
BAB 1
♡♡♡
Salah satu hal paling membosankan di dunia ini menurut Binar adalah ... terjebak dalam kelas matematika bisnis dengan berbagai rumus yang tidak ia pahami serta dosen tampan yang menjelaskan setengah menggumam. Ah, ini lebih terasa seperti nyanyian pengantar tidur. Terlebih gerimis di luar sana membuat udara lebih sejuk dari biasanya, kendati pendingin ruangan kelas mereka sudah disetel dengan suhu agak tinggi.
Menguap, Binar mengucek mata beberapa kali untuk menghilangkan kantuk. Ia sengaja membawa balsam khusus untuk menghadapi kelas ini saja. Tapi bahkan sampai ujung alisnya terasa terbakar, kantuk belum juga mau hilang.
Melirik ke samping, ia dapati temannya, Prisila yang tampak fokus mendengarkan hingga nyaris tak berkedip. Membuat Binar penasaran. Ia pun bertanya setengah berbisik, “Lo paham nggak sih sama penjelasan Pak Teja?”
“Nggak,” jawab Prisila dengan polosnya.
“Terus dari tadi lo dengerin penjelasan sambil sesekali baca buku itu maksudnya apa?”
Prisila mengubah posisi bukunya menjadi berdiri sebelum menunduk lebih rendah. “Gue denger dari kakak tingkat, kita kudu hati-hati sama beliau. Meski ganteng abis dan keliatan kalem, semester lalu yang lulus dari kelasnya cuma sepuluh mahasiswa doang. Itu pun C min,” jelasnya seraya kembali duduk tegak dan mengembalikan fokus ke depan. Pada papan tulis yang sudah dipenuhi oleh oretan angka-angka.
Mengangkat buku seperti yang tadi Prisila lakukan, Binar kembali bertanya, “Lo serius?” dengan nada ngeri. Karena bila Prisila benar, maka dirinya paling terancam. Sebab sejak sepuluh menit kelas dimulai, Binar sudah mulai menguap dan Pak Teja memang beberapa kali meliriknya.
Argh! Kenapa harus kelas matematika bisnis yang dosennya seperti ini? Binar sudah cukup tertekan masuk jurusan yang tak disenangi, Ekonomi dan Bisnis, tolong jangan ditambah dengan ini!
“Lo bisa tanya kakak tingkat yang pernah ikut kelas beliau kalau nggak percaya.”
Bolehkah Binar pindah jurusan? Bolehkah?
Tentu saja tidak! Dia bisa dikeluarkan dari daftar keluarga kalau melakukan itu. Kakeknya yang kejam sudah menentukan setiap alur kehidupan Binar dengan begitu sempurna. Sangat sempurna. Selama ini ia tidak pernah mengeluh. Tapi ekonomi dan bisnis sama sekali bukan bidangnya! Binar suka sastra. Lebih suka lagi kalau ia tak harus melanjutkan kuliah. Lulusan SMA tidak buruk. Toh, ia tak harus mencari kerja. Harta keluarganya sudah banyak. Cukup hingga tujuh keturunan setelahnya bila digunakan dengan bijak. Sayang sekali Kakek tak berpikir demikian. Alih-alih menghabiskan tujuh turunan, beliau lebih suka harta keluarga mereka tiada habis sampai turun-temurun, malah kalau bisa kian bertambah.
Mengerang pelan, kantuk Binar mendadak lenyap mendengar jawaban Prisila. Demi mendapat nilai memadai agar bisa lulus kelas ini hanya agar tidak terjebak lagi dalam suana menyebalkan, ia membuka halaman seperti milik Prisila, lantas berusaha fokus mendengar penjelasan Pak Teja yang bagai alunan Nina Bobo di telinganya. Masuk kuping kanan keluar kuping kiri.
Menegapkan tubuh, Binar mulai memperhatikan papan tulis. X kuadrat. Y pangkat min satu. Ugh. Binar paling benci disuruh mencari nilai X,Y, atau N. Ia lebih suka diminta membuat esai atau makalah, atau riviu. Atau apa pun yang tidak ada hubungan dengan angka—kecuali uang.
Mendesah, ia menunduk kembali ke arah buku hanya untuk mencari kecocokan antara penjelasan Pak Teja dan teori, walau ini sebenarnya hanya akting agar ia terlihat sedang meperhatikan mata kuliah. Matanya yang mulai pedih lantaran pemakaian balsam, ia kedip-kedipkan beberapa kali. Ah, pasti merah.
“Hey, kamu!”
Binar terperanjat saat suara lemah lembut Pak Teja berubah lantang seketika. Mendongak dari rangkaian kalimat buku dengan bahasan rumit itu, Binar menelan udah kelat mendapati ujung spidol Pak Teja terarah lurus pada ... nya!
Bukan, bukan hanya ujung spidol Pak Teja, tapi nyaris semua pasang mata di kelas menoleh pada Binar sekarang.
Uh, oh. Ini bencana!
“Y-ya, Pak?”
“Kerjakan contoh soal di papan. Saya yakin ini bisa menghilangkan kantuk kamu.”
“Y-ya?” Binar ternganga. Ini lebih buruk dari ancaman tidak diluluskan. Menoleh ke samping, ia dapati tatapan iba Prisila yang seolah berkata, udah gue bilang, kan?
Ugh, sepertinya ia memang tidak berbakat akting. Atau mungkin ini gara-gara matanya yang memerah?
Binar meringis. Ia menggigit bibir sembari menaikkan kacamata bacanya lebih tinggi sebelum berdiri, membawa serta buku paket ke depan. Spidol hitam yang diserahkan Pak Teja padanya terasa seperti ujung pedang yang takut-takut ia terima.
Memerhatikan soal di papan, Binar cocokkan dengan contoh di buku, hanya untuk merasa kepalanya berputar-putar. Ah, ini saat yang tepat untuk pingsan. Sayangnya, hilang kesadaran tidak semudah di sinetron. Jadilah cobaan ini harus dengan tabah ia hadapi.
Lalu sepuluh menit kemudian, Binar masih di sana. Mengukir setiap angka dengan seksama hanya untuk dihapus lagi kemudian. Terus begitu hingga ia merasa kakinya agak gemetar dan luar biasa malu. Dalam hati berdoa, ingin waktu berputar lebih cepat agar penyiksaan ini berakhir. Tapi doa buruk sepertinya memang tidak akan pernah terkabul.
Ini Binar. Si cantik yang kadang menyebalkan lantaran sering membuat yang lain kesal. Si angkuh yang merupakan pewaris tunggal bisnis keluarganya, tidak berkutik di depan kelas? Memalukan!
“Bagaimana, Mbak? Bisa?” tanya Pak Teja dengan nada bosan, seolah membuat Binar berdiri di sana masih belum cukup membuatnya tak lagi punya muka.
Di novel, film, dan FTV, dosen muda, tampan dan pintar digambarkan sebagai karakter favorit yang diidamkan nyaris seluruh mahasiswa. Tapi jangan harap hal tersebut terjadi di dunia nyata. Binar lebih memilih diajar dosen paruh baya dengan wajah menyeramkan asal tidak punya hobi memberi nilai C min ke bawah. Wajah tampan Pak Teja sama sekali tak bisa dijadikan pandangan indah untuk cuci mata. Karena setiap kali memandangnya, Binar jadi khawatir dengan nilai IPK.
“I-ini agak susah—”
“Padahal tinggal menurunkan rumus saja loh, Mbak," jelas Pak Teja yang Binar rutuki dalam hati.
Apanya yang tinggal menurunkan rumus saat contoh soal di buku dan soal yang harus dikerjakan jauh berbeda? Pak Teja pasti bercanda!
"Mbak ini tidak bisa mengerjakan sepertinya. Ada yang bisa bantu?”
Binar, masih menghadap papan, cemberut. Ia ketuk-ketukkan ujung kaki kirinya ke lantai pelan sebagai usaha penghilang gugup. Yang lagi-lagi tak berhasil.
"Ah, ya, Mas. Silakan maju ke depan."
Selang beberapa detik setelahnya, telapak tangan yang jauh lebih besar dari milik Binar terulur di depan gadis itu. Telapak tangan penyelamat! Desahnya dalam hati seraya mendongak dengan senyum semringah yang kemudian hilang secepat datangnya.
"Spidol!" seru suara berat yang sudah Binar hapal mati, bahkan tanpa harus melihat. Sialnya, tatapan mereka sudah terlanjur bertemu. Lelaki itu memutus pandangan mereka lebih dulu. Tentu saja.
Dia bukan penyelamat. Lebih tepatnya, petaka lain. Menipiskan bibir, Binar serahkan spidol dalam genggamannya pada Agra. Mahasiswa yang tentu mengajukan diri untuk mengerjakan soal menggantikan dirinya.
Maka tanpa dipersilakan oleh Pak Teja, Binar kembali ke tempat duduk. Di pojok belakang. Tempat yang ia kira paling aman untuk bersembunyi dan memerhatikan pemuda jangkung di depan sana yang mengerjakan soal dengan begitu mudah. Tak sampai lima menit, ia sudah kembali duduk dengan sederet pujian yang kemudian Pak Teja berikan.
"Ada nggak sih mata kuliah yang nggak Agra kuasai?" tanya Noni retoris sambil mendesah sambil menatap punggung lebar Agra penuh damba. "Udah ganteng, pinter lagi. Denger-denger katanya dia anak orang kaya juga kan? Nggak heran mobilnya ganti-ganti. Sayang cowok semacam dia nggak bakal ngelirik kita, Pris," desahnya dramatis sambil membeluk erat lengan Prisila.
"Binar yang cakep dan sama kaya juga nggak dilirik sama Agra, apa lagi lo!" risih, Prisila tarik lengannya dari rengkuhan Noni tepat saat Pak Teja mengakhiri jam kuliahnya. Sesuatu yang berhasil membuat Binar kemudian bisa menarik napas lega. Setelah ini, mereka masih ada kelas ekomoni.
Ah ... kapan hari ini akan berakhir? Atau tepatnya, kapan dua tahun sisa penyiksaan ini akan berakhir?
Bangkit dari kursi, Binar seret tasnya tanpa semangat. Mengabaikan Noni dan Prisila yang masih memperdebatkan Agra.
Agra yang begini, Agra yang begitu. Binar sama sekali tak tertarik menimbrungi mereka. Sama tidak tertariknya ia pada pemuda itu. Pemuda jangkung berjaket denim yang berada lima langkah di depannya, berjalan bersisian dengan satu mahasiswa lain dan dua mahasiswi yang juga dari kelas mereka. Agra, Bagas, Nara dan Emili. Mereka berempat nyaris selalu bersama sejak memasuki kampus ini. Sama seperti Binar, Prisila dan Noni yang sudah bagai tiga serangkai.
Pun sudah jadi rahasia umum kalau Agra menyukai Nara. Keduanya bahkan sudah berteman semenjak SMA.
Ah, lupakan Agra. Binar lapar. Waktu istirahat tak sampai satu jam ini harus bisa ia manfaatkan sebaik mungkin sebelum kembali menyiapkan mental menghadapi kelas ekonomi, walau dosennya tidak sekejam Pak Teja, tetap saja Binar tak suka.
"Ke mana kita abis ini?" tanya Prisila sambil memasangkan tas ke punggung Binar yang semula ditenteng oleh sang empunya.
"Makan!" jawab Noni dan Binar serentak. "Matematika bikin gue laper. Otak gue juga ikut kusut. Gue beneran salah jurusan," tambah binar kemudian.
"Tenang aja, Bin. Bukan cuma lo kok. Gue juga!" Prisila, yang paham betul perasaan sahabatnya, merangkul Binar dengan ekspresi pura-pura simpati.
Di antara mereka, hanya Noni yang lumayan berotak, atau paling berotak. Yang juga sering Prisil dan Binar andalkan saat ada tugas. Noni, yang masuk kuliah dengan jalur beasiswa memang tidak seperti dua sahabatnya yang bisa lulus tes masuk universitas karena faktor keberuntungan.
"Ck, ck," Bagas, yang berjalan sejajar Agra beberapa langkah di depan mereka pun berbalik, barangkali geli mendengar pernyataan Prisil. "Kalian bego, tapi masih bisa bangga, ya. Gue salut!" tukasnya, berhasil membuat langkah Binar dan teman-temannya terhenti sejenak di lorong kelas, sebelum bergerak lebih cepat agar bisa sejajar dengan ... apa sebutan empat sekawan itu? Grup mahasiswa cerdas dan sombong?
"Lo lupa satu hal, Gas." Binar, dengan gaya angkuhnya yang biasa, mengibas ujung pashmina abu-abunya yang terjuntai ke belakang hingga tak sengaja mengenai ujung hidung sang lawan bicara. Ah, dia memang sengaja. "Yang nggak kalah penting dari kecerdasan adalah koneksi yang bagus. Dan Prisila punya itu," imbuhnya seraya menyeringai usil. Ia memberi penekanan dalam pada kata 'koneksi yang bagus' untuk memperjelas maksudnya.
"Kami juga punya koneksi yang bagus." Emili menimpali, ikut berbalik dan bersedekap menghadap Binar. "Lagian kaya turunan aja bangga!"
Binar mengangkat bahu tak acuh. Suasana hatinya sedang buruk, dan makin tak keruan lantaran kumpulan mahasiswa sok pintar ini. Membikin perut Binar tambah keroncongan. Dan saat lapar, ia bisa bersikap lebih menyebalkan lagi.
"Siapa yang nggak bangga lahir dari keluarga kaya? Dari bayi udah dapat perlakuan istimewa—"
"Bin, udah!" Noni yang mulai tak nyaman lantaran beberapa mahasiswa Pak Teja di kelas selanjutnya mulai memperhatikan mereka, berusaha menghentikan Binar dengan menarik lengannya. Tapi bukan Binar namanya kalau menurut begitu saja. "Lagian gue nggak perlu jadi pinter buat sukses. Keluarga gue bisa kasih itu."
"Jangan sombong, Binar, kekayaan bisa hilang dalam sekejap," Bagas yang tampak jelas mulai dongkol, mendesis. "Sedang otak yang pintar—"
"Juga bisa hilang dalam sekejap akibat kecelakaan," tandas Binar sambil mendengus, lantas menyeret kedua temannya menjauh, menyusuri anak-anak tangga menuju lantai bawah. Meninggal Bagas dan teman-temannya.
Nara, si baik hati yang tak suka keeibutan, menegur pelan, "Kamu apa-apaan sih, Gas. Udah tahu Binar orangnya gitu."
"Gue kesel aja. Bego kok bangga. Cuma karena dia terlahir kaya, bukan berarti segalanya, kan?"
Agra memilih tak berkomentar. Ia hanya memasukkan tangan-tangannya ke dalam saku celana dan memberi isyarat untuk meneruskan langkah. Mereka masih harus ke perpustakaan untuk mencari bahan makalah tugas kelompok besok lusa.
"Nyatanya, lahir kaya emang berarti banyak hal." Emili mendesah kesal. "Wajar kalau dia sombong. Apalagi dia juga cantik, tapi tetep aja tingkahnya bikin dongkol."
"Cantik sih cantik. Percuma juga kalau tingkahnya begitu. Mana ada orang yang bakal tahan sama dia. Gue kasihan aja sama siapa pun yang nanti jadi suaminya!"
Emili mendengus. "Ngapain kasihan sama calon suaminya? Gue yakin, laki-laki yang bakal jadi suami Binar menikahinya karena urusan bisnis. Bukan cinta," komentarnya, tanpa sadar membuat punggung salah satu kawannya menegang.
Sementara Bagas dan Emili menggosipkan Binar, Nara yang tak tertarik menimbrungi, mengajak Agra melanjutkan langkah yang sempat terhenti, sesekali mengobrol tentang materi yang tidak mereka mengerti di kelas sebelumnya.
Namun, mau tak mau Agra harus acuh saat dengan tiba-tiba Bagas menarik ujung kerah jaket denimnya dan bertanya, "Sejak kapan lo mau pake kalung, Gra?"
Dan tingkah aneh Agra kemudian yang langsung memperbaiki kerah kaus dan jaketnya, menarik perhatian yang lain. Agra tidak suka memakai aksesoris, sekali pun akhirnya mengenakan kalung, tingkah defensifnya sedikit mencurigakan. Seperti maling yang tertangkap basah sedang mencuri.
"Cuma iseng," jawabnya singkat, lantas kembali melangkah lebih cepat menuruni anak-anak tangga, meninggalkan teman-temannya yang saling pandang.
"Agra agak aneh nggak sih?" Emili bertanya setengah bergumam, yang Bagas jawab dengan anggukan.
"Mungkin dia cuma nggak nyaman aja. Lagian apa anehnya pakai kalung?" Nara yang selalu menjadi penengah dan mendinginkan suasana, berusaha menjawab keheranan dua sahabatnya sebelum menarik lengan Emili, lantas menyusul Agra yang sudah berada di depan.
♡♡♡
BAB 2
♡♡♡
Ini hari yang buruk. Setidaknya bagi Binar. Dipermalukan di depan kelas matematika mungkin memang hanya awal. Lalu harus menghadapi Bagas yang menyebalkan, sepertinya bukan akhir. Karena kini ada lagi. Satu kejadian tambahan menyebalkan terjadi tepat di bawah kolong langit yang sedang marah. Guntur terdengar dari kejauhan. Awan-awan gelap bergelantungan.
Hujan memang sedang tidak menentu di Ibu Kota. Perkiraan cuaca mengatakan akan terjadi hujan besar sore ini. Kalau dilihat dari gemuruh langit yang menggelegar, sepertinya memang benar. Dan Binar terjebak di sana. Di pinggir jalan. Sendiri.
Baiklah. Ia hanya harus tenang.
Menarik napas panjang, Binar menyesal kemudian. Alih-alih udara, yang masuk ke paru-parunya adalah polusi, membuatnya terbatuk-batuk pelan.
Kenapa tak ada hal baik terjadi hari ini? Ugh!
Menendang ban mobilnya yang tampak menyedihkan, Binar membuka pintu kemudi dan meraih ponsel yang tergeletak tak bernyawa di dasbor.
Benar, ponsel itu tak berdaya. Baterainya habis beberapa jam lalu bahkan sebelum kuliah usai. Pun Binar lupa membawa pengisi daya. Jadilah ia hanya bisa merutuki diri.
Apa yang bisa Binar lakukan di pinggir jalan tol seorang diri? Ia tidak mungkin nekat jalan kaki dan meninggalkan mobilnya di sini? Terlebih, kediamannya masih jauh.
“Ayo dong. Hidup!” Binar menekan tombol power lama sabil memukul ponsel malang itu dengan kepalan tangannya. Tapi tak terjadi apa pun. Layar ponselnya masih gelap, segelap suasana hati Binar saat ini.
Melempar ponsel tak berguna itu kasar ke kursi kemudi, Binar tutup pintu mobil nyaris membanting. Dalam hati berdoa, berharap ada satu saja seseorang lewat dan menghampirinya. Binar akan bisa meminjam ponsel untuk menghubungi bengkel, sekalian minta tumpangan.
Siapa pun orang yang sudi melakukan itu untuknya, Binar berjanji dalam hati, ia akan membalas dengan kebaikan yang lebih lebih lebih besar lagi. Tolong datanglah orang baik, mohonnya sambil menatap langit waswas. Terlebih saat satu tetes besar menabrak ujung hidungnya. Binar nyaris kehilangan harapan.
Sepertinya dia memang harus menghabiskan sore di sini, menangis bersama semesta. Setidaknya sampai ada yang melaporkan mobilnya yang terparkir sembarangan di pinggir jalan.
Menggerutu panjang pendek, Binar membuka pintu mobil bagian belakang, berpikir dia bisa menghabiskan waktu dengan tidur selama menunggu ada yang mengetuk kaca mobil dan membangunkannya, tepat saat kendaraan lain berhenti di belakang kereta besi berwarna kuning yang sudah ia kendarai sejak tahun lalu itu.
Binar menoleh, nyaris tersenyum lantaran malaikat penolongnya datang. Namun sekali lagi, senyum itu lenyap secepat datangnya saat ia mengenali mobil tersebut.
Jangan tanya siapa yang datang. Suasana hati binar sampai pada titik terburuk. Ia bahkan berpikir lebih baik terjebak di sini sampai besok pagi kalau perlu ketimbang harus menumpang pada orang itu.
Manusia yang namanya tak ingin Binar sebut.
Dari kaca depan yang transparan, Binar bisa melihat ekspresi wajah datarnya dengan begitu jelas. Aura yang terpancar darinya sewarna dengan mobil yang dikendarai. Hitam. Gelap. Dia bahkan hanya melirik Binar enggan sekilas sebelum menurunkan bahunya seolah lelah sambil menempelkan ponsel ke telinga. Seakan Binar merupakan beban yang seberat itu.
Namun sepertinya pemilik nama yang tak ingin Binar sebut memang tidak berniat menawarkan bantuan atau tumpangan. Tak apa, batin Binar setengah dongkol. Ia juga tak butuh bantuan. Cepat atau lambat akan ada yang menemukannya.
Entah kapan, karena air mata langit jatuh lagi. Satu tetes. Dua tetes. Tiga tetes. Dan tetes-tetes yang tak terhitung datang menyerbu. Tak ingin kebasahan, Binar masuk mobil dan duduk di kursi belakang dengan perasaan dongkol.
Apa yang ia harapkan dari Agra? Tidak dicerca sudah untung. Bibir lelaki itu jarang terbuka, tapi sekali bersuara, perkataannya bisa lebih tajam dari silet. Dan memikirkan seumur hidup harus dihabiskan dengan dia ... Binar pasti sinting telah menyetujui perjodohan ini.
Tetapi, apa yang bisa dilakukannya? Dulu Binar masih berseragam putih biru kala mendapat penawaran. Dia mengangguk antusias saat Kakek mengatakan jika Binar bersedia menikah dengan Agra Mahandika, maka dirinya bisa memilih jalan hidup yang diinginkan tanpa harus terbebani dengan urusan bisnis keluarga mereka di masa depan.
Binar merupakan cucu tunggal Kakek. Ibunya tidak bisa melahirkan lagi lantaran pernah mengalami kecelakaan saat mengandung adik Binar hingga rahimnya harus diangkat. Sedang Binar tak bisa diharapkan sebagai penerus dengan hanya bermodal IQ 105 serta pemalas akut. Terlebih, ia benci segala sesuatu yang berhubungan dengan angka.
Binar hanya ingin hidup tenang. Berbelanja sesekali. Menonton drama dan membaca novel roman sering-sering.
Agra saat itu terlihat seperti tiket surga menuju kehidupan nyaman yang ia inginkan. Terlebih, kata kakek, Agra juga pintar dan pandai membawa diri. Baik pula. Tapi Binar tidak melihat itu, yang tampak di matanya hanya ... Agra tampan dan jangkung. Tidak buruk menjadi istrinya kelak. Terlebih, Agra punya dua hal yang tak Binar miliki. Tubuh tinggi dan isi otak. Maka tanpa harus berpikir lagi, Binar mengangguk.
Hanya saja, setelah pertemuan pertama mereka, sikap dingin Agra membuatnya menyadari satu hal. Lelaki tidak menginginkan perjodohan ini. Sedang sudah terlambat untuk menarik keputusan. Kedua keluarga telah sepakat.
Keduanya baru berusia 15 tahun saat orang tua mereka menyatakan Agra dan Binar saling bertunangan.
Menutup pintu mobil kasar, Binar menjatuhkan diri pada jok penumpang. Ia mendongak, menatap pada langit-langit mobil yang begitu dekat. Mengingat masa lalu hanya selalu membuatnya merasa menyesal. Bukan atas keputusan yang sudah ia buat, melainkan untuk Agra yang harus terjebak. Tak hanya menikahi Binar, di masa depan lelaki itu masih harus memikul tanggung jawab perusahaan yang seharusnya menjadi beban Binar.
Agra hanya tidak berdaya di hadapan orangtuanya yang ambisius. Terlebih begitu tahu bahwa pemuda itu tertarik pada gadis lain, rasa bersalah Binar membengkak kian besar. Salah satu alasan ia tak pernah kuasa menatap mata Agra. Bukan salahnya bila kemudian ia mengabaikan Binar. Binar bisa mengerti.
Menarik napas panjang, gadis itu menutup mata sambil merapatkan sweater tebal yang dikenakannya untuk menghalau dingin. Tanpa harus menoleh ke belakang, ia tahu suaminya masih di sana. Di balik kemudi. Barangkali dia sudah menelepon bengkel atau siapa pun yang bisa menjemput Binar pulang, dan menunggu sampai siapa pun itu datang. Hanya sebagai bentuk tanggung jawab. Atasnya. Wanita yang tidak dia inginkan.
Menguap kecil, Binar tak sadar kapan dirinya jatuh tertidur. Yang ia tahu hanya, entah sudah berapa waktu berlalu, seseorang mengetuk pintu mobilnya, membuat ia terbangun. Binar membuka pintu seraya mengucek mata yang masih terasa berat saat mendapati sopir Mama menatapnya khawatir. “Mbak Binar nggak apa-apa?”
“Seperti yang Mamang lihat,” katanya setengah menguap. “Aku ngantuk.”
Langit masih menangis meski sudah tidak separah tadi. Yang tertinggal kini hanya rintik-rintik kecil. Binar menatap jauh ke depan. Ia mendesah melihat mobil Agra yang bergerak menjauh hingga tak terlihat dalam pandangan.
Benar. Dia menunggu Binar sampai seseorang menjemput. Satu hal lagi yang sangat Binar sesalkan. Agra adalah pemuda yang baik. Akan lebih melegakan bila lelaki itu mengabaikan Binar saja. Setidaknya, rasa bersalah Binar mungkin bisa sedikit berkurang. Sedikit.
“Saya sudah menghubungi pihak bengkel,” ujar Mang Risman, berhasil mengalihkan perhatian Binar dari arah yang membawa mobil Agra menghilang. “Sebentar lagi mungkin mereka datang. Biar saya aja yang antar Mbak Pulang. Nanti masalah mobil biar saya yang urus.” Mang Risman menahan pintu mobil dengan salah satu tangannya yang bebas, sedang tangan lain memegang gagang payung yang disodorkan pada Binar agar nona mudanya tidak kehujanan.
Tapi, tunggu?
Mengantar pulang? Kenapa mengantar bukan membawa—ah .... Binar melupakan sesuatu. Gadis itu meringis seraya menggigit kuku jempol tangan kanannya, sedang tangan kiri terangkat ke pinggang.
Mendengar Mang Risman akan mengantarkan dirinya pulang, perasaan Binar jadi tidak keruan begitu teringat per hari ini dirinya akan tinggal di apartemen. Bukan di rumah keluarga lagi. Dan tentu, tidak sendiri. Barang-barangnya bahkan sudah dikepak sejak kemarin, pun diantarkan pagi tadi ke tempat tinggal barunya.
“Apa menurut Kakek aku nggak terlalu muda untuk ini? Satu atap sama laki-laki?” tanyanya setengah memohon, menatap lelaki beruban yang duduk di kepala meja makan pagi itu, dengan tenang melahap menu sarapan, seolah cucunya tidak sedang merengek.
“Kamu sudah cukup tua,” jawab Beliau usai menelan hasil kunyahan. “Usia dua puluh tahun, dulu Kakek bahkan sudah punya anak,” lanjutnya yang makin membuat Binar tidak napsu makan.
Menoleh pada Maia, ibunya, untuk meminta bantuan pun gagal. Wanita paruh baya itu hanya mengelus punggung tangan sang putri sambil tersenyum menenangkan. “Kamu sudah harus belajar mandiri.”
“Tapi sama dia?” Sengaja Binar memberi penekanan penuh pada kata terakhirnya yang merujuk hanya untuk satu orang.
“Kenapa kalau sama Agra? Kalian sudah menikah.”
“Kami hanya dua bocah yang dikumpulkan dalam satu rumah. Menurut Mama apa yang akan kami lakukan?”
“Membuat bocah lainnya.”
Dan jawaban Maia yang terlalu lugas itu nyaris membuat putrinya pingsan. Atau setidaknya, ingin pingsan.
Binar masih dua puluh tahun! Dinikahkan di usia itu sudah cukup buruk, meski menurut yang ia tahu, ada yang bahkan sudah menikah di usia yang lebih muda. Meski begitu, tetap saja!
Ia bahkan belum pernah menonton film dewasa. Tapi sepekan sebelum pekawinannya yang sederhana berlangsung, Mama tega membawa ia ke dokter kandungan untuk konsultasi tentang kontrasepsi yang cocok baginya.
Kata Mama, “Setidaknya kalian belum boleh punya anak sampai lulus S1.” Lalu pulang dengan membawa beberapa tablet pil kontrasepsi.
Jangan bayangkan betapa kacau perasaan Binar waktu itu. Entah mengapa ia merasa begitu nista setiap kali mengingat tatapan dokter yang menanganinya!
“Mama gimana sih? Katanya aku belum boleh punya anak!” Binar protes. Ia tarik tangannya dengan kasar dari genggaman Maia. Bukan maksud kurang ajar, hanya ... malu. Binar masih merasa terlalu kecil untuk membahas masalah orang dewasa.
Dan anak ... prosesnya saja tak pernah bisa ia banyangkan. Terlebih dengan Agra? Binar merasa mendadak ingin pingsan—lagi.
“Itu hanya ungkapan, Sayang.”
Ungkapan yang nyaris membuat Binar jantungan!
Berdecak, gadis itu mendorong kursi meja makan ke belakang sebelum bangkit berdiri. Lantas pergi begitu saja membawa tas kuliahnya, tanpa pamit, mengabaikan sang kakek yang berteriak menyuruh Binar menghabiskan sarapan yang bahkan belum ia sentuh.
Lalu kini, berdiri di depan pintu unit apartemennya dengan Agra, Binar menggigit bibir. Ia mengusap berulang kali tengkuknya yang mendadak dingin, seolah ada hantu yang meniup bagian itu.
Binar sudah mendapat kode akses untuk masuk. Pin pintu adalah tanggal pernikahan. Minggu lalu. Ta-tapi ... bagaimana Binar bisa masuk saat perutnya terasa begitu mulas, seperti diaduk-aduk.
Di kampus ia bisa bersikap acuh tak acuh karena suasana ramai. Banyak yang bisa dijadikan pengalih perhatian. Di pertemuan keluarga, Binar punya alasan untuk diam demi sopan santun. Sesekali tersenyum manis bagai boneka dasbor.
Benar. Mereka seringkali ditinggalkan berdua untuk bicara. Kala itu situasinya juga berbeda dari saat ini. Binar dan Agra belum menikah. Dan mereka hanya saling mendiamkan. Sesekali hanya Agra berkomentar tajam, yang Binar abaikan.
Namun, kini status mereka tak sama lagi.
Menikah. Suami. Istri. Tinggal berdua. Kepala Binar mau pecah.
Menarik napas panjang, ia maju selangkah mendekati pintu, hendak menekan kombinasi angka hanya untuk mundur kembali detik kemudian. Lantas kembali mondar-mandir seperti yang sudah dilakukannya selama tiga puluh menit terakhir. Ia bahkan tak peduli saat beberapa orang yang lewat menatapnya aneh, karena perasaan Binar kini jauh lebih aneh.
Jantungnya berdentam-dentam bagai tabuhan genderang saat perang akan dimulai. Perutnya mulas, seperti ada yang mengaduk-aduk ususnya hingga tak berbentuk. Dan ... banyak lagi. Banyak lagi!
Benar Binar tidak memiliki ketertarikan khusus dengan suaminya. Kendati demikian, membayangkan mereka akan tinggal bersama, tetap saja membuat perasaannya panas dingin.
Ke utara lima langkah, Binar berbalik ke selatan dengan jumlah langkah yang sama. Terus begitu hingga bunyi bip-bip pintu terbuka membuat tubuhnya mendadak kaku.
Memutar badan perlahan, saliva Binar tersangkut di kerongkongan saat mendapati tubuh tinggi berbahu lebar membelakanginya.
Agra.
Binar berkedip-kedip cepat. Kapan ... sejak kapan ... ah, tidak. Tepatnya, kenapa Agra di luar dan baru membuka pintu? Apa sejak tadi apartemen yang membuatnya gugup itu kosong? Kapan Agra tiba, kenapa ia bisa tidak menyadarinya? Serta puluhan pertanyaan lain yang membuat Binar merasa dirinya sangat bodoh.
Kalau benar sejak tadi unit mereka kosong, berarti gugup dan takut binar selama tiga puluh menit itu ... sia-sia?
Jenak kemudian, pintu ditutup. Dari dalam. Agra bahkan tidak menawarinya masuk.
Binar menatap pintu yang kembali merapat dengan sisi tembok seolah tak pernah dibuka itu dengan tampang bloon. Ia berkedip lagi. Sekali. Dua kali. Tiga kali.
Ah, benar. Dirinya yang bodoh.
♡♡♡
BAB 3
♡♡♡
Baiklah. Tak hanya Agra yang bisa bersikap cuek. Binar pun demikian. Bukankah itu yang selama ini dirinya lakukan? Anggap saja lelaki itu tidak ada. Anggap dia hantu.
Ah, tapi hantu terlalu menakutkan. Berpikir ia tinggal bersama hantu lebih menegangkan ketimbang dengan Agra. Lagi pula, mana ada hantu bisa diabaikan?
Ck, sadar dirinya melantur, Binar memukul kepala pelan agar kembali fokus. Ia menarik napas panjang, lantas dikeluarkan lewat mulut sebagai upaya menangkan diri pun memelankan tempo debaran jantungnya.
Binar, kamu bisa! Ia membatin berulang-ulang sebelum mengangguk yakin sambil mengepalkan tangan ke udara bagai pejuang kemerdekaan, lantas maju dua langkah hingga nyaris tak berjarak dengan pintu masuk.
Menekan angka pertama, Binar merasa lututnya mulai goyah. Angka kedua, tangannya agak gemetar. Angka ketiga ... ia mundur selangkah lagi ke belakang.
Binar tidak bisa melakukan ini. Ia tidak bisa!
Merogoh saku celana gombrongnya, umpatan kesal itu tak bisa ia tahan saat menemukan ponsel masih dalam keadaan mati. Binar ingin menelepon Mama, atau kakek, atau bahkan ayahnya sekali pun agar dapat menjemput, meski ia yakin alih-alih dijemput, yang ada dirinya akan didorong masuk.
Binar ingin kabur. Kalau bisa. Tapi Agra sudah terlanjur melihatnya di sini. Satu-satunya pilihan yang ia punya hanya ....
Baiklah. Baiklah. Hanya tinggal seatap, apa salahnya? Toh ia sudah menyiapkan alat strum di koper, kalau-kalau Agra bertindak aneh-aneh padanya, pikir Binar, mengabaikan akal sehat yang berbisik penuh ejekan. Agra dan kata aneh-aneh sama sekali tidak cocok. Jangankan bertindak aneh-aneh, melirik Binar pun enggan!
Oke. Binar bisa! Binar pasti bisa!
Menarik napas sekali lagi, gadis itu tahan oksigen di dadanya saat kembali memasukkan angka. Empat kombinasi angka yang langsung berhasil pada percobaan kedua.
Dan ... pintu menuju bunga neraka telah terbuka. Binar mengembuskan napas pelan-pelan, takut Agra yang memiliki pendengaran tajam itu bisa mendengar desahnya. Kemudian menutup pintu sama pelan. Sangat pelan, semata untuk mengulur waktu.
Saat berbalik, ia terjengkang hingga membentur pintu. “Jantung, eh jantung!” pekiknya kaget. Jantungnya seperti akan jatuh ke perut.
Bagaimana tidak? Lelaki yang berusaha Binar hindari ada di depan matanya. Lagi!
Dia berdiri di depan pintu kamar mandi yang setengah terbuka dengan balutan celana training abu serta kaus lengan pendek hitam. Rambutnya yang basah ia usap-usap menggunakan handuk—yang lagi-lagi berwarna hitam. Berhasil merusak imajinasi Binar. Di novel atau drama, biasanya tokoh laki-laki setelah mandi lebih sering menggunakan outfit putih. Tapi tampaknya tidak begitu dengan Agra.
Lagi pula, mereka sedang tidak main drama. Sekali pun benar, Binar tidak akan memilih lelaki itu sebagai pemeran utama. Atau sebenarnya, Agra yang tokoh utama, sedang Binar hanya pemeran pendukung saja?
Ah, lupakan. Lupakan.
Sekarang yang lebih penting adalah ... apa tadi Binar di luar memang selama itu hingga saat ia masuk, Agra bahkan sudah selesai mandi? Memikirkannya membikin kepala Binar bertambah pening.
Merasa kerongkongannya mendadak kerontang, ia pun berdeham untuk mengurangi kecanggungan seraya memperbaiki posisi berdirinya yang sama sekali tidak cantik. Nyaris terjengkang itu aib. Beruntung ada pintu yang bisa menahannya, kalau tidak, barangkali Binar sudah terkapar di lantai, di bawah kaki Agra, dalam posisi yang lebih buruk.
Beginilah nasib gadis malang. Hanya pintu yang bisa jadi sandaran.
Binar berdeham sekali lagi untuk mengurangi kecanggungan, ia berpikir mungkin ini saatnya menyapa. Tapi mulut kecil Binar yang sudah terbuka untuk mengucap silabel pertama, terpaksa ia harus katup lagi saat mendapati Agra hanya meliriknya sekilas sebelum kembali berlalu. Melewatinya seakan Binar hanya interior ruangan yang sama sekali tidak menarik.
Hah!
Haahh!
Menyebalkan!
Memang apa yang Binar harapkan dari cowok itu? Sikap ramah tamah? Huh. Binar pasti sudah gila.
Melupaka Agra dan sikapnya yang sangaattt sopan, Binar melipat tangan kesal di depan dada seraya meliarkan pandangan hanya untuk—sekali lagi—dibuat gondok setengah hidup. Sekaligus takjub. Bagaimana bisa kakeknya yang banyak uang itu memberikan apartemen kecil begini sebagai hadiah pernikahan? Tidak. Bukan hadiah tepatnya, melainkan hukuman.
Hanya dengan melihat kanan kiri, Binar sudah bisa menilai. Hanya ada ruang tamu kecil yang diisi sofa panjang berwarna pastel. Bufet berukuran sedang menempel di dinding berlapis wallpaper garis-garis abu putih. TV led berukuran 32 inc duduk angkuh di sana. Tiga puluh dua inch! Kakek pasti bercanda!
Namun bukan hanya itu bagian terburuknya. Di apartemen ini hanya terdapat dua pintu saling berhadapan yang dipisah oleh ruang tamu. Binar tebak sebagai ... kamar mandi dan kamar tidur. Dapur berada tepat di samping kamar mandi, berdampingan dengan ruang tamu, tanpa sekat.
Hanya satu kamar tidur. Binar gigit jari. Kenapa semesta tidak pernah berhenti mengajaknya bermain-main?
“Kamu akan tetap berdiri saja di sana?”
Pertanyaan bernada datar yang diajukan tanpa tadeng aling-aling itu sukses membuat Binar terlonjak. Menoleh ke samping kanan, kembali ia dapati sosok Agra yang kali ini berdiri di depan pintu ... eng, kamar. Dengan rambut yang masih belum kering sepenuhnya.
Binar menggigit bibir. Ia kembali berkedip-kedip seperti orang bodoh. Bukan karena kelilipan, melainkan tak tahu harus menatap bagian mana dari tubuh Agra saat diajak bicara.
Matanya? Hh, jangan harap Binar berani. Tubuhnya? Nanti dia dikira mesum. Ssstt, tubuh Agra bagus. Proporsinya pas. Tidak kurus, tapi tidak gemuk dan agak berotot. Intinya, pas. Dan kenapa Binar malah menjabarkan tubuh Agra?
“Kamu tidak berharap saya yang akan merapikan barang-barang kamu, kan?” tanya Agra lagi sambil membuka pintu kamar lebih lebar, menampakkan tiga koper besar yang sangat Binar kenali tumpang tindih di dalam sana. Kopernya. “Saya sudah menyisakan tepat di lemari,” lanjutnya seraya melangkah ke arah sofa dan menjatuhkan diri di sana, kemudian menonton televisi seakan tidak terjadi apa pun. Seolah mereka sudah tinggal bersama bertahun-tahun.
Tak seperti Binar, Agra sama sekali tidak menampakkan rasa canggung. Hanya raut wajah yang kurang sedap dipandang.
Lantas, setelah ini apa? Haruskah Binar masuk ke kamar ... itu? Haruskan mereka tidur di kasur yang sama? Berbagi lemari? Berbagi selimut?!
“Apa ... a-apa kita a-akan—” Binar berdeham sekali lagi. Sejak kapan ia gagap?! ”—tidur di kamar yang s-sama?” Ia tak boleh tampak menyedihkan di depan Agra. Bagaimana bisa selama ini dirinya bertingkah bagai harimau di kampus, tapi berubah jadi kucing di depan lelaki ini?
“Kamu bisa tidur di kamar mandi kalau mau.”
Baik. Tadi Binar sempat berpikir Agra baik. Kakek juga bilang dia baik. Semua orang pun berkata demikian. Tapi per detik ini, Binar tarik kembali kata itu. Orang baik mana yang menyuruh wanita lemah tidur di kamar mandi?!
Tidak. Tidak. Bukan salah Agra. Binar yang keliru. Sejak awal seharusnya memang ia tidak bertanya.
Namun, tetap saja! Binar membuat gerakan meninju di belakang lelaki itu sebagai pelampiasan rasa frustrasi. Tapi dasar Agra, dia seolah tahu Binar sedang bertingkah gila dan menoleh ke belakang seketika. Binar langsung pura-pura melakukan gerak olahraga dengan memutar bahunya. ”Ah, kenapa bahu gue nggak enak ya?” Gadis itu bermonolog sambil menatap langit-langit ruangan. “Ah, ya, mungkin karena tadi salah posisi pas tidur di mobil.” Cengengesan, mengabaikan Agra yang masih menatapnya datar, Binar melangkah setengah berlari ke arah kamar, lalu menutup pintu dengan kasar.
Lupakan. Lupakan janji Binar yang akan berbuat sangat baik pada siapa pun yang sudah menolongnya di jalan, karena Agra tidak termasuk dalam kategori seseorang yang diharapkannya!
Mengembuskan napas kasar melalui mulut, Binar mulai membongkar koper. Perutnya menjadi kian mulas setiap kali memasukkan baju per baju ke lemari. Melihat pakaiannya berjejer berdampingan dengan milik orang lain—lelaki—rasanya aneh, seperti ada yang menggelitik lehernya hingga Binar menggaruk-garuk pelan bagian itu untuk menghilangkan geli.
Agra merupakan orang yang rapi. Pakaian pemuda itu diletakkan berdasarkan warna secara berurutan. Rata-rata hitam. Bahkan seprai kamar pun demikian. Binar jadi seperti diselubungi aura gelap. Dirinya pecinta merah mudah sejati! Hitam dan merah muda. Balck pink! Ah .... Gadis itu terkikik sendiri saat menggantung handuknya di kamar mandi. Pun saat meletakkan sikat gigi dalam gelas yang sama dengan milik Agra.
Semua jadi seperti perpaduan hitam dan merah muda.
Beginikah sensasi pengantin baru kala pertama tinggal bersama? Aneh dan asing. Andai pernikahan itu dilakukan lima atau tujuh tahun lagi dengan cinta yang berlimpah, akankah sama jadinya? Binar tidak yakin.
Merasa gerah dan letih, ia pun mandi. Hanya untuk teringat dirinya tidak membawa baju ganti di lima belas menit kemudian.
Ya ampun! Binar mengutuk diri sendiri sambil menatap bayangan dalam cermin. Mengenakan kembali bajunya yang tadi pasti rasanya tidak nyaman. Tapi meminta tolong Agra, akan lebih tidak nyaman.
Ah! Bagaimana ia bisa bersikap acuh tidak acuh dalam situasi semacam ini?
Terpaksa, tak ada pilihan. Binar mengenakan kembali bajunya yang bau keringat. Tak apa, ini hanya sementara. Tak sampai lima menit, ia akan bisa ganti baju lagi.
Agra masih di depan tivi saat Binar keluar dari kamar mandi. Ia melangkah pelan agar tidak menimbulkan bunyi apa pun saat menyeberang ruang tengah, sama seperti yang dilakukannya tadi. Namun langkah Binar otomatis terhenti tepat di belakang sofa yang Agra duduki saat mendengar dengus jengah pemuda itu.
“Jorok!”
Jo-jo-jorok? Dengan siapa dia bicara? Siapa yang dikomentarinya? Seseorang dk telivisikah? Atau ... Binar?
Seolah mengetahui kecamuk dalam kepala teman serumahnya, Agra menambahkan setengah menuding. Tanpa menoleh. “Kamu memakai lagi baju yang tadi? Jangan harap bisa tidur di ranjang malam ini dengan baju itu!”
Hah?
HAH?
Binar tak bisa menahan rahangnya tetap terkatup. Ia menatap Agra takjub! Kembali kehlilangan kata-kata! Agra menudingnya seakan .... seakan Binar akan tidur di ranjang mereka malam ini dengan penuh damba!
Apa karena kini mereka sudah menikah, Agra berpikir Binar akan sudi tidur di kasur yang sama dengannya?
Huh, kalau benar demikian, Agra terlalu berpikir konservatif. Binar tidak semudah itu. Sama sekali tidak mudah.
“Dengar ya Pak Su yang terhormat,” Sengaja Binar memberi penakanan dalam di setiap silabel, “pertama, gue nggak jorok!” Ia tatap bagian belakang kepala Agra yang menyembul dari balik sandaran sofa dengan tajami hingga Binar bahkan merasa bola matanya akan keluar. “Gue lupa bawa baju ganti, makanya terpaksa pakai baju ini lagi.”
Agra mendengus. Pelan, tapi masih bisa Binar dengar.
“Gue bakal ganti baju begitu sampe kamar!” sebelum Agra mendengus lagi seperti sapi, buru-buru Binar menambahkan, “tapi bukan biar bisa tidur satu ranjang sama lo!”
“Ganti baju bersih setelah mengenakan pakaian kotor saat tubuh dalam keadaan lembab sehabis mandi?” Agra bertanya retoris dengan nada bosan yang menyebalkan. Lagi-lagi, tanpa menoleh. Tatapanya masih tetap lurus mengarah pada layar televisi. “Kamu sadar berapa kuman yang akan menempel di tubuh kamu?”
Sejak kapan ... sejak kapan Agra secerewet ini? Atau memang sedari dulu? Kenapa mendadak dia bawel sekali? Di mana tunangan Binar yang suka berperan bagai patung dan tak banyak omong? Atau selama memang inilah Agra yang asli? Lebih dari sekadar menyebalkan.
“Apa peduli lo sekali pun tubuh gue penuh kuman!”
“Saya tidak mau tinggal bersama orang jorok. Saya tidak ingin terkontaminasi. Jadi, saya harap kamu ambil baju ganti di kamar dan mandi lagi sampai bersih!”
Bukan lagi kehilangan kata-kata, Binar merasa akan segera gila. Bagaimana bisa Agra menyuruhnya mandi lagi? Hujan memang sudah berhenti, tapi suhu udara masih berada di bawah tiga puluh derajat celcius. Dingin!
Apa Agra sengaja menjadikan baju ini alasan? Niat sesungguhnya mungkin bukan agar bersih, melainkan supaya Binar sakit, sekarat dan mati. Menjadi duda dengan tunjangan besar dari kakek bukan situasi buruk, kan?
Namun, jangan harap akan semudah itu.
"Kalau gue nolak?" Binar bertanya menantang. Ia mengangkat dagu tinggi-tinggi.
Agra, yang sebelumnya masih fokus pada layar televisi, menoleh. Raut wajah itu masih sedatar triplek. "Kamu menolak?"
"Ya! Lo pikir, lo siapa, bisa nyuruh-nyuruh gue?"
Agra sejanak tak melakukan apa pun, hanya menatap wajah Binar lurus-lurus. Tapi kemudian, dia bangkit. Tanpa suara. Lantas ... menyeret Binar begitu saja.
Sejenak Binar bingung. Ia terlalu terkejut hingga tak sempat memberontak. Dan begitu tersadar, dirinya sudah terkurung. Di kamar mandi!
"Lo ... lo ...." Gadis itu berusaha menarik gagang besi yang terasa dingin di telapak kanannya. "Apa yang lo lakuin, hey!!!" Gagal dengan gagang pintu, Binar mengedor-ngedor, sesekali menendang. Tapi daun persegi setinggi dua meter itu tak bergeming. Sama sekali. Yang ada kakinya ngilu.
"Saya akan membuka kuncinya setelah kamu mengatakan selesai mandi. Sementara, saya akan ambilkan baju ganti."
Agra sinting. Agra sinting. Agra pasti sinting! Binar menolak mengalah. Ia kembali mengedor pintu keras-keras. Berusaha membuat kegaduhan untuk mengusik si lelaki menyebalkan.
Berhasil.
Usaha memang tidak pernah mengkhianati hasil.
Pintu kembali terbuka.
Namun bukan untuk membawa Binar keluar, melainkan ... Agra ikut masuk bersama baju ganti dan ... ancaman. "Kamu mau saya mandikan?"
Ampuh membuat Binar terdiam. Dengan bibir mencebik dan hati penuh rutukan, ia rampas baju gantinya dari tangan Agra. "Gue bakal laporin lo sama kakek."
Agra mengedik tak acuh. "Silakan. Lakukan setelah kamu selesai mandi."
Oh, andai membunuh orang tidak dosa, Binar pasti—
—tetap tidak akan berani melakukannya.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
