Lukaku Belum Seberapa (Ekstra Part 13-16)

340
58
Terkunci
Deskripsi

“Kenapa aku nggak berhenti kuliah aja, sih? Lagian mau punya gelar sarjana atau nggak, mama kamu tetep nggak bakal suka sama aku.”

“Cuma tinggal selangkah lagi dan kamu mau nyerah?” Nada suara Agra berubah, lebih berat dan dalam. Ia tak lagi menatap Binar, melainkan pada layar laptop yang masih menyala, menampilkan jendela lembar kerja berisi deretan huruf yang mereka kerjakan bersama.

Melihat mimik muka suaminya yang berubah datar seketika, berhasil memebuat Binar mulai waswas. Agra tidak pernah...

6,495 kata

Dukung suporter dengan membuka akses karya

Pilih Tipe Dukunganmu

Karya
1 konten
Akses seumur hidup
80
Sudah mendukung? Login untuk mengakses
Selanjutnya Lukaku Belum Seberapa (Ekstra Part 1-16)
162
13
Ekspart 1“Kita akan tinggal di sini?” tanya Binar sambil melihat-lihat bangunan dua tingkat di depannya. Ruko yang sebenarnya bukan bangunan asing lantaran sering ia lewati bahkan ia datangi bersama teman-temannya dulu. Dua koper berukuran besar berada di samping mereka.Benar, Binar dan Agra tak lagi bisa tinggal di apartemen lantaran unit tersebut juga harus dijual. Perusahaan keluarga Hilman gagal diselamatkan. Nyaris semua aset mereka habis untuk menutupi utang. Hanya tersisa sedikit untuk mereka.Agra resmi keluar dari rumah orangtuanya yang itu artinya mulai saat ini dirinya benar-benar harus memulai semua dari awal dan hidup mandiri. Demi dirinya dan istri. Tidak, bukan berarti ia lebih memilih Binar. Hanya saja, Agra ingin membuktikan diri bahwa ia bisa, pun pilihan orangtuanya tidak salah. Binar tak seburuk itu. Suatu hari nanti, Agra yakin Bambang serta Ratri akan bisa menerima mereka kembali. Untuk sekarang, keduanya harus sabar melalui ujian ini dengan lapang dada.Tak ada mobil mewah, kediaman besar atau harta berlimpah. Jangan harap. Yang tersisa hanya bangunan dua lantai ini, ruko sewaan dekat kampus yang Agra dapatkan sebagai tempat tinggal. Penyewa sebelumnya tidak memperpanjang kontrak lantaran harus pulang kampung. Pun lokasi ini cukup baik, sangat baik untuk membuka usaha.Dengan bermodal sisa uang tabungan pribadi, Agra berniat membuat usaha yang sudah didiskusikannya dengan Binar tadi malam.Ah, Binar tidak terlalu mengerti sebenarnya. Wanita itu hanya iya-iya saja dan manggut-manggut. Ia percaya pada apa pun yang akan Agra lakukan dan berjanji akan membantu semampunya.“Seandainya kamu menuruti kemauan Pak Bambang, kamu nggak harus hidup kayak gini sama aku,” ujar Binar sedih sambil mengamati jalinan jari-jemarinya dengan Agra usai berdiskusi. Kondisinya sudah sangat baik. Tiga hari lalu ia sudah keluar dari rumah sakit dan tengah menikmati momen-momen terakhir di apartemen mereka yang penuh kenangan.Ikut menatap jalinan tangan mereka, Agra tersenyum kecil untuk menenangkan. “Saya tidak pernah memiliki keinginan menikah lebih dari sekali seumur hidup. Dan saya tahu betul apa yang saya mau, Binar.”“Kamu yakin nggak akan nyesel nanti?”Menggeleng, Agra menarik Binar mendekat dan menyentil kening wanita itu keras-keras. Membuatnya mengaduh kesakitan. “Kenapa kamu berpikir begitu?”Cemberut, Binar menarik tangannya dari genggaman Agra demi mengelus keningnya yang sakit. Agra masih saja sadis. “Ini masuk kategori KDRT tahu! Gue bisa laporin lo ke polisi!”“Oh ya?” Agra menelengkan kepala, lantas kembali menyentil kening Binar, kali ini lebih keras hingga menimbulkan bekas kemerahan di kening putih mulus sang istri. Membuat istrinya praktis menjauh ke ujung sofa dan menutupi dahinya dengan dua tangan.“Ini sakit tahu nggak sih! Kenapa malah disentil lagi? Lo balikan sama gue buat bales dendam apa gimana sih?”“Kamu nggak sadar kesalahan kamu?”“Apa?!” tanya Binar dengan nada nyontek khasnya.“Kamu barusan bilang lo gue, ke saya. Nggak sadar?”Mendengus kasar, Binar menurunkan tangan dari kening dan melipatnya di depan dada. “Gu-e sadar,” akunya dengan memberi tekanan dalam pada kata pertama.“Bukankah sudah saya larang?” Agra menelengkan kepala, menatapnya dengan mata disipitkan. Tatapan yang dulu akan membuat Binar agak gentar, tapi tidak kali ini. Sejak mereka baikan di rumah sakit, Binar mulai tidak segan lagi pada lelaki ini, walau terkadang masih ada perasaan malu yang tidak pada tempatnya.“kenapa gue harus nurut?” tantangnya lebih berani.“Binar!”“Lo juga gitu ke gue. Kenapa gue nggak boleh?”“Kapan saya sekasar itu sama kamu.”Memutar bola mata, Binar menjulurkan kakinya ke depan dan menumpukan ke atas meja. Tingkah tidak sopan lain yang tak bisa Agra toleransi. Melihatnya, refleks lelaki itu menjeplak betisnya yang terbuka. “Binar!” tegurnya sekali lagi yang tak Binar dengarkan. Binar malah makin mencari posisi nyaman dengan merebahkan punggungnya pada sandaran sofa.“Nggak mau!”“Terus mau kamu apa?”“Gue bakal nurut kalo lo juga nurut,” ujar Binar keras kepala. Ah, dia memang keras kepala sejak dulu. Agra memang harus menyetok kesabaran lebih banyak kalau bersikeras menghabiskan seumur hidup dengan wanita itu.Agra sudah tahu risiko ini, harusnya ia tidak kaget lagi. Inilah Binar yang sebenarnya. Binar yang bersikap manis seminggu terakhir murni karena kesehatannya sedang terganggu. Sedang kini, kondisinya sudah sangat pulih. Pun mentalnya.“Saya suami,” kata Agra mencoba memberi pengertian. Ia tidak berusaha mendekati Binar, masih tetap duduk di ujung sofa lain. Televisi di depan mereka menyala, menayangkan iklan yang sama sekali tidak menarik ditonton.“Gue isri,” balas Binar menyamakan posisi. Jelas-jelas tak ingin kalah.“Benar. Seharusnya kamu juga tahu kewajiban seorang istri, kan?”“Lo sendiri tahu kewajiban sama tanggungjawab lo ke gue?”Sebelum ini, tak sampai setengah jam yang lalu mereka masih baik-baik saja. Mereka masih saling menggenggam tangan. Masih saling memberi pengertian. Siapa sangka, sepuluh menit kemudian semua berubah drastis. Mode adu mulut kembali aktif.Apakah ini akan menjadi pertengkaran mereka yang ke sekian kali dalam perjalanan pernikahan ketiga bulan?“Sebenarnya, mau kamu apa?” tanya Agra lagi, kali ini lebih sabar. Dua bulan tinggal bersama, nyaris empat pekan terpisah, Agra akui ia mulai mengenal Binar, tapi tidak sepenuhnya.Binar lebih dari keras kepala. Dia juga terkadang bisa sangat manja dan menjengkelkan. Yang pasti, istrinya selalu ingin menang, dalam hal berdebat dengannya saja, tidak dalam bidang akademik! Suasana hatinya juga bisa berubah dengan sangat cepat. Seperti sekarang. Agra curiga masa kecilnya yang lumayan menyedihkan membuat Binar terkena gangguan mental. Agra tidak akan akan kaget kalau ternyata Binar punya penyakit bipolar.“Kesetaraan.” Binar menjawab dengan pasti.Jawaban macam apa itu? Agra mendengus pelan dan ikut melipat tangannya di depan dada. “Dalam hal apa saya tidak menyetarakan posisi kita?”“Lo mau gue ngubah cara panggilan gue-lo jadi aku-kamu. Tapi lo sendiri nggak!”“Memang bagian mana cara panggilan saya ke kamu yang salah?”“Itu!” Binar menunjuk ibu jarinya ke udara, menghadap tepat ke arah bibir Agra yang setengah terbuka.“Ini?” Heran dan tak paham, Agra ikut menunjuk bibirnya sendiri. Bertambah bingung. Binar kadang memang ajaib sekali.“Saya. Kamu. Gue ngerasa ngomong sama dosen. Kenapa nggak sekalian saya-Anda aja, biar kayak rekan bisnis, kan?”Oh. Agra berkedip satu kali. Dua kali. Tiga kali. Hanya untuk tertawa keras kemudian begitu berhasil mencerna keinginan aneh Binar yang sama sekali tak pernah terpikirkan olehnya.Istrinya yang menjengkelkan tidak suka dengan cara bicara Agra selama ini. Jadi itu yang membuatnya marah? Hanya itu. Bah!“Jadi kamu mau saya juga ganti ke aku-kamu?” goda Agra sambil mencondongkan tubuh ke arahnya.Binar berdeham. Entah kenapa jadi salah tingkah, tapi dia yang tetap ingin kelihatan keren makin menaikkan dagu dan mengangguk dua kali. Lipatan tangannya di dada mengerat merasakan Agra kian mendekat.Ugh, sial! Konflik satu bulan terakhir membuat jarak mereka renggang. Sejujurnya, Binar masih sangat canggung dengan lelaki ini, ia hanya sok berani hanya agar Agra tidak benar-benar tahu perasaannya yang sudah amburadul di balik dada.Berdeham, Binar membalas, “Biar adil, kan?”“Hmm.” ujung bibir Agra terangkat membentuk seringai ... mengejek? Ugh! “Oke.”“O-oke?”Agra mengangguk dua kali. “Saya turuti kamu. Ehm, maksudnya ... aku.”Binar makin salah tingkah. Bahkan pipinya memerah mendengar kata terakhir Agra. Aku, yang diucapkan dengan nada yang sangat lembut. Dan bukan hanya itu saja, lelaki menyebalkan ini menambah dengan meniup pelan telinga Binar, berhasil membuat bulu kuduk wanita tersebut berdiri semua. Mau menjauh pun percuma, posisinya sudah mentok di ujung, tertahan lengan sofa.“Jadi kalau mulai sekarang kamu masih pakai lo-gue lagi—” Agra memberi peringatan. Bukan lagi mencondongkan tubuh, kini ia memepet Binar masih sambil menyeringai. Lelaki ini memang menjengkelkan, “—aku nggak akan kasih ampun. Setuju?”Menelan ludah susah payah, Binar mengangguk sambil berkedip-kedip bagai orang bodoh hanya agar Agra kembali menjauh. Agra baru selesai mandi. Aromanya wangi. Sangat. Membuat Binar nyaris tidak bisa mengendalikan diri.Ck, entah sejak kapan ia jadi semesum ini. Hanya saja, semenjak ciuman terakhir di rumah sakit waktu itu, Agra tidak pernah melakukannya lagi. Paling-paling memeluk Binar saat tidur, atau mengecup keningnya kala pagi tiba.Hanya itu. Entah kenapa. Lalu kini, menatap bibir Agra sedekat ini ... Binar benar-benar tidak bisa menahan diri, seolah ada orang lain dalam dirinya.Menarik napas panjang, ia maju lebih dulu, lantas memberi kecupan cepat di ujung bibir Agra yang setengah terbuka lantaran seringainya yang belum sirna.Sekadar kecupan singkat. Setelah itu Binar kembali menjauh dan berpura-pura tidak pernah terjadi apa pun dengan menatap lurus ke arah televisi. Setengah menyesal kalau boleh jujur.Selama tiga bulan pernikahan, Binar tidak pernah mencium Agra lebih dulu. Selalu lelaki itu yang berinisiatif. Tapi malam ini, entah mengapa ... barangkali karena terlalu senang Agra menurut. Atau karena terhipnotis oleh aroma sabun Agra yang begitu segar. Dan makin malu karena Agra tidak memberi tanggapan pada sepuluh detik pertama. Hanya ... senyum setannya yang seketika sirna lantaran kaget.“Binar, jangan pancing saya,” ujarnya dengan nada rendah. Tatapan lelaki ini berubah sayu dan agak mengerikan. Takut-takut, Binar meliriknya dengan ujung mata.“Mancing?” ulangnya. “Lo—ehm, maksudnya ... kamu ng-nggak suka?” Dan entah kenapa ia malah jadi terbata-bata. Cara Agra menatapnya saat ini sungguh mengingatkan ia pada malam yang tak akan pernah dilupakannya.Malam pertama mereka bulan lalu.“Suka,” suara Agra terdengar begitu berat, “sangat suka. Tapi ... kamu belum bisa.”“Belum bisa apa?”Menjauh, Agra mengacak-acak rambutnya lantas bangkit berdiri. Merutuk dirinya yang nyaris saja balas menyerang Binar!Namun Agra juga tidak mau mandi lagi. Dingin dan ... ya, ampun! Kenapa ia jdi sangat mesum.Tiga hari ini sejak adegan ciumannya dengan Binar, Agra sadar ia harus sedikit menjaga jarak agar tidak terpancing. Sebab, bibir wanita itu seperti pemantik yang bisa menghidupkan monster dalam dirinya yang akan membuat sisi hewannya terbangkitkan.“Sudahlah. Sepertinya aku memang harus mandi lagi!” dengusnya pada diri sendiri. Dia sudah nyaris melangkah pergi, tapi Binar menahan tangannya agar tidak ke mana-mana.“Bukannya kamu udah mandi? Kenapa mau mandi lagi?”“Karena ...” Agra menelan ludah, tapi gagal membasahi kerongkongannya yang mendadak kerontang, “aku kegerahan.”“Kamu mau aku merendahkan suhu ac?”“Bukan karena itu, Bin.”“Lalu apa?”“Karena terlalu menginginkan kamu.”Bukan hanya Agra. Binar juga mendadak kegerahan mendengar jawabannya. Pun bertambah canggung.Demi bulan yang malam ini bulat sempurna, mereka sudah menikah. Bahkan sudah meresmikannya. Hanya saja ... kenapa saat ini masih juga merasa sangat canggung seolah ketahuan berbuat sesuatu yang tabu?Barangkali karena hanya pernah melakukannya di malam pertama dan esok harinya dipaksa menghadapi konflik keluarga yang berakhir harus melalui hampir satu bulan perpisahan. Entahlah ... yang pasti, suasana saat ini sangat aneh.Memberanikan diri untuk menghapus jarak di antara mereka, Binar ikut berdiri. Dengan gerak agak kaku, ia mengalungkan tangan ke leher Agra dan berkata, “Aku bisa bantu biar kamu nggak harus mandi lagi.”Sejenak, Agra terpana. Jenak kemudian, ia mengangkat tubuh wanita itu dan menjatuhkannya kembali ke sofa sebelum Binar berubah pikiran.Ya, begitulah malam terakhir mereka di apartemen. Cukup manis untuk dikenang. Karena mulai hari ini, Agra dan Binar akan membuat kenangan lain kediaman baru. Pun memulai kehidupan rumah tangga mereka yang sederhana dengan kerja keras dan keringat sendiri.Ah, membayangkan saja sudah membuat hati Agra hangat sekaligus ngeri.“Ya, kita akan tinggal di sini. Kamu suka?” jawab Agra, sekaligus meminta jawaban dari sang istri seraya memutar kunci untuk membuka pintu ruko.Tersenyum, Binar mengangguk. “Aku suka.”
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan