu pun menghela napas lagi. Kali ini lebih panjang dan lebih nyaring. “Jangan bilang kamu hendak menjemurnya di—”

Binar tetap menolak menjawab. Ia justru makin menaikkan dagunya tinggi-tinggi.

Agra tahu dirinya harus mengalah. Kali ini saja. Ia memejam sejenak untuk mempertahankan kewarasan atas tindakan tak masuk akal Binar. Begitu membuka kelopaknya matanya, Agra menurunkan tangan-tangan kembali ke sisi tubuh, Agra membungkuk dan membawa bak tadi di depan perutnya. Saat hendak melangkah melewati Binar, hidung lelaki itu mengernyit kala menghidu aroma yang sangat familier. “Kamu mencuci ini dengan apa?” tanyanya waspada, setengah waswas. Tatapannya awas, mencari mata Binar yang berusaha menghindarinya dengan berkedip-kedip cepat.

Berdeham, sang lawan bicara menggaruk tengkuk. Gestur gelisahnya membikin Agra kian curiga. “Well ... gue nggak nemu deterjen di kamar mandi lo. Jadi—”

“Jadi?”

“Gue pake sabun cair.”

Rahang Agra mengencang. Bibirnya menipis. Napasnya pun berubah pendek-pendek.

Kata sabar sungguh tak mempan untuk menghadapi gadis ajaib ini!

Ditatap sedemikian rupa oleh sang lawan bicara, Binar menjadi salah tingkah. Apa kali ini ia melakukan kesalahan lagi? Gadis itu menggaruk tengkuknya yang menjadi gatal dengan lebih keras. Bibirnya kembali melengkungkan senyuman lebar sebagai upaya meminimalisir kemarahan—kalau-kalau Agra benar marah—suaminya.

“Aroma lemon?” ujar Agra disela-sela giginya yang terkatup rapat.

“Ee ... sepertinya begitu.” Tunggu dulu, kenapa Agra harus marah? Binar cuma menggunakan sabun cair. Cuma sabun cair. Mendengus, ia menelengkan kepala menatap Agra sebal. “Lo nggak mungkin marah cuma karena gue nyaris ngabisin sabun cair lo, kan?”

“Nyaris dihabiskan?!” Andai bisa, mungkin kini mata Agra sudah melompat dari rongganya saking lebar ia melotot. Binar menahan diri untuk tak bergidik ngeri membayangkannya.

Ia pun berdecak. “Lebay lo! Sabun cair doang. Bakal gue ganti!”

Agra tertawa mendengus. Mulutnya ternganga lebar. Binar gatal ingin menyumpalnya dengan sesuatu.

“Kamu tahu sabun yang kamu gunakan itu ...” Agra mendesah panjang, sangat panjang. Entah untuk ke berapa kalinya hari ini. Memejamkan mata lagi—kali ini lebih lama—seolah menangung beban seluruh dunia di pundaknya, lelaki itu menarik napas panjang. “Lupakan,” katanya kemudian dengan nada luar biasa lelah.

Binar mengangguk setuju. Hal kecil semacam ini memang sepatutnya dilupakan.

“Itu hanya hadiah ulang tahun dari Bang Arya yang dibelikan langsung di Korea saat dia dalam perjalanan bisnis. Toh, pada akhirnya tetap akan habis.” tambahnya sebelum bergeser ke samping dan membawa pergi bak hitam tadi ke luar. Meninggalkan Binar yang mendadak ... kehilangan seluruh fungsi tubuhnya.

Hadiah ulang tahun?

Di beli langsung dari korea?

...

O-ow, apa kali ini Binar telah melakukan kesalahan lagi?

Aaarghhh ...!

Binar mendadak merasa bersalah. Fakta bahwa ia nyaris menghabiskan sabun cair yang mungkin kesukaan Agra membuat ia tak bisa tenang. Lebih dari segala yang terjadi hari ini ... sabun tersebut merupakan hadiah ulang tahun. Dengan apa Binar bisa mengganti?

Ini bukan lagi masalah harga atau lokasi penjualan ... melainkan arti. Ugh, kenapa Binar tidak bisa berhenti melakukan kesalahan?

Menggigit bibir, ia melangkah mondar mandir di kamar. Masih dengan kimono dan handuk yang menutupi rambutnya. Ia bahkan lupa menanyakan ke mana Agra akan membawa pakaiannya dan hendak diapakan. Ia pun tak ingat dengan kondisinya yang telanjang bulat di balik kimono kebesaran itu.

Bicara tentang telanjang, Binar menelan ludah saat merasa kakinya dialiri susuatu yang hangat. Menyingkap ujung kimono yang menyentuh mata kakinya, Binar menahan jerit kesal. Buru-buru ia berlari kembali ke kamar mandi sebelum noda darah kembali membuat masalah.

Satu hal terpenting lain yang ia lupakan. Dirinya bahkan belum menggunakan pembalut!

Bagaimana bisa menggunakan pembalut saat celana dalamnya bahkan dicuci?!

Huaahh ... ia ingin menangis keras-keras sekarang. Hari ini benar-benar harus ditandai!

Pintu kamar mandi diketuk nyaris lima belas menit kemudian. Binar hanya bisa bergumam, menahan diri untuk tak meneriaki Agra. Pulang ke sini memang sebuah kesalahan. Seharusnya Binar menolak ikut Agra dan tetap bertahan di depan ruma Hilman. Atau memaksa lelaki itu kembali ke apartemen. Persetan dengan jok penumpang yang harus dibersihkan, atau siapa yang akan mencuci mobil kotor Agra.

Ini kali pertama setelah menikah ia datang ke rumah mertua, dan malah membuat petaka! Kendati betapa pun memalukan kesan pertamanya, orang tua Agra tidak akan berkata kasar. Karena sungguh, mendapati keturunan Latief sebagai menantu mereka merupakan suatu kehormatan. Tapi, tetap saja! Mereka mungkin kan membicarakan Binar di belakang!

Bunyi ketukan terdengar lagi. Kali ini lebih kasar. “Cepat keluar, Binar! Saya harus mandi!” terselip nada dongkol dalam suara berat itu. Binar memukul-mukulkan kepalanya pelan ke tembok kamar mandi.

Kali ini Binar tidak akan menyalahkan Agra atas kemarahannya. Lelaki itu pantas marah. Memaki pun tak apa. Sungguh!

Pintu kamar mandi diketuk lagi. "Binar, kamu tidak mengurung diri karena merasa bersalah, kan?"

Salah satu alasannya. Alasan yang lebih besar ... Binar bahkan tidak bisa mengatakannya tanpa merasa malu—untuk entah yang ke berapa kalinya lantaran masalah yang sama.

“Lo pakai kamar mandi luar aja! Malem ini gue tidur di bathup!” jawab Binar putus asa. Campuran malu dan rasa bersalah merupakan perpaduan yang sempurna. Pun ... bagaimana cara meminta celana dalam kering pada lelaki itu tanpa melibas harga dirinya?

“Kamu sudah bosan hidup?”

Sangat. Binar sangat bosan hidup sekarang. Meski juga belum siap mati. Ya ampun, kenapa bisa hidupnya sekacau ini?

Semesta pasti tidak merestui pernikahannya dengan Agra. Pasti. Karena semua menjadi berantakan dan tak terkendali sejak mereka mulai tinggal bersama!

“Binar, buka pintu!” suara Agra makin terdengar tak sabar. Binar masih berjongkok di sudut kamar mandi sambil membenturkan kepalanya pelan.

“Anggap gue nggak ada, pliisss ....” Ia bergumam pada diri diri sendiri. Berdoa dalam hati dengan sungguh-sungguh agar ia bisa menghilang seperti serbuk layaknya di drama-drama fantasi yang sering ditontonnya. Tapi tentu saja, tidak terkabul.

“Saya akan mandi di luar,” nada suara Agra berubah pelan, terdengar lebih sabar. Atau berusaha menahan sabar. “Setelah kamu selesai dengan apa pun itu, segera keluar. Saya meletakkan baju ganti di kasur dan juga pakaian dalam. Ah, ya, pakaian dalamnya masih baru.”

Eh?

Binar menoleh secepat kepalanya bisa berputar ke arah pintu kamar mandi. Apa kata Agra tadi? Baju ganti dan pakaian dalam baru? Kepala Binar tertahan tepat satu senti dari tembok. Ia batal membenturkannya lagi.

Berdiri, gadis itu melangkah mengendap-endap menuju pintu kamar mandi yang ia kunci dari dalam, lalu menempelkan kupingnya, berusaha mencari tahu apa saja yang terjadi di luar. Dan begitu suara pintu kamar terdengar membuka kemudian ditutup lagi, Binar melepaskan kunci. Ia mengintip keluar. Tidak ada Agra. Dan benar. Terdapat baju dan pakaian dalam di ujung ranjang.

Binar bernapas lega. Ia tidak harus menginap di kamar mandi malam ini. Kalau begini ceritanya, ia tak jadi bosan hidup. Rasa bersalah pada Agra bisa diatasi nanti.

Keluar dari tempat persembunyian, tubuhnya kembali kaku saat dari ujung mata ia mendapati Agra bersandar di depan lemari pakaian, titik buta dari arah pintu kamar mandi.

Lelaki itu tidak ke mana-mana. Binar mengutuki diri sendiri saat menyadari, bunyi pintu dibuka dan ditutup tadi bukan berasal dari pintu kamar, melainkan ... lemari.

“L-l-lo?”

“Kamu hanya tinggal membuka lemari pakaian paling kanan untuk baju ganti. Dan laci tempat pakaian dalam. Kamu pikir para orang tua menikahkan kita tanpa persiapan apa pun?” tanyanya retoris seraya menjauhkan punggung dari lemari dan mulai melangkah ke arah kamar mandi, melewati Binar dan nyaris menyenggol bahu kecil gadis itu. Lantas membanting pintunya keras-keras.

Andai bunuh diri masih mendapat kesempatan surga, barangkali Binar sudah melompat dari balkon saat ini.

Ia benar-benar tidak bisa membangun atau bahkan mempertahankan harga diri di depan Agra.

♡♡♡
BAB 9
♡♡♡

Sepertinya Binar memang tidak akan bisa menghentikan ini. Makan malam keluarga. Ia sempat menolak saat Agra mengajak, kandati perutnya keroncongan saat itu. Karena sungguh, Binar belum siap berkunjung sebagai menantu.  Terlebih datang tanpa salam, ujug-ujug sudah ada di rumah. Binar pasti akan dianggap tak tahu sopan santun.

Ck, siap yang akan kenal sopan santun bila berada di posisinya?

Sayang, Agra tak kenal kata tidak. Alih-alih mengalah, putra bungsu Bambang itu justru mengancamnya. "Mau turun dengan suka rela, atau saya gendong, Binar?"

Katakan, pilihan apa yang si malang Binar miliki? Jadi, mau tak mau, ia tetap harus turun dan memasang senyum lima jari hingga bibirnya terasa kaku.

Dan ... di sinilah kini ia berada. Duduk di antara anggota keluarga Agra. Satu-satunya manusia yang merasa canggung dan tak nyaman. Atau mungkin tidak.

“Andai Mama tahu kalian nginep malem ini, pasti Mama masakin menu spesial kesukaan Binar.”

Ratri, ibu Agra, yang masih cantik di usianya yang sudah menyentuh kepala lima itu menatap Binar yang duduk di seberangnya dengan wajah ... bagaimana Binar bisa menggambarkan? Takjub? Terharu? Ck, dua kata tersebut sepertinya terlalu berlebihan. Tapi berlebihan memang selalu sesuai dengan keluarga ini.

Sebagai tanggapan, Binar hanya tersenyum kecil. Ia meraih gelas tinggi di samping piring makannya yang penuh. Sangat penuh. Jangan tanya siapa yang mengisi piringnya. Agra, tentu saja. Dia bahkan sempat mendapat teguran kecil dari sang ayah yang memang agak kolot. “Kenapa kamu yang ambilkan? Bukankah istri yang harus lakukan itu?” Memang dengan nada halus—mereka tidak akan berani bersikap kasar pada cucu kesayangan Hilman—tapi tetap saja, seolah terselip nada sindiran di dalamnya yang sempat membuat Binar gondok.

Arya, satu-satunya anggota favorit Binar di keluarga ini, seolah mengerti perasaan adik ipar barunya membela. “Binar masih baru dalam keluarga kita, Pa. Wajar dia canggung. Dan memang tanggung jawab Agra membantunya merasa nyaman.”

Inilah tipe lelaki idaman Binar sepanjang masa. Sayang tipe idaman memang seringnya tak bisa didapatkan. Ia pun melirik Agra yang sudah memenuhi piringnya dengan empat centong nasi—empat centong! Dia pasti berusaha membuat Binar mati kekenyangan—ditambah sepotong ayam goreng, sayur, udang, dan beberapa jenis lauk lainnya yang membuat Binar kekenyangan dengan hanya melihatnya saja.

Saat Agra hendak menambahkan daging, Binar buru-buru mencubit paha bawah lelaki itu yang terhalang meja agar tidak ada yang melihat. Agra praktis menoleh sambil mengernyit dan sedikit meringis, yang langsung mendapat pelototan dari sang istri yang seolah berkata, “Lo gila?!”

Namun bukan Agra namanya bila bersedia mengerti Binar. Alih-alih berhenti menambahkan lauk, si menyebalkan malah mengambil dua potong daging lagi sebelum meletakkan piring yang sudah persis miniatur gunung itu ke hadapan istrinya. “Selamat menikmati, cintaku,” katanya dengan nada lembut dan senyum ... yang sumpah mati membuat Binar merinding sekaligus ingin merobek mulut lebar itu. Sialnya, Binar berada di bawah tatapan keluarga buaya. Salah-salah, ia bisa kena terkam—dalam arti kiasan tentu saja. Mereka mana mau kehilangan tangkapan sebesar dirinya.

“T-tapi,” Binar meremas ujung bajunya di bawah meja, “aku nggak makan sebanyak ini, sa-yang!” ia sengaja merapatkan gigi di kata terakhir dengan memberi penekanan penuh di setiap silabel sambil melirik Agra tajam, yang dibalas lelaki itu dengan senyum separo.

Niat hati ingin meneriaki Agra sekencang mungkin di depan telinganya hingga gendang sang empunya robek. Tapi, bukan seperti itu konsep pernikahan mereka di depan keluarga.

Agra bisa kena marah orangtuanya bila mengasari Binar—oh, Bukan berarti Binar peduli, hanya saja sedikit kekacauan bisa jadi tak terkendali dan merembet ke mana-mana. Binar yang hanya ingin hidup tenang dan nyaman, tentu lebih memilih menghindari masalah sebisa mungkin. Meski masalah terbesar pun kesalahan seumur hidup berada di sebelah. Makhluk menyebalkan yang kini membalik piringnya sendiri dan mengisi dengan hanya dua centong nasi serta lauk secukupnya.

Sialan memang dia.

“Kamu harus makan banyak,” ujar seseorang yang ingin sekali Binar mutilasi. “Malam ini kamu butuh banyak tenaga, kan.”

Reta, istri Arya yang duduk di samping Binar tersedak seketika, membuat Binar mau tak mau menoleh padanya yang kini mendapat tepukan sayang di punggung dari sang suami, Arya. Saat tatapan mereka bertemu, Reta tersenyum kikuk setengah malu padanya sebelum menunduk dan menyenggol pelan lengan Arya.

Aneh, pikirnya tak paham. Karena bukan hanya Reta, seluruh anggota lain menjadi salah tingkah. Bahkan wajah Aira memerah.

“Agra, jaga bicara kamu.” Bambang, ayah mertuanya yang kolot, kembali menegur putra keduanya. Membikin menantu baru keluarga itu bertambah bingung.

Apa yang salah dengan menambah tenaga? Binar mengernyit kecil. Lebih dari itu, gadis tersebut bertanya dengan nada polos yang makin membuat suasana di ruang makan malam itu kian canggung. “Menambah tenaga untuk apa?”

Bambang berdeham keras sebagai bentuk peringatan, tapi Binar yang gagal paham tetap melanjutkan. “Kamu nggak ada niat bikin aku nggak tidur lagi kan?” sambil mendongak menatap Agra yang masih anteng memilih lauk tanpa merasa terganggu sedikit pun.

Bukan Reta, kini yang tersedak ganti ibu mertuanya. Arya berdeham canggung. Bambang mendesah panjang. Aira bahkan buru-buru menelan suapan terakhir dan menghabiskan sisa air minum, lantas pamit kembali ke kamar dengan sikap yang aneh. Gadis itu memang tak banyak makan, katanya sedang diet.

Respons yang aneh hanya untuk sebuah pertanyaan sederhana. Binar makin kebingungan.

Tidak. Tidak. Keluarga ini memang aneh.

Agra lebih aneh lagi. Alih-alih merasa tak nyaman seperti Binar, ia malah kembali duduk dan menyamankan posisi sambil menahan seringai pun ekspresi puas yang tak ditutup-tutupi. “Ya,” katanya dengan senyum lebih lebar, “aku mau bikin kamu nggak tidur lagi.”

Suasana meja makan seketika berubah hening, sejenak, hanya dua detik yang entah kenapa begitu panjang sebelum bunyi denting benturan sendok dan piring kembali terdengar. Pelan. Sangat pelan. Seolah mereka hati-hati menyendok setiap butir nasi sebelum menyuapkan ke mulut masing-masing dengan gerakan hampir bersamaan bagai adegan serempak yang sudah diperhitungkan dalam drama kawakan.

“Kita lihat saja nanti. Aku nggak mau ngalah lagi dari kamu.”

Masih serempak, sendok Bambang, Ratri, Arya dan Reta tertahan di udara, beberapa senti di depan mulut-mulut yang menganga. Setengah menunduk, mereka melirik Binar yang mulai makan dengan lahap, pun Agra yang masih mengunyah dengan tenang.

Binar sadar dirinya diperhatikan dengan cara yang tidak biasa, tapi pikirnya, mungkin karena ia anggota baru keluarga ini. Lagi pula, ia tidak melakukan kesalahan apa pun. Agra yang salah. Seharunya mereka memarahi Agra karena sudah membuat Binar tidak bisa nyenyak. Semalam, ia memang nyaris tidak tidur lantaran posisi berbaringnya yang terlalu dekat dengan lelaki yang kini mengunyah setiap suapan penuh kenikmatan.

Namun, tidak lagi malam ini! Binar akan memastikan dirinya lelap sampai pagi. Peduli setan dengan Agra yang akan bergelung di sampingnya. Kalau lelaki itu macam-macam, Binar bisa berteriak kencang-kencang atau menendang kemaluannya sekalian.

“Papa harap kamu bisa hati-hati, Agra,” ujar Bambang tanpa tadeng aling-aling sebelum menyuapkan sendok berisi penuh yang tadi sempat tertahan. Binar yang tak paham, mengangguk kuat-kuat. Ia juga berpikir Agra harus hati-hati padanya, karena Binar bisa bersikap kasar bila lelaki itu macam-macam.

“Papa tidak ingin punya cucu dari kamu sebelum waktunya,” lanjut lelaki paruh baya itu usai berhasil menelan kunyahan.

Nasi yang belum halus terkunyah oleh si menantu baru tertelan paksa begitu mendengar kalimat barusan. Sialnya, sebagian nyasar ke saluran napas hingga membuatnya tersedak hebat. Ia bahkan sampai terbatuk-batuk keras hingga terbungkuk-bungkuk. Rasa panas dan pedih mengalir di sepanjang tenggorokan hingga ke ujung dada. Spontan, Binar langsung menepuk-nepuk bagian di bawah tulang selangkanya, berharap penderitaan itu segera berakhir.

Tunggu. Tunggu. Tunggu!

C-cucu?

Cucu?!

Mata Binar melotot ngeri pada Agra yang mengelus punggungnya dengan gerakan serampangan begitu batuknya reda. Ia berusaha mencerna obrolan tadi dengan kapasitas otak kecilnya yang kini bahkan mungkin sudah mengkerut menjadi seukuran kacang polong.

Hati-hati? Cucu?

Kenapa mereka bisa sampai pada kesimpulan ngawur semacam itu? Padahal ... roda bergerigi dalam kepala Binar berderit pelan saat putaran mesin khayalan di salam sana melambat. Tadi Agra bilang, Binar harus makan banyak untuk menambah tenaga. Agra berniat membuatnya tak bisa bisa tidur lagi—yang Binar tahu maksudnya adalah seperti tadi malam.

Oh.

Satu pemahaman mulai terbit.

Ooh.

Kepala Binar mendadak kembali pening. Ia meraih gelas minumnya di meja yang isinya tinggal separuh lalu menandaskan dalam beberapa kali teguk.

Melirik Agra dengan tatapan menegur, Binar kembali dapati seringai menyebalkan itu, yang membuatnya seketika tersadar. Agra sengaja ingin membuat ia tak punya muka di depan keluarganya. Sialan!

Ingin sekali Binar mengeluarkan anjing dari mulutnya untuk memcakar dada Agra dan memakan jantung lelaki itu!

Binar malu sekaliiii ...!

“Kalian juga tidak bisa membicarakan urusan pribadi depan orang lain. Tidak sopan!” lanjut ayah mertuanya yang membuat Binar sangat ingin menghilang.

Ck. Andai ia tercipta sebagai pohon, pasti akan lebih baik dari pada menjadi seorang Binar. Menantu yang di hari pertama di rumah mertuanya sudah dianggap binal.

Lantas, bagaimana bisa Binar melanjutkan acar makan malam dengan tenang? Pamit pergi pun tidak terasa benar.

Argh!

***

“Lo nggak tidur berapa hari? Item bener tuh bawah mata sampai gue kira lo kena tonjok tadi.”

Binar berkedip pelan tanpa semangat hidup. Jangan tanya, semalam ia memang kembali tak bisa tidur. Wajar kalau kini mata panda yang mati-matian ia hindari muncul lagi. Bahkan eye cream dan concealer tak bisa  menutupinya dengan sempurna.

Sadar akan kedatangan Prisil yang kini duduk di sebelahnya, Binar mendesah. Ia menyandarkan tubuh pada bangku panjang di bawah pohon beringin samping parkiran yang seringkali dijadikan tempat tongkrongan, tapi karena masih cukup pagi, tempat itu agak sepi. Binar memang butuh sendiri sejenak untuk menyingkirkan niat kotor dari benaknya yang sejak semalam entah kenapa hanya memikirkan cara mengebiri Agra. Dia bahkan tidak ikut sarapan dan pergi diam-diam dari rumah Bambang menggunakan taksi daring yang dipesannya usai subuh.

“Lo maraton berapa episode emang sampe bisa begini?”

Tak ada. Binar menggeleng pelan, masih dengan bibir terkatup rapat bagai dilemi perekat paling ampuh. Sejak menikah nyaris sepuluh hari lalu, Binar tak bisa menikmati drama, film, komik atau novel apa pun, padahal ia sudah memperpanjang langganan di beberapa aplikasi menonton dan membaca yang biasanya menjadi hobi nomor wahid sebagai penghilang galau.

“Lah, terus itu mata kenapa? Lo kan kalau nggak maraton, ya ngebo.”

Untuk pertama kalinya pagi itu, Binar menoleh. Tatapan matanya sayu, tanpa binar, bagai pasien rumah sakit yang sudah divonis mati minggu depan. Tampak begitu putus asa, membuat Prisil setengah ngeri menatapnya. ”Dua hari ini gue nggak bisa tidur,” adunya sambil mencebik.

Prisil yang semula juga bersandar pada punggung kursi panjang yang dicat kuning itu, menarik diri. Ia menyerongkan posisi tubuhnya menghadap Binar yang masih menatap lurus ke depan dengan tatapan kosong. Salah satu daun beringin kering yang jatuh melayang-layang di udara sebelum menyentuh bumi, hanya membuat keadaan Binar menjadi lebih menyedihkan.

“Kenapa? Lo lagi ada masalah? Bokap sama nyokap lo berantem? Atau kakek lo bikin ulah?”

Bibir Binar makin mencebik. “Ada penunggu di kamar gue.”

Prisila tidak tahu ini hanya khayalannya atau bukan. Yang pasti, ia seperti mendengar burung gagak mengaok di kejauhan. Berkedip dua kali, ia mendengus seraya melipat tangan di depan dada. Prisil pikir, Binar pasti mulai sinting.

“Gue denger, setiap tempat emang ada penunggunya. Lagian, lo bukan anak indigo yang bisa liat hantu. Mau ada sepuluh pocong juga di kamar lo juga lo nggak bakal sadar saking asiknya sama hape.”

Dengan gerak pelan nyaris menyeramkan, pun kelopak mata setengah terbuka, Binar menghadapkan tubuh pada sang lawan bicara. “Dia ganggu gue, Pris,” dengan nada setengah berbisik. Ekspresi ngeri tergambar dari ekspresi wajahnya yang agak pucat.

“Lo ...” Prsila mulai sangsi. Ia tersenyum lebar tanpa humor dan melanjutkan kata dari sela-sela bibirnya, “Lo bercanda kan?”

“Apa wajah ini keliatan lagi bercanda?” Binar menunjuk wajahnya sendiri dengan jari telunjuk yang diacungkan tepat di depan hidung.

Prisil meraba tengkuk yang mulai meremang. Demi apa pun, ini masih pagi. Teralu pagi. Embun bahkan masih betah bertengger di dedaunan. Hanya ada satu dua kendaraan di parkiran, yang Prisil duga sebagai pemilik petugas penjaga atau kebersihan. Prisil bukan manusia kurang kerjaan yang mau berangkat—awal tanpa alasan, terlebih mereka tidak punya jadwal kelas pagi hari ini. Prisil datang karena mandapat chat dari sahabatnya subuh tadi yang mengatakan sedang ingin sendiri tapi juga minta ditemani.

Lebih dari itu, kini mereka berada di bawah pohon beringin besar. Dengar-dengar, pohon beringin tempat tinggal genderuwo dan sebangsanya. Di tempat seperti itu, membicarakan hantu meski matahari hampir terbit, tetap saja menyeramkan. Tanpa sadar, Prisil menggeser tubuhnya mendekat pada Binar hanya untuk menjauh lagi kemudian saat menyadari sesuatu.

Gadis ini benar Binar, kan?

“Lo ... lo—”

Binar mengangguk-angguk dengan gerakan patah-patah. “Setan nggak cuma muncul malam hari aja kok, Pris. Siang juga. Meski kalau malem bisa lebih gila. Tapi tenang aja, gue masih manusia,” ujarnya seolah tahu isi benak sahabatnya yang menatap Binar justru kian ngeri. Buru-buru Prisil merogoh ponsel dari saku kemeja kebesaran yang dikenakannya dan mengirim pesan pada Noni. Beruntung subuh tadi ia meneruskan chat Binar padanya.

Belum juga pesan terkirim, suara lembut gadis itu muncul dari balik punggung mereka, sukses membuat Prisil kaget sampai menjatuhkan ponsel yang dipegangnya.

“Halo, Gengs! Tumben kalian rajin?”

“Sialan lo!” umpat Prisil yang malang sebelum membungkuk memungut ponselnya yang kini tegeletak di bawah bangku.

Tanpa merasa bersalah, Noni tersenyum. Ia melompat dan mengambil tempat duduk di tengah-tengah. Mengisi jarak kosong antara Prisil dan Binar. “Halo, Bin!” sapanya ceria, seolah tak terjadi apa pun kemarin pada mereka.

Noni memang seperti itu. Dia mudah tersinggung. Mudah marah. Seringkali ngambek tanpa alasan, lalu kembali bersikap baik-baik saja seperti biasa. Menyebalkan memang memiliki teman semacam Noni, tapi dia juga baik dan perhatian di lain sisi. Pun sangat tulus. Ah, satu lagi. Pintar!

Binar, alih-alih menjawab, ia justru bangkit berdiri dan melangkah pergi. Meninggalkan Noni yang mengelus ujung ponselnya yang sedikit baret, juga Noni yang seketika merasa bersalah.

"Kayaknya Binar masih marah sama gue," desahnya.

Prisil mengangkat kepala sembari memasukkan ponselnya kembali ke saku lantas bangkit berdiri. "Dia pundung bukan gara-gara lo, kok."

"Karena lo?"

Yang ditanya menggeleng sambil memasang senyum setengah prihatin. "Dia lagi stress karena diganggu setan."

♡♡♡

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Dara - BAB 10
77
7
“Omong kosong!” Zulfan mendengus kasar. “Kamu memilih tinggal dan tidak lari, berarti kamu siap dengan segala risiko atas keputusan yang sudah kamu ambil.”“Tentu saja!” jawab Dara dengan percaya diri. Ia melipat tangan di depan dada dan menaikkan dagu dengan angkuh. “Perang apa yang mau Mas Zul mainkan? Kalau Dara boleh kasih saran, lebih baik perang yang yang akan membuat kita sama-sama senang.”Zulfan mendelik. “Jangan terlalu banyak berharap. Saya hanya sudi menyentuh wanita yang saya mau saja.”“Yakin?” Dara berdeham. Ia berlagak membesihkan bahu dari debu tak kasat mata seraya membusungkan dada dengan gesture menggoda yang justru membuat Zulfan kian gondok dibuatnya.“Sayang sekali.” Zulfan berdesis sinis. “Bukan hanya itu yang saya cari dari seorang istri.”“Tapi banyak para suami yang berpaling karena mencari ini. Karena saya punya, kenapa tidak dimanfaatkan dengan baik saja?”Berapa kali Zulfan harus mengumpat sial pada gadis ini? Gadis yang mendadak tidak dikenalnya. Yang seolah tiba-tiba muncul dari dasar bumi, kemudian memporak-porandakan hidupnya *** Wkwkwk … kalau di dunia nyata, sosok kayak Dara ini emang pantes dibenci sih. Jangan ditiru, ya. Inget, ini cuma fiksi, Cah ….
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan