Lukaku Belum Seberapa (Ekstra Part 1-16)

162
13
Terkunci
Deskripsi

Ekspart 1

“Kita akan tinggal di sini?” tanya Binar sambil melihat-lihat bangunan dua tingkat di depannya. Ruko yang sebenarnya bukan bangunan asing lantaran sering ia lewati bahkan ia datangi bersama teman-temannya dulu. Dua koper berukuran besar berada di samping mereka.

Benar, Binar dan Agra tak lagi bisa tinggal di apartemen lantaran unit tersebut juga harus dijual. Perusahaan keluarga Hilman gagal diselamatkan. Nyaris semua aset mereka habis untuk menutupi utang. Hanya tersisa sedikit untuk mereka....

26,683 kata

Dukung suporter dengan membuka akses karya

Pilih Tipe Dukunganmu

Karya
1 konten
Akses seumur hidup
300
Sudah mendukung? Login untuk mengakses
Selanjutnya Lukaku Belum Seberapa (1-40)
115
6
Versi gratis yang di sini sama kayak di Wattpad, ya. Dari prolog sampai bab 20. Mulai bab 20 ke atas dikunci. Harus bayar buat bisa baca. Kalau mau baca ful gratis, bisa tunggu giliran repost di Wattpad, ya ^^Bdw, ini dijual terpisah dari ekstra part. Cuma bab 1-40 aja. Semoga kalian suka. *** PrologHari itu mendung. Langit tampak berwarna abu pekat dan tebal. Awan hitam bergulung-gulung di atas sana. Terlihat nyaris seperti gelombang badai.Tentu saja. Saat ini masih musim penghujan. Wajar dunia muram. Semesta pun kerap kali menangis. Bumi yang malang harus menampung tiap tetes kesedihan itu. Tanpa bisa mengeluh. Menyedihkannya, dia harus bahagia. Karena tangis semesta merupakan anugerah bagi nyaris seluruh penghuni di sana.Anugerah.Benar.Seharusnya ini anugerah.Cincin emas putih dengan berlian kecil itu mengerlip penuh ejekan di jari manis. Sang pemilik yang tak kuasa menatapnya, lebih memilih memandang langit mendung yang masih meraung. Hujan makin deras, tapi sama sekali tak mampu menghentikan pernikahannya. Pernikahan sederhana di ruang kecil Kantor Urusan Agama.Pernikahan yang sama sekali tak ia inginkan. Demi langit yang masih menangis, dirinya baru menginjak usia 20. Pesta ulang tahunnya bahkan baru dirayakan semalam. Di aula hotel mewah milik keluarga mereka.Iya. Mereka. Sekarang keduanya merupakan keluarga, ‘kan?Tentu saja. Pernikahan jelas merupakan penyatuan.Oh, tidak. Tidak. Ini bukan jenis pernikahan paksa. Hanya perjodohan yang tak bisa ditolak. Bahkan ia menerima. Dengan sukarela. Pun lelaki itu. Pria muda berkemeja putih yang kini duduk di sampingnya, sedang menandatangani berkas perkawinan mereka.Tolong jangan tanya siapa lelaki malang itu. Si malang yang kini menyandang status sebagai suaminya. Si malang yang kemudian berpaling dari berkas-berkas di meja demi meliriknya dengan netra pekat nan tajam yang sudah sangat ia kenali. Bibir yang tak pernah tersentuh nikotin itu menipis, pun rahang mengetat.Suaminya ... jelas tidak senang dengan keadaan ini. Mungkin juga marah.Kita memang sudah menikah. Lelaki itu berbisik. Dia mendekatkan bibir ke telinga istrinya, barangkali agar orang-orang yang berada di ruangan itu tidak bisa mendengar obrolan sang pengantin baru. Termasuk orang tua mereka yang kini tersenyum lega, saling berbincang satu sama lain tentang ... kelanjutan bisnis yang sudah disepakati bersama. Tapi, aku harap kamu tetap bersikap seperti sebelumnya. Acuh tak acuh padaku. Jangan sampai ada yang tahu selain keluarga kita.Lelaki itu pun lantas berdiri sambil pura-pura membersihkan kemeja putihnya yang masih licin oleh bekas setrika. Tak ada setitik debu pun di sana, tentu saja. Sudah selesai, katanya dengan suara lantang dan ... ramah. Senyum yang kerap kali berhasil membuat banyak kaum hawa terpesona, tersungging dari bibirnya. Bibir yang baru saja mencebik muram pada sang istri. Aku masih ada kelas siang ini. Boleh pergi lebih dulu? Dia berkedip pelan. Menatap ayah, ibu, dan dua mertuanya dengan tatapan hangat seorang putra. Yang selalu berhasil meluluhkan hati orang tua mereka. Atau menipu.Lelaki itu bertingkah seolah sangat mencintainya di depan kelurga besar, tapi cukup kejam saat mereka hanya berdua. Dan seakan tak saling mengenal saat berada di tempat umum.Tolong temani Binar pulang. Pastikan istri Agra selamat sampai di rumah, oke, tambahnya dengan nada ceria. Dia lantas menatap Binar, masih dengan senyum dan tatapan hangatnya, kemudian mengelus kepala gadis itu pelan sebelum melangkah pergi setelah mendapat izin dari para orang tua.Agra, suaminya, berbohong. Dia tidak ada kelas siang ini. Binar tahu. Tentu saja, sebab keduanya selalu ada di kelas yang sama.Hari ini jadwal kuliah mereka kosong.  BAB 1Salah satu hal paling membosankan di dunia ini menurut Binar adalah ... terjebak dalam kelas matematika bisnis dengan berbagai rumus yang tidak ia pahami serta dosen tampan yang menjelaskan setengah menggumam. Ah, ini lebih terasa seperti nyanyian pengantar tidur. Terlebih gerimis di luar sana membuat udara lebih sejuk dari biasanya, kendati pendingin ruangan kelas mereka sudah disetel dengan suhu agak tinggi.Menguap, Binar mengucek mata beberapa kali untuk menghilangkan kantuk. Ia sengaja membawa balsam khusus untuk menghadapi kelas ini saja. Tapi bahkan sampai ujung alisnya terasa terbakar, kantuk belum juga mau hilang.Melirik ke samping, ia dapati temannya, Prisila yang tampak fokus mendengarkan hingga nyaris tak berkedip. Membuat Binar penasaran. Ia pun bertanya setengah berbisik, “Lo paham nggak sih sama penjelasan Pak Teja?”“Nggak,” jawab Prisila dengan polosnya.“Terus dari tadi lo dengerin penjelasan sambil sesekali baca buku itu maksudnya apa?”Prisila mengubah posisi bukunya menjadi berdiri sebelum menunduk lebih rendah. “Gue denger dari kakak tingkat, kita kudu hati-hati sama beliau. Meski ganteng abis dan keliatan kalem, semester lalu yang lulus dari kelasnya cuma sepuluh mahasiswa doang. Itu pun C min,” jelasnya seraya kembali duduk tegak dan mengembalikan fokus ke depan. Pada papan tulis yang sudah dipenuhi oleh oretan angka-angka.Mengangkat buku seperti yang tadi Prisila lakukan, Binar kembali bertanya, “Lo serius?” dengan nada ngeri. Karena bila Prisila benar, maka dirinya paling terancam. Sebab sejak sepuluh menit kelas dimulai, Binar sudah mulai menguap dan Pak Teja memang beberapa kali meliriknya.Argh! Kenapa harus kelas matematika bisnis yang dosennya seperti ini? Binar sudah cukup tertekan masuk jurusan yang tak disenangi, Ekonomi dan Bisnis, tolong jangan ditambah dengan ini!“Lo bisa tanya kakak tingkat yang pernah ikut kelas beliau kalau nggak percaya.”Bolehkah Binar pindah jurusan? Bolehkah?Tentu saja tidak! Dia bisa dikeluarkan dari daftar keluarga kalau melakukan itu. Kakeknya yang kejam sudah menentukan setiap alur kehidupan Binar dengan begitu sempurna. Sangat sempurna. Selama ini ia tidak pernah mengeluh. Tapi ekonomi dan bisnis sama sekali bukan bidangnya! Binar suka sastra. Lebih suka lagi kalau ia tak harus melanjutkan kuliah. Lulusan SMA tidak buruk. Toh, ia tak harus mencari kerja. Harta keluarganya sudah banyak. Cukup hingga tujuh keturunan setelahnya bila digunakan dengan bijak. Sayang sekali Kakek tak berpikir demikian. Alih-alih menghabiskan tujuh turunan, beliau lebih suka harta keluarga mereka tiada habis sampai turun-temurun, malah kalau bisa kian bertambah.Mengerang pelan, kantuk Binar mendadak lenyap mendengar jawaban Prisila. Demi mendapat nilai memadai agar bisa lulus kelas ini hanya agar tidak terjebak lagi dalam suasana menyebalkan, ia membuka halaman seperti milik Prisila, lantas berusaha fokus mendengar penjelasan Pak Teja yang bagai alunan Nina Bobo di telinganya. Masuk kuping kanan keluar kuping kiri.Menegapkan tubuh, Binar mulai memperhatikan papan tulis. X kuadrat. Y pangkat min satu. Ugh. Binar paling benci disuruh mencari nilai X,Y, atau N. Ia lebih suka diminta membuat esai atau makalah, atau reviu. Atau apa pun yang tidak ada hubungan dengan angka—kecuali uang.Mendesah, ia menunduk kembali ke arah buku hanya untuk mencari kecocokan antara penjelasan Pak Teja dan teori, walau ini sebenarnya hanya akting agar ia terlihat sedang memperhatikan mata kuliah. Matanya yang mulai pedih lantaran pemakaian balsam, ia kedip-kedipkan beberapa kali. Ah, pasti merah.“Hey, kamu!”Binar terperanjat saat suara lemah lembut Pak Teja berubah lantang seketika. Mendongak dari rangkaian kalimat buku dengan bahasan rumit itu, Binar menelan ludah kelat mendapati ujung spidol Pak Teja terarah lurus pada ... nya!Bukan, bukan hanya ujung spidol Pak Teja, tapi nyaris semua pasang mata di kelas menoleh pada Binar sekarang.Uh, oh. Ini bencana!“Y-ya, Pak?”“Kerjakan contoh soal di papan. Saya yakin ini bisa menghilangkan kantuk kamu.”“Y-ya?” Binar ternganga. Ini lebih buruk dari ancaman tidak diluluskan. Menoleh ke samping, ia dapati tatapan iba Prisila yang seolah berkata, “Udah gue bilang, ‘kan?”Ugh, sepertinya ia memang tidak berbakat akting. Atau mungkin ini gara-gara matanya yang memerah?Binar meringis. Ia menggigit bibir sembari menaikkan kacamata bacanya lebih tinggi sebelum berdiri, membawa serta buku paket ke depan. Spidol hitam yang diserahkan Pak Teja padanya terasa seperti ujung pedang yang takut-takut ia terima.Memperhatikan soal di papan, Binar cocokkan dengan contoh di buku, hanya untuk merasa kepalanya berputar-putar. Ah, ini saat yang tepat untuk pingsan. Sayangnya, hilang kesadaran tidak semudah di sinetron. Jadilah cobaan ini harus dengan tabah ia hadapi.Lalu sepuluh menit kemudian, Binar masih di sana. Mengukir setiap angka dengan saksama hanya untuk dihapus lagi kemudian. Terus begitu hingga ia merasa kakinya agak gemetar dan luar biasa malu. Dalam hati berdoa, ingin waktu berputar lebih cepat agar penyiksaan ini berakhir. Tapi doa buruk sepertinya memang tidak akan pernah terkabul.Ini Binar. Si cantik yang kadang menyebalkan lantaran sering membuat yang lain kesal. Si angkuh yang merupakan pewaris tunggal bisnis keluarganya, tidak berkutik di depan kelas? Memalukan!“Bagaimana, Mbak? Bisa?” tanya Pak Teja dengan nada bosan, seolah membuat Binar berdiri di sana masih belum cukup membuatnya tak lagi punya muka.Di novel, film, dan FTV, dosen muda, tampan, dan pintar digambarkan sebagai karakter favorit yang diidamkan nyaris seluruh mahasiswa. Tapi jangan harap hal tersebut terjadi di dunia nyata. Binar lebih memilih diajar dosen paruh baya dengan wajah menyeramkan asal tidak punya hobi memberi nilai C min ke bawah. Wajah tampan Pak Teja sama sekali tak bisa dijadikan pandangan indah untuk cuci mata. Karena setiap kali memandangnya, Binar jadi khawatir dengan nilai IPK.“I-ini agak susah—”“Padahal tinggal menurunkan rumus saja loh, Mbak, jelas Pak Teja yang Binar rutuki dalam hati.Apanya yang tinggal menurunkan rumus saat contoh soal di buku dan soal yang harus dikerjakan jauh berbeda? Pak Teja pasti bercanda!Mbak ini tidak bisa mengerjakan sepertinya. Ada yang bisa bantu?”Binar, masih menghadap papan, cemberut. Ia ketuk-ketukkan ujung kaki kirinya ke lantai pelan sebagai usaha penghilang gugup. Yang lagi-lagi tak berhasil.Ah, ya, Mas. Silakan maju ke depan.Selang beberapa detik setelahnya, telapak tangan yang jauh lebih besar dari milik Binar terulur di depan gadis itu.  Telapak tangan penyelamat! Desahnya dalam hati seraya mendongak dengan senyum semringah yang kemudian hilang secepat datangnya.Spidol! seru suara berat yang sudah Binar hapal mati, bahkan tanpa harus melihat. Sialnya, tatapan mereka sudah terlanjur bertemu. Lelaki itu memutus pandangan mereka lebih dulu. Tentu saja.Dia bukan penyelamat. Lebih tepatnya, petaka lain. Menipiskan bibir, Binar serahkan spidol dalam genggamannya pada Agra. Mahasiswa yang tentu mengajukan diri untuk mengerjakan soal menggantikan dirinya.Maka tanpa dipersilakan oleh Pak Teja, Binar kembali ke tempat duduk. Di pojok belakang. Tempat yang ia kira paling aman untuk bersembunyi dan memperhatikan pemuda jangkung di depan sana yang mengerjakan soal dengan begitu mudah. Tak sampai lima menit, ia sudah kembali duduk dengan sederet pujian yang kemudian Pak Teja berikan.Ada nggak sih mata kuliah yang nggak Agra kuasai? tanya Noni retoris sambil mendesah sambil menatap punggung lebar Agra penuh damba. Udah ganteng, pinter lagi. Denger-denger katanya dia anak orang kaya juga kan? Nggak heran mobilnya ganti-ganti. Sayang cowok semacam dia nggak bakal ngelirik kita, Pris, desahnya dramatis sambil memeluk erat lengan Prisila.Binar yang cakep dan sama kaya juga nggak dilirik sama Agra, apa lagi lo! risih, Prisila tarik lengannya dari rengkuhan Noni tepat saat Pak Teja mengakhiri jam kuliahnya. Sesuatu yang berhasil membuat Binar kemudian bisa menarik napas lega. Setelah ini, mereka masih ada kelas ekonomi.Ah ... kapan hari ini akan berakhir? Atau tepatnya, kapan dua tahun sisa penyiksaan ini akan berakhir?Bangkit dari kursi, Binar seret tasnya tanpa semangat. Mengabaikan Noni dan Prisila yang masih memperdebatkan Agra.Agra yang begini, Agra yang begitu. Binar sama sekali tak tertarik menimbrungi mereka. Sama tidak tertariknya ia pada pemuda itu. Pemuda jangkung berjaket denim yang berada lima langkah di depannya, berjalan bersisian dengan satu mahasiswa lain dan dua mahasiswi yang juga dari kelas mereka. Agra, Bagas, Nara, dan Emili. Mereka berempat nyaris selalu bersama sejak memasuki kampus ini. Sama seperti Binar, Prisila, dan Noni yang sudah bagai tiga serangkai.Pun sudah jadi rahasia umum kalau Agra menyukai Nara. Keduanya bahkan sudah berteman semenjak SMA.Ah, lupakan Agra. Binar lapar. Waktu istirahat tak sampai satu jam ini harus bisa ia manfaatkan sebaik mungkin sebelum kembali menyiapkan mental menghadapi kelas ekonomi, walau dosennya tidak sekejam Pak Teja, tetap saja Binar tak suka.Ke mana kita abis ini? tanya Prisila sambil memasangkan tas ke punggung Binar yang semula ditenteng oleh sang empunya.Makan! jawab Noni dan Binar serentak. Matematika bikin gue laper. Otak gue juga ikut kusut. Gue beneran salah jurusan, tambah Binar kemudian.Tenang aja, Bin. Bukan cuma lo kok. Gue juga! Prisila, yang paham betul perasaan sahabatnya, merangkul Binar dengan ekspresi pura-pura simpati.Di antara mereka, hanya Noni yang lumayan berotak, atau paling berotak. Yang juga sering Prisila dan Binar andalkan saat ada tugas. Noni, yang masuk kuliah dengan jalur beasiswa memang tidak seperti dua sahabatnya yang bisa lulus tes masuk universitas karena faktor keberuntungan.Ck, ck, Bagas, yang berjalan sejajar Agra beberapa langkah di depan mereka pun berbalik, barangkali geli mendengar pernyataan Prisila. Kalian bego, tapi masih bisa bangga, ya. Gue salut! tukasnya, berhasil membuat langkah Binar dan teman-temannya terhenti sejenak di lorong kelas, sebelum bergerak lebih cepat agar bisa sejajar dengan ... apa sebutan empat sekawan itu? Grup mahasiswa cerdas dan sombong?Lo lupa satu hal, Gas. Binar, dengan gaya angkuhnya yang biasa, mengibas ujung pasmina abu-abunya yang terjuntai ke belakang hingga tak sengaja mengenai ujung hidung sang lawan bicara. Ah, dia memang sengaja. Yang nggak kalah penting dari kecerdasan adalah koneksi yang bagus. Dan Prisila punya itu, imbuhnya seraya menyeringai usil. Ia memberi penekanan dalam pada kata 'koneksi yang bagus' untuk memperjelas maksudnya.Kami juga punya koneksi yang bagus. Emili menimpali, ikut berbalik dan bersedekap menghadap Binar. Lagian kaya turunan aja bangga!Binar mengangkat bahu tak acuh. Suasana hatinya sedang buruk, dan makin tak keruan lantaran kumpulan mahasiswa sok pintar ini. Membikin perut Binar tambah keroncongan. Dan saat lapar, ia bisa bersikap lebih menyebalkan lagi.Siapa yang nggak bangga lahir dari keluarga kaya? Dari bayi udah dapat perlakuan istimewa—Bin, udah! Noni yang mulai tak nyaman lantaran beberapa mahasiswa Pak Teja di kelas selanjutnya mulai memperhatikan mereka, berusaha menghentikan Binar dengan menarik lengannya. Tapi bukan Binar namanya kalau menurut begitu saja. Lagian gue nggak perlu jadi pinter buat sukses. Keluarga gue bisa kasih itu.Jangan sombong, Binar, kekayaan bisa hilang dalam sekejap, Bagas yang tampak jelas mulai dongkol, mendesis. Sedang otak yang pintar—Juga bisa hilang dalam sekejap akibat kecelakaan, tandas Binar sambil mendengus, lantas menyeret kedua temannya menjauh, menyusuri anak-anak tangga menuju lantai bawah. Meninggalkan Bagas dan teman-temannya.Nara, si baik hati yang tak suka keributan, menegur pelan, Kamu apa-apaan sih, Gas. Udah tahu Binar orangnya gitu.Gue kesel aja. Bego kok bangga. Cuma karena dia terlahir kaya, bukan berarti segalanya, ‘kan?Agra memilih tak berkomentar. Ia hanya memasukkan tangan-tangannya ke dalam saku celana dan memberi isyarat untuk meneruskan langkah. Mereka masih harus ke perpustakaan untuk mencari bahan makalah tugas kelompok besok lusa.Nyatanya, lahir kaya emang berarti banyak hal. Emili mendesah kesal. Wajar kalau dia sombong. Apalagi dia juga cantik, tapi tetep aja tingkahnya bikin dongkol.Cantik sih cantik. Percuma juga kalau tingkahnya begitu. Mana ada orang yang bakal tahan sama dia. Gue kasihan aja sama siapa pun yang nanti jadi suaminya!Emili mendengus. Ngapain kasihan sama calon suaminya? Gue yakin, laki-laki yang bakal jadi suami Binar menikahinya karena urusan bisnis. Bukan cinta, komentarnya, tanpa sadar membuat punggung salah satu kawannya menegang.Sementara Bagas dan Emili menggosipkan Binar, Nara yang tak tertarik menimbrungi, mengajak Agra melanjutkan langkah yang sempat terhenti, sesekali mengobrol tentang materi yang tidak mereka mengerti di kelas sebelumnya.Namun, mau tak mau Agra harus acuh saat dengan tiba-tiba Bagas menarik ujung kerah jaket denimnya dan bertanya, Sejak kapan lo mau pake kalung, Gra?Dan tingkah aneh Agra kemudian yang langsung memperbaiki kerah kaus dan jaketnya, menarik perhatian yang lain. Agra tidak suka memakai aksesoris, sekali pun akhirnya mengenakan kalung, tingkah defensifnya sedikit mencurigakan. Seperti maling yang tertangkap basah sedang mencuri.Cuma iseng, jawabnya singkat, lantas kembali melangkah lebih cepat menuruni anak-anak tangga, meninggalkan teman-temannya yang saling pandang.Agra agak aneh nggak sih? Emili bertanya setengah bergumam, yang Bagas jawab dengan anggukan.Mungkin dia cuma nggak nyaman aja. Lagian apa anehnya pakai kalung? Nara yang selalu menjadi penengah dan mendinginkan suasana, berusaha menjawab keheranan dua sahabatnya sebelum menarik lengan Emili, lantas menyusul Agra yang sudah berada di depan. BAB 2Ini hari yang buruk. Setidaknya bagi Binar. Dipermalukan di depan kelas matematika mungkin memang hanya awal. Lalu harus menghadapi Bagas yang menyebalkan, sepertinya bukan akhir. Karena kini ada lagi. Satu kejadian tambahan menyebalkan terjadi tepat di bawah kolong langit yang sedang marah. Guntur terdengar dari kejauhan. Awan-awan gelap bergelantungan.Hujan memang sedang tidak menentu di Ibu Kota. Perkiraan cuaca mengatakan akan terjadi hujan besar sore ini. Kalau dilihat dari gemuruh langit yang menggelegar, sepertinya memang benar. Dan Binar terjebak di sana. Di pinggir jalan. Sendiri.Baiklah. Ia hanya harus tenang.Menarik napas panjang, Binar menyesal kemudian. Alih-alih udara, yang masuk ke paru-parunya adalah polusi, membuatnya terbatuk-batuk pelan.Kenapa tak ada hal baik terjadi hari ini? Ugh!Menendang ban mobilnya yang tampak menyedihkan, Binar membuka pintu kemudi dan meraih ponsel yang tergeletak tak bernyawa di dasbor.Benar, ponsel itu tak berdaya. Baterainya habis beberapa jam lalu bahkan sebelum kuliah usai. Pun Binar lupa membawa pengisi daya. Jadilah ia hanya bisa merutuki diri.Apa yang bisa Binar lakukan di pinggir jalan tol seorang diri? Ia tidak mungkin nekat jalan kaki dan meninggalkan mobilnya di sini? Terlebih, kediamannya masih jauh.“Ayo dong. Hidup!” Binar menekan tombol power lama sambil memukul ponsel malang itu dengan kepalan tangannya. Tapi tak terjadi apa pun. Layar ponselnya masih gelap, segelap suasana hati Binar saat ini.Melempar ponsel tak berguna itu kasar ke kursi kemudi, Binar tutup pintu mobil nyaris membanting. Dalam hati berdoa, berharap ada satu saja seseorang lewat dan menghampirinya. Binar akan bisa meminjam ponsel untuk menghubungi bengkel, sekalian minta tumpangan.Siapa pun orang yang sudi melakukan itu untuknya, Binar berjanji dalam hati, ia akan membalas dengan kebaikan yang lebih lebih lebih besar lagi. Tolong datanglah orang baik, mohonnya sambil menatap langit waswas. Terlebih saat satu tetes besar menabrak ujung hidungnya. Binar nyaris kehilangan harapan.Sepertinya dia memang harus menghabiskan sore di sini, menangis bersama semesta. Setidaknya sampai ada yang melaporkan mobilnya yang terparkir sembarangan di pinggir jalan.Menggerutu panjang pendek, Binar membuka pintu mobil bagian belakang, berpikir dia bisa menghabiskan waktu dengan tidur selama menunggu ada yang mengetuk kaca mobil dan membangunkannya, tepat saat kendaraan lain berhenti di belakang kereta besi berwarna kuning yang sudah ia kendarai sejak tahun lalu itu.Binar menoleh, nyaris tersenyum lantaran malaikat penolongnya datang. Namun sekali lagi, senyum itu lenyap secepat datangnya saat ia mengenali mobil tersebut.Jangan tanya siapa yang datang. Suasana hati Binar sampai pada titik terburuk. Ia bahkan berpikir lebih baik terjebak di sini sampai besok pagi kalau perlu ketimbang harus menumpang pada orang itu.Manusia yang namanya tak ingin Binar sebut.Dari kaca depan yang transparan, Binar bisa melihat ekspresi wajah datarnya dengan begitu jelas. Aura yang terpancar darinya sewarna dengan mobil yang dikendarai. Hitam. Gelap. Dia bahkan hanya melirik Binar enggan sekilas sebelum menurunkan bahunya seolah lelah sambil menempelkan ponsel ke telinga. Seakan Binar merupakan beban yang seberat itu.Namun sepertinya pemilik nama yang tak ingin Binar sebut memang tidak berniat menawarkan bantuan atau tumpangan. Tak apa, batin Binar setengah dongkol. Ia juga tak butuh bantuan. Cepat atau lambat akan ada yang menemukannya.Entah kapan, karena air mata langit jatuh lagi. Satu tetes. Dua tetes. Tiga tetes. Dan tetes-tetes yang tak terhitung datang menyerbu. Tak ingin kebasahan, Binar masuk mobil dan duduk di kursi belakang dengan perasaan dongkol.Apa yang ia harapkan dari Agra? Tidak dicerca sudah untung. Bibir lelaki itu jarang terbuka, tapi sekali bersuara, perkataannya bisa lebih tajam dari silet. Dan memikirkan seumur hidup harus dihabiskan dengan dia ... Binar pasti sinting telah menyetujui perjodohan ini.Tetapi, apa yang bisa dilakukannya? Dulu Binar masih berseragam putih biru kala mendapat penawaran. Dia mengangguk antusias saat Kakek mengatakan jika Binar bersedia menikah dengan Agra Mahandika, maka dirinya bisa memilih jalan hidup yang diinginkan tanpa harus terbebani dengan urusan bisnis keluarga mereka di masa depan.Binar merupakan cucu tunggal Kakek. Ibunya tidak bisa melahirkan lagi lantaran pernah mengalami kecelakaan saat mengandung adik Binar hingga rahimnya harus diangkat. Sedang Binar tak bisa diharapkan sebagai penerus dengan hanya bermodal IQ 105 serta pemalas akut. Terlebih, ia benci segala sesuatu yang berhubungan dengan angka.Binar hanya ingin hidup tenang. Berbelanja sesekali. Menonton drama dan membaca novel roman sering-sering.  Agra saat itu terlihat seperti tiket surga menuju kehidupan nyaman yang ia inginkan. Terlebih, kata Kakek, Agra juga pintar dan pandai membawa diri. Baik pula. Tapi Binar tidak melihat itu, yang tampak di matanya hanya ... Agra tampan dan jangkung. Tidak buruk menjadi istrinya kelak. Terlebih, Agra punya dua hal yang tak Binar miliki. Tubuh tinggi dan isi otak. Maka tanpa harus berpikir lagi, Binar mengangguk.Hanya saja, setelah pertemuan pertama mereka, sikap dingin Agra membuatnya menyadari satu hal. Lelaki itu tidak menginginkan perjodohan ini. Sedang sudah terlambat untuk menarik keputusan. Kedua keluarga telah sepakat.Keduanya baru berusia 15 tahun saat orang tua mereka menyatakan Agra dan Binar saling bertunangan.Menutup pintu mobil kasar, Binar menjatuhkan diri pada jok penumpang. Ia mendongak, menatap pada langit-langit mobil yang begitu dekat. Mengingat masa lalu hanya selalu membuatnya merasa menyesal. Bukan atas keputusan yang sudah ia buat, melainkan untuk Agra yang harus terjebak. Tak hanya menikahi Binar, di masa depan lelaki itu masih harus memikul tanggung jawab perusahaan yang seharusnya menjadi beban Binar.Agra hanya tidak berdaya di hadapan orangtuanya yang ambisius. Terlebih begitu tahu bahwa pemuda itu tertarik pada gadis lain, rasa bersalah Binar membengkak kian besar. Salah satu alasan ia tak pernah kuasa menatap mata Agra. Bukan salahnya bila kemudian ia mengabaikan Binar. Binar bisa mengerti.Menarik napas panjang, gadis itu menutup mata sambil merapatkan sweater tebal yang dikenakannya untuk menghalau dingin. Tanpa harus menoleh ke belakang, ia tahu suaminya masih di sana. Di balik kemudi. Barangkali dia sudah menelepon bengkel atau siapa pun yang bisa menjemput Binar pulang, dan menunggu sampai siapa pun itu datang. Hanya sebagai bentuk tanggung jawab. Atasnya. Wanita yang tidak dia inginkan.Menguap kecil, Binar tak sadar kapan dirinya jatuh tertidur. Yang ia tahu hanya, entah sudah berapa waktu berlalu, seseorang mengetuk pintu mobilnya, membuat ia terbangun. Binar membuka pintu seraya mengucek mata yang masih terasa berat saat mendapati sopir Mama menatapnya khawatir. “Mbak Binar nggak apa-apa?”“Seperti yang Mamang lihat,” katanya setengah menguap. “Aku ngantuk.”Langit masih menangis meski sudah tidak separah tadi. Yang tertinggal kini hanya rintik-rintik kecil. Binar menatap jauh ke depan. Ia mendesah melihat mobil Agra yang bergerak menjauh hingga tak terlihat dalam pandangan.Benar. Dia menunggu Binar sampai seseorang menjemput. Satu hal lagi yang sangat Binar sesalkan. Agra adalah pemuda yang baik. Akan lebih melegakan bila lelaki itu mengabaikan Binar saja. Setidaknya, rasa bersalah Binar mungkin bisa sedikit berkurang. Sedikit.“Saya sudah menghubungi pihak bengkel,” ujar Mang Risman, berhasil mengalihkan perhatian Binar dari arah yang membawa mobil Agra menghilang. “Sebentar lagi mungkin mereka datang. Biar saya aja yang antar Mbak pulang. Nanti masalah mobil biar saya yang urus.” Mang Risman menahan pintu mobil dengan salah satu tangannya yang bebas, sedang tangan lain memegang gagang payung yang disodorkan pada Binar agar nona mudanya tidak kehujanan.Tapi, tunggu?Mengantar pulang? Kenapa mengantar bukan membawa—ah .... Binar melupakan sesuatu. Gadis itu meringis seraya menggigit kuku jempol tangan kanannya, sedang tangan kiri terangkat ke pinggang.Mendengar Mang Risman akan mengantarkan dirinya pulang, perasaan Binar jadi tidak keruan begitu teringat per hari ini dirinya akan tinggal di apartemen. Bukan di rumah keluarga lagi. Dan tentu, tidak sendiri. Barang-barangnya bahkan sudah dikepak sejak kemarin, pun diantarkan pagi tadi ke tempat tinggal barunya.“Apa menurut Kakek aku nggak terlalu muda untuk ini? Satu atap sama laki-laki?” tanyanya setengah memohon, menatap lelaki beruban yang duduk di kepala meja makan pagi itu, dengan tenang melahap menu sarapan, seolah cucunya tidak sedang merengek.“Kamu sudah cukup tua,” jawab beliau usai menelan hasil kunyahan. “Usia dua puluh tahun, dulu Kakek bahkan sudah punya anak,” lanjutnya yang makin membuat Binar tidak nafsu makan.Menoleh pada Maia, ibunya, untuk meminta bantuan pun gagal. Wanita paruh baya itu hanya mengelus punggung tangan sang putri sambil tersenyum menenangkan. “Kamu sudah harus belajar mandiri.”“Tapi sama dia?” Sengaja Binar memberi penekanan penuh pada kata terakhirnya yang merujuk hanya untuk satu orang.“Kenapa kalau sama Agra? Kalian sudah menikah.”“Kami hanya dua bocah yang dikumpulkan dalam satu rumah. Menurut Mama apa yang akan kami lakukan?”“Membuat bocah lainnya.”Dan jawaban Maia yang terlalu lugas itu nyaris membuat putrinya pingsan. Atau setidaknya, ingin pingsan.Binar masih dua puluh tahun! Dinikahkan di usia itu sudah cukup buruk, meski menurut yang ia tahu, ada yang bahkan sudah menikah di usia yang lebih muda. Meski begitu, tetap saja!Ia bahkan belum pernah menonton film dewasa. Tapi sepekan sebelum perkawinannya yang sederhana berlangsung, Mama tega membawa ia ke dokter kandungan untuk konsultasi tentang kontrasepsi yang cocok baginya.Kata Mama, “Setidaknya kalian belum boleh punya anak sampai lulus S-1.” Lalu pulang dengan membawa beberapa tablet pil kontrasepsi.Jangan bayangkan betapa kacau perasaan Binar waktu itu. Entah mengapa ia merasa begitu nista setiap kali mengingat tatapan dokter yang menanganinya.“Mama gimana sih? Katanya aku belum boleh punya anak!” Binar protes. Ia tarik tangannya dengan kasar dari genggaman Maia. Bukan maksud kurang ajar, hanya ... malu. Binar masih merasa terlalu kecil untuk membahas masalah orang dewasa.Dan anak ... prosesnya saja tak pernah bisa ia bayangkan. Terlebih dengan Agra? Binar merasa mendadak ingin pingsan—lagi.“Itu hanya ungkapan, Sayang.”Ungkapan yang nyaris membuat Binar jantungan!Berdecak, gadis itu mendorong kursi meja makan ke belakang sebelum bangkit berdiri. Lantas pergi begitu saja membawa tas kuliahnya, tanpa pamit, mengabaikan sang Kakek yang berteriak menyuruh Binar menghabiskan sarapan yang bahkan belum ia sentuh.Lalu kini, berdiri di depan pintu unit apartemennya dengan Agra, Binar menggigit bibir. Ia mengusap berulang kali tengkuknya yang mendadak dingin, seolah ada hantu yang meniup bagian itu.Binar sudah mendapat kode akses untuk masuk. Pin pintu adalah tanggal pernikahan. Minggu lalu. Ta-tapi ... bagaimana Binar bisa masuk saat perutnya terasa begitu mulas, seperti diaduk-aduk.Di kampus ia bisa bersikap acuh tak acuh karena suasana ramai. Banyak yang bisa dijadikan pengalih perhatian. Di pertemuan keluarga, Binar punya alasan untuk diam demi sopan santun. Sesekali tersenyum manis bagai boneka dasbor.Benar. Mereka seringkali ditinggalkan berdua untuk bicara. Kala itu situasinya juga berbeda dari saat ini. Binar dan Agra belum menikah. Dan mereka hanya saling mendiamkan. Sesekali hanya Agra berkomentar tajam, yang Binar abaikan.Namun, kini status mereka tak sama lagi.Menikah. Suami. Istri. Tinggal berdua. Kepala Binar mau pecah.Menarik napas panjang, ia maju selangkah mendekati pintu, hendak menekan kombinasi angka hanya untuk mundur kembali detik kemudian. Lantas kembali mondar-mandir seperti yang sudah dilakukannya selama tiga puluh menit terakhir. Ia bahkan tak peduli saat beberapa orang yang lewat menatapnya aneh, karena perasaan Binar kini jauh lebih aneh.Jantungnya berdentam-dentam bagai tabuhan genderang saat perang akan dimulai. Perutnya mulas, seperti ada yang mengaduk-aduk ususnya hingga tak berbentuk. Dan ... banyak lagi. Banyak lagi!Benar Binar tidak memiliki ketertarikan khusus dengan suaminya. Kendati demikian, membayangkan mereka akan tinggal bersama, tetap saja membuat perasaannya panas dingin.Ke utara lima langkah, Binar berbalik ke selatan dengan jumlah langkah yang sama. Terus begitu hingga bunyi bip-bip pintu terbuka membuat tubuhnya mendadak kaku.Memutar badan perlahan, saliva Binar tersangkut di kerongkongan saat mendapati tubuh tinggi berbahu lebar membelakanginya.Agra.Binar berkedip-kedip cepat. Kapan ... sejak kapan ... ah, tidak. Tepatnya, kenapa Agra di luar dan baru membuka pintu? Apa sejak tadi apartemen yang membuatnya gugup itu kosong? Kapan Agra tiba, kenapa ia bisa tidak menyadarinya? Serta puluhan pertanyaan lain yang membuat Binar merasa dirinya sangat bodoh.Kalau benar sejak tadi unit mereka kosong, berarti gugup dan takut Binar selama tiga puluh menit itu ... sia-sia?Jenak kemudian, pintu ditutup. Dari dalam. Agra bahkan tidak menawarinya masuk.Binar menatap pintu yang kembali merapat dengan sisi tembok seolah tak pernah dibuka itu dengan tampang bloon. Ia berkedip lagi. Sekali. Dua kali. Tiga kali.Ah, benar. Dirinya yang bodoh.*** BAB 3Baiklah. Tak hanya Agra yang bisa bersikap cuek. Binar pun demikian. Bukankah itu yang selama ini dirinya lakukan? Anggap saja lelaki itu tidak ada. Anggap dia hantu.Ah, tapi hantu terlalu menakutkan. Berpikir ia tinggal bersama hantu lebih menegangkan ketimbang dengan Agra. Lagi pula, mana ada hantu bisa diabaikan?Ck, sadar dirinya melantur, Binar memukul kepala pelan agar kembali fokus. Ia menarik napas panjang, lantas dikeluarkan lewat mulut sebagai upaya menenangkan diri pun memelankan tempo debaran jantungnya.Binar, kamu bisa! Ia membatin berulang-ulang sebelum mengangguk yakin sambil mengepalkan tangan ke udara bagai pejuang kemerdekaan, lantas maju dua langkah hingga nyaris tak berjarak dengan pintu masuk.Menekan angka pertama, Binar merasa lututnya mulai goyah. Angka kedua, tangannya agak gemetar. Angka ketiga ... ia mundur selangkah lagi ke belakang.Binar tidak bisa melakukan ini. Ia tidak bisa!Merogoh saku celana gombrongnya, umpatan kesal itu tak bisa ia tahan saat menemukan ponsel masih dalam keadaan mati. Binar ingin menelepon Mama, atau Kakek, atau bahkan ayahnya sekali pun agar dapat menjemput, meski ia yakin alih-alih dijemput, yang ada dirinya akan didorong masuk.Binar ingin kabur. Kalau bisa. Tapi Agra sudah terlanjur melihatnya di sini. Satu-satunya pilihan yang ia punya hanya ....Baiklah. Baiklah. Hanya tinggal seatap, apa salahnya? Toh ia sudah menyiapkan alat setrum di koper, kalau-kalau Agra bertindak aneh-aneh padanya, pikir Binar, mengabaikan akal sehat yang berbisik penuh ejekan. Agra dan kata aneh-aneh sama sekali tidak cocok. Jangankan bertindak aneh-aneh, melirik Binar pun enggan!Oke. Binar bisa! Binar pasti bisa!Menarik napas sekali lagi, gadis itu tahan oksigen di dadanya saat kembali memasukkan angka. Empat kombinasi angka yang langsung berhasil pada percobaan kedua.Dan ... pintu menuju bunga neraka telah terbuka. Binar mengembuskan napas pelan-pelan, takut Agra yang memiliki pendengaran tajam itu bisa mendengar desahnya. Kemudian menutup pintu sama pelan. Sangat pelan, semata untuk mengulur waktu.Saat berbalik, ia terjengkang hingga membentur pintu. “Jantung, eh jantung!” pekiknya kaget. Jantungnya seperti akan jatuh ke perut.Bagaimana tidak? Lelaki yang berusaha Binar hindari ada di depan matanya. Lagi!Dia berdiri di depan pintu kamar mandi yang setengah terbuka dengan balutan celana training abu serta kaus lengan pendek hitam. Rambutnya yang basah ia usap-usap menggunakan handuk—yang lagi-lagi berwarna hitam. Berhasil merusak imajinasi Binar. Di novel atau drama, biasanya tokoh laki-laki setelah mandi lebih sering menggunakan outfit putih. Tapi tampaknya tidak begitu dengan Agra.Lagi pula, mereka sedang tidak main drama. Sekali pun benar, Binar tidak akan memilih lelaki itu sebagai pemeran utama. Atau sebenarnya, Agra yang tokoh utama, sedang Binar hanya pemeran pendukung saja?Ah, lupakan. Lupakan.Sekarang yang lebih penting adalah ... apa tadi Binar di luar memang selama itu hingga saat ia masuk, Agra bahkan sudah selesai mandi? Memikirkannya membikin kepala Binar bertambah pening.  Merasa kerongkongannya mendadak kerontang, ia pun berdeham untuk mengurangi kecanggungan seraya memperbaiki posisi berdirinya yang sama sekali tidak cantik. Nyaris terjengkang itu aib. Beruntung ada pintu yang bisa menahannya, kalau tidak, barangkali Binar sudah terkapar di lantai, di bawah kaki Agra, dalam posisi yang lebih buruk.Beginilah nasib gadis malang. Hanya pintu yang bisa jadi sandaran.Binar berdeham sekali lagi untuk mengurangi kecanggungan, ia berpikir mungkin ini saatnya menyapa. Tapi mulut kecil Binar yang sudah terbuka untuk mengucap silabel pertama, terpaksa ia harus katup lagi saat mendapati Agra hanya meliriknya sekilas sebelum kembali berlalu. Melewatinya seakan Binar hanya interior ruangan yang sama sekali tidak menarik.Hah!Haahh!Menyebalkan!Memang apa yang Binar harapkan dari cowok itu? Sikap ramah tamah? Huh. Binar pasti sudah gila.Melupakan Agra dan sikapnya yang sangaattt sopan, Binar melipat tangan kesal di depan dada seraya meliarkan pandangan hanya untuk—sekali lagi—dibuat gondok setengah hidup. Sekaligus takjub. Bagaimana bisa kakeknya yang banyak uang itu memberikan apartemen kecil begini sebagai hadiah pernikahan? Tidak. Bukan hadiah tepatnya, melainkan hukuman.Hanya dengan melihat kanan kiri, Binar sudah bisa menilai. Hanya ada ruang tamu kecil yang diisi sofa panjang berwarna pastel. Bufet berukuran sedang menempel di dinding berlapis wallpaper garis-garis abu putih. TV LED berukuran 32 inch duduk angkuh di sana. Tiga puluh dua inch! Kakek pasti bercanda!Namun bukan hanya itu bagian terburuknya. Di apartemen ini hanya terdapat dua pintu saling berhadapan yang dipisah oleh ruang tamu. Binar tebak sebagai ... kamar mandi dan kamar tidur. Dapur berada tepat di samping kamar mandi, berdampingan dengan ruang tamu, tanpa sekat.Hanya satu kamar tidur. Binar gigit jari. Kenapa semesta tidak pernah berhenti mengajaknya bermain-main?“Kamu akan tetap berdiri saja di sana?”Pertanyaan bernada datar yang diajukan tanpa tedeng aling-aling itu sukses membuat Binar terlonjak. Menoleh ke samping kanan, kembali ia dapati sosok Agra yang kali ini berdiri di depan pintu ... eng, kamar. Dengan rambut yang masih belum kering sepenuhnya.Binar menggigit bibir. Ia kembali berkedip-kedip seperti orang bodoh. Bukan karena kelilipan, melainkan tak tahu harus menatap bagian mana dari tubuh Agra saat diajak bicara.Matanya? Hh, jangan harap Binar berani. Tubuhnya? Nanti dia dikira mesum. Ssstt, tubuh Agra bagus. Proporsinya pas. Tidak kurus, tapi tidak gemuk dan agak berotot. Intinya, pas. Dan kenapa Binar malah menjabarkan tubuh Agra?“Kamu tidak berharap saya yang akan merapikan barang-barang kamu, ‘kan?” tanya Agra lagi sambil membuka pintu kamar lebih lebar, menampakkan tiga koper besar yang sangat Binar kenali tumpang tindih di dalam sana. Kopernya. “Saya sudah menyisakan tempat di lemari,” lanjutnya seraya melangkah ke arah sofa dan menjatuhkan diri di sana, kemudian menonton televisi seakan tidak terjadi apa pun. Seolah mereka sudah tinggal bersama bertahun-tahun.Tak seperti Binar, Agra sama sekali tidak menampakkan rasa canggung. Hanya raut wajah yang kurang sedap dipandang.Lantas, setelah ini apa? Haruskah Binar masuk ke kamar ... itu? Haruskah mereka tidur di kasur yang sama? Berbagi lemari? Berbagi selimut?!“Apa ... a-apa kita a-akan—” Binar berdeham sekali lagi. Sejak kapan ia gagap?! ”—tidur di kamar yang s-sama?” Ia tak boleh tampak menyedihkan di depan Agra. Bagaimana bisa selama ini dirinya bertingkah bagai harimau di kampus, tapi berubah jadi kucing di depan lelaki ini?“Kamu bisa tidur di kamar mandi kalau mau.”Baik. Tadi Binar sempat berpikir Agra baik. Kakek juga bilang dia baik. Semua orang pun berkata demikian. Tapi per detik ini, Binar tarik kembali kata itu. Orang baik mana yang menyuruh wanita lemah tidur di kamar mandi?!Tidak. Tidak. Bukan salah Agra. Binar yang keliru. Sejak awal seharusnya memang ia tidak bertanya.Namun, tetap saja! Binar membuat gerakan meninju di belakang lelaki itu sebagai  pelampiasan rasa frustrasi. Tapi dasar Agra, dia seolah tahu Binar sedang bertingkah gila dan menoleh ke belakang seketika. Binar langsung pura-pura melakukan gerak olahraga dengan memutar bahunya. ”Ah, kenapa bahu gue nggak enak ya?” Gadis itu bermonolog sambil menatap langit-langit ruangan. “Ah, ya, mungkin karena tadi salah posisi pas tidur di mobil.” Cengengesan, mengabaikan Agra yang masih menatapnya datar, Binar melangkah setengah berlari ke arah kamar, lalu menutup pintu dengan kasar.Lupakan. Lupakan janji Binar yang akan berbuat sangat baik pada siapa pun yang sudah menolongnya di jalan, karena Agra tidak termasuk dalam kategori seseorang yang diharapkannya!Menghembuskan napas kasar melalui mulut, Binar mulai membongkar koper. Perutnya menjadi kian mulas setiap kali memasukkan baju per baju ke lemari. Melihat pakaiannya berjejer berdampingan dengan milik orang lain—lelaki—rasanya aneh, seperti ada yang menggelitik lehernya hingga Binar menggaruk-garuk pelan bagian itu untuk menghilangkan geli.Agra merupakan orang yang rapi. Pakaian pemuda itu diletakkan berdasarkan warna secara berurutan. Rata-rata hitam. Bahkan seprai kamar pun demikian. Binar jadi seperti diselubungi aura gelap. Dirinya pecinta merah muda sejati! Hitam dan merah muda. Black pink! Ah ... Gadis itu terkikik sendiri saat menggantung handuknya di kamar mandi. Pun saat meletakkan sikat gigi dalam gelas yang sama dengan milik Agra.Semua jadi seperti perpaduan hitam dan merah muda.Beginikah sensasi pengantin baru kala pertama tinggal bersama? Aneh dan asing. Andai pernikahan itu dilakukan lima atau tujuh tahun lagi dengan cinta yang berlimpah, akankah sama jadinya? Binar tidak yakin.Merasa gerah dan letih, ia pun mandi. Hanya untuk teringat dirinya tidak membawa baju ganti di lima belas menit kemudian.Ya ampun! Binar mengutuk diri sendiri sambil menatap bayangan dalam cermin. Mengenakan kembali bajunya yang tadi pasti rasanya tidak nyaman. Tapi meminta tolong Agra, akan lebih tidak nyaman.Ah! Bagaimana ia bisa bersikap acuh tidak acuh dalam situasi semacam ini?Terpaksa, tak ada pilihan. Binar mengenakan kembali bajunya yang bau keringat. Tak apa, ini hanya sementara. Tak sampai lima menit, ia akan bisa ganti baju lagi.Agra masih di depan teve saat Binar keluar dari kamar mandi. Ia melangkah pelan agar tidak menimbulkan bunyi apa pun saat menyeberang ruang tengah, sama seperti yang dilakukannya tadi. Namun langkah Binar otomatis terhenti tepat di belakang sofa yang Agra duduki saat mendengar dengus jengah pemuda itu.“Jorok!”Jo-jo-jorok? Dengan siapa dia bicara? Siapa yang dikomentarinya? Seseorang di televisikah? Atau ... Binar?Seolah mengetahui kecamuk dalam kepala teman serumahnya, Agra menambahkan setengah menuding. Tanpa menoleh. “Kamu memakai lagi baju yang tadi? Jangan harap bisa tidur di ranjang malam ini dengan baju itu!”Hah?HAH?Binar tak bisa menahan rahangnya tetap terkatup. Ia menatap Agra takjub! Kembali kehilangan kata-kata! Agra menudingnya seakan ... seakan Binar akan tidur di ranjang mereka malam ini dengan penuh damba!Apa karena kini mereka sudah menikah, Agra berpikir Binar akan sudi tidur di kasur yang sama dengannya?Huh, kalau benar demikian, Agra terlalu berpikir konservatif. Binar tidak semudah itu. Sama sekali tidak mudah.“Dengar ya, Pak Su yang terhormat,” sengaja Binar memberi penekanan dalam di setiap silabel, “pertama, gue nggak jorok!” Ia tatap bagian belakang kepala Agra yang menyembul dari balik sandaran sofa dengan tajam hingga Binar bahkan merasa bola matanya akan keluar. “Gue lupa bawa baju ganti, makanya terpaksa pakai baju ini lagi.”Agra mendengus. Pelan, tapi masih bisa Binar dengar.“Gue bakal ganti baju begitu sampe kamar!” Sebelum Agra mendengus lagi seperti sapi, buru-buru Binar menambahkan, “Tapi bukan biar bisa tidur satu ranjang sama lo!”“Ganti baju bersih setelah mengenakan pakaian kotor saat tubuh dalam keadaan lembab sehabis mandi?” Agra bertanya retoris dengan nada bosan yang menyebalkan. Lagi-lagi, tanpa menoleh. Tatapannya masih tetap lurus mengarah pada layar televisi. “Kamu sadar berapa kuman yang akan menempel di tubuh kamu?”Sejak kapan ... sejak kapan Agra secerewet ini? Atau memang sedari dulu? Kenapa mendadak dia bawel sekali? Di mana tunangan Binar yang suka berperan bagai patung dan tak banyak omong? Atau selama ini memang inilah Agra yang asli? Lebih dari sekadar menyebalkan.“Apa peduli lo sekali pun tubuh gue penuh kuman!”“Saya tidak mau tinggal bersama orang jorok. Saya tidak ingin terkontaminasi. Jadi, saya harap kamu ambil baju ganti di kamar dan mandi lagi sampai bersih!”Bukan lagi kehilangan kata-kata, Binar merasa akan segera gila. Bagaimana bisa Agra menyuruhnya mandi lagi? Hujan memang sudah berhenti, tapi suhu udara masih berada di bawah 30 derajat Celsius. Dingin!Apa Agra sengaja menjadikan baju ini alasan? Niat sesungguhnya mungkin bukan agar bersih, melainkan supaya Binar sakit, sekarat, dan mati. Menjadi duda dengan tunjangan besar dari Kakek bukan situasi buruk, ‘kan?Namun, jangan harap akan semudah itu.Kalau gue nolak? Binar bertanya menantang. Ia mengangkat dagu tinggi-tinggi.Agra, yang sebelumnya masih fokus pada layar televisi, menoleh. Raut wajah itu masih sedatar triplek. Kamu menolak?Ya! Lo pikir, lo siapa, bisa nyuruh-nyuruh gue?Agra sejenak tak melakukan apa pun, hanya menatap wajah Binar lurus-lurus. Tapi kemudian, dia bangkit. Tanpa suara. Lantas ... menyeret Binar begitu saja.Sejenak Binar bingung. Ia terlalu terkejut hingga tak sempat memberontak. Dan begitu tersadar, dirinya sudah terkurung. Di kamar mandi!Lo ... lo .... Gadis itu berusaha menarik gagang besi yang terasa dingin di telapak tangannya. Apa yang lo lakuin, hey!!! Gagal dengan gagang pintu, Binar menggedor-gedor, sesekali menendang. Tapi daun persegi setinggi dua meter itu tak bergeming. Sama sekali. Yang ada kakinya ngilu.Saya akan membuka kuncinya setelah kamu mengatakan selesai mandi. Sementara, saya akan ambilkan baju ganti.Agra sinting. Agra sinting. Agra pasti sinting! Binar menolak mengalah. Ia kembali mengedor pintu keras-keras. Berusaha membuat kegaduhan untuk mengusik si lelaki menyebalkan.Berhasil.Usaha memang tidak pernah mengkhianati hasil.Pintu kembali terbuka.Namun bukan untuk membawa Binar keluar, melainkan ... Agra ikut masuk bersama baju ganti dan ... ancaman. Kamu mau saya mandikan?Ampuh membuat Binar terdiam. Dengan bibir mencebik dan hati penuh rutukan, ia rampas baju gantinya dari tangan Agra. Gue bakal laporin lo sama Kakek.Agra mengedik tak acuh. Silakan. Lakukan setelah kamu selesai mandi. BAB 4“Dia itu gila, Kek! Beneran gila! Aku nggak tahan tinggal di sini. Pokoknya jemput Binar pulang!”Sudah nyaris tengah malam. Binar sama sekali tak bisa tidur. Kantuk pun seolah enggan menyapa. Padahal besok ia ada kelas pagi.Agra jangan ditanya. Dia sudah berkelana di alam mimpi sejak satu jam lalu. Terlelap seperti bayi di atas ranjang empuk berukuran sedang, satu-satunya tempat tidur yang tersedia di apartemen mereka. Sendiri, tentu saja. Sedang Binar memilih meringkuk di sofa ruang tengah. TV sudah dimatikan sejak tadi, tapi mata sama sekali tak bisa diajak berkompromi.Untungnya, Binar menemukan selimut tipis di salah satu koper yang dibawanya dari rumah. Paling tidak, ini bisa sedikit membantu menghalau dingin yang entah mengapa terasa begitu menggigit malam ini. Barangkali sisa hujan sore tadi. Diperparah dengan ... Agra sialan yang memaksanya mandi dua kali.Benar. Binar yang tak punya pilihan terpaksa menurut. Sesuatu yang ia sesali kemudian. Bahkan perut kenyang setelah menghabiskan sekotak pizza pun belum bisa membuatnya senang.Iya, sekotak pizza. Binar bukan gadis rumahan yang baik, berhati lembut, rajin bersih-bersih, dan pandai memasak. Sama sekali bukan. Jadi pilihan satu-satunya saat lapar mendera hanya memesan makanan secara daring.Agra, oh ... dia memasak saat Binar mandi tadi. Satu mangkuk. Tanpa menawari teman seatapnya. Baik sekali memang suami Binar itu.Benar. Agra juga bukan tokoh di drama, film, komik, atau novel. Si sempurna ber-IQ 260, jago olahraga, dan pintar masak.Bukan!Eh, Agra lumayan pintar memasak. Mulai dari soto padang, kari ayam, ayam geprek, ayam bawang, cakalang, bakso sapi, kaldu, iga penyet, bahkan rendang—dalam bentuk mi instan. Dan yang tadi dibuatnya adalah ... bakso sapi.“Jangan berlebihan, Bin. Kamu sudah besar sekarang. Dan ini sudah larut. Kakek mengantuk!” balas Hilman, kakeknya, dari seberang saluran. Wajah lelaki yang tahun ini memasuki usia 59 tahun itu tampak sekali kelelahan dan setengah kesal.Oh, tentu saja. Binar memaksa beliau bangun dengan melakukan panggilan video berulang-ulang. Bahkan kini Kakek tampak terkantuk-kantuk.“Ini semua salah Kakek!”“Kenapa jadi salah Kakek? Kamu yang bikin Kakek terbangun. Harusnya Kakek yang nyalahin kamu!”“Kenapa Kakek kasih aku apartemen kecil kayak gini?! Cuma satu kamar?! Kakek pikir aku bakal tidur di mana?!”Hilman mendesah lelah. Lelaki tua itu mengubah posisi berbaringnya menjadi miring. Ia menguap kecil sebelum balik bertanya, “Kamu pikir, seharusnya kamu tidur di mana?”“Di rumah.”“Sana ngadu sama mama kamu. Kalau mamamu setuju, Kakek jemput kamu malam ini juga.”Serangan terakhir. Tepat mengenai sasaran. Binar langsung terdiam dengan bibir cemberut.Mengadu pada Maia? Hilman tahu betul kelemahan cucunya. Karena Binar tidak akan pernah berani melakukan itu. Yang Maia tahu, Binar dan Agra saling menyukai. Karena kesan itulah yang selama ini Binar tampakkan di depan sang ibu.Perjodohan ini murni kesepakatan Binar dengan Hilman demi menghindari tanggung jawab bisnis keluarga mereka. Kalau Maia mengetahui betapa Agra sama sekali tidak mencintainya, pun sebaliknya, Maia tentu akan menjemput Binar malam ini juga. Bahkan mungkin dengan membawa berkas perceraian.Binar tidak mau. Ia tak ingin menambah beban Maia dengan ini. Ibunya sudah cukup banyak menanggung kesedihan. Binar harus bantu meringankannya meski hanya sedikit.Ayah Binar, Bayu, sudah gagal mendapat kepercayaan penuh dari Kakek dengan memilih jalan sendiri. Lelaki yang dulu sempat menjadi tangan kanan beliau, hingga padanya Hilman percayakan kebahagiaan Maia. Tapi tidak berhasil. Mungkin bukan sepenuhnya salah Bayu. Maia ikut andil dalam menghancurkan pernikahannya sendiri. Bayu sudah cukup berusaha di awal-awal pernikahan mereka, tapi Maia tak pernah bisa lepas dari jerat masa lalu.Masa lalu bersama lelaki biasa yang tak bisa Hilman terima. Laki-laki biasa yang tidak akan mampu mengambil alih usaha keluarga mereka.“Tidak semua orang bisa mendapatkan apa yang diinginkan, Bin,” kata Kakek pada cucunya yang masih berusia 15 tahun. Awal kesepakatan itu bermula. Kalimat sederhana yang semula tak Binar mengerti, tapi dapat ia pahami saat ini.Bukan salah Maia tidak bisa menggantikan posisi sang ayah. Dulu Hilman memiliki anak lain yang bisa diharapkan. Sulung laki-laki yang begitu beliau banggakan pada dunia. Tapi, semesta kadang menyiapkan kejutan besar yang tak bisa manusia terima. Di usia keemasannya, 27 tahun, Tuhan mengambil harapan itu dari tangan Hilman. Putranya.Bagi dunia, Hilman mungkin hanya lelaki tua gila harta yang rela mengorbankan kebahagiaan anak cucu demi mempertahankan aset keluarga. Namun lebih dari itu, kejayaan yang kini mereka nikmati adalah berkat kerja keras beliau dan sang ayah dulu. Semua ini didapat dengan keringat dan air mata, pun waktu yang tidak sebentar.Hilman tak bisa menyerah hanya karena anak cucunya tidak bisa diandalkan. Setidaknya, harus ada yang bisa menjaga warisan ini, buah dari perjuangannya hingga harus rela kehilangan masa kecil dan remaja yang berharga.Beruntung Binar paham itu, berbeda dari Maia yang lebih mementingkan dirinya sendiri.Melihat sang cucu kesayangan cemberut, Hilman mendesah. “Di mana Agra?” tanyanya lagi. “Kakek mau bicara.”“Dia tidur kayak kebo!”“Di ranjang?”“Kakek pikir dia mau tukar tempat sama aku? Dia bahkan nyuruh aku tidur di kamar mandi!”Tertawa hanya akan lebih menyinggung perasaan Binar, namun Hilman tak bisa menahan diri. Ia terkekeh melihat betapa kesal Binar dan betapa dalam kerutan di antara kedua alisnya.Hilman menyukai Agra bukan tanpa alasan. Pemuda itu punya wibawa bahkan di usia yang masih sangat muda. Agra juga memiliki aura kepemimpinan. Dia tegas dan dapat diandalkan.Menurut Hilman, Binar butuh laki-laki yang seperti itu.“Saya sudah menawarkan agar kamu tidur di kamar, tapi kamu menolak.”Ponsel yang Binar pegang jatuh mengenai tulang hidungnya. Membuat ia terpekik kaget sekaligus kesakitan. “Jantung, jantung eh jantuuunggg ...!”Menoleh ke sumber suara yang entah sejak kapan menjulang di balik sandaran sofa, gadis itu praktis terlonjak hingga nyaris jatuh terguling andai ia tak bisa dengan segera menyeimbangkan diri dalam kungkungan selimut yang sempat membuat membuat kakinya keserimpet. Ponselnya yang malang bahkan sudah teronggok tak berdaya di atas karpet bulu di dekat kaki meja.“Lo ... lo ... lo ngapain di sini?”Binar merasa ia akan segera gagal jantung. Bahkan mungkin umurnya tidak akan lama. Belum juga dua belas jam tinggal bersama Agra, organ pemompa darah itu sudah diuji dua kali. Agra memiliki bakat terpendam untuk mengagetkan orang lain, lebih alami ketimbang jelangkung yang datang tak dijemput dan pulang tak diantar itu!Refleks, Binar menaikkan selimut setinggi leher hanya untuk dibuat kelimpungan saat tak sengaja menyentuh rambutnya yang terjuntai bebas di bahu. Seketika, ia menatap Agra dengan mata membola sebelum kembali terpekik dan menyembunyikan diri di balik selimut sepenuhnya sambil menyumpah serapah. Ngapain masih di sini?! Sana balik ke kamar!Melihatnya, Agra sedikit memiringkan kepala. “Keriting,” komentarnya pendek sebelum melangkah ke depan meja demi memungut ponsel malang itu. Sambungan panggilan video masih terhubung. Hilman menunggu di seberang sana dengan kening yang berkerut-kerut. Barang kali heran dengan kehebohan yang mendadak terjadi.Begitu mendapati sosok Agra di layar, kerutan di kening lelaki tua itu bertambah dalam. “Apa yang terjadi, Agra?”Agra mengangkat bahu tak acuh. Dia mengarahkan kamera ponsel pada Binar yang membentuk buntelan di sofa. Pemandangan konyol yang sontak membuat sang Kakek tak lagi bisa menahan tawa.Berbeda dengan Maia dan kedua orangtua Agra, Hilman tahu tak ada kasih sayang dalam pernikahan sang cucu. Tapi kesediaan Agra dan Binar yang dengan suka rela menerima perjodohan ini memberi Hilman harapan.Harapan terakhir. Kalau yang ini gagal, mungkin beliau memang harus menyerah.***“Lo kayak zombie!”Benar. Zombie. Jangankan Prisila dan Noni, ia saja takut menatap pantulan dirinya di cermin. Wajah pucat dan lingkaran hitam di bawah mata. Bahkan concealer tak mampu menyamarkannya.Namun alih-alih haus darah, Binar hanya butuh tidur. Sebentar saja. Sayang keadaan tak sekali pun mendukung. Bahkan saat ini. Kelas pagi yang paling Binar benci.Ah, memang apa yang ia suka? Tak ada!Menjatuhkan kepala ke meja, ia tutup wajah dengan buku manajemen. Dosen pengajar belum tiba. Binar berharap sejenak dirinya bisa memejamkan mata sebagai pembayaran utang atas waktu lelapnya semalam yang tercuri.“Emang apa aja yang lo lakuin semalem sampe nggak tidur sih, Bin?” Noni berusaha mengambil buku yang dijadikan penutup wajah oleh Binar, tapi berhasil ditahannya dengan tangan.“Kasih gue sepuluh menit, plis!” gumamnya setengah mengerang. Ia mengubah posisi kepalanya menghadap ke tembok, berharap tak mendapat gangguan lagi berupa pertanyaan apa pun, terlebih perihal kejadian semalam.Binar tidak ingin membahasnya. Sekadar mengingat pun tidak, kalau bisa. Karena hal tersebut hanya akan membuat ia kesal.“Ngedrakor kali dia,” celetuk Prisila yang tetap Binar abaikan. Walau dalam hati ia menggerutu, untuk apa menonton drakor saat hidupnya bahkan lebih konyol dari drama mana pun?Ah, terserahlah! Binar mengantuk. Abaikan Noni. Abaikan Prisila. Abaikan suasana riuh kelas yang mulai ramai. Abaikan dunia. Abaikan segalanya. Dan selamat datang di alam mimpi yang—“Binar Thahira Latief?”Binar sudah separuh terlelap saat mendengar seseorang menyerukan namanya dengan nada heran. Gadis itu sudah akan kembali tak acuh dan lanjut memasuki dunia kedua, tepat saat kalimat selanjutnya dari pemilik suara yang sama kembali menyapa telinga dengan pertanyaan yang tak bisa diabaikan.“Kenapa buku Binar bisa ada sama lo, Gra?”Spontan Binar membuka mata. Punggungnya langsung tegak. Buku yang semula menutupi wajahnya jatuh ke lantai, menimbulkan bunyi gedebuk pelan yang berhasil menarik perhatian sebagian penghuni kelas.Binar menghadap ke muka, pada Agra yang duduk di barisan terdepan. Lelaki itu tampak menunduk dengan punggung kaku. Di sampingnya, Nara menatap penasaran. Pun Emili yang masih berdiri di sisi lain sambil memegang buku manajemen yang tampak masih baru, sesekali menatap Agra dan Binar bergantian dengan tatapan ingin tahu.“Eh, ini juga bukan punya lo kayaknya kan, Bin?” Prisila, yang entah sejak kapan membungkuk, mengambilkan buku Binar yang jatuh ke lantai, mendongak. “Ini udah agak lecek. Banyak catatannya juga. Keliatan kayak sering dibaca, tapi nggak ada namanya.”Hidup Binar sudah kacau balau. Tolong ... gadis itu merintih dalam hati, jangan ditambah lagi dengan ini! Mendesah, Binar tahu ia tidak akan mendapat kesempatan tidur pagi ini.“Gue nggak tahu kalau kalian deket sampe bisa tukeran buku,” adalah celetukan polos Nara yang membuat lebih banyak mata menatap Binar dan Agra.Agra dan Binar bagai minyak dengan air. Tidak, mereka bukan tak akur, hanya ... selama ini dua mahasiswa itu terkesan saling menjauh dan tak ingin terlibat satu sama lain. Bahkan, keduanya tak pernah terlihat saling menyapa meski sudah berada di kelas yang sama hampir selama empat semester.Baiklah, saatnya melupakan kantuk dan memperbaiki keadaan. Binar menyipit erat, kemudian mengerjap-ngerjapkan mata berusaha mendapatkan kendali diri dan mengusir kuap menjauh. Berdiri, ia rebut buku manajemen dari tangan Prisila dan memeriksanya hanya untuk mengeluh dalam hati. Bagaimana bisa tertukar?Buku di tangannya memang tak bernama, tapi dari catatan tambahan, beberapa kalimat yang diblok dengan stabilo, Binar tak perlu lagi bertanya.Ck. Ini gara-gara Kakek yang pelit dan hanya menyediakan satu meja belajar di kamar mereka! Tidak. Yang benar, salah Kakek karena hanya menyediakan satu kamar tidur untuk Binar Agra. Karenanya, Binar jadi tak bisa tidur, pun ditambah dengan hal ini.Benar, pagi ini Binar tampak bagai zombie karena dirinya memang tidak tidur semalam. Menelepon Kakek untuk mengadu adalah sebuah kesalahan. Karena setelahnya, Kakek menegur Agra dan meminta lelaki itu membawa paksa Binar ke kamar.Tolong jangan berpikir macam-macam. Usai memberikan instruksi lewat panggilan video, Kakek langsung mematikan sambungan. Dan Agra yang penurut itu melakukan semua sesuai perintah.Meletakkan ponsel Binar ke atas meja, Agra lepas paksa selimut yang Binar jadikan tameng untuk melindungi dirinya dari pandangan jahat lelaki itu, yang langsung terbuka dalam sekali singkap.“Gue nggak mau tidur di kamar bareng lo!” cetusnya kemudian, masih berusaha menutupi rambutnya yang ... apa kata lelaki itu tadi? Keriting?! Rambut Binar tidak keriting, hanya agak ikal dan berantakan.“Kamu dengar sendiri apa yang Kakek bilang.” Agra pasti terlahir tanpa emosi, atau hanya dengan emosi terbatas. Atau hanya pandai menyembunyikan perasaan. Binar nyaris tidak pernah melihatnya tertawa atau marah, kecuali saat hari pernikahan mereka, itu pun hanya ditampakkan pada Binar seorang.Kali ini pun, saat ia seharusnya kesal karena permintaan sewenang-wenang Kakek, lelaki itu masih terlihat dengan ekspresi datar.“Kita tidak harus melakukannya.”Agra tarik kembali selimut yang berusaha Binar selubungkan ke kepalanya hingga sepenuhnya terlepas dan jatuh teronggok ke lantai. Saya sudah melihat rambut keriting kamu, tidak perlu ditutupi lagi.Tahukah Agra, komentar buruk tentang bagian tubuh seseorang adalah bentuk kejahatan terutama untuk perempuan? Binar mendelik. Tentu saja Agra tak akan pernah tahu! Sekalipun tahu, dia mungkin akan pura-pura tak tahu. Hanya kepada Binar.“Tapi saya bukan orang yang tidak patuh,” ujar lelaki itu seraya menarik tangan Binar hingga gadis yang resmi diperistrinya minggu lalu itu bangkit berdiri dan melangkah terseok-seok menuju ruang tidur. Binar yang keras kepala tentu tak menyerah begitu saja. Ia berusaha melepaskan cekalan Agra dari lengannya, tapi seberapa keras berusaha, kekuatannya tak sebanding dengan si menantu pilihan Kakek.Begitu memasuki kamar, Agra langsung menutup pintu rapat-rapat. Hanya ada satu ranjang berukuran besar, lemari empat pintu, serta meja belajar di sudut dalam ruangan yang memiliki luas tak seberapa itu.Merasa cekalan Agra melonggar, Binar menghempas tangannya hingga terlepas. Ia hendak kembali berbalik dan keluar, tapi Agra dengan tangkas menghalangi. Ia mengunci pintu kamar mereka kemudian, lalu menarik kuncinya dan memasukkan ke saku celana.Dasar licik!“Lo bilang, lo bahkan nggak peduli sekali pun gue tidur di kamar mandi!”“Memang.”“Terus ini apa? Lo maksa gue tidur di sini—”“Jangan salah paham, Binar. Saya hanya menjalankan perintah.”“Perintah?”“Menikahi kamu memang sebuah perintah.”“Lo nggak harus menuruti perintah itu!”Ada riak dalam tatapan mata kelam Agra, sekilas yang membuat Binar mendadak takut. Lalu saat seringai kecil terbit di sudut bibir sang lawan bicara, Binar sadar dirinya telah melakukan kesalahan. “Sejak awal, hanya kamu yang punya pilihan itu, Binar.”Binar memalingkan pandangan, ke mana saja asal tidak berserobok dengan sepasang telaga bening Agra yang tampak kejam. Ah, memang tak seharusnya ia mengungkit apa pun yang berhubungan dengan awal mula perjodohan bodoh ini. Karena memang hanya dirinya yang memiliki kebebasan memilih di antara mereka. Tidak dengan Agra.Membuang muka, gadis itu berbalik. Tanpa banyak kata, ia naik ke atas ranjang dan menutup dirinya dengan selimut. Agra menyusul kemudian. Mereka berbaring saling memunggungi dengan bentang luas di tengah-tengah kasur. Guling yang malang, melintang di sana, bagai dinding pemisah yang tak bisa ditembus.Suasana yang sunyi itu menyiksa. Bunyi detak jam seolah berusaha membuat Binar gila.Binar tidak bisa tidur. Ia sudah memejamkan mata rapat-rapat, tapi kantuk belum juga mau menyapa.Semalaman Binar hanya berbaring miring tanpa berani melakukan pergerakan. Sedang Agra beberapa kali mengubah posisi, sesekali mendengkur pelan. Ah ... si menyebalkan itu pasti tidur nyenyak.Ingat. Binar hanya interior ruangan yang tidak menarik bagi Agra!Huh, haruskah Binar tersinggung karena bahkan Agra tidak terusik berada di ranjang yang sama dengannya? Apa Binar memang tidak semenarik itu?!Ck. Lupakan kejadian semalam yang kalau mengingatnya hanya akan membuat gondok. Karena pagi ini pun ada hal yang harus dibereskan untuk mencegah terjadinya kecurigaan dalam bentuk apa pun. Sebab bukan hanya Agra, Binar juga tak ingin ada yang mengetahui tentang pernikahan mereka.Tidak untuk saat ini. BAB 5Mari mengarang bebas untuk membuat mereka percaya, pikir Binar seraya merebut buku Agra dari tangan Prisila, mengabaikan satu alis Noni yang spontan terangkat melihat tingkahnya. Seolah menyadari, hal tidak beres sedang terjadi.Noni dan instingnya memang agak mengkhawatirkan. Sedang Prisila yang lamban beripikir, hanya menopang dagu melihatnya.Binar suka menonton drama, membaca novel, dan komik. Tentu ia sudah menemukan skenario sebagai penjelasan.Tabrakan. Itu ide yang sempurna. Katakan saja mereka tak sengaja bertemu di tempat parkir. Binar yang berjalan sambil memainkan ponsel tak sengaja menabrak Agra dari belakang hingga bawaan mereka jatuh berceceran. Saat itulah buku mereka tak sengaja tertukar!Ah, Binar memang berbakat menjadi pengarang.Membuka mulut hendak menjawab, semua adegan dalam kepala gadis itu di-cut bahkan sebelum dimulai. Alih-alih bibir, yang terbuka lebar justru kelopak matanya begitu mendengar pemilik buku yang kini ia dekap berkata ... jujur.“Kami berangkat bersama,” dengan nada datar setengah bosan yang sudah menjadi ciri khasnya.Andai bukan ciptaan Yang Mahakuasa, Binar yakin bola matanya sudah pasti jatuh mengikuti undangan gravitasi bumi dan bergelinding ke arah kaki Agra berada untuk melayangkan serangan.Apa dia gila? Pikir Binar tak percaya. Kenapa masih bertanya!Agra memang sungguh gila. Lelaki itu yang mewanti-wanti agar tidak ada yang mengetahui pernikahan mereka selain keluarga, lantas ini apa? APA?!Benar, mereka berangkat bersama. Satu kendaraan. Menggunakan mobil Agra.Tidak. Ini tidak direncanakan. Binar bahkan sudah memesan taksi daring, sedang Agra sama sekali tak peduli bagaimana cara ia sampai ke kampus. Entah jalan kaki atau merangkak sekali pun, asal jangan melibatkan lelaki itu dalam masalah.Namun bukankah Binar sudah mengatakan, semesta seolah tak ingin berhenti bermain-main dengannya. Tepat begitu ia membuka pintu saat hendak berangkat kuliah, senyum cerah adik perempuan Agra menyilaukan pandangan mata. Gadis yang hampir lulus SMA itu entah bagaimana bisa sampai di sana. Berdiri bagai dewi pagi di muka pintu. Dia menyapa Binar ceria seolah dunia selalu bertabur bunga.Bunga bangkai tepatnya—dalam dunia Binar.Halo, kakak ipar! Tanpa ba-bi-bu, gadis itu, Aira, menerobos masuk begitu saja. Tak memberi pilihan pada Binar selain berbasa-basi dan meladeninya dengan keramah-tamahan palsu.Ugh, kendati sudah bertunangan lima tahun, bukan berarti Binar akrab dengan seluruh keluarga Agra. Yang benar, tidak sama sekali. Halo, Aira, balasnya agak canggung. Terpaksa ia menutup pintu kembali seraya mengikuti adik bungsu suaminya mengelilingi rumah kecil mereka. Kamu ... ngapain ke sini pagi-pagi?Mau ngecek pengantin baru, jawab sang lawan bicara sambil tersenyum cengengesan. Tanpa sungkan, Aira menjatuhkan diri ke atas sofa di ruang tengah dengan kepala celingak-celinguk. Apartemen kalian di luar dugaan. Kirain bakal gede, komentarnya. Binar menahan diri untuk tak memutar bola mata dan berusaha bersikap baik dengan mengambilkan gadis itu air putih dari kulkas. Bukan pelit, yang tersedia di apartemennya memang hanya itu.Kami belum sempet belanja, jadi adanya ini aja. Silakan diminum.Aira mengedik pelan sembari mengambil air kemasan yang disuguhkan Binar dan meminumnya. Abang mana?Belum sempat Binar menjawab, pintu kamar lebih dulu terbuka. Agra tampak sudah rapi dalam setelah kemeja kotak-kotak kebesaran yang dimasukkan ke dalam celana denim gombrongnya. Lengan kemeja yang longgar dan panjang, lelaki itu lipat nyaris sebatas siku. Dia ... yah, lumayan keren, pikir Binar masam.Abang di sini. Ngapain kamu ke tempat Abang pagi-pagi? sapa Agra pada adiknya. Masih tanpa senyum, ia mengambil alih sisa minuman Aira dan menandaskannya dalam beberapa kali tegukan.Tak ada sarapan bagi pagi pengantin baru itu. Hanya air putih.Tadi aku bareng Bang Arya, cuma tiba-tiba dia dapet telepon mendesak dan harus putar balik ke tempat kontruksi, katanya. Kebetulan kami di deket sini. Bang Arya nyuruh aku minta anterin Bang Agra aja sekalian jadinya. Sekolah aku ‘kan searah sama kampus Abang dan Kak Binar.Begitulah. Binar terpaksa harus membatalkan pesanan taksi daringnya dan berangkat bersama sepasang kakak beradik itu—dengan berat hati. Terlebih begitu di mobil hanya tinggal ia dan Agra berdua, keadaan menjadi begitu hening dan agak mencekam. Binar merasa bagai melangkah di pinggir kuburan pada tengah malam. Tingkat ketegangannya kurang lebih sama.“Kalian—” suara Emili yang terdengar ragu, berhasil menarik kembali perhatian Binar. Ia menoleh pada Emili yang bertukar pandang dengan Nara sebelum memusatkan perhatian kepadanya. Menatap Binar seolah gadis itu merupakan alien dari Mars yang datang membawa ancaman kehancuran bagi bumi. “—berangkat bersama?”Tak hanya Nara dan Emili, Noni serta Prisila bahkan kini menyipitkan mata. Menunggu jawaban. Tapi bagaimana Binar bisa menjawab, sedang bukan dirinya yang memberi umpan. Jadi, gadis itu hanya bisa megap-megap seperti ikan koi dalam aquarium dengan mata membulat.“Kenapa? Ada yang aneh?” Alih-alih menjawab, Agra justru balik bertanya. Ekspresi wajahnya yang tanpa dosa membuat Binar gemas ingin melemparkan sepatu ke kepala lelaki yang kini bangkit dari tempat duduknya seraya mengambil alih buku manajemen Binar dari tangan Emili dan ... membawanya pada sang empunya yang duduk di baris bangku paling belakang. Pojok pula.Bagai aktor pemenang piala penghargaan yang berjalan di sepanjang bentang karpet merah, nyaris semua mata di kelas mengikuti setiap langkah Agra dari bangku depan menuju ke arahnya.“Mungkin buku kita tertukar di dalam mobil,” Agra dengan kepercayaan diri yang sulit diruntuhkan, mengulurkan buku manajemen yang masih tampak baru itu pada Binar dengan pose menyebalkan. Kepala agak teleng ke kiri, sedang satu tangannya yang bebas dimasukkan ke dalam saku celana. “’Kan?”Dia bisa menekan seseorang tanpa harus mengancam.Mendelik, Binar sudah akan mengambil bukunya dari Agra, tapi gerak tangannya terhenti begitu saja di udara saat mendengar celetukan Rina yang duduk di pojok lain. “Bukannya rumah kalian nggak searah?”Serangan kedua di pagi yang buruk. Tangan yang semula hendak Binar gunakan untuk mengambil alih bukunya dari Agra, ia angkat ke atas demi menarik hijabnya yang entah mengapa terasa melonggar ke belakang hingga kembali mengencang. Ia menatap Agra penuh tuduhan, yang lagi-lagi lelaki itu abaikan.Alih-alih bingung mencari jawaban, Agra membungkuk, sedikit melewati tubuh Binar yang spontan menegang kala lelaki itu meletakkan buku sang istri dengan gerak seanggun citah ke atas meja tempat duduk gadis itu, membuat Binar harus menahan napas.Saat kembali menegakkan badan, Agra menghentikan gerakan sejenak tepat saat posisi wajahnya sejajar dengan kepala Binar. Suaminya yang baaaaaik sekali itu berbisik, “Punya alasan bagus?” Lantas menarik diri hingga punggungnya kembali tegap sempurna, seiring dengan Binar yang mengambil langkah mundur dan langsung menudingnya.“Sialan lo!”Bukan lagi hanya menarik perhatian sebagian penghuni kelas, kini semua mata dalam ruangan itu menoleh pada mereka. Binar-Agra yang selama dua tahun tak pernah terlihat berbicara satu sama lain bahkan saat mereka berada di kelompok tugas yang sama kini ... saling tuding?Dengan wajah yang masih terpasang ekspresi tanpa dosa, Agra menarik buku miliknya dari dekapan Binar hingga terlepas. “Maaf,” katanya yang kali ini disuarakan dengan volume normal, “saya tidak tahu kalau hal itu harus dirahasiakan.”Agra pasti sengaja. Pasti. Lihat saja sorot mata dan ujung bibirnya yang sedikit tertarik membentuk seringai itu. Binar mengepalkan tangan kesal. Andai ia tokoh dalam komik, pasti kepalanya sudah mengeluarkan asap setebal yang bisa dikeluarkan si jago merah saat insiden kebakaran gedung pencakar langit. Sangat tebal. Sangat pekat.“Rahasia?”“Saya?”Entah siapa yang bertanya dengan nada penasaran yang tak ditutup-tutupi itu, Binar tak peduli. Lebih dari segalanya, ia ingin menonjok Agra saat ini juga hingga pingsan, lantas membongkar isi kepalanya.Apa mau lelaki ini sebenarnya? Dia yang pertama meminta hubungan mereka dirahasiakan, tapi justru kini dialah yang seolah hendak membongkar rahasia mereka.“Kalian mencurigakan.” Emili, teman Agra yang selalu ingin tahu segala hal, melipat tangan di depan dada tanpa melepas bidikan dari dua tersangka utama yang masih berdiri berhadapan di bagian belakang pojok kelas. “Rahasia apa? Kenapa lo harus pake bahasa formal sama Binar, Gra?”“Dan ...,” Prisila dengan nada polosnya menambahkan, “gue nggak tahu kalau kalian seakrab itu sampe berangkat bareng, padahal arah rumah berlawanan.”Satu tangan Agra sama sekali tak beranjak dari dalam saku celana, sedang satu tangan lain menenteng buku manajemen, sumber masalah pagi itu. Berkedip sekali, Agra tatap mata Binar yang menyala-nyala seraya menjawab, “Binar cucu rekan bisnis bokap, jadi gue harus sopan. Karena menurut strata sosial kami, keluarga Binar berada satu kelas di atas keluarga gue. Dan ...,” kobsar dalam telaga bening Binar kian membara—andai tatapan bisa membunuh, Agra yakin dirinya sudah hangus terbakar, “gue pindah ke apartemen sejak kemarin. Jadi, sekarang kami searah.”Agra tidak suka ditanya-tanya perihal kehidupan pribadinya. Dia benci berada dalam posisi harus menjawab sesuatu yang bisa ia simpan sendiri. Terlebih, yang bertanya adalah orang-orang yang sama sekali tidak bersangkutan.Namun, kali ini berbeda. Agra merasa perlu menjawab dan memberi penjelasan. Sedikit penjelasan yang akan membuat Binar tak nyaman.Benar, Binar. Ini baru hari pertama setelah mereka tinggal bersama, dan baru satu minggu pasca pernikahan mereka di Kantor Urusan Agama, tapi Binar sudah nyaris membuat rahasia yang mereka sepakati terbongkar.Apa yang harus Agra lakukan pada gadis ini?!“Itu belum menjawab kenapa kalian bisa semobil bareng. Dan, kenapa hal sesepele itu harus dirahasiakan?”Ini menyebalkan. Agra menipiskan bibir. Ia melirik pada pemilik suara, Nara, yang menatapnya dengan pandangan ... entahlah, jarak mereka terlalu jauh untuk Agra bisa membaca riak dalam tatapan salah satu kawan perempuannya itu.Lebih dari semua yang terjadi pagi ini, Nara tahu Agra benci urusan pribadinya dicampuri. Kenapa gadis itu masih juga ikut mengajukan tanya?Kembali menatap Binar, Agra melempar pertanyaan tersebut pada sang lawan bicara. “Ya, kenapa kebersamaan kita harus dirahasiakan, Binar?”***“Serius lo ngerasa malu nebeng sama Agra?” adalah pertanyaan Prisila entah untuk yang keberapa kalinya hari ini. Pertanyaan yang berhasil membuat nafsu makan Binar hilang, padahal ia belum menelan apa pun sejak pagi kecuali air putih.Kenapa buku mereka harus tertukar? Tidak, pertanyaan yang benar ialah ... kenapa Binar bisa seceroboh itu hingga salah mengambil? Padahal bukunya dan Agra jauh berbeda! Sangat berbeda meski dengan kaver yang sama.Dan ... kenapa Agra bisa semenyebalkan itu! Apa katanya tadi? Mereka dari kelas strata sosial yang berbeda? Binar di kelas sosial yang lebih tinggi?!Benar sekali! Sangat! Tepat mengenai sasaran, berhasil mencederai harga diri dan ego Binar.Bagi teman-teman sekelas, Agra mungkin menjawab pertanyaan mereka. Tapi, Binar dan Agra tahu bukan itu arti sebenarnya.Agra yang datang dari strata sosial satu kelas di bawah Binar, dapat dengan mudah dibeli oleh Hilman Latief.Bagi orangtua Agra, mungkin mereka terlalu diberkati hingga bisa menjalin hubungan dengan keluarga Latief. Menjadikan Binar sebagai menantu, sama seperti mendapat durian runtuh. Sayang, yang harus menangkap durian itu adalah Agra, sedang keluarganya hanya tinggal menikmati manis buahnya tanpa tahu tangan putra mereka terluka oleh duri dari si manis berkulit tajam.Binar jelas merasa terhina kendati hanya ia dan Agra yang mengerti arti penjelasan lelaki itu pagi tadi.“Kalau nebeng mobil Agra yang import Eropa aja lo malu, gimana perasaan lo pas nebeng mobil gue?”Noni, yang agak berubah sejak mendengar jawaban Agra untuk pertanyaan Nara, berusaha tampak biasa saja. Tapi Binar tahu, temannya agak tersinggung. Mungkin juga kesal pada Binar yang terkesan membenarkan segala perkataan suaminya, bahwa ia memang sesombong itu.“Mobil Binar mogok di jalan. Hapenya mati. Kebetulan gue liat dia dan bantu hubungi sopirnya. Sopirnya urus mobil, terpaksa Binar nebeng sama gue sampe kampus. Gue nggak sadar, mungkin aja dia malu ketahuan bareng sama gue. Seharusnya ini hanya antara kami,” kata Agra sebelum berbalik kembali ke bangkunya di barisan depan, tepat berhadapan dengan meja dosen yang masih kosong.Jangan tanya bagaimana perasaan Binar saat itu. Dia marah. Sangat. Binar dengan segala bentuk emosi berlebih memang tidak cocok, karena ia bukan tipe orang yang bisa menyembunyikan perasaan. Dadanya akan selalu sesak bila tak bisa mengeluarkan segala sesuatu di dalam sana.Maka, mengepalkan tangan, ia menyahut lantang. “Lo tahu itu, kenapa masih lo bahas?!”Langkah Agra terhenti di baris bangku kedua. “Untuk lebih memperjelas segalanya, agar saya tahu apa yang bisa saya lakukan ke depannya.” Tanpa menoleh, lantas melanjutkan gerak kakinya yang panjang dengan ayunan mantap.Sejenak, suasana kelas hening sebelum kedatangan Bagas kembali memberi nyawa pada ruangan yang sempat mati itu seiring dengan bisik-bisik yang mulai merambati udara dari telinga ke telinga. Tentang Binar yang menganggap Arga bahkan tidak selevel dengannya. Mahasiswa yang berada di kelas saat kejadian tersebut, menceritakan pada mereka yang baru tiba. Terus begitu, hingga saat jam makan siang, berita itu sudah menjadi bahan gosip utama bagi seperempat penghuni kampus.Wajar saja, Agra merupakan salah satu bintang universitas mereka. Si tampan, salah satu idola dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis yang digadang-gadang sebagai calon kandidat putra kampus kendati banyak yang tahu ia tidak tertarik untuk itu. Dan Binar, salah satu mahasiswa terkaya. Segala sesuatu tentang keduanya tentu akan menjadi gosip yang cukup hangat diperbincangkan. Terlebih, kini keduanya terlibat dalam masalah yang sama.Binar sudah cukup terbiasa mendengar orang berbisik-bisik sambil diam-diam meliriknya. Disindir terang-terangan seperti yang Bagas lakukan juga bukan hal baru. Jadi, kali ini pun bukan apa-apa. Kecuali tentang dua sahabat yang mulai meragukannya.“Kalian tahu maksud gue nggak gitu.” Binar memutar sedotan jus buahnya kasar sebelum melepas sembrono. Ia menghempas punggungnya ke sandaran kursi kafe depan kampus dengan pandangan lurus ke arah jendela yang memperlihatkan lalu lalang kendaraan di bawah matahari yang siang itu bersinar terik.“Nggak. Gue nggak tahu,” ketus Noni keras kepala.“Gue juga nggak,” tambah Prisila yang dengan santai kembali menyedot jus buah seolah tak ada ketegangan antara dua sahabatnya.Noni memang agak gampang tersinggung. Sedang Prisila tipe gadis yang hanya hidup untuk hari ini, jadi nikmati saja. Begitu moto favoritnya.“Gue sama Agra nggak deket.”“Itu bukan alasan lo malu naik mobil dia.”“Kalian tahu sendiri dia sama gengnya gimana ke kita? Mereka selalu bilang kita bego. Dan mereka sering nuding gue sombong.”“Tapi, itu kenyataan, ‘kan?”Mungkin memang benar. Binar mendesah pelan. Tak tahu cara menenangkan Noni. Dan memang tak berkeinginan untuk itu. Suasanya hatinya sedang buruk. Jadilah ia hanya memilih diam.Binar kadang emang sombong, ujar Prisila begitu melepas sedotan dari bibirnya, tapi gue suka sombongnya dia, imbuhnya sambil cengengesan, yang sayang gagal mencairkan suasana. Wajah Noni masih saja masam. Pun ekspresi Binar tetap datar.Barangkali tak betah dengan keadaan yang menyebalkan, Binar mencangklongkan tasnya ke bahu dan bangkit berdiri. Gue pusing. Balik duluan, ya!Eh? Kita masih ada kelas abis ini, Bin. Bukan si rajin Noni, Prisila yang berusaha mencegah dan menarik lengannya.Gue absen.Ini udah kedua kalinya di mata kuliah yang sama. Sekali lagi, lo nggak akan bisa ikut ujian!Tenang aja. Gue Binar. Gue pasti bisa ikut ujian. Usai berkata demikian, gadis itu pun pergi. Meninggalkan Prisila yang menatap tak percaya, pun Noni yang masih mengaduk-aduk menu makan siangnya tanpa selera.Lo sih Non, kenapa nanya kayak gitu coba?Noni berdecak. Ia membanting pelan sendoknya hingga menimbulkan bunyi denting yang untungnya tersamar oleh suara musik yang mengalun dari sound system. Gue cuma mulai heran aja. Binar kaya. Kenapa dia mau temenan sama kita kalau Agra yang setajir itu masih nggak selevel sama dia?Karena, Prisila tidak mempunyai jawaban pasti, mungkin——cuma kita yang mau temenan sama dia, pungkas Noni. Andai ada yang jauh di atas gue sama lo mau temenan sama Binar, gue nggak yakin Binar masih bakal sudi jadi bagian dari kita. BAB 6Binar tidak menyukai Agra sama sekali. Pun tak membencinya. Namun semenjak mereka bertemu di kampus, ada sesuatu dalam diri Binar yang mulai bangkit secara perlahan terhadap pemuda itu.Cara Agra menatapnya saat mata mereka tak sengaja bertemu. Cara Agra memberi peringatan agar hubungan mereka tidak diketahui siapa pun. Cara Agra tak mengacuhkannya. Membuat Binar merasa ... rendah diri. Seolah dia memang pantas mendapatkan semua itu.Padahal, apa yang Agra tahu? Tanpa harus diberi peringatan atau apa pun, Binar juga tidak ingin orang-orang mengetahui betapa menyedihkan hidup mereka. Harus terjebak dalam hubungan yang tak diinginkan. Bukan hanya Agra yang merasa buruk, ia pun demikian.Lagi pula, ini bukan salah Binar sepenuhnya. Kalau memang tidak suka, seharusnya lelaki itu bisa menolak. Sekeras apa pun keluarga memaksa, bila saja Agra berani menentang keputusan mereka, semua tidak akan sampai sejauh ini.Berbeda dengan Binar yang memang tidak mempunyai pilihan lain. Karena jika bukan Agra, maka akan ada calon cadangan yang akan dibawa Hilman.Lantas sekarang, apakah juga salah kalau ... Binar membencinya? Bukan lagi kasihan atau iba, Binar sungguh merasa marah dan benci. Bahkan saat mereka tak sengaja berpapasan di koridor kampus, Binar langsung membuang muka dan mempercepat langkahnya.Ia muak. Sangat. Perutnya bahkan terasa mual.Sikap Agra yang sebelum-sebelumnya masih bisa Binar toleransi, tapi kejadian hari ini berbeda. Binar merasa amat sangat dipermalukan. Di depan seluruh kelas. Bahkan membuat salah satu sahabatnya sampai tersinggung.Dan, di sinilah ia sekarang berada. Di depan gerbang kediaman sang Kakek yang terkunci. Terkunci. Bukan tanpa disengaja tentu saja. Hilman yang seolah tahu isi pikiran cucu tunggalnya, melarang Binar datang untuk sementara waktu.“Binar nggak mau tinggal sama dia. Nggak mau!” teriak gadis 21 tahun itu di depan pagar besi yang berdiri angkuh nyaris setinggi tiga meter. Tapi bahkan sampai suara serak, tak ada yang menggubris. Hanya satpam yang berjaga di depan, sesekali mengintip sambil menatap iba, seolah Binar kucing malang yang ditelantarkan majikannya di pinggir jalan.Ah, kucing telantar mungkin masih mending. Mereka bisa mendapat rumah baru yang lebih baik. Sedang Binar? Yang tersedia untuknya hanya ... apartemen bersama Agra.Pindah? Jangan harap!Binar tidak mempunyai dana untuk itu. Sejak menikah, ia tidak diberi uang saku. Bahkan kartu debit dibekukan oleh Hilman. Karena kata beliau, “Sekarang kamu tanggung jawab Agra.” Seakan Agra merupakan suami baik hati yang amat penyayang.Kini yang Binar pegang hanya tak lebih satu juta, sisa tabungan pribadinya sendiri dalam celengan yang ia pecahkan minggu lalu. Tadi pagi Agra memang meletakkan kartu debit atas nama lelaki itu di samping tas kuliah Binar yang tergeletak di meja belajar, tapi harga diri Binar yang setinggi Gunung Rinjani membuatnya menolak menerima. Terlebih, Agra bahkan tidak mengatakan apa pun.“Kalau Kakek nggak mau buka gerbang, Binar bakal tetap berdiri di sini! Sampe malem juga bakal Binar jabanin!” Ia menendang gerbang dengan kakinya sebelum kemudian duduk berselonjor di atas aspal seperti gelandangan.Binar tidak mau kembali ke apartemen itu. Binar tidak mau tinggal bersama Agra. Binar tidak mau terlibat apa pun dengannya. Sama sekali.Ini baru hari pertama, tapi sudah terjadi kekacauan. Lantas besok apa lagi? Membayangkannya saja ia tak berani.“Kakek nyebelin! Kakek nyebelin! Kakek nyebelin!” pekiknya berkali-kali.Demi langit yang kembali mendung, ini sudah hampir satu jam. Tapi baik Hilman atau Maia masih belum mengacuhkan Binar. Ponsel ibunya pun tidak aktif.Hingga matahari mulai turun pun, gerbang masih tertutup rapat. Binar cemberut berat. Matanya bahkan sudah berkaca-kaca.Binar kenal betul kakeknya. Sekali A, akan tetap A. B hanya opsional bila A gagal. Lantas, bila benar Hilman tidak mau membuka gerbang sampai malam tiba, ke mana Binar akan pergi? Mencari kosan murah? Atau menginap di rumah salah satu temannya?Ah, tapi Noni masih marah. Prisila juga tinggal bersama orang tua dan tiga saudaranya di rumah yang sederhana. Akan sangat merepotkan kalau Binar nekat datang untuk menginap. Terlebih, untuk berapa lama?Hah! Kenapa hidup Binar harus sedrama ini?Menggedor gerbang besi yang hanya membuat punggung tangannya ngilu sekali lagi dengan tenaga yang lebih lemah, Binar mendesah. Meski ia mengatakan akan bertahan sampai daun ganda besar persegi ini terbuka, nyatanya mental Binar tidak sebaja itu. Mungkin ia memang harus mencari penginapan atau kosan murah yang cukup membayar lima ratus ribu sebulan. Tapi, pasti fasilitasnya tidak lengkap. Tak ada AC, TV, shower, bath up.Tak apalah, yang terpenting wi-fi!Membuka ponsel untuk mencari kosan di internet, jari jempolnya yang hendak menggulir layar ke bawah tertahan saat mendengar deru halus mobil terhenti di depannya, hanya sejengkal dari ujung kaki gadis itu yang masih berselonjor dengan posisi paling nyaman.Mendongak, kemarahan itu bangkit kala mendapati plat nomor yang dihafalnya di luar kepala berada tepat di depan mata.Mobil Agra.Memutar bola mata jengah, Binar lanjut menggulir layar hanya untuk dibuat tercengang melihat harga-harga yang tersedia. Uang di sakunya bisa langsung habis tanpa sisa, itu pun untuk kamar kos kecil tanpa kamar mandi di dalam. Lantas selama dalam pelarian, ia akan makan apa?!Angin?“Sehari tanpa membuat keributan memang sesulit itu ya buat kamu?” Agra keluar dari mobil dan menutup pintunya dengan kasar, setengah membanting. Ia tatap Binar yang masih tampak bloon di depan layar ponselnya yang menyala. Sama sekali tak mengindahkannya. “Apa setiap kali ada masalah, kamu akan selalu lapor ke kakek kamu? Mengadukan semuanya? Membuat saya terlihat seperti laki-laki berengsek yang tidak punya hati?!” Nada suara Agra meninggi tapi Binar masih cemberut di tempat. Bukan. Bukan karena lelaki itu, melainkan sesuatu yang sepertinya terlalu menarik untuk bisa membuat Binar berpaling.“Sampai kapan kamu akan bersikap seperti anak kecil? Kamu sudah dewasa sekarang. Kamu bahkan sudah menikah, Binar!” Kesal, Agra rampas benda pipih persegi yang sejak tadi istrinya perhatikan penuh minat.Agra benci diabaikan. Terlebih oleh gadis ini. Seseorang yang seharusnya paling memperhatikan dan menurutinya. Seseorang yang membuat Agra ingin memperlihatkan seluruh kebencian yang ia miliki. Seseorang yang membuat dunianya jungkir balik hanya dalam sekejap.“Hey!”Agra mengangkat benda itu lebih tinggi saat Binar berusaha merebut kembali. Gadis itu menarik lengan Agra yang bebas dan berdiri, lantas melompat-lompat berusaha meraih ponselnya. Namun gagal. Selisih tinggi badan mereka yang lumayan membuat leher dan punggung Agra ngilu setiap kali mereka berhadapan, cukup menguntungkan di saat-saat seperti ini.“Kembaliin HP gue, nggak?!” Binar melompat sekali lagi. Ia raih lengan kanan Agra dan ditariknya ke bawah. Gerakannya persis anak monyet yang bergelendotan di dahan untuk meraih pisang. Namun, badan Agra yang sekokoh pohon sama sekali tak bergeming. Dan untuk menghentikannya, Agra tahan tubuh Binar dengan memeluk pinggangnya erat hanya agar gadis itu diam saat ia memeriksa konten yang tadi gadis itu pelototi.Berhasil. Binar langsung mematung. Kaku. Seperti batu. Tangan-tangannya makin erat melingkari lengan Agra, karena sekali dilepas, Binar takut tubuhnya akan langsung luruh ke tanah karena bahkan saat ini ia hanya bertumpu pada ujung-ujung jari kaki yang mendadak terasa bagai jeli.Rengkuhan Agra di pinggangnya terlalu ... erat. Binar merasa mulai kesulitan bernapas.“Kamu mencari kamar kos?” Agra mendengus kasar seperti banteng. Ia menunduk menatap sang lawan bicara dengan tampang meremehkan terang-terangan. Satu alisnya terangkat melihat wajah Binar yang ... memerah.Seolah menyadari ada sesuatu yang salah, Agra menunduk makin bawah. Ia berdeham salah tingkah sebelum perlahan melepas rengkuhannya dari gadis itu. “Maaf. Kamu terlalu hiperaktif.”Begitu terlepas, Binar langsung mengambil tiga langkah menjauh dengan gerak rikuh. Ia membuang pandangan seraya mengatur napasnya yang mendadak menderu. “Balikin ponsel gue!” geramnya. Ia mengepalkan kedua tangan erat-erat hingga terasa sakit, berusaha membangun pertahanan dan mengembalikan segala bentuk amarah yang nyaris lenyap hanya karena satu ... satu tindakan kecil lelaki itu. Ini gila. Binar memang tidak pernah dekat dengan lelaki mana pun selain keluarga, tapi bukan berarti tubuhnya bisa menjadi murahan atau lemah begini hanya karena dipeluk tanpa maksud.Benar Agra suaminya, tapi ia dan Agra bahkan lebih jauh dari dari dua orang asing. Binar lebih menyukai seseorang yang tidak dikenal ketimbang Agra.“Dan membiarkan kamu mencari kosan?” Agra menurunkan tangan yang masih menggenggam ponsel Binar sebatas dada. Masih menatap gadis itu yang berusaha menghindari kontak mata mereka.“Gue rasa tinggal terpisah lebih baik untuk satu sama lain.”“Kamu punya uang untuk itu?”“Gue bisa cari kerja!”“Misalnya?”Misalnya? Binar menelan ludah. Ia membasahi bibir yang mendadak terasa kering saat kembali memikirkan jawaban untuk pertanyaan Agra atas pernyataannya yang asal-asalan.Benar, kerja apa? Seumur hidup Binar berada di bawah perlindungan Hilman yang memastikan segala kebutuhannya tercukupi tanpa harus memikirkan apa pun.Pekerjaan macam apa yang tersedia bagi lulusan SMA, sambil kuliah pula?Tidak mungkin kantoran yang pasti.Penjaga toko? Pelayan restoran? Tukang cuci piring?Binar mendadak pening walau hanya memikirkannya.Mendongak sombong untuk menyembunyikan bayangan ngeri dalam kepala, ia tatap Agra sinis. “Lo nggak perlu tahu.”Mendengus kecil—kenapa lelaki itu suka sekali mendengus?—Agra ulurkan ponsel Binar pada sang empunya, yang langsung istrinya raih dengan kasar. Dengan gerak santai setengah bosan khasnya, Agra melenggang santai menuju sisi kiri mobil dan tanpa tedeng aling-aling membuka pintu bagian penumpang.“Kakek menyuruh saya menjemput kamu. Kalau belum yakin dengan apa yang ingin kamu lakukan dan ke mana kamu akan pergi malam ini, sebaiknya kita pulang. Kakek tidak akan membuka gerbang sekali pun kamu menggila di sini. Lagian, saya tahu kamu lapar.”Seolah membenarkan perkataan Agra, perut Binar yang tak pernah bisa diajak kompromi berbunyi, nyaring sekali. Sialan! Binar berpaling dan meringis malu. “Gue lebih mending tidur di jalan!”“Begitu?” Agra tampak merenung sesaat. Kerutan kecil di keningnya adalah pertanda sesuatu yang tidak bagus. Benar saja, detik kemudian lelaki itu kembali dengan pertanyaan yang berhasil membuat sang lawan bicara gondok. “Omongan wanita dan isi hati mereka hampir selalu bertentangan. Apa ini isyarat agar saya membujuk dan menggendong kamu paksa ke mobil? Mungkin kamu terlalu malu menerima tawaran saya karena merasa masih marah?”Binar kehilangan kata-kata. Rahangnya bahkan menolak terkatup, terlalu ... terpana terhadap kalimat luar biasa Agra yang nyaris membuatnya menangis frustasi.Agra yang Binar kenal tidak banyak bicara. Dulu, Binar merasa kesal karena itu. Sekarang, Agra yang banyak bicara ternyata juga bukan hal bagus!“Berpikir aja semau lo!” Mencengkeram tali tas selempangnya, Binar berbalik siap pergi.Benar kata Agra, menggila di sini tak akan membuat Kakek luluh. Sedang matahari sudah hampir tenggelam. Langit pun kian tampak pekat. Sebelum malam, ia harus menemukan tempat. Yang pasti bukan di apartemen.Mengambil langkah menjauh, Binar berjalan cepat. Walau tak yakin hendak pergi ke mana. Ia hanya ingin membuktikan bahwa tekadnya sudah bulat. Agra dan siapa pun tidak akan bisa menghentikannya. Tak akan pernah.“Kamu yakin akan pergi dengan keadaan seperti itu?”Binar menjawab tanpa menoleh, malah mengambil langkah lebih lebar dengan kaki-kaki pendeknya. “Lo nggak bakal bisa menghentikan gue kali ini.”“Kamu tembus.”Seperti mobil yang mengerem mendadak lantaran nyaris menabrak tiang listrik, Binar langsung terhenti secepat refleksnya bisa bekerja hingga nyaris jatuh tersungkur. Beruntung keseimbangan dirinya cukup bagus, ia masih bisa tetap berdiri kendati rasa percaya dirinya sudah jatuh dan hancur—berserakan di bawah kaki Agra.Berkedip bagai orang bodoh, Binar menolehkan kepala sembilan puluh derajat, sebatas bisa melirik sang lawan bicara. Ia menunduk sedikit ke bagian belakang rok lipit abu-abu muda yang hari ini menjadi pilihannya sambil berpikir.Apakah ini sudah masuk waktu datang bulan?Dan saat hitungan dalam kepalanya pas, Binar menggigit daging pipi dalamnya keras-keras.Sial! Kenapa harus hari ini?!“Silakan kalau kamu berkeras tetap pergi.”Guntur menggelegar di kejauhan, selaras dengan isi hati Binar yang mengutuk diri sendiri. Ia berharap kilat menyambarnya atau bumi membelah untuk menelan tubuhnya. Karena kini Binar hanya ingin menghilang dan tidak muncul lagi di depan siapa pun. Terutama Agra yang masih memandanginya dengan tatapan datar itu.“Tapi kalau kamu berubah pikiran, kita bisa langsung pulang sekarang. Saya tidak suka berkendara dalam keadaan hujan,” tambahnya. “Ah ya, kamu punya stok pembalut di rumah, atau membawa menstrual cup? Kalau tidak, sepertinya kita harus mampir dulu ke supermarket.”Binar meremas tali tasnya lebih kencang dan menggigit daging pipinya lebih keras lagi.Harus semalu apa lagi ia sekarang?!Lebih dari segalanya, bagaimana bisa Agra menyebut pembalut tanpa canggung sama sekali di depannya? Pun, dari mana Agra mengenal istilah menstrual cup bahkan saat Binar baru mengetahuinya tahun lalu?!Dan kenapa harus Binar yang merasa malu? Dia perempuan, wajar haid, wajar tembus. Yang tidak wajar adalah Agra yang terlalu banyak tahu! Harusnya lelaki itu yang malu, ‘kan?“Kamu benar-benar ingin saya gendong, ya?” tanya si menyebalkan itu lagi setelah beberapa saat dan belum juga mendapat jawaban.Tidak. Tidak perlu.Berusaha menyembunyikan rasa malu, Binar kembali berbalik dengan gerak kasar. Ia melangkah lebar-lebar sambil menghentak-hentak bumi dengan sol sepatunya, kemudian memutari tubuh Agra sebelum masuk mobil, lantas menutup pintu penumpang keras-keras di depan hidung lelaki itu, berharap Agra berpikir dirinya marah alih-alih malu setengah mati.Sudah Binar bilang, ‘kan? Harga dirinya hanya setinggi Rinjani. Cuma karena roknya tembus, ia kalah.Padahal seharusnya meski badai menghadang, ia tetap pergi.Seharusnya.Seharusnya ... BAB 7“Lo pasti punya banyak pengalaman sama perempuan ‘kan, sampe tahu detail-detail masalah datang bulan?” Binar bertanya sinis, lebih untuk menutupi rasa malu yang kini memuncak di ubun-ubun setelah melirik ke jok belakang dan mendapati kantung plastik putih berisi beberapa pembalut dari berbagai merk, ukuran, dan jenis.Ada yang bersayap, tidak bersayap, yang panjang, dan yang berukuran sedang.Andai bisa menendang diri sendiri, Binar tentu sudah melakukannya sejak tadi. Jangan tanya siapa yang membeli barang-barang tersebut. Tentu saja Agra. Seperti yang tadi lelaki itu katakan, mereka mampir ke supermarket sepulang dari rumah Hilman. Suami barunya itu sempat bertanya jenis pembalut yang biasa Binar pakai. Alih-alih menjawab, Binar justru membuang muka. Jadilah lelaki itu membeli semuanya. Bukan senang, yang ada Binar kian dongkol. Rasa malunya bertambah lima kali lipat.“Lumayan,” jawab Agra dengan nada tak peduli.“Dasar buaya!”Agra meliriknya dengan ujung mata. Salah satu alis pemuda itu naik sedikit saat berkata, “Saya harap tidak. Buaya terlalu setia pada satu pasangan.”“Darat!” Binar menambahkan dengan nada lebih sinis, ia bahkan mendelik untuk memperjelas maksudnya. Dalam hati berdoa agar jalanan bisa lebih lengang hingga mereka bisa secepatnya sampai di apartemen. Berdua dengan Agra di dalam ruang mobil yang sempit sungguh menyesakkan. Ah, tapi bahkan di apartemen, Binar tidak memiliki tempat sembunyi atau menyendiri—kecuali ia bersedia tinggal di kamar mandi yang dingin dan berbaring di bath up? Huh, betapa menyedihkan!“Saya tidak tahu apa yang dulu kamu pelajari di sekolah.” Agra menghentikan mobilnya di belakang kendaraan lain saat lampu lalu lintas berubah merah. Waktu yang sudah menjelang pulang kerja membuat jalanan lumayan padat dan macet. Doa Binar jelas tak terkabulkan. “Buaya memang jenis reptil yang hidup di darat dan air. Saya tidak paham kenapa orang-orang menggunakan istilah buaya untuk menggambarkan lelaki tidak setia. Padahal di mana pun dia berada, baik air atau darat, pasangannya tetap satu. Bahkan meski pasangannya mati, buaya tidak mencari pengganti.”Selalu. Selalu. Selalu.Binar menyentuh kepalanya yang mendadak pusing. Dia stress. Frustasi. Pening. Atau apa pun sebutan bagi penderita sakit kepala dadakan.Bagaimana Binar bisa lupa? Agra serasional itu. Secerdas itu. Semenyebalkan itu. Terlebih, Agra yang banyak bicara—terlalu banyak bicara—masih sangat baru baginya. Akan lebih mudah menghadapi Agra yang pendiam dan sinis. Atau karena mungkin kini mereka sudah menikah, jadi lelaki itu pikir tak ada lagi batas di antara mereka hingga Agra bisa menampilkan seluruh sisi dirinya?Ini bahkan bukan pernikahan semacam itu, walau kemungkinan keduanya tak punya pilihan kecuali tetap bersama sampai tutup usia, namun tetap saja! Harus ada batas.Lelah, Binar mengangguk saja untuk mengalah. “Ya, ya. Lo bukan buaya, tapi kupu-kupu!”“Kupu-kupu?” Lampu lalu lintas masih merah. Alat hitung mundur bergerak menyentuh angka 37, kemudian 36, 35. Ck, masih lama sampai kendaraan bisa kembali melaju.“Lo nggak tahu?” Binar melipat tangan di depan dada. Tanya dengan nada setengah bingung dari sang lawan bicara membuat peningnya sedikit berkurang. Ia mendadak merasa agak sombong mengetahui sesuatu yang tidak Agra tahu. Tentu saja. Agra boleh rajin membaca, tapi bukan novel atau komik. Dia juga sering menonton, hanya saja yang dinikmatinya adalah sejenis berita politik dan ekonomi. Nyaris mustahil lelaki itu update tren-tren yang terjadi baru-baru ini, termasuk tentang kupu-kupu. Sebutan pengganti teranyar oleh netizen untuk menggambarkan lelaki mata keranjang yang sedang ramai diperbincangkan di media sosial. “Itu istilah baru untuk cowok berengsek macem lo.”“Kenapa harus kupu-kupu?”“Mmm ...” Binar pura-pura berpikir keras. Ia bahkan sampai memonyongkan bibir secara berlebihan seperti cocor bebek. “Mungkin karena buaya terlalu setia?”“Tapi, kupu-kupu juga salah satu hewan yang dikenal sangat setia. Bagaimana bisa melirik pasangan lain saat usia mereka bahkan sangat pendek?”Ah.Aah ...Aahhhh ...!Terserah. Terserah. Terserah!Kepala Binar kembali pening. Malah lebih parah. Ia bahkan sampai memeganginya dengan dua tangan. Dalam hati menangis meraung-raung. Haruskah ia menghabiskan sisa hidup dengan lelaki macam ini? Yang satu saat bisa sangat dingin. Di saat lain luar biasa cerewet. Lebih dari segalanya, logika Agra akan berhasil mengikis kewarasan Binar. Akan sangat luar biasa bila satu tahun dari sekarang ia masih waras, minimal tidak memeriksakan diri ke dokter jiwa atau mendaftar sebagai pasien rawat inap RSJ dengan sukarela. “Semerdeka lo sekeluarga sajalah!”Agra mendengus lagi. Binar curiga memiliki suami ingusan. “Tapi, itu kenyataan. Kenapa orang-orang sangat aneh? Menjadikan nama hewan sebagai kambing hitam untuk menyebut manusia lain yang menurut mereka amoral.”Cermin, mana cermin?Agra mengatakan orang-orang aneh. Tidak tahukah dia, bagi dunia, termasuk Binar, justru lelaki itulah yang aneh! Sangat aneh! Andai para mahasiswi di kampus tahu sisinya yang ini, Binar yakin tidak akan ada satu gadis pun yang mau meliriknya!Binar memilih bungkam, memendam segala dongkol dalam tenggorokannya demi mempertahankan kewarasan lebih lama. Berbicara dengan Agra adalah kesalahan. Kesalahan besar. Agra jelas terlalu pintar untuk membuat Binar menang. Atau terlalu pintar untuk membuatnya tak berumur panjang.Namun, kebungkaman itu tak bisa bertahan lama. Rasa ingin tahu mencekiknya saat setelah lampu berubah hijau, mobil kembali melaju. Alih-alih lurus, Agra memutar roda kemudi di perempatan depan dan berbelok ke kanan.Ini bukan jalan menuju apartemen mereka.“Mau ke mana kita?” tak bisa menahan diri, ia bertanya.“Kamu tahu jalanan ini.”Tentu saja Binar tahu. Hafal malah. Ia sering lewat sini. Terlalu sering. Jalan menuju rumah ... orang tua Agra, mertuanya. Menelan ludah, Binar menoleh ke arah lelaki itu dan menatapnya ngeri. “Jangan bilang—”“Ya.”“Kenapa kita ke sana?” Binar tidak pernah suka terjebak di tengah-tengah keluarga Agra. Ayah mertuanya terlalu kolot, sedang mama Agra terlalu ikut campur. Aira terlalu cerewet. Menantu lain di rumah itu—istri si sulung Arya—terlalu pemalu dan amat pendiam. Agra sendiri terlalu kaku.Benar, seluruh keluarga suaminya memang terlalu. Sangat terlalu. Salah satu alasan Binar tak pernah suka berada bersama mereka.Hanya Arya yang bisa dikatakan normal. Pemilik tatapan hangat yang saat tersenyum, seluruh ruangan akan tampak bersinar. Ah, andai Binar dijodohkan dengan Arya, cerita mereka akan berbeda. Tak usah ditanya, ia pasti akan bahagia.Arya yang baik. Yang tampan. Yang ... lebih, lebih, lebih dari Agra.Namun kenyataan memang tak pernah sesuai dengan harapan, ‘kan? Arya yang beruntung, bertemu dan saling jatuh cinta dengan perempuan dari keluarga berada dan cukup terhormat. Pernikahan mereka mendapat restu dari semua orang dan seluruh semesta. Pasangan yang sempurna. Binar mendesah iri setiap kali melihat mereka. Pun mengingatnya sekarang hanya membuat perasaan gadis itu kian tak keruan.Betapa tidak adil dunia ini!“Saya mau cuci mobil.”Binar mengernyit. Ia tatap lelaki di sampingnya dengan ekspresi tak percaya. Bahkan nyaris tertawa kesal. “Cuci mobil di rumah? Lo bercanda?”Agra meliriknya sekilas—lagi. Masih dengan raut datar yang membuat Binar gatal ingin mencakar wajah yang kata orang-orang tampan itu. “Haruskah saya membawanya ke tempat cuci?”“Itu yang seharus—” Binar berkedip lambat saat kesadaran menghantamnya. Rahang kecil gadis itu praktis kembali terkatup. Ia berdeham salah tingkah dan memperbaiki posisi duduk dengan gerak kikuk, pura-pura bersandar nyaman pada jok dan menatap lurus ke depan. Sedang batinnya kembali mengumpat.Bagaimana bisa Binar lupa. Dirinya tembus. Sudah pasti ada noda darah di kulit kursi penumpang yang kini ditempatinya. Banyak noda darah. Bahkan ia duduk dalam posisi tidak nyaman. Roknya terasa berat dan basah.Ah, sial!“Mmm, seperti biasa. Lo selalu bisa berpikir cerdas,” ujar Binar kemudian sembari memukul pahanya dengan kepalan tangan, kendati yang diinginkannya adalah meninju bibir yang selalu bekerja lebih cepat dari otak.Setelahnya, sepanjang sisa perjalanan sore itu, Binar tak lagi bicara. Binar berusaha tenang di kursi penumpang dengan tatapan jauh ke luar jendela. Menatap nyaris semua hal yang mereka lewati, dari sisi kiri tempatnya berada. Ia bahkan jatuh tertidur tak sampai sepuluh menit kemudian. Barangkali kelelahan setelah melewati hari yang terasa amat panjang dan tidak menyenangkan.Entah berapa lama lelap memeluk erat, Binar terbangun lantaran kaget saat sesuatu yang terlalu nyaman dijadikan sandaran, disentak dengan kasar hingga ia nyaris jatuh terhuyung.Mengerang kecil, Binar mendongak seraya membetulkan posisi kacamata antiradiasinya yang nyaris jatuh, pun pasminanya yang awut-awutan.Dari posisi tubuh yang condong ke luar, nyaris jatuh dari mobil, Binar tahu sesuatu yang disandarinya adalah jendela kereta besi Agra. Dan lelaki tanpa hati itu, alih-alih menggoyang pelan bahunya untuk membangunkan, malah membukakan pintu dengan kasar. Baik sekali memang dia.“Kamu bisa keluar sekarang.”Binar cemberut. Setengah sadar akibat kantuk yang belum benar-benar hilang, ia membuka sabuk pengaman dan melompat turun, sedang Agra membuka pintu belakang dan mengambil kresek besar berisi hasil buruannya di supermarket dan menyerahkan pada Binar, pun dengan sweater cokelat yang tadi lelaki itu kenakan. “Pakai ini untuk menutupi rok kamu yang kotor.”Ah, ya. Roknya kotor. Binar mendesah panjang. Ia mengambil sweater Agra lebih dulu dan diikatkan longgar ke pinggang sebelum menerima kresek yang juga lelaki itu sodorkan.Kepalanya masih pening, kali ini bukan karena suaminya, melainkan waktu tidur yang terlalu singkat.Berbalik hendak menutup pintu mobil kembali, kresek yang Binar pegang jatuh. Ia menatap ngeri jok penumpang samping kemudi yang ... banjir.Bagaimana ... bagaimana mungkin bisa sebanyak ini? Ia haid apa pendarahan sebenarnya?“Kenapa?” Seolah tahu ada yang salah, Agra mendekat. Buru-buru Binar menyerongkan tubuh hingga membelakangi Agra sepenuhnya, pun menghalangi pandangan lelaki itu dari sesuatu yang memalukan.Dengan gerak serampangan, Binar mencabut berlembar-lembar tisu yang tersedia di dasbor. Ia mengambil banyak-banyak dan digosokkan ke bekas darahnya berulang-ulang hingga benda putih bersih itu berubah kemerahan. Tapi bahkan jok berlapis kulit itu belum juga bersih.Setidaknya begini lebih baik, pikir Binar. Ia menegakkan punggung dengan senyum puas sebelum kemudian kembali kebingungan menatap gumpalan tisu hasil karya seninya menumpuk.Ke mana ia harus menyingkirkan tisu-tisu ini?“Apa yang kamu lakukan?” Barangkali penasaran dan mungkin sudah mulai kehilangan kesabaran, Agra tarik Binar menjauh dari mobil untuk tahu apa pun yang membuat gadis itu begitu sibuk, hanya untuk menemukan kekacauan lain kemudian. “Kamu—” Agra menatapnya dengan dengan ekspresi tak percaya. Sudah pasti kehilangan kata-kata.Binar tersenyum tanpa dosa, memamerkan gigi-giginya yang berderet rapi sambil menggaruk tengkuk belakang. “Lo punya kantong kresek hitam?”Agra mengatup rahangnya yang tanpa sadar ternganga. Binar yang ajaib kemungkinan besar akan berhasil membuat ia mati muda. Mendelik, Agra membuka kotak dasbor dan memberikan plastik hitam yang dilipat rapi membentuk segitiga pada sang lawan bicara yang menerimanya masih dengan senyum kelewat lebar.“Terima kasih,” ucap Binar, menirukan nada anak kecil. Ia bahkan berkedip-kedip cepat saat menatap Agra. Entah apa maksudnya, lantas mendorong sang empunya mobil menjauh, kemudian memungut gumpalan-gumpalan tisu ke dalam kantung kresek secepat tangan-tangannya bisa bergerak. Begitu selesai, Binar mengikat mati bagian pegangan plastik, lalu berbalik badan, kembali menghadap Agra sambil menenteng plastik hitam tersebut di depan hidung. “Di mana gue bisa buang ini?”Bersama Binar, Agra tidak bisa menahan diri untuk tak menghela napas atau mendengus sering-sering. Tingkah cucu tunggal keluarga Latief ini membuat ia harus menyetok sabar banyak-banyak.Mendesah sekali lagi, Agra rampas plastik dari tangan Binar seraya mendorong tubuh gadis itu pelan, menjauhkan dari mobilnya. Menaruh kresek tersebut di jok penumpang depan, Agra tutup pintu mobil keras-keras. “Ini biar saya yang urus,” katanya. Pemuda itu membungkuk, memunguti kantong putih yang tergeletak malang di atas lantai paving dan menyerahkan kembali pada Binar. “Kamu silakan masuk.”“Tapi, tisunya—”“Mau kamu buang sendiri ke tempat sampah depan?”Binar cemberut. Ia menerima kantong putih itu dan mendekapnya di dada sebelum berbalik sambil menghentakkan kaki, melangkah menjauhi Agra yang kembali mendesah seperti penderita sesak napas.Agra geleng-geleng tak habis pikir sembari bergegas mencari selang untuk mencuci mobilnya yang ... dikotori Binar.Lucu saat gadis itu bertanya, bagaimana Agra bisa tahu detail-detail tentang datang bulan. Apa dia lupa, Agra punya ibu dan adik perempuan. Kini ada tambahan satu lagi, istri. Andai Binar tahu betapa rewel Aira saat sakit perut menjelang tamu bulanannya datang, istrinya tak akan banyak bertanya.Memutar keran yang sudah disambungi selang, sosok Binar muncul lagi di depannya masih sambil memeluk kresek putih besar di dadanya. Nyaris membuat Agra menyemprotnya lantaran kaget.Ada apa lagi sekarang?Kamar lo yang mana?Hah. Apa dia tidak bisa bertanya pada pembantu? Di lantai atas. Ujung kanan. BAB 8Ini merupakan kali pertama Binar memasuki kamar Agra. Nuansa ruangan yang kira-kira berukuran 5x5 meter itu sudah bisa ditebak sejak awal. Maskulin. Dingin. Membosankan. Perpaduan warna hitam dan abu-abu mendominasi. Sama sekali bukan tipe Binar yang lebih menyukai warna-warna terang.Menarik napas panjang, gadis yang masih memeluk kresek putik besar itu melangkah makin dalam lantas mencampakkan barang bawaannya ke atas ranjang berseprai abu-abu yang tampak rapi. Ah ya, kamar Agra luar biasa bersih dan tertata apik. Amat sangat bersih. Binar sampai mengoleskan jari telunjuknya ke rak buku kecil di sudut ruangan. Alih-alih debu mengotori tangannya, yang ada sidik jarinya membuat jejak di sana. Yah, sebersih itu.Meninggalkan rak buku, ia membuka ia membuka salah satu pintu lemari baju dan melihat deretan pakaian Agra yang tertata cantik sesuai jenis dan warna. Jauh berbeda dengan kondisi lemari Binar yang ... yah, tak usah disebutkan. Mau dirapikan seciamik mungkin pun, setiap kali ia menarik pakaian yang posisinya di tengah atau bawah, lipatan kain di atasnya langsung tergusur. Jadi, begitulah.Orang-orang bilang, jodoh merupakan cerminan diri. Melihat kondisinya, Binar terpaksa menolak percaya. Ia dan Agra tidak bisa dikatakan cerminan. Mereka jauh berbeda. Dari segi mana pun. Kecuali nama besar keluarga dan kekayaan mungkin?Ah, lupakan. Lupakan. Lupakan. Ada hal penting yang harus Binar lakukan sekarang, yaitu membersihkan diri.Mengambil salah satu pembalut yang biasa ia pakai dari beberapa bungkus yang Agra belikan, Binar berlari membawanya ke kamar mandi. Aroma antiseptik tajam langsung tercium hidungnya begitu memasuki kamar yang berukuran lebih kecil itu. Binar buru-buru bersembunyi ke bilik shower dan melepas seluruh pakaiannya, meletakkan ke dalam bak besar yang tersedia di sudut kamar mandi hanya untuk kebingungan mencari deterjen kemudian. Binar tidak mungkin menyerahkan pakaiannya yang bernoda darah pada pembantu keluarga Agra, ‘kan? Bukan apa-apa. Ia masih punya rasa malu.Huh!Berpikir. Berpikir. Berpikir. Mencuci pakaian tidak harus menggunakan deterjen. Masih banyak sabun yang bisa digunakan. Seperti ... Binar melirik deretan sabun cair yang berjejer di samping jacuzzi dengan berbagai varian aroma. Ada lemon, apel, mentimun, dan beberapa jenis buah lain yang membuat Binar berdecak. Kenapa Agra tidak mengoleksi wangi bunga? Seperti lavender, sakura, atau mawar kesukaannya.Ah, peduli setan dengan jenis aroma yang digunakan. Yang penting pakaiannya bersih. Mengambil acak salah satu dari deretan sabun cair itu, Binar mengisi bak dan menuangkan sabun banyak-banyak, kemudian mengubeknya hingga berbusa.Meski tumbuh di keluarga kaya, bukan berarti ia tidak bisa mencuci tangan. Karena sejak kecil, Maia membiasakannya untuk mencuci pakaian dalam sendiri. Hanya saja, ternyata mencuci pakaian dalam dan pakaian luar itu berbeda. Binar kewalahan saat mengucek roknya yang berbahan berat serta sweater rajut Agra. Dan yang paling susah adalah ... memerasnya!Selesai mencuci, yang nyaris menghabiskan satu botol sabun cair, Binar memilih berendam dengan air hangat untuk menenangkan diri dan memulihkan tenaga yang terkuras. Entah berapa jam ia berada di kamar mandi, karena begitu keluar, matahari nyaris tenggelam sepenuhnya.Celingak-celinguk di depan pintu kamar mandi, Binar menggotong bak hitam berisi pakaiannya yang sudah bersih ke arah jendela dengan susah payah. Ia bisa menjemur ini di birai balkon.Tepat tiga langkah dari jendela balkon, pintu kamar terbuka. Refleks, tubuh gadis yang tengah kesusahan membawa bak berat itu mematung. Bernapas pun tidak.Ah, apa Agra sudah selesai mencuci mobil? Kenapa cepat sekali? Atau ia yang kelamaan? Sial!“Apa yang kamu lakukan?” Barangkali merasa aneh dengan posisi berdiri Binar yang yang setengah membungkuk, Agra bertanya. Sang lawan bicara mulai meliriknya takut-takut sambil berusaha keras menegapkan punggung yang terasa pegal, tapi kesulitan dengan beban di kedua tangannya.Agra yang penasaran, bergegas mendekat. Ia menarik bahu Binar dan membaliknya hanya untuk ... berkedip bagai orang bodoh kemudian.“Apa ... apa yang—” Pemuda itu kehilangan kata-kata mendapati tubuh Binar yang nyaris tenggelam dalam kimononya, pun kepala terbalut handuk. Bukan, bukan itu yang paling membuatnya tak habis pikir, melainkan ... “Apa ini, Binar? Dan ke mana kamu akan membawanya?”Yang ditanya tersenyum kaku, kelewat lebar. Ia hanya bisa menatap Agra waswas dengan mata membulat besar, seperti kucing yang ketahuan memangsa ikan dalam aquarium majikan.“Cucian?” Alih-alih menjawab, Binar justru balik bertanya masih sambil cengengesan.“Kamu mencucinya sendiri?”Binar mengangguk, masih dengan gerakan sekaku robot dengan bibir yang tetap tersenyum kelewat lebar hingga seluruh giginya terlihat.Agra jangan ditanya. Dia ... ternganga. Mulutnya membuka mulut lebar-lebar, seolah hendak mengatakan sesuatu, tapi kemudian mengatupkannya lagi. Terus begitu selama beberapa kali, membuat wajahnya tampak lucu, seperti ikan koi. Andai dalam situasi normal, Binar sudah tentu akan menertawakannya. Namun saat ini tidak bisa dikatakan normal. Posisi Binar sedang sangat rentan. Rentan mendapat masalah tentu saja.Ugh, ini pasti hari tersialnya. Kalau diurut sejak kejadian tadi pagi, Binar pantas mendapat penghargaan kategori kejadian paling menyebalkan beruntun dalam sehari. Binar harus menandai hari ini dan mungkin memperingatinya setiap tahun.“Kamu ... ini ... bisa diserahkan ke pembantu!” seru lelaki itu setelah beberapa saat kemudian.“Ada noda darahnya.”“Kenapa kalau ada noda darahnya? Saya pikir wajar rok perempuan ternoda darah. Aira juga sering seperti itu sejak berusia sebelas tahun.”Senyum Binar menghilang. Ia mendesah dan memberengut. “Lo sendiri kenapa nggak nyuruh orang lain bersihin mobil?”“Kamu mau sopir yang membersihkannya?”Sial. Sial. Sial.Kenapa Agra begitu menyebalkan?Pegal lantaran menahan beban di tangannya, Binar menurunkan bak besar hitam itu nyaris membanting ke lantai kamar Agra yang nyaris terlihat bersinar saking bersihnya. “Gue masih baru di sini. Gue belum kenal ART keluarga lo! Lo pikir sendiri aja gimana?! Lo mau gue menghancurkan kesan pertama di mata mereka?”Agra melipat tangan di depan dada. Ia menatap sebal pada bak yang teronggok di lantai sebelum membawa pupil matanya yang sewarna cokelat batangan itu untuk memelototi sang lawan bicara. “Saya tidak tahu kalau kesan pertama terhadap orang-orang di rumah ini penting buat kamu.”Kali ini, Binar yang kehilangan kata-kata. Ia memang tidak akan pernah menang melawan Agra. Tak menemukan kalimat balasan dalam benaknya yang mendadak semrawut, Binar hanya bisa membuang muka dan ikut melipat tangannya di depan dada. Segala jenis nama binatang tertahan di tenggorokan. Hanya saja, bibir Binar terlalu kecil untuk mengeluarkan anjing dari mulut. Jadilah ia hanya bisa menarik napas panjang dan menghembuskan kasar sebagai bentuk pertahanan diri. Menolak menanggapi.“Lalu sekarang, apa yang ingin kamu lakukan dengan pakaian basah ini?” tanya Agra lagi sambil menunjuk bak di antara mereka dengan dagu. Mendapati Binar yang tetap diam dengan wajah dipalingkan darinya, Agra menoleh ke balik punggung. Ke arah tempat Binar tadi melangkah. Jendela. Balkon. Lelaki itu pun menghela napas lagi. Kali ini lebih panjang dan lebih nyaring. “Jangan bilang kamu hendak menjemurnya di—”Binar tetap menolak menjawab. Ia justru makin menaikkan dagunya tinggi-tinggi.Agra tahu dirinya harus mengalah. Kali ini saja. Ia memejam sejenak untuk mempertahankan kewarasan atas tindakan tak masuk akal Binar. Begitu membuka kelopaknya matanya, Agra menurunkan tangan-tangan kembali ke sisi tubuh, Agra membungkuk dan membawa bak tadi di depan perutnya. Saat hendak melangkah melewati Binar, hidung lelaki itu mengernyit kala menghidu aroma yang sangat familier. “Kamu mencuci ini dengan apa?” tanyanya waspada, setengah waswas. Tatapannya awas, mencari mata Binar yang berusaha menghindarinya dengan berkedip-kedip cepat.Berdeham, sang lawan bicara menggaruk tengkuk. Gestur gelisahnya membikin Agra kian curiga. “Well ... gue nggak nemu deterjen di kamar mandi lo. Jadi—”“Jadi?”“Gue pake sabun cair.”Rahang Agra mengencang. Bibirnya menipis. Napasnya pun berubah pendek-pendek.Kata sabar sungguh tak mempan untuk menghadapi gadis ajaib ini!Ditatap sedemikian rupa oleh sang lawan bicara, Binar menjadi salah tingkah. Apa kali ini ia melakukan kesalahan lagi? Gadis itu menggaruk tengkuknya yang menjadi gatal dengan lebih keras. Bibirnya kembali melengkungkan senyuman lebar sebagai upaya meminimalisir kemarahan—kalau-kalau Agra benar marah—suaminya.“Aroma lemon?” ujar Agra disela-sela giginya yang terkatup rapat.“Ee ... sepertinya begitu.” Tunggu dulu, kenapa Agra harus marah? Binar cuma menggunakan sabun cair. Cuma sabun cair. Mendengus, ia menelengkan kepala menatap Agra sebal. “Lo nggak mungkin marah cuma karena gue nyaris ngabisin sabun cair lo, kan?”“Nyaris dihabiskan?!” Andai bisa, mungkin kini mata Agra sudah melompat dari rongganya saking lebar ia melotot. Binar menahan diri untuk tak bergidik ngeri membayangkannya.Ia pun berdecak. “Lebay lo! Sabun cair doang. Bakal gue ganti!”Agra tertawa mendengus. Mulutnya ternganga lebar. Binar gatal ingin menyumpalnya dengan sesuatu.“Kamu tahu sabun yang kamu gunakan itu ...” Agra mendesah panjang, sangat panjang. Entah untuk ke berapa kalinya hari ini. Memejamkan mata lagi—kali ini lebih lama—seolah menanggung beban seluruh dunia di pundaknya, lelaki itu menarik napas panjang. “Lupakan,” katanya kemudian dengan nada luar biasa lelah.Binar mengangguk setuju. Hal kecil semacam ini memang sepatutnya dilupakan.“Itu hanya hadiah ulang tahun dari Bang Arya yang dibelikan langsung di Korea saat dia dalam perjalanan bisnis. Toh, pada akhirnya tetap akan habis.” tambahnya sebelum bergeser ke samping dan membawa pergi bak hitam tadi ke luar. Meninggalkan Binar yang mendadak ... kehilangan seluruh fungsi tubuhnya.Hadiah ulang tahun?Dibeli langsung dari Korea?...O-ow, apa kali ini Binar telah melakukan kesalahan lagi?Aaarghhh ...!Binar mendadak merasa bersalah. Fakta bahwa ia nyaris menghabiskan sabun cair yang mungkin kesukaan Agra membuat ia tak bisa tenang. Lebih dari segala yang terjadi hari ini ... sabun tersebut merupakan hadiah ulang tahun. Dengan apa Binar bisa mengganti?Ini bukan lagi masalah harga atau lokasi penjualan ... melainkan arti. Ugh, kenapa Binar tidak bisa berhenti melakukan kesalahan?Menggigit bibir, ia melangkah mondar-mandir di kamar. Masih dengan kimono dan handuk yang menutupi rambutnya. Ia bahkan lupa menanyakan ke mana Agra akan membawa pakaiannya dan hendak diapakan. Ia pun tak ingat dengan kondisinya yang telanjang bulat di balik kimono kebesaran itu.Bicara tentang telanjang, Binar menelan ludah saat merasa kakinya dialiri susuatu yang hangat. Menyingkap ujung kimono yang menyentuh mata kakinya, Binar menahan jerit kesal. Buru-buru ia berlari kembali ke kamar mandi sebelum noda darah kembali membuat masalah.Satu hal terpenting lain yang ia lupakan. Dirinya bahkan belum menggunakan pembalut!Bagaimana bisa menggunakan pembalut saat celana dalamnya bahkan dicuci?!Huaahh ... ia ingin menangis keras-keras sekarang. Hari ini benar-benar harus ditandai!Pintu kamar mandi diketuk nyaris lima belas menit kemudian. Binar hanya bisa bergumam, menahan diri untuk tak meneriaki Agra. Pulang ke sini memang sebuah kesalahan. Seharusnya Binar menolak ikut Agra dan tetap bertahan di depan rumah Hilman. Atau memaksa lelaki itu kembali ke apartemen. Persetan dengan jok penumpang yang harus dibersihkan, atau siapa yang akan mencuci mobil kotor Agra.Ini kali pertama setelah menikah ia datang ke rumah mertua, dan malah membuat petaka! Kendati betapa pun memalukan kesan pertamanya, orang tua Agra tidak akan berkata kasar. Karena sungguh, mendapati keturunan Latief sebagai menantu mereka merupakan suatu kehormatan. Tapi, tetap saja! Mereka mungkin ‘kan membicarakan Binar di belakang!Bunyi ketukan terdengar lagi. Kali ini lebih kasar. “Cepat keluar, Binar! Saya harus mandi!” Terselip nada dongkol dalam suara berat itu. Binar memukul-mukulkan kepalanya pelan ke tembok kamar mandi.Kali ini Binar tidak akan menyalahkan Agra atas kemarahannya. Lelaki itu pantas marah. Memaki pun tak apa. Sungguh!Pintu kamar mandi diketuk lagi. Binar, kamu tidak mengurung diri karena merasa bersalah, ‘kan?Salah satu alasannya. Alasan yang lebih besar ... Binar bahkan tidak bisa mengatakannya tanpa merasa malu—untuk entah yang ke berapa kalinya lantaran masalah yang sama.“Lo pakai kamar mandi luar aja! Malem ini gue tidur di bath up!” jawab Binar putus asa. Campuran malu dan rasa bersalah merupakan perpaduan yang sempurna. Pun ... bagaimana cara meminta celana dalam kering pada lelaki itu tanpa melibas harga dirinya?“Kamu sudah bosan hidup?”Sangat. Binar sangat bosan hidup sekarang. Meski juga belum siap mati. Ya ampun, kenapa bisa hidupnya sekacau ini?Semesta pasti tidak merestui pernikahannya dengan Agra. Pasti. Karena semua menjadi berantakan dan tak terkendali sejak mereka mulai tinggal bersama!“Binar, buka pintu!” suara Agra makin terdengar tak sabar. Binar masih berjongkok di sudut kamar mandi sambil membenturkan kepalanya pelan.“Anggap gue nggak ada, pliisss ....” Ia bergumam pada diri diri sendiri. Berdoa dalam hati dengan sungguh-sungguh agar ia bisa menghilang seperti serbuk layaknya di drama-drama fantasi yang sering ditontonnya. Tapi tentu saja, tidak terkabul.“Saya akan mandi di luar.” Nada suara Agra berubah pelan, terdengar lebih sabar. Atau berusaha menahan sabar. “Setelah kamu selesai dengan apa pun itu, segera keluar. Saya meletakkan baju ganti di kasur dan juga pakaian dalam. Ah, ya, pakaian dalamnya masih baru.”Eh?Binar menoleh secepat kepalanya bisa berputar ke arah pintu kamar mandi. Apa kata Agra tadi? Baju ganti dan pakaian dalam baru? Kepala Binar tertahan tepat satu senti dari tembok. Ia batal membenturkannya lagi.Berdiri, gadis itu melangkah mengendap-endap menuju pintu kamar mandi yang ia kunci dari dalam, lalu menempelkan kupingnya, berusaha mencari tahu apa saja yang terjadi di luar. Dan begitu suara pintu kamar terdengar membuka kemudian ditutup lagi, Binar melepaskan kunci. Ia mengintip keluar. Tidak ada Agra. Dan benar. Terdapat baju dan pakaian dalam di ujung ranjang.Binar bernapas lega. Ia tidak harus menginap di kamar mandi malam ini. Kalau begini ceritanya, ia tak jadi bosan hidup. Rasa bersalah pada Agra bisa diatasi nanti.Keluar dari tempat persembunyian, tubuhnya kembali kaku saat dari ujung mata ia mendapati Agra bersandar di depan lemari pakaian, titik buta dari arah pintu kamar mandi.Lelaki itu tidak ke mana-mana. Binar mengutuki diri sendiri saat menyadari, bunyi pintu dibuka dan ditutup tadi bukan berasal dari pintu kamar, melainkan ... lemari.“L-l-lo?”“Kamu hanya tinggal membuka lemari pakaian paling kanan untuk baju ganti. Dan laci tempat pakaian dalam. Kamu pikir para orang tua menikahkan kita tanpa persiapan apa pun?” tanyanya retoris seraya menjauhkan punggung dari lemari dan mulai melangkah ke arah kamar mandi, melewati Binar dan nyaris menyenggol bahu kecil gadis itu. Lantas membanting pintunya keras-keras.Andai bunuh diri masih mendapat kesempatan surga, barangkali Binar sudah melompat dari balkon saat ini.Ia benar-benar tidak bisa membangun atau bahkan mempertahankan harga diri di depan Agra. BAB 9Sepertinya Binar memang tidak akan bisa menghentikan ini. Makan malam keluarga. Ia sempat menolak saat Agra mengajak, kandati perutnya keroncongan saat itu. Karena sungguh, Binar belum siap berkunjung sebagai menantu. Terlebih datang tanpa salam, ujug-ujug sudah ada di rumah. Binar pasti akan dianggap tak tahu sopan santun.Ck, siapa yang akan kenal sopan santun bila berada di posisinya?Sayang, Agra tak kenal kata tidak. Alih-alih mengalah, putra bungsu Bambang itu justru mengancamnya. Mau turun dengan sukarela, atau saya gendong, Binar?Katakan, pilihan apa yang si malang Binar miliki? Jadi, mau tak mau, ia tetap harus turun dan memasang senyum lima jari hingga bibirnya terasa kaku.Dan ... di sinilah kini ia berada. Duduk di antara anggota keluarga Agra. Satu-satunya manusia yang merasa canggung dan tak nyaman. Atau mungkin tidak.“Andai Mama tahu kalian nginep malem ini, pasti Mama masakin menu spesial kesukaan Binar.”Ratri, ibu Agra, yang masih cantik di usianya yang sudah menyentuh kepala lima itu menatap Binar yang duduk di seberangnya dengan wajah ... bagaimana Binar bisa menggambarkan? Takjub? Terharu? Ck, dua kata tersebut sepertinya terlalu berlebihan. Tapi berlebihan memang selalu sesuai dengan keluarga ini.Sebagai tanggapan, Binar hanya tersenyum kecil. Ia meraih gelas tinggi di samping piring makannya yang penuh. Sangat penuh. Jangan tanya siapa yang mengisi piringnya. Agra, tentu saja. Dia bahkan sempat mendapat teguran kecil dari sang ayah yang memang agak kolot. “Kenapa kamu yang ambilkan? Bukankah istri yang harus lakukan itu?” Memang dengan nada halus—mereka tidak akan berani bersikap kasar pada cucu kesayangan Hilman—tapi tetap saja, seolah terselip nada sindiran di dalamnya yang sempat membuat Binar gondok.Arya, satu-satunya anggota favorit Binar di keluarga ini, seolah mengerti perasaan adik ipar barunya membela, “Binar masih baru dalam keluarga kita, Pa. Wajar dia canggung. Dan memang tanggung jawab Agra membantunya merasa nyaman.”Inilah tipe lelaki idaman Binar sepanjang masa. Sayang tipe idaman memang seringnya tak bisa didapatkan. Ia pun melirik Agra yang sudah memenuhi piringnya dengan empat centong nasi—empat centong! Dia pasti berusaha membuat Binar mati kekenyangan—ditambah sepotong ayam goreng, sayur, udang, dan beberapa jenis lauk lainnya yang membuat Binar kekenyangan dengan hanya melihatnya saja.Saat Agra hendak menambahkan daging, Binar buru-buru mencubit paha bawah lelaki itu yang terhalang meja agar tidak ada yang melihat. Agra praktis menoleh sambil mengernyit dan sedikit meringis, yang langsung mendapat pelototan dari sang istri yang seolah berkata, “Lo gila?!”Namun bukan Agra namanya bila bersedia mengerti Binar. Alih-alih berhenti menambahkan lauk, si menyebalkan malah mengambil dua potong daging lagi sebelum meletakkan piring yang sudah persis miniatur gunung itu ke hadapan istrinya. “Selamat menikmati, Cintaku,” katanya dengan nada lembut dan senyum ... yang sumpah mati membuat Binar merinding sekaligus ingin merobek mulut lebar itu. Sialnya, Binar berada di bawah tatapan keluarga buaya. Salah-salah, ia bisa kena terkam—dalam arti kiasan tentu saja. Mereka mana mau kehilangan tangkapan sebesar dirinya.“T-tapi,” Binar meremas ujung bajunya di bawah meja, “aku nggak makan sebanyak ini, Sa-yang!” Ia sengaja merapatkan gigi di kata terakhir dengan memberi penekanan penuh di setiap silabel sambil melirik Agra tajam, yang dibalas lelaki itu dengan senyum separo.Niat hati ingin meneriaki Agra sekencang mungkin di depan telinganya hingga gendang sang empunya robek. Tapi, bukan seperti itu konsep pernikahan mereka di depan keluarga.Agra bisa kena marah orang tuanya bila mengasari Binar—oh, Bukan berarti Binar peduli, hanya saja sedikit kekacauan bisa jadi tak terkendali dan merembet ke mana-mana. Binar yang hanya ingin hidup tenang dan nyaman, tentu lebih memilih menghindari masalah sebisa mungkin. Meski masalah terbesar pun kesalahan seumur hidup berada di sebelah. Makhluk menyebalkan yang kini membalik piringnya sendiri dan mengisi dengan hanya dua centong nasi serta lauk secukupnya.Sialan memang dia.“Kamu harus makan banyak,” ujar seseorang yang ingin sekali Binar mutilasi. “Malam ini kamu butuh banyak tenaga, ‘kan?”Reta, istri Arya yang duduk di samping Binar tersedak seketika, membuat Binar mau tak mau menoleh padanya yang kini mendapat tepukan sayang di punggung dari sang suami, Arya. Saat tatapan mereka bertemu, Reta tersenyum kikuk setengah malu padanya sebelum menunduk dan menyenggol pelan lengan Arya.Aneh, pikirnya tak paham. Karena bukan hanya Reta, seluruh anggota lain menjadi salah tingkah. Bahkan wajah Aira memerah.“Agra, jaga bicara kamu.” Bambang, ayah mertuanya yang kolot, kembali menegur putra keduanya. Membikin menantu baru keluarga itu bertambah bingung.Apa yang salah dengan menambah tenaga? Binar mengernyit kecil. Lebih dari itu, gadis tersebut bertanya dengan nada polos yang makin membuat suasana di ruang makan malam itu kian canggung, “Menambah tenaga untuk apa?”Bambang berdeham keras sebagai bentuk peringatan, tapi Binar yang gagal paham tetap melanjutkan. “Kamu nggak ada niat bikin aku nggak tidur lagi, ‘kan?” Sambil mendongak menatap Agra yang masih anteng memilih lauk tanpa merasa terganggu sedikit pun.Bukan Reta, kini yang tersedak ganti ibu mertuanya. Arya berdeham canggung. Bambang mendesah panjang. Aira bahkan buru-buru menelan suapan terakhir dan menghabiskan sisa air minum, lantas pamit kembali ke kamar dengan sikap yang aneh. Gadis itu memang tak banyak makan, katanya sedang diet.Respons yang aneh hanya untuk sebuah pertanyaan sederhana. Binar makin kebingungan.Tidak. Tidak. Keluarga ini memang aneh.Agra lebih aneh lagi. Alih-alih merasa tak nyaman seperti Binar, ia malah kembali duduk dan menyamankan posisi sambil menahan seringai pun ekspresi puas yang tak ditutup-tutupi. “Ya,” katanya dengan senyum lebih lebar, “aku mau bikin kamu nggak tidur lagi.”Suasana meja makan seketika berubah hening, sejenak, hanya dua detik yang entah kenapa begitu panjang sebelum bunyi denting benturan sendok dan piring kembali terdengar. Pelan. Sangat pelan. Seolah mereka hati-hati menyendok setiap butir nasi sebelum menyuapkan ke mulut masing-masing dengan gerakan hampir bersamaan bagai adegan serempak yang sudah diperhitungkan dalam drama kawakan.“Kita lihat saja nanti. Aku nggak mau ngalah lagi dari kamu.”Masih serempak, sendok Bambang, Ratri, Arya, dan Reta tertahan di udara, beberapa senti di depan mulut-mulut yang menganga. Setengah menunduk, mereka melirik Binar yang mulai makan dengan lahap, pun Agra yang masih mengunyah dengan tenang.Binar sadar dirinya diperhatikan dengan cara yang tidak biasa, tapi pikirnya, mungkin karena ia anggota baru keluarga ini. Lagi pula, ia tidak melakukan kesalahan apa pun. Agra yang salah. Seharusnya mereka memarahi Agra karena sudah membuat Binar tidak bisa nyenyak. Semalam, ia memang nyaris tidak tidur lantaran posisi berbaringnya yang terlalu dekat dengan lelaki yang kini mengunyah setiap suapan penuh kenikmatan.Namun, tidak lagi malam ini! Binar akan memastikan dirinya lelap sampai pagi. Peduli setan dengan Agra yang akan bergelung di sampingnya. Kalau lelaki itu macam-macam, Binar bisa berteriak kencang-kencang atau menendang kemaluannya sekalian.“Papa harap kamu bisa hati-hati, Agra,” ujar Bambang tanpa tedeng aling-aling sebelum menyuapkan sendok berisi penuh yang tadi sempat tertahan. Binar yang tak paham, mengangguk kuat-kuat. Ia juga berpikir Agra harus hati-hati padanya, karena Binar bisa bersikap kasar bila lelaki itu macam-macam.“Papa tidak ingin punya cucu dari kamu sebelum waktunya,” lanjut lelaki paruh baya itu usai berhasil menelan kunyahan.Nasi yang belum halus terkunyah oleh si menantu baru tertelan paksa begitu mendengar kalimat barusan. Sialnya, sebagian nyasar ke saluran napas hingga membuatnya tersedak hebat. Ia bahkan sampai terbatuk-batuk keras hingga terbungkuk-bungkuk. Rasa panas dan pedih mengalir di sepanjang tenggorokan hingga ke ujung dada. Spontan, Binar langsung menepuk-nepuk bagian di bawah tulang selangkanya, berharap penderitaan itu segera berakhir.Tunggu. Tunggu. Tunggu!C-cucu?Cucu?!Mata Binar melotot ngeri pada Agra yang mengelus punggungnya dengan gerakan serampangan begitu batuknya reda. Ia berusaha mencerna obrolan tadi dengan kapasitas otak kecilnya yang kini bahkan mungkin sudah mengkerut menjadi seukuran kacang polong.Hati-hati? Cucu?Kenapa mereka bisa sampai pada kesimpulan ngawur semacam itu? Padahal ... roda bergerigi dalam kepala Binar berderit pelan saat putaran mesin khayalan di dalam sana melambat. Tadi Agra bilang, Binar harus makan banyak untuk menambah tenaga. Agra berniat membuatnya tak bisa tidur lagi—yang Binar tahu maksudnya adalah seperti tadi malam.Oh.Satu pemahaman mulai terbit.Ooh.Kepala Binar mendadak kembali pening. Ia meraih gelas minumnya di meja yang isinya tinggal separuh lalu menandaskan dalam beberapa kali teguk.Melirik Agra dengan tatapan menegur, Binar kembali dapati seringai menyebalkan itu, yang membuatnya seketika tersadar. Agra sengaja ingin membuat ia tak punya muka di depan keluarganya. Sialan!Ingin sekali Binar mengeluarkan anjing dari mulutnya untuk mencakar dada Agra dan memakan jantung lelaki itu!Binar malu sekaliiii ...!“Kalian juga tidak bisa membicarakan urusan pribadi di depan orang lain. Tidak sopan!” lanjut ayah mertuanya yang membuat Binar sangat ingin menghilang.Ck. Andai ia tercipta sebagai pohon, pasti akan lebih baik dari pada menjadi seorang Binar. Menantu yang di hari pertama di rumah mertuanya sudah dianggap binal.Lantas, bagaimana bisa Binar melanjutkan acara makan malam dengan tenang? Pamit pergi pun tidak terasa benar.Argh!***“Lo nggak tidur berapa hari? Item bener tuh bawah mata sampai gue kira lo kena tonjok tadi.”Binar berkedip pelan tanpa semangat hidup. Jangan tanya, semalam ia memang kembali tak bisa tidur. Wajar kalau kini mata panda yang mati-matian ia hindari muncul lagi. Bahkan eye cream dan concealer tak bisa menutupinya dengan sempurna.Sadar akan kedatangan Prisila yang kini duduk di sebelahnya, Binar mendesah. Ia menyandarkan tubuh pada bangku panjang di bawah pohon beringin samping parkiran yang seringkali dijadikan tempat tongkrongan, tapi karena masih cukup pagi, tempat itu agak sepi. Binar memang butuh sendiri sejenak untuk menyingkirkan niat kotor dari benaknya yang sejak semalam entah kenapa hanya memikirkan cara mengebiri Agra. Dia bahkan tidak ikut sarapan dan pergi diam-diam dari rumah Bambang menggunakan taksi daring yang dipesannya usai subuh.“Lo maraton berapa episode emang sampe bisa begini?”Tak ada. Binar menggeleng pelan, masih dengan bibir terkatup rapat bagai dilemi perekat paling ampuh. Sejak menikah nyaris sepuluh hari lalu, Binar tak bisa menikmati drama, film, komik, atau novel apa pun, padahal ia sudah memperpanjang langganan di beberapa aplikasi menonton dan membaca yang biasanya menjadi hobi nomor wahid sebagai penghilang galau.“Lah, terus itu mata kenapa? Lo kan kalau nggak maraton, ya ngebo.”Untuk pertama kalinya pagi itu, Binar menoleh. Tatapan matanya sayu, tanpa binar, bagai pasien rumah sakit yang sudah divonis mati minggu depan. Tampak begitu putus asa, membuat Prisila setengah ngeri menatapnya. ”Dua hari ini gue nggak bisa tidur,” adunya sambil mencebik.Prisila yang semula juga bersandar pada punggung kursi panjang yang dicat kuning itu, menarik diri. Ia menyerongkan posisi tubuhnya menghadap Binar yang masih menatap lurus ke depan dengan tatapan kosong. Salah satu daun beringin kering yang jatuh melayang-layang di udara sebelum menyentuh bumi, hanya membuat keadaan Binar menjadi lebih menyedihkan.“Kenapa? Lo lagi ada masalah? Bokap sama nyokap lo berantem? Atau kakek lo bikin ulah?”Bibir Binar makin mencebik. “Ada penunggu di kamar gue.”Prisila tidak tahu ini hanya khayalannya atau bukan. Yang pasti, ia seperti mendengar burung gagak mengaok di kejauhan. Berkedip dua kali, ia mendengus seraya melipat tangan di depan dada. Prisila pikir, Binar pasti mulai sinting.“Gue denger, setiap tempat emang ada penunggunya. Lagian, lo bukan anak indigo yang bisa liat hantu. Mau ada sepuluh pocong juga di kamar lo juga lo nggak bakal sadar saking asiknya sama hape.”Dengan gerak pelan nyaris menyeramkan, pun kelopak mata setengah terbuka, Binar menghadapkan tubuh pada sang lawan bicara. “Dia ganggu gue, Pris,” dengan nada setengah berbisik. Ekspresi ngeri tergambar dari ekspresi wajahnya yang agak pucat.“Lo ...,” Prisila mulai sangsi. Ia tersenyum lebar tanpa humor dan melanjutkan kata dari sela-sela bibirnya, “lo bercanda ‘kan?”“Apa wajah ini keliatan lagi bercanda?” Binar menunjuk wajahnya sendiri dengan jari telunjuk yang diacungkan tepat di depan hidung.Prisila meraba tengkuk yang mulai meremang. Demi apa pun, ini masih pagi. Terlalu pagi. Embun bahkan masih betah bertengger di dedaunan. Hanya ada satu dua kendaraan di parkiran, yang Prisila duga sebagai pemilik petugas penjaga atau kebersihan. Prisila bukan manusia kurang kerjaan yang mau berangkat—awal tanpa alasan, terlebih mereka tidak punya jadwal kelas pagi hari ini. Prisila datang karena mendapat chat dari sahabatnya subuh tadi yang mengatakan sedang ingin sendiri tapi juga minta ditemani.Lebih dari itu, kini mereka berada di bawah pohon beringin besar. Dengar-dengar, pohon beringin tempat tinggal genderuwo dan sebangsanya. Di tempat seperti itu, membicarakan hantu meski matahari hampir terbit, tetap saja menyeramkan. Tanpa sadar, Prisila menggeser tubuhnya mendekat pada Binar hanya untuk menjauh lagi kemudian saat menyadari sesuatu.Gadis ini benar Binar, ‘kan?“Lo ... lo—”Binar mengangguk-angguk dengan gerakan patah-patah. “Setan nggak cuma muncul malam hari aja kok, Pris. Siang juga. Meski kalau malem bisa lebih gila. Tapi tenang aja, gue masih manusia,” ujarnya seolah tahu isi benak sahabatnya yang menatap Binar justru kian ngeri. Buru-buru Prisila merogoh ponsel dari saku kemeja kebesaran yang dikenakannya dan mengirim pesan pada Noni. Beruntung subuh tadi ia meneruskan chat Binar padanya.Belum juga pesan terkirim, suara lembut gadis itu muncul dari balik punggung mereka, sukses membuat Prisila kaget sampai menjatuhkan ponsel yang dipegangnya.“Halo, gengs! Tumben kalian rajin?”“Sialan lo!” umpat Prisila yang malang sebelum membungkuk memungut ponselnya yang kini tegeletak di bawah bangku.Tanpa merasa bersalah, Noni tersenyum. Ia melompat dan mengambil tempat duduk di tengah-tengah. Mengisi jarak kosong antara Prisila dan Binar. “Halo, Bin!” sapanya ceria, seolah tak terjadi apa pun kemarin pada mereka.Noni memang seperti itu. Dia mudah tersinggung. Mudah marah. Seringkali ngambek tanpa alasan, lalu kembali bersikap baik-baik saja seperti biasa. Menyebalkan memang memiliki teman semacam Noni, tapi dia juga baik dan perhatian di lain sisi. Pun sangat tulus. Ah, satu lagi. Pintar!Binar, alih-alih menjawab, ia justru bangkit berdiri dan melangkah pergi. Meninggalkan Noni yang mengelus ujung ponselnya yang sedikit baret, juga Noni yang seketika merasa bersalah.Kayaknya Binar masih marah sama gue, desahnya.Prisila mengangkat kepala sembari memasukkan ponselnya kembali ke saku lantas bangkit berdiri. Dia pundung bukan gara-gara lo, kok.Karena lo?Yang ditanya menggeleng sambil memasang senyum setengah prihatin. Dia lagi stress karena diganggu setan. BAB 10“Kenapa istri kamu tidak ikut turun buat sarapan?” Adalah pertanyaan yang menyambut Agra begitu ia duduk di salah satu kursi meja makan dan hendak meraih sepotong roti isi yang sudah Ratri, ibunya, siapkan.Yang ditanya hanya melirik pemilik sumber suara yang duduk di kepala meja seraya menyamankan posisi duduk dan mulai menggigit sarapan bagiannya, lantas mengunyah perlahan. Yakin pertanyaan sang ayah tidak terlalu butuh jawaban.“Jangan bilang kamu benar-benar membuatnya tidak tidur atau bahkan tidak bisa berjalan.”Roti dalam mulut Agra yang belum halus terkunyah, tertelan paksa hingga ia nyaris tersedak. Melirik Bambang yang masih anteng di ujung kepala meja seolah pertanyaan barusan seremeh topik cuaca, Agra mendesah jengah. Semalam ia hanya menggoda Binar di depan keluarganya agar gadis itu merasa sedikit tidak nyaman. Dan ia sangat menikmati melihat wajah merah sang penerus tahta keluarga Latief yang kemudian menatapnya tajam seolah ingin membunuh.Namun begitu pertanyaan tersebut dilempar kembali padanya, ternyata ... benar-benar membuat tidak nyaman. Terlebih saat kini semua tatapan mata anggota keluarga yang lain meliriknya curiga. Seolah Agra lelaki dengan berahi tak terbatas yang sulit dipuaskan. Aira dan Reta bahkan nyaris melotot ngeri.“Abang nggak tahu kalau kamu seliar itu.” Arya menambahkan sembari meraih gelas tinggi di hadapannya dan meminum dengan khidmat. Selesai dengan dua tegukan, ia meletakkan kembali gelasnya dan melirik sang adik kembali dengan kerling menyebalkan, “Apa Binar bisa mengimbangi kamu?”Aira berdeham keras-keras, sengaja untuk menegur dua kakaknya yang seolah lupa ada anak di bawah umur di antara mereka. “Ada yang belum lulus SMA di sini, tolong! Jangan buat Aira kepingin nikah muda juga! Harus jadi dokter dulu pokoknya!”Tersangka utama yang dicurigai hanya memutar bola mata menanggapi ocehan kakak dan adiknya. “Binar berangkat duluan.” Mau tak mau Agra menjawab pertanyaan Bambang sebelum menggigit roti sarapannya lagi, kendati keinginan untuk kembali ke kamar membuat kakinya gatal.“Tanpa sarapan?” Kali ini pertanyaan tersebut berasal dari Ratri yang tengah mengoleskan selai kacang untuk sarapan beliau sendiri usai melayani suami dan anak-anak. “Dan tanpa pamit sama Papa Mama?” tambahnya dengan nada lebih sengit.Jangankan Ratri, pada Agra pun tidak!Lagi-lagi, Agra tidak menanggapi, hanya lanjut menggigit roti dan mengunyah menu sarapan pagi itu yang entah kenapa kini terasa seperti serbuk gergaji, alih-alih gandum dan selai cokelat.Sejak selesai salat Subuh, Agra memang sudah tidak menemukan Binar di kamar. Aroma tubuhnya pun menghilang.Benar, semalam gadis itu berhasil Agra buat tidak tidur. Tapi jelas bukan salah Agra sepenuhnya. Gadis itu yang marah-marah sampai hampir tengah malam. Mengoceh dari A sampai Z hanya karena Agra membuatnya tampak seperti gadis binal di depan keluarga. Yang sama sekali tak pemuda itu tanggapi. Agra malah tetap fokus dengan buku di tangannya. Membaca materi untuk kuliah esok hari di sofa hitam yang berada dekat jendela. Sedang Binar mondar-mandir bagai setrikaan di tengah ruang kamar mereka—ah, kamarnya.Kalau saja boleh jujur, Agra sama sekali tidak bisa fokus. Sejak dulu ia menyukai keheningan, karenanya ia memasang kedap suara di kamar. Agra juga lebih senang sendirian. Membaca buku atau portal berita. Bermain puzzle saat bosan dan bersih-bersih kala gelisah.Benar, untuk jenis laki-laki, ia memang agak aneh. Agra bukan tipe yang suka kumpul-kumpul meski hanya sekadar nongkrong. Kendati demikian, bukan berarti ia tidak pandai bergaul. Hanya saja ... enggan. Atau begitulah istilahnya. Karena itu, ia tak memiliki banyak teman. Bagas dan Nara merupakan kawan sekelasnya waktu SMA. Hanya Emili yang bisa ikut akrab dengannya di kampus. Selebihnya, Agra hanya kenal sebatas nama. Atau bahkan tidak tahu sama sekali.Orang-orang menyebutnya sombong. Tapi bagi Agra, ia hanya sedikit introvert.Bagi manusia sejenis dirinya, tidak mudah menerima orang baru dalam tatanan hidup yang menurutnya sudah sempurna. Karenanya ia tidak suka saat dipaksa pindah ke apartemen. Pun tinggal bersama seseorang yang mereka sebut sebagai ... istrinya.Istri. Kata tak asing yang entah kenapa terasa sangat asing.Berbagi ruang. Berbagi ranjang. Berbagi barang-barang yang dulu bisa ia nikmati sendiri rasanya ... menyebalkan.Terlebih, kenapa gadis itu harus Binar?Dia ... jorok. Bodoh. Malas. Berpikiran sempit. Suka heboh sendiri. Sok tahu. Keras kepala. Dan segala macam sifat lain yang tidak Agra sukai berada dalam satu manusia.Benar, Binar cantik. Nyaris semua orang yang pernah bertemu dengannya akan menoleh dua sampai tiga kali meski hanya untuk melihat kedipan matanya yang berbentuk setengah bulan, lalu berubah seperti sabit saat tersenyum.Namun, bagi Agra masih belum sepadan. Ia lebih suka gadis biasa yang pintar dan berpikir dewasa, seperti Nara. Setidaknya cukup seperti Emili saja. Nara nyaris sempurna. Meski tidak secantik Binar, kawannya yang satu itu punya pesona sendiri yang terkadang membuatnya tampak menyilaukan dan sulit dijangkau.Bukan berarti Agra ingin menjangkau Nara. Tidak. Ia sadar diri. Dirinya bahkan sudah bertunangan jauh sebelum bertemu Nara atau gadis lainnya.“Lo bajingan tahu nggak sih?!” Merupakan salah satu kalimat ‘sopan’ yang Binar ocehkan sambil berkacak pinggang malam tadi. Tubuh mungil itu tenggelam dalam piyama kebesaran yang sudah dipersiapkan Ratri—seukuran milik Aira karena ibunya mengira tinggi mereka hampir sama (padahal selisih keduanya tak kurang dari tujuh senti). “Andai gue tahu bakal kayak gini jadinya, gue mending panjat pagar rumah Kakek! Atau ngegembel sekalian! Peduli setan biar pun rok gue kotor! Gue juga punya tabungan asal lo tahu! Gue bisa cari kontrakan murah. Gue bisa kerja buat bisa bayar tagihan bulan selanjutnya! Gue mending tinggal di tempat kumuh daripada harus dipermalukan kayak tadi! Mau ditaruh di mana muka gue abis ini di depan keluarga lo?”Dan bla bla bla ... dan bla bla bla ... dan bla bla bla.Terus begitu mulai jam delapan sampai nyaris pukul sebelas malam. Agra bahkan sudah beberapa kali mengubah posisi duduknya, tapi gadis itu tetap mondar-mandir tanpa lelah, hanya sesekali berhenti sekadar untuk menarik napas panjang atau melirik tajam.Andai Binar hanya robot, tentu Agra sudah sejak tadi mencari posisi baterai dan mencopotnya agar gadis itu diam. Demi langit yang sore tadi mendung, buku yang Agra baca bahkan sudah sampai halaman terakhir, tapi omelan Binar masih berlangsung.Sialnya, Agra yang gagal fokus sampai tidak bisa mengingat apa saja yang barusan dibaca. Kalimat-kalimat tersebut bagai beterbangan di udara tanpa bisa otaknya cerna, bercampur dengan umpatan-umpatan Binar.Seperti:Analisis ini dilakukan—bajingan!Sebelum membangun tempat usaha, seseorang harus—mati aja sih lo!Hal tersebut penting untuk mencegah munculnya—cowok busuk.Dan lain-lain. Dan lain-lain.Pernah suatu waktu, di sela omelan Binar, Agra yang tidak tahan menendang meja kayu di depannya hingga berderit pelan. Ia mendongak dan melotot pada gadis itu. “Apa kamu tidak bisa diam?” geramnya, tak lagi tahan. Lengkap dengan ekspresi marah bercampur muak yang biasanya akan membuat Aira, bahkan orang lain takut.Alih-alih takut, Binar malah mengepalkan tangannya erat-erat di kedua sisi pinggangnya hingga urat kehijauan di balik kulit kuning langsat itu tampak jelas, nyaris keluar memecah pori, seraya mencondongkan tubuh ke depan dengan mata yang melotot lebih lebar. Entah ke mana perginya gadis yang dulu lebih suka menghindar dan mengalah itu.Binar yang sekarang jelas berbeda. Mungkin efek marah? Muak? Kesal? Entahlah.“Nggak! Gue nggak bisa! Andai lo tahu, hati sama otak gue panas sekarang, jauh lebih panas dari larva gunung berapi. Kepala gue rasanya mau meledak. Gue pengin bunuh lo seandainya bisa. Mutilasi sekalian. Lo dasar berengsek nggak tahu diri!” Menggunakan nada yang jauh lebih galak dari suaminya tadi.Ugh, Agra jadi menyesal menegur. Ia hanya mengeluarkan lima kata, Binar membalas dengan berkalimat-kalimat panjang yang nyaris membuat pemuda malang itu tergoda menembak kepalanya sendiri.Menutup buku yang selesai dibacanya dengan kasar, Agra bangkit dari sofa dan melangkah ke arah ranjang, lantas menutup tubuh dengan selimut dari ujung kaki hingga kepala. Membiarkan Binar yang masih belum puas mengomel.Ia bangun lebih dulu untuk salat Subuh keesokan paginya, membiarkan Binar yang entah tidur atau hanya pura-pura tidur di sisi sebelah tanpa membangunkannya karena tahu gadis tersebut sedang halangan. Usai salat, yang didapatinya hanya ruang kosong yang ... berantakan.Sangat berantakan.Seprai kusut. Selimut serta guling tergeletak di lantai. Meja berantakan. Satu sisi pintu lemari terbuka lebar, beberapa lipatan baju bahkan nyaris tergusur. Sama sekali tidak tampak seperti kamar Agra. Entah puting beliung mana yang sudah menghancurkannya.Ah ya, puting beliung itu bernama Binar sekarang. Puting beliung dalam hidupnya.Menghabiskan sisa sarapan tanpa peduli komentar-komentar keluarga, Agra lantas bangkit berdiri dan kembali ke kamar untuk membereskan seluruh kekacauan yang Binar tinggalkan. Ia tidak harus buru-buru. Hari ini tak ada kuliah pagi. Kelasnya masih jam sebelas nanti. Agra juga tak perlu mengkhawatirkan Binar. Kalau tidak di kampus, gadis itu mungkin kembali ke apartemen mereka sekarang.Agra mulai melipat selimut tepat saat ponselnya bergetar. Panggilan dari Bagas yang langsung ia angkat pada dering pertama. “Hm,” sapanya, menjepit benda pipih tersebut di antara telinga dan bahu, sedang dua tangannya kembali sibuk dengan selimut, lalu berpindah merapikan seprai bantal yang kusut.“Lo nggak baca chat di grup, pasti.” Bagas setengah mendesah di seberang sana. “Kuliah Pak Akmal dimajuin karena nanti siang beliau harus ngisi seminar.”“Dimajukan? Bukannya Pak Akmal juga punya kelas pagi?” Agra menghentikan gerak tangannya yang semula menepuk-nepuk bantal. Ia menegakkan tubuhnya dan memegang ponsel dengan benar. Ugh, pemuda itu bukan tipe orang yang menyukai perubahan jadwal.Terlebih ini. Bila kuliah siang dimajukan ke pagi, jarak untuk kelas selanjutnya akan sangat jauh. Pun ia belum membaca materi untuk mata kuliah yang satu ini. Sudah sebenarnya, semalam. Yang menjadi kacau balau lantaran mulut Binar tak bisa berhenti berkicau.“Dimajukan jam setengah tujuh, Gra.”Jam setengah tujuh, Agra mengeluh dalam hati, jauh sebelum waktu perkuliahan dimulai. Salah satu alasan Agra benci perubahan jadwal kuliah, karena seringnya dosen mengganti ke jam-jam menyebalkan seperti sekarang.Menahan desah panjang, Agra melirik jam dinding yang tergantung manis satu setengah meter di atas sandaran sofa kamarnya hanya untuk mendapati ia memiliki sisa waktu tak kurang dari 25 menit untuk bersiap sebelum kelas dimulai.Err ... apa salahnya melewatkan dua SKS? Pikirnya geram.“Oke. Thanks infonya,” ujar pemuda yang bahkan belum membersihkan diri itu sebelum menutup panggilan dan melemparkan ponsel ke atas ranjang, lantas bergegas ke kamar mandi.Bukan salahnya kalau ia datang terlambat.Dan memang terlambat, nyaris melebihi batas toleransi sang dosen. Lima belas menit. Terima kasih pada Arya yang mau meminjamkan motor kesayangannya, Agra jadi bisa terbebas menerobos jalanan yang lumayan padat pagi ini.Dia sampai di kelas dengan napas terengah dan sempat menyela penjelasan Pak Akmal. Dosen yang cukup disiplin itu melirik jam tangannya sekilas sebelum memberi anggukan pada Agra untuk segera duduk.Tempat duduk barisan depan sudah penuh, terpaksa ia mencari tempat di belakang, yang ternyata merupakan bentuk kesialan lainnya.Jangan ditanya, satu-satunya kursi yang tersisa di baris kedua terakhir hanya di bagian pojok. Di samping seseorang yang seandainya bisa ingin sekali Agra hindari.Binar Thahira Latief, yang duduk dengan posisi aneh setengah membengkok seperti penderita tulang punggung. Buku paket manajemen strateginya dibuka dan dibuat berdiri, sedang sang empunya ... setengah tertidur di baliknya. Tempat ini tentu sangat menguntungkan karena lumayan tersembunyi dari pandangan dosen.Memejam sejenak untuk mengumpulkan seluruh sisa kesabaran yang dimiliki, Agra yang tak memiliki pilihan lain pun meletakkan tasnya di meja dan duduk dengan—berusaha—tenang, mencoba mengabaikan Binar di sampingnya yang setengah tak sadar. Noni yang malang berusaha beberapa kali membangunkan, tapi Binar hanya bergumam pelan.Agra mengernyit, berusaha tetap fokus pada Pak Akmal yang ternyata tengah ... membagi kelompok tugas membuat makalah.“Oke, untuk kelompok dua dari nomor absensi lima sampai delapan, ya. Bab yang harus kalian bahas bisa dicek di silabus yang sudah dibagikan minggu lalu. Kemudian untuk—”Agra tak bisa lagi mendengarkan. Perunutan kelompok dari nomor absensi merupakan petaka, sebab absensi diurut berdasarkan abjad.Buru-buru pemuda itu mengecek daftar mahasiswa sekelas yang dimilikinya hanya untuk merasa semesta benar-benar gila.5. Agra Mahandika6. Arini Naraya Putri7. Bagas SamuelDan ... Agra menyugar rambutnya dengan memberi tekanan penuh di setiap ujung jari hanya untuk menenangkan syaraf-syaraf di balik tengkorak yang mengencang. Emosi ini hanya akan membuat pembuluh darahnya pecah.8. Binar Thahira LatiefEnggan setengah dongkol, Agra melirik ke samping yang berujung penyesalan. Sang pemilik nama yang berada di urutan delapan mengubah posisi kepala menghadap Agra, membuat pemuda pecinta keindahan itu menahan napas ngeri saat melihat cairan kental nyaris jatuh dari ujung bibir Binar.Apakah itu ... iler?Binar tertidur di kelas bahkan mengiler?Parahnya, dia anggota kelompok Agra?Lebih parah lagi, apa dia selalu seperti ini saat tidur di ranjang yang sama dengannya?Dan, ooh ... apakah semalam juga? Di bantal kasur kamar Agra? Bantal yang ia rapikan dan tepuk-tepuk dengan tangan telanjang untuk dirapikan?Pun puluhan tanya lain yang membuat pembuluh darahnya terancam pecah. Diperparah dengan ... detik kemudian gadis itu menelan kembali air liurnya yang nyaris jatuh dari ujung bibir. Sial, Agra seperti mendengar suara ‘slllerb’ saat Binar melakukan itu yang membuatnya mendadak mual.Mengangkat pandangan untuk menjauhkan matanya dari mimpi buruk itu, tatapan Agra tak sengaja bertemu dengan Noni dan Prisila yang tersenyum lebar tanpa humor dan kerutan di antara alis mereka, seolah memohon pemakluman atas kelakuan teman mereka yang ... lebih dari sekadar ajaib.Agra melengos jengah. Ia menatap tangannya yang malang dan merasa ia harus segera permisi ke toilet untuk mencucinya sampai bersih dengan sabun.Tangan malang yang mungkin tanpa sengaja telah menyentuh bekas liur Binar.Dan, oh ... setelah ini Agra tidak akan bisa tidur tenang tanpa membayangkan teman seranjangnya berpotensi membanjiri bantal sewaktu-waktu!Sssttt ... jangan aduin ke dosen, ya. Barangkali merasa ekspresi muak Agra bagai ancaman bagi ketenteraman hidup sahabatnya, Noni berbisik. Agra hanya meliriknya tanpa minat. Kasian dia, katanya udah dua malem nggak bisa tidur karena keganggu.Agra tidak tertarik pada kisah hidup Binar. Sama sekali. Tapi kenyataan gadis itu tidak bisa tidur dua malam—yang berarti sejak mereka tinggal bersama—cukup mengusik egonya. Terganggu?Noni mengangguk kecil. Gue sebenernya nggak percaya sih, tapi Binar bilang, dia nggak bisa tidur karena digangguin setan. BAB 11Setan?Gadis itu mengatakan pada teman-temannya bahwa ia tidak bisa tidur karena diganggu setan? Dan setan tersebut adalah ... Agra menggeram seraya menarik salah satu buku dari rak susun di depannya dengan kasar tanpa melihat judul. Ia buka sembarang halaman hanya untuk mendapat tatapan aneh dari Nara dan Bagas yang merupakan anggota kelompoknya untuk tugas membuat makalah dari Pak Akmal.Jangan tanya satu anggota terakhir, karena sungguh, Agra dengan senang hati akan menyetujui bila Binar memutuskan mengundurkan diri dari kelompok mereka. Dan semoga hal itu benar-benar terjadi.“Kita lagi nyari referensi buat tugas manajemen strategi, ‘kan?” Nara mengangkat salah satu alisnya sembari melirik Bagas yang juga menatap Agra sangsi, yang Bagas tanggapi dengan anggukan sekali. Sedang Agra tetap membolak-balik halaman seolah mencari-cari. Tatapannya terlihat fokus pada setiap deret huruf dalam lembar-lembar halaman berukuran A6 itu hingga keningnya berkerut, tak terlalu memperhatikan komentar Nara lantaran ada hal lain yang membuat otaknya semrawut. “Tapi kenapa lo malah buka buku Mikro Ekonomi, Gra?”Mendengar namanya disebut, spontan Agra menghentikan gerak tangannya yang masih membalik-balik halaman sembarangan. Ia mendongak dari lembar-lembar tersebut hanya untuk mendapati Bagas dan Nara yang menatapnya setengah bingung. Menutup buku yang sedang dipegangnya, Agra menahan diri untuk tidak mengumpat kasar. Mikro Ekonomi, ia membaca judul sampul buku itu dalam hati dengan desah tertahan. Kenapa dirinya malah mengambil ini?Ugh, semua gara-gara Binar!Agra jarang, nyaris tidak pernah kehilangan fokus terlebih di depan teman-temannya. Tapi, bunyi ‘slllerb’ Binar yang tadi ia dengar di kelas tadi benar-benar seperti virus yang merusak semua sistem kerja otak Agra dan menempel seperti lintah di memorinya hingga tak bisa ia lupakan dan terus berputar bagai kaset rusak.Satu lagi. Setan katanya?Huh! Harus berapa kali Agra mengumpat dalam hati untuk mengurangi perasaan dongkol yang kini bercokol di dadanya?“O-oh,” berkedip pelan, Agra berusaha mencari alasan, “gue kayaknya belum pernah baca teori mikro ekonomi dari penulis yang ini. Sepertinya menarik. Mau gue pinjem kalo bagus.”Apakah jawabannya salah? Kenapa kerutan di kening Nara makin dalam. Dan Bagas malah mengangkat salah satu alisnya tak yakin.“Bukannya limit peminjaman kartu perpus lo sisa satu? Duanya udah dipake minjem kemarin dan belum lo balikin. Limit gue udah abis dipake kemarin juga. Cuma punya Bagas yang masih penuh. Lo yakin punya lo mau dipake buat pinjem itu? Empat referensi aja masih kurang, Gra. Apalagi tiga.”Agra terdiam bagai orang tolol. Benar, batas peminjaman buku kartu anggota perpustakaannya hampir penuh. Ia hanya bisa meminjam satu buku lagi. Dan bagai orang bodoh, Agra mengatakan akan meminjam buku ini saat yang mereka butuhkan adalah buku lain. “Ah,” Ia berkata dengan nada kering, “gue lupa,” lanjutnya sambil tersenyum paksa seraya mengembalikan buku tadi ke tempat semula.“Ck, ini semua gara-gara kita harus sekelompok sama Binar.” Bagas kembali membalik badannya menghadap rak dan meraih salah satu buku manajemen strategi demi memeriksa daftar isi, mencari pembahasan yang mereka butuhkan sebagai bahan makalah. “Kenapa kita harus satu kelompok sama dia, sih? Dan di mana dia sekarang?” sungutnya.Benar. Agra berusaha fokus. Jangan sampai ia terlihat bodoh lagi. Lupakan Binar dan ah, pokoknya lupakan apa yang ia lihat dan dengar di kelas sebelumnya!“Lo bukannya duduk di belakang sama Binar tadi, Gra?” Nara membungkuk, mencari di susunan bawah dan menarik salah satu yang menarik perhatiannya. Barangkali gadis itu menemukan pembahasan yang mereka butuhkan, Nara mengubah posisinya menjadi duduk bersila sambil bersandar ke rak sebelah dan mulai membolak-balik halaman. “Lo nggak ajak dia sekalian?” tanyanya tanpa mengalihkan perhatian dari kumpulan lembar-lembar kertas di pangkuannya.“Dia tidur,” jawab Agra dengan nada yang ia usahakan setakacuh mungkin. Dalam hati mengeluh, kenapa harus membahas Binar saat ia ingin melupakan segala hal yang berhubungan dengan si menyebalkan itu?!Bagas mendengus di sampingnya. “Nggak heran sama dia. Terus apa gunanya si Binar di kelompok kita, coba? Ya kali cuma mau nitip nama? Atau kita nggak usah masukin nama dia aja?”“Gue udah dapet satu.” Nara menutup buku yang tadi sembari kembali berdiri. Ia menunjukkan buku tersebut pada kedua temannya yang menoleh serempak. “Di sini ada tema pembahasan makalah kita.”“Good!” Bagas mengacungkan dua jempol. “Berarti kita butuh berapa lagi?”“Minimal harus lima referensi. Berarti kita butuh empat lagi. Dan dengan batas limit peminjaman yang kita punya, jelas Binar dibutuhkan di sini. Mau nggak mau!” Nara menekan setiap silabel pada kalimat terakhirnya seraya melotot pada Bagas yang tampak ingin protes.Alih-alih Bagas, yang mengeluarkan keluhan justru Agra. “Kita bisa pinjam kartu perpustakaan Emili, ‘kan?”“Lo lupa Emili punya kelompok lain yang harus diurus?”Tentu saja. Kenapa ia harus bertanya?! Agra mengutuk dirinya sendiri yang hari ini berubah menjadi manusia paling tidak bisa berpikir. Menahan desah jengah, ia kembali memusatkan pandangan pada jejeran buku di depannya. Bagas sudah berpindah ke sisi sebelah.“Lo ada nomor ponsel Binar nggak, Gas?” tanya Nara sambil melongok ke sisi rak tempat Bagas berada, pemuda itu tampak hendak menarik salah satu buku.“Gue punya.”Bagas batal menarik buku incarannya. Nara memundurkan tubuh dan menatap pemilik sumber suara berat itu, berusaha memastikan bahwa memang benar Agra yang tadi berkata ... “Lo punya nomor Binar?” ulangnya tak percaya. Kini gantian Bagas yang melongok dari rak sebelah hanya untuk ikut memastikan indra pendengarnya tak salah tangkap.Ini Agra. Agra. Dia tidak akan menyimpan nomor seseorang yang dianggapnya tak penting. Bagas bahkan berani bertaruh, kontak ponsel kawannya yang satu ini tak lebih dari lima puluh orang.Dan siapa sangka, salah satu dari lima puluh orang puluh orang penting itu adalah ... Binar?!Yang benar saja!Binar yang itu. Teman sekelas mereka yang sombong hanya karena terlahir kaya? Yang meski cantik tapi otaknya kosong? Yang ... bagaimana bisa Agra menyimpan nomor ponselnya?Ah, tidak. Pertanyaan yang benar yaitu ... apa mereka sering saling menghubungi?Keheningan sejenak usai Nara mengajukan pertanyaan tadi dengan nada tak percaya itu menyadarkan Agra, pun tatapan sangsi dua sahabatnya—lagi—bagai tamparan untuknya. Ia memberi jawaban yang salah.Sial! Sial! Sial!Dia yang mewanti-wanti agar pernikahan mereka tak terendus orang luar selain keluarga. Tapi, justru ia sendiri yang nyaris saja membocorkannya. Agra menggeram, kemudian berdeham untuk kembali menjernihkan pikiran yang terlanjur terkontaminasi. Ada apa dengannya hari ini?“Bagaimana kalian bisa lupa?” Agra berusaha keras menyembunyikan nada kikuk dari suaranya. “Kita ada grup kelas. Nomor Binar tentu ada di sana.”“Ah, benar!” Nara menepuk keningnya pelan seraya tertawa kecil. “Kenapa gue bisa lupa?” gumam gadis itu pada diri sendiri sebelum merogoh ponselnya dari kantung celana. Sedang Bagas mengangguk lega dan kembali menghilang di balik rak sebelah setelah mengedik tak acuh.Tanpa keduanya sadari, Agra menghembuskan napas panjang. Sangat panjang.Nara langsung bergegas mencari nomor Binar di dereten anggota grup kelas dan menghubunginya. Nada sambung terdengar kemudian, disusul bunyi dering luar biasa nyaring dari salah satu meja baca di tengah ruangan yang sukses menarik perhatian nyaris seluruh penghuni yang ada di perpustakaan lantai tiga di pagi menjelang siang itu yang semula cukup hening.Ikut menoleh, Agra dan Nara dapati seorang mahasiswi kelabakan menjatuhkan buku yang semula dibuka lebar di depan wajahnya hingga menutupi muka demi meraih ponselnya di meja dan mematikan bunyi dering yang hampir menyaingi suara sirine itu sebelum berdeham pelan dan menegapkan punggung dengan gestur aneh.Menoleh ke arah Agra dan Nara, pemilik bunyi dering tadi berkedip jemawa dan menaikkan dagunya lebih tinggi seraya bangkit berdiri usai menutup buku yang tadi dijatuhkan, lantas melangkah dengan keanggunan yang dibuat-buat ke arah anggota kelompoknya yang—mungkin tidak—sedang menunggu.Benar. Agra mengusap wajahnya kasar. Dia Binar. Nara menurunkan ponsel dari telinga, menyambut Binar dengan senyum kecil, sedang Bagas yang berada di rak sebelah berdecih pelan.“Jadi dari tadi lo di sini?” Nara menyapa seramah biasanya. “Kenapa nggak langsung gabung aja?”“Gue pikir kalian nggak butuh gue,” Binar menjawab tak acuh sambil memperhatikan motif kutek di tangan kirinya yang baru setengah jam lalu selesai dibuat Prisila.Tolong jangan tanya perasaan Binar sekarang. Nyaris satu jam lalu ia bangun tidur, belum juga kesadarannya terkumpul, Noni mengabarkan bahwa ia satu kelompok dengan Agra dkk. Tentu kabar tersebut bagai petir di siang bolong.Satu kelompok dengan Agra sudah sangat buruk. Ditambah Nara dan Bagas. Lengkap sudah penderitaannya.“Memang,” kali ini pemuda menyebalkan itu yang menyahut, tanpa mengalihkan pandangan dari rak buku di depannya, dan memang lebih baik melihat deretan buku dari pada wajah Binar yang benar-benar tampak suram. Kelihatan sekali dia belum mandi, kendati menutupi wajah kuyu dengan make up, tetap saja tampak jelas. Terlebih, Binar juga tidak tidur selama dua malam—hanya nyaris mengorok di kelas. Ugh, mengingatnya hanya membuat Agra kembali hampir darah tinggi. “Kamu bisa mencari kelompok lain kalau mau,” lanjutnya, yang langsung dihadiahi pukulan oleh Nara menggunakan buku yang masih dipegangnya. Berhasil membuat Agra kembali bungkam.Binar menahan geram. Agra dan mulutnya yang lupa tidak disekolahkan memang sangat menyebalkan. Meladeninya sama saja meniti jalan menuju rumah sakit jiwa. Sama sekali tidak berfaedah.“Kalau kalian memang nggak butuh, gue pergi,” gadis dengan pasmina sewarna khaki itu sudah hendak berbalik, namun Nara segera menahan salah satu lengannya dengan tatapan memohon.“Tolong jangan tanggapi Agra. Lo tahu dia gimana orangnya. Bagas juga. Okay?”Sama sekali tidak oke. Binar mendumel dalam hati. Mengutuk diri dan semesta yang selalu membuatnya berurusan dengan Agra. Ditambah teman-teman pemuda itu yang sama menjengkelkannya.Satu kelompok dengan mereka?Jika orang lain suka memiliki anggota kelompok berotak luar biasa pintar, maka Binar tidak. Ia sadar diri kapasitas otaknya rendah, tapi seribu kali lebih memilih disatukan dengan anggota lain yang sama bodoh dengan dirinya. Karena saat si bodoh dan si pintar—terlebih minoritas—maka ia hanya akan dianggap beban. Sekalipun nanti hasil tugas mereka bagus, sebesar apa pun andil Binar dalam kelompok, tetap tidak akan terlihat. Semua orang akan menganggap pencapaian mereka wajar sebab orang-orang cerdas di dalamnya.Karena itu, lebih baik Binar tidak ikut andil sekalian. Hanya saja ... ah, dia benci nurani semacam ini. Rasa tanggung jawab dan tak enak hati bila hanya menumpang nama tanpa ikut mengerjakan tugas yang menjadi bagiannya juga.“Oke kalo lo maksa.” Binar menyahut setengah dongkol sambil melipat tangan di depan dada.“Kartu perpus lo masih kosong, ‘kan?” Nara yang ramah, tersenyum padanya. Ada gurat tulus dalam ekspresi gadis itu yang membuat Binar tak pernah bisa membencinya kendati ia sebal setengah mati pada tiga temannya yang lain, terutama dua pemuda yang kini berada di sini.“Hmm,” Binar menjawab dengan gumaman, disusul bunyi dengus kasar dari balik punggung Nara. Tanpa harus menoleh, Binar tahu siapa pelakunya. Dengus itu nyaris sudah ia hapal di luar kepala lantaran terlalu sering ia dengar sejak berusia lima belas tahun. Sialan!“Kalo lo mau, lo juga bisa ikut nyari buku. Lo udah tau tema yang harus kita bahas, ‘kan? Ada di silabus yang Pak Akmal kasih. Kita baru dapet satu. Minimal harus ada empat buku lagi.”Tiga. Bagas melongok dari rak sebelah, memamerkan buku lain yang berhasil didapatkan. Saat pandangannya tak sengaja bertemu Binar, ia pun mendelik.“Empat,” Agra mengoreksi. “Bagas udah dapet satu. Jadi, tambah empat lagi agar referensi kita lebih banyak.”Nara menarik napas panjang, jelas sekali ia juga tak menyukai usulan itu tapi tetap berusaha menerima. Gadis itu memberi senyum pengertian pada Binar seolah memohon agar Binar mau memaklumi. Karena percuma saja membantah. Agra ketua kelompok mereka.“Dan—” Agra menyerongkan posisi berdirinya hingga tubuhnya menghadap Binar dengan sempurna.Oh, tidak sempurna sebenarnya. Ada Nara dia antara mereka yang menutup sebagian badan lelaki itu. Nara yang persis berdiri di depan Agra. Tinggi Nara yang hanya sedagu suami Binar membuat mereka tampak bagai pasangan menggemaskan juga serasi.Sejenak, Binar terpaku melihatnya. Agra dan Nara sempurna satu sama lain. Agra juga terlihat nyaman di samping sahabatnya. Ialah benalu itu di sini. Di antara mereka. Dua orang yang jelas saling menyukai.Hanya orang buta yang tak bisa melihat pancaran sayang dari mata Nara setiap kali menatap Agra.“Kamu yang akan mengetik,” imbuh lelaki itu dengan tatapan lurus ke arahnya.“Binar?” Nara mendongak, sedikit menoleh ke belakang hanya untuk bisa melihat raut wajah datar Agra yang tampak masam sebelum kembali menghadap Binar yang spontan mencebik kesal mendengar instruksi itu.“Lo yakin Binar bisa diandalkan?” Bagas muncul di belakang Binar sambil melambaikan buku temuannya di udara, sesekali membuat gerakan seolah hendak membukul Binar yang kontan mendapat pelototan sadis dari gadis tersebut.“Dia jelas tidak bisa diberi tugas menyusun pembahasan,” ujar Agra dengan nada tajam dan kalimat kejam sebelum kembali menelusuri rak buku.Andai tidak ingat sedang berada di perpustakaan, sudah tentu Binar akan mengomel panjang lebar lagi. Mengumpat keras sekalian, alih-alih menahan diri dan berbicara setengah berbisik macam ini.Meremas ujung blus yang dikenakannya, Binar berbalik, melangkah kesal ke balik rak sebelah. Meninggalkan Agra dan Nara, lebih memilih bergabung dengan Bagas yang suka nyinyir dari pada harus menahan panas di dadanya setiap kali tak sengaja beradu pandang dengan si menyebalkan itu!Gue benci kenyataan nama kita sama-sama berawal dari huruf B! Bagas mendesis di sampingnya, seperti yang sudah Binar duga. Bagas memang selalu punya hal menjengkelkan untuk dibahas.Seharusnya lo protes sama bokap lo, bukan gue!Gue nggak suka satu kelompok sama lo.Lo pikir gue suka?! Hah, pede banget lo!Nilai kelompok kami terancam gara-gara lo!Syukurlah, nilai gue kemungkinan bagus berkat kalian. Semoga aja IPK gue empat sempurna semester ini!Dan begitulah seterusnya sampai enam buku referensi terkumpul. Binar yakin, begitu keluar dari perpustakaan, berat badannya akan turun minimal dua kilo. Karena berada bersama Agra dkk, merupakan tekanan batin yang menguras tenaga dan emosi jiwa! BAB 12Buku menumpuk di meja, laptop terbuka dengan layar menyala menampilkan lembar kerja baru, dan ... TV pintar bervolume lumayan nyaring di depan mata.Tugas banyak serta daftar tontonan bejibun merupakan dilema besar bagi Binar. Tidak, tidak. Tugas tidak semenumpuk itu. Mata kuliah lain sudah beres, hanya sisa kerja kelompok dari Pak Akmal yang ... Binar melirik ke samping, pada Agra yang berdiri di sisi pintu kamar mereka yang terbuka, bersandar santai dengan kaki menyilang dan tangan terlipat di dada. Jangan tanya sedang apa, tentu saja mengawasinya dengan mata elang menyebalkan itu.Kamu tidak akan pernah bisa menyelesaikannya sambil menonton TV, Binar, ujarnya menggunakan nada yang membuat Binar gatal ingin menggaruk tembok.Grrr.... Kelas Pak Akmal masih minggu depan. Pembagian kelompok baru ditentukan tadi pagi, tapi Agra sudah getol menyuruhnya menyelesaikan ketikan.Kenapa harus dikerjakan sekarang kalau bisa besok atau minggu depan? Binar cemberut sembari mem-pause drama yang sedang ditontonnya. Demi apa pun, dia tidak mungkin mengikuti alur cerita di bawah tatapan mata Agra dan enam buku menggunung di meja.Minggu depan? Kamu gila?!Binar mengambil buku teratas dari tumpukan, membuka dengan kasar hingga menimbulkan bunyi berisik lantaran gesekan antar kertas. Sengaja memang, biar makhluk lain di ruangan ini tahu dirinya sedang kesal.Materi yang mereka butuhkan sudah ditandai oleh Agra dkk tadi siang. Iya, tadi siang. Saat jam istirahat. Usai dari perpus, mereka kembali berkumpul di kafe depan kampus sambil membahas materi.Makan siang sambil mendiskusikan tugas, Binar kenyang bahkan sebelum pesanannya datang. Coba tebak apa yang Binar lakukan selagi tiga anggota lainnya sibuk dengan pembahasan materi.Bengong seperti kambing congek sambil mengaduk-aduk minumannya.Beginilah nasib menjadi yang terbodoh dalam kelompok. Menyebalkan.Gue nggak gila. Cuma nggak serajin lo aja, dengusnya sambil membuka buku lebar-lebar dan memposisikan laptop menghadapnya. Lantas mulai mengetik bab satu.Belum juga selesai menulis latar belakang, Binar sudah jengah duluan. Tidak bisa begini, pikirnya. Senyum aktor tampan di depan sana yang sedang tersenyum di layar televisi terlalu menggoda untuk diabaikan.Kembali menutup buku dengan kasar, Binar meraih remote dan melanjutkan tontonan. Peduli setan dengan Agra. Binar bukan tipe orang yang bisa diajak berpikir saat tenang. Dia hanya bisa berpikir cepat dan menyelesaikan tugas di bawah tekanan.Menyelesaikan tugas saat sadar batas akhir masih sangat lama—minggu depan—entah mengapa terasa sangat mengganggu. Terlebih, bagaimana bisa ia mengerjakan makalah dengan tenang saat dimandori manusia menyebalkan macam Agra?Apa yang kamu lakukan? Agra menggeram. Lipatan tangannya di depan dada terurai, pun muncul kernyitan dalam di antara alisnya yang setebal ulat bulu.Binar menolak merasa terintimidasi. Gue nggak biasa bikin makalah jauh-jauh hari, katanya santai. Gantian ia yang melipat tangan di depan dada. Binar bahkan menselonjorkan kakinya dan menggeser laptop serta buku-buku ke ujung meja.Kamu pikir saya peduli dengan kebiasaan kamu?Abaikan. Abaikan. Abaikan. Anggap saja Agra setan pengganggu yang tak perlu dihiraukan.Namun, bagaimana bisa ia abai saat Agra dengan langkah-langkah lebar menghampirinya lalu mengambil remote dari pangkuan gadis itu lantas mematikan televisi.Saya sita remote ini sampai makalah kita selesai.Binar kehilangan kata-kata. Ia bahkan sampai ternganga, menatap Agra tak percaya. Lelaki menyebalkan ini ...Binar tak akan membiarkannya. Bangkit berdiri, ia raih tangan lelaki itu yang dengan tangkas melangkah mundur seraya menyembunyikan tangan di belakang punggung. Binar yang keras kepala tidak menyerah begitu saja. Ia memutari tubuh Agra yang spontan bergerak menjauhinya.Balikin nggak?!Tidak!Binar tak mau sok segan-segan lagi sekarang. Mereka akan tinggal bersama untuk waktu yang lama. Kekakuan bukan hal yang dibutuhkan. Terlebih bila teman serumahnya sejenis Agra yang sudah kaku sejak lahir. Karena jika terus demikian, pada akhirnya Binar hanya akan menjadi pihak yang tertindas.Mendengus jengah, ia pun memberanikan diri memeluk tubuh Agra dari depan dan meraba-raba punggung lelaki itu yang sejenak sempat mematung—barangkali kaget—sebelum menggeliat berusaha melepaskan diri.Sial. Agra wangi. Perpaduan sabun, deodoran, dan kolonye menyerang indra penciuman Binar sekaligus. Samar-samar tercium aroma kayu cedar. Nyaris memabukkan. Dan nyaris membuat Agra berhasil lolos dari kungkungan tangan-tangan mungilnya.Oh, tapi tidak semudah itu. Binar menahan napas hanya agar bisa melupakan aroma Agra seraya menyeringai begitu berhasil mengencangkan pelukan. Mendongak, ia tersenyum pongah pada sang lawan. Dan dari wajah Agra yang memerah sampai telinga, Binar tahu suaminya mulai marah.Masih belum mau balikin remote? ejeknya.Jangan harap! Agra menyentak tangan Binar, tapi si mungil dengan kepala batu itu malah menaikkan kakinya membelit betis Agra dan menjalin jari-jemari di balik punggung lelaki itu, kian mengeratkan kungkungan.Agra tidak habis akal. Secepat kilat, ia memutar tangannya ke depan dan menaruh remote incaran Binar ke kantong depan celananya, lalu tersenyum separo dan merentangkan tangannya lebar-lebar. Sekarang, ambil kalau kamu bisa, tantangnya.Sialan! Binar mengumpat kesal. Ia melepas kungkungan tangannya dari tubuh keras Agra, mengambil satu langkah mundur. Napasnya naik turun dengan keras, berusaha mengurangi panas yang bergejolak di dadanya.Seolah tahu kedongkolan sang istri, Agra menaikkan salah satu alis dengan dua tangan terangkat ke udara. Menyerah, Binar?Binar menggertakkan gigi. Ia melirik remote malang yang kini tersembunyi di balik kantong depan celana Agra.Kantong depan celana. Binar menggeram, menahan diri untuk tidak menggeser tatapannya lebih jauh. Salah-salah, matanya bisa ternodai.Menurunkan tangan kembali ke samping tubuh, Agra berdeham jemawa. Kalau begitu, katanya, bisa kamu lanjutkan ketikan? Sepertinya saya mulai mengantuk. Mau tidur dulu, lanjutnya, masih dengan senyum miring yang ingin sekali Binar robek.Berbalik, Agra rasakan tangan kecil yang agak dingin menarik lengannya. Tak perlu ditanya, Agra tahu itu tangan istrinya. Sekarang, apa la— belum juga kalimat Agra tergenapi, tangan kecil lain meraba bagian samping depan celananya dengan gerak seringan bulu dan agak hati-hati. Agra menelan ludah menahan rasa geli. Apa yang—Tangan kecil sialan itu memasuki bibir kantong celananya, terhenti sejenak sebelum masuk sepenuhnya, kembali meraba serampangan sebelum menemukan remote dan menariknya keluar.Agra, tidak bisa menghentikannya. Bagaimana bisa menghentikan, saat ... saat tubuhnya seolah mendadak menjadi batu. Demi apa pun, belum pernah ada yang meletakkan tangan di bagian depan celananya. Agra tidak pernah tahu rasanya akan semenggelikan itu hingga membuatnya harus menahan geraman dengan menggertakkan gigi kuat-kuat seperti hewan yang sedang terluka.Ya ampun, Binar! Agra ingin mengumpat menggunakan nama gadis itu. Siapa mengira, menyembunyikan remote di kantong depannya merupakan awal petaka. Karena kini, napas Agra menjadi tidak teratur. Wajahnya terasa panas. Beberapa bagian tubuhnya bahkan nyeri. Sialaaannn ...!Menggeram lebih keras, Agra pelototi istrinya yang tersenyum puas sambil setengah menyeringai dengan tatapan polos seolah bayi baru lahir dan belum mengenal setitik noda sama sekali. Tanpa tahu, saat ini setan dalam kepala Agra mendesaknya untuk menodai gadis itu.Menjunjung remote tinggi-tinggi, Binar berkata riang sembari berjinjit-jinjit kesenangan. Lo pikir gue nggak berani?Benar. Agra pikir Binar tidak akan berani. Agra pikir ... agrh! Merasa tak tahan, lelaki itu lekas berbalik dan hanya mendengkus keras. Ia melangkah ke arah pintu kamar yang terbuka dengan jejak-jejak berat seakan kakinya terantai besi, lalu menutup pintu kasar, setengah membanting.Ini gila. Tapi, Agra benar-benar butuh mandi.Jangan berpikir macam-macam. Ia hanya perlu mendinginkan kepalanya saja. Hanya kepala.Binar sialan.***Kalau sebelumnya Binar yang tidak bisa tidur, kali ini giliran Agra. Ugh, dia bahkan sudah menyirami seluruh tubuhnya dengan air dingin kendati harus menahan malu membawa handuk hitamnya ke kamar mandi dengan melewati ruang tengah tempat Binar sedang asik tiduran di sofa sambil mengemut permen—mengemut, grrrr!Saat melihat Agra melintas, gadis menyebalkan itu melepas permen dari bibirnya dengan bunyi ‘plop’ yang nyaris membuat Agra gila sebelum menaikkan alisnya dan bertanya dengan nada heran. “Lo mau mandi? Jam segini? Bukannya tadi sore udah?”Agra memilih mengabaikan saja. Lagi pula, siapa yang peduli ejekan saat merasa tubuh terbakar?Iya, iya. Agra tahu. Ini bahkan sudah nyaris jam sepuluh malam. Awan mendung di luar membawa hawa dingin membekukan, hanya saja ... ah, lupakan!Menendang selimut kesal, Agra bangkit dari ranjang mendekati pintu kamar yang sengaja ia kunci. Benar, dikunci. Ia merasa butuh sendiri. Kehadiran Binar di sampingnya hanya akan membuat ia tambah meradang, antara ingin mencekik atau membelitnya semalaman seperti ular.Gadis itu sempat berusaha membuka pintu kamar mereka satu jam lalu, sebelum menyadari Agra mengunci pintu dari dalam. Begitu menarik kenop ke bawah dan daun persegi di depannya tidak bisa dibuka, Binar kemudian menggedor. “Lo ngunci pintu kamar?” pekiknya mengunakan nada yang tak perlu Agra jelaskan. Terdengar sirat ketersinggungan dalam setiap silabelnya. “Lo mau gue tidur di luar?” teriaknya lagi dengan volume lebih besar.Agra tetap diam. Berbaring bagai mayat tak berdaya dengan dua tangan terlipat rapi di dada dan tatapan fokus pada langit-langit ruangan. Percaya atau tidak, ia bahkan menahan napas, entah mengapa. Konyol bila berpikir takut Binar bahkan mendengar hembusan napasnya.Ugh, keadaan semacam ini menyebalkan. Sangat! Andai tahu tinggal bersama kaum hawa memberi efek semenyiksa ini, Agra tentu akan mencari berbagai alasan untuk menolak perintah Hilman. Namun sekarang sudah terlambat. Memulangkan gadis itu hanya akan diartikan banyak hal.“Apa ini hukuman karena gue nggak nurutin lo?” tanya suara dari luar pintu yang masih sanggup Agra abaikan. “Seenggaknya kasih gue selimut! Lo nggak tahu sekarang dingin banget! Gerimis di luar, woy!”Setitik rasa bersalah hinggap di dada Agra, tapi tidak. Benar, anggap saja ini hukuman untuk Binar yang tidak mendengarkannya. Andai Binar tidak membantah dan mengerjakan tugas sesuai yang Agra ingin, tidak akan terjadi insiden perebutan remote yang berakhir menyedihkan seperti ini.Mereka juga akan bisa tidur nyenyak di ranjang ini berdua. Tanpa perlu memikirkan sesuatu yang tak terpikirkan sebelumnya.Sesuatu yang tak terpikirkan? Heh! Kenapa otaknya menjadi kotor dan suka bertamasya begini?Agra bukan pemuda polos yang tidak tahu menahu tentang kegiatan malam suami istri. Dia juga normal. Sangat. Tapi sebelum ini, ia tidak pernah memikirkan Binar dengan cara yang salah. Tidak sebelum insiden tangan kecil gadis itu memasuki kantong celana depannya beberapa saat lalu.Lupakan. Lupakan. Lupakan.Namun makin ia berusaha lupa, otaknya yang entah sejak kapan membandel malah kian kuat mengingat perasaan tergelitik itu. Salah satu suara laknat dari sela-sela tengkoraknya berbisik, Binar halal ia belit. Bahkan seharusnya sudah sejak awal setelah surat pernikahan mereka ditandatangani.Hanya saja, pernikahan mereka bukan ikatan biasa. Pun Binar bukan wanita impiannya, walau Agra tidak punya pilihan selain menghabiskan sisa hidup dengan gadis itu.Suatu hari nanti, saat mungkin mereka sudah terbiasa, Agra tahu dirinya dan Binar akan bisa saling menerima. Hidup berkeluarga dan memiliki anak bersama.Suatu hari nanti. Saat keduanya sudah bisa saling bertoleransi akan keberadaan satu sama lain. Bukan sekarang. Bukan malam ini. Bukan saat mereka bahkan masih berada di meja kuliah. Semester empat! Terlebih, bukan saat keduanya bahkan tak lebih akur dari tikus dan kucing.Oh, ya ampun! Apa yang sudah Agra pikirkan?!Tidur! Tidur! Tidur!Yang lagi-lagi gagal karena otaknya menolak berhenti tamasya.Dan gara-gara hal tersebut, esok paginya Agra bangun bagai zombie. Lingkar hitam menghiasi bawah matanya. Dengan suasana hati yang buruk, ia membuka pintu kamar hanya untuk mendapati Binar tidur di sofa dengan posisi ... satu kaki terangkat ke sandaran sofa, satu kaki menekuk. Kerudung yang biasa dipakainya di rumah tergeletak mengenaskan di lantai, menampakkan rambut keriting yang selama ini berusaha gadis itu sembunyikan dari Agra terjuntai. Lengkap dengan mulut menganga dan dengkur halus yang berhasil membuat Agra ingin meninju dirinya sendiri.Ia tidak mungkin tak bisa tidur semalaman gara-gara makhluk satu ini, ‘kan?Karena bila benar demikian, dirinya sungguh menyedihkan.Agra menampar pipinya untuk menyadarkan diri. Ini gila. Benar-benar gila! Kesal, ia tendang ujung sofa keras-keras hingga benda sepanjang nyaris dua meter yang melintang di tengah ruangan itu sedikit bergeser untuk melampiaskan kekesalan. Tapi sama sekali tak berpengaruh banyak pada gadis yang tidur lelap di atasnya. Binar hanya bergumam pelan, menggaruk leher, mengubah posisi, dan kembali lelap seperti bayi.Merasa makin dongkol, Agra mencabut selembar tisu dari kotak di atas meja, ia bentangkan di atas wajah Binar yang jauh sekali dari kata menggoda sebelum ia jepit hidung itu keras-keras sembari berteriak di telinganya. “Bangun! Subuh!” dengan suara keras yang berhasil membuat Binar bangun kelabakan, bahkan langsung bangkit dari posisi berbaring menjadi duduk tegak setengah linglung.Melepas tangannya, Agra mendengkus dan melanjutkan langkah menuju kamar mandi.Dalam hati pemuda itu mendumel sebal. Enak sekali Binar tidur pulas semalaman, sementara Agra harus teriksa dan terkurung di kamar seperti kucing berahi yang dilarang kawin karena belum waktunya!Sialnya, betina yang membuat ia setengah gila adalah ... makhluk sejenis Binar. Si mungil yang saking mungilnya bahkan seakan bisa ia masukkan ke dalam kantong celana.Ugh, lupakan soal kantong celana! Jangan sekali-sekali membahasnya. Agra tidak suka!“Sialan lo, anak Pak Bambang!” umpat Binar tepat saat Agra menutup pintu kamar mandi keras-keras hingga menimbulkan bunyi berdebum yang tidak menyenangkan. Barangkali gadis itu sudah tersadar sepenuhnya.Cih, hanya begitu saja Binar sudah kesal. Bagaimana kalau harus menanggung penyiksaan semalaman seperti yang Agra alami? Mungkin Binar akan benar-benar gila! BAB 13PERATURAN TINGGAL BERSAMABinar nyaris menyemburkan minumannya begitu menemukan selembar memo yang ditempel di depan pintu kulkas dapur kecil apartemen yang ia tinggali bersama Agra. Hanya Binar dan Agra. Jadi tak perlu menebak siapa yang menempelkan benda konyol ini. Sudah pasti suaminya yang—bolehkah Binar mengatakan—kurang kerjaan?Sebab kalau Agra sibuk, tidak mungkin pemuda menyebalkan itu punya waktu untuk merusak suasana hati Binar seperti yang dilakukannya semalam. Pun pagi ini.Oh, jangan tanya di mana Agra sekarang. Binar tidak tahu dan tak mau tahu. Yang pasti, begitu Binar selesai mandi, teman serumahnya sudah menghilang. Mungkin dia menyublim kemudian menghilang bersama angin ke tempat yang jauh. Sangat jauh hingga tak terjangkau satelit di planet ini. Dan andai saja benar demikian, Binar akan sangat bersyukur.Sayangnya, ia tidak hidup di dunia fantasi. Melainkan dunia yang sangat sangat kejam ini! Kutukan atau harapan-harapan buruknya tak pernah terkabul bila menyangkut Agra. Yang ada, Binar yang seringkali kena tulah atas tindakan buruknya.Meletakkan gelas minumnya yang baru habis beberapa teguk ke atas meja bar dapur minimalis mereka yang lumayan sempit—barangkali kakeknya berpikir, untuk apa dapur luas saat Binar bahkan tidak bisa memasak? Pun kemungkinan tak akan pernah mau melakukan pekerjaan semacam itu—Binar melompat turun dari kursi menuju kulkas dua pintu yang berdiri pongah di samping kabinet, lantas menarik kertas memo kuning bergaris-garis yang tertempel rapi di sana. Dan ternyata bukan hanya selembar, melainkan beberapa lembar yang ditempel menumpuk.Wah, Binar menggeleng-gelengkan kepala tak habis pikir. Bingung, entah harus merasa takjub atau heran. Ia pun mendesah jengah sebelum membacanya. Mempersiapkan diri untuk sesuatu ... yang pasti akan membuat ia kian dongkol.Kapan Agra sempat menulis hal konyol macam ini?1. Dilarang membuat apartemen berantakan.2. Kembalikan segala sesuatu yang dipakai ke tempat semula.3. Keranjang sampah ada untuk digunakan, bukan hanya pajangan.Poin yang ketiga jelas-jelas sindiran untuk Binar mengingat bungkus-bungkus camilannya yang bertebaran di bawah meja ruang tengah yang ia tinggal tidur tanpa sempat membereskannya semalam. Begitu selesai mandi, ia dapati ruang apartemen mereka yang semula bagai kapal pecah—gara-gara ulahnya—sudah kembali bersih dan indah. Juga wangi.Ck, seharusnya Agra tidak boleh serajin itu. Harus ada manusia semalas Binar di dunia ini, agar para petugas kebersihan dibutuhkan. Hitung-hitung demi mengurangi pengangguran juga, ‘kan?Mereka kaya. Mereka sanggup membayar pekerja. Kalau semua hal dikerjakan sendiri, bukankah itu terlalu egois dan kemaruk? Ya kali harta sebanyak itu mau dihabiskan sekeluarga.Ya, ya, ya. Binar tahu ini hanya pembelaannya. Kebersihan adalah sebagian dari iman. Baiklah, baiklah. Agra memang selalu benar.Tapi, tetap saja!Berdecak jengkel, entah pada memo atau dirinya sendiri lantaran memiliki pemikiran sinting, Binar membuka lembar kedua.4. Tidak boleh ditolak. Kartu debit untuk kebutuhan sehari-hari ada di atas kulkas.5. Harus irit. Biaya hidup masih ditanggung orang tua.6. Sisi kanan kulkas adalah tempat penyimpanan Agra. Sisi kiri untuk Binar. Setiap rak sudah diberi pembatas.Peraturan nomor enam, otak Binar sedikit gagal paham. Pun kehilangan kata-kata. Ini peraturan macam apa?Memberi pembatas pada sisi kanan kiri kulkas?Mengatupkan bibirnya yang ternganga tanpa sadar, Binar membuka pintu lemari es. Alih-alih terkatup sempurna, rahangnya makin jauh terpisah melihat pembatas berbahan mika tebal yang ada di tengah-tengah tiap rak dengan posisi yang sangat rapi.Kapan Agra sempat melakukan ini? Bukan, yang benar adalah ... entah Agra terlalu perfeksionis atau gila? Orang waras mana yang bisa berpikir sampai sejauh itu? Perkara kulkas saja—Entahlah. Otak kecil Binar kesulitan bekerja.Berkedip bagai orang bodoh, ia kembali menutup pintu kulkas dan membuka lembar memo berikutnya dengan pemikiran ... ini bukan peraturan teman serumah. Bahkan lebih ketat dari asrama.7. Dilarang berbagi barang-barang, terutama sabun, pasta gigi, dan sikat gigi! (Benar-benar menggunakan tanda seru).Lagi pula, siapa juga yang suka berbagi barang-barang dengan orang lain. Tidak-tidak. Binar lumayan suka berbagi. Agra saja yang pelit.8. Agar lebih hemat, harus memasak. Jadwal piket masak dan bersih-bersih menyusul.Binar siapa sebenarnya? Agra siapa? Benarkah mereka dua anak beruntung yang terlahir dari keluarga berada? Demi apa pun, baik orang tuanya atau orang tua Agra sama sekali tak akan keberatan dengan pengeluaran bulanan mereka!Ini hanya perkara makan dan bersih-bersih. Seumur-umur, Binar bahkan belum pernah memegang gagang sapu atau menyentuh wajan.Ini bukan peraturan tinggal bersama, melainkan bentuk penyiksaan!Binar bisa menerima peraturan dari nomor satu sampai tujuh. Meski tidak masuk akal, setidaknya masih bisa diterima.Tapi yang ke delapan ... kalau Hilman tahu, kakeknya pasti akan marah besar. Cucunya yang dibesarkan bagai tuan putri disuruh bersih-bersih dan memasak?Mengambil ponsel di saku celana gombrongnya, Binar segera men-dial nomor sang kakek. Nada sambung terdengar. Tak sampai dering kedua, panggilannya bersambut.“Halo, Bina—”“Kakek harus lihat ini! Binar mau kirim foto. Tolong perhatikan dan baca dengan benar.” Binar bahkan lupa memberi salam. Pun tak sempat mendengarkan sapaan Hilman saking kesalnya.Tanpa menunggu respons lawan bicara, ia langsung mematikan sambungan, lantas memotret memo dari Agra dan segera mengirimkan gambarnya pada kontak sang kakek.Tahu kakeknya butuh sedikit waktu untuk membaca aduannya, ia lanjut melihat peraturan tinggal bersama selanjutnya.8. Dilarang mengotak-atik barang-barang satu sama lain.9. Tidak boleh ikut campur urusan masing-masing.10. Masalah rumah tangga tidak boleh bocor ke luar, terutama keluarga.11. Mandi sehari minimal dua kali.12. Kurangi menonton drama dan SEGERA SELESAIKAN TUGAS KELOMPOK KITA!Ini bukan peraturan tinggal bersama. Peraturan macam apa?Binar meremas kertas memo malang itu membentuk gumpalan, lantas melemparkannya ke tempat sampah di pojok dapur. Agra sendiri yang bilang, keranjang sampah ada bukan untuk pajangan, dan kini Binar tahu fungsinya. Adalah untuk menampung segala omong kosong pemuda itu!Memasak? Bersih-bersih? Yang benar saja!Agra mencari istri apa pembantu?!Dari seluruh umat manusia di bumi, seharusnya Agra yang paling paham. Istri yang diambil dari kalangan seperti mereka, tidak diharapkan melakukan pekerjaan domestik sejak awal. Mereka dibesarkan untuk melanjutkan nama keluarga dan mempertahankan sesuatu yang sudah dimiliki sejak awal. Bahkan kalau bisa, lebih mengembangkannya.Memasak? Bersih-bersih? Agra seharusnya menikahi gadis lain! Bahkan perkara mandi pun diatur. Lalu masalah rumah tangga apa? Rumah dan tanggakah maksudnya? Hubungan mereka jelas belum bisa dibilang hubungan rumah tangga. Lebih tepatnya pernikahan demi kepentingan bisnis. Terutama bisnis keluarganya yang terancam tidak memiliki penerus.Memutar badan kembali ke meja bar, ponsel Binar berbunyi. Tanda satu notifikasi ia terima. Penuh semangat berapi-api, Binar angkat ponsel pintarnya sebatas dada dan membuka balasan chat dari Hilman dengan tak sabaran. Hilman pasti sama tak terima dengan Binar. Beliau tentu akan tersinggung dianggap tak sanggup membiayai hidup cucunya.Seharusnya itu yang terjadi. Seharusnya.Tidak seperti ini.Andai bukan ciptaan Tuhan, pasti rahangnya sudah jatuh menyentuh lantai, dengan gigi-gigi yang berceceran.Kakek.Sesuai dugaan, Agra memang seperti yang Kakek harapkan.Andai tidak ingat peraturan harus irit, Binar sudah tentu akan membanting ponselnya keras-keras ke kulkas.***  Binar tidak percaya pada reinkarnasi, karena memang tak ada hal semacam itu dalam agamanya. Namun, andai saja ... ini hanya seandainya, reinkarnasi itu ada, di kehidupan masa lalu Binar pasti seorang psikopat gila yang membunuh ratusan nyawa. Atau seorang pengkhianat negara. Maka dari itu, di kehidupan ini ia benar-benar dikutuk.Alih-alih bertemu dengan pemuda idaman, saling jatuh cinta, dan menikah dengan bahagia, ia malah harus berhadapan dengan Agra yang diakui dunia sebagai suaminya. Si pelit, menyebalkan, dan otoriter, yang anehnya mendapat dukungan penuh dari Hilman dan Maia.Binar yang malang, harus berapa lama ia menghadapi situasi macam ini?Mengaduk-aduk minumannya yang sama sekali belum tersentuh, Binar makin cemberut saat melihat Agra dkk memasuki area kantin timur tempatnya biasa menghabiskan waktu bersama Noni dan Prisila.Binar mengaduk minumannya lebih cepat kemudian diseruput keras-keras. Ia masih sangat kesal teringat memo sialan yang ditempelkan Agra di kulkas. Aturan tinggal bersama yang ditentukan lelaki itu tanpa lebih dulu didiskusikan bersama. Betapa egoisnya dia.Melihat tingkah aneh sahabatnya yang kian gila, Prisila menyenggol lengan Noni. Sejak minggu lalu, Binar terlihat mulai aneh. Bukan berarti sebelum-sebelumnya gadis itu tidak aneh, hanya tingkah gilanya makin menjadi. Lihat saja saat ini. Binar meminum jus jambunya dengan beringas, menimbulkan bunyi seruput nyaring sambil menatap tajam—Prisila mengikuti arah pandang Binar hanya untuk mendesah kemudian—kelompok Agra seolah ingin membunuh.Awalnya, Prisila tak terlalu ambil pusing dengan pernyataan Binar yang mengatakan dirinya diganggu setan. Binar memang sering asal ceplos seenak bibirnya bisa berkata. Tapi kini, sepertinya hal itu benar.“Binar makin mengkhawatirkan nggak, sih?” tanyanya dengan nada cemas yang sama sekali tak dibuat-buat. Di sampingnya, Noni mendesah berat. Ia menjauhkan sedotan dari bibirnya dan membalas tatapan prihatin Prisila sebelum kemudian menghadap Binar sepenuhnya dan menyentuh pelan lengan gadis itu.“Bin,” katanya seraya menatap sang kawan lurus-lurus, tapi yang diajak bicara tampak sama sekali tak tertarik menyahutinya, masih menfokuskan pandangan pada meja sebelah, hanya berjarak satu meja kosong dari tempat mereka, yang diisi Agra dan ketiga temannya.Barangkali sadar diperhatikan, Bagas menoleh ke arah ketiganya dan malah adu pelototan dengan Binar.Meremas tangan kiri Binar yang terkepal di atas meja, Noni tersenyum. Binar yang menyadari itu segera memutus adu pelototan dengan Bagas untuk memberi sedikit atensi. Jus yang diseruput sudah tinggal sedikit, Binar menyedot lebih kencang untuk menghabiskannya sekalian. Kendati demikian, ia masih sangat haus.“Kayaknya lo perlu dirukiyah deh. Gue ada kenalan ustad yang bagus kalo lo mau.”Beruntungnya jus jambu yang Binar minum sudah habis dan tertelan semua dengan sempurna, kalau tidak, ia yakin sudah memuntahkan separuhnya kembali begitu mendengar perkataan Noni.Melepaskan sedotan dari bibir, Binar menatap Noni ngeri. “Kenapa gue harus rukiyah?”“Itu salah satu cara biar lo berhenti digangguin setan. Lo sendiri yang bilang kemarin. Dan tingkah lo juga ajaib akhir-akhir ini. Gue sama Prisila khawatir.”Binar bisa gila. Ia benar-benar akan gila!Bagaimana cara menceritakan kisahnya yang menyedihkan pada Noni dan Prisila tanpa menyebutkan nama Agra dan tentang pernikahannya? Teman-temannya malah percaya ia kesetanan. Ya ampun!Dirukiyah? Huft!Agra mewanti-wanti agar perkawinan mereka tetap menjadi rahasia, dan ia setuju. Satu-satunya hal yang ingin Binar sembunyikan dari dunia adalah kenyataan bahwa dirinya sudah menikah. Dengan makhluk sejenis lelaki yang kini enak makan di sana ditemani kawan-kawannya yang asyik mengajak bercanda. Agra yang sekaku kanebo hanya sesekali tersenyum kecil menanggapinya.Bohong kalau Agra tidak melihat keberadaan Binar, karena sesaat tadi pandangan mereka sempat bertemu selama sepersekian detik. Lalu lelaki itu langsung melengos begitu saja. Menyebalkan seperti biasa. Padahal Binar sangat ingin mengkonfrontasinya andai tidak ingat mereka sedang ada di kampus.Aturan tinggal bersama? Bah!Menggigit lidah kesal, Binar mendesah. Ia bersandar lemas pada punggung kursi dan menatap Noni serta Prisila bergantian. Dari cara pandang kedua sahabatnya, Binar tahu mereka benar-benar khawatir.Akh, Binar ingin bercerita. Sangat ingin!“Maksud gue bukan setan yang kayak gitu,” ujarnya bingung sendiri.Noni mengangkat sebelah alis. “Terus setan yang kayak gimana?”“Emm ...” Binar menggaruk pelipis, berusaha mencari kalimat yang tepat untuk dijelaskan. Ah, ia benci situasi semacam ini.Salah satu cara menyembunyikan rahasia adalah dengan berbohong. Tapi satu kebohongan akan melahirkan kebohongan-kebohongan lain. Kalau suatu hari nanti rahasia yang Binar tutupi bocor, teman-temannya pasti akan sangat kecewa. Dan lebih kecewa lagi karena dibohongi.Melirik Prisila yang sama penasaran dengan Noni, Binar menggaruk pelipis lebih keras. Dalam hati ia merutuk bibirnya yang suka asal ceplos sampai mengambinghitamkan setan sebagai tumbal kekesalan.“Gue asal omong aja waktu itu. Nggak beneran ada setan yang ganggu gue kok.”“Terus, kemarin lo nggak bisa tidur sampe dua malem karena apa?”Sial. Prisila selalu mengaku dirinya bodoh, tapi giliran menginterogasi orang lain, dia paling bisa membuat kicep.Binar berkedip-kedip cepat seperti orang kelilipan, saat melirik jauh ke samping untuk berpikir, tak sengaja pandangannya kembali bertemu dengan Agra yang kini melipat tangan di dada dengan pongah. Dua alis tebalnya yang gatal ingin Binar cukuri sampai habis, dinaikkan tinggi-tinggi. Menyeringai penuh ejekan, Agra mengangkat gelas minumnya seolah mengajak Binar bersulang tanpa kentara, lantas menyeruput teh hijaunya dengan santai. Sangat santai.Ugh, Agra pasti mendengar obrolannya dan bersenang-senang atas ketidakberdayaan Binar saat ini.Oke, mari kita bermain-main.Binar berusaha mengendurkan otot-ototnya dan ikut melipat tangan di dada. Ia kembali menghadap Noni dan Prisila, kemudian berkata, “Karena ulah suami gue,” dengan volume yang sengaja ia keraskan agar Agra mendengar.Dan sepertinya berhasil. Binar menahan diri untuk tidak tertawa mendengar seseorang tersedak keras di meja sebelah. Tapi ia yang penasaran akan reaksi Agra, kembali menoleh sambil menggigit bibir agar tawanya tak meledak.Ah, rasanya puas sekali melihat pemuda menyebalkan itu terbatuk-batuk seperti lelaki tua yang sekarat. Bahkan Nara dan Emili yang menyuruhnya pelan-pelan pun tak Agra dengar, ia malah melotot marah pada Binar di tengah-tengah batuknya, yang Binar balas dengan senyum manis serta kedipan mata polos sebelum kembali melengos sok cantik.Ugh, dirinya memang cantik. Agra harus bersyukur.Noni dan Prisila kompak mendengus. Dan seolah sudah tahu kondisi Binar yang sudah menikah, salah satu dari mereka bertanya. Sukses membuat Agra nyaris jantungan dibuatnya.“Emang suami lo kenapa?”Agra meremas gelas teh hijaunya hingga sebagian isi tumpah melewati sedotan. Binar tidak mungkin benar-benar membocorkan pernikahan—“Gue kesel karena dia dapet peran psikopat di drama terbarunya! Gimana jadi psikopat orang ganteng gitu, ‘kan?”Hah?Remasan Agra pada gelas tehnya mengendur. Bukan hanya marah, kini ia kebingungan. Sejak kapan ia main drama?“Gue pikir apaan, ya ampun!” Noni menoyor kepala Binar kesal. “Di perannya yang sekarang dia emang kayak setan sih, tapi gue malah suka!”“Sama!” Prisila menimpali antusias. Kekhawatirannya mendadak sirna begitu tahu setan yang dimaksud Binar tak benar-benar ada. “Damage-nya bener-bener nggak ngotak! Parah banget!”Apa hanya Agra yang kebingungan di sini mendengar obrolan di meja sebelah?Melepaskan gelas tehnya yang sudah nyaris kosong lantaran isinya meluber ke mana-mana, Agra meraih tisu untuk mengelap tangannya yang basah sebelum mengambil dua stik kentang dan mulai mengunyah dengan kesal.“Lo kenapa sih, Gra?” tanya Nara yang hanya ia tanggapi dengan gelengan kecil. Bagaimana bisa menjawab saat ia bahkan juga tidak paham situasi.Bagas yang seolah tahu rasa bingungnya, mendengus keras sambil melirik meja Binar. “Gue yakin Binar belum ngerjain tugas kelompok kita.”Agra hampir kembali tersedak. Stik kentang dalam mulutnya terpaksa ia telan nyaris bulat-bulat. Binar memang benar belum sama sekali menyentuh tugas kelompok mereka. Agra sangat tahu itu!“Sempet-sempetnya di tengah tugas yang menumpuk dia ngebahas aktor Korea!” tambah Bagas dengan nada tak habis pikir. “Pake ngehalu suaminya lagi. Gue bener-bener nggak habis pikir!”Kening Agra berkerut dalam. Sejenak otaknya loading. Suami? Aktor Korea? Jadi maksudnya ... sial!Jadi yang dimaksud suami tadi—Agra mengumpat dalam hati begitu menyadari, Binar sengaja ingin mengerjainya!Bisa-bisanya Agra nyaris tertipu!  BAB 14Nyatanya, kebahagiaan atau kesenangan berlebih memang tidak bertahan lama. Hanya sesaat. Terlalu singkat untuk disebut kemenangan. Begitulah yang Binar rasakan sekarang.Baru tak kurang dua menit yang lalu ia merasa berhasil mengalahkan Agra, kepanikan langsung menyerang saat Emily, salah satu sahabat suaminya bertanya spontan, “Lo tinggal di apartemen sekarang ya, Gra?”Agra yang semula hendak kembali meraih stik kentang di piring pesanannya menghentikan gerak tangan di udara. Ia melirik ke samping, Pada Emily yang dengan santai mengunyah camilan seolah pertanyaan barusan seringan topik cuaca, tanpa tahu tema tentang apa pun yang berhubungan dengan apartemen atau tinggal bersama merupakan salah satu hal paling sensitif bagi sang lawan bicara saat ini.Mendengar pertanyaan barusan, sisa-sisa senyum Binar langsung menghilang. Ia melirik tempat Agra dengan hati-hati. Sesuai dugaan, punggung lelaki itu menegang. Jangankan Agra, bulu kuduk Binar pun kini meremang.“Dari mana lo tahu?” tanya si pemilik suara berat itu, lantas melanjutkan gerak tangannya, kembali mengambil camilan dan mulai memakan perlahan dengan eskpresi yang tampak waspada, sedikit gagal menyembunyikan perasaannya. Atau benar-benar gagal. Garis bibirnya yang kaku nyaris menunjukkan ketidaknyamanannya akan pembicaraan ini. Hanya saja, Emily memang bukan termasuk manusia dengan tingkat kepekaan tinggi. Beruntung Nara dan Bagas terlalu fokus pada makanan mereka hingga tak terlalu memperhatikan rupa Agra saat itu.“Gue kemarin nggak sengaja liat mobil lo masuk area apartemen di daerah Sudirman.”Apa ini saat yang tepat untuk Binar mengatakan mampus pada diri sendiri? Aish ... Emily bahkan tahu lokasi mereka!“Lo beneran pindah, Gra?” tanya Bagas ikut menimpali, masih sambil mengunyah.Sejenak, Agra kebingungan mencari jawaban. Berbohong pun rasanya akan percuma. Tiga sahabatnya sesekali mampir ke rumah untuk mendiskusikan tugas. Bagas bahkan punya kontak Aira untuk ditanya-tanya. Aira, yang tak pernah mau diajak berkompromi dalam suatu kebohongan. Ah, kombinasi yang sangat sempurna.Menelan hasil kunyahan yang masih belum cukup halus dalam mulut, Agra tak punya pilihan yang lebih baik selain mengangguk enggan. Kendati merasa punggungnya panas lantaran pelototan seseorang, ia menolak menoleh, karena tahu pelakunya adalah Binar yang pasti saat ini ingin melemparkannya ke antariksa lantaran membenarkan pertanyaan Emily.“Kenapa pindah?” kali ini Nara yang buka suara. Gadis yang duduk di seberang meja itu menyeruput sisa minumannya.Agra berusaha tersenyum sedikit meski gagal. Bagaimana ia bisa tersenyum di saat seperti ini? Agra mewanti-wanti Binar agar menyembunyikan pernikahan mereka, tapi teman-temannya justru tahu tempat tinggalnya sekarang. Mendadak, Agra punya firasat buruk akan hal ini. “Gue cuma mau nyoba mandiri.”“Mandiri nggak harus pisah sama ortu kali, Gra. Lagian, masih sekota juga.”“Tapi Bagus, sih,” tandas Bagas dengan cengiran nakalnya yang konyol. “Kita bisa sering-sering mampir!”Sekali lagi, terdengar bunyi terbatuk-batuk. Kali ini bukan salah satu dari personel Agra, melainkan meja sebelah. Tidak, tidak. Binar tidak tersedak, Agra tahu. Si keras kepala yang tak terduga itu hanya sedang berpura-pura, barangkali sirine peringatan tanda bahaya bagi Agra .Salahkan Binar dan segala kekacauan yang diperbuatnya. Salahkan Binar karena sudah membuat Agra dongkol barusan. Salahkan Binar karena kini ia ingin balas dendam dengan membuat gadis itu tak nyaman.Pokoknya salahkan Binar, sebab kini Agra ... mengangguk kecil mengiyakan yang benar-benar langsung disambut bunyi tersedak. Entah tersedak minuman atau ludah sendiri. Yang pasti, Agra merasa sedikit puas karena telah berhasil meraih skor sama.1:1“Kalau begitu, gimana hari ini aja? Habis kelas terakhir, kita mampir ke apartemen Agra?” usul Emily dengan nada ceria. Keceriaan yang hampir berhasil membuat Binar kehilangan napas lantaran batuknya makin parah. Kali ini bukan pura-pura, melainkan batuk sungguhan.Prisil bahkan sampai bangkit dan berdiri di sisinya untuk menepuk-nepuk punggung Binar yang setegang busur. Noni mengulurkan gelas minumnya karena milik Binar sudah raib, yang Binar terima tanpa basa-basi dan langsung ditandaskan dalam dua kali tegukan besar sebelum memeras gelas plastik itu sebagai pelampiasan kesal, kemudian membantingnya ke atas meja.Melirik Agra dengan sudut matanya yang kini dalam mode ingin membantai, Binar dapati Agra mengangguk mengiyakan usul Emily.Mengangguk! Agra pasti benar-benar ingin mengajaknya berperang! Bagaimana cara menyembunyikan status pernikahan bila Agra bahkan berani mengundang teman-temannya ke rumah?Dan kalau sampai Nara, Bagas serta Emily tahu mereka sudah menikah, maka hubungan Agra Binar tak akan bisa menjadi rahasia lagi. Bagas terlalu bocor untuk ukuran laki-laki.Argh! Agra genderuwo! Apa mau dia sebenarnya?!“Kalau begitu, untuk merayakan rumah baru Agra, kita mending ngapain nanti?” Nara menjauhkan piring camilan ke tengah meja dan melipat tangannya di sana. Ia tatap wajah Agra dengan sorot lembut yang membuat Binar ingin muntah jadinya! Untuk ukuran perempuan cerdas, Nara terlalu terang-terangan menunjukkan rasa suka.“Makan-makan, dong!” seru Bagas kesenangan. “Pokoknya sebagai selametan tempat tinggal baru, Agra harus traktir kita sampai kenyang. Pizza dua loyang, ya, Gra. Terus pakai soda!”“Camilan yang banyak juga!” Emily menambahkan.“Apa sebaikanya kita juga beli kue sebagai perayaan?” Nara dan senyumnya yang mematikan.Binar menahan napas menunggu respons tersangka utama yang sejak tadi tampak sekali menghindari kontak mata dengannya.Dan begitu melihat Agra yang kembali mengangguk, spontan Binar mengumpat keras. “Hah, irit tahi kucing!”Binar bukan jenis orang yang suka mengumpat. Kalau pun kesal, ia hanya akan misuh-misuh dalam hati. Didikan Hilman cukup tegas untuk hal semacam ini. Kata beliau, mereka dari kalangan terhormat, jadi harus bisa bersikap terhormat pula. Hanya saja, kali ini Binar sudah tidak lagi bisa menahan diri!Agra memintanya memasak dan menyapu apartemen mereka sendiri secara bergantian demi menghemat pengeluaran. Sedang kini, belum ada dua belas jam dari peraturan sintingnya dibuat, lelaki itu sudah melanggar!Dia bahkan mengizinkan teman-temannya datang! Apa Binar juga harus mengundang Noni dan Prisil?Barangkali merasa heran dengan satu lagi tingkah aneh Binar yang tak seperti biasanya, Noni bertanya, “Lo kenapa sih, Bin?”Prisil kembali menatapnya prihatin. “Lo kalau ada masalah apa gimana? Cerita aja sama kita.”Andai saja bisa. Binar tersenyum kering. “Gue masih kesel sama suami gue,” jawabnya dari sela-sela gigi, ia bahkan memberi penekanan penuh pada kata suami sambil mendelik pada Agra.Prisil dan Noni hanya bisa menggeleng-geleng tak paham. Binar dan isi kepalanya yang acak memang sulit ditebak.Sedang di meja sebelah, lelaki yang tak pernah suka mendengar umpatan itu pada akhirnya menoleh juga dengan tatapan penuh peringatan yang Binar balas dengusan kasar dan pelototan. Tak lupa juga gadis itu mengangkat dagu tinggi-tinggi.Sesaat yang tak kentara, dua manusia muda itu beradu kekuatan mata seolah sedang tahan kedip. Tapi kemudian Agra yang melengos lebih dulu. Barangkali sadar, dirinya terlalu konyol bila menanggapi kegilaan teman serumahnya.Ah, ya. Agra memijit batang hidung demi meredakan pening kepalanya. Teman serumah. Ia hanya perlu menyingkirkan Binar sementara. Mungkin hanya sampai sore. Semoga saja teman-temannya tak akan lama berkunjung. Dan semoga juga tidak terlalu sering.Mengambil ponsel di dalam saku kemeja, Agra mengetik pesan untuk gadis gila di meja sebelah yang nomornya benar-benar ia simpan.Penerima: Pembuat OnarSepulang kampus, saya harap kamu nggak langsung balik ke apartemen.Seolah tahu bunyi notifikasi tersebut adalah pesan dari Agra, Binar dengan sigap langsung meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja. Hidungnya mengernyit begitu mulai membaca pesan dari nomor kontak yang ia simpan dengan nama Kanebo Kering.Menggigit bibir kesal, ia ketikkan balasan.Kalau gue nolak?Kanebo KeringKamu bisa pergi belanja.Pembuat OnarOke, asal boleh habisin isi saldo.Kanebo KeringJangan macam-macam, Binar!Pembuat OnarApaan sih? Macam-macam gimana? Gue cuma mau pulang dan tidur siang aja. Salah?Kanebo KeringKita bisa ketahuan kalau kamu terus keras kepala.Pembuat OnarKita nggak akan ketahuan kalau lo nolak kedatangan mereka.Kanebo KeringMereka teman-teman saya.Pembuat OnarApa gue mesti undang Noni sama Prisil juga? Rayain rumah baru sama-sama lebih meriah jadinya! Mubazir aja kalau nanti kue sama pizzanya nggak habis. Kita kan harus IRIT.Kanebo KeringBINARRRR ....Pembuat OnarHmm?Nara, Bagas dan Emily terlonjak saat tak ada angin atau hujan, tiba-tiba Agra melempar ponselnya begitu saja ke atas meja, menimbulkan bunyi kletak keras yang berhasil mengundang beberapa pasang mata dari meja di sekitar mereka. Termasuk Prisil dan Noni.Binar, pelaku yang paling tahu alasan Agra merasa kesal, memasang tampang sepolos pantat sapi. Gadis itu memutar-mutar ponselnya dengan satu tangan sambil bersiul-siul santai, meski yang keluar dari mulutnya hanya udara yang terdengar bagai desing angin puting beliung alih-alih siulan.“Ada yang salah, Gra?” tanya Nara khawatir.Bagas mengangkat satu alisnya. “Lo sakit?”Agra bahkan tak bisa tersenyum saat satu-satunya hal yang ingin ia lakukan saat ini adalah menyeret Binar dan menguncinya di dalam ransel besar sampai rasa kesalnya hilang. “Tangan gue berkeringat,” jawabnya, dan ia tidak berbohong. Tangan lelaki itu memang berkeringat lantaran berusaha keras ditahan untuk tak mencekik makhluk di meja sebelah yang kini tercengir lebar hingga giginya nyaris kering.Meraih kembali ponselnya yang tergeletak malang di samping piring stik kentang, Agra berdeham pelan. “Kalau nanti makan-makannya di luar aja gimana?”Nara, Bagas dan Emily tidak langsung menjawab. Sesaat mereka saling pandang sebelum kemudian Emily bertanya, “Kenapa? Lo nggak suka kita datang ke apartemen lo?”Nara yang sepertinya sangat mengerti Agra menambahkan, “Kita nggak bakal bikin berantakan, kok.”Agra mengusap-usap lehernya dengan memberi banyak tekanan di telapak tangan untuk mengurangi rasa frustrasi yang akhir-akhir ini seringkali datang menyerang. Tepatnya, sejak ia menikah.Benar, pernikahan mereka bahkan belum ada dua minggu, tapi Agra sudah dibuat kalang kabut begini!“Bukan gitu,” ia memeras otak pintarnya untuk kembali mencari alasan, “apartemen gue masih berantakan.”“Bagus dong!” Bagas melempar stik kentang ke udara dan menangkap dengan mulutnya. “Kita bisa sekalian bantu beres-beres,” tambahnya sambil mengunyah.Menyerah, Agra menunduk pada ponselnya dan kembali mengetik pesan untuk teman serumah di meja sebelah.Kanebo KeringTerserah. Hari ini teman-teman saya akan tetap datang. Kalau kamu berkeras pulang cepat, kita tidak punya pilihan lain.Pembuat OnarApa ini ancaman?Kanebo KeringKamu boleh menganggapnya begitu.Agra menantangnya? Binar mengeratkan genggaman pada ponselnya yang luar biasa keras sampai membuat sela antara jempol dan telunjuknya terasa ngilu.Bukan Binar namanya kalau suka mengalah. Tidak, Binar tak terlalu suka keributan dan keramaian, tapi ia lebih tak suka diremehkan. Kalau saat ini Binar mengalah, bukan tak mungkin Agra akan berpikir dirinya mudah dan bisa saja nanti akan berbuat semaunya.Ini saja lelaki menyebalkan itu sudah melanggar peraturan yang ditulisnya sendiri!Menarik napas panjang, Binar letakkan ponselnya ke atas meja kembali. Ia menaikkan dagu lebih tinggi dan memisahkan kakinya yang semula dalam posisi tumpang tindih sebelum bangkit berdiri, kemudian melangkah ke arah meja Agra yang hanya terpisah tak sampai dua meter dari tempatnya.Berhenti tepat di belakang lelaki itu, Binar berdeham. Noni dan Prisil yang melihat gadis itu kehilangan kata-kata. Mereka bertukar pandang dengan kening mengernyit dalam, seolah saling bertanya, 'teman lo ngapain? Kesurupan kah?'“Jadi kalian mau ada pesta kecil-kecilan nanti siang?” tanya si gadis gila dengan nada riang.Di tempat duduknya, Noni menepuk jidat keras-keras. Prisil memalingkan muka seakan berusaha menyembunyikan diri. Kenapa akhir-akhir ini Binar suka sekali mencari masalah dengan kelompok itu?Serempak, kawan-kawan Agra mendongak menatap Binar. Sedang manusia incaran gadis itu mematung bagai manekin telanjang di depan toko.“Ck, nggak cuma nyebelin, lo suka nguping juga ya?” Bagas mendengus jengah, tampak sekali muak melihat Binar.“Obrolan kalian cukup bisa didengar tanpa harus menguping. Yakan, Pris?” Binar menoleh ke samping sambil berkedip-kedip polos, ke arah Prisil yang pada akhirnya hanya bisa kicep sebelum mengangguk tak yakin, padahal ia ingin bersikap pura-pura tidak kenal jika saja cukup tega.“Kalau pun kami mau adain perayaan kecil-kecilan, lo mau apa?” Emily yang tak mau repot-repot menyembunyikan rasa tak sukanya, mendelik.“Mmm ...” Binar mengetukkan jari telunjuknya ke dagu tiga kali. Bersikap menyebalkan seperti biasa. “Gue satu kelompok makalah manajemen strategi sama mereka,” jawabnya sambil menunjuk tiga orang di meja itu selain Emily. “Boleh gabung, kan ke perayaan kalian?”Prisil tersedak ludahnya sendiri. Noni yang selalu bisa membawa diri, ternganga bagai orang tolol.Bagas, Nara dan Emily jangan ditanya. Mereka menatap Binar seolah gadis itu benar-benar hilang akal. Sedang Agra—Kehilangan kata-kata bukan lagi hal yang tepat. Terkejut pun sepertinya masih terlalu ringan. Binar yang tak pernah bisa ditebak selalu berhasil membuat Agra nyaris jantungan. Untungnya, ia mengalami anemia sejak kecil. Kalau tidak, mungkin pembuluh darah Agra sudah benar-benar naik sampai otak dan pecah! Membentuk gumpalan di sana yang akan menjadi alasan kematiannya.Apa yang bisa Agra lakukan pada gadis ini? Dia bahkan lebih licin dari belut, lebih liar dari macan, dan lebih cerdas ketimbang kancil—dalam hal mengelabui orang, tidak untuk akademis.Menolaknya hanya akan menimbulkan masalah lain.Maka, menarik napas panjang, Agra tahan karbon di oksida lebih lama di dadanya. Menunduk pada ponsel yang sengaja ia tambah kontras kecerahan dan agak dibentangkan agar Binar bisa melihat, ia mengetikkan sesuatu setelah mengatur ukuran font menjadi sangat besar. Lalu ditulis dengan kapital.MARI KITA MATI BERSAMA.Binar yang paham hal itu dimaksudkan padanya hanya mengangkat alis dan berdecih.Berbeda dengan teks yang ditulisnya, pada teman-teman yang lain Agra memasang tampang datar tanpa beban. “Lebih banyak orang mungkin akan lebih seru,” ujarnya sambil mematikan layar ponsel dan memasukkan benda pipih tersebut ke kantong kemeja, berhasil membuat ketiga kawannya terheran-heran, bahkan tak mampu mengeluarkan komentar.Benarkah yang kini bersama mereka adalah Agra Mahandika? Karena kalau memang demikian, lelaki itu terlalu banyak berubah akhir-akhir ini. Seperti bukan Agra yang mereka kenal. BAB 15“Bin, kayaknya lo beneran harus diruqyah, deh!”“He-eh. Sejak kapan lo suka berurusan sama Agra dan temen-temennya?”“Pakai segala ngelibatin kita lagi!”“Kalau mau nambah musuh nggak usah ngajak-ngajak, lah.”“Dan entah kenapa bulu kuduk gue berdiri sekarang.”“Nggak cuma lo doang. Gue juga. Mau ngapain kita nanti di rumah Agra? Bengong kayak kambing congek, sedang mereka asyik ngobrol gitu?”“Suasana canggungnya udah kebayang.”“Apalagi mulut pedas si Bagas.”Binar hanya memutar bola mata di sepanjang perjalanan menuju tempat tinggalnya, mengabaikan ocehan Noni dan Prisil yang tak henti menyalahkan dan terkadang mengajak putar balik di kursi belakang. Biar saja, pikir Binar. Toh, teman-temannya tak akan tega menumbalkan ia sendiri ke kandang singa. Anggap saja dua sahabatnya hanya merasa khawatir, meski hanya pada diri sendiri. Mereka jelas tahu betapa menyebalkan Agra dkk. Dan benar, Binar mungkin positif gila. Padahal Agra sudah memberi solusi aman agar ia tidak langsung pulang, pun menyarankan belanja. Binar saja yang cari penyakit hanya karena tidak ingin kalah dari pemuda menyebalkan itu. Alih-alih merasa antusias mengganggu aktivitas suaminya, yang ada Binar mulai menyesal.Apa yang akan terjadi nanti di rumah mereka? Ugh, salahkan egonya yang terkadang tak bisa diajak berkompromi.Memarkirkan mobilnya di basement apartemen tepat di samping kendaraan Agra yang juga baru tiba, Binar mengembuskan napas panjang melalui mulut sebelum membuka sabuk pengaman. Ah ... ya, mobilnya sudah selesai diperbaiki dan diantarkan kemarin malam oleh sopir Hilman, salah satu hal yang sangat Binar syukuri karena mulai kini ia tidak harus memanggil taksi daring untuk pergi-pergi.Keluar dari mobil, Binar rasakan seseorang menarik kuat tangannya. Menoleh ke samping, ia dapati Prisil yang memonyong-monyongkan bibir seolah masih ingin mengomel tanpa menimbulkan suara. Di sisi lainnya, Noni melipat tangan kesal. Sedang di hadapan mereka, Agra dkk sama sekali tak menyembunyikan ekspresi dongkol. Jelas sekali keempatnya tidak menyukai kehadiran Binar dengan dua tamu undangan lain yang tak diharapkan. Tapi, apa mau dikata saat sang tuan rumah mengizinkan?“Ikuti gue,” ujar Agra setengah enggan. Ia sempat mendelik pada Binar sebelum berbalik dan melangkah menuju lift.Pun seperti yang Prisil duga, suasana jadi sangat canggung. Yang mengobrol hanya kelompok Agra, itu pun yang aktif hanya Bagas dan Emily. Nara sesekali menimpali. Agra jangan ditanya lagi. Lelaki itu hanya diam menghadap pintu aluminium lift dengan dua tangan dimasukkan ke kantong celana. Binar dan kawan-kawannya diam di pojokan. Binar ingin mengobrol sebenarnya, tapi bahkan sebelum satu huruf vokal keluar dari bibir, Noni menyekap mulutnya lebih dulu.“Nggak usah cari gara-gara lagi!” tegurnya dengan nada lirih yang Binar balas dengan dengusan.Tiba di lantai enam, pintu llift terbuka. Agra keluar pertama kali, berjalan lurus hingga sampai di unit tempat tinggalnya dan segera menekan pin di bawah gagang pintu hingga kunci terbuka. “Selamat datang di rumah gue,” katanya pada teman-teman sendiri. Kawan-kawan Binar sama sekali tak ia lirik. Saat tak sengaja beradu pandang dengan Prisil atau Noni, Agra hanya akan mengangguk kecil dengan tampang datar sebagai basa-basi. Sumpah mati ia masih kesal pada Binar yang ... berani sekali gadis itu! Dia benar-benar mengundang teman-temannya yang malang. Tampak sekali Noni dan Prisil begitu tertekan. Entah bagaimana Binar mengancam mereka agar mau bergabung. “Mari, silakan masuk.” Ia melebarkan celah pintu dan menyerongkan tubuh agar para tamunya masuk lebih dulu. Binar tidak termasuk tamu. Jadi saat tiba giliran gadis itu yang kebetulan berada paling belakang, Agra langsung melengos dan menyusul yang lain.“Ini beneran unit tempat tinggal lo, Gra?” tanya Bagas begitu selesai membuka sepatu dan masuk lebih dalam. “Kecil banget.”“Ngapain gede-gede, Agra kan tinggal sendiri.” Emily menimpali dan ikut masuk lebih dalam.Sedang Nara masih berdiri di sisi pintu, menatap lama rak sepatu tiga susun yang ... tampak aneh di matanya. “Lo tinggal sama Aira, Gra?” tanyanya kemudian. “Ada sepatu perempuan,” tambahnya yang praktis membuat semua mata di ruangan itu mengarah ke tempat yang Nara tunjuk.Benar, ada sepatu perempuan. Banyak. Tiga pasang.Agra dan Binar spontan saling pandang dengan tatapan horor, seolah saling menyalahkan. Bagaimana bisa Agra mengundang teman-temannya datang saat bahkan lelaki itu belum menyembunyikan barang-barang Binar? Ck, benar-benar salah waktu.“Lo tinggal sama Aira?” Bagas mengulang pertanyaan saat sang tersangka utama malah bengong alih-alih memberi jawaban. “Tumben dia mau jauh-jauh dari nyokap kalian.”“Mm,” Agra berusaha tersenyum wajar, hanya saja ekspresi wajahnya sama sekali tak wajar, “Aira sering datang,” katanya sambil mengedikkan bahu, berharap jawabannya meyakinkan.Sepertinya berhasil. Bagas hanya mengangguk-angguk kecil sebagai tanggapan sebelum membawa dua kotak pizza yang sejak tadi ditengtengnya ke atas meja ruang tengah sebelum duduk bersila di lantai, sedang tas punggungnya ia lempar ke sofa.Agra bersyukur tadi pagi sempat beres-beres. Tidak bisa dibayangkan apa jadinya kalau meninggalkan rumah dalam keadaan berantakan pada Binar.Lanjut melepaskan sepatu, Nara menoleh ke belakang, ke arah Binar, Noni dan Prisil untuk sekadar memberikan senyum ramah pada mereka dan mengajak masuk. Yang Noni dan Prisil jawab dengan anggukan segan, sedang Binar meringis. Ia makin menyesal saja. Bergabung dengan Agra dkk sama saja bunuh diri. Pantas saja lelaki itu mengajak mereka mati bersama.Membuka sepatu untuk ikut duduk, gerak tangan Binar terhenti saat mendengar celetukan Noni. “Kok gue kayak kenal model sepatu adik Agra, ya?” yang berhasil menarik perhatian Prisil hingga ikut menoleh.“Eh iya.” Dengan polosnya, Prisil langsung menunjuk rak, pada sepatu bermotif lucu yang sangat sering Binar pakai saat mereka jalan-jalan bersama ke mal. “Ini mirip punya lo yang dibeliin Kakek di Milan tahun lalu, kan?”Suasana menjadi hening seketika. Bagas batal membuka kotak pizza. Kue di tangan Nara bahkan nyaris meluncur ke lantai andai tak segera Emily tahan dan dengan hati-hati bantu diletakkan ke atas meja kopi berukuran sedang di atas televisi. Jangan tanya Agra, bukan sepatu Binar yang ia khawatirkan sekarang, melainkan sesuatu di kolong meja. Kumpulan buku manajemen strategi yang mereka dapatkan dari perpustakaan kampus dan diserahkan pada Binar sebagai sumber materi. Kalau Bagas atau Nara melihat ini, tamat sudah riwayatnya.“Sepatu kayak gitu banyak kali, Pris!” Binar menggeplak pelan bahu Prisil, mengabaikan keinginan untuk menendang diri sendiri. Aish, seharusnya ia memang tak usah sok-sokan menantang Agra dan mengajak serta teman-temannya ke sini. Terlalu banyak jejak Binar di apartemen ini.“Masa sih? Dari banyaknya orang yang gue kenal, setahu gue cuma lo yang pernah pakai sepatu kayak gini.”Bagas mendengus keras seperti banteng, jelas untuk meremehkan pernyataan polos Prisil. Lelaki itu lanjut membuka kotak pizza dengan kasar. “Lo pikir, Binar doang yang bisa beli sepatu kayak gitu?”Noni menyenggol lengan Prisil saat gadis itu membuka mulut hendak membalas. Saat ini mereka sedang berada di kandang musuh, jadi lebih baik bersikap kalem. Simpan dulu kebarbaran di balik senyum manis. Meski niat hati ingin sekali mencekik Binar yang telah membuat mereka terjebak dalam situasi aneh seperti sekarang.Untungnya, Prisil mau menurut. Ia pun kemudian membuka sepatunya dan masuk bersamaan dengan Noni, kemudian mengambil tempat di dekat sofa yang sengaja dijauhkan dari meja, di samping Nara yang paling ramah.Binar yang mendadak resah, berpikir keras. Teman-teman Agra kemungkin akan berada cukup lama di rumah mereka, jadi Binar harus membereskan beberapa benda yang mengancam membuat rahasia mereka terbongkar, seperti ... kamar mandi! Banyak barang-barang Binar di sana, termasuk rangkaian perawatan tubuh dengan aroma dan merek yang sangat Noni dan Prisil kenal. Kecurigaan pada sepatu sudah cukup membuat jantung mau copot, dan bisa diakali dengan kebetulan. Tapi, kebetulan macam apa yang berulang-ulang?Membuka sepatu sendiri dengan terburu-buru, Binar mendekat ke arah Agra yang masih berdiri bagai orang bodoh di belakang sofa, menatap jauh ke bawah seolah ingin menyingkirkan sesuatu. Mengikuti arah pandang lelaki itu, sekali lagi jantung Binar merasa tidak aman.Berdeham pelan, Binar berujar menggunakan nada seceria mungkin untuk menutupi rasa gugupnya. Agra benar. Ini sama saja dengan mereka berusaha mati bersama. Andai tidak keras kepala, ia tak harus ikut merasa pusing begini. Teman-teman Agra tidak mengenali barang-barang kepunyaan Binar, mereka akan percaya benda-benda feminim di apartemen ini milik Aira. Hanya saja, Binar yang luar biasa cerdas ini malah berkeras ikut. Mengundang Noni serta Prisil pula hanya karena merasa tak adil sebab hanya Agra yang bisa mengajak teman-temannya datang. Andai saja ia mau berpikir lebih panjang sedikit! “Gue boleh pinjam kamar mandi?” Kepala Binar sedikit miring ke kiri, bola mata-nya bergerak-gerak liar mengarah ke pintu di sisi kanan mereka seolah berkata, gue harus buru-buru beresin barang-barang.“O-ooh,” seakan mengerti, Agra langsung meresponsnya. “Di sebelah sana. Silakan pakai selama yang kamu mau.”Begitu Binar pergi, Agra mendesah. Satu beban terbesar mereka terangkat, sekarang ia hanya bisa berdoa banyak-banyak agar teman-temannya tidak menemukan tumpukan buku di bawah meja rendah itu.Tepuk tangan Bagas menarik perhatiannya. Sadar sudah terlalu lama berdiri, Agra pun segera duduk di samping kawan lelakinya itu yang kini menarik satu potong pizza dengan wajah kelaparan. “Mari kita mulai berpesta!” serunya sambil mendorong kotak kardus gepeng tersebut ke tengah meja agar yang lain juga bisa mudah mengambil satu-satu.“Boleh minta gelas sama pisau roti nggak, Gra?” Nara menunjuk dua botol besar minuman bersoda serta kue tar cantik yang sempat mereka beli di perjalanan.“Ada di kabinet kok, ambil aja—” jawabnya enteng sebelum kemudian menyadari ... tadi pagi ia menempelkan banyak memo di kulkas. Spontan Agra menoleh ke dapur lantas segera berdiri. “B-biar gue yang ambilin,” buru-buru ia mencegah Nara yang sudah hendak ikut berdiri dan mengambilkan segala sesuatu yang gadis itu minta.Gelas dan pisau roti. Agra mengacak rambut frustrasi. Ia melangkah ke arah kulkas dan bernapas lega—lagi—begitu melihat memo yang ditempelkannya sudah raib. Baguslah kalau Binar membuangnya. Lain kali Agra harus berpikir dua kali membawa teman-teman ke sini. Ini sama saja dengan siksaan batin. Hal-hal kecil bisa membuat rahasia pernikahannya dengan Binar terancam. Dan Agra baru menyadari itu sekarang. Sebelum ini, ia hanya berpikir, selama Binar tidak di apartemen, aman-aman saja mengundang kawan-kawannya. Tanpa tahu, terlalu banyak kejanggalan di sini untuk ukuran tempat tinggal seorang bujang.Setelah mendapatkan benda-benda yang dibutuhkan, Agra kembali ke ruang tengah dan menyerahkan beberapa gelas plastik yang disusun agar mudah dibawa, serta pisau roti pada Nara. Salah satu kotak pizza di meja sudah habis separuh. Bagas, Emily dan Nara tampak menikmati makanan dengan lahap, berbeda dengan teman-teman Binar yang jelas sekali canggung. Bukan salah Agra kalau dua gadis itu tidak nyaman di sini.“Apartemen lo Bagus, Gra,” Bagas berkomentar begitu menghabiskan pizza potongan kedua. Membersihkan remah-remah dari kemeja denimnya, lelaki itu mengambil salah satu camilan dari kresek putih yang diletakkan di atas sofa. “Tapi,” ia celangak-celinguk, menatap agak lama pada sofa ungu, kertas dinding perpaduan merah jambu dan abu-abu serta tirai beludru bermotif embos yang sewarna dengan sofa, “ini kayak bukan selera lo banget. Pink? Ungu? Sejak kapan?”Agra berusaha menghindari tatapan Bagas yang ternyata cukup mengenalnya. Tentu saja, mereka sudah berteman sejak SMA, pun Bagas beberapa kali masuk ke kamar Agra di rumah. Tak heran Bagas mengenal seleranya. Dan dekorasi apartemen ini sama sekali bukan Agra. Wajar saja, yang menyiapkan adalah kakek Binar. Tentu selera sang cucu akan lebih diutamakan.“Iya. Desainnya terlalu feminim.” Emily ikut menambahkan. “Lo kan sukanya yang kasual.”“Pas gue datang, kondisi apartemennya udah gini.” Agra mencari jawaban paling aman. “Lagian Aira suka warna pink.” Sama seperti seseorang yang kini mungkin sedang sibuk di kamar mandi. Entah apa yang dilakukannya di sana. Bukankah ini sudah cukup lama?Seolah sepemikiran dengan Agra, Nara menatap pintu kamar mandi sekilas sebelum menoleh pada Noni dan Prisil. Gadis itu meletakkan beberapa camilan kemasan di samping kawan-kawan Binar serta dua gelas dan satu botol minuman bersoda. “Binar memang biasa lama di toilet, ya?”Yang ditanya bertukar pandang sebelum kompak menggeleng. “Nggak, kecuali kalau di rumahnya sendiri. Bisa sampai dua jam.” Di akhir kalimat, Noni nyengir ke arah Agra seolah memohon pemakluman.Ya ampun, Agra ingin menepuk kening. Jawaban Noni ambigu sekali. Agra jadi ragu Binar benar-benar tidak menceritakan perihal pernikahan mereka pada dua sahabatnya!“Kayaknya bukan cuma di rumah sendiri, di rumah orang lain yang sama kaya juga!” Bagas dan mulutnya yang memang tak disekolahkan, menimpali dengan nada nyinyirnya yang menyebalkan.“Ya kan kalau di rumah orang kaya toiletnya bersih, jadi betah!” Objek pembicaraan mereka akhirnya keluar dari kamar mandi, pun langsung mengambil tempat di antara Prisil dan Bagas. Ia bahkan sengaja mendorong paha lelaki itu—sedikit menendang—dengan kakinya agar mendapat tempat lebih lebar dan nyaman sebelum kemudian menjatuhkan diri dan duduk bersila dengan nyaman, lantas mengambil pizza langsung dua potong tanpa mengabaikan tatapan aneh yang lain. Menimpanya jadi satu, Binar makan dengan gigitan besar. “Gue lapar!” serunya begitu berhasil menelan kunyahan pertama, lantas kembali melahap suapan kedua tanpa malu.Hanya dengan melihat saja, Agra sudah kenyang, padahal ia belum ada mengambil satu pun dari makanan yang berserakan di atas meja. Jantungnya masih tak aman selama orang-orang ini di sini.“Omong-omong, gue belum salat dzuhur. Ada yang bawa mukena?” Emily membersihkan remah-remah dari sudut bibirnya. Ia menoleh pada Nara yang kemudian menjawab dengan gelengan.“Gue juga belum.” Prisil melirik jam dinding di atas televisi. Jarum kecil dan besar di sana sama-sama menunjuk angka dua. Kalau nekat pulang sekarang, kemungkinan saat sampai di rumah waktu salat sudah habis, padahal ia sudah tidak betah di apartemen Agra. Ah, Binar! Prisil membatin kesal. Ia berjanji dalam hati akan menoyor kepala gadis itu nanti.“Nggak ada yang bawa?” Noni memastikan. “Lah, kita salatnya gimana? Nggak mungkin pinjam sarung Agra, kan?”“Ada kok di kamar.” Binar menyeletuk tanpa sadar. Ia masih asyik makan. Terlalu asyik hingga membuat Agra nyaris jantungan dengan ujaran tanpa sadarnya. Usai menghabiskan dua potong pizza, ia mengambil kue tar dengan lelehan cokelat, sesekali meminum soda dengan kenikmatan yang tak ditutup-tutupi.Geram, Agra sedikit memundurkan tubuh, kemudian mencolek keras pinggang Binar melewati tubuh Bagas. Berdecak kesal dengan mulut penuh, Binar menoleh hanya untuk mendapati Bagas yang menatapnya dengan satu alis terangkat dan tatapan penuh tanda tanya. “Mukena di kamar?” ulangnya.Binar terpaksa menelan semua isi di mulutnya yang bahkan belum halus terkunyah hingga nyaris tersedak saat menyadari, tak hanya Bagas yang menatap aneh, tapi yang lain juga. Agra paling horor, bola matanya seolah akan melompat dari rongga.Terbatuk-batuk kecil, Binar menepuk dada pelan. Bola matanya berlarian ke kanan dan kiri, berusaha berpikir keras sebelum akhirnya tersenyum lebar dengan sisa krim di sudut bibir. “Mmm ... dia tadi bilang,” ia menunjuk pada Agra dengan tangan kanan yang masih memegang piringan kertas berisi sisa sepotong kue, “Adiknya sering datang. Jadi, pa-pasti nyimpen mukena, kan?”Cepat-cepat Agra mengangguk. “Iya. Ada kok.”Alibi yang sempurna. Bagas dan yang lain sepertinya bisa menerima jawaban tersebut.Binar benar-benar ingin gila rasanya.“Gue pinjam, ya, Gra.” Nara berdiri. Barangkali hendak ke kamar mandi untuk mengambil wudhu atau apa. Entah. Yang penting situasi aman.Binar menyuap kuenya kembali meski nafsu makannya sudah hilang lantaran ulah mulutnya barusan.“Iya, pakai aja.”“Nanti salatnya di kamar lo apa gimana?”Uhuk!Agra dan Binar sama-sama tersedak. Binar tersedak kue, sedang Agra tersedak ludahnya sendiri.Kenapa mereka tidak memikirkan ini?“I-itu—” Agra melirik Binar yang kini menepuk-nepuk dadanya lagi, kali ini lebih keras, sekilas.Kalau Nara masuk kamar mereka bisa bahaya, karena lebih banyak jejak Binar di sana! Menyuruh para gadis ini salat di ruang tengah juga tidak mungkin. Ruang tengah cukup sempit ditambah dengan berbagai makanan serta bungkus camilan yang berceceran. Kotor.Merebut gelas minum di tangan Bagas, Binar tandaskan isinya hingga tengorokan dan dadanya merasa lebih baik. Umpatan Bagas yang kesal karena minumannya direbut tak sama sekali ia hiraukan.Meletakkan nyaris membanting gelas plastik yang sudah kosong itu ke atas meja, Binar buru-buru ikut berdiri. “Gue duluan! Gue duluan!” katanya seperti orang kesurupan. “Lo habis gue, oke!” Lantas buru-buru berbalik dan kembali ke kamar mandi, kemudian menutup pintu dengan keras saking tak sabarannya.“Binar bukannya lagi datang bulan?” Prisil berbisik pada Noni yang tampak tak kalah heran.Mengangguk, temannya menjawab dengan nada bisikan yang sama, Tadi sebelum berangkat ke sini, dia bahkan minta pembalut sama gue karena lupa bawa ganti.Lalu ... kenapa Binar berkeras ambil wudhu lebih dulu dan salat? BAB 16Agra tidak ingat kapan terakhir kali ia merasa selega ini. Usai teman-temannya pulang, ia langsung menjatuhkan diri ke atas sofa yang berantakan. Lupakan kata kotor dulu, Agra hanya ingin menikmati kenyamanan ini sebentar. Hanya sebentar sebelum nanti kembali lelah setelah beres-beres.Eh, tapi tunggu. Kenapa ia harus berlelah-lelah sendiri saat ada Binar yang juga bertanggung jawab atas kekacauan yang terjadi?Bah, Binar! Dalang yang sudah membuat Agra tidak tenang sepanjang sisa siang hari ini. Beruntung semua berakhir lancar. Walau Agra yakin, salah satu dari lima orang yang baru saja pulang dari sini pasti ada yang terheran-heran dan bertanya-tanya tentang keanehan sikapnya atau Binar.Andai Binar mau menuruti perkataannya untuk tidak pulang lebih dulu, mereka tak harus terjebak dalam keadaan seaneh tadi.Bayangkan saja, dua jam sebelumnya, Binar yang sudah keluar dari kamar mandi usai mengambil wudhu dengan wajah yang masih basah, melangkah cepat ke arah kamar mereka. Agra paham kenapa dia berkeras salat lebih dulu kendati lelaki itu tahu betul istrinya sedang haid.Tepat saat Binar menyentuh kenop pintu kamar, hendak membukanya, Prisil bertanya dengan nada polos. “Lo udah mandi wajib, Bin?”Si ceroboh, yang dari jutaan wanita di dunia tapi malah dia yang terpilih sebagai istri Agra, Berbalik ke belakang dengan wajah bodohnya. “Hah?”“Lo bukannya masih mens?”Agra mengutuk seluruh dunia saat itu. Terlebih saat melihat reaksi ketiga temannya sendiri. Emily yang mengangkat alis dengan kepala agak miring ke samping saat menatap Binar. Kening Nara yang berkerut dalam. Dan Bagas yang menatap Binar nyaris terlalu tajam.Makhluk menyebalkan yang kini menjadi pusat perhatian, sejenak tampak linglung. Matanya meliar seolah sedang mencari-cari. Tentu saja mencari alasan terbaik agar ... tidak dicurigai tentu saja. Begitu tatapannya bertemu dengan Agra, gadis itu cemberut dan memasang tampang semelas kucing kelaparan, meminta pertolongan.Mendesah kecil, Agra memberi isyarat dengan dagu agar Binar menyingkir dan menyerahkan urusan membereskan kamar padanya.Mau bagaimana lagi? Walau dalam hati ia gemas sekali ingin mencekik Binar.Mengangguk kecil tanda ia percaya pada Agra sepenuhnya saat itu, Binar nyengir lebar ke arah yang lain hingga seluruh giginya terlihat. “Gue lupa,” katanya sambil menggaruk-garuk tengkuk, lantas kembali bersama yang lain, duduk di tempat semula.“Halah, bilang aja lo pura-pura lupa karena pengen masuk kamar Agra.” Bagas di sampingnya, menuang minuman soda ke gelas kosong. Ia melirik Binar dengan pandangan penuh mencemooh.“Ngapain gue kepo sama kamar Agra?”Sang lawan bicara mengedik bahu tak acuh, ia kembalikan lagi botol soda yang sudah tinggal separuh ke tengah meja. “Siapa yang bisa tahu isi hati kecil lo yang picik, kan?”Grrrr ....Binar sudah mengangkat tangan untuk menggeplak Bagas demi memberinya pelajajaran, tapi langsung ditahan Prisil. Noni bahkan memelototinya, seakan Binar anak TK yang selalu membuat masalah dan perlu dijaga.“Manusia tempat salah dan lupa, Gas.” Prisil yang selalu menghindar agar tidak pernah berurusan dengan Bagas lantaran omongan pedasnya, bersuara untuk membela.“Benar,” Bagas mengangkat gelas minumnya ke udara, seolah mengajak Prisil bersulang sebelum menegak dua tegukan lalu kembali meletakkannya ke meja. “Tapi teman lo kayaknya pengecualian. Dia selalu salah dan lupa.”“Lo—” gagal dengan tangan kanan yang masih Prisil tahan, Binar bersiap mengangkat tangan kiri untuk menganiaya Bagas. Sayang tatapan tajam Agra menghentikannya.Ugh!“Apa?” Bagas mengangkat dagu, menantang agar Binar melanjutkan apa pun yang hendak gadis itu perbuat.Tahu dirinya tak bisa berbuat semena-mena, tangan yang sudah terlanjur ia angkat ke udara, Binar belokkan ke arah meja dan meraih botol besar soda yang isinya sudah tinggal separuh, lantas meminumnya langsung tanpa menuangkan ke gelas, seperti manusia gurun yang kehausan lantaran sudah bermingu-minggu tidak menemukan mata air.“Itu soda terakhir kita!” Emily berseru tak terima. “Lo minum langsung dari botolnya?!”Bersendawa keras usai meminum tiga teguk, Binar berkedip-keddip. “Kenapa? Nggak gue habisin kok?” Ia balik bertanya dengan wajah sok lugu.“Agra bahkan belum ikut minum sama sekali.” Nara yang selalu tampak ramah, kali ini terlihat sedikit marah saat menatap Binar.Berkedip lebih pelan, Binar meluruskan lengannya, melewati tubuh Bagas, pada Agra yang tak banyak bicara. “Mau?” Ia menawarkan, lengkap dengan senyum lebar yang berhasil membuat Agra lebih dongkol.“Lupakan.” Pemuda itu dorong botol yang Binar sodorkan menjauh.“Kenapa? Lo jijik karena bekas bibir gue?” Binar yang keras kepala, kembali menyodorkan botol sodanya.“Jangankan Agra, gue aja ogah!” sergah Emily kesal.Binar mengedik tak acuh. Ia tarik tangannya kembali. “Yudah kalau gitu. Ini biar gue sama teman-teman gue aja yang minum. Mereka nggak jijik sama bekas bibir gue,” katanya lantas mengisi dua gelas temannya yang sudah kosong sejak tadi, tapi tidak berani menambah. Barangkali merasa tidak enak hati pada kawan-kawan Agra. Lantas mengisi gelasnya sendiri sampai penuh sebelum mengangkatnya ke udara. “Mari kita bersulang!” ujarnya kemudian dengan nada kelewat riang.Noni dan Prisil saling lirik sebelum ikut mengangkat gelas ragu-ragu. Tapi pada akhirnya, mereka ikut bersulang karena tak ingin mempermalukan Binar yang memang benar-benar memalukan. Setelah isi gelas habis, ketiganya tak lagi bisa menahan tawa menyadari betapa aneh situasi saat itu.Mencoba mengabaikan sang istri yang kini seolah punya dunia sendiri, Agra kembalikan atensi pada teman-temannya sendiri yang tampak kesal. Entah siapa yang bisa Agra salahkan sekarang. “Lo katanya mau salat?” Ia bertanya pada Nara yang cemberut kecil di sampingnya.Menoleh pada si penanya, Nara hanya mengangguk kecil. Jelas sekali suasana hatinya berubah buruk.“Ambil wudhu dulu sana. Biar gue beresin kamar bentar. Agak berantakan soalnya.”Agra dan berantakan, merupakan dua kata yang sulit digabungkan dalam satu kalimat. Karena siapa pun yang mengenal Agra, pasti tahu pemuda itu sangat mencintai keindahan dan selalu rapi.“Sejak kapan kamar lo berantakan?” Bagas menyenggol bahunya tanpa tedeng aling-aling.Agra mengusap tengkuknya pelan. Memang tidak berantakan. Hanya saja tak serapi dulu karena kini kamarnya bukan hanya miliknya. Tersenyum kecil, Agra menyahut pendek sebelum berdiri karena tak ingin teman-temannya makin banyak bertanya. “Gue harus siapin mukena.”Pada akhirnya, Agra yang harus beres-beres. Sedang Binar malah asyik menikmati makanan dan minuman seolah apartemen ini rumah sendiri.Walau memang benar.Menutup pintu kamar, Agra menguncinya agar tak ada yang bisa masuk dulu. Tidak lucu kalau tiba-tiba Bagas menyusul saat Agra sedang membereskan tas-tas istrinya yang ... kenapa perempuan harus punya banyak tas? Juga aksesoris yang ... Agra mendesah melihat meja rias dekat lemari. Berbagai macam perawatan wajah, alat rias dan beberapa benda yang sungguh tak Agra kenal.Tidak ingin pusing, ia pun mengambil kantong plastik bekas berukuran besar yang dilipat di laci. Kemudian membungkus semua barang-barang Binar untuk disembunyikan di kolong ranjang.Setelah dirasa cukup, ia memutar kunci. Begitu pintu terbuka, Agra sedikit terperajat lantaran kaget mendapati Nara sudah berdiri di sana.“Lo beresin apa aja, sih? Kok lama? Pakai kunci pintu segala lagi.”Yang Agra balas hanya dengan kedikan bahu seraya melebarkan celah pintu dan keluar. Dia juga harus mengambil wudhu.“Sarung buat gue udah lo siapin juga, kan? Gue nggak mau salat pake bawahan mukena,” kelakar sahabat lelakinya saat melihat Agra melintasi ruang tengah menuju kamar mandi.“Sudah.”Beruntungnya, setelah itu keadaan menjadi aman. Agra hanya perlu mengambil botol mineral besar dari kulkas sebagai ganti minuman soda mereka yang sudah dijarah oleh kelompok Binar. Pukul setengah empat, semua tamu mereka pun pulang. Binar ikut keluar. Ceritanya, gadis itu juga tamu sekarang. Dia mengantar Noni dan Prisil sekalian.Setelah ini Agra tidak ingin kedatangan teman-temannya lagi. Ia harus mencari berbagai macam alasan nanti, terutama pada Bagas saat mereka berkeras datang. Terlalu merepotkan. Agra jera dengan kekacauan siang ini.Mengembuskan napas panjang, Agra dengar bunyi pintu apartemen terbuka. Tak perlu bertanya, ia tahu yang pelakunya adalah Binar. Si biang kerok keras kepala itu.Pun memang benar. Detik kemudian, suara langkah diseret Binar terdengar makin dekat. Tak sampai satu menit, Agra rasakan sofa di sebelahnya melesak ketambahan beban. Lelaki yang semula merebahkan punggung dan kepalanya ke sandaran sofa sambil menengadah pada langit-langit ruangan dengan kelopak terpejam itu membuka satu matanya sebelum menoleh ke samping, pada wajah Binar yang penuh gurat kelelahan.Belum sempat Agra membuka mulut, Binar sudah lebih dulu mengangkat tangan. “Nggak usah ngomel-ngomel. Gue capek. Tanpa lo suruh, nanti juga bakal gue beresin.”Padahal siapa yang hendak mengomel? Agra hanya ingin mengajak beres-beres bersama. Tapi kalau Binar mau membersihkan apartemen ini sendiri, Agra juga tidak akan menolak. Baguslah kalau gadis itu sadar diri.“Kita nyaris ketahuan.” Agra kembali menghadapkan wajahnya ke langit-langit dan memejamkan mata lagi, menikmati istirahat singkat setelah siang yang terasa begitu panjang.“Lo harus bersyukur gue ikut. Seenggaknya gue bantu beresin kamar mandi.”Agra berdecih pelan. “Andai kamu tidak ikut, semua akan lebih mudah. Teman-teman saya hanya akan berpikir barang-barang perempuan di sini punya Aira. Tidak seperti Noni dan Prisil yang mengenal barang-barang kamu dan bikin kita nyaris ketahuan.”Benar juga. Binar mengerucut miring dan melipat dua tangannya di dada. Sama seperti Agra, ia mendongak ke atas dengan mata terpejam. Rasanya nikmat sekali setelah melalui badai. Ck, beginilah nasib memiliki hubungan rahasia. Ia jadi merasa seperti selingkuhan Agra alih-alih istri. “Kita nggak akan sesulit ini kalau mengumumkan pernikahan.”“Kamu mau seluruh dunia tahu kita adalah korban pernikahan bisnis?”“Tapi, pada akhirnya mereka semua akan tahu.”“Pada akhirnya,” Agra membeo, “nanti, setelah kita cukup dewasa dan siap menghadapi omongan mereka.”“Gue baru tahu kalau lo ternyata takut diomongin. Gue kira lo tipe manusia kanebo kering yang nggak acuh.” Di akhir kalimat, kata-kata Binar tak terdengar jelas karena bercampur kantuk. Dia menutup mulutnya yang menguap lebar, terdengar sangat mengantuk.Agra tak langsung menjawab. Bahkan desah napasnya tak terdengar selama kurang lebih tiga detik yang terasa panjang. Binar sudah hampir membuka mata dan menoleh padanya, tepat saat akhirnya lelaki itu berkata, “Kanebo kering juga akan lemah saat tekena air.”“Air?” tanya Binar dengan nada lemah.“Ya.” Agra melipat tangannya di dada dan makin melesakkan tubuhnya pada punggung sofa, mencoba mengendurkan urat-urat yang sempat menegang. “Kamu yang lebih diuntungkan dalam situasi kita, Binar. Kamu hanya akan dianggap gadis malang tumbal perjodohan keluarga. Sedang saya?” Agra tertawa mendengus. “Saya pasti dinilai sebagai laki-laki rendah yang tidak punya harga diri. Saya hanya akan menjadi robot yang harus patuh pada keluarga kamu. Menjalankan perusahaan kalian sampai penerus selanjutnya siap dilimpahi kewajiban. Penerus selanjutnya, yang diharapkan memiliki kemampuan seperti saya atau lebih.”Seharusnya Agra tidak perlu mengatakan ini. Binar tidak harus tahu perasaannya. Hanya saja ... entah mengapa saat ini terasa seperti waktu yang tepat untuk mengutarakan isi hati. Unek-unek yang sudah membebani kepalanya sejak berusia 15 tahun. Meski agak aneh, karena sebelum ini Agra sama sekali tak ingin Binar tahu apa pun tentangnya. Apa pun, yang berarti segala hal yang menyangkut dirinya. Sebab Binar tak akan pernah mengerti perasaan berada di posisi Agra.Menarik napas pendek, pemuda itu sudah bersiap mendengar tanggapan Binar yang bisa jadi hanya berupa dengusan atau decakan menjengkelkan. Namun, satu detik ... dua detik ... tiga detik ... bahkan sampai enam puluh detik, tidak ada tanggapan.Kembali membuka mata, Agra menoleh ke samping hanya untuk dihadapkan pada kenyataan bahwa dirinya ditinggal tidur.Ditinggal tidur!Sungguh tak bisa dipercaya. Agra sudah sok-sok serius mengeluarkan unek-uneknya hanya untuk menyadari ia berbicara sendiri.Lupakan! Lupakan! Mungkin lebih baik memang begini. Semesta saja tidak mengizinkan Binar tahu beban pikiran Agra.Lebih dari itu, siapa yang tadi mengatakan akan membereskan apartemen sendirian? Agra terlalu tinggi berharap Binar akan sadar diri.Kalau Binar sadar diri.Sayangnya, Binar tak pernah tahu diri. Alih-alih membereskan kekacauan seperti yang dikatakannya tadi, dia justru jatuh tertidur semudah itu. Bahkan kini mulai mendengkur pelan.Agra jelas kehilangan kata-kata. Ah, dia memang selalu kehilangan kata bila menyangkut gadis ini!Menggeram kesal, Agra sudah akan membangunkannya tepat saat gadis itu justru berbalik ke samping, menghadap ke arah Agra yang sudah siaga mengangkat tangan untuk mengguncang bahunya. Namun wajah polos dan kelelahan Binar membuat tangan Agra tertahan di udara. Tak tega.Rasa tak tega yang tidak pada tempatnya. Sebab, lantaran perasaan tak tega itu, pada akhirnya Agra yang harus membereskan ruang tengah. Mengumpulkan sampah-sampah plastik bungkus camilan. Mengelap meja yang terkena krim kue. Menyapu. Mengepel. Merapikan barang-barang.Binar?Dia mengorok makin keras.Agra harus cepat-cepat membuat daftar piket bersih-bersih! BAB 17- SENIN - RABU - JUMATBersih-bersih : BinarMemasak  : Agra- SELASA - KAMIS - SABTUBersih-bersih : AgraMemasak  : BinarBinar menatap catatan tempel yang ditulis dengan spidol tebal di pintu kulkas dengan semangat terkuras. Percuma saja merasa tak habis pikir pada Agra dan isi kepalanya yang benar-benar tak bisa ditebak. Lelaki itu benar-benar membuat jadwal piket untuk mereka.Berkedip malas, Binar memutar kepala ke belakang, sebatas bisa melirik teman serumah yang kini tampak begitu nikmat menyantap mie instan tanpa sama sekali menawarinya. Mengernyitkan hidung kesal, Binar pun berbalik, melangkah menuju meja bar dan mengambil tempat di sebelah lelaki itu yang ... ah, sudahlah. Apa yang Binar harapkan dari pemuda ini?“Mulai kapan jadwal piket berlaku?” Sepertinya Binar memang memiliki perut gembel. Bagaimana bisa ia nyaris ngiler hanya dengan mencium aroma taburan bawang goreng dan kuah mie instan?Agra menyeruput mie-nya hingga menimbulkan bunyi slurb yang membuat air liur Binar hampir saja terbit. “Mulai besok,” jawabnya sambil lalu.Besok. Rabu. Binar mendelik. “Pinter banget lo cari waktu.”“Kenapa?”“Gue kebagian piket bersih-bersih,” sungut Binar setengah mendengus. Ia melirik mangkuk Agra yang sudah hampir kosong dengan tatapan kecewa. Agra sungguhan tidak menawarinya kendati Binar sudah berada sedekat ini. Laki-laki memang tidak bisa membaca kode.“Besok saya juga piket masak.” Kunyahan Agra terhenti sejenak bersamaan dengan kata terakhir. Ia menoleh ke samping, pada Binar yang terang-terangan memperhatikan mangkuk mie-nya dengan tatapan lapar.Oh, tidak mungkin. Pasti Agra salah. Binar sudah menghabiskan separuh loyang pizza sore tadi sendirian. Kalau sekarang dia benar kembali lapar—Agra melirik ke bawah, pada perut Binar yang tak terlalu terlihat lantaran hoodie kebesaran yang gadis itu kenakan—ke mana perginya pizza-pizza tadi? Binar punya naga kah di dalam sana?Sadar sedang diperhatikan, gadis itu mengangkat satu alis jengah. “Apa?”“Kamu mau?” Agra mengedikkan dagu pada mangkuknya yang hanya tersisa kuah dan beberapa lembar mie yang mengambang menyedihkan. Benar-benar baik sekali suami Binar ini. Terlalu baik hingga Binar bahkan tak tahu bagaimana harus merespons.“Nggak. Makasih.”Agra mengedik tak acuh. Ia meletakkan sumpit yang tadi dipakainya ke atas lembar tisu yang dibentangkan di atas meja, lantas menyeruput kuah langsung dari mangkuknya hingga tandas dengan gerakan yang teramat anggun. Binar berkedip tak percaya melihat meja yang masih begitu bersih. Tak ada cipratan kuah atau setitik noda di sana. Agra makan dengan cara yang sangat rapi dan elegan. Berbeda dengan Binar saat menikmati mie kuah—cipratannya bisa ke mana-mana.Menurunkan mangkuk yang sudah kosong, Agra bangkit berdiri. Lelaki itu mengambil sumpit sekaligus bekas tisu yang tadi digunakannya untuk kemudian dibuang ke tempat sampah, lalu langsung mencuci barang-barang yang sudah digunakan tanpa membiarkannya menumpuk di kitchen sink. Tubuhnya yang tinggi menjulang, membuat lelaki itu harus sedikit membungkuk saat membalur sabun.“Kalau kamu mau, masih ada sisa mie instan di kabinet. Ambil saja. Satu,” ujar Agra tanpa menoleh, tak sadar memamerkan punggung lebarnya dari belakang. Yang harus Binar akui, memang cukup bagus untuk pemandangan sehari-hari.“Bukannya lo bilang nggak boleh ambil milik yang lain?” Binar mendengus keras seperti banteng. “Sampai-sampai lo ngasih pembatas di kulkas.” Mengingat hal tersebut hanya membuat Binar ingin mendengus lagi.Agra bergumam tak jelas. Ia menghidupkan keran dengan aliran air kecil dan mulai membilas. “Kamu pikir, saya sepelit itu? Dilarang mengambil itu kalau tanpa izin.”Oh. Binar mengalihkan perhatian pada bagian lain di dapur kecil mereka. Dalam hati bertanya, sejak kapan Agra baik begini? Dan kenapa, makin diperhatikan, Binar kian sulit mencari kekurangan dalam dirinya. Dia tidak sedingin yang Binar kira. Pun lumayan bisa diajak bicara. Apa yang tidak lelaki itu bisa? Pun, apa yang tidak lelaki itu miliki?Agra benar-benar seperti tokoh dalam novel fiksi dan drama-drama romantis. Tinggi. Tampan. Cerdas. Rajin. Terlahir kaya. Apa lagi yang kurang? Tak heran Hilman memilihnya sebagai kandidat utama sebagai calon suami paling potensial.Andai dia juga bad boy, buyar sudah. Binar pasti sungguh hidup dalam fiksi alih-alih dunia nyata.Sayangnya, ini memang nyata. Karena kalau benar mereka dalam fiksi, seharusnya Binar diperebutkan oleh dua lelaki super sempurna yang nanti akan membuat ia kebingungan memilih. Seringnya, tokoh lelaki yang bersaing adalah musuh bebuyutan atau dua sahabat lama.Ah, tapi sahabat lelaki Agra hanya Bagas. Memikirkan Bagas akan memperebutkannya saja sudah membikin Binar mual. Pun Agra tidak terdeteksi memiliki musuh. Lagi pula, kisah cinta segitiga rumit semacam itu hanya ada dalam drama atau novel. Di dunia nyata, bah! Untuk apa memperebutkan satu wanita sampai mempermalukan diri dan berdarah-darah saat masih banyak ikan di lautan? Lagipula, populasi kaum Hawa lebih banyak dari makhluk Adam. Ditambah, tak sedikit pula yang melambai.Binar salah satu yang beruntung. Atau sial. Mendapat jodoh di usia muda. Nyaris sempurna pula. Apa lagi yang bisa ia harapkan? Mengeluh tak ada cinta atau suaminya terlalu kaku hanya menunjukkan bahwa Binar tidak cukup tahu diri untuk bersyukur. Yah, walau kenyataan pernikahan ini ada karena urusan bisnis tak bisa begitu saja diremehkan. Sebab meski berat diakui, latar belakang perkawinan mereka bisa menjadi bom waktu yang kapan saja bisa meledak dan melukai baik dirinya atau Agra. Atau mungkin mereka berdua. Dan memikirkan itu saja sudah cukup membuat pening.Berusaha mengalihkan perhatian pada hal lain, Binar tatap punggung suaminya lebih seksama. “Lo punya kekurangan nggak sih?” tanyanya saat melihat cara Agra meletakkan mangkuk ke tempat pengeringan yang tampak begitu lihai, seolah kegiatan semacam itu sudah dilakukannya seumur hidup.Agra yang sudah selesai dengan kegiatan cuci mangkuknya, mengelap tangan pada handuk kecil yang tergantung di samping kabinet sebelum kemudian berbalik badan menghadap sang lawan bicara. “Maksud kamu?”“Lo pinter. Good looking. Kaya tinggi. Bisa masak—”“Saya nggak bisa masak. Belum.”Binar mengatupkan bibirnya yang semula masih terbuka. Ia menunjuk pada jadwal piket yang tertempel di pintu kulkas. “Terus, maksudnya itu apa?”Agra tak langsung menjawab. Lelaki itu mengangkat satu alis dan melipat tangan di dada seraya menyandarkan pinggulnya pada pinggiran bak cuci. “Terlahir dengan tubuh tinggi dan kaya memang takdir. Tapi, good looking masih bisa diusahakan dengan perawatan tubuh dan pakaian yang rapi. Selebihnya, pilihan.”“Maksud lo?”“Saya tidak terlahir pintar. Saya hanya memiliki kemauan belajar lebih besar. Saya juga belum bisa memasak, saya hanya bersedia berusaha memasak dengan berbekal belajar dari internet. Dan kekurangan saya sebanyak yang manusia lain miliki.”Tertampar. Terguling. Dan ter-ter lain yang membuat pipi Binar memerah lantaran merasa disindir. Namun ia tak mau membuat Agra besar kepala dengan menunjukkan kekalahannya. “Pembelaan manusia sempurna. Lo mau merendah buat meroket? Gimana bisa bilang nggak pintar saat lo punya IQ seratu delapan puluh?”“IQ seratus delapan puluh?” ulang Agra dengan nada sanksi. Ia menatap Binar seolah gadis itu alien terbuang yang menyamar menjadi manusia. “Siapa yang bilang saya punya IQ setinggi itu?”Binar menggeleng ragu. “Jadi, nggak? Anak-anak kampus sering bilang gitu.”Binar benci cara Agra menatapnya saat ini. Seperti orang yang ... takjub sekaligus merasa aneh. “Dengan IQ setinggi itu, saya bisa jadi Albert Einstein selanjutnya. Lagi pula, kecerdasan tidak diukur hanya dari nilai IQ. Banyak faktor lain.”Menggaruk tengkuk yang sama sekali tidak gatal, Binar mengalihkan tatapannya ke arah lain, tak kuasa menghadapi Agra yang sejak tadi menatapnya nyaris tanpa berkedip. Barangkali lelaki itu berpikir, bagaimana bisa ada manusia sebodoh Binar di muka bumi? Sial! “Jadi, nilai IQ lo yang bener berapa?”“Seratus dua puluh.”Seratus dua puluh? Binar membeo dalam hati. Kalau Agra yang menurutnya sudah super pintar hanya memiliki nilai IQ 120, lantas tokoh-tokoh fiksi yang sering ditemuinya di drama dengan IQ di atas 160 itu secerdas apa? Binar jadi benar-benar merasa dibodohi drama. Dan Agra kini menunjukkan perbedaan jelas antara si hobi membaca buku dan penikmat kisah fiktif.“Ada pertanyaan lain?” Agra menjauhkan tubuhnya dari tempat cuci piring. “Kalau tidak ada, dan kamu yakin tidak mau memasak mie, cepat ganti baju. Kita keluar.”“Eh,” Binar berkedip lamban. Ia mengikuti Agra yang keluar dari area dapur dengan tatapannya. “ke mana?”“Belanja bahan makanan. Ingat, jadwal piket dimulai dari besok.”***Ini salah satu adegan yang sering ada di drama. Berbelanja bulanan dengan ... apakah boleh mengatakan Agra tokoh utama pria dalam kisah Binar? Atau dia antagonis yang menghalangi Binar dari kebahagiaan sejatinya?Hmm, ini agak membingungkan.Binar menatap punggung Agra dengan mata menyipit. Benar. Punggung. Agra berjalan di depan sambil mendorong troli yang mulai terisi, sedang Binar hanya melimbai santai, sesekali menunjuk sesuatu yang harus Agra beli, tapi seringnya lelaki itu abaikan dan malah memilih membeli yang lain.Ah, dia bukan tokoh utama lelakinya. Benar. Agra lebih pantas disebut antagonis. Binar cemberut kesal. Ia melangkah mengekori ke mana pun Agra pergi seperti anak yang takut kehilangan jejak ayahnya di tempat ramai.Celangak-celinguk kanan kiri lantaran mulai bosan dan ingin kegiatan belanja ini segera berakhir, kepala Binar tak sengaja membentur punggung Agra yang berhenti tiba-tiba.Ish. Ia mendongak sambil memegang keningnya yang lumayan ngilu karena tepat menubruk tulang punggung lelaki itu yang lumayan keras. “Bisa nggak sih nggak usah berhenti mendadak?”Agra yang saat itu sedang melihat-lihat buah, sama sekali tak tampak kesakitan, menoleh ke balik punggungnya. Pada Binar yang masih bersungut-sungut. “Kamu yang jalannya sambil jelalatan.”Jelalatan katanya? Cowok ini benar-benar—“Jadi, mau apel atau pir?”Binar menahan kesal dengan mengepalkan dua tangan yang dimasukkan ke dalam saku jaket kebesarannya. Ia yang takut ketahuan berbelanja berdua dengan Agra, sengaja mengenakan pakaian semacam itu. Gadis tersebut bahkan memakai tudung agar wajahnya tidak terlihat, ditambah kacamata bulat besar pula.Agra jangan ditanya. Lelaki itu hanya mengenakan topi, itu pun setelah dipaksa. Binar jadi bingung sendiri. Siapa sebenarnya yang takut hubungan mereka diketahui publik? Agra yang selalu mewanti-wanti, tapi kenapa hanya Binar yang menjalankan sepenuh hati?“Lo tanya pendapat gue? Tumben?”“Karena ini memang buat jatah kamu.”“Lo?”“Saya beli dua-duanya.”Parang, mana parang? Binar ingin mengiris leher seseorang sampai pingsan lantaran kehabisan darah! “Kenapa gue nggak dibeliin dua-duanya aja? Gue juga mau anggur. Jeruk. Salak. Manggis. Stroberi. Melon—”“Kalau begitu menikah saja dengan petani buah.” Agra yang tampak jengah, mengembalikan apel yang tadi dipegangnya dan hendak kembali melangkah, tapi buru-buru Binar tahan.“Kenapa nggak jadi dimasukin troli?”“Bukannya kamu mau anggur, jeruk, salak, manggis, stroberi, melon? Kamu sama sekali tidak menyebut apel atau pir,” jawab Agra dengan nada sok polos setengah nyinyir, membuat Binar tambah geram. Tidak bisakah lelaki ini mempertahankan sikap—sedikit—menyenangkannya seperti di apartemen sebelum mereka berangkat belanja?Tentu saja tidak bisa. Ini Agra kalau Binar lupa.Mendelik, gadis itu mengambil empat biji buah apel yang terbungkus piring busa berbalut plastik, kemudian memasukkan ke keranjang belanja mereka, lantas melangkah lebih dulu mendahului Agra yang menahan senyum di belakangnya.Melihat kembali stan buah, Agra diam-diam mengambil bungkusan lain lagi berisi stroberi untuk gadis itu. Kenapa Binar gampang sekali dibodohi?“Kamu mau makan menu apa besok?” tanya Agra lagi, yang kini berjalan di belakangnya.“Nggak usah tanya kalau ujung-ujungnya pendapat gue nggak lo dengar juga.”“Kali ini akan saya pertimbangkan.”Mendengar jawaban Agra, dengan antusias Binar langsung berbalik dan menahan laju troli belanja mereka. “Janji?”Agra mengangguk tak acuh sebagai jawaban. “Asal jangan menu yang tersedia di restoran bintang lima. Saya belum bisa memasak kalau kamu lupa.”Berdecih, Binar melipat tangan di depan dada. Seperti dugaan. Agra memang menyebalkan. “Kalau lo belum bisa masak, ngapain tanya menu yang gue mau? Masak aja sesuai yang lo bisa!” melepas tangannya dari ujung troli, Binar berbalik dan kembali melangkah.“Kamu nggak ada alergi?” Agra menyusul di belakangnya.“Ada.”“Apa?”“Segala jenis racun.”“Jawaban kamu benar-benar membuat saya tergoda untuk mencampurkannya.” BAB 18Satu bulan tinggal bersama, membuat Binar dan Agra mulai bisa beradaptasi satu sama lain dan perlahan mengenal kebiasaan masing-masing. Beberapa hal yang Binar pelajari tentang suaminya adalah, Agra tidak pernah tidur di atas jam sepuluh dan bangun tepat sebelum adzan subuh. Katanya, mandi di waktu-waktu itu sangat menyegarkan. Binar, tolong jangan ditanya. Dia nyaris begadang tiap malam untuk berkencan dengan para aktor drama, bangun saat matahari hampir terbit dan nyaris ketinggalan waktu salat. Tapi semenjak tinggal di apartemen, ia tidak bisa lagi tidur lewat tengah malam jika tak ingin teler di pagi hari lantaran Agra yang tak bisa melihatnya masih lelap setelah lelaki itu bangun. Terlebih kalau di hari tersebut merupakan piket bersih-bersih, ditambah ada kelas pagi. Kelar sudah hidup Binar!Benar, jadwal piket mereka sudah mulai dijalankan sejak dua minggu lalu. Binar lebih suka bersih-bersih ketimbang memasak. Apartemen mereka kecil dan tidak terlalu berdebu, Binar hanya perlu membereskan barang-barang berantakan, mengganti seprai, menggunakan penyedot debu untuk membersihkan lantai—walau sesekali Agra menyuruhnya mengepel. Hanya bagian kamar mandi dan membungkus sampah yang paling dibencinya.Memasak? Oh ... Agra paling jago walau menu yang baru bisa lelaki itu buat tergolong sederhana. Sangat sederhana. Tahu dan tempe goreng. Tahu dan tempe penyet. Tahu dan tempe dimasak dengan kecap atau dicampur santan. Serta telur goreng, telur rebus, telur dadar dan segala macam jenis masakan telur di minggu awal.Hari pertama Agra menyajikan masakan, Binar mengeluh karena paginya mereka hanya sarapan roti lapis dengan isian sayur, daging dan telur setengah matang yang lumayan enak. Ekhm, sangat enak sebenarnya. Siang mereka makan dengan lauk tahu tempe. Malam, menu yang Agra suguhkan buah dan telur rebus yang sama sekali tak membuat perut kenyang.Binar berkata dongkol, “Beruntung gue nggak punya sakit maag.”Yang ditanggapi Agra dengan decih pelan. “Ini makanan sehat.”“Pantas lo kurus!”“Lebih baik begini, daripada ribet minum suplemen pelangsing setiap habis makan dan olahraga setengah-setengah hanya untuk mengecilkan perut.”Telak!Binar memang mengonsumsi suplemen pelangsing dan melakukan olahraga ringan setiap malam sebelum mulai berkencan dengan para suami dalam drama. Beberapa gerakan memang fokus untuk melunturkan lemak perut yang luar biasa bandel.“Hh, seenggakya piket di hari pertama, gue menang.”“Menang?” Agra batal menyuap pisang. Ia mengambil selembar tisu sebelum bangkit dari kursi tinggi di balik meja bar , kemudian melangkah ke tempat cuci piring dan mengambil teflon dari rak pengeringan, lantas mengelap bagian atasnya yang agak licin dan memperlihatkan bagian tisu yang kotor pada sang lawan bicara. “Masih ada bekas minyak. Ini yang kamu bilang menang?”Binar membatin kesal. Kenapa Agra harus seteliti itu?Hari kedua. Giliran Binar kebagian memasak. Meniru Agra, sarapan pagi ia menyiapkan roti isi. Isi selembar keju dan meses. Agra tidak protes, hanya menatapnya remeh seolah mengejek, kamu mengeluh dengan menu buatan saya, tapi kamu menirunya, di sepanjang waktu sarapan. Beruntung Binar bermuka badak, jadi ia pura-pura tak acuh saja meski sedikit malu. Untuk makan siang, Binar bisa lolos karena mereka ada jadwal kelas jadi kantin merupakan solusi terbaik.Menu makan malam, mie kuah. Itu pun terlalu lembek lantaran Binar kelamaan merebus. Ah, ini kali pertama ia masak. Agra hanya mengangkat satu alis, tapi masih tidak mengeluh. Kecuali, “Kamu sepertinya memang tidak bisa bersahabat dengan barang-barang dapur,” desahnya saat melihat kekacauan di sana. Namun, Agra tetap membersihkannya dengan sabar.Binar, tentu saja mencari alasan. “Ini kali pertama gue masak. Maklum aja.”Agra menghentikan gerak tangannya yang sedang mengelap tungku kompor tanam. Lelaki itu memutar kepala ke belakang dengan tatapan ‘apa kamu bercanda?’-nya. “Mie?”“Gue bahkan nggak pernah rebus air. Lagian, gue nggak dibolehin makan mie di rumah.”“Oh, pantas rasanya aneh. Saya pikir, karena memang kamu yang lebih suka mienya lembek. Ternyata memang karena tidak bisa.”Binar yang tak bisa membalas ejekan Agra karena memang sajiannya seburuk itu, hanya mampu membuat gerakan hendak memukul kepala lelaki itu setelah Agra kembali membersihkan kompor. Masalah kebersihan, jangan ditanya. Andai tidak terlahir sebagai orang kaya, Agra pasti anak tukang sapu. Bahkan hasil bersih-bersihnya lebih bagus ketimbang petugas cleaning service.Hari-hari selanjutnya, masakan Agra mulai bervariasi. Hanya dengan modal mengintip menu di internet, lelaki itu mampu membuat berbagai jenis pangan yang membikin Binar betah di rumah. Sesekali, Agra bahkan membuat camilan. Binar jadi sulit berhenti makan, pun berat badannya naik satu setengah kilo selama satu bulan ini.Berbanding terbalik dengan Agra, Binar sama sekali tidak ada kemajuan. Hari kedua, ia mencoba menggoreng tahu tempe tapi gosong. Siangnya Binar bertekad menggoreng telur, tapi ia menceplokannya sebelum minyak panas. Jadilah hasilnya ... tidak mengembang dan terasa buruk. Ditambah, ia kebanyakan memberi garam. Demi menutupi kekurangan, Binar mempercantik tampilan menunya agar Agra tidak curiga dan bersedia makan.Baru satu suapan, suami Binar yang malang langsung tersedak. “Ini yang kamu sebut makanan?”Dengan tatapan sepolos pantat sapi yang belum dimandikan dua minggu, Binar balik bertanya, “Kalau bukan makanan, terus apa dong?”“Kamu sudah mencicipinya?”Sudah. Tapi Binar hanya mengangkat bahu dengan gerak anggun, lalu mulai makan. Sengaja ia hanya mengambil secuil telur dan memenuhi sendok dengan nasi yang menggunung untuk menutupi rasa asin berlebih. Ia mengunyah pelan, sangat pelan dan lama, kemudian menelan hati-hati, menahan untuk tidak memuntahkannya demi menjaga harga diri di depan Agra. “Rasanya tidak terlalu buruk.”“Begitu,” Agra manggut-manggut, kerutan samar di keningnya bagai alarm tanda bahaya bagi Binar, dan memang demikian. Lelaki itu mengambil satu dari dua telur goreng dari piring saji dan meletakkannya di piring sang istri. “Kalau begitu, mari kita habiskan makanan ini,” dengan nada yang seolah mengajak mereka mati bersama—lagi.Malam hari, kapok dengan menu makan siang yang gagal, Binar membuat salad buah dengan parutan keju.Ah, omong-omong tentang buah, Binar jadi teringat stroberi yang ditemukan di kulkas bagian rak khusus milik dirinya. Saat Binar bertanya pada sang suami, Agra hanya menjawab pendek, “Kamu bilang mau stroberi.”Binar tak bisa menahan senyum. Ia bahkan nyaris melompat kegirangan. Ia memang sangat ingin buah ini. Kenyataan bahwa Agra diam-diam membelikannya, membuat perasaan Binar sedikit menghangat. Mungkin, Agra memang tidak seburuk itu.Omong-omong tentang tugas kelompok mereka, Binar berhasil menyelesaikannya tepat di hari jadwal pengumpulan. Tentu saja menggunakan jurus SKS, alias Sistem Kebut Semalam. Pun masih mendapat nyinyiran dari Bagas. Ugh, memang tak ada yang bisa memuaskan pemilik mulut menyebalkan itu. Abaikan saja!“Semoga ke depannya kita tidak bertemu dalam satu kelompok lagi!”Yang Binar jawab lantang dengan kata, “Aamiinn ...” yang sangat khusuk. Gadis itu bahkan mengangkat dua tangan ke udara dan mengusap wajahnya.Ah, tapi ada yang aneh.Malam saat Binar mengerjakan makalah, ia yakin dirinya tertidur sebelum sempat membuat penutup dan kesimpulan. Tapi, selesai salat subuh saat ia hendak menyelesaikan tugas tersebut, Binar dibuat kaget saat melihat makalahnya sudah selesai.Kapan Binar sempat membuat kesimpulan? Apa mungkin tanpa sadar ia sempat bangun dan lanjut mengetik? Entahlah. Yang penting tugas kelar dan hati damai. Urusan nyinyiran Bagas dan keanehan proses penyelesaian tugas itu belakangan.***Masih terkait dengan hari piket masak Binar. Kali ini gadis itu tidak tahu harus merasa terselamatkan atau tidak, mengingat mereka—Binar dan Agra—mendapat undangan makan malam di rumah Hilman. Pun, lelaki tua yang Binar panggil kakek sejak bisa bicara meminta mereka menginap.Huh, setelah satu bulan Hilman baru memintanya datang! Kakeknya memang benar-benar. Godaan untuk menolak ada di depan mata, melambai-lambai seperti nyiur di tepi pantai. Hanya saja, kalau boleh jujur, ia sudah sangat merindukan mama dan lelaki tua itu. Andai papanya juga datang ....Namun, apa yang bisa Binar harapkan? Sejak Hilman mengetahui pernikahan kedua papa Binar, hubungan mereka menjadi agak buruk—kata Maia, mengingat kejadian tersebut bahkan jauh sebelum gadis tersebut lahir.Bayu, papanya, masih menjadi bagian dari perusahaan keluarga Latief. Beliau menduduki jabatan sebagai salah satu manajer. Saking marah Hilman, sang kakek bahkan menolak membiarkan Binar mengikuti nama belakang Bayu. Bahkan terang-terangan menunjukkan rasa tak senang saat lelaki itu datang menemui putrinya.Dan malam ini, kemungkinan sangat kecil Bayu ikut diundang. Saat rindu terlalu berat, seringkali Binar yang harus mengalah dan mendatangi rumah Bayu bersama istri kedua dan anak-anak beliau yang tak terlalu menyukainya. Ibu tiri Binar cukup baik, hanya saja adik lelakinya terang-terangan menunjukkan rasa tak suka setiap kali mereka bertemu. Bahkan saat berpapasan di tempat umum, dia lebih memilih mengabaikan dan berpura-pura tidak saling kenal. Menyebalkan memang.“Malam ini untuk kali pertama lo nginap di rumah Kakek. Nggak masalah kan?”Mobil Agra sudah memasuki halaman rumah Hilman. Mesin bahkan telah dimatikan. Suami dari cucu tunggal Hilman Latief yang malam ini mengenakan kemeja biru berlengan panjang dengan kancing bagian teratasnya dibiarkan terbuka, menoleh ke samping setelah berhasil melepas sabuk pengaman. “Tidak. Toh, suasananya tidak akan seburuk saat menginap di rumah saya bagi kamu, kan?”Binar mendelik. Gadis itu membuka sabuk pengamannya sendiri sebelum mendorong pintu mobil dengan kasar. “Gue sebenernya tergoda bikin lo lebih nggak nyaman dari gue saat di rumah keluarga kalian.” Lantas menutupnya dengan keras.“Oh ya?” Agra ikut keluar dan tersenyum miring. Lelaki itu mengitari kap depan menuju sisi Binar berada sembari menyodorkan siku untuk gadis itu gandeng. Alih-alih menerima, Binar justru menepisnya dan melangkah lebih dulu. “Gue nggak harus pura-pura kalau di sini.”Benar. Agra mengedikkan bahu tak acuh. Benar. Di depan keluarga Agra, mereka berpura-pura saling menyukai. Tapi di depan keluarga Binar, hanya Agra yang berpura-pura. Binar menanggalkan topengnya di muka keluarga Latief dan menjadi diri sendiri.Menurunkan tangan ke posisi normal, lelaki itu mengikuti Binar yang melangkah riang di atas sepatu hak setinggi tujuh senti yang dikenakannya.Pintu utama memang sudah terbuka lebar saat mereka tiba. Binar beruluk salam dengan keras yang disambut hangat Hilman dan Maia yang ternyata memang sudah menunggu di ruang depan.“Assalamualaikum,” ujar Binar dengan nada kelewat ceria. Dia berhenti sejenak di abang pintu ganda yang terbuka. Senyumnya kian terkembang saat beradu pandang dengan sang kakek, mama dan ... “Papa?”Mendengar nada terkejut Binar, Agra mengangkat pandangan, mencari.Ada Bayu di sana. Ayah mertua yang hanya pernah ditemuinya sebanyak ... ah, tidak banyak ternyata. Ini bahkan kali ketiga mereka bertatap muka.Kali pertama saat malam perjodohan. Kedua, di KUA saat ia menikahi Binar. Dan kali ketiga, malam ini.“Waalaikum salam.”Binar menatap ayahnya satu detik lebih lama, tapi ia malah menghambur ke dalam pelukan sang kakek alih-alih lelaki berusia akhir empat puluh tahun yang menatap sendu dengan pandangan rindu yang tak ditutup-tutupi.Agra tidak terlalu banyak tahu kisah rumit keluarga ini. Yang Agra tahu, hubungan Maia dan Bayu masih baik, tapi mereka tinggal terpisah. Entah karena masalah apa. Posisi Bayu seolah tak terlalu penting di sini. Hanya sekadar ada.“Binar kangen sama Kakek!” Si gadis manja mengeratkan pelukan pada Hilman sebelum melepaskan diri.Hilman menepuk-nepuk pelan bahunya, “Kakek juga. Nggak ada kamu, rumah sepi.”Yang ditanggapi Binar dengan mulut mengerucut kecil. “Siapa suruh ngusir si cantik ini. Tapi kalau Kakek mau, keputusan Kakek masih bisa ditarik kok. Walaupun berat, Binar masih bersedia kembali pulang dan meninggalkan suami tinggal sendiri di apartemen.”Hilman melirik cucu menantunya sambil tersenyum kecil. “Tidak,” jawabnya tegas.Binar makin cemberut. Gadis itu pura-pura merajuk dan melengos. Dia memasang tampang melas saat memeluk ibunya. “Mama nggak mau bujuk Kakek biar narik aku lagi ke sini?”“Sekarang Agra lebih berhak atas kamu dari pada Mama.”Binar menjauh dari ibunya dengan wajah makin masam. “Mama nggak liat aku kurusan tinggal sama dia sebulan!”“Kayaknya makin isi,” ledek Maia. “Minum air saja bisa jadi lemak kan, buat kamu.”Lagi, Binar melengos pura-pura marah. Saat tiba di depan ayahnya, gadis itu tak mengatakan apa pun, hanya tersenyum dengan tatapan penuh arti sebelum menjatuhkan diri dalam dekapan beliau yang selalu hangat.“Bagaimana kabar kamu?” tanya Bayu dengan nada pelan.Binar belum mau melepas pelukannya, menyandarkan kepala di dada tambun sang ayah. “Binar baik,” jawabnya. Ia melepas pelukan perlahan seraya mendongak. “Gimana kabar Papa dan keluarga?”“Kami baik. Kamu sendiri gimana? Bahagia?”Binar hanya mengangguk. Ia berusaha tak terlalu antusias setiap kali bertemu ayahnya di depan Hilman demi menjaga perasaan sang kakek. Karena selama ini, memang Hilman yang mengambil peran ayah dalam sebagian besar hidup Binar.Saat kecil, Binar tidak mengerti apa yang terjadi dalam keluarganya. Sejak lahir, ia tahu hidupnya agak berbeda. Ia tidak tinggal dengan ayahnya meski Maia sering membawa ia bertemu Bayu. Binar juga tahu dirinya punya ibu lain selain Maia yang dipanggilnya bunda.Kala kecil dulu, Binar merasa hidupnya normal saja. Sampai memasuki usia remaja, ia mulai mengerti. Kehidupan keluarganya berbeda dengan orang lain. Dan saat tahu ternyata Bayu poligami serta menyadari wanita yang ia panggil Bunda merupakan istri lain ayahnya, Binar sempat merasa marah dan dikhianati.Gadis itu mulai membenci Bayu, pun tak habis pikir dengan Maia yang terkesan lemah lantaran mau dimadu. Binar bahkan tak pernah mau mendengar penjelasan ibunya.Kenapa Maia yang harus mencari alasan untuk Bayu yang mendua?Tapi begitu Hillman memberinya pilihan, otak kecil Binar yang malas dibawa berpikir, mulai paham.Saat itu dia masih empat belas tahun. Siswa kelas delapan yang lumayan susah di atur dan peringkat lima belas dari tiga puluh murid di kelas yang sama. Lemah dalam hitungan dan lebih suka bermain-main. Hilman selalu mewanti-wantinya untuk belajar karena ia satu-satunya calon penerus bisnis dalam keluarga mereka.“Biar suami aku aja nanti yang gantiin Kakek, ya!” jawab si gadis empat belas tahun sambil lalu yang ternyata dianggap serius oleh Hilman.Tak sampai enam bulan kemudian, sang kakek menyodorkan beberapa foto untuk dipilih. Saat Binar bertanya mereka siapa, Hilman menjawab ringan, “Calon-calon suami potensial buat kamu. Jadi, mana yang paling kamu suka?”Empat belas tahun, disodorkan calon suami. Masa puber pertama, tapi bahkan belum pernah mengalami cinta monyet seperti teman-temannya yang lain. Binar tentu menunjuk gambar paling tampan. Pikirnya saat itu, hidupnya begitu menyenangkan. Ia tak akan lagi ditekan untuk belajar dan mengikuti les ini itu yang membuatnya tertekan hingga memilih sering bolos meski selalu berakhir dimarahi kakek. Ditambah, sudah memiliki calon suami super ganteng.Itulah awalnya. Tepat di usia lima belas tahun, ia ditunangkan. Dengan Agra yang pelit senyum dan jauh dari ekspektasinya.Sejak itu pula, Binar menggali lebih dalam kehidupan Maia dan Bayu hanya untuk mendapat jawaban yang membuat perutnya tertohok.Ayah ibunya juga dijodohkan. Perjodohan yang gagal. Dan kesalahan ada di pihak Maia yang tak pernah bisa memberikan hatinya pada papa Binar dan terjebak dalam cinta masa lalu.Mengetahui kenyataan tersebut, Binar mulai mengerti. Ayahnya tidak sepenuhnya bersalah. Dan tidak patut disalahkan. Bayu sudah berusaha keras menyiapkan diri menggantikan Hilman sebelum penerus selanjutnya lahir, tapi kenyataan hidup rumah tangganya dengan Maia lebih rumit daripada yang pernah dibayangkan.Cinta Bayu bertepuk sebelah tangan. Sampai suatu hari pertahanannya runtuh saat Maia mengusulkan agar beliau mencari wanita lain karena sampai kapan pun, hatinya akan selalu menjadi milik lelaki di masa lalunya.“Akan lebih baik kalau salah satu dari kita bahagia. Dan kebahagiaan kamu, jelas bukan aku, Bayu.” Adalah salah satu kalimat yang Binar temukan dalam buku harian Maia sewaktu muda, yang diam-diam Binar baca saat tak sengaja menemukannya kala ia mencari gelang kesayangan Maia untuk dipinjam ke acara ulang tahun sepupu jauh, di laci terbawah nakas sang mama. Dua minggu paska ia ditunangkan.Setelah menikah, Binar menjadi lebih mengerti. Posisi ayahnya juga sulit. Bahkan mungkin lebih sulit dari Binar. Juga Maia, yang harus dipisah paksa dari cinta masa lalunya. Beban mereka cukup besar. Melahirkan calon penerus potensial, yang ternyata gagal. Binar tak sesuai yang diharapkan. Calon adiknya bahkan memilih menyerah sebelum lahir ke dunia.Karena itu, Binar yang sadar dengan kapasitas dirinya yang tak akan mampu memikul beban sebagai penerus, memilih menyerah sejak awal. Ia akan melakukan apa pun untuk membuat kakeknya damai, pun mengambil alih tanggungan ibu dan ayahnya selama bertahun-tahun.Binar berusaha menjaga jarak dari teman-teman lelaki sejak mulai bisa memahami kisah rumit keluarga mereka agar tidak terjerumus cinta yang tentu sulit ia miliki. Binar hanya melihat Agra. Dan berusaha keras menjaga hati. Hatinya sendiri dan hati lelaki itu.Binar tak ingin menyerahkan perasaan sepenuhnya. Pada siapa pun. Termasuk suaminya. Ia takut suatu hari nanti harus mengambil keputusan seperti sang Mama. Membiarkan lelaki mereka mencari kebahagiaan lain karena tak bisa memberikan itu. Sebab pernikahan hasil perjodohan tak sederhana yang orang bayangkan. Cinta datang karena terbiasa hanya untuk mereka yang bisa dan bersedia saling menerima. Pun bagi mereka yang beruntung.Binar ... tidak. Ia tak bisa mempertaruhkan kebahagiaan hanya pada keberuntungan.Dengan begitu, saat bagian terburuk dalam hidup terjadi, lukanya tak akan seberapa.Dan memang, dibanding Maia, luka Binar memang belum seberapa.Binar bahkan sama sekali belum bisa dikatakan terluka. Semoga tidak akan pernah. BAB 19“Saya kira kamar di apartemen sudah sangat buruk, ternyata ada yang lebih buruk lagi,” merupakan komentar pertama Agra saat pertama kali memasuki ruang tidur Binar di rumah Hilman, karena sejauh mata memandang, yang tampak di depan matanya hanya ... merah muda dan sangat merah muda. “Saya heran kamu masih belum buta warna,” tambahnya dengan nada setengah menggerutu yang membikin Binar tambah jengkel pada lelaki itu.“Kalau lo nggak suka kamar gue, tidur aja di balkon. Di sana kombinasi warnanya lengkap, jadi lo nggak bakal buta warna.” Menutup pintu setengah membanting hingga menimbulkan bunyi bedebum keras, Binar kian cemberut. Tak mau peduli pada apa pun yang akan pemuda itu lakukan di kamarnya, Binar melangkah ke arah kamar mandi. Ia merasa benar-benar gerah dan butuh mandi kendati sebelum ke sini sudah membersihkan diri.Sejujurnya sama seperti Agra, sebulan tinggal di apartemen membuat Binar agak asing dengan kamar sendiri. Entah bagaimana, ia seolah sudah lupa bahwa kamar tidurnya memang semencolok itu. Semua serba merah jambu. Mulai dari seprai, kelambu, bahkan kertas dinding. Hanya meja nakas, meja rias dan lemari pakaian yang selamat lantaran dicat putih.Keluar dari kamar mandi lima belas menit kemudian, Binar dapati suaminya setengah berbaring di kasur sambil memainkan ponsel. Punggungnya bersandar santai pada kepala ranjang. Dan dia ... masih mengenakan setelan kemeja yang dipakai saat makan malam.“Lo mau tidur pakai itu?” tanya Binar sambil lalu sembari melepas pembungkus rambutnya agar tidak basah saat mandi tadi.Ah ya, sudah lebih dua minggu Binar tak lagi mengenakan hijab saat hanya berdua dengan Agra. Toh, lelaki itu sudah pernah melihat rambut keritingnya. Pun sah-sah saja, jadi kenapa harus ribet?Awal-awal, Agra memang sempat mengejek. Katanya, “Kamu punya banyak uang, kenapa rambut kamu tidak dibikin lurus?”Yang langsung Binar balas dengan tampang datar. “Kenapa? Nggak suka?”“Kalau saya bilang tidak suka, apa kamu akan ganti model rambut?”“Nggaklah!”“Kalau begitu, kenapa masih bertanya?”“Karena kalau lo suka rambut keriting, mau gue lurusin.”“Saya suka keriting, apalagi yang bisa dikuahi.”“Rambut gue bukan mie!”“Iyakah? Bentuknya hampir sama.”Binar melempari Agra yang berdiri dengan dua tangan dimasukkan ke kantong celana saat itu, yang sayang gagal karena lelaki tersebut berhasil menghindar dan berlari masuk ke kamar. Sejak kapan Agra suka mengejek? Tapi, sejak kapan ada orang mengejek dengan wajah datar minta ditabok seperti Agra?“Saya lupa bawa baju ganti,” jawab Agra tanpa menoleh, masih fokus pada ponsel di tangannya.Jangan tanya apa yang dilakukan Agra dengan telepon genggam super pintar itu. Tidak, dia tidak selingkuh. Bukan main gim juga. Tak membuka sosial media karena memang tidak punya—tak penting katanya—kecuali aplikasi chatting yang memang sudah seperti keharusan di zaman ini.Benar. Kalau tidak membaca ebook, artikel, berarti dia sedang menonton berita terbaru. Kalau bukan keduanya, berarti Agra mencari informasi saham atau sesuatu yang berhubungan dengan bisnis serta ekonomi. Seperti bapak-bapak. Ayah Binar yang sudah paruh baya saja tidak separah Agra.Ya, semonoton itu hidup lelaki ini. Jadi tak heran kalau dia luar biasa pintar dan banyak tahu, tak seperti Binar yang hanya banyak makan tahu.Ah, tapi ada satu hal sebenarnya yang Agra minati selain belajar. Menonton kartun dan anime. Saat akhir pekan, lelaki itu akan menguasai TV di apartemen dan menyita remot seharian hanya untuk menyaksikan interaksi sesuatu yang tidak nyata. Saat Binar protes, dia berkata, “Saya hanya menonton ini seminggu sekali. Tolong jangan ganggu.”Setidaknya, dia masih manusia yang butuh hiburan. Benar-benar hiburan karena hanya dilakukan saat akhir pekan. Pun saat itu bukan hanya berhenti belajar, Agra juga membebaskan piket. Mereka boleh memesan makanan apa pun dan tidak perlu beberes. Sialnya, tepat di hari senin merupakan piket bersih-bersih Binar. Laknat memang!“Lagi pula kita hanya akan menginap semalam, jadi tidak masalah,” tambah Agra lagi.“Besok kita nggak ada jadwal kelas. Dan gue mau balik sore ke apartemen. Nggak masalah nggak ganti?” Membiarkan rambut keritingnya yang mengembang bagai surai singa terurai, Binar melipat tangan di depan dada dengan tatapan menantang setengah mengejek. Kalimat mencemooh yang digunakannya membuat Agra mau tak mau mendongak dari layar ponsel.Tidak ganti pakaian sehari semalam, tentu masalah untuk Agra. Binar tahu betul itu. Lelaki seresik dia betah tak ganti pakaian selama hampir dua puluh empat jam? Jangan harap!“Saya bisa tidur hanya dengan memakai kolor,” jawab sang lawan sambil menyeringai lebar.Sialan!Mengeratkan lipatan tangan di depan dada, Binar berbalik dengan hentakan langkah kesal menuju pintu kamar.“Kamu mau ke mana? Nggak berani lihat saya tidur pakai kolor?”Binar sempatkan menoleh ke belakang saat membuka pintu. “Ambilin lo baju ganti,” katanya sebelum membanting daun kayu malang setinggi dua meter itu.Mendengar jawaban tersebut, kening Agra berlipat-lipat dalam. Binar tidak mungkin akan meminjaminya baju sang kakek kan? Bukan apa, Hilman memiliki postur tubuh pendek. Beliau hanya sedagu Agra, sudah tentu pakaiannya tak akan muat. Binar terlalu bodoh kalau hal mendasar semacam itu saja tak paham.Namun ternyata dugaan Agra salah. Sebab sepuluh menit kemudian, Binar kembali dengan menenteng kantong kertas dan menyerahkan dengan ekspresi tak ramah padanya. Saat dibuka, lelaki itu agak takjub mendapati satu setel pakaian tidur dan pakaian bersih lain di dalam sana. “Kamu—”“Gue udah siapin di mobil.”Agra berkedip pelan satu kali sebelum kemudian mengangkat bahu. “Padahal saya benar-benar ingin tidur hanya dengan kolor malam ini,” komentarnya dengan nada bercanda yang Binar balas dengan lemparan bantal. Alih-alih menghindar, lelaki itu justru tertawa kecil sebelum kemudian bangkit berdiri dan membawa kantong kertas tadi ke kamar mandi untuk ganti.Entah ada apa dengan Agra. Malam ini lelaki itu cukup sering tertawa sejak acara makan malam bersama keluarga Binar beberapa saat lalu.Omong-omong tentang makan malam, semua berjalan lancar dan cukup menyenangkan. Mungkin bahkan bisa dibilang sangat menyenangkan—awalnya sebelum Agra menghancurkan segalanya hanya dengan satu pertanyaan.Jarang sekali keluarga Binar bisa berkumpul bersama dengan anggota lengkap. Bayu dan Agra lebih banyak diam. Tentu saja Binar yang paling sering bicara. Dia menceritakan keseharian setengah mengadu pada para orang tua yang sering kali hanya ditanggapi dengan tertawaan.Agra yang diadukan, sama sekali tak merasa ambil pusing, malah anteng menikmati hidangan. Dia hanya sesekali menanggapi saat namanya disebut atau bila ada yang bertanya. Sedang Binar, gadis itu tidak pernah sekali pun menyebut nama sang suami.Istri yang Agra nikahi bulan lalu itu memang selalu menggunakan kata ganti setiap kali menyebut Agra. Seperti:“Kakek tahu, suami pilihan Kakek tuh nyebelin banget! Dia beneran bikin piket masak sama bersih-bersih. Gara-gara dia, tangan aku nggak sehalus dulu lagi.”Atau, “Bilangin sama menantu Mama, jangan pelit-pelit. Kayak orang susah aja makannya tahu sama tempe. Telur juga nyaris tiap hari. Kalau nanti aku bisulan gimana?”Atau, “Papa nggak tahu aja betapa menyebalkannya dia. Aku jadi nggak bisa begadang sampai pagi lagi. Padahal kangen nggak tidur sampai subuh.”Dia. Menantu Mama. Suami pilihan Kakek. Bahkan sesekali menyebut suaminya dengan kata putra Pak Bambang.Kalau dipikir-pikir, sejak mereka bertemu, Binar memang tidak pernah memanggilnya dengan nama. Di apartemen, saat membutuhkan sesuatu, istri Agra yang ajaib hanya akan mencolek bahunya atau berkata hei. Heh. Oy. Seolah Agra alien dari planet asing yang belum punya nama.“Hei, menu makan hari ini apa?”“Oy, gue mandi duluan, ya.”“Heh, lo nggak boleh zalim sama gue!”Dan beragam kata ganti lain yang baru Agra sadari. Dan mengingatnya, seketika membuat Agra berpikir. Ia bahkan memelankan suapan dan sedikit melirik ke samping, pada Binar yang makan dengan lahap sambil terus mengoceh kendati mulut penuh. Hilman sudah menegur beberapa kali agar Binar tidak bicara saat makan, yang gadis itu abaikan dan malah mengatakan mereka sedang bersantap dengan keluarga. Tingkah kaku sama sekali tidak bisa diterima katanya, membuat Hilman hanya bisa geleng-geleng kepala.“Omong-omong, saya punya nama, Binar,” ujar Agra spontan usai menelan makanan yang sudah halus terkunyah dalam mulutnya, praktis menarik perhatian tiga manusia lain yang juga berada di meja makan luas itu. Hilman menempati kepala meja dengan aura berkuasa yang kental tapi ramah. Maia dan Bayu di sisi kanan beliau, sedang Binar Agra di sisi kiri.Dengan rahang yang masih bergerak naik turun, Binar menoleh pada lelaki itu. Dua alisnya terangkat tinggi, menatap Agra dengan pandangan aneh, seolah bertanya, “Lo salah makan?”“Yang bilang lo nggak punya nama siapa?”“Binar,” Bayu menurunkan sendok dan garpunya lebih rendah, menyela obrolan singkat pasangan suami istri muda di seberang meja, “Kamu berbicara dengan bahasa sekasar itu sama suami? Lo? Gue?"O-ow .... Binar berkedip-kedip polos. Ia membalas tatapan ayahnya sebelum mengalihkan pandangan pada sang ibu, kakek, dan kemudian Agra yang ini sedikit menelengkan kepala. “Hehe,” gadis itu tertawa garing, “kebiasaan sih, Pa. Kami kan satu kampus, aneh aja kalau bilangnya aku-kamu. Temen-temen yang lain belum ada yang tahu kalau Binar sama dia udah nikah.”“Tapi dari tadi, Papa dengar, Agra ngomong sopan loh sama kamu.”“Anak kamu memang begitu,” Maia menimpali sambil lalu, “aku sama Papa udah sering kasih nasihat, tapi nggak pernah didengerin.”Agra sialan. Binar melirik tajam lelaki di sampingnya yang kini memasang tampang alim. Saat mata keduanya bertemu, seringai menyebalkan di sudut bibir Agra naik perlahan dan makin lebar. Dasar menyebalkan. Puas sekali tampaknya dia melihat Binar diomeli.“Dan ya,” Bayu menambahkan, tak memberi kesempatan Binar membela diri, “suami kamu punya nama. Tapi sejak tadi, Papa belum pernah dengar kamu sebut namanya. Apa kalian sedang ada masalah?”Mendengar kalimat terakhir suaminya, Maia spontan melarikan pandangan pada Hilman yang masih makan dengan tenang. Sesekali lelaki tua itu hanya menoleh sekilas pada cucu kesayangannya yang kini cemberut di seberang meja karena mendapat teguran.Sebagai dua orang dewasa yang selama ini selalu ada di sisi Binar, Maia dan Hilman sudah tahu sejak lama tentang hal ini. Sempat beberapa kali bertanya, tapi gadis kecil mereka yang nakal dan suka membangkang hanya mengangkat bahu tak acuh sebagai tanggapan.Omelan Hilman dan Maia tak pernah mempan pada Binar. Berbeda dengan teguran Bayu yang lebih bersedia Binar terima, barangkali karena interaksi mereka yang jarang serta Bayu yang bisa lebih tegaslah yang membuat putri mereka merasa segan.“Eee ... itu,” Binar melarikan pandangan, menghindari tatap Agra yang jelas juga sedang menunggu. Ugh, Binar sama sekali tidak punya ide sebagai alasan.Diakui, sejak dulu ia memang tidak pernah menyebut nama Agra secara terang-terangan. Entah kenapa. Sikap Agra yang pertama kali menjaga jarak darinya seolah pertanda sesuatu. Bahwa mereka asing. Terlalu asing. Agra tak pernah menunjukkan rasa senang setiap kali mereka bertemu. Bila tidak sengaja berpapasan di luar saat sedang tidak bersama keluarga, Agra juga tak pernah menyapa. Hanya saling melewati bagai dua manusia yang tak mungkin bersinggungan dalam garis takdir yang kusut.“Binar nggak tahu harus panggil dia apa,” jawab Binar kemudian.Terdengar aneh tentu saja. Bahkan Hilman yang semula hendak menyuapkan makanan ke dalam mulutnya, menghentikan gerak sendok di udara hanya untuk menatap Binar tak habis pikir. Pun Agra yang menelengkan kepala dan Maia yang ternganga. Tentu saja tak ada yang menyangka jawaban ajaib macam itu yang akan mereka dengar.“Agra Mahandika,” kata makhluk di sampingnya dengan nada lugas. “Adakah yang aneh dengan nama saya sampai kamu tidak tahu harus memanggil apa?”Binar mengaduk sisa makanan di piringnya menggunakan sendok dan garpu yang masih ia pegang. Sungguh, ia mendadak kenyang. Kenapa pula Agra harus membahas hal semacam ini saat sedang berkumpul dengan keluarganya? Atau lelaki itu sengaja agar ia mati kutu?Ugh, awas saja dia nanti.“Eee ....” Binar mendongak pada langit-langit ruangan, berharap muncul teks di atas sana yang bisa ia gunakan sebagai alibi. “Mmm, takut nggak sopan?” Alih-alih menjawab, nada yang keluar dari mulutnya justru berupa tanya. Mendadak kehausan, ia raih gelas berkaki tinggi di samping piring makannya dan meminum dua teguk.“Kalau begitu panggil sayang aja. Sopan dan nggak kaku,” celetuk Maia spontan yang berhasil membuat Binar tersedak sampai terbatuk-batuk keras. Bukan hanya sebagian, nyaris semua minuman dalam mulutnya nyasar ke saluran napas.Agra, dengan cekatan langsung membantu sang istri dengan mengambilkan tisu untuk mengelap sudut bibir Binar yang basah sambil menepuk-nepuk pelan punggung gadis itu.Menyuap satu sendok nasi, Maia bertanya polos. “Kenapa kamu sampai seterkejut itu? Ada yang salah dengan usul Mama?”Yang ditanya mendelik kesal, masih dengan sisa batuk yang mulai mereda.“Mama kamu benar,” Hilman yang usil menambahkan. “Coba, panggil suamimu dengan kata sayang. Pasti adem dengarnya.”Bukan lagi batuk, kini Binar mendadak terkena penyakit asma. Ia jadi kesulitan bernapas sampai bengek. Terlebih, di sampingnya, objek pembicaraan mereka menyeringai makin lebar. Lelaki itu kembali duduk setelah dirasa Binar tak lagi butuh dibelai.Sial! Siapa yang butuh dibelai?!Dan seolah ingin menambah penderitaan Binar, Bayu menambahkan, “Ayo coba, Papa mau dengar gimana kamu panggil Agra dengan sopan dan lembut. Masa kamu kalah sama Mama?”Kalah sama Mama? Yang itu artinya, Maia yang tidak pernah mencintai Bayu saja bisa memanggil suaminya dengan kata ‘Mas’ dengan nada yang begitu halus. Masa Binar tidak?“Binar ... Binar bisa panggil dia dengan nama.”“Kamu sendiri tadi yang bilang, itu tidak sopan.”Bunuh saja dia. Bunuh! Atau tenggelamkan ke Laut Jawa saja juga tak masalah. Asal jangan memaksanya begini.Andai hanya ada Maia dan Hilman di sana, sudah tentu Binar akan menolak dengan tegas. Tapi ini, yang memintanya Bayu. Sosok ayah yang cukup ia segani.Menarik napas panjang, Binar menelengkan kepala setengah menoleh ke samping, Pada Agra yang kini seringainya kian melebar, bahkan nyaris merobek pipi hingga telinga panjang lelaki itu.Menahan banyak oksigen di dada, Binar mulai membuka mulut yang mendadak terasa kesemutan. “Sa—” hanya mengeluarkan satu kata saja, nyawanya seolah sudah sampai di tenggorkan. “Sa—” Ia berusaha mengulang sekali lagi dengan nada seperti orang menahan buang air besar. “Sa—” kenapa sulit sekali hanya untuk mengucapkan ‘sayang’, satu kata sederhana, pada makhluk satu ini.“S-sapi. Tolong ambilkan daging sapi di sana,” katanya sambil menunjuk piring saji yang ada di sebelah sang suami.Begitulah. Pada akhirnya, setelah perjuangan panjang, yang lolos dari katup bibir Binar dengan awalan kata sa adalah nama hewan alih-alih panggilan mesra. Dan demi menyembunyikan rasa agak canggungnya, Binar nyengir selebar mungkin hingga barisan giginya kelihatan bahkan sampai gusi.Bayu, Hilman dan Maia yang sudah menunggu, kompak ternganga.Sedang Agra ... dia tertawa.Tertawa. Lepas. Agra sampai harus menutup mulutnya dengan tangan.Dia, si kanebo kering tertawa. Ini agak menakjubkan, pun nyaris membuat Binar terpana hingga menatapnya agak lama.Untuk kali pertama dalam lima tahun perkenalan mereka Binar baru mengetahui bahwa Agra memiliki tawa serenyah ini. Entah kini Binar harus ikut merasa senang atau mengumpat karena kesal. Tapi satu hal yang pasti, Agra ternyata juga manusia.Namun tetap saja, keinginan untuk menabok pemuda itu belum hilang sepenuhnya. BAB 20Agra bukan tipe orang yang mudah tertidur di tempat baru. Awal-awal pindah ke apartemen saja, butuh satu minggu sampai akhirnya ia bisa benar-benar jatuh terlelap di ranjang dan kamar barunya, sebelum itu Agra hanya pura-pura pulas.Lalu kini, Agra berguling ke samping, menghadap tembok dengan warna mencolok yang membuat matanya sakit. Ia kemudian mencoba memejamkan mata dan melebur kesadaran ke alam mimpi yang sayang tetap gagal. Kantuk seakan begitu jauh dari jangkauan, padahal waktu sudah menjelang tengah malam. Jarum pendek jam dinding telah menyentuh angka satu, sedang kesadaran Agra masih berada di titik siaga.Di sampingnya, jangan tanya. Makhluk berambut kriting itu sudah lama tertidur setelah menonton kurang lebih setengah episode drama terbaru. Itu pun karena Agra merebut ponselnya. Kalau tidak, bisa-bisa Binar masih terjaga dengan mata memelototi layar.Kembali berguling, Agra menghadapkan kepala lurus ke atas, pada titik tengah kamar tempat lampu LED terpasang yang sengaja ia matikan sebelum memutuskan untuk tidur. Demi kesehatan tentu saja. Terlebih, ia kian sulit tidur dengan lampu menyala. Tidak seperti Binar yang bisa terlelap dalam keadaan apa pun. Agra jadi curiga. Ia yakin, gempa sekalipun tak akan mampu menghalangi gadis itu memejamkan mata saat ingin.Mendesah, Agra kembali mengulang doa sebelum tidur untuk kali kelima. Pun ayat kursi yang sudah tak terhitung banyaknya. Sayang, masih belum berhasil juga. Sama sekali tak ada tanda-tanda lelap akan datang menyapa.Berdecak kesal, ia berguling lagi. Kali ini menghadap si makhluk berisik yang mendengkur pelan. Binar berbaring miring ke arah sang suami, tentu tanpa sadar. Karena sebelum ini gadis itu berbaring membelakanginya. Rambut keriting dan mengembang bagai mie rebus yang terlalu lama tenggelam dalam air mendidih itu sengaja tak Binar ikat hingga memenuhi bantal, bahkan beberapa lembar nyaris menusuk lubang hidung Agra saat menghirup oksigen.Wangi. Aroma manis mawar. Kendati demikian, rambut yang menggelitik hidung tentu sangat mengganggu. Agra menggeser bantalnya sendiri menjauh, pun merapikan rambut Binar agar tak lagi bertebaran sembarangan.Namun dasar Binar, seolah sadar tidurnya diganggu, dia menggeliat seperti ulat, kian mendekati posisi Agra yang kini sudah berada di tepi ranjang. Geser sedikit saja, punggungnya akan langsung bersua dengan lantai kamar yang dingin.Ugh, sial!Agra mencoba mendorong bahu Binar agar kembali menjauh, membuat posisi gadis itu berubah telentang.Setelah mendapat ruang cukup, Agra kembali agak ke tengah, yang kemudian ia sesali saat tak sampai lima menit kemudian Binar berulah lagi dengan berguling-guling dan kini ... membelitnya.Benar-benar membelit dalam artian yang sesungguhnya, seolah Agra guling ternyaman di dunia, membuat lelaki malang itu bahkan tak berani bernapas. Apa yang harus ia lakukan pada Binar? Bagaimana bisa Agra tidur jika begini?Jujur saja, ini bukan kali pertama. Kalau boleh dibilang, Agra sudah mulai terbiasa. Benar. Terbiasa dijadikan guling hidup oleh istrinya yang saat lelap benar-benar kehilangan kesadaran bahkan seperti kesurupan reog. Agra pernah terjatuh tiba-tiba dari ranjang apartemen karena kena tendang. Bahkan bukan hanya sekali jari-jari Binar masuk ke lubang hidungnya. Pun tak kalah sering kaki gadis tersebut menimpa wajahnya.Menjadi guling hidup, masih lebih mending ketimbang kena tendang. Atau mungkin tidak. Ini jelas lebih buruk. Karena kini, Agra harus menahan napas lebih lama saat tangan nakal gadis itu bergerilya di leher dan sepanjang dadanya. Kemudian mengelus-elus di sana sebelum turun per lahan ke perut yang sampai harus Agra kempeskan demi menahan geli. Yang ternyata merupakan keputusan keliru.Tangan-tangan nakal itu kini malah masuk melaui kaus abu yang Agra kenakan dan menyentuh kulitnya yang mendadak terasa sangat panas.Sialan Binar! Sialan!Lebih baik gadis itu menjauh sekarang juga bila tidak ingin menyesal!Sebaiknya.Masih dengan napas tertahan, Agra berusaha menarik tangan Binar agar keluar dari balik bajunya. Sumpah mati ia kegelian, nyaris terbahak sekaligus berteriak frustrasi.Berhasil. Agra bernapas lega setelah tangan kecil milik sang istri kini berada dalam genggamannya. Tapi ternyata itu bukan serangan terakhir, karena gantian kepala Binar yang kini mendusel-dusel ke lehernya seperti kucing minta dielus, membuat Agra kembali kegelian. Jauh lebih geli dari sebelumnya. Ayolah, ini rambut keriting, jelas jauh berbeda dengan bulu kucing!Tidak bisa begini. Tidak bisa begini!Binar yang memancingnya! Gadis itu yang sudah membangunkan singa tidur. Karena saat ini, Agra tahu dirinya benar-benar tak akan bisa terbawa mimpi. Dan Binar harus bertanggung jawab untuk itu.Merangkum kedua tangan sang istri dalam genggaman, Agra sentak tubuh mungil yang mungkin akan remuk bila ia peluk sedikit keras itu hingga telentang. Yang kemudian Agra tindih dengan napas memburu dan jantung yang tiba-tiba terpacu di luar kendali.Kamar Binar dingin lantaran AC yang disetel dengan suhu rendah, tapi pemuda itu malah kepanasan hingga mengeluarkan keringat. Tolong jangan tanya karena apa, sebab ia tak akan sanggup menjawab.Pun keadaan Binar di bawahnya tak membuat ia lebih baik. Gadis yang Agra nikahi bulan lalu tersebut masih tertidur pulas dengan bibir sedikit terbuka seolah ingin menggodanya. Terlihat ranum dan siap dilahap. Persis ceri matang yang menunggu dipetik sang petani.Dan petani itu adalah Agra. Agra yang kini seolah kehilangan kesadaran sepenuhnya. Ia bahkan tanpa sadar meremas kedua tangan Binar di kedua sisi kepala gadis itu lebih keras. Barangkali merasa kesakitan, pada akhirnya gadis yang sedang terancam itu membuka mata pelan sebelum kemudian membelalak begitu menyadari wajah seseorang tepat berada di depannya—atau lebih tepatnya, di atasnya—sambil menyeringai kecil yang membuat Binar seketika merasa ngeri. Terlebih suasana saat itu gelap, satu-satunya cahaya hanya dari lampu nakas yang bersinar redup.Binar menelan ludah. “H-hey ... l-lo mau apa?”Bahkan saat terjepit saja, Binar masih memanggilnya dengan sebutan asing itu. “Kamu yang menggoda saya lebih dulu.”“Meng-menggoda?” Binar berkedip-kedip, masih tampak linglung.“Ya, saya hanya menerima godaan kamu dan menyambutnya.”“Me-menyam—” Belum sempat satu kata terselesaikan, Agra sudah lebih dulu menyerang, membungkam Binar yang semula sempat melawan dan berusaha membebaskan kedua tangannya yang terkukung. Namun gagal. Agra jelas jauh lebih kuat darinya. Sampai kemudian Binar hanya bisa pasrah menerima. Toh percuma saja.***Tiga jam sebelum makhluk bersuhu tubuh sepanas api menyerang.“Kapan kamu sempat membelikan saya dalaman baru?” Agra keluar dari kamar mandi dengan setelan ganti yang Binar bawakan. Lelaki itu melangkah ke arah pintu dan menggantung bajunya dengan rapi.“Waktu kita mampir ke mini market,” jawab Binar sambil lalu. Matanya masih fokus pada layar ponsel yang kini memutar salah satu episode drama yang masih belum ia selesaikan.“Kenapa harus beli baru? Kenapa nggak ambil punya saya yang di lemari saja?” pemuda yang berhasil membuat Binar tidak punya muka di depan ayahnya itu kini bersandar di kusen pintu sambil bersedekap dada.“Lupa!” Binar menjawab singkat, setengah ketus yang malah membuat Agra makin getol menggodanya.“Lupa atau malu?”Rrr .... Agra benar-benar berhasil membuat minat menonton Binar buyar. Bagaimana tidak, gara-gara ocehan lelaki itu, ia jadi tak bisa fokus mengikuti perjalanan episode yang kini ditontonnya, pun terjemahan yang ia baca tak bisa terserap dengan sempurna. Memegang ponsel di depan muka lebih erat, Binar lirik tajam sang lawan bicara yang kini menelengkan kepala. “Kenapa gue harus malu?”“Karena ...” Agra mengetukkan ibu jari tangan kanannya di siku kiri, sengaja menggantung kalimat dan membuat Binar gregetan sendiri, “isi kepala kamu yang kotor?”Andai tidak sayang pada ponsel keluaran terbaru yang dibelinya dua bulan lalu, sudah tentu Binar akan melemparkan benda itu ke kepala Agra agar semua syaraf di dalam sana bisa kembali normal dan membikin sang empunya bersikap seperti biasa—tidak banyak omong seperti sekarang.Namun karena belum siap ganti ponsel lagi, jadilah Binar hanya bisa memelotot kesal. “Tapi kayaknya sekarang bukan isi kepala gue yang kotor!”Agra menurunkan kedua tangan kembali ke sisi tubuh. Lelaki itu manggut-manggut sambil melangkah ke arah ranjang dengan tatapan jahil yang membuat Binar langsung waspada. “Mau tahu isi kepala saya sekarang?”Binar menelan ludah. Gadis itu makin menenggelamkan punggungnya pada bantal yang ia posisikan berdiri dan disandarkan pada kepala ranjang seraya menggeser posisinya lebih ke tepi. Drama di layar ponselnya masih berputar, tapi Binar sudah benar-benar tidak memperhatikan. “Nggak!”“Kenapa?” Seringai menyebalkan Agra kembali terukir. Tatapannya agak menggelap yang membuat Binar tambah waswas. Sekarang ia bahkan deg-degan parah seolah hendak dimangsa singa jantan.Atau sapi jantan?Ada apa dengan Agra? Tidak biasanya dia jahil begini? Atau dia hanya ingin mengerjai Binar saja? Karena tidak mungkin seorang Agra benar-benar memiliki pikiran kotor tentangnya. Ini Agra, jangan lupa. Si kanebo yang mulai basah. Pun makin basah, makin meresahkan saja.“Saya tidak keberatan memberi tahu kamu semua isi kepala saya saat ini.” Agra tiba di tepi ranjang dan mulai merangkak naik. Binar berkedip-kedip cepat dan menutup dadanya dengan sebelah tangan yang tidak memegang ponsel. Ia menarik napas panjang yang entah kenapa malah tersendat-sendat, tapi pura-pura tetap fokus menonton.“L-lo kenapa, sih? Salah makan?” Binar makin menenggelamkan dirinya ke bantal saat Agra kian mendekat dan merangkak ke arahnya. Mata gadis itu meliar ke samping, mencari celah kabur kalau-kalau Agra benar-benar ingin mencemarinya.Bah, mencemari? Bahasa macam apa itu? Mereka sudah menikah. Alih-alih mencemari, yang betul adalah Agra hanya sekadar mengambil hak.Ya ampun, apa yang Binar pikirkan?! Kenapa otaknya ikutan menjadi kotor begini! Lagi pula, lagi pula .... Binar menahan napas saat Agra kini sudah berada di depannya. Di atasnya dengan seringai mirip iblis. Binar menelan ludah, berusaha sepelan mungkin bergeser makin ke samping yang sudah mentok. Kalau ia memaksakan diri bergeser lagi, tubuhnya akan langsung bercumbu dengan lantai alih-alih sang suami.Namun lebih baik demikian, kan?“Kamu takut?” Agra kini mendekatkan wajahnya, membuat Binar otomatis memejamkan mata rapat-rapat.“L-lo kenapa sih?!”“Saya mau melakukan ini.” Agra meraih satu tangan Binar yang masih memegang ponsel dan mencengkeram bagian pergelangannya tanpa memberi tekanan lebih. Binar yang mulai gemetar nyaris menjatuhkan ponselnya, tapi lebih dulu Agra ambil dan diletakkan ke meja nakas di sisi tempat gadis itu berbaring.“Jangan macam-macam, Agra. Atau gue teriak!”“Kamu teriak, saya cium.”Mendengar kalimat bernada jenaka itu, spontan Binar kembali membuka mata dan membelalak lebar dengan tatapan ngeri. Ini benar Agra kan? Suaminya yang ... yang—Binar berkedip pelan—bulan lalu masih normal. Dua minggu lalu pun mereka masih jarang saling sapa. Tapi semenjak berbagi jadwal piket, Binar sadar hubungannya dengan Agra mulai mencair. Keduanya jadi lebih sering bicara meski ujung-ujungnya kembali berdebat. Binar jadi tahu banyak kebiasaan Agra pun sebaliknya.Sikap Agra perlahan tak sedingin dulu. Binar juga jadi lebih cerewet di dekatnya. Apa karena itu Agra jadi merasa sekarang merupakan saat yang tepat bagi mereka?Saat yang tepat ....Membayangkan saja membuat Binar merinding. Ia tahu selamanya akan bersama Agra dan sudah menyiapkan diri. Ia bahkan pernah membayangkan mereka memiliki beberapa anak bersama. Beberapa yang lebih dari dua.Namun, Binar tak pernah bisa membayangkan prosesnya.“Kenapa kamu harus takut saat sudah menyiapkan semuanya, Binar?”“Me-menyiapkan apa maksud l-lo?”Tangan Agra yang tadi digunakan untuk merebut ponselnya, kini ditumpukan di sisi bahu Binar, mengurungnya agar tidak ke mana-mana. Sedang tangan lain lelaki itu merogoh saku celananya yang hanya sebetis, kemudian mengeluarkan kotak kecil berwarna merah jambu dari sana.Kotak merah jambu kecil yang Binar kenali. “D-dari mana lo dapat itu?” Binar berusaha merebut, tapi dengan tangkas Agra menjauhkan tangan dari jangkauan gadis di bawah kungkungannya.“Jadi benar ini punya kamu?”“Mama yang tebus ke apotek, bukan gue!”“Oh, jadi kamu bahkan sudah konsultasi ke dokter?”Binar megap-megap. Matanya meliar mencoba berpikir. Sial! Kenapa itu bisa sampai ke tangan Agra. Padahal Binar sudah menyembunyikannya agar Maia tidak tahu ia tak membawa benda tersebut ke apartemen. Ugh, seharusnya Binar memang membuangnya saja dulu. “Mama yang maksa gue!”Agra makin mendekatkan kepala, memposisikan bibirnya tepat di depan telinga Binar dan berbisik pelan yang berhasil membuat Binar makin gemetar. “Jadi, apa kata dokter?”Tak suka dengan posisi mereka yang begitu dekat karena membuat jantungnya makin gemuruh, Binar mengangkat tangannya, berusaha mendorong Agra menjauh, yang merupakan tindakan keliru, karena yang ada dirinya makin gugup merasai betapa keras dada pemuda ini. Menahan napas, buru-buru Binar menarik tangan kembali berbarengan dengan Agra yang sedikit mengangkat sedikit tubuhnya, memberi jarak lebih di antara mereka. “Lupa! Lo bisa minggir nggak!”“Sayang sekali. Coba kamu ingat-ingat. Kalau Dokter sudah membolehkan, saya tidak keberatan kita mencoba. Kamu juga harus mencari tahu apa pil ini berfungsi dengan baik, kan?”Pil kontrasepsi sialan! Lebih sialan Binar yang salah menyimpan. “Dari mana lo dapat itu?!”“Lemari kabinet kamar mandi. Saya kira ini wadah permen tadi. Tapi begitu dibuka, ternyata isinya satu tablet pil kontrasepsi. Kamu tidak penasaran ingin meminum ini?”“Nggak! Lo aja yang minum kalau mau!”“Kamu melukai perasaan saya,” kata Agra dengan nada dramatis. Lelaki itu pun meletakkan kotak pink kecil yang tadi dipegangnya ke laci nakas di sisi Binar sebelum kemudian menjauh dan mematikan lampu kamar. “Kalau begitu tidur! Jangan sampai nanti saya dengar suara orang berbahasa asing, atau melihat cahaya selain lampu nakas,” tambahnya sebelum kemudian berbaring membelakangi Binar seolah tak terjadi apa pun. Seolah dia tak baru saja membuat jantung Binar nyaris copot karena ketakutan.Dan kini, kelakuan jahil Agra dibalas kontan. Ia yang menggoda, malah ia yang kini tergoda pada si pemilik rambut keriting yang perlahan mulai pasrah. Merasa jahat karena memanfaatkan gadis yang masih linglung dan belum sepenuhnya bangun, Agra pun melepaskan cengkeramannya pada tangan-tangan Binar dan berniat menghentikan ini.Namun belum juga ia menjauh, tangan-tangan Binar yang sudah terbebas malah kini terangkat dan dikalungkan ke lehernya, menarik kepala Agra agar kembali mendekat, lantas menciumnya lebih keras.Binar yang memulai. Jadi jangan salahkan Agra kalau sampai hal yang iya-iya terjadi. Binar yang memancingnya, bukan salah Agra kalau pada akhirnya menyambut dan ikut terhanyut, kan?Ini salah Binar. Sepenuhnya salah Binar.Memejamkan mata, Agra kembali ikut bermain dan membiarkan Binar memimpin.Siapa yang tadi bilang tidak tertarik mencoba pil kontrasepsi? ***
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan