
Deskripsi
PROLOG
B
anyak alasan yang membuat Semesta dan Angkasa tak bisa benar-benar akrab sebagai saudara seayah, atau dua remaja seumuran selain karena sifat keduanya yang memang keterlaluan berbeda. Dua anak manusia itu sejak awal bertemu dalam perseteruan yang tidak menyenangkan. Kemudian diperparah oleh konflik yang terjadi pada orangtua mereka sebelumnya.
Dan sekarang ....
Angkasa memegang gagang sendok kuat-kuat. Berusaha menahan diri setengah mati untuk tak menggebrak...
Wiratmadja Series
189
40
4
Selesai
Wiratmadja SeriesCinta Itu LukaJengkir Balik Semesta RinaiCinta Sehangat Mentari
50,781 kata
Dukung suporter dengan membuka akses karya
Pilih Tipe Dukunganmu
Sudah mendukung?
Login untuk mengakses

Selanjutnya
Cinta Sehangat Mentari
47
11
Prolog s aya terima nikah dan kawinnya Rinai Rainia binti Sukarta dengan mas kawin tersebut, tunai.”“Bagaimana para saksi? Sah?”“Sah!”Langit pagi ini tampak cerah. Matahari bersinar terang, menebar cahaya ke seluruh penjuru bumi. Seolah ikut bahagia dengan sahnya pernikahan Semesta dan Rinai. Kecuali Mentari yang itu. Putri Zachwilly yang kini duduk termangu di kursi tamu belakang. Mengamini doa penghulu dengan air mata yang diam-diam berlinang. Sapu tangan merah jambu yang dibawanya dari rumah bahkan sudah kuyup. Ia remas-remas sebagai penyaluran emosi.Mentari sudah berjanji tak akan menangisi Semesta lagi. Tapi, nyatanya tetes-tetes bening itu berhianat. Mereka tetap tumpah. Satu per satu. Namun sebelum cairan asin tersebut jatuh ke pipi, buru-buru Eta seka.Usai bertukar cincin dan menandatangani berkas-berkas dari KUA, Semesta dan Rinai pun digiring menuju pelaminan. Panggung sederhana di pojok halaman istana Wiratmadja. Wajah kedua mempelai itu penuh binar. Tampak sekali aura kebahagiaan terpancar dari raut wajah mereka. Pagi ini akad nikah hanya dihadiri oleh kelurga dekat. Malam nanti resepsi di gedung hotel bintang lima dengan lima ratus tamu undangan dari berbagai kalangan. Yang tentu saja didominasi oleh para kolega bisnis Surya. Dan Mentari tidak akan hadir malam nanti. Cukup kali ini ia menyiksa batin sendiri.Berdiri, ia melangkah cepat, keluar dari barisan kursi tamu. Masuk ke dalam rumah keluarga Damai yang sudah ia hapal seluk-beluknya, berbelok ke arah dapur dan masuk ke salah satu kamar mandi pembantu. Usai menutup pintu, ia langsung menghadap cermin separuh badan yang tertanam di dinding hanya untuk berteriak ngeri melihat tampangnya yang benar-benar mirip mak lampir.Sialan! Padahal dia sudah memakai make up waterproof, kenapa masih rusak juga. Eta batal melanjutkan tangis melihat kondisi wajahnya. Mendesah kesal, ia mengaduk-aduk isi tas. Mengambil kapas dan pembersih muka untuk menghapus make up dan berdandan ulang.Benar ia patah hati, tapi seluruh dunia tidak boleh tahu! Tidak boleh. Sudah cukup selama ini orang-orang memandangnya dengan tatapan iba dan menyebutnya korban perselingkuhan. Akan ia tunjukkan bahwa dirinya baik-baik saja dan ikut bahagia dengan pernikahan sang mantan. Meski malam nanti ia yakin stok tisu di rumah akan dihabiskannya seorang hanya untuk menyeka air mata. Sialan!Setelah kembali tampil cantik, Mentari tersenyum pada cermin. Ia akan mengucapkan selamat pada dua pasangan pengantin baru di luar sana. Mengajak selfie beberapa kali lalu mempostingnya di instagram.Ya. Seperti itu.Menarik napas panjang, ia bergumam, “Eta pasti bisa!” beberapa kali seraya membuka pintu kamar mandi.Namun alih-alih keluar, keningnya justru menabrak sesuatu. Sesuatu yang keras seperti dada seseorang. Nahasnya tepat di bagian kancing. Sialan!Meringis, ia mundur kembali selangkah demi mendongakkan kepala. Umpatan kasar lolos dari katup bibirnya mendapati seseorang yang berdiri di ambang pintu.Angkasa Muda. Sulung Wiratmadja. Pewaris utama Wiratmadja Corporation.Pagi ini lelaki itu tampil berdeba. Rambut gondrongnya dipangkas rapi. Jambang-jambang halus yang selalu setia menghiasi dagu hingga rahang tak lagi tampak, menyisakan garis kehijauan bekas cukuran.Secara keseluruhan, dia tampan. Tapi pesonanya kalah jauh bila dibanding Semesta—menurutnya.“Lo ngapain di sini?” desis Eta kesal sambil mengelus keningnya yang masih nyut-nyutan. Diliriknya kancing beskap putih gading yang pagi ini membalut tubuh tinggi besar Angkasa, kemudian mengumpat pelan sekali lagi. Pantas jidatnya ngilu. Kancing itu dari stainles tenyata! “Pasti benjol, deh!” rengeknya, hampir menangis.“Sori, sakit ya?”“Masih nanya lagi lo, Be!”“Ya mana gue tahu kalo lo mau keluar. Kirain di dalem nggak ada orang, kan. Gue kebelet pengin pipis.”“Alesan aja!” Masih sambil mengelus keningnya, Mentari mendorong tubuh Aang dengan satu tangan yang bebas, kemudian menyingkir dari sana sambil menggerutu panjang pendek.Di belakangnya, Angkasa meringis. Sebenarnya dia sama sekali tidak ingin buang air kecil. Ia hanya terlalu khawatir. Eta terlalu lama di kamar mandi. Siapa tahu cewek manja itu akan nekat mengiris urat nandinya karena tak kuasa menahan perihnya patah hati. Angkasa hanya berniat menolong. Hendak membuka pintu kamar mandi pembantu dengan kunci cadangan yang masih menggantung di ibu jari tangan kanan saat pintu menjeblak terbuka dan tubuh Eta yang langsung mengambil langkah maju tanpa melihat situasi malah menubruknya.Menatap kunci cadangan yang masih dalam genggaman, Angkasa mendesah. “Huft, untung cinta. Kalo kagak, gue gibeng juga tuh cewek bawel!”“Lo ngomong apa tadi?”Crap!Angkasa melirik ke sumber suara dan mendapati Mentari yang ternyata masih berada di ujung lorong sambil memegang cermin kecil di tangan. Sial. Dia kira Mentari sudah pergi.Berdeham pelan, Angkasa balas bertanya, “Apa?”“Tadi lo ngomong sesuatu.”“Oh, untung cantik. Kalo jelek, gue gibeng lo! Gitu,” dustanya.Di sana Mentari cemberut sambil menutup cermin kecil tadi dan memasukkan ke dalam tas. “Gue salah denger, ya?” gumamnya.“Emang lo denger apa?”“Gue kira lo ngomong cinta.”“Emang kalo gue bilang cinta, lo mau apa?”Mentari berbalik badan. Membelakangi Angkasa. Siap mengambil langkah maju dan kembali ke halaman tempat akad pernikahan Rinai dan Semesta.“Orang bilang obat patah hati tuh jatuh cinta lagi. Gue pikir ... kalo emang ada laki-laki yang suka sama gue, gue mau nyoba sama dia. Siapa pun orangnya. Sekali pun itu lo. “ Lalu pergi begitu saja. Meninggalkan Angkasa yang bola matanya nyaris bergelindingan saking kagetnya mendengar penuturan pelan Eta.Apa baru saja Mentari mengatakan mau mencoba? Dengannya?Sial! Harusnya Angkasa jujur saja tadi.Memasukkan kembali kunci cadangan kamar mandi ke saku beskap, ia melangkah cepat. Menyusul gadis cerewet itu untuk mendapat penjelasan.Tak akan Angkasa membuang kesempatan emas macam ini! Tak akan pernah. Prikitiw N amanya Mentari. Cewek manja, cerewet, petakilan. Dia nyaris tidak memiliki kelebihan apa pun kecuali fisiknya yang mirip Berbi. Sialnya lagi, dia kesayangan dari Rafdi Zachwilli. Sosok ayah yang diduga mengidap daughter complex dan rela melakukan apa saja untuk sang putri.Cerita ini dimulai saat cewek berbi itu patah hati. Semesta, laki-laki yang menjadi tunangannya lebih dari lima tahun ternyata mencintai perempuan lain. Tak ingin selalu makan hati, akhirnya ia memilih menyerah saja. Membiarkan Semesta memilih cintanya.Eta—panggilan gadis itu—hanya bercanda saat di hari pernikahan Semesta mengatakan akan mencoba memulai hubungan baru dengan siapa pun laki-laki yang tulus mencintai dia.Namun siapa sangka, Angkasa, Abang Semesta, menyambut pernyataannya dan menagih kata-kata yang terlanjur keluar dari bibir Eta.“Gue nggak serius, Be!” bantahnya. “Gue cuma lagi baper pas itu!”“Tapi, gue serius. Gue tertarik sama lo.”“Gue nggak!”“Terserah. Gue tetep mau lamar lo sama Om Rafdi.”“Nggak mau! Lo bukan tipe gue.”“Emang apa kurang gue?”“Lo miskin.”“Oh ayolah, Nu. Gue calon pimpinan perusahaan Papa, dan lo bilang miskin?!”Mentari kelimpungan mencari alasan. Demi apa, dia sama sekali tidak tertarik pada lelaki ini. Angkasa memang sudah kaya, tapi tetep aja saja dia pernah miskin. Eta ogah menjadi kawannya jika saja Angkasa tidak selalu mengiyakan saat ia meminjam uang untuk membayar belanjaan di shopee saat jatah bulanannya dari sang ayah habis.Menggigit ujung kuku kelingking, ia berucap pelan. “Oke, gue mau. Tapi, kita nyoba pedekate aja dulu. Dan selama kita pedekate lo bersedia bayarin belanjaan gue. Kalo cocok, lanjut. Nggak cocok, putus.”“Dosa gue udah banyak, Ta. Gue maunya nikah. Bukan pacar-pacaran lagi.”“Lah, emang situ yakin gue bakal ijinin tangan lo pegang-pegang?”“Dosanya pacaran bukan cuma di grepe-grepe doang! Pandangan-pandangan aja bisa jadi dosa!”“Sok suci lo!”“Dari pada sok najis, kan?”Mentari berdecih sembari memutar kedua bola matanya. “Ya udah, selama pedekate gue nggak bakal liat lo deh. Kita juga nggak usah ketemu juga gapapa. Asal belanjaan gue tetep Lo bayarin. Kurang baik apa coba gue,” tanggapnya enteng sambil melihat pewarna kukunya yang baru dipasang siang tadi. Ia berdecak melihat bagian kelingkingnya yang sedikit lecet.“Itu enak di lo nggak enak di gue!”“Terus, mau lo apa?!”“Nikah! Gue bakal lamar lo sama Om Rafdi.”“Kalo gue nolak?”“Ya jangan dong, Nu. Makanya ini gue minta persetujuan lo.”“Emang berani lo minta gue sama Papa?”Dan seketika, Angkasa bungkam. Jangankan meminta Eta, menatap wajah sangar laki-laki bule itu saja, Angkasa tak berani. Entah kenapa dia selalu ciut di hadapan Rafdi. Terlebih, hubungan keluarga mereka tak lagi seharmonis dulu gara-gara pertunangan Semesta dan Mentari dibatalkan. Sialnya, itu berdampak besar pada hubungan asmara sulung Wirtamadja ini.Iya, Mentari adalah mantan calon adik iparnya yang diam-diam Angkasa suka sejak masa putih abu-abu. Angkasa tidak mau munafik. Dia bahagia dengan batalnya pertunangan Eta dan Semesta, tapi juga nelangsa lantaran Rafdi jadi tak sudi berbesanan lagi dengan keluarganya.“Jadi, gimana?” desak Mentari tak sabaran. Barangkali kesal karena Angkasa mendiamkannya cukup lama.“Ekhm ... makanya, lo bilang dulu sama Om Rafdi. Bilang kalo kita punya hubungan. Kalo lo yang bilang, kan kemungkinan papa lo mau setuju.”“Enak di lo nggak enak di gue, dong!”“Ayolah, Nu. Kalo bukan gue, siapa lagi yang mau nikahin lo?”“Maksud lo?!”“Ya, lo kan udah dua tujuh. Cewek tuh punya masa produktif loh, Nu. Gue mah santai. Cowok makin tua, santannya makin mateng.”“Tapi, kayaknya dari tadi lo deh yang nggak santai.”“Nu—”“Gue udah ngasih lo pilihan, Be. Pedekate dulu. Deal?”Angkasa tak langsung menjawab. Ia mendesah. Tawaran Mentari sungguh menggoda. Tapi, Angkasa sudah tidak ingin main-main lagi. Maka dengan suara pelan, ia menjawab, “Deal!”“Good boy. Janji ya, mulai sekarang lo bakal bayarin semua barang belanjaan gue.”Angkasa memutar bola mata. Belanjaan bulanan Mentari tak pernah lebih dari sepuluh juta per bulan. Yang gadis itu beli cuma barang-barang kecil seperti kalung kucing, kasur kucing, dispenser kucing, dan segala hal tentang kucing.Makanya Angkasa berani menyanggupi. Sementara semua kebutuhan gadis itu sudah dipenuhi oleh ayahnya. Karena demi apa pun Mentari tak pernah ingin rugi dengan membeli baju dan tas dengan uang sendiri. “Jangan boros, tapi!”“Oke, fix, asal lo mutusin semua pacar-pacar lo. Gue nggak mentolerir segala jenis dan bentuk perselingkuhan!” ujar Mentari, membuat Angkasa tersenyum puas.“Syarat diterima! Berarti mulai sekarang kita—”“Pedekate!”“Calon pengantin, Nu,” ralat Angkasa yang tak mendapat balasan. Karena Mentari langsung memutuskan sambungan telepon mereka sepihak alih-alih menjawab. Di tempatnya, Angkasa mengembuskan napas panjang. Demi apa pun, dia degdegan. Dalam hati berjanji akan membuat gadis itu bertekuk lutut dan memohon untuk dinikahi!Tahun ini ganti status pokoknya! Mentari Anugerah “m aaa ... sepatu Leffy mana?”“Kaos kaki aku di sembunyiin Kak Bias ini nih, pasti!”“Pa, kucing baru Kak Eta kencing di sepatu Alam!”“Gue udah mau telat, Dek! Jangan ganggu!”“Ta ... cepetan turun! Bantuin Mama!”“Kamu lupa lagi nyiapin baju buat aku ya, Nin!”“Bi ... sarapan aku mana? Buruaaannn ...!”“Bibi masih jemur cucian ini, Den.”“Mang, siapin mobil!”“Motor aku juga sekalian dipanasin!”“Non Eta, ini kucingnya, si Molly makan rumput di halaman belakang.”“Jangan semua ke Mama, dong! Ini Mama juga ada praktik pagi!”Pagi kembali. Mentari bangun dengan wajah segar, tersenyum sombong di langit timur dan tampak menyilaukan. Cahaya cemerlangnya merambat ke seluruh penjuru Ibukota, termasuk kediaman keluarga Zakhwilli yang selalu ricuh-seperti biasa. Sinar keemasan itu menembus jendela panjang di lantai dua yang kelambunya dibiarkan terbuka. Menyapa wajah cantik sulung Nina yang tertutupi masker putih serta irisan mentimun di sepasang kelopaknya yang kembali bengkak. Keriuhan di lantai bawah sama sekali tak mengusik. Ia sudah terlalu terbiasa. Hidup di tengah-tengah keluarga besar dengan tujuh anggota inti memanglah seramai ini.Papa. Mama. Eta. Adik pertama—Bias. Adik kedua—Sam. Adik ketiga—Leffy. Dan adik keempat—si kecil Aram yang kini sudah masuk PAUD.Yah, keluarga Mentari sebanyak itu. Rafdi, ayahnya memang berniat beternak. Cita-citanya membuat tim kesebelasan dengan lima anak perempuan dan enam anak laki-laki. Sayang impian itu kandas karena Nina, istrinya, harus disteril setelah kelahiran si bungsu lantaran kandungannya bermasalah. Dan Mentari bersyukur untuk itu. Hidup dengan empat adik laki-laki sudah membuat pening, ia tak bisa membayangkan kalau harus memiliki sepuluh saudara. Sudah pasti dirinya akan gila.“Ta, buruan turun! Bantuin Mama di dapur!”“Nggak usah teriak-teriak gitu. Eta lagi maskeran di atas. Jangan digangguin. Kasian.” Rafdi turun dengan setelan kasual. Kaus lengan panjang yang dilipat hingga siku serta celana jins biru pudar. Siap berangkat menuju restauran cabang di daerah Kuningan untuk pemantauan mingguan. Ia melangkah ringan menuju Nina yang tengah membuatkan Susu Aram, kemudian menjatuhkan kecupan di pipi kiri wanita yang sudah hampir tujuh belas tahun menjadi istrinya itu.“Manjain aja terus anak kesayangan kamu itu, biar sampe tua tetep nggak bisa apa-apa! Mau jadi apa dia?” Nina yang sudah terbiasa diperlakukan manis, tak terpengaruh oleh ciuman Rafdi. Alih-alih tersipu, ia justru tambah mengomel. Mengabaikan anak-anak yang satu per satu mengisi meja makan. “Udah hampir kepala tiga, tapi belum bisa masak. Bahkan beres-beres kamar sendiri harus dikerjain Bibi semua! Dan itu karena kamu! Sekali-kali coba kamu mikir dong, Pa, gimana nanti kalau dia udah nikah? Mau dikasih makan apa anak sama suaminya?”“Ya, nasi sama lauk, dong.” Rafdi menyeret kursi di ujung meja. Menatap empat anak laki-laki yang berjejer di kiri-kanannya sambil tersenyum hangat. “Pagi, Sayang!”“Pagi, Pa,” jawab mereka serempak disela-sela siraman rohani ala Nina yang nyaris mengudara setiap hari.“Gimana mau ada nasi sama lauk kalau anakmu nggak bisa masak?!” Nina menyerahkan piring kecil berisi tangkup roti yang Rafdi terima dengan senang hati.“Oh, ayolah, Nin. Suatu hari nanti Eta kita akan jadi istri, bukan pembantu.”“Iya kalau suaminya kaya.”“Apa kamu pikir aku akan melepaskan Eta untuk laki-laki miskin?”“Kalau ada yang mau!”“Sekali pun Eta nggak laku, dia masih punya empat adik laki-laki yang mau ngurusin dia.”“Emang kalian mau ngurusin putri manja yang satu itu?” Nina melarikan pandangan ke arah anak-anaknya yang sudah anteng di meja makan setelah segala permasalah pagi mereka terselesaikan dengan Nina sebagai pahlawan.“Enggak!” jawab empat anak laki-laki beda usia yang duduk berjejer di meja makan keluarga Zackwilli—masih dengan nada serempak. Nina tersenyum penuh kemenangan pada suamianya yang merengut di kepala meja.“Kalau nanti kakak kalian beneran nggak laku, Papa bakal kasih warisan terbanyak buat yang mau ngurusin dia. Siapa yang mau?”“Aku mau. Aku mau, Pa!” Bias dan Leffy berebut menjawab kendati dengan mulut penuh. Si bungsu yang melihat keantusiasan kedua kakaknya ikut-ikutan mengacungkan tangan. Mengira pertanyaan Rafdi serupa, 'siapa mau eskrim cokelat?'. Hanya Sam yang tetap diam. Mengunyah roti pelan-pelan. Tak tertarik terhadap iming-iming harta warisan. Si tampang datar itu tentu lebih memilih hidup sederhana daripada seumur hidup harus dibebani oleh kakaknya yang luar biasa malas dan manja.“Kan?” Mendapati antusiasme ketiga putranya, Rafdi mengangkat alis pongah. Menatap istrinya yang menuangkan susu untuk si kecil dengan tatapan sombong, seperti biasa. Dan Nina hanya mendengus sebagai balasan. Rafdi memang selalu punya cara untuk melindungi putri kesayangannya. Nina bahkan khawatir laki-laki berusia kepala empat itu mengidap daughter complex. Bahkan Rafdi jauh lebih mencintai Eta timbang dirinya atau anak-anak mereka yang lain. Bahkan Bias, putra pertama keluarga ini pernah mengatakan, 'seandainya menikahi darah daging sendiri tidak diharamkan, sudah pasti Rafdi akan mengawini putrinya sendiri alih-alih diberikan pada lelaki lain'. Ayah lima anak itu bahkan merasa bahagia saat putrinya gagal menikah.“Terserah!” sahut Nina ketus. Dia segera duduk dan mengambil gigitan besar pada tangkup roti berselai keju, seakan panganan itu adalah Rafdi yang ingin sekali ia santap.Sementara di sana, di lantai dua kediaman mereka, yang dibicarakan tetap santai. Sama sekali tak beranjak dari posisi tidurannya yang kelewat nyaman. Bahkan kalau bisa, ia ingin terlelap lagi. Tapi, tidak. Jam sembilan nanti dia masih harus ke salon. Hari ini jadwal mandi Sisi, Simon dan Bulbul. Dua kucing lainnya-Simi dan Sikun-sudah dimandikan kemarin lusa. Entah berkeliaran di mana kawan-kawan berbulu Eta itu sekarang.Oh, tadi Bi Tuti bilang Sisi makan rumput di halaman belakang.Tunggu!Apa katanya?Makan rumput?!Astaga!Secepat dirinya bisa, Mentari membuka mata. Dua irisan timun di atas kelopaknya praktis jatuh bergelindingan ke lantai saat ia bangkit berdiri. Berlari pontang panting menuruni anak tangga dengan ekspresi ngeri. Peduli setan dengan maskernya yang retak. “Udah aku bilang, jangan biarin mereka makan rumput, kan?!” teriaknya begitu sampai di halaman belakang dan mendapati kucing abu-abu gendutnya muntah-muntah. Entah dia berteriak pada siapa, karena sama sekali tak ada yang menanggapi.“Lagian kamu nakal banget sih, Si! Udah dibilang jangan makan rumput, masih aja bandel. Ish! Udah tahu lagi hamil! Harusnya tuh, makan yang bervitamin. Percuma dong aku beliin kamu makanan basah sama kering yang mahal-mahal kalo kamunya bandel gini. Sisi, aku belum kelar ngomong—Oh Tuhaaaannn ....”Sisi, yang diceramahi, hanya mengeong kecil. Menatap Eta malas sebelum melangkah angkuh menuju teras belakang yang terhubung dengan ruang makan. Mengabaikan majikannya yang menggeram kesal karena diabaikan.“Sisi!”“Gagal nikah bikin lo tambah stress, ya,” ejek Bias setelah meneguk segelas susu. Eta yang hendak mengejar Sisi ke dalam rumah, melotot mendengar ucapan adiknya.“Ngomong apa lo?!” Ia berdiri berkacak pinggang tepat di ambang pintu kaca penghubung. Menatap Bias galak. “Nggak sopan ya, ngomong gitu sama Kakak pertama. Minta maaf!”Bias berdiri. Mengedikkan bahu tak acuh sebelum menyampirkan tas ke punggung dan berbalik badan. “Lo ... stress,” ejeknya sekali lagi sembari memeletkan lidah dan segera ambil langkah seribu sebelum kakaknya mengejar seperti anjing gila, berlari di sepanjang jalan komplek demi melempari adiknya yang berkendara motor dengan sebelah sandal jepit Bi Tuti seperti bulan lalu hanya karena ia yang usil mengatakan kesayangan ayah mereka itu tidak akan laku dan berakhir menjadi perawan tua kesepian. Memalukan sekali. Bias tak ingin mengulanginya lagi.“Bias, ke sini kamu. Jangan lari! Kakak pukul pantat kamu, ya. Dasar adik durhaka ...!”“Udahlah, Ta. Adik kamu cuma bercanda. Sekarang duduk. Sarapan.” Rafdi berucap lembut. Menghentikan Eta yang memang hendak mengambil ancang-ancang dengan melepas dua sandal bulunya demi mengejar Bias yang sudah menghilang di balik sekat ruang makan dan ruang keluarga.“Kak Bias bener, kok. Kak Eta kan, emang gila. Suka ngomong sendiri sejak ditinggal nikah Bang Mesta.” Leffy menimbrungi. Ia memandang Eta dengan tampang sepolos pantat bayi, seolah kata-katanya seringan anak kecil lain yang meminta makan pada mama mereka. Topi merah putih bertengger di atas kepalanya. Menutupi rambut cepak yang belum tersentuh sisir dan tampak acak-acakan dengan poni depan mencuat hingga hampir menyentuh bulu alis. “Mama kayaknya harus cepet-cepet jadwalin Kak Eta ke psikiater.”Sialan! Dari mana pula bocah kelas lima SD ini tahu istilah psikiater?!Kalau Bias keterlaluan jahil, maka putra keempat Zachwilli yang kelewat pintar ini berwajah menyebalkan. Semenyebalkan kata-katanya yang menusuk. Wajah mirip Nina dengan sifat segila sang ayah. Sandal bulu yang tadi Eta niatkan untuk memukul bokong Bias, ia angkat ke udara sebagai gertakan.“Ish, mulutnya ya, minta banget dicabein! Ngomong sekali lagi, Kakak—”“Apa?” potong Leffy dengan ekspresi setengah mengejek dan setengah menantang.Eta yang kehilangan kata-kata mencebik. Ia mengempas kembali tangannya ke sisi tubuh hingga sandal yang ia dapat dari hasil flashsale di salah satu aplikasi jual beli online itu terbanting ke lantai. Ia mengeluarkan satu-satunya jurus terakhir yang paling ampuh melawan empat monster kecil itu. Yakni, “Paaa ....” Merengek. Meminta bantuan Rafdi untuk membungkam mulut adik-adiknya.“Lef, nggak baik ngomong gitu sama Kakak.”Sekali tegur, Leffy langsung merengut. Eta yang merasa menang, menjulingkan mata ke arah adik ketiganya. Sam si pendiam bertampang triplek dan OCD akut itu mendengus. Ia beranjak dari kursinya. Menghampiri Rafdi dan mencium punggung tangannya, kemudian mengecup pipi Nina untuk berpamitan. Ah, dia memang paling sopan. Tapi, tetap saja pengecualian pada Eta. Satu-satunya kakak perempuan yang suka sekali mengotori kamarnya dan meminjam barang-barang bersihnya yang kemudian dikembalikan tanpa dicuci. Ugh, Sam bahkan masih ingat kaus kakinya yang dicuri Eta untuk dijadikan pembalut luka Bulbul saat bengkak di kepala kucing itu pecah. Kemudian menyodorkan padanya dengan cairan anyir berwarna kuning keruh yang masih setengah kering sambil mengucapkan terima kasih serta senyum bagai malaikat pembagi rezeki. Tanpa sama sekali merasa bersalah. Alih-alih menerima, Sam justru berteriak jijik. Dan setelah itu, selama tiga hari ia jadi tidak nafsu makan karena merasa semua yang melekat di rumah ini tidak higienis. Terlebih, dia tidak terlalu suka masakan luar.“Sam berangkat. Assalamualaikum,” ujarnya. Yah, Sam memang sesopan itu. Tak heran guru-guru di sekolah selalu mengagung-agungkannya. Oh, dan banyak gadis baru puber sering datang ke rumah hanya untuk bertanya tentang Samudra. Hanya saja tingkahnya yang hampir mendekati kelakuan pengidap OCD itu menyebalkan sekali. Sama menyebalkanya dengan Bias dan Leffy.Tatapan Eta kemudian jatuh pada si bungsu Aram. Di antara keempat saudara yang lain, mungkin hanya si kecil ini saja yang lebih baik. Kecuali saat—“MEAAAOOO...!”... dia menginjak atau menarik ekor kucing-kucingnya! Dan kali ini yang menjadi korban adalah Bulbul—kucing kampung ceking yang sudah Eta cekoki berbagai susu dan vitamin terbaik, tapi tetap kurus—yang sejak pagi duduk manis di bawah meja makan.“Araaaammmm ...!” Lengkingan tajam yang terdengar hingga ke beberapa rumah tetangga itu Nina balas dengan gebrakan meja. Tak lagi tahan dengan kelakuan Eta yang lebih mirip Tarzan daripada wanita moderen yang terhormat. Bukan sekali dua kali dia kena tegur oleh beberapa ibu-ibu sekitar lantaran rumahnya paling sering membuat ribut. Dan pemicu utamanya adalah Mentari. Mentari Anugerah yang lebih sering membawa musibah.“Sudah berapa kali Mama bilang?! Volume suara kamu itu dikondisikan! Kita nggak lagi di hutan. Kamu bisa menegur adik kamu baik-baik, nggak usah teriak-teriak begitu! Bikin malu. Dikira sama tetangga kamu beneran gila gara-gara ditinggal nikah! Mau beneran Mama bawa ke psikiater?”Kalau Nina sudah mengeluarkan taring, Eta tak lagi bisa berkutik. Dia menunduk dengan bibir mengerucut. Sesekali melirik Aram penuh ancaman, yang adiknya balas dengan berkedip-kedip lucu.“Nina, jangan dibentak begitu. Kasian.” Lagi-lagi Rafdi bela.pupil mata Nina berotasi jengah, kembali memakan gigitan roti terakhir sebelum merapikan pakaian Aram dan mengantarkannya sekolah.Awalnya, Mentari mengira Nina terlalu berlebihan. Teriakannya tidak mungkin sedahsyat itu sampai terdengar ke rumah tetangga. Terlebih rumahnya dikelilingi pagar beton. Nina pasti bohong.Namun, mau tak mau sepertinya ia memang harus percaya. Karena saat kembali ke kamar dan membuka lock screen ponselnya ia mendapati satu chat tak terbaca dari tetangga sebelah yang berisi: Jangan teriak-teriak gitulah, Nu. Meda nangis, kaget denger pekikan lo. Kalo besok masih begitu, jangan salahin gue kalo ngebungkam paksa mulut lo. Setelah sah, tapi. Pakai ini💋😚 Dan segala sumpah serapah yang coba Eta telan sedari tadi termuntahkan juga saat membaca pesan WhatsApp Angkasa. Mantan cowok miskin yang ia beri izin khusus melakukan pendekatan sejak malam kemarin. Cium nih, pantat gue! balas Eta dongkol. OkabeNggak boleh ngomong kasar, Sayang. Nggak baik😑😑😑 MentariMonyet lo! OkabeIsh, bandel🙄Nanti malem dinner, ya. Nggak ada penolakan pokoknya! Sekarang Mas Aang kerja dulu buat beliin kamu cincin berlian sebagai bekal lamaran. Doain Mas ya, Sayang. Love you😘Nggak usah dibales lagi chat-nya gapapa. Aku ngerti kok, kamu pasti kehilangan kata-kata. See you! “Argh! Dasar monyet! Siapa juga yang mau bales pesan lo?!” pekik Eta sekali lagi sambil melempar ponselnya kembali ke atas ranjang. Semalam dia pasti terkena jampi-jampi sampai mau memberi izin pendekatan pada si gila Angkasa. Angkasa Muda “o uch!”Angkasa memegang pipi sebelah kanan yang kena tabok. Untuk kali ketiga hari ini. Rasanya gigi gerahamnya bahkan sudah mau copot. Ngilu-ngilu sedap dan sedikit nyut-nyutan. Beruntung tragedi ini terjadi di dalam mobil. Jadi, tidak akan ada yang memerhatikan. Kecuali Mang Firman. Sopir pribadinya yang berdeham pelan demi menyembunyikan tawa di balik roda kemudi. Pura-pura tak menyimak, padahal jelas Angkasa menangkap lirikannya dari spion depan. Tapi, setidaknya ini lebih baik. Dari pada tadi siang. Aan, mantannya, anak magang bagian keuangan di kantor sebelah menamparnya di mal selepas mereka makan siang.Sial bagi Angkasa. Dia yang mentraktir, dia pula yang digampar. Dan semua itu hanya karena tiga kata sederhana yang ia lontarkan dengan ekspresi wajah tanpa dosa.“Kita putus, ya.”Jenak setelah kalimat pendek itu lolos dari katup bibirnya, langkah Aan spontan terhenti. Ia menoleh pada Angkasa dengan kernyitan dalam di kening. “Kamu tadi ngomong apa?”“Kita putus.”Alih-alih marah, Aan tertawa. Cukup kencang hingga membuat beberapa pengunjung yang berlalu lalang memerhatikan mereka sekilas. “Becanda kamu nggak lucu tahu, Ang.”“Gue nggak bercanda. Ini serius. Gue mau putus.”Gelak tawa Aan praktis terhenti. Diperhatikannya ekspresi wajah sang lawan bicara lekat sebelum kembali melontar tanya setelah mendapati tak ada raut bercanda di sana. “Kenapa?”Angkasa meliarkan pandangan. Mencoba mencari alasan. “Karena ini syarat dari seseorang agar dia mau gue jadiin pacar. Oh ... bukan. Jadi calon istri maksudnya.” Tidak semuanya bohong. Ini memang salah satu alasan. Lebih dari itu, Angkasa ingin menata hidup lebih serius lagi. Gara-gara sering menonton ceramah ustad sejuta viewers di YouTube—sebenarnya ini kelakuan Damai yang hampir tiap pagi menyetel saluran islami di smart TV rumah mereka—Angkasa jadi ingin ikutan hijrah. Seperti Semesta dan Surya yang sudah rajin berjamaah ke mesjid dan setia pada satu perempuan. Juga Rinai yang konsisten dengan hijabnya. Angkasa iri. Dia jadi ingin memperbaiki diri, lalu segera menikah. Dan satu-satunya cara adalah dengan melepas semua wanita yang telah ia ikat dengan tali 'pacaran'. Fokus pada satu perempuan yang benar-benar ia inginkan.“Kamu—” kata-kata Aan tak sempat tergenapi, justru cap merah tangannya yang kemudian mendarat mulus di pipi Angkasa. Tanpa komando. Angkasa yang tidak siap mendapat serangan, pasrah saja saat kepalanya terlempar ke samping. Tamparan Aan lumayan kuat ternyata hingga berhasil membikin kupingnya berdenging. “Jadi, kamu selingkuh di belakang aku?” tuding Aan kemudian dengan nada tinggi. Membuat orang-orang yang berlalu-lalang bukan lagi melirik sekilas, tapi sudah mulai melambatkan langkah demi menonton aksi drama yang tayang secara langsung di depan mata. Ugh, sudah terlanjur basah, nyemplung saja sekalian, pikir Angkasa kala itu.Namun, ia sedikit bingung. Apa yang harus ia jawab untuk pertanyaan barusan? Dibilang selingkuh, sepertinya tidak. Angkasa hanya punya beberapa pacar. Cuma beberapa dan tidak sampai lima. Selingkuh itu menjalin hubungan di belakang pasangan resmi, kan? Sedang Angkasa tidak merasa demikian. Ia sama sekali tak pernah menutupi hubungan dengan pacar-pacarnya pada pacar yang lain. Dan tidak pula mengumbar. Toh, mereka tidak pernah bertanya dia punya pacar berapa. “Mmm ... mungkin bisa dibilang begitu. Tapi, nggak juga sih. Ayolah, kita cuma pacaran. Sedang masa percobaan. Kalau cocok lanjut, nggak cocok ya ... masing-masing.”Fix, urat malu Angkasa sudah putus. Dia bahkan sama sekali tidak merasa malu menjadi bahan tontonan. Beberapa pengunjung yang baru melintas terdengar berbisik. Bertanya pada orang-orang sebelumnya tentang apa yang terjadi. Yang sayang tak bisa Angkasa dengar jawaban mereka apa. Tidak penting juga.“Jadi, bener kamu selingkuh dan mau jadiin selingkuhan kamu itu istri?” tanya Aan dengan volume makin tinggi. Angkasa melirik kanan kiri. Mencoba mencari-cari sosok satpam yang barang kali bertugas di lantai itu. Jangan sampai dia ditarik ke pos jaga lantaran menciptakan keributan di tempat umum. Mau ditaruh di mana wajahnya kalau begitu?Meringis kecil, ia pun menyahut, “Lo nggak mikir gue cuma pacaran sama lo aja, kan?”Dan ... satu lagi tamparan kuat mendarat di pipi kiri Angkasa. Padahal apa salahnya? Pacaran tidak mengikat. Tidak ada aruran tertulis yang menyatakan bahwa pacar harus satu dan cuma satu. Istri saja bisa empat, apa lagi pacar yang bahkan sama sekali tidak tercatat di berkas kenegaraan. Bebas.“Jadi, kamu mainin aku selama ini?”“Kamu merasa dipermainkan?”“Iya!”“Kalau begitu, maaf. Gue kira kebersamaan selama ini sama-sama kita nikmati. Kita have fun. Jarang berantem. Dan gue lihat lo seneng-seneng aja. Jadi, bagian mana dari sikap gue yang mempermainkan lo?”“Kamu ... kamu mempermainkan hati aku!”Angkasa berusaha menahan diri untuk tidak memutar bola mata. Kerumunan di sekeliling mereka kian banyak. Bisikan-bisikannya terdengar seperti dengungan kawanan lebah yang bising. Angkasa berdoa dalam hati, semoga saja kenalannya di kantor tidak ada yang datang ke sini. “Bagian mana dari hubungan kita yang melibatkan hati?”“Kamu ngajak aku pacaran!”“Terus?”“Dasar bajingan! Jelas aku ngasih kepercayaan penuh buat kamu miliki hati aku! Tapi ini yang kamu lakuin, Ang! Kamu sakitin aku karena cewek lain!”“Oke, begini. Pertama, gue nggak pernah minta hati lo. Gue cuma nanya. Lo mau nggak jadi pacar gue? Lo jawab iya. Terus kita jalan. Kalau setelahnya lo melibatkan hati dalam hubungan ini, jelas itu salah lo. Karena gue nggak pernah minta, kan?”Satu tetes bening jatuh dari sudut mata Aan, disusul puluhan tetes lain yang membasahi pipi putih mulusnya. Aih, Angkasa tidak pernah tega melihat perempuan menangis. Dia jadi ingat Damai. Ibunya. Dia juga tidak pernah ada maksud menyakiti hati wanita ini. Tapi, pacaran dalam kamus Angkasa memang hanya sebatas pertemanan yang lebih dalam. Mereka bisa bebas jalan bersama. Makan. Nonton. Tanpa harus ada yang cemburu dan dicemburui. Bagi Angkasa, pacaran itu semacam percobaan. Percobaan untuk jatuh cinta dan ... percobaan melupakan seseorang yang sayangnya gagal. Dulu. Sebelum ia sadar kalau menjalin hubungan semacam ini benar-benar merugikan. Rugi di waktu dan di kantong. Dosa pula. Lengkap sudah.“An, please jangan begini. Kita jadi bahan tontonan.”“Kamu jahat!” Aan berusaha menghapus air mata menggunakan punggung tangannya yang seketika lemas. Membuat wajah bulat imut itu makin basah. Aan tidak terima diputuskan. Sayang juga melepas sosok Angkasa. Husband material yang mungkin tak akan ia dapat lagi di kemudian hari. Laki-laki tampan dan mapan yang bisa dipamerkan pada teman-temannya. Tapi, siapa sangka mahluk berjakun yang manis ini ternyata berengsek juga.Menarik ingusnya sekali, ia mendongak. Menatap Angkasa tepat di mata. Jujur saja Aan cinta. Lebih dari itu, dia menginginkan kemapanannya. Angkasa adalah penerus Wiratmadja Corp. yang hartanya tidan akan habis tiga turunan. Jadi, kenapa Aan tidak mencoba sekali lagi saja. Mencoba bernegosiasi agar hubungan mereka bisa bertahan lebih lama dengan sedikit menggadaikan harga dirinya di depan puluhan mata yang kini terang-terangan memerhatikan mereka. Setidaknya, bila berhasil ia akan memiliki kesempatan membuat Angkasa jatuh cinta setelah ini.“Kamu bilang pacar kamu nggak lebih dari satu, kan?” Angkasa mengedip. Tak bisa menebak ke mana arah pertanyaan ini akan bermuara. Anggukan kecil ia berikan sebagai jawaban. Mulai jengah sebenarnya. Sedikit waswas juga. Takut ada satu dari sekian orang yang berkerumun mengenalinya. Kalau hanya kenalan biasa tidak masalah, asal jangan sampai ibunya atau tetangga kompleks perumahan saja yang ke sini. Bisa bahaya kalau sampai Damai tahu putra kesayangannya membikin anak gadis orang menangis—meski Angkasa sendiri tidak tahu apakah Aan benar masih gadis atau sudah janda. “Kalau gitu aku nggak mau putus,” lanjut cewek itu.“Hah?”“Kamu boleh pacaran sama siapa pun lagi. Kamu juga boleh nikah, aku nggak masalah. Mau punya lima atau tujuh pacar sekalian juga boleh. Tapi, aku tetep nggak mau putus.”“Nggak bisa gitulah. Ini syaratnya.”“Dan kenapa kamu harus mau? Kamu kan bisa cari cewek lain timbang cewek sialan yang minta syarat kamu mutusin pacar-pacar kamu sebelumnya.”Cewek sialan katanya? Eta dibilang cewek sialan. Demi apa ... Angkasa berdeham untuk menyembunyikan senyum geli. Diakui atau tidak, Mentari memang sialan. Dan memikirkan cewek sialan yang tadi pagi berhasil membuatnya tertawa, entah kenapa membikin seluruh aliran darah Wiratmadja junior itu berdesir hangat. Andai Eta di sini, sudab pasti mulut Aan akan dirobeknya lantaran berani menyebut ia sialan.Menyeringai kecil. Angkasa menyurukkan satu tangan ke dalam saku celana sebelum berkata dengan pasti, “Tapi, cewek sialan itu calon istri gue. Jadi gue nggak akan pernah bisa nolak. Sorry,” sebelum melangkah pergi. Berbalik badan meninggalkan Aan yang menangis makin keras.Bukan lagi sakit hati, Aan malu luar biasa. Kesal, ia melepas sepatu berhak tujuh senti yang dikenakan penuh dendam, kemudian melempar benda berbahan kulit asli tersebut ke arah sang mantan.Dan sukses mendarat sempurna di puncak kepala Angkasa yang praktis memekik kesakitan.Setidaknya poin mereka satu sama.Bunyi debum pintu mobil yang ditutup kasar menyadarkan Angkasa dari lamunan perihal kejadian siang tadi di mal. Menoleh, ia mendapati kursi di sebelah bangku belakang telah kosong. Dita sudah keluar dari sana. Tanpa air mata. Namun, kemarahan tak bisa ditutupi dari ekspresi wajahnya. Wanita yang kini sedang meniti karier sebagai model itu menoleh padanya sebelum membuka gerbang kos-kosan putri di daerah Kemang. Lalu memberikan jari tengah padanya dengan pandangan benci.“Lo harus bayar mahal untuk ini, Ta.” Angkasa meringis sambil memegangi pipi kanan yang terasa ngilu sebelum memberi interuksi pada si sopir untuk kembali menjalankan mobil. Ia melirik sekilas potret cantik Eta dalam bingkai kecil di dasbor yang ia pasang semalam, setelah Mentari setuju menajalin hubungan (dengan syarat). Di sana pacar—ah ... bukan, melainkan calon istri—baru Angkasa tampak cemberut. Rambutnya awut-awutan tertiup angin taman dekat kompleks perumahan sebelah. Angkasa mengambil gambar ini diam-diam sekitar dua tahun lalu. Saat itu Mentari marah pada Nina lantaran salah satu kucing kesayangannya diadopsikan pada kerabat jauh mereka.akhirnya, Angkasa punya kesempatan memajang foto ini. Tak lagi hanya menjadi penjaga di dompetnya, ditindihi foto dirinya pula agar tak ketahuan.Memundurkan punggung hingga menabrak sandaran jok, ia berkata lagi, “Gara-gara lo pipi kanan dan kiri gue bengkak, nih!” Lalu tertawa keras saat merasa bibir Mentari dalam bingkai kecil di dasbor makin maju.Fix, selain tidak punya urat malu Angkasa juga positif gila. Setelah ini ia harus segera mendatangi Nina untuk mengadukan gejala sakitnya. Barangkali dokter cantik itu akan meresepkan obat (baca: putrinya) untuk Angkasa tebus dengan mahar pernikahan.Dan memikirkan itu saja, sepanjang jalan pulang Angkasa terasa lebih menyenangkan. Ah, sepertinya dia tidak pernah sesemringah ini sepanjang hidup.Merasa senang sekaligus berdebar. Serta kehangatan yang mengalir di sepanjang pembuluh darah. Dan hanya satu nama yang bisa membuat ia begini.“Ahaaayyyyy ....” jerit Angkasa tanpa bisa menahan senyum saat merasa dirinya mendadak dangdut. Ugh, Angkasa memang suka lagu dangdut omong-omong.“Pacarku memang dekat, lima langkah dari rumah. Tak perlu kirim surat, sms juga nggak usah. Kalau rindu bertemu tinggal nongol depan pintu. Tangan tinggal melambai, sambil bilang, halo sayaaaangggg!” Ia bernyanyi dengan nada sumbang sambil memukul-mukul paha bagai gendang. Sama sekali tak merasa jengkel saat mobilnya terjebak macet dengan bunyi lengkingan klason yang bersahut-sahutan. Hari sudah hampir habis, menyisakan jingga kemerahan di langit barat. Ah, malam akan tiba. Angkasa punya janji dinner dengan calon istrinya. Ugh, misi membuat Mentari Anugerah mau dengan suka rela menjadi pelengkap separuh imannya dimulai dua jam lagi.Di depan, sopir malang yang tak tahan mendengar nada sumbang sang tuan muda, akhirnya bertanya hati-hati, “Mas Angkasa masih sehat, kan?” Kencan yang Gagal e kspektasi Angkasa pada kencan pertamanya dengan Mentari malam ini adalah: 1. Makan enak dengan harga terjangkau di kafe mal atau restoran padang.2. Nonton film (film apa saja, asal jangan horor. Karena film horor Indonesia lebih banyak tanda kutipnya. Angkasa takut lemah iman, kemudian nekat berbuat khilaf—seolah-olah Eta mau saja diajak berkhilaf ria dengannya. Akan lebih baik kalau yang mereka tonton adalah film komedi romantis. Kali saja Mentari akan terbawa perasaan dan perasaan itu ditumpahkan pada Angkasa).3. Menunggu malam di rooftop sambil melihat bintang—barangkali ada.4. Berbincang dari hati ke hati (walau sesekali mungkin akan kena nyinyir sama cewek itu).5. Mengakhiri kencan pertama dengan ... wajah semringah dan senyum malu-malu. Ahayyy ...!Sempurna, kan?Yah ... sayangnya semua itu hanya bisa terjadi dalam angan. Mentari menghancurkan segalanya semudah membalik telapak tangan. Gadis berbi berpenampilan heboh (baca: berdandan berlebihan) itu menolak keras makan malam di mal. Dia dengan sombongnya mengatakan hanya ingin makan malam di restoran mahal. Minimal tempat makan sekelas milik ayahnya.Gila saja!Restoran Rafdi bukan tempat makan biasa. Hanya kaum berpakaian seharga minimal lima ratus dollar yang mampu menikmati hidangan di sana. Porsi sedikit harga selangit. Angkasa pernah dinner bersama rekan bisnis beberapa kali di tempat calon ayah mertuanya itu. Kalau bukan untuk pertemuan formal, ia ogah datang lagi. Dua porsi di restoran papa Mentari, belum bisa mengisi separuh bagian perut Angkasa. Dan ini fakta!“Tapi, Nu—” Angkasa ingin membantah. Otaknya sibuk menghitung, berapa rupiah yang akan hangus dari saldonya malam ini. Padahal budget-nya satu setengah juta. Dan itu sudah lebih dari cukup mengingat total belanjaan online per bulan yang harus ia keluarkan untuk gadis ini sebagai salah satu syarat selain memutuskan pacar-pacarnya. Tapi bila mentari ngotot makan di restoran mahal, alamat satu setengah juta itu akan hangus hanya untuk satu porsi makanan.Angkasa bukan manusia pelit. Sama sekali bukan—menurutnya. Dia hanya berpikir, daripada menghabiskan satu juta untuk makanan yang bahkan bisa didapat dengan harga di bawah seratus ribuan di tempat lain, lebih baik uangnya disumbangkan untuk korban bencana. Seperti Lombok, Palu dan Donggala yang baru saja mengalami musibah. Atau disumbangkan untuk pembangunan mesjid agak kelak ia punya bekal di akhirat sekalian. Bukan untuk membeli menu yang ... ah, sudahlah. Hanya Mentari dan mahluk sejenisnya yang tahu di mana letak perbedaan rasa pasta seharga lima ratus ribu dan pasta instan indomacet yang lima puluh ribu saja dapat beberapa bungkus, karena menurut Angkasa sama saja (lupakan kenyataan bahwa Angkasa bahkan setuju untuk membiayai belanjaan tak penting gadis itu selama pendekatan bahkan tanpa berpikir. Anggap saja itu modal untuk mendapatkan sulung Nina sebagai istri. Seperti prinsip ekonomi yang selama ini ia pelajari. Untuk mendapat sesuatu, harus ada sesuatu yang lain untuk dikorbankan yang sama berharganya dengan yang diinginkan. Bagi Angkasa, uang itu berharga. Tapi, Mentari jauh melampaui itu).Hanya saja kali ini Angkasa salah perhitungan. Ia kira Mentari masih bisa diajak makan di tempat biasa seperti mal atau minimal kafe biasa. Karena saat bersama Semesta, dia tidak banyak mau. Diajak makan di rumah saja sudah berjingkrak-jingkrak kesenangan.“Gue nggak nerima penolakan ya, Be. Jawabannya cuma dua. Iya, atau nggak? Kalo lo nggak mampu bawa gue makan di tempat yang gue mau, kita batal jalan aja. Mumpung masih di sini.” Gadis itu melipat tangan di dada. Menatap Angkasa dengan mata menyipit dan dengusan tak kentara di akhir kalimat. Rambut pendeknya yang berwarna cokelat dan di-blow rapi tampak berkilau tertimpa cahaya lampu jalan yang berdiri pongah di dekat taman komplek. Menambah kecantikan paripurnanya yang tak terelakkan. Lebih-lebih kelereng sebiru samudera warisan Rafdi Zachwilli itu mampu menenggelamkan Angkasa perlahan hingga ia tak lagi kuasa menolak.“Oke!” Angkasa mengalah. Mendesah, ia menyuruh sopir untuk mulai menjalankan mobil secara perlahan. Keluar dari komplek perumahan mereka dengan berbagai macam hal berkecamuk dalam batok kepalanya. Ugh, ia bahkan sampai tak napsu bicara.“Lo mau makan di mana? Gue nggak tahu tempat makan mahal yang bagus.” Angkasa tidak sepenuhnya bohong. Hidup belasan tahun dengan ekonomi pas-pasan membuatnya lebih menghargai uang. Padahal kalau ditanya, saldo tabungan dan depositonya sudah bisa membuat ia hidup nyaman selama sepuluh tahun tanpa bekerja.“Sushi Ichi!” jawab Mentari mantap dengan dagu terangkat.Fix, kalau begini caranya, harta Surya akan habis sebelum tiga turunan. Pantas saja Eta berpakaian semi formal malam ini, ternyata tempat mainnya jauh dari kata sederhana. Gaun selutut berwarna biru elektrik berlengan pendek serta sepatu hak hitam. Gincu merah yang menepel di bibirnya membuat Angkasa menahan diri mati-matian agar tak menyerang. Blush on tipis di bawah matanya mempertegas kelereng biru yang menawan.Mentari memang jelmaan bidadari yang nyasar ke bumi. Sayang saja bidadari ini berhati mimi peri. Bikin dongkol.“Amuz aja, ya?” Angkasa mencoba menawar. “Atau di Ruth's.” Meski sama-sama mahal, setidaknya dua restoran yang barusan ia sebut memiliki menu di bawah lima ratus ribu.“Gue maunya makan shusi!” Mentari keras kepala. Matanya memicing saat menyadari ada sesuatu yang janggal di dasbor mobil. Sedikit memajukan tubuh demi melihat gambar dalam bingkai mini di sana, kelereng birunya membola.Itu ... itu fotonya? Kapan dia pernah berpose jelek begitu? Bibir tanpa lipstik dengan rambut awut-awutan dan pakaian lecek. Bukan Mentari sekali!“Oke kita makan shusi. Tapi di tempat lain, ya? Banyak resto Jepang yang enak kok selain Shusi Ichi,” ujar Angkasa lebih ceria. Berharap kali ini bujukannya dipertimbangkan Eta. Oh tidak, bukan dipertimbangkan, tapi disetujui.“Gue maunya yang masih seger.” Setelah berhasil memastikan bahwa gambar di dasbor memang dirinya, ia kembali bersandar pada jok mobil. Hendak memprovokasi Angkasa perihal potret itu.Namun sebelum bibirnya kembali sempat membuka, Angkasa sudah kembali bicara. “Emang cuma di Sushi Ichi yang seger? Yang lain sama aja kali.”Dan semua kata yang tadi mengantre di ujung lidah Mentari kembali tertelan. Berganti puluhan kata lain yang langsung terlontar tanpa pikir panjang. “Ya bedalah, Be. Lo gimana, sih? Ada harga, ada kualitas. Sushi Ichi mengimpor bahan-bahannya langsung dari Jepang setiap hari. Setiap hari!” tekannya di akhir kalimat. “Sementara restoran lain cuma dua kali doang seminggu. Keliatan kan bedanya?”“Toh, rasanya sama aja sih, Nu. Yang namanya sushi ya, rasanya gitu-gitu aja.”“Bilang aja kalo lo nggak mampu bayarin makan gue di sana. Miskin mah miskin aja. Nggak usah sok-sokan ngajak kencan kalo cuma modal kacang!”Ugh, cukup sudah! Kelopak Angkasa menekan, berusaha menahan malu pada sopir yang diam-diam melirik melalui spion depan dengan tatapan kasihan. Menggeram rendah, ia tekan pahanya dengan kepalan tangan sebagai pelampiasan rasa kesal.“Oke! Kita ke Sushi Ichi. Jangankan seporsi, lima porsi juga gue jabanin!” Bersamaan dengan kalimat ini terlontar, hatinya menangis meraung-raung.Rip isi dompet! *** Lima juta hangus semalam!Angkasa bejalan gontai memasuki kamar. Kemudian mengempas tubuh lelahnya ke ranjang sembari menatap layar ponsel yang memperlihatkan saldo rekeningnya, nanar.Sialan si Anu! Ia menggeram kesal, kemudian melempar ponsel ke bantal.Kencan malam ini gagal total! Gagal makan kenyang. Gagal nonton. Gagal menikmati bintang. Dan gagal segala-galanya. Ugh!Mau tau apa yang terjadi? Oke, dengan senang hati Angkasa ceritakan.Tadi. Barusan. Beberapa puluh menit lalu. Usai makan malam. Mentari mengajak pulang.Demi sempak Firaun, dia mengajak pulang setelah perut kenyang. Dan Angkasa yang tidak rela lima jutanya terbuang percuma, mencoba membujuk si calon istri sialan agar mau lanjut jalan. Demi Tuhan, satu pun rencana Angkasa belum ada yang terealisasikan.“Masih sore kali, Nu. Kita nonton ajalah dulu. Jalan ke mana kek. Lo kayak bocah aja jam segini udah minta pulang. Cinderella aja sampe tengah malem.”Yang diajak bicara mengelap sudut bibirnya dengan gerakan super anggun. Saking anggunnya, Angkasa sampai gatal ingin bantu mengelap bibir Mentari dengan bibirnya sendiri—andai saja mereka sudah halal.Meletakkan tisu bekas pakai ke atas meja, gadis itu menatap Angkasa. “Cinderella nggak punya papa. Nggak ada yang larang-karang dia selain mak tirinya yang cerewet! Sedang gue punya Papa. Papa ngelarang gue keluar rumah lebih dari jam sepuluh, Be. Katanya, nggak baik cewek keluyuran malem-malem. Gimana kalu ada yang nyulik? Terus diperkosa? Ngeri tahu! Kalo lo mau, lo bisa anterin gue pulang duluan, terus lo bisa lanjut jalan,” cerocosnya panjang lebar. “Oh, dan gue lebih suka Jasmine timbang Cinderella miskin itu. Bajunya compang-camping. Nggak banget! Gadis miskin yang dapet cowok kaya. Mimpi tahu, nggak?!”Satu alis Angkasa naik. Perasaan dia tadi hanya mengajak Eta tak langsung pulang. Kenapa jawabannya panjang kali lebar kali tinggi begini? Ia sampai lupa poin utama dari topik sebelumnya. Tapi juga gatal untuk menangapi. “Aladin juga dari keluarga miskin. Jasmine tuan putri kaya raya. Apa bedanya?”“Ya beda, dong. Aladdin punya jin yang bisa bikin dia kaya.”Senyum setan Angkasa muncul. Ia memajukan tubuh ke depan. Memangkas jaraknya dengan Mentari agar tak terlalu panjang. Lalu berkata jemawa, “Bilang aja lo suka Jasmine karena kisahnya kayak kita.”“Maksud lo?” pekik Eta tertahan sembari menjauhkan punggung sampai mentok ke sandaran kursi. Menghindar sejauh mungkin dari cowok yang pernah miskin itu. Sesekali ia celangak-celinguk kanan kiri. Memastikan bahwa pekikannya tidak senyaring itu sampai bisa menarik perhatian pengunjung lain. Napas lega terembus dari lubang hidungnya begitu mendapati semua pelanggan sibuk dengan piring masing-masing.“Lo si tuan putri kaya. Sedangkan gue, si miskin yang jadi kaya berkat Jin Surya.”Kelopak Mentari membuka makin lebar mendengar penuturan Angkasa yang gila. Ayahnya sendiri dia sebut jin? Sinting! Dan apa katanya tadi? Seperti kisah Aladdin dan Jasmine? Ogah. “Mimpi aja sana!” desisnya. “Sampai negara api menyerang, gue nggak mau sama lo! Nggak akan pernah.” Tisu yang tadi ia gunakan untuk mengelap sudut bibirnya, diambil kembali kemudian dilempar ke arah muka Angkasa yang praktis bergerak mundur.“Kalau akhirnya lo suka gue, lo mau apa?”“Kalo gue sampai suka sama lo ... gue bakal ... mmm, gue bakal ....” Mentari bingung. Ia sibuk memikirkan hukuman bagi dirinya sendiri bila benar suatu hari jatuh hati pada si sulung Wiratmadja ini. Hukuman yang sekiranya tidak akan pernah memberatkan hidupnya. Sebenarnya ini mudah. Eta yakin sampai mati tidak akan pernah jatuh cinta pada si tengil Aang. Tapi mengingat tak ada yang mustahil di kolong langit, kepalanya mendadak pening.Tak mendapat jawaban dari otak kecilnya, ia pun menyerah dengan mengalihkan topik pembicaraan. “Tau ah, gue mau pulang! Males sama lo lama-lama!”Angkasa berdecak. Ia mengempas punggung ke sandaran kursi. “Ayolah, Nu. Nonton dulu ya ....”“Nggak! Gue ogah digantung Papa. Kalo lo mau, jalan aja sendiri!”“Ya mana seru jalan sendiri?”“Ajakin temen lah.”“Nu, gue mutusin empat pacar gue demi lo. Terus siapa yang bisa gue ajak jalan selain lo?”“Temen cowok?”“Lo kira gue maho?”Mentari mengangkat bahu tak acuh. “Kan lagi musim. Cowok ganteng berbadan kekar biasanya gitu. Lo nggak liat akun lambe-lambe di instagram, emang? Kemarin ada yang keciduk lagi goyang-goyang. Mana ganteng-ganteng lagi.” Angkasa nyaris tersenyum mendengar penuturan Mentari. Cowok ganteng dan kekar katanya? Namun sebelum sempat ia menimpali, Mentari sudah melanjutkan, “Ah, gue lupa lo tampang pas-pasan. Badan juga cuma one pack, kan? Mmm ... kayaknya sedikit buncit juga. Dari body sih, lo normal.”Dan senyum Angkasa hilang secepat datangnya. Gadis iniiii ... kenapa jujur sekali? Padahal menurut mantan-mantannya, Angkasa itu manis, lucu dan menggemaskan. Bahkan kata Damai, tidak ada laki-laki tampan selain dia. Surya dan Semesta saja lewat. Baru Mentari yang mengatakan tampangnya pas-pasan. Tapi untuk bentuk tubuh, Angkasa sependapat dengan kesayangan Rafdi ini. Angkasa memang amat malas olahraga. Ia terlalu lelah bekerja selama delapan jam sehari. Sabtu minggu biasanya ia gunakan untuk tidur dan bermain dengan Meda. Padahal di rumah peralatan gym cukup lengkap milik ayahnya.Lupakan dulu masalah tampang dan tubuh. Yang Angkasa butuh saat ini adalah kepastian tentang rencana jalan mereka. “Jadi, bisa kita lanjut jalan abis ini?”Gelengan mantap, Mentari berikan sebagai jawaban. Angkasa menggeram di tempat duduknya.“Kecuali lo bisa pamitin gue sama Papa.”Dan Angkasa merasa lebih baik ia kehilangan uang lima juta secara cuma-cuma daripada kehilangan kakinya. Karena saat Mentari menelepon ayahnya agar ia bisa memintakan izin, kalimat pertama yang terdengar dari seberang saluran telepon berhasil membuat bulu roman Angkasa meremang. Katanya, “Pulang sekarang atau Papa kasih pelajaran sama siapa pun yang ngajak kamu keluar sampai selarut ini,” bahkan sebelum Angkasa bilang halo.Angkasa paham betul, pelajaran yang dimaksud Rafdi bukan satu tambah satu sama dengan dua. Melainkan pelajaran yang melibatkan fisik seperti kalau diserempet mobil bisa membuatmu berbaring berbulan-bulan di ranjang. Semesta pernah menempuh pelajaran ini hampir satu semester. Dan Angkasa ogah mengikuti jejak adiknya. Ia masih merasa kaki tangannya jauh lebih berharga dari Mentari yang cerewet ini.“Gimana?” tanya Mentari dengan ekspresi wajah mengejek begitu sambungan terputus, bahkan sebelum Angkasa sempat menyahut. Barangkali dia tahu apa yang papanya bilang. Atau bahkan mungkin sudah terlalu hapal.Ugh, padahal baru mau jam sepuluh dan Rafdi sudah bilang ini larut. Pasti bule paruh baya itu pakai jam Timor Leste!“Dulu lo bisa pulang sampe pukul sebelas bareng Semesta itu gimana cara izinnya?” Angkasa balik bertanya. Enggan menjawab pertanyaan retoris sang lawan bicara.“Itu karena Ayang Mesta calon suami gue.”“Oke, kalo lo setuju lusa gue lamar,” ujar Angkasa sambil menyerahkan kembali ponsel Mentari pada sang empunya. Yang dibalas Eta dengan dengusan kasar. Terang-terangan meremehkan.“Gue tunggu kalau gitu. Jam berapa? Biar gue bisa dandan cantik? Khusus buat lo.”“Kalau gue lamar, lo positif nerima kan?”Mentari mengedipkan satu mata. “In your dream,” ia berujar sembari mendorong kursinya ke balakang, kemudian melimbai santai menuju pintu keluar. Ujung gaun biru elektriknya berkibar-kibar mengikuti gerak langkah gadis itu. Betisnya yang ramping dililit tali sepatu berhak hitam yang tampak menggoda membuat Angkasa mendesah seraya mengumpat. Bisa tidak sih, Mentari memakai hijab seperti Damai, pakai cadar sekalian agar tidak ada yang dapat melihat bagian tubuhnya yang indah itu selain Angkasa nanti?“Kalo pada akhirnya lo bukan jodoh gue, rugi berat gue, Nu!” desahnya lesu. Jangan Sampai Terjadi!(Suamiku Mantan Calon Kakak Iparku) Anu-kuBe, bayarin dong.1110001032504426 angkasa nyaris kesenangan di-chat duluan oleh si Anu semenjak kencan mereka yang gagal. Sudah hampir satu minggu berlalu. Selama itu pula Angkasa malas menghubungi Mentari lebih dulu. Sisi egoisnya menginginkan Eta mencari. Dia ingin tahu arti dirinya bagi gadis itu. Dan sejauh ini, arti Angkasa bagi sang tuan putri tak lebih dari sekadar dompet online. Sekali chat atau nelepon, ujung-ujungnya meminta tagihan belanjaannya dibayar.Yeah, Mentari! AngkasaLagi bokek. Kemarin uang gue abis dibuat makan malem bareng manusia nggak tahu diri. Setelah kenyang langsung ngajak pulang! Anu-kuNggak mau tahu! Kan, udah perjanjian. Lo bakal bayarin semua belanjaan online gue selama kita bareng! AngkasaLha, kalo emang nggak ada, mesti gue bayar pake apa dong, Nu? Daun? Anu-kuNggak mungkin uang lo abis. Sini no. Atm sama pinnya! Biar gue yang bayar sendiri. Eh, anji—Astaghfirullah .... Tidak boleh mengumpat! Angkasa menampar pelan bibirnya. Berusaha menahan segala nama jenis binatang yang mengantre di ujung lidah. Refleks dia terduduk dari baring-baring ayamnya. Membaca sekali lagi chat dari Mentari yang ... terlalu berani. Belum jadi istri padahal, sudah main minta nomor ATM dan pin. Apa lagi kalau sudah ijab kabul nanti, bisa-bisa Eta langsung meminta seluruh aset Wiratmadja dipindah atas namanya.Ini Mentari Anugerah loh. Eta! Yang kalau di depan Semesta selalu tersenyum manis dengan semburat merah muda di kedua pipi. Yang jangankan dikasih air minum, air comberan pun akan dia teguk kalau Semesta yang minta. Kenapa jadi matrealistis begini, sih? Padahal dia kaya. Alih-alih cuma bayar belanjaan, minta bulan sekalipun akan ayahnya kabulkan. Ugh, atau ini memang usahanya membuat Angkasa mundur? Tapi maaf-maaf saja, Angkasa tidak sepengecut itu. Kalaupun harus mundur, itu urusan nanti. Setelah dia bosan berjuang. Atau setelah Mentari balik mengejar. Atau bisa jadi setelah cintanya hilang.Ini baru awal. Belum juga ada sepuluh juta uangnya melayang. Hanya saja ... kenapa ngenes sekali mengejar anak gadis orang? Barangkali karena selama ini ia terbiasa mendapat kode, bukan mengirim kode. Wanita-wanita sebelumnya akan ia dekati bila memang sudah posetif menerima. Yang sok jual mahal akan Angkasa lewati begitu saja. Dia kumbang, dan masih banyak bunga mekar di taman untuk dihinggapi. Pikirnya dulu. Sebelum mawar hitam berduri di sebelah ditinggalkan sang pemilik. Mawar hitam yang sejak dulu Angkasa incar.AngkasaNikah sama gue, bakal gue kasih semua yang lo mau! Anu-kuSedang mengetik .... Dua menit berlalu dan status bar-nya masih belum berubah. Angkasa sampai keluar room chat mereka demi membalas pesan Lani—salah satu mantannya yang masih tidak terima diputuskan. Kesal, Angkasa blokir saja dia. Kemudian kembali mengklik ruang obrolan dengan si calon istri kesayangan. Dan kalimat hijau yang berbaris rapi di bawah namanya membuat ia kesal juga.“Ini si Anu ngetik apaan, sih? Lama bener!” keluh Angkasa setelah menunggu selama lima menit dan status Mentari masih tidak berubah.Lalu sekali ponselnya berbunyi, chat yang muncul setelahnya hanya .... Anu-ku😒😒😒 Rahang Angkasa nyaris jatuh ke lantai saking lebarnya menganga. Lebih lima menit menunggu balasan hanya untuk mendapat ... gambar sialan itu?Ugh, padahal dia sudah berharap isi pesan Mentari panjang kali lebar kali tinggi. Meminta Angkasa langsung datang ke rumahnya bersama Damai Surya untuk meminang, misal. Alih-alih emot menyebalkan. AngkasaGue serius, Nu! Anu-kuGue juga serius minta bayarin! AngkasaNikah sama gue, tapi! Centang dua. Biru. Namun tak ada lagi balasan. Angkasa sudah lebih dari sepuluh menit menunggu. Menatap status bar Eta yang tertulis online. Namun tetap tak ada balasan lagi.Lima belas menit berlalu, Angkasa hanya bisa pasrah. Ia membanting ponselnya ke samping ranjang, disusul punggunya yang ikut rebahan. Matanya nyalang menatap langit-langit kamar. Mencoba mencari dosa besarnya di masa lalu melalui kotak-kotak plafon yang tampak remang-remang tertimpa lampu tidur di sisi kanan ranjang. Satu-satunya sumber pencahayaan yang ia biarkan menyala.Jam di dinding sudah menunjuk angka satu. Tapi, mata Angkasa belum juga mau terpejam. Sejak tadi kantuknya tak juga datang.Sesungguhnya, dia memang menunggu Mentari mengirim pesan. Ingin tahu kabar gadis itu. Meski rumah mereka hanya terpisah oleh jalan komplek, keduanya sudah jarang sekali bertemu sejak pertunangan Eta dan Semesta batal. Mentari tak lagi pernah datang ke sini, kecuali bila ada keperluan penting. Seperti mengantarkan kue buatan Nina yang dibagikan-bagikan ke para tetangga.Angkasa sendiri sibuk bekerja. Berangkat jam tujuh pagi, sampai di rumah maghrib kalau jalanan Jakarta sedang lancar. Sabtu-Ahad ia gunakan untuk tidur sampai jam sepuluh—sehabis subuh, tepar lagi. Siangnya menemani Meda bermain. Sorenya kadang ia berusaha keluar rumah hanya untuk melihat Mentari yang barangkali berbicara sendiri di teras rumahnya dengan para kucing. Hanya itu. Karena untuk mendekat lebih dari pada itu, Angkasa masih belum punya nyali. Terlebih bila ada Rafdi. Bisa-bisa, sebelum kaki Angkasa menginjak teras rumah sebelah, kepalanya sudah lolos duluan.Dan kalau ditanya apa yang membuat dia menyukai cewek super manja seperti anak tetangga itu, jawabannya ... tidak tahu. Perasaan itu muncul entah sejak kapan. Mungkin saat mereka bertemu pertama kali saat adegan tawuran antar sekolah Kebanggaan Bangsa dan Maju Terus nyaris sepuluh tahun lalu. Atau saat Surya memperkenalkan mereka saat Angkasa di ketahui sebagai anak kandung surya. Yang pasti, Aang mulai merasa tidak nyaman melihat Eta dengan laki-laki lain semenjak Semesta mendeklarasikan bahwa gadis itu adalah ... tunangannya.Pusing dengan segala isi batok kepalanya, Angkasa bangkit berdiri. Melangkah cepat keluar dari kamar menuju ruang olahraga Surya. Meninggalkan ponsel yang tergeletak di ranjang dengan layar berkedip-kedip.Sejak Mentari mencela perutnya yang mulai buncit, Angkasa jadi rutin mengunjungi ruang gym. Nyaris tiap pagi dia berlari di atas treadmill. Damai yang amat sangat jarang melihatnya olahraga sempat mengejek, “Kamu mimpi apa semalem? Tumben mau ke ruang olahraga Papa.”Angkasa pura-pura tak acuh kala itu dan menyahut sekenanya, “Biar nggak gendut!”“Bah, udah sadar kalau mulai buncit? Bentar lagi lahiran tuh perut kalau di biarin males! Lihat tuh Mesta sama Papa kamu. Rajin olahraga, jadi tubuhnya bagus.”Dan ujung-ujungnya dia mendapat siraman rohani pagi dari Damai tentang pentingnya berkeringat. Surya yang baru turun dari lantai atas untuk sarapan pun ikut menimpali. Angkasa jadi menyesal menanggapi pertanyaan Damai sebelumnya.Setidaknya, satu minggu ini perut Angkasa lebih kecil dua centi. Dan itu semua bermula dari hinaan Mentari. Entah ia harus bersyukur atau bagaimana. Hanya demi Mentari, dia bahkan rela melakukan ini. Kalau sampai usahanya membuat gadis itu jatuh cinta gagal juga, entahlah bagaimana akhirnya. Mungkin Angkasa akan langsung menaiki gunung lewati lembah demi mencari dukun sakti untuk memelet sulung Rafdi Zachwilli. Pelet sama ayahnya sekalian biar sekali dayung dua pulau terlampaui.Ponsel di kamar Angkasa berhenti berkedip. Satu panggilan tak terjawab dari Anu-ku. Disusul getar singkat sebagai tanda notifikasi. Satu chat kembali masuk. Screen head ponsel pintar itu menampilkan sederet kalimat pendek sebelum layarnya berubah hitam.Anu-kuKalo lo udah bisa jadi semesta di mata gue, gue mau. *** Angkasa—satu jam kemudian.Ini Semesta-nya Rinai apa semesta dunia? AngkasaNu?AngkasaNu?AngkasaAnu Geraaahhh .... Wooyyy ... gue serius nanya! Dan malam ini Mentari sukses membuat Angkasa tidak bisa tidur demi mengecek status chat-nya yang ... centang satu.“Aaarrggghh ...!” teriak Angkasa bersamaan suara kokok ayam di kejauhan.Omong-omong, siapa yag memelihara ayam di lingkungan komplek perumahan elit ini?!Sementara itu ....Di seberang rumah, Mentari duduk bersandar pada kepala ranjang. Ponsel dalam genggamannya dimatikan. Ia kesal pada Angkasa yang tidak mau membayarkan tagihan belanjaannya malam ini. Padahal cuma kalung kucing untuk Bulbul yang hilang tadi sore. Harganya tidak sampai seratus ribu padahal. Lebih sih, kalau dihitung dengan ongkos kirimnya, karena pengiriman dari China.Mendesah, ia lempar benda pipih persegi itu hingga jatuh ke ujung ranjang. Matanya nyalang memerhatikan plafon kamar yang temaram karena lampunya sudah dimatikan. Menyisakan pencahayaan dari night lump di nakas. Membaringkan diri, ia berguling hingga posisinya menjadi tengkurap. Kepalanya menghadap bingkai foto yang terpajang di meja samping ranjang.Ada gambar sosok pemuda berwajah datar di sana. Berdampingan dengan rupanya yang tersenyum ceria. Foto itu ia ambil di kamar mantan tunangannya. Saat ia membuatkan kopi bagi laki-laki itu yang katanya terasa buruk. Padahal Mentari sudah mengusahakan yang terbaik. Beberapa kali mengulang takaran dengan dibantu asisten rumah tangga demi bisa menyenangkannya yang tengah kalut. Tapi pada akhirnya, kopi penuh perjuangan dan cinta itu hanya dicicipi seteguk.Ah, Semesta.Dia sudah menjadi milik orang lain, tapi bayang-bayangnya tak pernah hengkang dari otak Eta. Menempel kuat di sana, membuat ia sakit setiap kali memikirkannya.Hampir separuh hidup Eta dihabiskan untuk mencintai Semesta. Hingga ia tak yakin ada Adam lain yang mampu melengserkan tahta laki-laki itu dari singgasana hatinya. Apalagi hanya seorang Angkasa Muda yang selengean dan jarang serius.Kalaupun Angkasa bisa membuat ia percaya lagi untuk jatuh cinta, tidak lucu kan menikah dengan mantan calon adik ipar?Ya kali, nanti ceritanya berjudul 'Suamiku Kakak Mantan Calon Suamiku', atau parahnya 'Suamiku Mantan Calon Kakak Iparku'. Iyuh!Menggeleng geli, Mentari segera menarik bed cover di bawah kakinya. Kemudian mengubur diri dengan kain tebal itu daripada memikirkan bersuami Angkasa.Tapi, tunggu? Kenapa pula ia bisa berpikir sejauh itu?Bersuami Angkasa? Oh, no! Otaknya pasti sudah mulai eror lantaran akhir-akhir ini ia terlalu sering bergadang sejak ditinggal menikah Semesta beberapa bulan lalu.Dan satu hal yang baru Mentari sadari. Memikirkan Angkasa jauh lebih memusingkan daripada berusaha mencari jawaban dari tanya tak terjawab yang sering ia lamunkan. Tentang, kenapa Semesta bisa jatuh cinta pada Rinai yang jarang mandi ketimbang dirinya yang mirip berbi? Demi EtaTerangkanlah Cintaku “l o ngasih pelet apa sih, sama Eta, sampe dulu dia nempel banget sama lo?”Tanpa salam, tanpa sapaan. Begitu pintu di hadapannya terbuka, pertanyaan konyol itu langsung Angkasa utarakan.Sang lawan bicara, tuan rumah—pemilik apartemen yang Angkasa datangi—memutar bola mata jengah. Ia mundur dua langkah sembari melebarkan celah pintu masuk. “Assalamualaikum,” sarkasnya.“Waalaikumsalam! Kok, lo sih yang buka?” Angkasa berdecak. Ia melangkah masuk sebelum dipersilakan. Berjalan cepat ke ruang tengah dengan wajah cemberut. Kemudian menjatuhkan diri di sana. Remot di atas meja kopi diambilnya, kemudian dipencet asal hingga layar persegi yang menempel di dinding itu menyala. Menampilkan acara pagi di salah satu stasiun tivi swasta yang membosankan.Iya, pagi. Di hari Minggu. Dia bahkan belum sempat sarapan di rumah, tapi sudah bertandang ke kediaman orang. Keperluan Angkasa memang sepenting itu datang kemari. Gara-gara pesan Mentari tadi malam.“Udah dateng nggak pake salam, main nyelonong aja lagi. Tamu yang sopan.” Rinai menutup kembali pintu apartemen. Kemudian mengekori Angkasa. Berdiri di samping sofa tempat duduk kakak iparnya yang tampak tak semangat Minggu pagi ini. “Mau minum apa?”Secepat dirinya bisa, Angkasa memutar kepala. Menatap Rinai dengan satu alis terangkat. Adik iparnya yang dulu seperti lady boy a.k.a banci itu kini terlihat begitu ayu dengan kerudung instan seperut dengan warna senada gamisnya.Angkasa jadi makin curiga. Sebenarnya pesona apa yang Semesta punya hingga bisa membuat Rinai begitu penurut? Enam bulan lalu saja, Angkasa masih belum bisa membayangkan sosok Rinai semanis ini. Mantan pengasuh Meda itu bahkan lebih tampan darinya. Tapi, lihat sekarang. The power of Semesta. Atau, the power of love? Atau juga the power of Mak Lilah—mengingat dia yang berhasil membuat Rinai benar-benar menjadi perempuan, mirip Nissa Subyan versi lebih dewasa. Tapi, sikapnya? Ini jelas bukan Rinai sekali. Terlalu ... manis. Dan kata manis bersanding dengan Rinai itu sama sekali tidak cocok. Tawuran atau baku hantam, baru cocok.“Serius lo nawarin gue minuman?” tanya Angkasa tak yakin. Rinai mendengus.“Ya, kali aku becanda, Ang.”Aku? Remot yang Angkasa pegang praktis jatuh ke lantai. Mata laki-laki itu membulat sempurna. Mulutnya bahkan makin lebar menganga.Angkasa Muda Wiratmadja, adalah sahabat Rinai sejak belum bisa berbicara. Dia saksi hidup betapa jantan dan bringasnya Rinai Rainia. Dia mana pernah mau bersopan ria kecuali pada yang jauh lebih tua. Pada pamannya saja ber-lo-gue.Lalu ... lalu sekarang ... aku? Pada Angkasa? Ini benar-benar keajaiban dunia.Baru berapa lama Angkasa tidak kemari? Dua Minggu? Tiga Minggu? Sepertinya belum sampai satu setengah bulan. Tapi, lihat perubahan Rinai sekarang?“Aku? Serius?”“Angkasa!” tegur Rinai sebal. Ia melirik sebuah pintu di ujung ruang tamu sekilas. “Please, jangan bikin kesel.”“Wow ...!” Angkasa benar-benar takjub. “Dididik gimana lo selama tiga bulan ini sama si Mesta? Bisa banget berubah gitu? Pake aku-kamu sama gue. Dan lagi, biasanya kalau gue namu lo suguhin angin doang. Pas minta minum disuruh ambil sendiri ke dapur,” di akhir kalimat, sengaja ia mencibir.“Jadi, kamu mau minum nggak, nih?” Alih-alih menjawab, Rinai kembali bertanya. Setengah dongkol menghadapi Angkasa yang sama menyebalkan dengan adiknya—Andromeda.Angkasa berdecak. “Nggak asik banget lo sekarang. Kaku. Kayak kanebo kering. Ya udah gue minta air putih aja, deh!”Tanpa menyahut lagi, Rinai langsung melenggang ke dapur untuk mengambilkan air mineral. Di ruang tengah, Angkasa yang ditinggalkan, menggeleng-gelengkan kepala tak percaya. Dia makin yakin kalau Semesta punya rahasia cara membuat perempuan termehek-mehek! Rinai yang keras saja bisa berubah kalem begitu. Apalagi Mentari yang sudah kalem dari sananya. Mmm ... setengah kalem maksudnya.Tak sabar ingin menanyakan rahasia yang Semesta simpan, ia berteriak, “By the way, laki lo mana, woy!”“Di sini.”“Allahuakbar!” Angkasa nyaris terjengkang begitu mendengar suara berat Semesta yang menyerbu gendang telinganya tanpa tadeng aling-aling.“Ngagetin aja, sih!”Semesta, cetak biru Surya Wiratmadja itu keluar dari salah satu pintu ruang tengah dengan peluh bercucuran, membasahi sebagian besar kaus pas badan yang ia kenakan. Rambutnya yang mulai memanjang acak-acakan. Napasnya terengah-engah. Ia menjatuhkan diri beberapa meter dari Angkasa. Duduk berselonjor di lantai. Dua tangannya ditumpukan ke belakang.Melihatnya, Angkasa meringis. Diam-diam ia melirik jam yang menempel di atas televisi ruang tengah apartemen adiknya. Pukul delapan lewat lima belas. Dan Semesta baru selesai. “Dari jam berapa lo olahraga?”“Enam.”Ludah kelat, Angkasa telan paksa. Ia meneliti tubuh Semesta dari ujung rambut sampai kaki. Kemudian melirik tubuhnya sendiri.Hah, pantas saja badan adiknya bagus. Dia olahraga lebih dua jam tiap ....“Tiap Minggu?” tanyanya lagi.“Seminggu tiga kali.”Angkasa makin tercekat. Setiap tiga kali seminggu. Oh, perut buncit! Ia mendesah dalam hati.Akhir-akhir ini, Angkasa memang sudah rajin olahraga. Tiga kali seminggu juga. Tapi, durasinya cuma tiga puluh menit. Dan menurutnya itu sudah terlalu lama.Selama setengah bulan ini perut Angkasa mengecil dua sentimeter, tapi gara-gara ditraktir Rendi makan di restoran Padang kemarin, Angkasa kalap dan makan sepuasnya. Mumpung gratis, pikirnya. Sampai di rumah, ia harus menerima kenyataan perutnya membuncit lima senti!Ugh!“Minuman kamu.” Rinai kembali. Membawa sebuah baki berisi gelas dan dua toples camilan. Angkasa hanya melirik malas. Hausnya mendadak hilang. Sudah reda setelah menelan ludah berkali-kali begitu melihat sosok Semesta dan tubuh sehatnya dengan otot-otot yang pas. Perut kotak-kotak yang tercetak dari kausnya yang basah, juga otot lengannya yang tidak terlalu besar.Ini kali pertama Angkasa benar-benar memperhatikan tubuh Semesta. Itu pun karena Mentari. Aang juga ingin tahu, sebab apa yang membuat Eta selalu dibayang-bayangi adiknya yang memang tampan itu.“Jangan liatin suamiku gitu, dong! Kamu nggak napsu sama dia, kan?” Rinai berdiri tepat di depan Semesta. Menghalangi arah pandang Angkasa yang sejak tadi meneliti tubuh suaminya dengan tatapan mendamba. Dua tangannya diangkat ke pinggang dan menampilkan ekspresi garang. Tapi, dehaman kecil dari belakang membikin Rinai cemberut dan cepat-cepat menurunkan tangan kembali ke sisi-sisi tubuh.Iya, Rinai memang sepenurut itu pada Semesta sekarang. Sebagaimana Semesta yang tak pernah menolak setiap hal yang dia mau—selama masih normal dan masuk akal.Uh, oh, the power of love itu memang mengerikan.“Gue masih normal kali,” sungut Angkasa tak terima. Masih dengan wajah tertekuk, ia bangkit berdiri. Dirinya merasa sudah tahu apa yang membuat Rinai dan Mentari kelepek-kelepek pada Semesta. Pasti karena wajahnya yang tampan dan tubuhnya yang bagus. Juga isi kantongnya tentu saja—ini yang terpenting.Jadi, tiga hal daya tarik utama rivalnya—ugh, kenapa Angkasa harus selalu berival dengan Semesta? Kenapa tidak yang lain saja yang lebih manusiawi? keluhannya dalam hati.Untuk dua poin lainnya, sudah Angkasa kantongi.Tampang. Ceklis. Dia juga tampan sekalipun ketampanannya satu tingkat di bawah Semesta.Beruang. Ceklis. Ini yang paling aman. Uanganya lebih banyak dari Semesta. Walau ia tak yakin setelah menikah dengan Mentari isi kantongnya masih akan aman atau tidak.Badan. Oke, ini pe-er.Untuk sekarang, cukup tiga hal itu dulu yang harus Angkasa penuhi. Setelahnya, baru datangi Semesta lagi untuk mendapat pencerahan selanjutnya.“Gue pulang. Assalamualaikum!” Angkasa beranjak. Melangkah penuh semangat menuju pintu keluar.Semesta yang tak mengerti dengan tingkah si sulung mengangkat satu alis sembari berdiri. Menarik pinggang Rinai dan menatap istrinya penuh tanya. Yang dibalas Rinai dengan mengedikkan bahu.“Terus air sama camilannya gimana?” desis Rinai kesal.“Lain kali aja, deh. Gue buru-buru.”“Kalau buru-buru ngapain mampir?”“Buat mastiin sesuatu aja, sih. Udah, ah, gue pulang.” Angkasa menarik handel pintu, kemudian membuka dengan gerakan kasar. Saat hendak melangkah keluar, ekor matanya tak sengaja menangkap kegiatan pasutri di dalam sana.Semesta tengah mencuri ciuman dari Rinai. Yang kontan membuat sahabatnya itu merona, lalu membalas tindakan Semesta dengan mencubit perut kotak-kotak suaminya—yang pasti gagal.Mendengus, Angkasa berseru iri, “Yang mau mesra-mesraan, get room, please!”“Yang jomblo, get out, please,” balas Semesta. Berbeda dengan ekspresi hangat penuh senyum yang ia tunjukkan pada Rinai, saat menoleh pada Angkasa, wajah itu kembali datar. Pun Nada suaranya yang menyebalkan seperti biasa.Mendengus lebih keras, Angkasa menutup pintu apartemen itu setengah membanting.Semesta dan Rinai saling pandang. Lagi-lagi penuh tanya. Detik kemudian mereka sama-sama mengedik tak acuh, lalu tertawa.“Teman kamu itu kenapa?” Semesta ambil suara.“Abang kamu! Mana aku tahu mau ngapain dia ke sini. Tadi sih, nanya kamu. Katanya, kamu punya pelet apa sampe Eta nempel banget?”“Hah?”“Aang kayaknya suka sama mantan kamu itu. Kamu nggak cemburu, kan?”Secepat kilat, Semesta menyambar bibir Rinai. Mengecup sekilas hingga mulut perempuan itu terkatup. “Ngapain aku cemburu, kalau sudah ada bidadari secantik kamu di sisiku?”Aih, manisnya .... Bagaimana Rinai tidak kelepek-kelepek pada laki-laki ini. Laki-laki yang dingin menghadapi dunia, tapi hangat pada keluarganya? *** Jam sepuluh lewat lima belas menit. Angkasa sudah berdiri di depan gerbang rumah si berbi yang setengah terbuka dengan menenteng barbel lima kiloan di tangan kanan dan kirinya, mengenakan kaus hitam—sedikit kedodoran karena belum percaya diri memakai kaus ketat mengingat kondisi one pack si perut.Dia berlari mondar mandir seperti setrikaan di jalan komplek yang menjadi jarak antara rumahnya dan kediaman keluarga Zachwilli. Di halaman bangunan tiga tingkat itu, tampak Bias tengah memandikan motornya. Dan saat melihat Angkasa yang entah sejak kapan berlari-lari kecil di jalan sambil mengangkat barbel dengan napas ngos-ngosan, dia bertanya, “Ngapain, Bang?”“Mau gedein otot,” balas Angkasa singkat, lebih pada napasnya yang nyaris putus. Padahal belum juga sepuluh kali bolak-balik di depan rumah Mentari, tapi dia sudah merasa hampir mati.“Oh,” Bias menanggapi singkat, “kenapa nggak ke lapangan depan aja?” Dia menyemprotkan sabun ke motor besarnya. Sesekali melirik Angkasa yang kini sudah menjatuhkan barbel ke aspal, pun bokongnya yang sudah mendarat sempurna ke bumi. Tak lagi mondar-mandir seperti tadi.“Peka dong, lo. Gue lagi caper ini!” Aang mengelap sisi kiri kepalanya yang sudah kuyup bagai kehujanan. Kausnya pun basah semua.Mendengar jawaban Angkasa, Bias yang hendak meratakan sabun di badan motor, menggantungkan tangan yang menggenggam spon di udara. Dia menatap Aang yang tampak nelangsa dengan dada naik turun, nyaris terkapar di atas aspal. Mata cokelat remaja itu melotot ngeri. “Lo nggak lagi caper sama gue kan, Bang?” tudingnya.“Gue normal, keles!” sungut Angkasa emosi. Sepagian ini sudah dua kali dia dikira homo.“Alhamdulillah, kirain.” Bias mengelus dada dramatis, lantas melanjutkan kegiatannya. Membersihkan debu-debu yang menempel di bagian bawah motornya. “Terus lo caper sama siapa? Mina, ya, pengasuh baru si Aram? Cantik sih, dia. Masih muda gitu. Tapi, jangan ketipu sama umurnya yang masih belum genap dua puluh, Bang. Gitu-gitu dia udah janda. Ditinggal selingkuh sama suaminya. Makanya dia merantau ke Jakarta.” Bias menanggapi panjang lebar. Sedang yang diajak bicara nyaris menjatuhkan rahang mendengar ocehannya yang sok tahu.“Memang tampang kayak gue cocoknya sama pembantu aja, ya?” tanyanya nelangsa. Bias yang tak paham dengan pertanyaannya menoleh bingung.“Maksud Abang?”“Emang gue nggak cocok banget sama kakak lo?” Saat mengatakan kalimat ini, Angkasa sengaja mengecilkan nada suara. Takut ada telinga lain yang mendengar selain Bias.“Eh?” Bias menoleh serius. “Bang Sa ngomong apa, dah?”“Gue suka sama kakak lo. Si berbi hidup itu!”Bias lupa pada cucian motornya begitu paham maksud perkataan Angkasa. Melempar spon di tangan, dia keluar dari gerbang rumah. Meninggalkan motor yang masih penuh busa, pun tanpa memedulikan kedua tangannya yang kotor.Remaja 16 tahun itu berjongkok di samping mantan calon kakak ipar Mentari dengan tatapan serius. Kemudian bertanya sungguh-sungguh. “Lo suka sama Kak Eta?” Sebelum mengajukan pertanyaan tersebut, Bias menoleh kanan-kiri. Memastikan Rafdi yang kemungkinan besar masih pacaran dengan sang mama di dalam rumah tak dapat mendengar obrolan mereka.Angkasa mengangguk dua kali sebagai jawaban. Ia yang semula berselonjor, mengganti posisi duduknya dengan bersila. Dua manusia kurang kerjaan itu serius nangkring di pinggir jalan. Satu dua motor dan mobil sesekali melintas di hadapan mereka. Pun Kang Sayur yang mulai menjajakan dagangannya.“Hah? Serius?”“Becanda! Ya serius lah, Bi.”“Apes banget sih, lo.” Bias menggeleng kasihan. “Jatuh cinta sama Kak Eta itu tuh petaka, Bang. Gue saranin lo nyari yang lain aja deh. Jangan dia.”“Kenapa?”“Sini, gue bisikin rahasia.” Adik pertama Mentari mendekatkan bibirnya ke telinga Angkasa. Tapi, sulung Wiratama itu malah menjauh karena takut disangka homo lagi oleh tukang sayur keliling yang nangkring di depan rumah Pak RT yang berjarak dua rumah dari posisi mereka dan sesekali melirik curiga padanya.“Bisik aja, tapi jangan deket-deket.” Ia menahan perut Bias menggunakan jari telunjuk agar menjaga jarak. Yang dituruti remaja itu sambil mendengus.“Papa tuh nggak mau nikahin Kak Eta sama orang sembarangan. Apa lagi sama Bang Sa yang sodaraan sama Bang Ta.” Sampai di sini, Bias berhenti demi melihat ekspresi Angkasa yang begitu serius. Tak menyadari sudut bibir Bias yang berkedut geli. Ada rencana yang diam-diam mulai tersusun dalam otak ekonominya. “Malah, Papa lebih senang Kak Eta ngelajang seumur hidup timbang didapetin sama orang yang salah.”“Terus?”“Ya, nggak terus-terus. Makanya Bang Sa cari yang lain aja, deh.”“Kalo gitu doang mah, gue udah tahu kali, Bi!” Angkasa mendengus pendek. Ia meraih satu barbel di dekat dengkul kaki, lalu kembali diayun dengan tangan kanan. Seringkali ia melirik balkon kamar di lantai dua yang jendelanya terbuka. Kamar Mentari. Tapi, sejak tadi yang ditunggu tak juga keluar.“Kalau udah tahu, Bang Sa berarti udah siap ngadepin risiko dong, ya.”“Iyalah. Demi Eta terangkanlah cintaku itu, apa sih yang nggak? Kalau hati Mbak lo udah kecantol sama gue, jangankan Om Rafdi, dunia aja nggak akan sanggup menghalangi kami.” Angkasa kembali mendongak dramatis. Menatap balkon kosong itu lagi. Membayangkan Mentari ada di sana. Tengah berdiri dengan rambut cokelat pendeknya yang tergerai indah tertiup angin. Menikmati pagi yang membiaskan sinar ke wajah jelitanya. Membikin dia tambah cantik dipandang mata. Lalu menoleh pada Angkasa dengan senyum terkembang. Melambaikan tangan penuh penantian dan tatapan berlumur kasih sayang.Sayang, semua itu hanya harapan Angkasa. Dan tenguran Bias setelahnya berhasil membuat semua bayangan itu runtuh seketika.“Jiaahhh ... gombal banget sih lo, Bang.” Bias menampilkan ekspresi pura-pura muntah. “Emang Kak Eta udah bisa bales perasaan Bang Sa?”“Kalau udah, gue udah kawin dari lama kali! Bantuin dong, biar kakak lo yang cerewet itu mau sama gue.”“Boleh.” Bias mengangguk antusias. Dia duduk menghadap Angkasa. Ikut bersila di hadapannya. Ini yang dia tunggu-tunggu dari tadi.“Serius lo mau bantuin?” Barbel di tangannya, Angkasa lempar menjauh, hingga bergelinding di aspal dan mengenai kaki Bulbul yang hendak menyeberang mengejar serangga yang kabur dari rumah.Kucing hitam itu kontan melonjak, kaget. Ia mencakar-cakar barbel abu-abu itu gemas sebelum melirik sinis pada Angkasa. Namun yang dilirik penuh permusuhan sama sekali tak menyadarinya, malah antusias menatap Bias penuh harap.“Tapi, ada syaratnya, dong!” Bias bersedekap. Mulai sok jual mahal.“Yaelah, kirain gratis.” Ekspresi antusias di wajah Angkasa langsung lenyap.“Yaelah, Bang. Jaman sekarang mana ada yang gratis? Kencing mandi aja di wc umum kudu bayar. Mandi kencing noh, baru gratis!”Angkasa melengos. Tak lagi tertarik meminta bantuan pada Bias yang sama mata duitan dengan kakaknya. Membungkuk, ia julurkan tangannya ke sisi jalan untuk mengambil barbelnya yang teronggok malang di tengah aspal. Namun belum sampai tangannya menyentuh benda beban itu, satu cakaran manis mendarat di lengannya. Membuatnya melenguh. Saat menoleh, Angkasa temukan kucing hitam berwajah sangar menggeram marah.Kesal, Angkasa tarik kumis panjangnya keras hingga copot dua helai. Si Bulbul menjerit kencang. Bias yang baru menyadari perbuatannya Angkasa kontan membulatkan mata.“Rasain, lo! Nyakar gue sih. Kumis lo ronyok, kan!” serunya dongkol sambil mengibaskan tangan agar kucing tadi pergi. Tapi, Bias justru meraih si ringkih berbulu itu ke dalam gendongan, kemudian mendesis.“Kenapa Abang kasar banget sih, sama kucing?”“Dia nyakarin lengan gue!” Tak terima disalahkan, Angkasa amengulurkan tangan demi memperlihatkan bekas luka akibat cakaran si hitam yang kini mengeong pilu dalam dekapan Bias.“Ya, tapi jangan tarik kumisnya juga. Nyari perkara banget sih, lo!”“Oh, ini kucing lo?” terorisnya, sama sekalian tak merasa bersalah.“Sialnya, ini kucing Kak Eta. Namanya Bulbul. Kemarin kumis yang Bang Sa cabut itu baru dirapiin sama Kak Eta ke salon. Dan gara-gara Bang Sa, kumis kirinya nyaris gundul!”Mendengar penjelasan Bias, kerongkongan Angkasa mendadak kerontang. Satu kata yang kala itu langsung keluar dari batok kepalanya.Mampus!Lagian, sejak kapan Mentari punya kucing hitam?“Aku bakal aduin ini ke Kak Eta.” Dengan tampangnya yang entah sejak kapan berubah datar, Bias berbalik badan. Hendak kembali masuk ke halaman rumah. Tapi, cepat-cepat Angkasa tahan.“Yaelah, Bi. Lo nggak seru banget, sih. Gitu doang masa diaduin?”“Karena Kak Eta bisa sembarangan tuduh nanti kalo pas tahu kumis kucingnya nyaris gundul begini. Aku nggak mau dong dituduh sama dia. Jadi, satu-satunya cara ya kudu jujur.”“Oke, lo mau apa, asal jangan aduin gue sama dia.” Angkasa menyerah kalah. Pada akhirnya, dia memang harus meminta bantuan pada si tengil satu ini. Salah satu bibit Rafdi yang luar biasa perhitungan. Dalam hati berusaha menahan diri agar tak mengumpati si Bulbul yang menatap dari gendongan bias dengan wajah jeleknya.“Dua ratus lima puluh ribu. Baru gue tutup mulut!”Dan umpatan yang Angkasa tahan mati-matian, lolos juga dari katup bibirnya begitu mendengar nominal yang Bias ucapkan penuh senyum. “Sialan lo!” Angkasa Majnun s ekian lama ditunggu di depan rumahnya, ternyata dia malah di sana. Duduk berselonjor di pinggir trotoar taman komplek sambil memangku kucing berbulu lebat warna abu-abu. Di sampingnya berdiri sepeda kayuh merah muda yang begitu manis.Sialnya, Bias baru memberitahu hal tersebut setelah ia menyerahkan uang sebesar nominal yang remaja itu mau. Saat Angkasa bertanya, “Di mana kakak lo? Kenapa belum keluar juga?”“Lah, dia udah keluar dari tadi pagi kali, Bang. Jalan-jalan ke taman komplek bareng Sisi.”“Kenapa lo baru bilaanggg ...?!” geram Angkasa kesal. Dan jawaban Bias selanjutnya membikin ia sukses gondok berat.“Kan, Abang nggak nanya.”Sialan sekali kan, cowok tanggung itu? Menggeram gemas, Angkasa pun lantas pergi. Berlari secepat dirinya bisa dengan menenteng barbel menuju taman komplek. Dia sudah harus sampai ke sana sebelum Mentari memutuskan pulang. Syukurnya, Eta masih betah. Duduk di bawah pohon beringin tua yang daunnya sangat lebat. Berlindung dari sengatan matahari yang begitu terik, padahal baru pukul sepuluh.“Hh ... selamat pagi, Calon Istri,” sapa Angkasa di antara deru napas yang tinggal satu-satu. Niat hati ingin pamer kekuatan di hadapan gadis itu dengan berlari gagah bolak-balik keliling taman sambil mengangkat barbel. Tahunya, begitu sampai di hadapan sang pujaan, Angkasa sudah tak sanggup berdiri. Keringatnya membasahi seluruh tubuh, bagai tersiram hujan lebat sehari semalam yang kerapkali membikin Jakarta terkena banjir.Mengempas barbelnya sembarangan, ia menjatuhkan diri di samping Eta. Sementara yang disapa menatapnya dengan alis berkerut sebelum menggeser duduk menjauh.“Kenapa?”“Bau!” jawab Mentari kelewat jujur, yang praktis membuat Angkasa mengangkat salah satu ketiak untuk dicium.Dan ... yah. Memang sedikit kecut. Dia lupa belum mandi. Setelah berjamaah subuh, Angkasa tidur lagi. Bangun-bangun langsung bergegas ke apartemen Semesta.Berdeham setengah malu, Angkasa kembali bertanya sebagai pengalih pembicaraan. “Telepon gue dari kemarin kenapa nggak diangkat?”“Memangnya situ siapa?” Eta menoleh dengan tatapan mencemooh. Dua tangannya masih asyik mengelus bulu Sisi yang bergelung nyaman di pangkuannya. “Ayah bukan. Saudara bukan. Teman juga bukan. Penting gitu ya, ngangkat telepon dari lo?”“Gue calon suami lo, kan?” Dan Angkasa balik bertanya dengan tingkat kepercayaan dirinya yang terlalu overdosis. Kata-kata Mentari memang nyelekit. Sangat. Untungnya sebelum memutuskan menemui Mentari hari ini, Angkasa sudah membentengi hatinya. Lagi pula, dibanding Eta, omongan Semesta jauh lebih pedas. Tapi, Mentari tahan bertahun-tahun mencintainya walau harus berakhir dengan luka.“Lo nggak memenuhi persyaratan. Jadi, kita putus.” Mentari berdecih.“Maksud lo?”“Virtual account tagihan belanjaan terakhir gue emang udah lo bayarin?” sarkasnya. Angkasa kicep. “Udah sih, udah kadaluarsa juga. Batal otomatis dari sistemnya. Padahal itu cuma pembelian kalung buat si Bulbul. Kalung lamanya udah jelek. Murah gitu aja lo nggak sanggup bayarin. Apa lagi yang mahalan dikit. Padahal harganya nggak nyampe seratus ribu, loh.” Ia mendesah di akhir kalimat. Kemudian mengubah posisi duduk menjadi bersila dengan gerakan hati-hati, takut Sisi yang dipangkunya merasa tak nyaman.“Ya masa karena itu doang lo marah, sih?”“Ya justru, itu doang aja lo nggak sanggup, Be. Gimana kalo gue beli yang mahalan, coba?” Kali ini Eta menatapnya. Benar-benar menatapnya. Bahkan posisi tubuhnya menyerong. Barangkali kesal pada Angkasa. Kerutan di antara dua alis tebal gadis itu pun makin dalam. “Lo tahu, Sisi sekarang lagi hamil. Bentar lagi lahiran. Gue butuh kandang baru buat anak-anaknya biar bisa tidur dengan nyaman. Butuh dot kucing, bak pasir, kasur, tempat makan dan dispenser baru. Belum lagi mainan buat mereka.”Eh, buseeettt ... desah Angkasa dalam hati. Tanpa sadar ia menyeletuk, “Itu anak kucing apa anak Sultan, Nu? Lengkap bener kebutuhannya.” Yang kontan membuat Mentari merenggut. Bibirnya yang semerah delima mengerucut, hidungnnya sedikit berkerut. Dan Angkasa mendadak gagal fokus. Etanya tampak begitu imut. Terlebih dengan anak-anak rambutnya yang tergerai berantakan.Ugh, kalau nanti mereka menikah—semoga—tak akan Angkasa biarkan kecantikan paripurna Mentari dinikmati kaum Adam selain dirinya dan anak-anak mereka saja. Dia akan meminta gadis itu berhijab seperti Rinai. Pakai cadar ninja sekalian. Biar yang tampak hanya mata dan telapak tangan. Eh, tapi mata Mentari terlalu memukau. Warnanya biru seperti samudra. Dan putih tangannya bikin keliyengan. Angkasa pun tak rela jikalau dua hal itu harus dinikmati mata laki-laki lain. Ugh, sepertinya jalan terbaik adalah jangan biarkan Mentari keluar rumah—yang pasti tak akan Eta turuti.Sayangnya, semua harapan Angkasa masih sebatas angan. Faktanya, jangankan diajak menikah, dilamar pun dia belum mau.“Gini nih, kalo ngomong sama yang bukan pecinta kucing. Nggak bakal ngerti.” Mentari bergumam, tapi masih bisa Angkasa dengar. “Tahu nggak sih, lo? Bagi kami, cat lovers, kucing itu ibarat anggota keluarga. Dirawatnya udah kayak anak sendiri. Kenyamanan mereka nomor satu!”“Malika kali, ah. Kedelai hitam yang dirawat seperti anak sendiri.” Angkasa kembali menyeletuk. Tak bisa menahan diri untuk tak menyinyiri setiap sanggahan Eta yang baginya tak masuk akal.Kucing dirawat seperti anak sendiri? Bah, terlalu berlebihan. Bagi Angkasa, kucing tetap saja kucing. Memeliharanya cukup jaga kebersihan dan dikasih makan. Sudah. Tapi, lain dengan pemikiran Mentari yang terlalu. Angkasa tak bisa membayangkan, bagaimana jadinya bila nanti mereka menikah? Apakah Eta masih akan tetap memelihara kucing-kucingnya?Kalau iya, apa kabar kalau mereka punya anak?Saat anak mereka menangis minta ASI dan kucing mengeong minta makan, siapa yang akan Eta dulukan?“Kan bisa ngasih ASI sambil ngasih makan kucing. Ribet banget sih, pemikiran lo!”Angkasa mengerjap. Menatap Eta tak percaya. “Lo bisa baca pikiran orang?”“Siapa yang baca pikiran siapa?”“Lah, lo kan barusan. Jawab pemikiran gue.”“Dasar aneh. Lo ngomong kali tadi, bukan mikir.”“Ah, masa?”Eta memutar bola mata jengah. Berdiri, ia membersihkan sisa kotoran di belakang celana training panjangnya. Sisi sudah turun dari pangkuan gadis itu dan tengah mendongak. Memandang sang majikan dengan mata keemasannya yang begitu bulat. Terik matahari makin menyengat. Keringat Angkasa tak juga mengering. Malah terasa makin banyak terkuras. Padahal mereka berada di tempat teduh. Tapi dasar udara Jakarta tak ada sejuk-sejuknya, alih-alih adem, Aang malah kegerahan tak habis-habis.“Eh, Nu, mau ke mana?” Angkasa ikut berdiri saat melihat Eta hendak melangkah.“Pulang.”“Gue baru nyampe, masa lo udah mau pulang?”“Terus, gue harus nemenin lo gitu?”“Ya nggak juga, sih.” Angkasa menggaruk tengkuk yang memang gatal. Saat menurunkan tangan, ada beberapa serpih ketombe tersangkut di ujung kukunya yang mulai memanjang lantaran sudah seminggu belum dipotong. Ugh, sepertinya begitu sampai di rumah dia harus keramas. “Ya udah, balik bareng aja, yuk?” Ajaknya sambil mengelapkan tangan yang tadi dipakai menggaruk ke belakang celana untuk menghilangkan bekas ketombe. Malu kalau sampai Mentari tahu.“Lo balik sendiri aja, deh. Sekalian bawain tuh sepeda kesayangan gue. Kasian si Pinky, panas-panasan sejak pagi. Mana belum Gue mandiin lagi. Jadi agak dekil keliatannya. Atau kalo lo lagi senggang, cuciin aja sekalian. Kalo udah, nanti anterin ke rumah, ya. Gue udah dijemput soalnya,” ujarnya panjang kali lebar seperti biasa. Padahal inti pembicaraannya hanya meminta Angkasa membawakan sepedanya pulang dan dicucikn sekalian.Namun, yang menggangu Angkasa bukan kalimat panjang itu. Melainkan, “Lo dijemput siapa?”“Sopir, dong. Itu dia.” Eta menunjuk ke jalan komplek yang tak terlalu lebar. Pada Audi hitam yang teparkir gagah di sana. “Lo nggak mikir gue mau panas-panasan kan, Be? Bisa gosong kulit gue nanti. Ya, walau pun udah paket sunblock, sih. Sengat matahari itu, loh. Gue males keringetan.” Mentari mengangkat punggung telapak tangannya setinggi perut. Menatap penuh sayang sebelum mengedik tak acuh pada Angkasa. “Ya udah, ya. Gue sama Sisi duluan. Bay! Jangan lupa Pinky gue!” Kemudian berlalu. Melangkah riang meninggalkan Angkasa yang masih berdiri cengo di bawah beringin tua itu. Bersama si Pinky yang tampak kinclong, tapi kata Mentari sudah dekil.Menatap si Pinky nelangsa, Angkasa memunguti barbel-barbelnya, kemudian di masukkan ke dalam keranjang sepeda si Eta. Gerakannya lesu. Tak bersemangat.“Ky ... Ky. Gini banget ya, nasib kita. Ditinggal berdua,” desahnya pada sepeda merah jambu Eta. “Seenggaknya gue nggak harus jalan kaki sih. Bisa naik bekas si Berbie pula. Kali aja bekas bokongnya masih nempel di sadel, Mayan kan. Empuk!” lanjutnya yang langsung menaiki Pinky penuh senyum. Bokongnya dilonjak-lonjakkan di atas sadel. Berusaha mencari bekas Mentari di sana. Hidungnya dienduskan pada pegangan sepeda. Mirip kucing. Demi menghidu wangi tangan Mentari yang masih tertinggal. Aroma mawar yang samar-samar tercium.“Harum,” desahnya puas. Bagai musafir yang dahaga dan menemukan oase di tengah padang pasir. Ia ciumi aroma itu hingga benar-benar habis. Tak ia pedulikan beberapa pengunjung taman yang menatap aneh melihat tingkah gilanya.Dalam hati, Angkasa membatin. Pantas saja Qais mengatakan bahwa debu yang menempel di sandal Laila lebih ia sukai daripada dunia dan seisinya. Karena memang, cinta segila itu. Dan kini sepertinya ia punya judul cerita sendiri. Angkasa Majnun.Merasa cukup, laki-laki yang beberapa bulan lagi genap 28 tahun itu pun bersiap pulang. Namun belum sempat kakinya menginjak pedal, suara notifikasi terdengar dari ponsel. Satu pesan WhatsApp dari Eta. Anu-kuMengejar seseorang itu seperti mengayuh sepeda tanpa tujuan, Be. Lo harus siap sampai di tempat yang indah atau justru pulang dengan kaki berdarah. Begitu membaca kalimat tersebut, kontan pandangan Angkasa mendadak sayu. Bahkan terik yang tadi menyengat, tak lagi terasa. Sengat di hatinya jauh lebih membikin terluka. Menelan ludah, ia pun membalas.AngkasaApa ini tentang Semesta lagi? Namun Angkasa tetaplah Angkasa. Tak akan ia biarkan kata galau hinggap di hatinya berlama-lama.Mengetik lagi, ia kirim chat pada gadis itu yang masih online. AngkasaLo takut gue terluka juga ya, kayak lo yang ditinggal nikah?AngkasaCiyeee ... yang mulai peduli.AngkasaIni nih, tanda-tanda cinta mulai bermekaran deh.Angkasa😍😍😍 Belum ada satu menit, Mentari sudah membalas. Anu-kuKe laut aja sono! AngkasaJangan ke laut. Jauh. KUA saja.AngkasaMas Aang siap kok, ngasih mas kawin hati yang untuh lengkap dengan cinta dan kasih sayangnya khusus buat Neng Eta.AngkasaJanji setia sehidup juga. Kalau Neng Eta mati duluan, Mas Aang ijin kawin lagi😋 Tapi kalau Mas yang mati duluan, Neng Eta Mas tunggu di pintu surga. Berani cari yang lain, gue hantuin sampe mati. Anu-kuTaik!Dan hanya dengan membaca satu kata balasan dari Eta saja, Angkasa sudah terbahak sendiri. Mentari, cewek luar biasa cerewet tapi irit kata kalau di chat itu, kenapa bisa menghibur begini? BukanMenantu Idaman p agi keesokan harinya, rumah kediaman Rafdi Zackwilli terdengar heboh. Suara paling lantang, dominan, dan cempreng adalah milik si sulung yang sejak tadi tak berhenti mencak-mencak. Mengintrogasi empat adik lainnya yang sudah rapi ingin berangkat sekolah. Ini Senin pagi. Bel masuk sekolah lebih awal dari biasanya. Tapi, sang kakak tak mau mengerti, seolah tak pernah memiliki pengalaman menuntut ilmu.Dia, Mentari, berdiri berkacak pinggang di ruang tengah. Menanyai adik-adiknya satu persatu dengan ekspresi sok ratu.Sumber permasalahannya yakni, ke mana kumis Bulbul? Kenapa tinggal tiga lembar di bagian kiri?Sam memutar mata jengah. Ia melirik arloji yang melingkar di tangan kanan. Sepuluh menit telah terbuang sia-sia demi mendengar ceramah Mentari yang sungguh—tidak—penting. Mencangklokkan tas punggungnya ke bahu, ia siap mengambil langkah. Namun, tudingan Mentari kemudian dengan seruannya yang terdengar bagai kucing terjepit itu terpaksa membuatnya kembali berdiri.“Kak Eta belum kasih ijin siapa pun bergerak, ya!” Ia menunjuk Sam. Mata birunya membulat tajam. Sam sama sekali tak takut padanya. Andai ia sudah bisa membawa kendaraan sendiri, ia pasti tak akan mengacuhkan kesayangan ayah mereka itu. Sialnya Sam masih diantar Rafdi, bersama Leffy ke sekolah. Dan atas permintaan Yang Mulia Putri Mentari Anugerah, Rafdi bersedia berangkat sedikit terlambat demi memuaskan keinginannya.“Aku bertugas jadi pemimpin upacara, Kak,” ujar Sam datar. Tanpa ekspresi seperti biasa. Balas menatap Eta lebih tajam, yang membikin gadis itu tambah mengangkat dagu tinggi.“Bagus, dong! Berarti upacara nggak bakal mulai tanpa kamu, kan? Bisalah telat dikit. Lagian, kalau salah satu dari kalian ngaku, ini bakal lebih cepet.” Mentari masih keras kepala. Sam tambah dongkol padanya. Ia melirik Rafdi yang tampak santai di ruang keluarga. Menyeruput kopi hangat dan menikmati berita di tivi.“Bukan aku!” Sam menggeram. Benar-benar kesal. Mentari mulai keterlaluan. Ia melirik Leffy yang tengah memainkan game online dari ponsel Bias. Topinya tersemat miring. Sama sekali tak tampak khawatir akan datang terlambat ke sekolah. Benar-benar copy-an ayah mereka. Nakal dan sedikit tidak tahu aturan.Menarik napas, Sam bertanya pada adiknya, “Lef, Kakak mau berangkat pakai gojek. Kamu mau ikut apa nunggu Papa?”Leffy mendongak sebentar, kemudian menjawab sambil lalu dengan tangan yang masih aktif di layar, “Nunggu Papa aja.”Sam memicing dongkol. Menyesal dia bertanya. Harusnya Sam sudah tahu jawaban si gila itu.“Kakak belum ijinin kamu ya, Sam.”“Dan aku nggak peduli!” Lalu tanpa pamit, Samudera melangkah tegas melewati tubuh Mentari yang hanya setelinganya. Mengabaikan Eta yang berteriak memanggil seperti orang gila.Dan lebih gila lagi saat ia mengulurkan tangan, hendak Salim pamit pada Rafdi. Beliau hanya bertanya, “Loh, udah boleh berangkat sama Kak Eta? Nggak mau nunggu Papa aja?”“Nggak. Pake gojek.”“Ada ongkosnya?”“Hmmm.”“Ya sudah, hati-hati.”Hanya itu. Samudera menyesalkan ketidakhadiran Nina di rumah sekarang. Karena hanya Nina satu-satunya manusia waras di rumah ini yang bisa mengatur keluarga mereka. Sialnya, perempuan lima anak itu harus mengikuti seminar ke luar kota selama beberapa hari.“Sam boleh berangkat, berarti aku juga boleh, kan?” Bias yang sejak tadi diam, akhirnya buka suara. Dia sengaja tak mengeluarkan satu patah kata pun sejak sidang dibuka. Semata karena takut keceplosan. Hak suaranya sudah ia jual pada Angkasa kemarin. Haram baginya berkhianat, kecuali ... kepepet.“Gue nggak pernah ijinin Sam berangkat! Dasar adik durhaka! Lo nggak usah niru-niru robot Jepang ngebosenin itu.” Mentari kembali berkicau. “Lo yang dari kemarin bawa main Bulbul terus. Sekarang jujur, lo kan yang udah nyabut kumis si Bulbul? Ngaku lo! Kalo nggak, nggak bakal gue beliin paket kuota bulanan lagi!”Bias kembali bungkam. Dia menggeleng dengan tampang wajah tanpa dosanya. Uang 250.000 rupiah dalam saku celana depannya ia tekan melalui kepalan tangan. Pura-pura duduk santai di sofa putih ruang tamu kediaman mereka sambil bertopang dagu dengan tangan yang lain. Dalam hati berdecih, Eta hanya pernah membelikan paket kuota sekali, itu pun hanya lima GB, tapi nyaris diungkit setiap hari.Bias menghentakkan kaki tak sabaran di dekat tubuh mungil Aram yang sibuk dengan pesawat mainan di karpet bawah, sama sekali tak peduli dengan sekitar. Eta saja yang terlalu gila ikut mengumpulkan bocah yang belum genap akal itu.“Terus siapa, dong? Nggak mungkin Bulbul nyabut kumisnya sendiri, kan? Gila aja kalo beneran ada kucing yang bisa nyabut kumis sendiri. Ini pasti kelakuan salah satu dari kalian!” Eta tak puas. Kini giliran Leffy yang akan diintrogasi. Bertingkah arogan, ia rebut gadget di tangan adik ketiganya, yang kontan membuat Leffy kaget seketika.“Apaan sih, Kak Eta! Sini balikin hape Kak Bias! Aku belum selesai main!”“No!” Eta menyembunyikan ponsel pintar itu di belakang punggung. “Jawab dulu. Kamu kan, yang nyabut kumis Bulbul. Dia antara kalian, kamu yang paling nggak suka kucing. Ngaku! Atau—”“Atau apa?” potong Leffy berani. Teramat dongkol pada Eta yang sudah pasti menyebabkan permainannya game over. Sialan sekali memang kakak tertua mereka ini.“Atau Kakak minta Papa potong uang jajan kamu!”“Bukan aku!” Kontan saja Leffy tak lagi berani melawan. Mentari adalah sekutu terkuat Rafdi. Kalau benar dia menjalankan ancamannya, Leffy tak akan lagi bisa menabung untuk ikut menyumbang membeli paket kuota internet Bias. Di rumah memang dipasang wi-fi, tapi di-password. “Aram kali, tuh! Dia kan usil.”Yang disebut namanya, mendongak. Matanya membundar polos. Menatap Leffy penuh tanya sebelum mengalihkan pandangan pada Mentari yang tak tega marah-marah bila Aram sudah mengeluarkan tampang bayinya. Maka dengan pelan, gadis itu bertanya, “Aram yang nyabutin kumis Bulbul?”“Nggak!” Dan hanya dengan jawaban singkat itu saja, Mentari percaya.“Tuh, bukan Aram! Berarti salah satu antara kalian berdua! Ayo cepetan ngaku! Bias kalo nggak ngaku, nanti kumis lo yang gue cabut!”Bias meringis. Tanpa sadar ia meraba sebelah atas bibirnya, pada bulu-bulu halus yang belum tumbuh sempurna di sana. Tapi, dia tetap menggeleng.Melihat jarum panjang pada jam dinding yang sudah mengarah pada Angka enam, Rafdi pun turut ambil suara. Ia bangkit dari ruang keluarga menuju ruang tamu yang tak bersekat. Melangkah tegap menuju Mentari yang masih menjulang di hadapan adik-adik.“Cek CCTV aja, Ta. Di setiap sudut rumah kan, ada. Nanti yang ketahuan bohong biar Papa yang kasih hukuman.” Beliau berdiri tepat di samping si sulung. Matanya terarah lurus pada Bias yang yang mulai belingsatan. “Kamu mau mereka dihukum apa?”Ditanya hukuman, senyum Mentari langsung terbit. Ia membelit lengan Rafdi erat sebelum menjawab riang penuh ancaman, “Kalau Leffy yang salah, bulan depan jangan dikasih kado pas ulang tahun. Kalau Bias ... sita semua fasilitasnya, Padi!”Ah, Bias tidak bisa diperlakukan begini. Dua ratus lima puluh ribu dari Angkasa tak sebanding dengan semua fasilitas dari Rafdi. Maka karena keadaan sudah kepepet, dia tak lagi punya alasan. Berdiri dengan ekspresi gagal perang, Bias pun mengaku begitu mendapati tatapan menuduh Mentari, “Bukan aku. Bang Sa tuh, yang nyabut.”Mendengar jawaban si putra sulung, seringai Rafdi melebar. Dia merangkul bahu Eta dan menepuk-nepuk penuh sayang.“Angkasa maksud kamu?” tanyanya.“Iya, Kak.”“Terus kenapa kamu tutup-tutupi?”“Dia ngasih aku ini.” Bias mengeluarkan dua lebar Soekarno-Hatta dan selembar biru bergambar Ir. H. Dajanda Kartawidjaja yang mulai lecek karena kelamaan dilipat.“Cuma segitu doang kamu udah berani bohongin gue?” cela Mentari dengan nada sombongnya. “Lain kali tuh minta lebih gede. Minimal sejuta!”Bias menggaruk tengkuk yang sama sekali tak gatal. Gagal paham dengan nasihat un-faedah kakaknya. Ia kira akan kena omel karena sudah memeras orang lain. Ternyata ....Setelah mendapat titik terang dan merasa cukup, Eta langsung melepas rangkulan Rafdi demi menemui tersangka utama pencabutan kumis Bulbul. Rafdi hanya mengangkat bahu tak peduli sebelum memberi instruksi pada Leffy dan Aram untuk berangkat sekolah. Yang disambut lesu oleh anak ketiganya itu.Dengan wajah cemberut, Leffy menyerahkan ponsel pintar dalam genggaman pada Bias. Ia menggerutu, “Tanggung banget sih, Kak Eta. Bentaran doang sidangnya. Aturan tuh sampe jam sembilan sekalian biar bisa bolos sekolah, kan! Kalo begini mah malah dapet hukuman karena telat!”“Lef!” Rafdi yang mendengar, menegur pendek. Buru-buru Leffy bangkit berdiri dan secepat kilat memakai tas sekolah. *** Sejak kemarin, Surya Wiratmadja tidak di rumah. Dia ada meeting dengan salah seorang investor di Negeri Jiran, Malaysia, selama beberapa hari. Jadilah pagi ini Angkasa yang menggantikan pekerjaan paginya. Memandikan dan mendandani Andromeda, bungsu keluarga ini yang sudah mulai masuk PAUD.Jangan ditanya ke mana pengasuhnya. Karena sejak Rinai berhenti menjadi baby sitter bocah hiper aktif itu, tak ada lagi yang sanggup mengurus si setan cilik ini. Yang terakhir mengundurkan diri dua minggu lalu, sambil terisak di hadapan damai karena punggungnya nyaris dibuat patah oleh Meda lantaran bocah itu tak mau berhenti bermain kuda-kudaan. Kalau pengasuhnya menolak, maka Meda akan mengamuk dengan menjambak rambut si Mbak.Luar biasa sekali memang bungsu Wiratmadja ini.“Napa wambut Eda bewdili?” Meda yang masih cadel, menatap pantulan dirinya di cermin dengan kening berkerut dalam. Heran pada surai hitamnya yang berubah keras dan mengacung ke atas. Baik Surya maupun Semesta tak pernah menyisir rambutnya jadi aneh begitu. Kalau Semesta biasanya akan mengepang dua, sedang Surya lebih sering mengikat bentuk ekor kuda. Ini kali pertama Angkasa mendandaninya. Dari awal, Meda sudah tidak yakin pada Angkasa, dan keyakinannya terbukti benar.“Ini namanya metal, Da! Metal!” Angkasa mengangkat tangan ke udara dengan menekuk kedua jari tengah dan membiarkan jempol, telunjuk, serta kelingkingnya mengacung sambil mengeluarkan lidah panjang. Meniru gaya punk. “Biar Meda gaul.”“Gaul?” Meda yang polos mulai terpancing. Dia menatap Angkasa penuh rasa ingin tahu. Yang dijawab abang gilanya dengan anggukan meyakinkan. Membuat ekspresi wajah Meda menjadi cemerlang. Bocah itu kembali menatap cermin, kemudian meniru posenya.“Metal!” teriak mereka bersamaan, yang kemudian diinterupsi oleh panggilan Damai yang meminta keduanya turun untuk sarapan.Dengan sigap, Angkasa langsung mengangkat tubuh mungil Meda ke dalam gendongan.Meda dan Angkasa dulunya bagai anjing dan kucing yang tak pernah akur. Angkasa yang usil dan Meda yang emosian sama sekali tak cocok. Berbeda dengan Semesta yang selalu membuat Meda merasa dimanja. Namun semenjak Mesta tak lagi tinggal di rumah ini, keduanya mulai bisa duduk bersama dan bermain lantaran Damai sering meminta tolong Angkasa untuk menjaga si bungsu.Begitu sampai di ruang tengah, Angkasa menurunkan adiknya dan menyuruh Meda berjalan sendiri ke ruang makan. Sementara dia kembali ke lantai atas dengan setengah berlari takut kena amuk ibunya begitu melihat penampilan Andromeda yang tampak beda, sekaligus untuk memasang dasi dan mengambil jas kerja.Benar saja, hanya dalam hitungan ketiga dalam hati, suara melengking Damai sudah terdengar sampai seantero rumah berlantai dua kediaman keluarga Wiratmadja.“Meda, itu rambut kamu diapain sama Bang Sa, Sayang?” Damai bertanya syok. Mangkuk berisi bubur untuk sarapan Meda nyaris jatuh dari tangannya begitu melihat penampilan sang putri. Rambut yang berdiri serta celak hitam yang tergambar di bawah matanya.Dan mangkuk di tangannya benar-benar mencium lantai begitu mendengar jawaban Meda yang luar biasa, “Ini Metal, Nda! Biar gaul!” dengan meniru gerakan Angkasa tadi.“ANGKASA MUDA, KAMU APAIN ANAK BUNDA?!” pekik Damai tak habis pikir.Ia sudah akan menghampiri Angkasa ke kamarnya, tapi bunyi bel pintu depan menginterupsi. Menahan gondok, Damai lebih memilih membuka pintu lebih dulu. Setengah rasa kesalnya menguap begitu mendapati Mentari yang berdiri di teras sambil menggendong kucing kurus berwarna hitam. Mantan calon menantunya itu tersenyum. Rambutnya yang cokelat terang tampak menyilaukan terkena cahaya matahari yang sudah mulai meninggi.“Assalamualaikum, Bunda!”“Waalaikumsalam,” Damai melebarkan celah pintu sebatas tubuhnya bisa keluar. “Eta? Tumben. Ada apa?”“Mmm ... ada perlu sama Angkasa. Dia belum berangkat kerja, kan? Urgent soalnya. Nggak bisa ditunda-tunda.”Damai memicing curiga. Setahunya, Angkasa memang menyukai Mentari sejak dulu, tapi berkebalikan dengan Eta yang tampak tak senang bila Angkasa di dekatnya. Mentari hanya akan mencari Aang apabila benar-benar butuh. Damai sedikit dongkol sebenarnya pada gadis ini. Karena kemarin waktu Angkasa dihabiskan dengan mencuci sepeda gadis ini saja hingga nyaris sesorean. Dan saat ditanya, Angkasa cuma menjawab bahwa dia ingin membalas kebaikan Eta yang sudah meminjamkan sepeda dengan mencucikannya sampai bersih. Kelewat bersih kalau Damai boleh menambahkan. Sabun pencuci mobil Surya bahkan sampai dihabiskan.“Keperluan apa kalau boleh tahu?”Eta tampak salah tingkah mendapati pertanyaan Damai. Kucing hitam dalam rengkuhannya makin erat dipeluk hingga mengeong kesal. Kaki kirinya digesekkan ke kaki kanan. Bingung mau menjawab apa. Tidak mungkin dia bilang mau meminta pertanggungjawaban lantaran Angkasa sudah nyaris menggunduli kumis Bulbul. Andai ini dulu, sudah tentu dengan lantang akan Eta jawab keperluannya terang-terangan. Tapi, semua sudah berbeda. Terlebih sejak Surya tahu siapa pelaku yang menyebabkan Semesta kecelakaan hingga harus dirawat berbulan-bulan.Semenjak itu, hubungan antara keluarga Rafdi dan Surya tak lagi seharmonis sebelumnya. Eta pun yang biasa keluar masuk rumah ini tanpa permisi, mendadak jarang sekali berkunjung kecuali memang betul-betul penting. Dan itu pun hanya sekadar di depan pintu. Karenanya Mentari jadi canggung. Malu juga.Tadi dia sudah berusaha bersikap ceria seperti biasa. Tapi respon Damai yang tak seramah saat ia masih berstatus calon menantunya, membikin kepercayaan diri Eta menciut.“Mmm ... nggak jadi,” jawab Eta setengah mencicit. “Permisi, Bunda. Assalamualaikum.” Tanpa menunggu balasan salamnya, dia langsung bergegas pergi. Melangkah setengah berlari meninggalkan Damai yang menatap punggungnya aneh. Menggeleng tak paham, ia berbalik hendak menutup pintu. Namun belum sempat tangannya meraih kenop, Angkasa sudah lebih dulu menyerobot keluar. Gerakannya yang tiba-tiba sukses membuat Damai kaget dan nyaris jantungan.Pemuda itu semula turun ke bawah demi mengecek Damai yang tak melanjutkan teriakannya dengan siraman rohani seperti biasa. Pun untuk ikut sarapan dan siap berangkat ke kantor.Siapa sangka begitu turun, didapatinya Damai di pintu depan yang tengah berbicara dengan Mentari.Demi rambut berdiri Meda, ciptaan terindah Tuhan di pagi Senin ini sudah nangkring di depan pintu rumahnya. Tapi, kenapa wajah si berbi tampak begitu layu?“Mau ke mana, Ang?”“Bentar, Bunda!” sahut Angkasa tanpa menoleh. Ia bahkan sampai memakai sandal sopir, satu-satunya alas kaki yang tersedia di undakan kecil teras demi mengejar Mentari yang sudah keluar dari gerbang.Damai tahu Angkasa menyukai Mentari sejak bertahun-tahun lalu. Bahkan sejak Mentari belum menjadi tunangan Semesta. Dulu dia tak masalah Mentari menjadi menantunya. Tapi, sekarang? Setelah tahu seberapa mengerikan Rafdi, sepertinya Damai harus berbicara serius dengan Surya untuk mencarikan perempuan lain bagi putra mereka, sebagai pengalih perhatian Angkasa dari gadis bermata biru itu. Eta, TerangkanlahMasa Lalunya “k amu serius menyukai Mentari?”Angkasa memang seniat itu. Baru kemarin pagi dia kemari, sekarang sudah berkunjung lagi. Alasannya hanya untuk menumpang makan. Pulang kantor langsung mampir. Beruntung Semesta ada di rumah, mengingat akhir-akhir ini adiknya itu sibuk mengurus izin praktik yang belum juga didapat.Entah mengapa, Angkasa merasa kalau hanya membesarkan otot tak akan lantas membuat Mentari suka. Sebab jikalau dipikir-pikir, bukan hanya fisik dan kekayaan yang dicari Eta. Karena kalau memang iya, ayolah ... Angkasa calon penerus Surya. Uangnya jauh lebih banyak dari Semesta yang bahkan baru merintis karier kedokterannya yang luar biasa susah itu. Tampangnya juga tidak bisa dikatakan biasa. Di antara sepuluh sampai seratus, nilai Angkasa 85, sedang Semesta 95. Hanya selisih sepuluh poin, kan?Namun, Mentari masih menolak dengan berbagai alasan konyol yang bahkan tak masuk akal. Belum sebulan mereka berhubungan, cewek itu sudah memutuskannya hanya karena Angkasa tak membayarkan tagihan belanjaan terakhir yang ternyata hanya sejumlah ratusan ribu. Yang angkasa yakin hanyalah akal-akalan Eta agar pendekatan mereka berakhir. Sejak awal Mentari memang tak menginginkannya. Tapi, angkasa masih belum mau menyerah. Perjuangannya baru tiga bulan, dulu saja Eta mengejar Semesta nyaris separuh usianya. Dan berakhir dengan ditinggal kawin. Barangkali saat ini dia tak ingin jatuh cinta pada orang yang salah lagi hingga membuat berbagai alasan untuk menolak kumbang yang hendak hinggap. Hanya saja alasannya tadi pagi tak bisa Angkasa terima. Dia merasa tertolak, terhina dan penasaran sekaligus.Angkasa ingat betul ekspresi sendu si Anu saat ia menghadangnya sebelum berhasil mencapai gerbang kediaman keluarga Zachwilli yang berada persis di seberang jalan komplek rumahnya. Entah apa yang ia bicarakan dengan Damai sampai membuat Eta yang biasa ceria mendadak layu.Gadis itu tersentak, kaget. Tapi dasar ratu drama, dengan mudah Mentari mengubah ekspresi secepat dirinya membalik telapak tangan.Angkasa hapal tingkahnya, sehapal ia pada jadwal terbit dan tenggelam matahari. Karena Eta sudah biasa melakukan itu pada Semesta. Menjaga sikap hanya agar putra Surya yang lain itu mau melihatnya. Bahkan dia juga rela berpenampilan lebih dewasa dari usianya hanya karena Semesta pernah mengatakan bahwa ia menyukai perempuan matang. Dalam artian pemikiran, tapi Eta salah mengartikan.“Lo ke rumah nyari gue, kan?” Aang merentangkan satu tangan. Menghalangi Mentari dari akses masuk menuju istana yang berdiri pongah dengan dua lantai milik keluarga Rafdi.Yang ditanya mengerjap. Setengah linglung. Bulbul yang semula bergelung dalam pelukannya bahkan sampai melompat turun. Entah kaget atau trauma karena Angkasa telah menyakitinya kemarin.“Iya!” seru Eta lantang. Dua tangannya dikepal dan agak ditarik ke bawah. Dia mendongak. Menatap tepat ke manik mata Angkasa dengan kobar emosi yang ... sedikit berlebihan. “Gue emang nyariin lo. Gue mau bikin perhitungan sama lo, Be!”“Ciyeeee ... kangen, ya?” Menurunkan tangan yang terentang, Angkasa mengerling nakal, yang praktis membuat Eta berdecih jengkel. “Mau bikin perhitungan apa? Aku tambah kamu sama dengan anak kita?”Mentari tertawa mendengus. Menatap Angkasa penuh ejekan. “Najis banget sih, lo! Gue nyari cuma buat minta bentuk tanggung jawab lo doang tahu!”“Tanggung jawab?” Aang berlaga sok kaget. Dia bahkan membekap mulutnya dramatis. Sama sekali tak merasa sakit hati dengan kalimat pedas sang lawan bicara. “Lo hamil, Ta? Ya ... Allah, padahal kita belum wikwikwik, ya. Kok bisa? Atau ini hasil dari mimpi-mimpi gue tiap ma—”“Mimpi apa lo tiap malem?” potong Mentari cepat. Dua tangannya bahkan sudah naik ke pinggang begitu menyadari arah pembicaraan tak senonoh ini. Sedang yang ditanya langsung kicep. Nyaris saja dia keceplosan. Ah, tapi memang sudah setengah keceplosan. Terlanjur basah, nyemplung saja sekalian.Maka dengan tampang penuh senyum, ia menjawab jujur, “Mimpi basah.”Dan serta-merta semu merah itu muncul di wajah Mentari yang seputih susu. Membikin ia tampak makin cantik saja. Terlebih dengan telaga bening sewarna samudera yang membundar lucu. Angkasa terpesona. Ini kali pertama Mentari merona karenanya. “Dasar otak mesum! Siapa yang lo mimpiin, hah?!”“Ya, lo lah, Nu—” belum selesai kalimat Angkasa terucap, satu geplakan sekuat tenaga Mentari arahkan pada bahunya yang ternyata lumayan keras. “Aw! Sakit tahu! Ini namanya kekerasan dalam rumah tangga.”“Siapa yang mau berumah tangga sama lo?”“Lo, kan?”“Jangan ngimpi!”“Terus gimana sama kandungan lo?” Masih dengan wajah sepolos pantat bayinya, Angkasa menunjuk perut Eta yang rata. Perut rata, pinggang kecil. Ugh, Angkasa tak bisa menatap bagian itu lama-lama kalau tak ingin mandi lagi sebelum berangkat ke kantor. Cara teraman adalah dengan terus memandang wajah jelita yang sedang menahan emosi itu saja.“Demi, Tuhan, Be! Gue nggak hamil!” geram Eta kecil, takut tukang sayur yang sedang menjajakkan dagangannya di sekitar mereka mendengar. Bisa berbuntut panjang nanti. Dan Eta ogah membuat skandal dengan salah seorang Wiratmadja lagi, terutama sulungnya.“Lah, lo minta tanggung jawab apa dong, dari gue?”“Lo yang nyabut kumis Bulbul, kan?”Crap! Angkasa langsung bungkam. Bagaimana si Anu bisa tahu?Ah, Bias sialan! Pasti dia yang membocorkan rahasianya. Ternyata 250 ribu belum berhasil membungkam mulutnya. Angkasa harus membuat perhitungan dengan bocah itu nanti.Tak mau ambil masalah dengan menyangkal, ia pun mengangkat tangan kirinya setinggi kepala, membentuk huruf V sebagai tanda perdamaian. “Sori, gue nggak tahu kalau si hitam itu kucing lo, Nu. Sumpah!” Cengiran kuda khasnya dipamerkan. Berharap Mentari memaafkannya, karena kalau tidak, angkasa khawatir gadis ini meminta tebusan uang atas beberapa helai kumis Bulbul yang tercabut kemarin.“Oh,” wajah Mentari bertambah galak, “jadi kalau Bulbul bukan kucing gue, lo bakal semena-mena nyabut kumisnya gitu? Dasar manusia nggak berperikekucingan. Hewan juga punya hati tahu! Punya perasaan juga. Kalau kumis lo dicabut paksa rasanya sakit, Bulbul juga!”Angkasa meringis, bukan karena kalimat Mentari yang makjleb, tapi lantaran kupingnya nyaris pengang mendengar suara cemprengnya yang naik dua oktaf. Beberapa orang yang lewat saja sampai menoleh pada mereka dengan penuh tanya, yang Angkasa tanggapi dengan anggukan tak enak hati.Tidak ingin tuli di usia muda, ia pun mengalah. Pasrah saja kalau pun Mentari mau meminta tebusan.“Oke, gue harus apa supaya lo maafin?”Eta tak langsung menjawab. Satu tangannya turun ke sisi tubuh. Sedang tangan yang lain masih betah di pinggang. Uh, oh, Ang! Jangan lihat pinggangnya! seru salah satu suara dari dalam batok kepala Angkasa yang mulai pening.“Jauhin gue aja, bisa?” jawab Eta dengan tanya, dalam satu tarikan napas yang berhasil membikin Angkasa nyaris jantungan mendengarnya.“Apa?”“Denger, Ang!” Mata sebiru samudera itu menatap Angkasa dalam. Mentari jarang memanggil namanya dengan benar, kecuali dalam keadaan yang serius. Pun ekspresi sungguh-sungguh yang Angkasa lihat tampak pada raut cantiknya. Membuat laki-laki itu mau tak mau berhenti main-main sebentar demi mendengar permintaan Eta agar mau memaafkannya. Dan ... sepertinya ini buruk.“Sampai kapan pun gue nggak bakal suka sama lo. Hati gue cuma buat Mesta. Nggak bakal ada yang bisa gantiin posisi dia. Lo sekalipun. Jadi, tolong berhenti ngejar gue. Masih banyak kok cewek di luar sana yang mau sama lo. Lo nggak jelek-jelek banget juga. Lagian lo kan mantan playboy, pasti gampang buat lo nyari ganti gue, kan?” lanjutnya, tak lagi menggunakan nanda tinggi. Malah terkesan lembut, tapi berhasil mengoyak sesuatu yang berdenyut di balik dada Angkasa.Yah. Benar-benar buruk.Rahang Aang mengetat. Ia mendesah pendek sebelum mengalihkan tatapan pada jalanan komplek yang cukup ramai oleh kendaraan para tetangga yang lewat. Juga beberapa pembantu rumah tangga yang sibuk bergosip di depan rumah Pak RT yang tak begitu jauh dari posisi keduanya.Angkasa sudah membuka mulut, hendak menyahut, tapi Mentari lebih dulu menambahkan.“Sori karena udah terkesan melorotin lo selama ini. Kalo lo mau, gue bakal ganti semuanya kok. Lo tinggal totalin doang, nanti kirim ke gue berapa yang mesti gue bayar. Tapi, gue nggak bisa bayar pas itu juga. Paling nanti awal bulan, setelah jatah bulanan gue dikasih sama Pa—”“Apa yang dia punya dan gue nggak?” sela Angkasa jengah. Toh, intinya hanya Mentari ingin agar ia menyerah. Ini memang bukan kali pertama Mentari memintanya menjauh, tapi baru kali ini saja Mentari begitu sungguh-sungguh. Sampai sudi menyebut namanya. Sampai mau bertutur halus padanya. Sampai memohon dan ... meminta maaf. Dua kata yang tak sembarangan Mentari ucapkan pada seseorang. Dan hal itu yang membuatnya ... sakit.Angkasa masih enggan membalas tatapan mata Eta. Dia memandang pada kejauhan di sisi kiri. Pada petugas kebersihan yang sedang menyapu pinggir jalan komplek mereka. Seragam oranye yang dikenakan petugas tersebut tampak penuh bercak kotoran yang menempel kuat. Dan entah mengapa, saat ini penampilan kucel petugas kebersihan itu jauh lebih menarik daripada wajah cantik Mentari dengan ekspresi seriusnya.“Masa lalunya.”Sudut bibir Angkasa terangkat. Ia menoleh pada pemilik suara cempreng itu dengan tatapan terluka. “Karena gue pernah miskin?”Eta bungkam. Ia mengedip beberapa kali. Tak lagi berani menatap telaga bening Angkasa yang beda warna.“Emang sebagus apa masa lalu lo, sampe lo nggak bisa nerima catatan masa lalu gue yang pernah miskin?”“Justru itu.” Mentari menelan ludah kelat. Ia menunduk sambil memilin bagian depan baju tidur merah delimanya yang berlengan panjang. “Gue bisa aja nerima masa lalu lo. Tapi, lo sama ... orangtua lo belum tentu bisa nerima masa lalu gue.” *** “Kalau nggak serius, Ngapain gue nanya sama lo gimana dapetin si Eta!” Angkasa menjawab pertanyaan Mesta sewot. Semata demi menutupi gengsi lantaran diam-diam menyimpan rasa pada mantan calon adik ipar sendiri.Di hadapannya, Semesta mendesah pendek. “Sejak kapan?” tanyanya lagi.Angkasa tak langsung menyahut. Ya kali dia mau jujur kalau menyukai Mentari bahkan sejak sebelum mereka bertunangan. Maka pilihan terbaik adalah, “Mana inget dari kapan. Tahu-tahu suka aja, sih.”“Usaha apa saja yang sudah kamu lakukan untuk mendapatkan hatinya?”Angkasa sudah mulai kesal. Sungguh. Ia merasa bukan bertanya pada rival, melainkan calon ayah mertuanya sendiri. Terlalu banyak pertanyaan. Hanya saja, kalau Rafdi tak akan sekalem ini. Alih-alih mengajak bicara, yang ada sebelum niatnya terutarakan, bule itu sudah menjadikannya samsak hidup. “Demi Tuhan, ya, Ta! Lo belibet banget. Tinggal bilang aja ada apa dengan masa lalu Eta sampe gue nggak bisa nerima. Lagian cewek manja kelahiran putri raja kayak dia paling-paling masa lalu terburuknya main sama kece—”“Eta itu anak di luar pernikahan.”“—bong.” Ponsel yang sedari tadi Angkasa putar-putar dengan tangan kanan, spontan jatuh ke lantai. Menimbulkan bunyi 'pletak' keras di ruang tamu apartemen Semesta yang mendadak sunyi.Sang pemilik rumah menunggu respon atas informasi yang baru ia utarakan. Sedang si tamu kehilangan kata-kata. Terlalu syok untuk percaya.Dilihat dari wajah polos dan sikap Nina yang luar biasa baik, tidak mungkin beliau memiliki masa lalu buruk hingga bisa mengandung Mentari di luar pernikahan. Kecuali dia diperkosa. Tapi, masa iya Nina mau mempertahankan janin hasil pemerkosaan dan menikah dengan laki-laki yang menggagahinya paksa? Sinetron sekali. Yang ada, Rafdi sudah pasti mendekam di penjara mengingat keluarga Nina termasuk orang-orang yang berpengaruh di negeri ini.“Lo pasti bohong!” tanggap Angkasa beberapa saat setelah berhasil menemukan suaranya yang sempat hilang seraya bersandar pada punggung sofa. Kopi di meja rendah yang dibuatkan Rinai tak lagi mengepulkan asap. Dan Angkasa sama sekali tak tertarik untuk menyentuhnya.“Saya tidak meminta kamu untuk percaya. Saya hanya menjawab pertanyaan kamu sebelumnya.”Ludah Angkasa mendadak sulit ditelan. Tinggal satu atap bertahun-tahun dengan Semesta, ia tahu adiknya bukan seorang pembohong. Setiap omongannya bisa dipercaya. Hanya saja, untuk yang satu ini ... akal sehat Angkasa sulit untuk bisa menerima. Tapi, masuk akal juga. Rafdi dan Nina terlalu muda untuk memiliki putri berusia 27 tahun. Bias lebih cocok menjadi anak pertama mereka.“Papa tahu tentang hal ini?”Semesta mendesah pendek. Dia menggeleng kemudian. “Yang Papa tahu, Mentari itu anak rekan bisnisnya. Mr. Jo. Pengusaha asal Singapura yang menikah dengan saudara Tante Nina. Makanya dulu dia sempat memaksa saya untuk jangan pernah menyakiti Mentari.”Angkasa makin pusing mendengar penjelasan Semesta yang ... sulit dimengerti. “Intinya aja, deh. Dia anak siapa?”Yang ditanya tak langsung menjawab. Tampak hendak membuka mulut, tapi urung. Seperti segan membocorkan sesuatu yang sangat ingin Angkasa tahu.“Lo nggak mungkin nyaris nikah sama dia sementara keluarga kita nggak tahu latar belakang tentang calon mempelai perempuannya kan, Ta?”“Kamu mungkin iya, tapi saya tidak harus. Kamu belum lupa kan, kalau saya juga anak di luar pernikahan? Papa tidak akan bisa mengusik setiap hal yang menjadi keputusan saya.”Ah, ya. Angkasa tentu sangat tahu. Seperti Mentari yang dibesarkan layaknya tuan putri, Semesta pun demikian. Dia diperlakukan bagai putra mahkota oleh Surya. Nyaris semua kemauannya dituruti, karena ayah mereka sungkan padanya. Semesta juga jarang meminta. Dan terlalu keras kepala. Pun karena Surya sudah terlalu banyak merampas kebahagiaannya.Sebenarnya, dilihat dari sisi mana pun, Semesta dan Mentari itu cocok. Yang satu tampan maksimal, yang lain cantik fenomenal. Semesta yang pendiam dan Mentari yang banyak omong bisa saling mengisi. Mesta yang pintar dan Eta dengan kapasitas otak pas-pasan. Sayang takdir tak memihak pada mereka. Cinta mentari bertepuk sebelah tangan.“Gue ... bingung.” Menatap langit-langit ruangan, Aang memijat dua sisi kepalanya yang terasa berputar-putar. Semua hal tentang Eta selalu berhasil menyita seluruh perhatian. Andai bisa memilih, sudah pasti Angkasa tak ingin menjatuhkan hati pada gadis kelewat manja dan cerewet. Tapi, panah cinta sudah terlanjur menancap di dadanya, sekalipun mau dicabut paksa, bekas itu akan tetap ada. Selamanya.“Keputusan ada di tangan kamu, Ang. Memilih Mentari memang penuh risiko.”“Lalu kenapa lo milih dia dulu?”“Karena sebelum Rain, hanya dia satu-satunya yang benar-benar tulus mencintai saya. Andai Mentari mau memberi saya kesempatan kedua untuk belajar mencintainya, yang saat ini sibuk di dapur tentu bukan Rain, tapi dia.”Menjauhkan tangan dari sisi kepala, Angkasa tatap Semesta dengan kening berkerut dalam. “Maksud lo? Bukannya lo yang mutusin pertunangan?”Semesta tersenyum samar. Menarik napas, laki-laki tampan itu berdiri. Dia melangkah mendekati Angkasa di seberang meja hanya untuk menepuk pundaknya dua kali tanpa benar-benar memberi jawaban pasti. “Mentari perempuan yang baik sebenarnya. Kalau kamu benar-benar bisa menerima dia, perjuangkan. Kalau tidak, lepaskan sebelum dia terbiasa dengan kehadiran kamu. Karena sesungguhnya, Mentari itu mudah jatuh cinta dan sangat setia.”Setelah itu, Semesta pergi. Melangkah ringan menuju dapur apartemen tempat Rinai berkutat dengan berbagai macam alat masak yang samar-samar terdengar berdenting. Sedang Angkasa diam. Selain sibuk memikirkan Mentari, dia juga baru menyadari bahwa ini kali pertama dirinya dan Semesta benar-benar bisa duduk berdua. Berbicara seperti saudara tanpa ada unsur ejekan atau saling hantam.Dan kesadaran lainnya, ternyata Angkasa tak benar-benar mengenal siapa Eta.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai
syarat dan persetujuan?
Laporkan