
Deskripsi
PROLOG
A
pa yang ada dalam benak kalian saat mendengar kata tawuran? Batu yang melayang sembarangan di udara? Tongkat kayu bertemu kayu, aksi saling hantam, pun tendangan yang dilayangkan pada siapa saja yang dianggap lawan?
Dan, ya. Memang itulah yang saat ini tengah terjadi.
Lebam di rahang kiri, tak menyurutkan Angkasa untuk terus melawan. Di tangannya terdapat potongan kayu yang dia temukan beberapa saat lalu. Di hadapannya berdiri seorang siswa kebanggaan Bangsa yang masih...
Wiratmadja Series
189
40
4
Selesai
Wiratmadja SeriesCinta Itu LukaJengkir Balik Semesta RinaiCinta Sehangat Mentari
33,619 kata
Dukung suporter dengan membuka akses karya
Pilih Tipe Dukunganmu
Sudah mendukung?
Login untuk mengakses

Selanjutnya
Jungkir Balik Semesta Rinai
51
12
PROLOG Banyak alasan yang membuat Semesta dan Angkasa tak bisa benar-benar akrab sebagai saudara seayah, atau dua remaja seumuran selain karena sifat keduanya yang memang keterlaluan berbeda. Dua anak manusia itu sejak awal bertemu dalam perseteruan yang tidak menyenangkan. Kemudian diperparah oleh konflik yang terjadi pada orangtua mereka sebelumnya.Dan sekarang ....Angkasa memegang gagang sendok kuat-kuat. Berusaha menahan diri setengah mati untuk tak menggebrak meja dan menyatakan ketidaksetujuannya atas pernyataan Semesta barusan.Demi Tuhan, Angkasa tahu Semesta tidak pernah memiliki rasa apa pun terhadap ... Mentari, kecuali kesal tiap kali gadis itu menempelinya.Mentari, anak tetangga sebelah yang selalu mengekori Mesta ke mana pun pergi. Yang cerewet, centil, bermata biru, menyebalkan dan ... dan berhasil membuat Angkasa jatuh cinta untuk pertama kali.Angkasa tidak tahu apa yang terjadi, sampai-sampai Mesta nekat menyatakan lamaran malam ini. Selain usia mereka terlalu muda dan sebentar lagi Mesta meninggalkan Indonesia, saudara seayahnya itu juga tak memiliki pancaran kasih untuk Mentari. Pun wajahnya malam ini yang terlalu datar untuk ukuran seorang laki-laki yang tengah meminang kekasihnya.“Kamu serius ingin melamar putri saya?” Rafdi Zachwilly, ayah Mentari bertanya serius setelah mengelap bibir dengan tisu. Tatapannya lurus menghadap pada Semesta yang duduk tepat di samping Surya, dan bersebelahan dengan Mentari yang memandangnya penuh puja.“Saya serius, Om.”Mulut Rafdi mengerut sedikit. Matanya menyipit memerhatikan Mesta yang tak gentar sama sekali. “Kamu bahkan baru lulus kuliah.”“Saya tidak akan langsung menikahinya, Om. Mungkin ... pertunangan dulu, sampai saya maupun Eta bisa meraih mimpi masing-masing.” Semesta menjawab lugas. Tanpa beban. Tanpa perasaan. Tanpa gugup menyerang.“Bisa saya pikirkan dulu lamaran—”“Papa!” sela Eta cepat. Ia paham penolakan halus yang akan ayahnya berikan pada laki-laki yang sudah menawan hatinya sejak beberapa tahun silam itu. Dan dia tak akan pernah menyia-nyiakan kesempatan emas ini untuk memiliki Mesta secara utuh. “Aku mau nikah sama Ayang Mesta.” Dia merengek sambil membelitkan tangannya pada lengan Rafdi penuh permohonan. Siap menangis bila sang ayah tak mengabulkan.Mendesah, laki-laki bermata biru yang Eta panggil papa itu pun mengalihkan pandangan pada istrinya. Tapi mama Eta hanya mengedik acuh. Memberikan semua keputusan pada kepala keluarga mereka.“Bagaimana menurut kamu, Sur?” Dia masih berusaha mencari dukungan untuk menguatkan alasan sebagai penolakan untuk Semesta. Karena sungguh, dia belum rela putrinya dimiliki laki-laki lain.“Semesta biar pun usianya masih muda, tapi pikirannya sudah sangat dewasa. Dia tahu apa yang dia mau, Raf. Lagian, aku menyukai putrimu.”Rafdi kalah suara. Ia memberenggut tak kentara. Lalu ditatapnya Semesta sekali lagi, berusaha mengintimidasi. Sejak awal Mentari mengatakan bahwa dirinya jatuh cinta, Rafdi pikir itu hanya perasaan monyet belaka. Siapa sangka, laki-laki berwajah dan berperilaku kaku yang dikenalnya sejak masih bocah ini yang akan ia restui sebagai menantu.Maka dengan wajah tertekuk, ia mengangguk juga. “Tapi baru tahap pertunangan, ya!” tekan Rafdi sekali lagi. “Kalian boleh menikah kalau sudah benar-benar dewasa nanti.”Semesta mengangguk setuju. Mentari menjerit kegirangan tanpa malu. Semua orang kelihatan bahagia, termasuk Damai yang tersenyum begitu anggun malam ini.Kecuali Angkasa.Dia menunduk dalam, menatap butiran nasi yang tertinggal di atas piring makannya. Sama seperti serpihan hatinya yang mulai retak dan kepingannya jatuh berceceran. Angkasa ... patah hati.Namun ada satu lagi yang tertinggal. Tentang isi hati Semesta yang tidak diketahui siapa pun kecuali Tuhan, dan dirinya. Untuk hal sebesar ini, dia punya alasan.Alasan yang tak main-main.Dan ini menyangkut ... cinta terlarangnya untuk seseorang, yang ternyata belum sepenuhnya padam. 1Awal dariSegalanya “Lo dikira bencong?” tanya Rendi dramatis. Matanya sampai melotot dengan mulut menganga. Ekspresi yang kelewat berlebihan untuk ukuran orang yang merasa terkejut. Dan ... yeah, Rendi sebenarnya sama sekali tidak kanget. Tanggapan lebaynya lebih kepada ejekan untuk sahabat sekaligus saudara sepersusuannya yang baru saja tertolak.Melihat wajah sang lawan bicara yang kian tertekuk, ia pun terbahak keras. Sangat keras hingga orang-orang yang makan di tenda pinggir jalan itu menoleh pada meja mereka, tapi Rendi yang diciptakan tanpa urat malu malah makin tergelak. Ia bahkan sampai memukul meja panjang dengan tangan kanan dan memegangi perutnya yang mulai sakit menggunakan tangan yang lain. Membuat dua piring dan dua gelas tinggi yang sudah melompong di atas meja sedikit bergeser akibat ulah tangannya. Sama sekali tak merasa prihatin pada sahabat perempuan—setengah jadi—yang memberengut di seberang meja.“Ketawa aja, ketawa. Mumpung ketawa belum dipungut pajak puas-puasin, dah!” Rinai mendelik kesal. Dia mengajak Rendi makan siang bersama untuk mengeluarkan seluruh unek-unek yang menggumpal di balik batok kepala. Berharap dengan begitu otaknya akan sedikit lowong agar ia bisa memikirkan hal lain selain rangkaian rencana konyol yang sudah disusun rapi oleh si kanjeng emak.“Rin, nasib lo, Rin .... Hahahahaha ....” Rendi ingin berhenti, tapi sulit sekali. Padahal perutnya sudah terasa sakit dan tangannya mulai memerah. “Oke-oke!” Laki-laki berkulit cokelat gosong itu menarik napas panjang, lalu diembuskan perlahan melalui lubang bibir yang dibentuk bulat mirip ikan lohan demi bisa menghentikan tawa yang sungguh mengganggu semua pengunjung tenda biru tempat Mpok Rahmi jualan. “Hahaha ... Ya Allah, ampuni hambamu yang terlalu bahagia di atas penderitaan cecunguk satu ini, Ya Allah,” ujarnya kemudian. Sukses membuat Rinai semakin kesal.“Temen lo lagi kesel dibilang bencong. Dan lo malah seneng! Emang sodara jahanam lo!”“Ini kocak, Rin. Jangan salahin gue kalo kesenengan. Tunggu sampai Aang denger cerita ini. Hahahaha ....”Rinai melotot tajam. Refleks dia menggebrak meja di hadapannya sebagai bentuk peringatan. “Awas kalo sampai Angkasa tahu. Gue bikin perkedel lo!”“Ih, atut ....” Rendi menampilkan ekspresi takut yang dibuat-buat, menambah kadar kekesalan Rinai. Andai tidak mengingat Lulu, istri Rendi yang tengah hamil tua, sudah tentu ia realisasikan perkataannya untuk mengubah Rendi menjadi perkedel tahu—dalam angannya. “Lagian nyokap lo bener, lagi, Rin. Sekarang tuh lo udah tua. Dua tujuh. Gue aja udah mau punya anak dua. Lah, lo yang cewek malah masih nyantai doang. Belum kawin karena sibuk berkarier mah, bisa dimaklumi. Ini malah melangah melongo depan laptop doang kerjanya. Dapet duit kagak, pusing iya!” Tawa Rendi sudah sepenuhnya hilang. Kali ini ia kembali bawel dengan mengingatkan usia Rinai yang sudah mendekati kepala tiga. Andai dirinya punya teman lain, tak akan Rinai memuntahkan beban kepalanya pada Rendi yang bahkan lebih cerewet dari Lilah, ibunya. Tapi mau bagaimana lagi, yang Rinai punya hanya Rendi dan Angkasa. Jadi pilihannya jatuh pada cowok tengil satu ini. Karena Angkasa sekarang sudah sibuk bekerja. Dia yang dulu paling susah di antara mereka bertiga, kini malah menjabat sebagai manager di perusahaan keluarga Wiratmadja.“Gue juga pengin kawin kali, tapi lakinya noh yang nggak mau!” Dan setiap kali mengingat soal nikah, mood Rinai mendadak anjlok ke dasar bumi. Ingatannya kembali melayang pada kejadian kemarin malam. Saat Lilah menyuruh (baca: memaksa) ia menemui laki-laki muda yang katanya anak kampung sebelah. Landu namanya. Anak sahabat Lilah yang sedang mencari pendamping hidup.Rinai yang memang tidak punya gandengan kondangan terpaksa menurut. Malam itu ia bahkan rela menjadi kelinci percobaan Lilah di depan kaca lemari di sudut kamar. Didandani secantik mungkin. Bibirnya dipoles gincu merah menyala. Dan dua pipinya disapu dengan blush on. Lilah yang berprinsip bahwa putih itu cantik, mendempul muka Rinai dengan bedak tebal. Saking tebalnya sampai warna kulit muka dan lehernya tidak rata.Rinai ingin protes, tapi tiap satu silabel yang keluar dari mulutnya akan dibalas seribu kata oleh si kanjeng emak. Jadilah dia pasrah dengan bibir maju hampir sesenti. Dia juga tak melawan saat Lilah menyeretnya ke ruang tengah untuk menemui si Landu dan Nurlela—ibunya.Namun begitu pintu kamar dibuka, Landu langsung terperanjat dari kursi plastik yang diduduki. Matanya bukan lagi membulat menatap penampakan Rinai, tapi sudah membola, nyaris keluar dari rongga. Bahkan ponsel berlayar tujuh inchi dalam genggaman pun lolos dari tangan, meluncur bebas ke lantai semen bertekstur kasar hingga menyebabkan keretakan di ujung bawah casing-nya. Beruntung dia cukup sopan dengan tidak mengumpat saat itu juga. Hanya membaca istigfar ratusan kali dengan suara yang cukup keras hingga Rinai masih bisa mendengar.“Rinai, duduk di sini.” Lilah menuntun sang putri agar menempati kursi di samping Landu, tak menyadari keringat sebesar biji jagung yang mulai muncul dari lubang pori-pori pelipis si bakal calon mantu. Dengan dalih mengambil ponselnya yang jatuh, Landu sedikit menyeret kursi plastiknya menjauh. Ia tersenyum paksa saat matanya tak sengaja bertemu pandang dengan Rinai, lalu buru-buru memalingkan muka. Seolah wajah Rinai lebih menakutkan ketimbang boneka Annable.“Maaf ya, Nur, lama. Maklum anak gadis. Dandannya memang nggak sebentar,” ujar Lilah setelah menduduki kursi di samping ibu Landu, tak menyadari wajah sang lawan bicara yang sejak tadi bergidik menatap putrinya.“Ini anak lu, Lah?” Ibu Landu bertanya sangsi. Matanya tak lepas membidik Rinai dari ujung rambut hingga kaki. Lalu menoleh pada Lilah yang masih tampak cantik di usia setengah abadnya.“Iya. Manis, kan?”“Terus yang mau dijodohin sama anak gue, mana?” Ibu Landu balik bertanya, tak ikhlas rasanya mengamini pertanyaan Lilah barusan. Karena andai disuruh memilih, Nur lebih suka melihat penampakan hantu di tivi dari pada menatap Rinai.“Lu gimana sih, Nur? Anak gue kan, cuma satu. Ya, si Rinai ini yang bakal dicalonkan buat Landu.”“Innalillahi!” Lilah dan Rinai sontak menoleh pada satu-satunya Adam di ruangan ini yang tiba-tiba nyebut, padahal tidak ada angin topan malam ini. Bibir Rinai makin maju dengan kening yang berlipat-lipat begitu menyadari dirinyalah yang dianggap bencana oleh si Landu, membuat wajah ondel-ondelnya makin tak sedap dilihat.Lilah yang tak paham dengan tingkah bakal calon menantunya justru bertanya polos, “Kenapa, Nak?”Nur berdehem. Melirik Landu sekilas. Memberi kode pada putranya yang kini berwajah seputih kertas agar diam saja dan tetap berlaku sopan. Sebagai ibu, dia paham Landu sudah ingin pulang. Persetan dengan perjodohan ini.“Maap nih, Lah. Landu mukanya emang pas-pasan, tapi gue masih bisa cariin bini buat dia. Landu nggak seterburu itu sampai mau dinikahin sama bencong.” Ibu Landu berujar kalem, tapi sukses membuat ekspresi Lilah mengeruh.Dikatai bencong, Rinai jelas tersinggung. Dia sudah siap membuka mulut untuk mengumpati Nur yang sembarangan menyebutnya demikian. Tapi sebelum sempat katup bibirnya digerakkan, Lilah sudah lebih dulu menyambar, “Maksud lu apa, Nur?”“Gue maklum kalo lu pengin punya anak cewek. Sebagai perempuan yang ditinggal selingkuh suami, gue paham lu pasti sakit hati sama laki-laki. Ya, tapi jangan begini juga, Lah. Jangan cuma karena penghianatan mantan laki lu, lu tega maksa anak cowok jadi cewek. Dia—”“Tunggu, tunggu! Siapa yang bencong? Anak gue jelas perempuan.” Nada suara Lilah naik satu desibel. Kerutan dalam tampak di antara sepasang alis tebalnya, pun ujung mata yang menyipit tajam, menyorot Nurlela yang malam ini tampil ciamik dengan rok megar dan baju batik berlengan seperempat. Oh, jangan lupakan sanggul sebesar mangkuk cap ayam jago di belakang kepala serta kalung sebesar tali tambang dan gelang emas bersusun di lengannya. Andai sebelumnya Lilah tidak memberi tahu siapa Nurlela ini, sudah pasti Rinai mengira dia adalah toko emas berjalan.“Mana ada laki berambut begitu, Lah. Terus itu, tindikan di kuping kirinya. Payudara juga nggak ada, bokong apalagi! Gue nggak bakal ketipu cuma karena dia pakai baju kurung sama bedak Mak Lampir begitu.”Ugh. Rinai menarik napas dalam-dalam. Berusaha menahan diri untuk tak mencerca si Nurlela. Lebih dari pada itu, ia menyiapkan diri untuk kemarahan sang kanjeng emak sebentar lagi. Rinai bahkan sudah bisa melihat asap tak kasat mata mulai keluar dari lubang-lubang hidung ibunya, membuat ia bergidik ngeri. Batinnya bahkan sudah siap menghitung mundur tanpa harus menatap wajah Lilah yang sudah memerah.TigaDuaSatu—Dan ....“KELUAR LU DARI RUMAH GUE!”Petaka!Yeah .... Pertemuan malam itu berakhir dengan murka Lilah. Rinai yang tak bersalah mendapat imbasnya. Dia tak bisa tidur semalaman lantaran harus mendengarkan ceramah si kanjeng emak yang menyalahkannya karena masih mempertahankan model rambut cepak sampai detik ini. Juga dada dan bokongnya yang rata sampai orang salah kira.Oke, untuk potongan rambut, Rinai masih bisa terima disalahkan. Tapi untuk dadanya yang rata dan bokong tepos, itu jelas bukan salah Rinai, kan?Nahasnya, Rinai tak dapat membela diri. Karena di keluarga mereka yang hanya terdiri dari satu perempuan paruh baya dan perawan tak jadi, memiliki hukum yang memberatkannya. Yaitu, perkataan kanjeng emak selalu benar. Jadilah sejak malam itu Rinai harus rela dicekoki ramuan pemanjang rambut dan jamu Rumput Fatime agar dadanya bisa mangkal dan bokongnya timbul.Demi Dewa—kalau kata pemain film India, Rinai benar-benar berharap bisa dilahirkan sebagai pria.“Yaudah sih, nurut aja apa kata si Ncing. Kali aja lo beneran jadi cewek, kan!”Rinai mendengus jengah. Saran Rendi sama sekali tak membantu. Separuh hatinya menyesal karena telah memilih rendi sebagai tempat sampah dari unek-uneknya yang perlu dibuang. Tapi, separuh lainnya merasa sedikit lega. Hanya sedikit.“Jadi maksud lo, sekarang gue masih bukan cewek, gitu?”“Emang bukan, kan?”“Anjir lo, Ren!”“Huahahahaha ....” *** GOD!Rasanya Rinai ingin melempar ponselnya jauh-jauh ke antariksa, jika tidak mengingat bahwa benda inilah satu-satunya yang bisa ia andalkan. Sialan, sialan, sialan! Ia mengumpat berkali-kali begitu selesai membaca email dari Adsense yang berisi penolakan.Penolakan!Lagi!Untuk yang ke ... satu, dua, tiga, ... lima kalinya. Triple sial!Rasanya bahkan lebih menyakitkan daripada penolakan tersirat Landu minggu lalu. Ia bertanya-tanya, apa lagi kesalahannya kali ini? Demi Tuhan, blognya sudah berumur satu tahun. Sudah diisi lebih dari tujuh puluh artikel unfaedah. Sudah membeli domain dan sudah didaftarkan. Tapi, masih ditolak juga!Rinai menggigit kuku jari telunjuknya yang mulai memanjang. Matanya berputar ke kiri kanan, tampak sedang berpikir. Namun, kepalanya blank. Bulan ini ia terancam tidak mendapat penghasilan, kecuali transferan 150 ribu rupiah dari klien yang dua minggu lalu meminta jasanya menulis sepuluh artikel kuliner.Zaman sekarang uang 150 ribu dapat apa? Dipakai beli deodoran dan minyak rambut juga habis. Kalau minta ke Lilah, alamat Rinai akan dicerca habis-habisan dan dikatai penganguran, padahal dia sedang merintis karier sebagai freelancer. Dan demi mencari aman untuk kantong dan hatinya, alamat dia harus membabu lagi pada Rendi untuk mengisi kuota yang tinggal seperempat giga.Mencebik, Rinai segera memasukkan ponsel ke dalam saku celana. Ia bergegas bangkit dari kursi plastik di teras rumah. Mau mencari udara segar untuk mengisi paru-paru yang mendadak sesak akibat ditolak Mas Adsense.Sebelum menjejak undakan teras, tangannya bergerilya ke kantong celana bagian belakang. Berusaha mencari remah-remah rupiah yang barangkali tertinggal atau terselip tanpa sadar. Tapi, nihil. Yang Rinai dapat hanya koin dua ratus perak di belakang silikon ponselnya.“Ya, salam! Nasib freelancer gini-gini amat, yak!” Cewek berambut cepak itu mendesah frustrasi. Memasukkan kembali koin dua ratus peraknya, ia berjongkok untuk memakai sepatu yang diletakkan di undakan teras terbawah. Belum juga tali sepatunya selesai terpasang, suara cempreng si emak terdengar, membuat Rinai sontak mengangkat kepala seraya menoleh ke arah pagar.“Mau ke mana, Rin?” Wanita paruh baya bertubuh tambun dengan jilbab instan yang sudah terpasang agak miring itu bertanya. Satu tangannya sibuk memeluk keranjang plastik berisi kain mentah dari para tetangga untuk dijahit, sedang tangan yang lain kembali menutup gerbang besi setinggi pinggang yang mulai karatan dan sangat perlu dicat ulang.“Keliling-keliling doang, Mak. Paling banter juga ke tokonya si Rendi.” Rinai kembali menunduk, hendak menuntaskan kegiatannya mengikat tali sepatu.“Ini udah sore, Rin. Nggak baik perawan keluyuran jam segini. Bentar lagi juga magrib. Lagian kan tadi siang udah ketemu sama Rendi, masa mau ketemu lagi? Inget, dia udah punya bini.”“Elah, Mak, bininya nggak bakal cemburu juga sama Rin.”“Iya bininya nggak cemburu, tapi tetangga bisa ngomong yang nggak-nggak. Sekarang kan lagi rame-ramenya gosip pelakor. Lu emang mau dikatain calon perebut laki orang?”“Dengerin omongan tetangga doang nggak bakal bikin kenyang, Mak. Lagian Rin sama dia mahram, kan.”“Pokoknya nggak boleh!”“Tapi, Mak, ini urgent!”“Nggak ada urjen-urjen. Jam segini tuh waktunya setan berkeliaran. Mau lu disamain sama setan?”Alamak! Punya emak kok gitu amat, ya? Anak kok, disamakan dengan setan? Rinai makin mencebik. Ia melirik kesal pada Lilah yang berjalan melewatinya menuju pintu rumah mereka sambil melirik sadis. Memberi ancaman tanpa kata, seolah memperingatkan, bila ia tetap bandel, maka jatah makan malamnya akan jadi rezeki si Ijal. Kucing kampung gendut yang sejak bulan lalu betah tidur di teras rumah ini.“Buruan, masuk! Abis itu tutup pintu sama jendela. Ambil wudu, ngaji! Doa sama Gusti Allah, minta sama Dia supaya jodoh lu cepet-cepet dateng. Biar Emak bisa pamer sama mantan-mantan calon besan kalo lu beneran perempuan!” cerocos Lilah dari dalam sambil meletakkan keranjang di sudut ruang tengah. “Emak malu, Rin, punya anak satu doang udah diraguin kegadisannya, eh ... perawan tua pula. Entah dosa apa yang Emak lakuin dulu sampe diberi ujian sebegininya.”Drama again!“Makanya, terima kodrat kenapa, sih? Lu tuh cewek. Cewek ya wajibnya pakai gamis. Pakai hijab, bukan kaos gondrong sama celana sobek-sobek. Udah mirip gembel aja. Contoh si Nabila tuh, anaknya Mpok Hani. Kan, cantik. Denger-denger dia juga udah dikhitbah sama dosen UI. Nah, lu kapan?!”Dan bla ... bla ... bla ....Dan bla ... bla ... bla ....Rinai sudah khatam ceramah si Kanjeng Emak yang rutin setiap pagi dan sore, sudah seperti jadwal manggung Pak Ustad Mau Lama di tivi. Ia yang kembali melepas sepatu dan menyimpan di rak kayu dekat pintu, segera memasang headset. Suara merdu M. Shadows pun terdengar dari dua benda mungil penyumpal telinga itu, melantunkan lagu favorit Rinai dari zaman SMA dulu. Kendati sudah disetel dengan volume paling tinggi, suara cempreng Lilah masih saja lolos dari gendang telinganya. Tapi setidaknya, begini lebih baik.“Dasar anak jaman naw. Dinasehatin tuh denger, ini malah nyumpal kuping!”Rinai malas ambil pusing. Sebagai anak yang sok baik biar tak dikutuk jadi batu, ia menuruti kata Lilah. Menutup pintu dan jendela. Tapi setelahnya, bukan mengambil wudu dan mengaji, perawan 27 tahun itu malah menghidupkan televisi. Wajahnya masih ditekuk sepuluh. Kesal pada penolakan Adsense dan juga Lilah yang tak paham bahwa putrinya tengah sakit hati.Merogoh ponsel dalam saku celana, Rinai mengetik pesan di grup WhatsApp-nya.Rain R.Guys, help me! Rendi BuhariElah, nggak usah sok keminggris lo. Cuma bisa no yes doang padahal. Rain R.Napa lo mulu sih, yang nongol?😒😒😒 Gue kan lagi butuh sama Aang.Rendi BuhariOh, gitu. Jadi udah nggak butuh gue, lo? Awas klo besok-besok ngemis-ngemis ke toko. Rain R.Huaaa, iya, Ren. Gue butuh bantuan lo😭 jangan ngambek, dong. Tadi kan cuma becanda doang, elah .... Rendi BuhariOgah! Angkasa WiratmadjaBerisik. Rinai R.Aaaaaaangggggg .... How are you? Kangen tau. Kapan lo mau traktir kita-kita lagi? Angkasa WiratmadjaLo mah kangennya sama traktiran gue doang😑 Rendi BuhariWkwkwk emang gitu dia, Ang. Tadi dia juga ke gue. Ngajakin maksi bareng. Kirain mau neraktir, kan. Eh, ujung-ujungnya gue yang kudu bayar😕 Rinai R.Ya elah, sama temen doang perhitungan lo pada. Gue lagi butuh bantuan, nih. Angkasa WiradmadjaApa? Rendi BuhariJangan minta bantuan sama gue😒 Rinai R.Kasih gue kerjaan dong😟 Rendi BuhariCieee ... yang katanya calon blogger profesional. Yang katanya penulis artikel SEO terpercaya. Yang katanya freelancer keren. Yang katanya nggak mau kerja jadi bawahan orang. Kok, sekarang minta kerjaan?😈😈😈 Rinai R.Diem nggak lo, Ren?! Angkasa WiratmadjaAda nih, kalo mau. Rinai R.Seriusan, Ang? Apa? Mau dong, biar gue nggak perlu ngebabu lagi sama si Rendi kampret. Angkasa WiratmadjaDi kantor lagi butuh beberapa OB baru, sih. Mau? Rendi BuhariHUAHAHAHAHAHAHAHAHA OB! Si Rinai jadi OB😱 Rendi BuhariJangan ambil risiko deh, Ang. Bersihin bulu ketek aja si Rinai kagak bisa. Gimana bersihin gedung segede kantor lo. Rinai R.Sialan lo berdua! Gue serius kali. Angkasa WiratmadjaGue juga serius kali. Kalo lo mau, bisa gue atur. Rinai R.Mending gue ngebabu sama Rendi, dah😫 Rendi BuhariGue udah nggak butuh babu! Angkasa WiradmadjaYa mau gimana lagi, Rin? Ijazah terakhir lo kan cuma sampe SMA. Ada sih lowongan staff keuangan, tapi minimal harus sarjana. Rinai R.😥😥😥 Angkasa WiratmadjaAtau kalo lo mau, lo bisa bantu-bantu Bunda di rumah.Rinai R.Jadi pembantu maksud lo? Angkasa WiradmadjaBukan. Jagain si Meda. Kebetulan kemarin pengasuhnya dia ijin pulang kampung. Kemungkinan besar sih nggak bakal balik lagi. Kalo lo mau, ntar gue bilang Bunda. Dia pasti seneng kalo lo beneran mau. Rinai menekuk kakinya di atas kursi, kemudian menumpukan dagu di sana. Lagu sebelumnya sudah selesai dan berganti berikutnya. Namun kali ini, manusia berjenis kelamin perempuan yang masih diragukan itu sedang tak fokus pada lagu yang biasnya membuat tubuhnya menghentak-hentak. Otaknya tengah semrawut memikirkan cara jitu mendapat uang banyak tanpa harus mendaftar pesugihan. Dan satu-satunya jalan adalah mencari kerja yang jelas. Tidak mungkin ia hanya mengandalkan situs web setiap hari, yang kemungkinan mendapat job-nya kecil. Menunggu Adsense juga mau sampai kapan?Rinai memang sedang menunggu email dari TulisinDong.com atas surat lamaran untuk menjadi penulis artikel tetap di star up itu. Tapi, sudah hampir sebulan masih belum ada jawaban. Kemungkinan besar ia tidak diterima.Hah ...! Rinai mendesah pendek. Sekali lagi, ditatapnya layar ponsel yang cahayanya mulai meredup. Memikirkan untung-rugi bila dirinya menerima tawaran dari Angkasa.Menjadi pengasuh Meda sepertinya bukan hal sulit. Gadis kecil itu cukup manis. Beberapa kali Rinai pernah bertemu dengannya saat ibu Angkasa main-main ke sini, apalagi Meda anak orang kaya. Bukan tak mungkin Rinai akan mendapat gaji yang lumayan di atas UMR.Menarik napas, Rinai kembali menarikan jarinya di atas layar ponsel untuk membalas chat Angkasa. Rinai R.Nggak harus nginep di rumah lo tapi, kan? Gue nggak mungkin ninggalin Emak sendirian soalnya. Angkasa WiratmadjaEnggak, kok. Lo bisa pulang sore dan libur pas weekend. Bunda cuma butuh temen doang sih, sebenernya. Rinai R.Serius? Angkasa WiradmadjaHooh. Mau kagak? Rinai R.Boleh deh, boleh. Kapan gue bisa Mulai kerja? Angkasa WiratmadjaEntar. Gue tanya Bunda dulu. Rinai R.Siaaappp!!!Rendi BuhariHapah? Lo serius, Rin, mau jadi bebisiter?Rendi BuhariDaripada lo bikin adik Aang celaka, mending lo ngebabu sama gue aja deh, sini!Rinai R.😒😒😒Angkasa WiradmajdaMinggu depan kata Bunda.Angkasa WiratmadjaGue lagi baik hati, Ren. Itung-itung mencoba memunculkan jiwa keibuan si Rinai.Rinai R.Kampret kalian. Rinai menutup aplikasi WhatsApp, lalu meletakkan ponsel ke atas meja. Ia mengecilkan volume tivi saat adzan magrib mulai terdengar dari musala di ujung gang. Melirik Kanjeng Emak yang sedang melipat kain di sudut ruang tengah, Rinai bertanya, “Menurut Emak, kalo Rin jadi bebisiter aja gimana?” 2Rinai dan Cintanyayang Bertepuk Sebelah Tangan Rumah Angkasa itu besar. Berada di kompleks perumahan elite yang membuat Rinai harus menebalkan muka sebelum melewati rumah-rumah gedong dengan motor bebeknya yang soak dan sama sekali tidak ramah lingkungan. Begitu mematikan mesin motor di depan halaman rumah Angkasa, Rinai bertekad, pulang nanti ia akan memodif si Blacky agar bunyinya lebih halus. Apalagi tadi, satpam penjaga kompleks sempat menahan Rinai untuk masuk daerah ini dan mengajukan banyak pertanyaan yang membuatnya pening, serta memeriksa semua barang yang ia bawa. Bahkan Rinai sampai harus menelepon Angkasa agar si bapak-bapak berseragam putih dongker itu mau melepaskannya.Hah, holang kayah! Tamu saja harus diperiksa sebegininya. Atau hanya Rinai saja, yang secara visual dan finansial memang tidak seharusnya bertandang ke sini?Menginjakkan kaki di atas paving block halus di bawah sana, Rinai menarik napas. Ia mendongak, menatap istana tiga tingkat itu dengan pandangan memuja. Ini memang bukan kali pertama ia datang kemari, tapi rumah Angkasa selalu berhasil membuat ia kecil hati. Rinai seringkali merasa mimpi memiliki seorang kawan calon penerus keluarga Wiratmadja yang super kaya.Merasa terik makin menyengat kulit kepalanya, Rinai segera melangkah menuju teras depan. Ia celingukan mencari seseorang yang bisa ditanya. Pintu utama sedikit terbuka, tapi Rinai tak berani langsung menyelonong masuk ke dalam seperti saat di kediaman Damai yang dulu. Salah-salah, nanti dia bisa dikira maling oleh pembantu rumah ini.“Woy, ngapa berdiri di situ aja?” Daun pintu ganda di depannya terbuka lebar, menampakkan sosok Angkasa dengan tampilan rapi. Sahabat kecilnya itu mengenakan kemeja biru dan dasi liris-rilis. Celana bahan hitamnya menggantung rapi di pinggang. Rinai lupa kapan terakhir kali mereka bertemu, tapi kini Angkasa tampak kian memukau. Wajahnya tampan, kulitnya halus dan jambang-jambang kecil di sekitar rahangnya membikin tangan Rinai gatal ingin mengelus.Oh, Tuhan ... bolehkah Rinai berharap dialah tulang rusuk Angkasa yang hilang?“Hei!” Satu sentakan di lengan kanan, berhasil memutuskan keterpukauan Rinai pada sosok ganteng itu. Ia mengerjap beberapa kali, lalu cengengesan begitu menyadari dirinya melamun.“Sori, sori. Abis lo keliatan ganteng banget, sih. Gue kan silau liatnya.” Dan Rinai tidak mau repot-repot menutupi keterpesonaannya.“Jangan muji gue, plis. Gue berasa homo.”Menyebalkan sekali kan, jawaban Angkasa? Sejak dulu, sedari kecil, Angkasa memang selalu menganggap mereka satu jenis kelamin. Jangan salahkan Rinai bila ia tidak kenal gincu dan maskara, karena perempuan berkaus hitam kebesaran yang kini mengekori Angkasa untuk masuk ke dalam rumahnya itu tumbuh besar dengan dua sahabat lelaki yang lebih suka bermain kelereng timbang gonta-ganti baju boneka berbi.Dan hal tersebut jelas merugikan Rinai. Dia jadi diragukan kegadisannya. Pun perasaannya tak pernah dianggap oleh Angkasa. Iya, Angkasa. Laki-laki setinggi tiang listrik yang selalu tersenyum itu. Senyum menawan yang sungguh Rinai rindukan.Sejak Rinai mengenal rasa, laki-laki inilah yang ia inginkan sebagai pendamping hidupnya kelak. Angkasa yang ramah. Angkasa yang tengil. Angkasa yang selalu bikin onar. Dan Angkasa yang selalu berhasil membuat jantungnya berdegup liar.Namun, kini Rinai sadar diri. Dia dan Angkasa bagai langit dan ulekan. Terlalu jauh perbedaan di antara mereka yang tak bisa ia tembus. Meraih Angkasa, sama saja dengan meraih bintang. Sejuta tahun cahaya pun tak akan sampai. Yang ada sebelum menyentuhnya, hati Rinai sudah hangus terbakar.Percayalah, terjebak friendzone itu tak semanis cerita dalam novel roman. Jika menurut Dylan rindu itu berat, maka dia harus tahu bahwa cinta bertepuk sebelah tangan itu bisa membuat hatinya berkarat.“Eh, Rinai sudah sampai?” Suara lembut Damai, ibu Angkasa, kembali berhasil membawa Rinai pada realita. Dia mengerjap sekali lagi demi memutuskan lamunan. Senyum lebar Rinai suguhkan pada wanita 45 tahun yang masih tampak jelita di usianya yang hampir menyentuh setengah abad.“Hehe ... iya, Tante. Maaf telat, ya. Macet.” Rinai buru-buru menjauh dari Angkasa kendati dengan perasaan setengah tak rela. Dihampirinya Damai yang tengah membuatkan sarapan untuk Meda di meja makan, lalu menyalami punggung tangan beliau seperti dulu. Satu perbedaan lain Rinai rasakan, tangan Damai sekarang bahkan lebih mulus dan lebih lembut daripada tangannya.“Klasik banget sih, alasan lo. Jakarta macetnya udah dari dulu kali. Bilang aja kalau bangun kesiangan,” celetuk Angkasa, sukses membuat perempuan setengah jadi itu meliriknya dengan tatapan jengkel. Padahal baru saja Rinai memujinya dalam hati, tapi sekarang ia memaksa Rinai mengumpatinya lagi.“Nggak apa-apa. Rin mau bantu Tante jagain Meda aja udah seneng banget, kok.” Damai membalas senyum Rinai dengan wajah ramah. “Ayo, duduk dulu.”Dan Rinai tak bisa menolak. Ia memang lelah dan butuh duduk. “Ang, haus. Minum, dong!” pintanya tanpa malu setelah berhasil mendaratkan bokong di atas kursi kayu meja makan keluarga Wiratmaja yang luar biasa mewah.“Heh, cunguk, yang kerja di sini itu lo. Tapi kok, malah lo yang nyuruh-nyuruh gue?” Angkasa yang sudah menyeret kursi tepat di samping Rinai, menghentikan gerakannya demi memberi tatapan tak terima pada sang kawan.“Elah, baru hari pertama.”Mendengus, Angkasa menurut juga. Dengan masih menggerutu panjang-pendek, ia melangkah menuju kulkas di dekat kabinet yang menempel pada dinding bagian selatan. Membuka lemari es berpintu tiga, kemudian mengambil satu botol besar air dingin untuk Rinai. “Ini yang pertama dan terakhir lo nyuruh gue, ya!” sungutnya.“Enggak janji, deh.” Rinai menjulurkan lidah mengejek sebelum menuangkan air dalam gelas dan meneguknya hingga tandas, lalu sendawa keras-keras untuk mengejek Angkasa. Damai yang menyaksikan interaksi mereka hanya bisa geleng-geleng kepala. Putranya memang akan kembali bersikap bocah bila sudah bersama Rinai atau Rendi. Tiga serangkai yang dulu ke mana-mana selalu bersama.“Ang, ambilin Meda di kamarnya, gih. Waktunya sarapan dia,” pinta Damai pada Angkasa yang sudah hendak menjitak kepala Rinai.“Siap, Bunda!” Sebelum berbalik, Angkasa masih sempat menarik rambut cepak Rinai, membuat perempuan itu mengaduh, yang dibalas Angkasa dengan tertawa keras-keras sambil menaiki anak-anak tangga menuju kamar sang adik.“Kamu sudah makan, Rin?” tanya Damai sambil lalu. Dia bergerak gesit menuju kabinet, membuka salah satu pintunya demi mengambil dua toples camilan untuk Rinai. “Mau Tante bikinin sarapan?”“Nggak usah, Tante. Rinai udah makan kok, di rumah. Lagian kan, Rin kemari buat kerja.”“Tapi kalau camilan mau, kan?” tawar Damai sembari membuka tutup toples, yang dengan senang hati Rinai angguki. Bahkan tanpa canggung, ia meraih isi toples kaca yang Damai sodorkan. Mengambil beberapa keping keripik kentang dalam genggaman untuk kemudian dilahap satu-satu.“Ya elah, Bun, dia bukan tamu.” Angkasa mengeluh, pura-pura keberatan. Begitu mendengar suara sahabatnya kembali, Rinai menoleh ke belakang dan mendapati laki-laki itu menuruni tangga perlahan. Dan demi Tuhan, Rinai makin terpukau. Ketampanan Angkasa serasa naik 50% hanya gara-gara dia menggendong bocah perempuan. Gerakannya luwes saat menepuk-nepuk pelan bokong montok Meda. Ia bahkan tak risih ketika harus membersihkan liur sang adik menggunakan tangannya. Rinai yang semula ingin kembali mengumpat gara-gara celetukannya barusan, mendadak bungkam.“Aang udah cocok jadi ayah, ya, Rin?” Damai mendekati Angkasa dan meraih Meda yang baru bangun ke dalam rengkuhan. Sedang Rinai mengangguk tanpa mengalihkan perhatian dari objek tampan bermata beda warna yang sejak bayi ia klaim sebagai sahabat semati.“Tuh, Rinai aja setuju kalau kamu udah cocok jadi ayah, Ang. Terus kapan kamu mau ajak calon istri ke sini? Bunda udah pengin nimang cucu.” Damai membawa Meda ke meja makan. Mendudukkan si batita lucu di kursi bayi agar lebih mudah disuapi. Meda yang sedang tidak mood sarapan, menggeleng-gelengkan kepala ke kanan kiri saat sang bunda menyodorkan satu sendok bubur.Memutar bola mata, Angkasa menyahut, “Gimana mau gendong cucu, anak aja masih kecil gitu, Bun.” Ia ikut duduk di samping Rinai dan merebut toples kaca yang mulai dikuasi wanita setengah jadi itu. Membuat Rinai merenggut, tapi tak berani protes. “Lagian si Rinai didengerin. Dia aja yang udah mau manupause belum nikah juga, kok.” Tangannya mengambil keripik kentang lantas dimasukkan ke dalam mulut. Sambil mengunyah, ia menoleh pada Rinai yang masih mengerucut sebal seraya bertanya usil, “Eh ... tapi, Rin, lo nanti mau nikah sama cowok apa cewek?”“Anjir, lo!”“Rin!” Secepat Rinai mengumpat, secepat itu pula Damai menegur. “Jangan biasakan berkata kasar di depan Meda, oke? Nanti kalau dia niru gimana?”Rinai meringis, mendadak tak enak hati. Tengkuk yang tak gatal, ia garuk sebagai pelampiasan. “Gara-gara Angkasa nih, Tante.”Menggeleng maklum, Damai kembali membujuk Meda agar mau makan.“Lagian si Bunda, keburu banget pengen punya cucu. Minta aja sama Mesta sana. Kan, dia yang udah mau nikah,” sungut Angkasa sambil meraih kembali keripik kentang dari toples di atas pangkuan.“Semesta?” ulang Rinai tanpa sadar. Ingatannya otomatis berkelana pada sosok laki-laki berwajah triplek yang selalu menatapnya dengan tatapan penuh arti. Si anak Surya Wiratmadja dari mendiang istri keduanya. Saudara seayah Angkasa. Rinai mengenalnya, ah ralat ... hanya sekadar tahu. Itu pun karena insiden sepuluh tahun lalu, semasa SMA. Keadaan memperkenalkan mereka di arena tawuran. Perseteruan remaja yang kemudian berlanjut pada romansa Damai dan Surya.Kalau tidak salah ingat, terakhir kali Rinai bertemu Semesta adalah di hari pernikahan kedua Damai. Yang itu berarti sudah lima tahun silam. Lagian, persetan dengan Semesta. Rinai terlanjur tidak suka pada pria sombong dan berwajah es batu itu.“Iya, Mesta. Jangan bilang lo lupa sama dia?”“Enggak. Emang di mana dia sekarang? Udah kelar belum studinya?” Melihat Angkasa yang tampak begitu menikmati camilan paginya, Rinai juga jadi ingin. Dia meraih toples satunya di atas meja. Kendati bukan kripik kentang, tak apa. Nastar juga termasuk jajanan kesukaannya. Ah, sebenarnya Rinai penyuka segala jenis makanan, jadi apa saja dia lahap selama masih bisa dikunyah dan enak ditelan.“Dia udah balik dari tahun lalu, kok. Tapi, masih ngurus apalah itu namanya biar bisa praktik di sini, makanya jarang ada di rumah. Lima bulan lalu baru kelar adaptasi di Bandung, terus ujian ini itu, dan ngurus ini itu. Nggak paham deh gue. Cuma bisa heran aja sama tuh anak, ngapain coba kuliah kedokteran ke luar negeri, kalau ujung-ujungnya susah ngabdi di negeri sendiri. Untung jadi anak holang kayah dia. Ck ck ck ....”Rinai memutar bola mata. Tak terlalu tertarik pada cerita Angkasa tentang saudara seayahnya. Apa pun kesusahan yang Semesta alami, bukan urusan Rinai juga. Jadi, ia lebih memilih untuk mengalihkan topik pembicaraan. Namun belum sempat Rinai membuka mulut untuk bicara, Damai lebih dulu menyela.“Udah hampir siang ini, Ang. Sana berangkat. Nanti keburu dapet teguran dari Papa.” Damai mengangkat Meda dari kursi khususnya. Bocah itu menangis keras karena dipaksa makan. Membuat Damai kuwalahan dan kini sibuk menenangkan si putri semata wayang.Dengan wajah enggan, Angkasa berdiri. Meletakkan toples keripik yang isinya tinggal seperempat ke atas meja makan tanpa menutup kembali. Ia merapikan kemeja yang mulai kusut sebelum mendekati sang Bunda, lalu mendaratkan satu kecupan di pipi Damai dan Meda. “Berangkat ya, Bun!” pamitnya yang dijawab Damai dengan gumaman.“Berangkat, Rin. Sabar-sabar aja ngadepin kesayangan gue, ya. Dah ....”Rinai hanya membalas dengan kibasan tangan, mengusir Angkasa agar lekas menghilang. Setelah sosok laki-laki itu tak lagi kelihatan, ia pun berhenti nyemil dan mengembalikan toplesnya ke tempat semula. “Meda masih belum mau makan, Tan?”“Belum, nih. Dia emang suka gini. Rewel. Baru bisa diem kalo sama papanya. Makanya Tante sering kerepotan kalau urus Meda sendiri. Dia bener-bener nggak bisa diem, Rin.”Rinai menelan ludah kelu. Mendadak ragu untuk menjadi baby sitter Meda. Pasalnya kalau Damai saja kerepotan, apalagi dia nanti? Rinai jadi ingat reaksi Lilah saat minggu lalu dia bertanya. Apakah dirinya cocok jadi pengasuh anak? Entah Lilah yang memang lebay atau bagaimana, ibunya itu sampai nyaris menelan mata nenek yang tengah digigit selama mencari jarum jahit begitu mendengar pertanyaan Rinai. Beruntung benda besi tipis itu tersangkut di tenggorokan atas berkat amandel Lilah yang belum juga musnah.“Lu jadi bebisiter? Mending jangan dah, Rin!” serunya setelah mata nenek berhasil dikeluarkan dari mulutnya. “Mending lu belajar jahit aja. Terusin kerjaan Emak. Ya biar pun nggak bisa bikin kaya, seenggaknya masih bisa bikin lu nggak kelaperan.” Dan entah kenapa, saat ini saran Lilah terasa paling benar. Rinai memang tidak suka menjahit, tapi sebenarnya dia lebih tidak suka anak kecil.“Bagaimana, kamu udah siap kan, bantu Tante awasin Meda?”Kalau sudah basah begini, apa yang bisa Rinai lakukan selain menyebur sekalian? 3Laki-laki Sombong dan Setan Cilik Hari pertama menjadi penjaga bayi, rasanya Rinai sudah ingin taubat nasuha. Bayangkan saja, dia harus mengawasi Meda yang aktifnya naudzubillah. Bocah berusia 3 tahun itu sama sekali tidak bisa diam. Berlari ke sana kemari, melempar apa pun yang ditemui, dan selalu berontak saat digendong. Bahkan beberapa kali dia menggigit pundak dan leher Rinai. Kalau ditegur, Meda akan menangis keras, berguling-guling di lantai, dan melempari Rinai dengan benda apa pun. Baru sehari bekerja saja, Rinai sudah mendapat reward berupa benjolan besar di jidat.Sungguh, seandainya Rinai tahu akan seberat ini menjadi babysitter, lebih baik ia bekerja sebagai babu Rendi. Setidaknya, Rinai hanya akan disuruh mengangkut barang dan mengantar Lulu belanja, bukan menyiksa jiwa raga begini.Jangan tanya ke mana perginya Damai, karena jelas dia sedang sibuk di dapur untuk memasak makan malam. Rinai yang sudah tidak tahan ingin pulang, menengok ke arah jam dinding di ruang tengah untuk yang ke sekian kali. Masih pukul setengah empat. Tinggal sembilan puluh menit lagi, dan demi Tuhan ini baru hari pertama, tapi badan Rinai sudah berasa remuk semua.“Meda, jangan digigit dong, Sayang. Kotor.” Rinai merasa jijik pada suaranya sendiri yang terdengar bagai bencong pengkolan. Ia berusaha melepas boneka keroppi yang Meda masukkan ke mulutnya dan diemut-emut bagai permen susu hingga bulu boneka itu rontok. Tapi Meda yang tak terima malah ganti menggigit lengannya keras-keras hingga menyisakan bekas kemerahan.Sialan! Umpat Rinai dalam hati. Andai Meda adalah adiknya, ia tak akan segan mencubiti dua pipi gembil itu hingga Meda menangis. Sungguh, lengan Rinai perih sekali, Jenderal! Meda punya dua gigi taring yang tajam, andai Rinai tak mengenal orangtua bocah ini, sudah pasti ia yakin setengah mati jikalau Meda adalah keturunan vampir. Sedang Rinai merupakan gadis lemah yang memiliki darah suci di tubuhnya. Oke, abaikan pemikiran Rinai yang mulai melantur.“Dimainin aja, ya. Jangan digigit.” Rinai memegang si katak hijau dengan tangan kiri, lalu digerak-gerakkan di depan wajah Meda agar bocah itu tertarik. Alih-alih, Meda malah melengos dan ganti menariki rambut berbi. Bahkan si boneka cantik yang malang sudah nyaris botak, Pemirsah! Rinai membatin, perasaan Angkasa dulu tidak senakal ini.Barangkali malas dengan boneka berbi yang sudah tak cantik lagi, Meda berdiri, kemudian berlari menuju lemari. Rinai mengekorinya di belakang. Ia mendadak kelabakan begitu melihat si anak majikan membuka pintu lemari bawah dan mengeluarkan piring-piring kristal dari sana. Secepat yang dirinya bisa, ia angkat Meda menjauh, lalu merapikan piring-piring kembali ke tempat semula sambil mendumel dalam hati. “Meda, jangan nakal, dong! Nanti Kak Rin pukul, loh!” geramnya tak tahan. Seandainya bisa, Rinai ingin mengundurkan diri saat ini juga. Rinai benar-benar ikhlas menjadi pengangguran serta mendapat omel tiap jam dari Lilah yang jengah melihatnya selalu di rumah.“Siapa yang berani pukul adik saya?”Rinai yang tengah berkacak pinggang di depan Meda usai merapikan piring-piring kristal Damai, berjingkrak kaget begitu mendengar suara bass dari belakang punggungnya. Spontan dua tangannya turun ke sisi tubuh. Perempuan yang masih dipertanyakan jenis kelaminnya itu berbalik badan untuk memastikan siapa yang datang. Ludahnya medadak kering begitu menangkap visualisasi laki-laki muda berwajah triplek yang tengah menatapnya datar. Dan dengan kurang ajarnya, mata Rinai malah jelalatan, balik memandang si lelaki muda dari ujung kaki sampai kepala. Sepatu pantofel mengilap, celana jins abu-abu longgar, kemeja liris merah-hitam, jam tangan mewah, dan ... wajah rupawan berkacamata bulat.Fix, Rinai belum hilang ingatan.Dia. Laki-laki di hadapannya adalah Semesta Arya. Kendati wajahnya sedikit berbeda, pun tampilan dewasa, tapi Rinai tak mungkin melupakan wajah itu. Remaja sombong yang sejak dulu dibencinya. Kakak Dari bocah nakal yang seharian ini berhasil menyiksa Rinai Rainia. Dan sekarang Rinai tahu, dari mana asal sifat menyebalkan Meda. Pastilah dari orang ini.Sialnya, sebelum ia sempat membela diri, Meda yang semula melotot tak suka dengan teguran Rinai, mendadak mengubah ekspresi. Wajahnya ditekuk murung, pun bibirnya yang mencebik dengan mata berkaca-kaca, seolah dialah anak paling teraniaya di dunia, lantas berlari ke arah Semesta sambil berurai air mata. “Bang Ta, kakak itu nakal!”Mendengar aduan Meda, praktis Mesta menoleh pada sang adik. Raut mukanya berubah lembut. “Sini bilang sama Abang, siapa yang berani nakalin Meda? Biar Abang tinju nanti.” Ia berjongkok demi meraih si setan cilik ke dalam gendongan. Berusaha menenangkan sang adik yang mulai sesegukan. Rinai mendengus jengah. Ternyata manusia es itu bisa tersenyum juga.Setelah sesegukan Meda mulai reda, laki-laki itu kembali menghunus Rinai dengan kekuatan mata. “Sedang apa kamu di sini? Dan bagaimana bisa Meda ada sama kamu?” tanya Mesta tajam. Ekspresinya kembali sedingin es batu di kutub utara, sukses membuat Rinai menggigil di tempatnya berdiri. Membuat ia merasa bagai kancil nakal yang ketahuan mencuri.Rinai berdehem. Berusaha menahan diri untuk tak menyalak seperti manusia barbar. Ini rumah Damai, dan Rinai harus berlaku sopan. “Gu—em ....” Rinai bingung. Secara teknis, Semesta termasuk majikannya, jadi Rinai harus menyebut diri sebagai apa? Gue? Atau saya? Tidak mungkin dia menyebut dirinya dengan kata ganti 'aku', membayangkan saja sudah membuat bulu romannya berdiri. Geli, anjay!“Rain?” Kerongkongan Rinai makin tercekat begitu Mesta memanggil namanya lambat-lambat, barangkali kesal karena dia tak juga menjawab.Berdehem sekali lagi, si tomboi itu pun membuka suara, “Sa ... e, aye kan mulai hari ini kerja di mari, e ....”Mas?Rinai harus memanggilnya apa?Abang? Aden? Tuan Muda?Euhh, kerja menjadi bawahan memang menyebalkan. Apa lagi bila yang menjadi bos adalah manusia sebaya yang memiliki masa lalu tak menyenangkan denganmu.Sialannya, Mesta yang seolah mengerti bahwa ia sedang kebingungan, malah mengangkat satu alis tebalnya. Menunggu. Ugh, sudah berapa kali Rinai menyebut kata sialan sejak menginjak rumah ini?“Mmm ... aye harus manggil ente, ape ye?” Yeah, mendadak Betawi sepertinya pilihan terbaik meski kedengarannya sedikit aneh. Rinai adalah keturunan Jawa-Sunda, tapi lahir dan besar di Jakarta karena kedua orangtuanya bekerja di Ibukota. Dan seumur-umur, ini kali pertama iya ber-aye-aye ria dengan orang yang seumuran. Mana pakai sebutan ente pula. Berasa pindahan dari Arab saja, tapi sayang hidungnya tidak mendukung.“Mesta.”“Oke, Mes-ta.”“Kerja apa kamu di sini? Sopir? Tukang kebun?” tanya Mesta dengan nada sombongnya yang membuat perut Rinai mual. Selain fisiknya yang berubah makin matang dan tampan, tak ada lagi yang bisa dibanggakan dari sosok laki-laki ini. Setengah mati Rinai menahan diri untuk tak memutar bola mata jengah.“Bukan. Aye jadi bebisiter Meda di mari.”“Apa?”Mengira usia telah mengikis ketajaman pendengaran Semesta, Rinai kembali mengulang jawaban sebelumnya, “Aye kerja jadi bebisiter Neng Meda.”“Kamu?”“Iye.”“Sejak kapan laki-laki menjadi bebisiter?”“Hah? Siapa yang—” ucapan Rinai menggantung di udara, seiring dengan ingatannya yang samar-samar bermain lompat tali di otaknya.Bagaimana Rinai bisa lupa? Ia mengenal Semesta pertama kali di arena tawuran, dan Semesta benar-benar mengetahui eksistensi seorang Rinai di malam pertandingan balap liar. Sejak pertama melihatnya, Semesta mengira ia adalah laki-laki. Rinai yang memang berharap dilahirkan sebagai kaum Adam, tak mau repot-repot memberitahu bahwa ia perempuan. Jadi, untuk apa sekarang ia mengakui kejelasan kelaminnya? Bukankah disangka sebagai laki-laki itu keren? Asal jangan sebut dia banci.Maka, menarik tulang bahunya lebih lebar, Rinai menjawab dengan tampang sok keren. “Sejak hari ini.”Mata Mesta makin sipit menatapnya. Tampak sekali bila dia tidak menyukai keberadaan Rinai di rumah ini. Jika saja Semesta tahu, Rinai juga sudah ingin mengundurkan diri.“Lain kali jangan pernah berkata kasar pada adik saya!”Andai dalam situasi normal, atau sepuluh tahun lalu misalnya, Rinai tak akan segan meneriaki laki-laki sombong itu dan berkata, “Adik lo tuh yang nyebelin. Lihat nih, tangan gue digigit sampe merah-merah begini! Anjir lo!”Namun pada kenyataannya, Rinai cuma bisa diam. Sadar diri bahwa di sini dia hanya seorang kacung.Ketika Semesta berbalik badan hendak menjauh, Meda melongokkan kepalanya dari bahu kokoh si calon dokter dan menjulurkan lidah penuh ejekan pada Rinai.Triple sialan! Rinai berhasil dikibuli bocah berusia 39 bulan.“Awas lo, Setan Kecil. Gue pites nanti!” geramnya dengan suara tertahan.“Saya masih bisa mendengar suara kamu, Rain!”Sialan pangkat sepuluh kali dua satu! 4Perasaan Terlarang Jalanan itu cukup sepi, letaknya berada di pinggiran kota Jakarta yang memang jarang dilalui oleh kendaraan bila malam hari. Tempat strategis yang dipilih Satrya, pemimpin tawuran Kebanggaan Bangsa, untuk menantang anak-anak dari SMA Maju Terus dalam bertanding balap liar setelah pertarungan keduanya yang berakhir seri minggu lalu.Kala itu, rembulan tampak bundar sempurna di kaki langit dengan posisi yang mulai meninggi saat Semesta sampai di lokasi. Ia menginjak rem cukup dalam hingga menimbulkan bunyi berdecit lantaran gesekan ban dan aspal. Bahkan ban belakangnya sampai terangkat beberapa senti.Mengabaikan puluhan pasang mata yang menatapnya dengan berbagai ekspresi, Semesta membuka helm full face-nya perlahan seraya menggeleng-gelengkan kepala untuk menyingkirkan rambut bagian depannya yang sudah memanjang hampir mencapai mata agar tak mengganggu penglihatan.“Jadi? Siapa yang bakal jadi lawan gue!?”Mesta menoleh saat mendengar suara yang tak begitu asing itu menyapa telinganya. Ia menyipit saat ekspresi kesal Angkasa yang tampak. Cowok berperawakan tinggi kurus itu berdiri di barisan paling depan dan menatap teman-temannya angkuh. Seolah tak sabar memulai perang. Diam-diam, seringai Mesta terbit di sudut bibirnya. Ah, ini dia lawan yang diharapkannya. Bocah tengil yang memberinya banyak pukulan saat tawuran.“Mesta!” panggilan Satrya berhasil mengalihkan perhatian Mesta dari pemimpin pasukan Maju Terus. Ia berdehem kecil sebagai tanggapan sembari turun dari motornya dan mendekati Satrya yang kala itu berdiri berhadapan dengan pasukan Angkasa. “Akhirnya lo dateng juga.”“Semesta. Dia yang bakal jadi lawan lo,” ujar Satrya sebagai jawaban atas pertanyaan Angkasa sebelumnya. “Berani?”Angkas menyurukkan satu tangannya ke dalam saku celana tanpa mengurangi sikap angkuhnya. Untuk ukuran siswa miskin seperti Angkasa dan anak-anak Maju Terus yang lain, mereka terbilang sangat berani dan penuh harga diri. Sikap yang diam-diam Mesta acungi dua jempol.“Siapa ta—”“Biar gue yang maju!”Belum sempat Angkasa menyelesaikan kalimatnya, suara berat lain menyerobot tanpa permisi. Praktis mengusik perhatian Mesta yang saat itu juga langsung menolehkan kepalanya ke samping. Ia mengerjap begitu menemukan cowok bertubuh pendek berdiri di samping Angkasa.Mata Mesta berkelana. Memerhatikan si pemilik suara serak dari ujung kaki sampai kepala. Dia menggunakan kaus hitam yang tampak kebesaran di tubuhnya serta celana jins belel yang bolong-bolong. Rambutnya pendek, lebih pendek dari rambut Angkasa yang mulai gondrong. Dan wajahnya ... Mesta menahan napas untuk beberapa saat.Wajah itu ... cantik sekali. Matanya bulat dengan kelereng cokelat gelap yang begitu memesona, menatap Mesta dengan sorot tajam yang sukses membuat detak jantungnya terasa janggal. Juga hidungnya yang mancung, berhasil menarik sesuatu dalam diri Mesta yang tak pernah ia ketahui pernah ada. Dan bibir itu ... Mesta menelan ludah. Bibir tercantik yang pernah ia temui.Mesta merasa dirinya mulai gila saat satu suara dalam benak menyerukan kalimat pendek mengerikan; cowok ini cantik sekali.Namun di detik kemudian, keterpanaan Mesta buyar begitu mendengar suara keras Angkasa. Mesta pun mengedip sekali, mencoba fokus pada keadaan di sekitar arena. Berusaha menghilangkan keinginan untuk terus menatap cowok yang saat ini malah adu mulut dengan pemimpin pasukannya.“Gue!” Angkasa tampak bersikeras. Entah apa yang mereka ributkan. Mesta mencoba untuk tidak peduli.“Gue!”“Gue yang bakal maju. Lo belakangan aja.”“Enggak, Ang. Harus gue yang maju pertama!”“Gue!”“Gue!”“Jadi?” Satrya yang mulai jengah tiba-tiba menyela. Memutus perdebatan dua orang di depannya tanpa menutupi rasa bosan dalam nada tanyanya. Barangkali malas melihat pertengkaran konyol yang dilakukan dua orang aneh itu.“Gue yang maju duluan!” ujar Angkasa Final.Cowok cantik itu tampak kesal. Ia hendak membantah lagi sebelum akhirnya menurut dan mundur perlahan sambil mengumpat pelan. Membiarkan Angkasa maju duluan.Dan entah mengapa, Semesta merasa kecewa karena bukan dia yang menjadi lawannya. Padahal sejak awal, ia menginginkan Angkasa untuk dikalahkan malam ini, tapi kehadiran si cowok cantik benar-benar sukses mengalihkan seluruh dunia seorang Semesta Arya remaja.Tidak, tidak, tidak! Semesta menggeleng-gelengkan kepala. Ini bahkan sudah sepuluh tahu berlalu, Demi Tuhan! Harusnya Semesta bisa lupa. Percuma ia jauh-jauh belajar sampai ke benua Amerika, padahal pendidikan kedokteran di Jakarta sudah sangat bagus dan bisa membuatnya bisa dengan mudah mengabdikan diri tanpa harus dipusingkan tetek bengek adaptasi dan sebagainya, bila ujung-ujungnya saat kembali harus berakhir galau hanya karena menatap sepasang mata cokelat gelap itu.Sepasang telaga bening yang ... yang ... yang berhasil membuat replika Surya Wiratmadja jatuh cinta.Rain!Semesta mengusap-usap wajahnya beberapa kali, berusaha menyadarkan diri. Merasa butuh udara segar, laki-laki itu bangkit dari sisi ranjang menuju balkon kamar. Berharap udara sore bisa menyegarkan pikirannya yang semrawut. Sial bagi Mesta, bukan udara sore yang didapatinya, melainkan sosok Rain di bawah sana. Cowok cantik itu tampak sedang berusaha menghidupkan motor bebek hitam yang sepertinya mendadak tak mau diajak kompromi.Demi Tuhan, otak Semesta sudah memerintah agar ia berpaling muka, berbalik badan, dan kembali ke kamar. Menutup jendela rapat-rapat agar sosok Rain tak lagi kelihatan. Tapi, tubuh Semesta berkhianat. Alih-alih pergi, ia malah terpaku di sana dengan dua tangan menyangga pada birai balkon. Mencengkeram pagar aluminium setinggi pinggangnya demi menatap sahabat Angkasa yang kini menendang ban motor dengan kesal.Tak lama, Damai muncul dari dalam rumah dan menghampiri Rain sembari bertanya, “Motor kamu kenapa?”Rain berhenti menendang ban sepeda motor malang itu demi menoleh pada Damai, lalu menggaruk tengkuk belakang yang Mesta yakin sama sekali tidak gatal. Dia cengengesan. “Hehe, nggak tahu nih, Tante. Kayaknya si Blacky lagi ngambek deh, gara-gara mau dimodifikasi lagi.”“Emang motor bisa ngambek juga, ya?” tanya Damai polos, sedikit sangsi dengan jawaban Rain yang tak masuk akal.Wajah cengengesan Rain lenyap, berganti muka cemberut dalam sekejap. Untuk ukuran laki-laki, Rain terlalu ekspresif. Atau Mesta saja yang berpikir begitu?Tak ingin dipengaruhi sosok Rain lebih jauh, segera ia berbalik, melangkah cepat kembali ke kamar, kemudian mengunci pintu balkon rapat-rapat. Selama lebih dari sembilan tahun di Negeri Paman Sam, Semesta sudah berhasil menghilangkan bayang-bayang Rain. Dan setahun terakhir di Indonesia, semua baik-baik saja. Hanya sore ini ia merasa tak normal lagi. Dan Semesta nyaris gila memikirkan hari-hari selanjutnya, mengingat sekarang Rain bekerja di sini. Jika di hari pertama sudah berhasil membuat ia kelimpungan, bagaimana nanti?Mesta mondar-mandir di dalam kamar. Sebenarnya ada satu alternatif lain bila ia benar-benar ingin menghindar. Pindah ke apartemen. Tapi, yang susah adalah mendapat izin dari Damai dan Surya. Mereka sudah tinggal terpisah bertahun-tahun, Semesta tak ingin Damai tersinggung kalau ia mengutarakan keinginan untuk tinggal sendiri. Takut Damai merasa kecil hati dan beranggapan Semesta masih tak benar-benar merestui pernikahannya dengan Surya.Argh! Sialan, Rain! Semesta bisa benar-benar gila kalau begini.Sejak kecil, Semesta tak sekalipun mendapat pelecehan seksual karena penjagaannya yang ketat. Pergaulan Semesta sangat terjaga, dia juga tidak pernah patah hati pada perempuan yang menyebabkannya membenci kaum hawa. Lantas, apa yang menjadi penyebab ia mengalami penyimpangan seksual?Mesta bukan pemuda polos. Dia pernah beberapa kali menonton film biru, dan yah, dia on. Tapi Mesta tidak tahu, sesuatu dalam dirinya menyala lantaran si lelaki atau wanitanya yang telanjang. Mesta juga akan menatap lama gambar perempuan seksi dengan pakaian terbuka, tapi hanya sebatas itu. Dan sejauh ini, Semesta belum tertarik melihat gambar laki-laki telanjang. Kecuali Rain. Shit!Suara ketukan pintu membuyarkan pemikiran carut-marut dalam batok kepala pemuda itu. Cepat-cepat ia bergegas membuka daun kayu persegi itu dan mendapati Damai berdiri di hadapannya bersama Meda yang terlihat mengantuk di gendongan sang ibu.“Ya, Bunda?” tanyanya setengah enggan.“Mesta, bisa Bunda minta tolong?”“Apa?”Sambil menepuk-nepuk bokong Meda, Damai menjawab, “Anterin Rin pulang, ya?”“Rin?”“Iya. Itu, loh, temennya Aang, pengasuh barunya si Meda. Motornya mendadak mati.”Semesta menelan ludah kelat. Seketika perasaannya menjadi tak enak. “Maksud Bunda, Rain?”“Rain?” Damai mengernyit, detik kemudian ia mengangguk-angguk. Berpikir barangkali karena tinggal di luar negeri cukup lama, membuat logat putra tirinya sedikit berubah dan kesulitan mengucapkan kata 'Rin' seperti bule kebanyakan. “Iya, si Rin yang itu. Mau, kan?”“Tapi, Bunda, kenapa aku?” Sejak sore Semesta sudah berusaha menghindari Rain dengan mendekam di dalam kamar. Mengabaikan keinginannya untuk minta makan pada Damai yang memasak sambil sesekali mengawasi Meda yang berada di bawah pengasuhan Rain. Tapi sekarang, tiada angin tiada hujan—kecuali cowok cantik bernama Rain—tiba-tiba ia diminta mengantar pulang si babysitter baru. Yang benar saja!Tepukan Damai pada pantat Meda memelan saat melihat mata putrinya mulai memejam. “Karena Aang belum pulang,” ujaranya sebagai jawaban atas pertanyaan Semesta.“Ada gojek.”“Bunda nggak enak, Ta. Ini udah mau magrib, takut si Rin keburu dicari emaknya.” Damai mendongak demi bisa menatap langsung mata Semesta, ekspresi wajahnya sarat akan permohonan yang susah tertolak.“Bunda—”“Pliiisss. Sendainya ada Aang atau Pak Parmin, Bunda nggak bakal nyuruh kamu. Mau, ya?” sela Damai, tak membiarkan Semesta menyelesaikan kalimatnya. Ia tersenyum semringah setelah melihat anggukan enggan sang putra tiri. “Itu baru anak Bunda!” serunya sebelum berlalu. Melangkah lebih dulu untuk menidurkan Meda ke kamar si batita lucu. Tak menyadari keringat sebesar biji jagung yang muncul di pelipis Semesta, pun detak jantung pemuda itu yang mendadak menggila.Faktanya meski setelah sepuluh tahun berlalu, Semesta masihlah pemuda pengecut yang terjebak dalam perasaan terlarang. Ia menunduk, menatap cincin perak yang melingkar di jari manis tangan kanannya seraya membatin pilu.Mentari, maaf.Lalu melepas cincin itu dan memasukkan ke dalam kantong celana. 5Manusia Es Batu Terjebak macet di lampu merah bersama patung es itu rasanya ... lebih baik Rinai pulang jalan kaki daripada diantar dengan menggunakan mobil sekelas Mercy begini. Rinai bahkan tak bisa mendeskripsikan bagaimana perasaannya. Karena, Demi Tuhan, berdua Semesta lebih mencekam ketimbang duduk sendirian di kuburan pada malam Jumat keliwon. Bahkan, Rinai lebih rela tukar posisi dengan waria yang hilir mudik membawa kecrekan di pinggir jalan. Oke, Rinai mulai berlebihan. Semata karena dia duduk tegang di sisi kemudi. Sesekali melirik takut-takut pada si sopir yang tadi mendesisinya karena ia berniat duduk di bangku belakang.Tak tahan terus berdiam, perempuan setengah matang itu berdeham pelan. Merasa dehamannya tak membawa perubahan terhadap keadaan yang masih sunyi, dia berdeham sekali lagi. Kali ini lebih keras. Tetapi masih tak berdampak apa pun.Kesal, Rinai mendelik. Ia melipat tangan di depan dada, lalu menolehkan kepalanya pada jendela. Lebih baik melihat lampu merah di depan sana daripada berusaha membuat si rekan patung pancoran bicara. Padahal Rinai hanya tidak ingin dianggap babu tak tahu diri yang sudah diantar pulang, tapi malah sok jual mahal. Namun mau bagaimana lagi kalau yang mengantar barangkali sedang sakit gigi.Mendengar samar-samar suara melas perempuan di antara deru kendaraan bermotor dan bunyi kelakson yang bersahut-sahutan, Rinai mengalihkan pandangan dari lampu merah yang masih menyala. Seorang ibu-ibu menggendong bayi menghampiri mobil mereka dengan membawa kaleng susu kosong, meminta belas kasihan. Rinai hanya melihat, tak berniat menurunkan kaca jendela yang memang setengah terbuka, apalagi memberi recehan. Dari berita yang sering ia tonton di tivi, pendapatan pengemis di Jakarta per harinya bahkan sampai jutaan. Gila, gaji PNS saja kalah. Padahal kalau dilihat dari segi fisik, kebanyakan dari para pengemis itu masih tergolong usia produktif dan sehat, sekalipun memiliki bayi, tak bisa dijadikan alasan untuk meminta-minta. Menurut Rinai, manusia moderen harus bisa kreatif. Lebih-lebih di zaman sekarang orang-orang bisa memanfaatkan kemajuan teknologi untuk mendapat uang dengan menggunakan jasa internet, tapi kesuksesan memang tak serta-merta bisa diraih. Rinai saja masih merangkak demi mendapat pundi rupiah dari blog dan star up. Bukan merangakak lagi sebenarnya, melainkan tiarap. Saking tiarapnya, ia masih harus ngebabu di keluarga Wiratmadja.Rinai mengernyit. Lehernya terasa tidak enak. Pasti gara-gara batuk-batuk kecil tadi, tenggorokannya jadi benar-benar gatal. Sialan. Mau tak mau, ia berdeham lagi.Merasa ada pergerakan di sampingnya, ia pun melirik dari ekor mata dan mendapati Semesta membuka laci dasbor, kemudian mengambil sesuatu.Tanpa kata, laki-laki itu menyodorkan sashet obat batuk padanya.“Ini ... apa?” tanya Rinai sangsi.“Komek.”Rinai memutar bola mata jengah. Angkasa bilang, Semesta ini pintar. Bahkan dia kuliah di salah satu universitas terbaik dunia. Tapi, orang bego yang buta huruf saja pasti tahu kalau yang disodorkannya pada Rinai adalah obat batuk jenis komek rasa lemon! “Maksud gue, ngapain lo ngasih komek?!”“Kamu batuk.”Baru-baru ini, masyarakat Indonesia dihebohkan oleh berita tentang siswa yang membunuh gurunya hanya dengan memukul bagian leher. Dan sekarang, Rinai gatal untuk mempraktikkan hal itu pada saudara sahabatnya. Ingin membuktikan kebenarannya, jika saja ia berani.“Angkasa bilang, lo dokter. Spesialis pula. Tapi ngebedain batuk sama deheman aja, lo nggak bisa!”Semesta berkedip lambat. Barangkali lelah menyodorkan tangan pada Rinai yang tak mendapat sambutan, ia pun meletakkan obat tadi di atas dasbor, kemudian balas berkata, “Pertama, izin praktik saya belum keluar. Kedua, saya spesialis jantung, bukan THT. Dan ketiga, orang sakit batuk, tenggorokannya gatal, jadi pasti akan sering berdeham. Lantas bagian mana dari tindakan saya yang salah?”Dan seketika, Rinai menyesal pernah berusaha membuat Semesta bersuara hanya demi membunuh sunyi di antara mereka. Yang ada, kini ia malah dibuat setengah gondok oleh dokter jantung yang benar-benar membuatnya nyaris jantungan itu.“Semerdeka lo aja, deh!” Rinai kembali memalingkan muka. Mengabaikan kerutan dalam yang mulai muncul di antara alis tebal sang lawan bicara. Ibu-ibu tadi yang menghampiri mobil mereka sudah pergi entah ke mana.“Saya berusaha berbuat baik sama kamu. Seharusnya kamu bilang terima kasih.”“Oke, makasih!”“Tapi, obatnya belum diminum.”Demi kolor Rendi, orang ini benar-benar!Malas mendengar bacot Semesta lebih panjang, Rinai mengambil obat batuk di dasbor dengan gerakan kasar. Menggigit bagian ujung, lantas mengisap seluruh isi kemasan dengan sedotan kuat dari bibirnya. Tak menyadari Semesta yang terus memerhatikan tanpa kedip sambil sesekali menelan ludah. Angannya mulai bergerilya ke mana-mana hanya dengan melihat gerak bibir Rinai.“Puas lo, sekarang?” tanya Rinai kemudian. Ia membuang bungkusnya pada tempat sampah kecil yang selalu tersedia di mobil. Lalu berdeham sekali lagi demi merasakan tenggorokannya yang mulai sedikit lega. Meski demikian, Rinai ogah mengakuinya di depan Semesta.“Ehm, ya. Saya puas.” Semesta mengerjap seraya terbatuk-batuk kecil. Entah kenapa, justru tenggorokannya yang sekarang terasa gatal.Lampu lalu lintas berubah warna. Semesta menggerakkan sedikit mobilnya mengikuti kendaraan di depan sana. Berusaha tak terpengaruh oleh Rinai yang kini tengah menjilati bibirnya untuk menghilangkan bekas obat likuid yang tadi diminum. Tak tahan, akhirnya ia bersuara lagi, “Berhenti jilat-jilat. Kamu bisa pakai tisu untuk membersihkannya!”“Komeknya lengket. Kalau pake tisu, bakal nempel di bibir gue!”Semesta merogoh sesuatu dari kantung celana, kemudian melemparnya ke atas pangkuan Rinai. “Pakai itu!”“Lo maksa banget, sih? Emang kenapa kalau gue jilatin?”“Jorok!”“Yang jorok gue, kenapa lo yang sewot?”“Karena itu ganggu penglihatan saya!”“Kalau gitu jangan lihat, lah!”“Nggak bisa!”“Kenapa nggak bisa?”“Kalau saya bilang nggak bisa, ya, nggak bisa!”“Nggak jelas, lo!” Mau tak mau, Rinai mengambil sapu tangan putih polos itu, lalu dilapkan dengan kasar ke bibirnya. Dalam hati ia mengumpat, mengabsen nama seluruh binatang di ragunan. Rinai tidak tahu siapa tunangan Semesta—dan tidak berminat untuk tahu, tapi dapat dipastikan kalau wanita yang entah siapa pun itu merupakan mahluk paling sial di muka bumi karena mendapat jodoh jenis manusia es yang sok sempurna bin songong ini!Ya kali, membersihkan bibir saja harus ada aturannya! Andai Semesta tahu saat Rinai selesai makan akan menjilati jemari tangan kanan satu-persatu, mungkin dia akan mati berdiri! *** “Udah pulang, Rin? Yang nganterin lu siapa?” Lilah langsung memberondong Rinai dengan rentetan pertanyaan begitu ia membuka pintu depan. Lilah tadi tak sengaja melihat mobil mewah berhenti di depan gang rumah mereka dan mendapati Rinai keluar dari sana. Ia tak bisa melihat si sopir karena jendela di sisi pengemudi ditutup, pakai kaca hitam pula. Yang Lilah tahu, anaknya pulang naik mobil bagus. Harga mobil itu pasti mahal, membuat Lilah berandai-andai, kapan ia bisa naik kendaraan sekeren itu. Apalagi kalau yang menyetir adalah menantunya, pasti terasa bagai surga dunia. Dia akan pamer pada para tetangga nanti.“Anak majikan,” jawab Rinai tanpa minat. Ia menjatuhkan bokong pada kursi plastik di ruang tengah sembari mengambil remot dan menghidupkan televisi. Sisa-sisa kekesalannya pada Semesta masih ada. Sukses membuat mood Rinai anjlok sampai dasar bumi.“Anak majikan? Angkasa?” Lilah ikut duduk. Dia mengambil tempat di samping Rinai sambil memangku keranjang kain. Belum puas dengan jawaban putrinya.“Abangnya.” Rinai mengeraskan volume televisi, kode halus pada Lilah agar tak banyak bicara, apalagi kalau bahasannya Semesta.Namun, Lilah yang kurang peka tentu saja tak bisa menangkap kodenya. Alih-alih berhenti, ia malah makin jadi bertanya, “Anak Pak Surya dari mendiang istri keduanya? Yang ganteng itu, bukan? Siapa dah namanya? Emak lupa.”“Rinai juga lupa, tuh!”“Ya kali lu lupa. Lu kan, kerja di rumahnya!”Andai membentak orang tua tidak dosa, Rinai pasti sudah melakukannya. Tapi, manusia setengah matang seperti Rinai tak benar-benar peduli dosa. Ia lebih peduli kulitnya, karena sekali ia berani membentak Lilah, maka ia pun harus siap mendapat cap lima jari di pipi, lebih-lebih perutnya bisa jadi tak merdeka malam ini. Jadilah Rinai menahan diri. Lebih memilih menahan dongkol di hati. “Semesta, Mak.”“Nah, iya, Semesta. Dalam rangka apa dia nganterin lu pulang?”“Motor Rin mati.”“Alhamdulillah!” seru Lilah penuh syukur. Sukses membuat kening Rinai dipadati kerutan. Dia langsung menatap Lilah kesal, melupakan acara Pesbukres yang sedang ditonton.“Motor Rinai mati, Mak! Kok malah bersyukur gitu, sih?”“Ya justru karena motor mati, lu jadi dianter cowok cakep. Seneng, dong! Kali aja bisa jadi kayak eptipi yang kemarin Mak tonton itu, loh. Apa dah judulnya, ya? Mm ... ah, iya. Gara-gara Motor Mati Jodoh Menghampiri. Duh ... romantis pasti, tuh! Tapi, jangan sering-sering jalan berdua, ketiganya setan. Kalo mau sering-sering, minta hakim dulu.”Rinai malas menyahut. Ia mengembalikan perhatiannya pada Rapi Amad yang sedang memakai baju pangeran kodok dan tengah merayu Ayu tong-tong. Sialnya, aksi lucu itu tak bisa memecah tawa Rinai gara-gara perasaan dongkol.“Ngomong-ngomong, Rin, dia belum punya calon, kan?”“Dia udah mau nikah, Mak!”“Yah, sayang banget, ya.” Ekspresi antusiasme Lilah mendadak luntur. Buyar sudah harapannya punya menantu ganteng dan kaya yang bisa dipamerkan pada tetangga. Tidak usah ganteng atau kaya sebetulnya, karena Rinai laku saja Lilah sudah bernazar akan berpuasa Senin-Kamis selama satu bulan.“Emang kalau belum, kenapa?”“Kali aja dia mau sama lu, gitu.”Cukup, sudah. Telinga Rinai yang suci ini tak lagi sudi dicemari oleh nama Semesta. Meletakkan remot setengah membanting ke atas meja, Rinai berdiri. Dengan berasalan mau ambil wudu karena hampir adzan magrib, ia pergi dari ruang tengah menuju kamar, lantas mengempaskan tubuh pada kasur kapuk yang terasa begitu keras di bawah punggungnya. Huh, padahal acara Pesbukres sore ini sedang seru-serunya karena banyak menampilkan adegan Rapi Amat, tapi si emak yang tak bisa diajak bekerja sama malah terus merecokinya tentang Semesta.Semesta. Rinai benci laki-laki itu! 6Bule Menor Suara tangis Meda yang melengking, menyambut kedatangan Rinai pagi itu. Hari ini tepat satu minggu ia bekerja sebagai pengasuh Meda, dan sudah mulai terbiasa dengan rengekan si bocah vampir bila sedang bersama ayahnya. Surya Wiratmadja.Seperti halnya pagi ini, ruang tengah keluarga Wiratmadja dihebohkan dengan raungan Andromeda yang tidak ingin ditinggal sang ayah. Wajah imut bocah itu basah, mata dan hidungnya pun memerah. Kalau begini, Rinai seolah benar-benar menatap seorang bayi, bukan setan cilik yang biasa mengajaknya uji nyali.“Cup, cup, cup .... Udah dong, Sayang, jangan nangis terus.” Pak Surya menggendong Meda sambil mondar-mandir seperti setrikaan, mencoba menenangkan Meda yang masih sesegukan. Ingusnya bahkan sudah membuat sebagian atas kemeja mahal Surya menjadi lengket dan menjijikan, tapi laki-laki itu tampak tak peduli.“Rin, tolong ambilin boneka beruang Meda di keranjang mainan, ya!” serunya, bahkan tanpa menoleh pada Rinai karena sedang kerepotan mengelap wajah basah putrinya dengan menggunakan tangan.“Oke, Om.” Rinai menurut. Melangkah gesit menuju bawah tangga tempat keranjang besar berisi mainan Meda diletakkan. Membongkar-bongkar isinya, dan setelah menemukan beruang cokelat yang sebelah matanya sudah raib entah ke mana, ia kembali bergegas menghadap Surya demi memberikan boneka malang tersebut padanya.Saat hendak menerima si Tedi dari tangan Rinai, Surya menatap sangsi. “Eh, kamu salah ambil kayaknya deh, Rin. Yang Om maksud tuh, boneka yang yang dibeliin tiga hari lalu itu.”“Nggak, Om. Ini emang yang dibeliin kemarin.”“Oh, Tuhan!” Surya mengerang. “Meda, ini boneka Papa baru beliin, loh. Kok matanya udah tinggal satu sih, Nak?”“Yah, Om. Ini cuma hilang satu mata. Yang lain parah, Om!” Rinai tak akan heran dengan hilangnya satu mata si Tedy, mengingat kelakuan Meda di luar jangkauan orangtua dan kakak-kakaknya. Nyaris semua mainan bocah itu tak ada yang masih utuh. Si Tedi masih mending cuma matanya yang hilang sebelah, nasib Barbie dan Keroppi bahkan lebih mengenaskan lagi. Rambut Barbie sudah gundul, lehernya miring—mungkin patah tulang. Dan si Katak kepalanya lepas dari badan.Andai mainan-mainan itu benar-benar hidup seperti di film Toy, sudah pasti Barbie masuk rumah sakit dan butuh penanganan serius, sedang Keroppi harus segera dikuburkan dengan layak. Mainan lain yang tak kalah nahasnya akan berduka. Mereka tinggal menunggu giliran kapan akan menyusul yang lain yang sudah tenang di alam sana.“Ini anak gadis siapa, sih? Bener-bener!” keluh Surya tak habis pikir. Seingatnya, waktu kecil dia tidak senakal Andromeda. Mesta pun demikian. Mesta justru lebih suka membaca dan bermain puzzle.“Dia anakku, Mas, kalau kamu nggak mau ngakuin!” celetuk Damai dengan nada sedikit kesal. Surya tak menanggapi, mungkin takut terjadi percekcokan seperti yang sudah-sudah, sementara Meda sedang manja-manjanya.Selama seminggu bekerja di sini, sedikit banyak Rinai tahu kalau pasangan beda usia dua tahun ini lebih sering ribut. Hal remeh saja bisa mereka perdebatkan seharian. Damai yang bawel dan Surya yang tak suka mengalah merupakan lawan yang seimbang. Namun entah mengapa, cekcok mereka malah terdengar lucu. Angkasa mau pun Semesta lebih suka menjadi penonton daripada menengahi.“Si Nyonya sensi tuh, Om. Makanya kalau ngomong sama perempuan tuh, hati-hati,” bisik Rinai sambil tertawa cekikikan.“Ck, dia memang sensian tiap hari.” Surya menerima boneka dari tangan Rinai untuk menghibur Meda. Tapi, si bungsu malah makin meraung dan meronta. Meminta Surya menjauhkan benda cokelat gendut itu darinya.“Ga mau Tedy. Mau Papa.” Tangis Meda menjadi, ia bahkan memukul-mukul wajah Surya saking gemasnya pada sang ayah yang barangkali tidak peka. “Mau Papaaa!”“Iya, iya! Tapi diem, oke?” Meda tak menyahut, tapi jelas dia berusaja menahan tangis. Hanya isakannya yang belum bisa hilang. “Ya udah, Rin, balikin Tedynya deh, ya. Meda nggak mau.”Rinai hanya mengangguk. Babu tidak boleh menolak perintah bos. Jika saja bosnya hanya seorang Rendi, Rinai pasti sudah melunjak. Sambil mengembuskan napas, ia meletakkan si Tedy ke dalam keranjang plastik setinggi paha itu, kemudian merapikan kembali barang-barang yang tadi dia bongkar. Dasar setan cilik. bisanya menyusahkan semua orang! Keluh Rinai dalam hati.“Kebiasaan dimanja, sih. Jadi begitu tuh, anaknya!” Damai yang terganggu dengan tangis Meda, mulai mengomel dari ruang makan. Sama sekali tak tertarik membantu Surya merayu putri kecil mereka. Dia bergerak gesit membuat jus sambil sesekali mengaduk nasi goreng di atas kompor.“Siapa yang manjain sih, Bun. Mas kan, cuma berusaha jadi papa yang baik buat Meda,” bela Surya. Ia melirik Damai yang sedang menyiapkan sarapan pagi. Ruang tengah dan meja makan istana ini memang tidak bersekat, memudahkan gerak Rinai saat menjalankan perintah dari si nyonya rumah mau pun panggilan Surya yang kadang minta tolong diambilkan dot. Nasib jadi kacung, tidak boleh protes sekali pun diperlakukan bagai bola pimpong. Di oper ke sana kemari.Baru datang lima belas menit yang lalu saja, Rinai sudah melakukan beberapa hal. Membantu Damai mengambil piring, mencuci alat makan Meda dan membuatkan si bocah kecil susu formula. Sedang pembantu di rumah ini sedang mencuci di kamar mandi dapur. Pakai tangan. Damai yang terbiasa hidup pas-pasan waswas dengan hasil cucian mesin.“Jadi ayah yang baik itu bukan berarti ngasih semua yang anak-anak minta, Mas. Cukup ngasih apa yang mereka butuh aja.”“Kenapa? Selama kita punya uang untuk mengabulkan keinginan mereka, sah-sah aja, kan?”“Serah Mas aja, deh. Orang kaya mah, bebas!” Damai meletakkan piring ke atas meja dengan setengah membanting. Barangkali kesal pada Surya yang selalu bisa menjawab semua omongannya.Setelah selesai menyiapkan sarapan untuk suami dan anak-anaknya, wanita 45 tahun itu kemudian bergegas menuju tangga untuk memanggil Angkasa dan Semesta. Saat melewati Surya, ia mendengus keras.“Bundamu, Nak. Makin tua kok makin bawel, sih?” keluh Surya pada putrinya. Meda yang belum mengerti omongan sang ayah tak menjawab, hanya mengeratkan pelukan pada leher Surya. “Meda nggak boleh bawel kayak Bunda, ya.”“Papa, itut ....” rengeknya. Kukuh minta ikut ke kantor, tak ingin ditinggal di rumah.“Papa kan, kerja. Biar Meda bisa beli mainan baru.“Ngga mau mainan. Maunya Papa aja.” Lalu lanjut menangis. Menenggelamkan kepala kecilnya pada bahu kiri sang ayah. Surya yang tampak mulai lelah, menjatuhkan bokongnya ke sofa putih yang berjejer di ruang tengah. Tangannya masih setia menepuk ringan bokong Meda.“Anak Papa kok jadi manja dan cengeng gini, sih? Nurunin siapa emang?”Alih-alih menjawab, Meda malah meraung makin keras. Damai yang sudah kembali turun dari lantai atas akhirnya tak tega juga. Segera ia mengambil Meda dari gendongan ayahnya. “Udah dong, Sayang. Nanti Bunda cubit kalau masih nangis terus, mau?” ancamnya yang sukses menuai pelototan dari Surya.“Aku aja sini yang diemin. Anak kok diancam begitu! Yang ada dia makin nangis, Mai!”Damai hanya memutar bola mata jengah, sama sekali tak memedulikan protesan suaminya yang berusaha merebut Meda kembali. “Sekali-kali, anak emang perlu diancem biar nurut. Aku nggak kebayang kalau Meda dibesarin di tangan kamu aja, bisa ngelunjak dia!”“Mesta besar di tangan aku, tapi dia nggak ngelunjak.”“Karena, dia lebih banyak nurunin gen ibunya daripada kamu!”Dan ajaibnya, Meda langsung diam begitu mendengar orangtuanya berdebat. Bocah itu malah tertawa geli sekarang. Normalnya anak-anak akan menangis atau sedih melihat ayah dan ibunya adu mulut, tapi Meda memang beda. Tak salah Rinai menjulukinya sebagai titisan iblis.“Nah, kan. Diem dia kalau diancem.” Damai masih belum mau berhenti mengomel. Dia mengambil botol susu di atas meja kopi, kemudian memberikannya pada Meda. Sedang Surya mendengus pelan. Dia masih yakin kalau Meda berhenti menangis bukan karena diancam. Tapi karena wanita selalu benar, Surya memilih diam dan mengalah.Begitu melihat kedua putranya turun dari tangga, laki-laki 47 tahun itu melangkah menuju meja makan untuk sarapan bersama. Kegiatan sederhana yang sukses membuat Rinai iri setengah mati.Perempuan setengah lelaki itu berdiri si sudut ruangan. Menolak saat Damai mengajaknya untuk ikut sarapan. Rinai sudah makan sebelum berangkat ke sini. Lilah, meski galak, tapi dia juga sangat perhatian. Setiap pagi dia akan memastikan Rinai makan sebelum bekerja.Ah, melihat Damai, Rinai selalu ingat Lilah. Damai dulu pernah disakiti oleh mantan suaminya karena perempuan lain. Dan Lilah juga mengalami hal yang sama. Bedanya, Damai lebih beruntung. Laki-laki yang mengkhianatinya berbalik memuja dan mati-matian berusaha agar mereka bisa kembali membina rumah tangga. Sedang Lilah, entah di mana kini mantan suaminya berada. Barangkali sudah bahagia dengan si janda gatal sampai lupa bahwa dia masih punya putri kandung.Huh, lupakan tentang laki-laki biadab itu. Rinai tak lagi ingin peduli, meski terkadang ia sering iri saat melihat Surya yang tampak begitu sayang dengan Meda. Ia ingat, ayahnya dulu juga begitu. Dulu. Sebelum negara api menyerang. Oke, Rinai mulai melantur lagi. Dia memang tidak bisa bergalau ria lebih dari lima menitan. Salah satu alasan yang membuat Angkasa menyebutnya tak cocok tercipta sebagai perempuan.Rinai hendak berbalik badan menuju taman belakang. Lama-lama melihat keluarga Wiratmadja sarapan, membuatnya kembali lapar. Namun belum satu langkah terambil, suara melengking dari pintu depan nyaris membuat ia terjengkang. Di belakangnya, Angkasa malah sudah tersedak saking kagetnya. Bahkan Meda yang tadinya diam, kembali menangis.“Good morning every body ...! Eta Cantik udah dateng!”“Mak Lampir, eh, Mak Lampir—” Rinai segera menutup mulut. Dia benar-benar kaget. Karena begitu menoleh ke sumber suara, yang tampak di matanya benar-benar sosok Mak Lampir.Perempuan. Rambut cokelat panjang Tingginya kira-kira setelinga atau sedagu Rinai. Matanya biru. Rambut cokelat madu. Dempul bedak sekilo, serta lipstik merah menyala. Rinai bergidik melihatnya. Ia jadi teringat malam perjodohannya dengan Landu. Barangkali Landu juga ngeri saat melihatnya waktu itu. Hanya saja, tampilan gadis ini lebih elegan. Mirip-mirip Syahrini versi bule.Dia, si bule menor itu, berjalan riang menuju meja makan. Gaun kuning selututnya melambai-lambai seiring langkahnya yang tampak begitu riang. Ekspresinya polos bagai bayi lima tahun, dengan mata bulat yang cantik. Andai dia tidak berdandan seperti tante girang, Rinai pasti akan menyangka keluarga Wiratmadja kedatangan tamu seorang artis Barat yang terkenal. Arriana Grande.“Eta, kamu bikin Bunda kaget aja, ih! Lihat nih, Meda nangis lagi, kan?!” Damai kembali mengomel, menatap gadis yang dipanggil Eta itu dengan delikan sebal. Sedang yang diomeli malah cengengesan.“Hehe ... Sorry, Bunda. Abisnya aku kangen sama kalian. Terutama sama Ayang Mesta!” Tanpa malu, Eta mendekati Semesta, hendak memeluknya. Tapi, tak jadi begitu mendengar deheman keras laki-laki itu, yang berarti penolakan. Semesta memang tak terlalu suka disentuh sembarangan.Rinai tebak, gadis itu pastilah tunangan si manusia es batu. Namun yang membuat Rinai bingung, alih-alih menyambut Eta dengan hangat, sebangsa patung pancoran itu malah bersikap makin dingin! Pada tunangannya saja begitu, apalagi orang lain. Rinai benar-benar tak habis pikir.“Yang ... mau dipeluk! Lama nggak ketemu, kan kangen,” rengek Eta dengan nada centilnya. “Masa kamu nggak rindu sama aku? Kata Dilan, rindu itu berat loh.”“Eta!” tegur Mesta pelan, tapi sukses membuat Eta bungkam. Si bule menor hanya bisa mengerucut sebal. Dia menghentak-hentakkan kakinya persis seperti Meda kalau sedang merajuk, sebelum mengambil tempat duduk di sebelah Mesta. Rinai yang mulai jengah, lebih memilih pergi ke halaman belakang.Namun lagi-lagi, sebelum satu langkah terambil, suara Damai kembali menghentikannya. “Rin, tolong ambilin piring buat Eta, ya. Meda rewel lagi, nih!”“Oke, Tante.”“Kamu sekalian ambil piring juga. Tiap diajak sarapan kok, nggak pernah mau. Tenang, makanan Tante nggak pake sianida.”Rinai cengengesan sambil menggaruk bagian kepalanya yang sama sekali tidak gatal. Kali ini ia menurut saja. Sebelumnya, dia memang jarang ikut makan bersama keluarga ini. Meski dia sahabat Angkasa, tetap tidak pantas saja rasanya. Rinai sadar diri, dia hanya pengasuh Meda. Kelasnya setara dengan Bi Rum—pembantu keluarga Wiratmadja. Namun sekali-kali mungkin tak apa.Rinai bergegas menuju dapur untuk mengambil dua piring untuk Eta dan dirinya sendiri. Saat ia mengambil piring di rak, samar-samar ia mendengar si Eta berkata, “Bunda, dia siapa, sih?”“Pengasuh barunya Meda.”“Heh? Kirain sopir baru. Lagian, Bunda kok percaya sama pengasuh bayi yang modelnya begitu?”“Heh, emang tampilan dia kenapa? Seenggaknya, dia lebih baik saat jaga Meda timbang lo!” sela Angkasa ketus, tak terima ada yang menghina sahabatnya. Sukses membuat Rinai menahan senyum. Setelah mendapatkan dua piring, ia kembali ke meja makan. Menyerahkan satu untuk Eta kemudian mengambil tempat duduk di sebelah Angkasa. Sialnya, posisi tersebut berhadapan dengan Semesta.Entah ini hanya perasaan Rinai atau bukan. Ia merasa Semesta sering menatapnya diam-diam, membuat bulu roman Rinai meremang.Ah, barangkali hanya perasaannya saja. Karena setiap kali mendongak, ia selalu mendapati Semesta yang tampak khusuk menatap piring makannya sendiri. Sedang di sampingnya, Eta tak henti berkicau.Saat hendak menghabiskan suapan terakhir, Rinai kembali nyaris dibuat jantungan oleh teriakan melengking si mak lampir jaman now yang bertanya dengan nanda tujuh oktavnya.“YANG, CINCIN TUNANGAN KITA KOK NGGAK DIPAKE?!” 7Rasa Asing yang ... Mendebarkan “Ayang Mesta ...!” Kalau sudah mendengar suara cempreng begini, dapat dipastikan untuk beberapa jam ke depan hidup Mesta tak akan tenang. Padahal selama dua hari ini ia sudah bisa bernapas lega karena tak bertemu dengan Mentari yang ikut ayahnya ke luar kota. Kenapa perginya sebentar sekali? Desah Meta dalam hati. Suara derap langkah riang Eta terdengar makin mendekat. Sebelum dia menemukan Mesta di perpustakaan pribadi ayahnya, cepat-cepat ia bersembunyi. Melangkah setengah mengendap menuju pintu samping yang menjurus pada garasi. Daripada menghabiskan seperempat malam dengan ocehan tak bermutu dari gadis itu, Mesta lebih memilih untuk kabur sebentar dari rumah. Mengajak Kenzo mengerjakan tugas sepertinya terdengar lebih baik. Segera Mesta melompat masuk ke dalam mobilnya. Menghidupkan mesin, lalu memundurkan perlahan. Saat ia sudah keluar gerbang, dari kaca spion depan dilihatnya Eta yang menghentakkan kaki di teras. Memanggil-manggil namanya agar dia kembali, yang sama sekali tak Mesta pedulikan. Terserah kalau pun nanti dia akan mengadu pada Surya, toh malam ini sepertinya sang papa akan pulang larut. Berpikir tak mungkin pergi ke rumah Kenzo dengan tangan kosong, Mesta memarkirkan mobilnya di depan sebuah mini market tak jauh dari kompleks perumahan tempat tinggalnya. Saat keluar dari mobil, ia menemukan sebuat motor bebek yang tak asing terparkir di sana. Tapi Mesta yang sedang malas mengingat, memilih untuk mengabaikan. “Selamat datang di Monkey Mart!” sambut beberapa pramuniaga yang bertugas menjaga malam ini. Mesta hanya mengangguk sekilas sebagai bentuk balasan, lantas berjalan menuju rak makanan ringan untuk memeilih beberapa sebagai buah tangan. Kenzo memiliki dua orang adik yang pasti akan senang mendapat oleh-oleh darinya. Saat Mesta mengulurkan tangan untuk mengambil bungkusan snack, tanpa sengaja ia menyentuh tangan lain yang juga hendak meraih merk yang sama. Refleks Mesta menoleh ke samping kanan, hendak memastikan siapa si pemilik tangan itu. Dan ... Mesta mendadak lupa cara bernapas saat menemukan sosok cowok cantik yang semalam ia temui di arena balap liar.Dia ... teman Angkasa. Anak SMA Maju Terus. Sahabat Rendi yang memiliki masalah dengan Kenzo.Menelan ludah kelat, segera Mesta menjauhkan tangannya dari kulit kecokelatan yang seolah mengandung aliran listrik bertegangan tinggi itu. Entah nyata atau sekadar ilusinya saja, tapi Mesta benar-benar merasa tersetrum, bahkan tangannya gemetaran. Isi kepala tiba-tiba melompong, dan jantung ... tolong jangan tanyakan kabar organ dalam yang satu itu. Karena sungguh, Mesta tidak tahu bagaimana cara menjabarkannya dengan tepat. Mesta tidak tahu syaraf rusak bagian mana dalam tempurung kepalanya yang memerintah untuk menyapa laki-laki cantik di depannya ini, karena tahu-tahu saja dua belah bibirnya terbuka begitu saja. Tapi belum sempat sepatah kata keluar dari sana, suara dengusan kasar lebih dulu menyambutnya. Tanpa kata si cowok cantik mengambil satu langkah mundur, hendak pergi menghindar. Mesta yang tak terima diabaikan lebih cepat menahan lengannya.Dan lagi, aliran listrik itu kembali terasa di telapak tangan, disusul desir halus yang baru pertama kali ia rasa. Semesta jadi kebingungan. Sebenarnya apa yang sedang terjadi padanya? Anehnya hal asing ini terasa ... menyenangkan dan membuat candu. “Lo ... cowok yang tadi malem nantangin gue, kan?” Mesta memberanikan diri bertanya, mencoba mengabaikan degup janggal yang menghentak di balik dada. Ini mengerikan. Mesta tidak mungkin gerogi di hadapan sesama laki-laki, kan? Yang ditanya mengerjap, tampak kebingungan. Tentu saja bingung. Tak ada angin tak ada topan, tiba-tiba lawan sahabatnya bertanya sok akrab begitu. Mesta sendiri sebenarnya malu. Hanya saja keingintahuannya terlalu menggebu. Tanpa menjawab lebih dulu, laki-laki cantik itu menghentak tangannya hingga pegangan Mesta terlepas. “Iya. Kenapa?” ujarnya kemudian. Mesta mengedip, tambah bingung mendapati serangan pertanyaan tersebut. Iya, kalau pun dia adalah cowok yang tadi malam, terus kenapa? Satu suara dalam benak ikut bertanya. Mengapa Mesta harus menyapa? Bukankah anak-anak Sekolah Maju Terus merupakan musuhnya? Selanjutnya, yang bisa Mesta lakukan hanya membisu. Ia ingin kembali bertanya, tapi bertanya apa? Rasanya tak rela saja membiarkan cowok cantik itu pergi tanpa bicara. “Mmm ... nama lo?” Mesta pasti benar-benar sudah gila! Ketertarikan seksulnya sungguh harus dipertanyakan. Bagaimana mungkin ia kesal bila di dekat Mentari yang jelas berkelamin perempuan dengan wajah seimut dan semanis itu, dan malah merasa deg-degan serta penasaran pada cowok cantik ini? Oh, lihatlah ... dia bahkan mengulurkan tangan lebih dulu! Lagi-lagi tanpa membalas uluran tanga Mesta—barangkali tak sudi—si laki-laki cantik menjawab, “Rain!”Singkat. Padat. Jelas. Kemudian pergi begitu saja, meninggalkan Mesta yang masih terpaku di tempatnya berdiri. Rain. Benaknya mengulang nama itu sekali lagi. Mesta, apa yang terjadi padamu? Akal sehatnya bertanya, dan Mesta sama sekali tak menemukan ide sebagai jawaban. Masih belum bisa meredakan keterkejutannya akan reaksi si jantung sialan yang malah berdebar-debar. Seingatnya Kenzo dulu sempat berkata bahwa dia deg-degan saat pertama kali bertemu dengan Cindy. Itulah alasan mengapa Kenzo mendenkati gadis itu, karena ia merasa telah jatuh cinta pada pandangan pertama. Tapi, ini kasusnya berbeda. Yang membuat Mesta deg-degan jelas bukan seorang perempuan. Melainkan laki-laki! Perlu dipertegas lagi. Dia ... LAKI-LAKI! Takut dengan reaksi tubuhnya yang di luar batas normal, Mesta memutuskan untuk pulang. Ia butuh bertemu Eta, hanya sekadar mengetes reaksi jantungnya sekali lagi saat berada dekat dengan gadis itu. *** Kenzo merasa kiamat akan segera tiba. Pasalnya apa yang tengah ia lihat saat ini benar-benar ... langka. Mesta berjalan bergandengan tangan dengan Mentari. Sekali lagi Kenzo ulangi. Mesta berjalan BERGANDENGAN tangan dengan MENTARI! Mimpi apa dia semalam hingga bisa menyaksikan keajaiban dunia macam ini? Tak hanya Kenzo, rupanya siswa-siswa lain yang meiihat pemandangan tersebut menatap kedua mahluk itu dengan perhatian yang sedikit berlebihan. Bahkan Rudolf yang semula memegang bungkusan snack, tak sadar sudah menjatuhkannya ke lantai. Jika Eta yang menggenggam tangan Mesta dan menyeretnya, barangkali anak-anak akan berpikir bahwa Eta telah berhasil memaksa. Tapi, kini yang tampak justru Mesta yang menggenggam erat tangan gadis itu. Dan Eta dengan centilnya berjalan sambil menyenderkan kepala pada bahu bidang Mesta. “Itu ... beneran Semesta kita, kan?” Juned, teman sekelas mereka bertanya heran. Ia yang semula sibuk mengerjakan tugas yang belum selesai di bangkunya yang terletak di barisan depan, bahkan meninggalkan tugasnya demi menyambangi bangku Kenzo di pojok belakang. Dengan mulut masih setengah menganga, Kenzo menggeleng pelan. “Kayaknya bukan.” “Hai, Ken!” Eta menyapa dengan riang gembira begitu langkah kakinya dan Mesta sudah mendekati posisi Kenzo. Sadar dengan tatapan aneh sahabatnya, Mesta hanya membuang muka. Juned yang tak ingin adu mulut dengan Eta bila ketahuan mengurusi masalah gadis itu, memilih untuk kembali ke tempatnya semula. “H-hai,” balas Kenzo yang mendadak gagu. “Mending kamu balik ke bangku kamu, deh! Bentar lagi bel masuk.” Entah ini hanya telinga Kenzo yang salah dengar, atau memang baru saja Mesta berbicara pada Eta dengan nada lembut. Kelewat lembut hingga bulu romannya meremang. Setelah langkah Eta menjauh, buru-buru Kenzo menarik tubuh jangkung Mesta agar duduk di bangku sebelahnya, lalu meletakkan pungung tangan di dahi sang kawan yang diduga mengalami demam tinggi dan mungkin berakibat fatal. “Masih angetan ketek gue, kok!” ujarnya sambil meletakkan tanggan di kepitan ketiak. “Apaan, sih!” Mesta yang merasa baik-baik saja berusaha tak acuh dengan respon siswa-siswa lain yang jelas merasa sikapnya terhadap Eta kali ini berbeda. Memang kenapa kalau dia baik pada Eta? Bukankah Eta pacarnya. Pacar yang ia tembak setengah hati beberapa hari lalu. “Lo enggak kesambet, kan, Ta? Atau saking putus asanya Eta ngejar-ngejar lo yang nggak pernah peduli, tuh cewek pake dukun buat dapet perhatian dari lo?” cerca Kenzo yang merasa butuh jawaban. “Mmm ... atau mungkin lo diancem sama bokap lo, kalau nggak baik sama Eta, dia bakal ngapus lo dari daftar waris?” Satu jitakan keras mendarat di kening Kenzo. Siapa lagi pelakunya jika bukan Mesta yang sudah tak tahan dengan cercaan pertayaannya yang mulai tak masuk akal. “Gue baik-baik aja. Enggak dalam pengaruh sihir atau di bawah tekanan ultimatum Papa!” “Terus ... tadi ... lo sama si Eta ....” Kenzo kesulitan mencari kosa kata untuk menyempurnakan kalimatnya. “Emang salah kalau gue berusaha bales perasaan dia? Bukannya lo yang kemarin-kemarin bilang, nggak ada salahnya gue nyoba jalanin hubungan sama Eta?” Iya, Kenzo memang sempat bilang seperti itu. tapi tak pernah terlintas di benaknya bila Mesta akan benar-benar merealisasikan sarannya, melihat betapa antipatinya dia pada Mentari. bagi Mesta, Eta tak ubahnya ulat bulu yang patut dihindari. “Udahlah, Ken. Lo harusnya seneng sekarang gue nggak jomlo lagi!” Pada akhirnya, Kenzo pun bungkam kendati masih ada puluhan pertanyaan lain yang ingin ia ajukan. Sungguh, Kenzo belum cukup puas dengan jawaban yang Mesta berikan. Pasti ada yang tidak beres dengan sahabatnya ini. Tapi, apa?Di tempat duduknya, Mesta menahan diri untuk tak memuntahkan seluruh isi yang ada dalam perut. Sedari tadi, ia berusaha menahan mual saat harus bersikap dan bertutur lembut pada Mentari. Lidahnya gatal dan kerongkongannya minta digaruk. Ini demi upaya membuktikan bahwa dirinya tidak mengalami penyimpangan seksual. Bahwa ia masih normal dan menyukai perempuan. Ah, sial! Jika bukan karena cowok cantik bernama Rain yang telah membuat jantungnya berdebar-debar, Mesta tak akan mau repot-repot memaksakan diri untuk menerima Eta yang ... cerewetnya minta ampun! Dari ekor mata, Mesta melirik ke bangku yang berada di pojok depan. Tempat duduk Mentari. Dan ternyata, gadis itu tengah memerhatiknnya dengan senyum merekah. Jika di hari-hari sebelumnya Mesta akan langsung membuang muka saat mereka tak sengaja bertemu pandang, maka kali ini tidak lagi. Ia menahan agar lehernya tak bergerak refleks untuk berputar. Sebaliknya, ia bertahan dan membalas senyum Eta tak kalah lebar. Demi pembuktian sebagai laki-laki normal. Demi pembuktian sebagai laki-laki normal. Demi pembuktian sebagai laki-laki normal. Adalah matra yang sejak tadi malam Mesta rapalkan. Lambat laun ia yakin akan bisa membalas perasaan Eta, dan jantungnya hanya akan berdebar untuk gadis itu. Ya, hanya untuk Mentari. Bukan untuk Rain, cowok cantik bertubuh mungil nan perkasa. Mesta lebih memilih untuk menerima kebawelan Eta sepanjang hidupnya daripada harus menghadapi kenyataan bahwa dirinya menyukai mahluk berjenis kelamin sama.Namun, sekarang Mesta tak lagi yakin. Berat diakui. Dia memang ... menyimpang. Tangan Mesta bergetar usai membaca broadcast chat di grup WhatsApp alumnus Kebanggaan Bangsa. Tentang LGBT, yang sukses membuat ia makin ketakutan.Selama ini tidak ada yang tahu bahwa Mesta menyimpang. Ia berhasil menutupi kelainannya itu dari semua orang. Termasuk Kenzo. Sahabatnya sejak TK. Dan sekarang ... Mesta butuh bercerita. Ia tidak mungkin menyimpan ini sendirian selamanya. Harus ada yang diberi tahu agar dia terbantu.Ragu, Mesta menekan profil grup, men-scrol ke bawah, mencari nama Kenzo. Lalu meneleponnya.“Halo, kenapa, Ta?”“Ken.” Mesta menelan ludah. membasahi kerongkongannya yang mendadak kerontang. Ia memejamkan mata seraya menarik napas panjang. Berusaha mengumpulkan segenap keberanian.“Ya?”“Tolong, bantu gue.” 8Pelakor Jaman Now “Ehm, lo apa tadi?”“I'm gay.” Semesta menjawab lemah. Nadanya terdengar lirih, sangat lirih sampai-sampai Kenzo harus menarik kursi kerjanya mendekati meja demi memangkas jaraknya dan Mesta yang tak seberapa jauh.“Apa?”“I'm gay.”Kening Kenzo berkerut dalam dan banyak. Ia menggaruk pelipis beberapa kali. Merasa pendengarannya mulai bermasalah. Barangkali karena bunyi tamparan hujan di atas genteng rumah yang dibarengi sambaran petir beberapa kali. Atau mungkin tidak. “Gue rasa kebanyakan makan tahu deh, jadi mulai rada budeg gini,” gumamnya, sukses membuat Mesta bingung. Tak menemukan hubungan antara kebanyakan makan tahu dan sistem pendengaran. Tapi, toh dia hanya diam. Menunggu reaksi Kenzo setelah ini.“Mungkin juga kemarin pas renang, kuping gue kemasukan air. Kok gue susah nangkep omongan lo, ya?” tanya laki-laki 27 tahun yang bulan depan akan naik altar itu. “Bisa lo ulangi lagi yang tadi. Jangan bisik-bisik doang.”“Gue ada kenalan THT kalau lo mau!” Mesta yang mulai kesal, jadi malas mengulang. Ini aib. Dan Kenzo sedang tak bisa diajak bekerja sama.“Ck, serius elah! Beneran gue ngerasa salah denger ini!”“Gue gay, Ken. Gue gay, dan lo nggak salah denger!” ulang Mesta, kali ini dengan suara lantang. Ia berdoa dalam hati semoga tak ada orang tolol yang menguping di depan pintu ruang kerja Kenzo yang tertutup. Karena bila iya, habislah dia dan imejnya yang mati-matian dijaga sejak kenal tata krama serta norma.Dan, yah. Reaksi Kenzo sudah Mata duga. Mata melotot nyaris keluar dari rongga. Mulut megap-megap bagai ikan lohan di akuarium rumah Surya. Punggung yang menjauh dari meja. Serta napas yang tertahan di dada.Kenzo memang selebay itu.Namun, detik berikutnya—“Buahahahahahahaha ....” sahabat yang sudah Mesa anggap sebagai saudara itu tergelak. Keras. Saking kerasnya sampai mengalahkan suara petir yang sekali lagi melayangkan pecut listriknya di kaki langit Jakarta yang menangis sejak sore tadi. Sukses melahirkan kerutan dalam di kening Mesta. Ia bingung, bagian mana dari perkataannya yang mengandung humor? Terkadang, Semesta memang tidak bisa mengerti temannya yang satu ini.“Seumur-umur gue kenal lo,” kata Kenzo sambil menghapus titik basah di ujung mata, tawanya masih mengudara disela-sela ia bicara, “lo tuh jarang bercanda. Dan sekali bercanda, lo nyaris bikin gue jantungan tahu, nggak?”“Gue spesialis jantung. Kalau lo semaput karena mendengar masalah ini, gue bisa ngasih pertolongan pertama sebelum ambulan datang,” tanggap Mesta datar. Sukses menghentikan kekehan Kenzo perlahan hingga benar-benar sirna sepenuhnya. Ia mendekatkan tubuhnya lagi pada meja kaca lebar yang menjadi pemisah mereka. Penumpukan kedua tangannya di sana setelah menyingkirkan berkas-berkas ke sisi meja lain, lalu menatap Mesta luru-lurus.“Lo ... serius?” Desah napas panjang nan putus asa sang lawan bicara, menjadi jawaban bagi Kenzo. Menelan ludah kelat, laki-laki keturunan Korea-Indonesia itu kembali bertanya, “Gimana mungkin, Ta? Helo ... lo pacaran sama Eta dari SMA. Kalian bahkan udah tunangan dari lama. Dan si Eta itu perempuan, Man.”“Lo tahu kenapa gue pacaran sama Eta!” tangkis Mesta. Kenzo mengangguk mengiyakan. Mana mungkin dia lupa drama saat SMA dulu. Masa-masa remaja yang mencoba nakal tapi gagal. Hanya demi membungkam Eta yang nekat hendak mengadukan Mesta pada ayahnya lantaran ikut tawuran, sahabatnya itu terpaksa mengiyakan Eta sebagai pacar. Kenzo kira semuanya baik-baik saja dan berakhir bahagia dengan Semesta yang mulai belajar mencintai si gadis centil, seperti isi novel-novel roman yang sering dibaca calon istrinya. Tapi, ternyata ....“Gimana bisa lo bilang kalau lo itu ... gay?”“Gue—” Mesta menghindari tatapan Kenzo. Matanya menjelajahi seluruh ruangan dengan kerongkongan yang susah menelan saliva. “Gue suka sama seseorang. Dan dia laki-laki.”“Sejak kapan?”“SMA.”“What?!” Andai bukan ciptaan Tuhan, Mesta yakin kedua bola mata Kenzo pasti sudah bergelindingan di lantai saking lebarnya ia melotot. Teman kecilnya itu bahkan sudah berdiri sekarang. Tak lagi duduk di kursi kebesaran ruang 6x7 yang dijadikan ruang kerja pribadinya. “Lo ....” Dia menunjuk Mesta dengan ekspresi ragu, kemudian mondar-mandir bagai setrikaan di antara kursi putar—yang sudah menjauh ke pojokan saat ia refleks berdiri—dan meja. “Lo nggak pernah suka gue kan, Ta?” pandangannya berubah ngeri.Mesta mendesah. Ia memutar bola mata. Berada di samping Kenzo membuatnya tak benar-benar bisa merasa galau, sesesak apa pun dia. Kadang hal ini menyenangkan, tapi lebih sering membikin jengkel. “Gue emang gay, tapi gue juga pilih-pilih, Ken!”“Why? Gue ganteng. Mirip Oppa-oppa Korea. Muka-muka kayak gue biasanya paling diincer sama kaum homogen.”Mesta benar-benar tak berhasil galau. Alih-alih merasa lega karena telah berbagi dengan seseorang, ia justru menyesal datang kemari. Kenzo bukan pilihan yang tepat. “Ken, please!”“Oke!” Si sipit itu mengangkat tangan tanda menyerah. Ia menarik kembali kursinya yang sudah menjauh untuk mendekati meja, lantas kembali duduk sambil melipat dua tangan di atas meja. “Siapa cowok sialan yang udah bikin lo kayak gini? Dan ... demi Tuhan lo ngerasa menyimpang sejak SMA, tapi gue baru tahu.”“Karena ini bukan hal menyenangkan yang bisa dibagi.” Suara Mesta kembali melemah. Ia menunduk, menatap tekstur kain celana jeans pudar yang dikenakannya malam ini sebelum kembali mengangkat sedikit kepala. Menatap Kenzo dari balik bulu mata.Kenzo Fernando. Sahabat Semesta sejak sekolah dasar ini memang bukan anak pengusaha sekaya Surya Wiratmadja. Ayahnya seorang pejabat negara. Hidup Kenzo sekeluarga memang terbilang mewah, meski tak semewah hidupnya yang tinggal menjentikkan jari dan semua akan ada di depan mata. Kendati demikian, Mesta seringkali iri pada Kenzo. Sahabatnya punya hidup normal. Di antara kesibukan ayahnya mengurus negara, Pak Seno tetap selalu meluangkan waktu untuk keluarga. Juga Nyonya Shin yang mengabdikan diri sebagai ibu rumah tangga. Kenzo juga punya dua adik lucu yang makin menyemarakkan hidupnya. Lulus sarjana, ia mendapat tawaran kerja di salah satu perusahaan bonafide dan sekarang menduduki jabatan sebagai manager pemasaran. Dia bahkan memiliki kisah cinta yang manis dengan anak gadis atasannya di kantor dan bulan depan mereka akan mengucap janji pernikahan.Yang pasti, hidup Kenzo tak sedrama dirinya.“Siapa orangnya?” tuntut Kenzo tak sabar.Mesta tampak ragu. Ia memukul-mukul pahanya pelan sebelum menjawab. “Rain.”“Siapa?”“Rain.”“Rain?”“Gue yakin lo beneran butuh penanganan dokter THT.”Kenzo memutar bola mata jengah. “Siapa si Rain ini.”Kerutan di kening Mesta makin banyak dan dalam. “Lo kenal, kok.”“Iyakah? Siapa?”“Sahabat laki-laki Angkasa.”Kenzo memundurkan punggungnya hingga menyentuh sandaran kursi. Ia berpikir sejenak. Seingatnya Angkasa hanya punya satu sahabat laki-laki yang dulu sempat bermasalah dengannya hanya karena seorang gadis. Yang menjadi awal dari segala drama beruntun dalam hidup Semesta. “Astaga, Ta!” gumam Kenzo dramatisir setelah berhasil mengingat. Ia menatap Mesta dengan tatapan sepuluh kali lebih ngeri dari sebelumnya. Kenzo bahkan sampai menutup mulut dengan tangan kiri yang sukses membuat detak jantung Mesta rasanya mau jatuh ke perut bumi.“Ke-kenapa?”“Dia kan, udah punya bini! Udah punya anak malah! Lo mau jadi pelakor?!”“Pe-pelakor? Wh-what is pelakor?”Kenzo menatap Mesta prihatin. Wajah lawan bicaranya itu sudah seputih kertas. Ekspresinya campuran antara bingung dan cemas. “Perebut laki orang.” Dan dapat Kenzo lihat jakun Semesta yang naik turun, seolah sahabatnya sedang kehausan, tapi malah sulit membasahi kerongkongan. Dia jadi horor membayangkan jika seorang Semesta, si kaku berwajah triplek—bila di depan orang lain—ini benar-benar menjadi pelakor yang sedang ramai diperbincangkan di media sosial.Ah, pelakor jaman now bukan lagi perempuan perebut laki orang, karena laki-laki se-gentle Mesta juga bisa jadi saingan. Betapa mengerikannya!Melihat tak ada tanggapan dari Mesta, Kenzo bertanya penuh simpati, “Ta, are you okay?”“No.” Mesta benar-benar merasa tak baik-baik saja. Bukan Kenzo, tapi dirinyalah yang butuh penanganan dokter.Dokter jiwa, tepatnya. 9Rain Nggak Serong “Hai ....”Mesta tidak tahu. Ini merupakan keberuntungan atau justru malapetaka. Pasalnya sore ini Eta merengek meminta diantar ke sebuah alamat yang tak ia kenal. Dan sebagai salah satu upaya untuk belajar mencintai cewek manja itu Mesta berusaha menurut. Menahan jengkel di sepanjang jalan, juga berusaha tidak membentak saat Eta mendumel tak jelas.Dan ternyata kesabaran Mesta berbuah manis. Alamat tujuan Eta adalah rumah Angkasa yang merupakan tetangga dekat sopir barunya. Kabar baiknya, hari ini Rain berada di sini. Sahabat dari Angkasa itu yang menyambut kedatangan mereka.Sekali lagi, Mesta tak bisa mengontrol detak jantung yang kembali ricuh di dalam sana.Niat hati tidak ingin dekat-dekat lagi dengan Rain dan berusaha menjatuhkan diri pada pesona Mentari. Tapi, Mesta tak bisa. Melihat orang yang telah membuat perasannya tak keruan berada di sekitarnya, entah mengapa menarik Mesta untuk mendekat. Sensasi ini asing, tapi menyenangkan. Ia candu melihat wajah garang Rain yang selalu menatapnya sinis. Seperti saat ini.Mesta menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal. Dia masih berada di rumah Angkasa. Dan si tuan rumah tengah beradu mulut dengan pacarnya. Mesta yang tak ingin terlibat, mengekori Rain yang hendak mengembalikan nampan ke dapur, meski suara pertengkaran di ruang tengah masih bisa terdengar sampai ke sana.“Ngapain lo ngikutin gue ke sini?” Rinai menyahut ketus sembari meletakkan nampan ke dalam rak piring yang ada di pojokan dapur. Enggan balas menatap Mesta yang selalu memandangnya dengan sorot penuh arti.“Saya hanya malas melihat pertengkaran mereka.” Mesta tak sepenuhnya berbohong. Dia memang malas mendengar perdebatan Angkasa dan Eta yang entah apa, tapi jauh di atas itu semua ia merasa penasaran setengah mati pada cowok ini.“Lo bisa pulang duluan.” Rinai juga sebenarnya malas, makanya dia kembali ke belakang. Niat hati ingin sendiri, tapi mahluk tak diundang ini malah mengikuti.Selesai berurusan dengan nampan, Rinai melangkah menuju meja makan dan menjatuhkan diri di sana. Mesta ingin ikut duduk, tapi tak sopan karena Rinai belum mempersilakannya. Jadilah ia hanya berdiri seperti orang bego. Menatap Rinai yang diam seribu bahasa. Seolah tak tertarik sama sekali membahas sesuatu dengannya.Mesta memang pendiam. Dia lebih suka bungkam daripada banyak omong tanpa ada tindakan. Namun berada di dekat Rinai, mendadak ia iangin selalu mengoceh, mengatakan apa saja agar mereka bisa terlibat dalam satu obrolan panjang.Tentu saja dia tidak mau bicara denganmu. Berbicara sesama cowok apa menariknya? Suara dari dalam kepala bertanya, menohok Mesta yang dengan berat hati membenarkan.“Lo ngapain berdiri di situ?” pertanyaan Rinai yang selalu tajam, praktis menarik Mesta dari lamunan. Pemuda itu mengerjap sebelum tersenyum kikuk. “Duduk aja kali!”Mesta menatap satu-satunya kursi yang dimaksud Rinai. Ragu-ragu ia melangkah dan menurut untuk duduk di kursi kayu kusam, tepat berseberangan dengan posisi si cowok cantik.Kini jaraknya dengan sang pengacau kerja jantung hanya dbatasi oleh meja kayu yang bahkan lebarnya tak sampai satu meter. Dentam di balik dada mulai bergemuruh. Keringat dingin mengalir di sepanjang punggung Mesta yang mendadak gugup, pun begitu dengan kedua tangannya yang kini sudah basah. Mesta tak pernah begini. Ia hanya bisa berharap semoga suara jantungnya tak sampai ke telinga Rain yang masih tampak tak acuh di seberang meja.“Si Anu-anu itu pacar lo, kan?” Rinai yang merasa butuh memastikan, bertanya tanpa menoleh pada Mesta. Ia duduk bertopang dagu dengan tatapan kosong yang diarahkan ke samping kanan. Sesekali melirik pintu dapur, berharap bisa melihat interaksi Angkasa dan Mentari yang masih belum mau berhenti saling menyalahkan.“Anu?”“Cewek centil di ruang tengah!”Mesta gelagapan. Ia tak ingin Rain tahu bila dirinya tak lagi sendiri. Tapi, berbohong bukan gayanya. Mendesah pendek, ia menjawab lesu, “Ya.”“Beneran pacaran?” Antusias, Rinai menegakkan posisi duduknya dan menatap Mesta penuh binar. Tak sadar jika wajah semringahnya membikin sang lawan bicara kian terpukau. Tapi di antara rasa terpukaunya, timbul satu pertanyaan dalam benak Mesta. Kenapa respon Rinai seperti perempuan? Dan kenapa cowok cantik itu harus merasa senang mengetahui kalau Mesta dan Eta berpacaran? Atau jangan-jangan ... dia memiliki perasaan terhadap Angkasa?Pemikiran bodoh! Setan dalam dirinya mencemooh. Kalau Rain benar menyukai Angkasa, otomatis dia juga serong, kan?Tak ingin meneruskan pemikiran gilanya yang menyesatkan, Mesta hanya bisa mengangguk mengiyakan. Senyum di bibir Rinai kontan makin lebar.“Ah, syukur, deh! Gue kira tuh cewek manja suka sama Angkasa,” cetusnya tanpa sadar.“Memang kenapa kalau Eta suka sama Angkasa?” Dan Mesta tak bisa menahan rasa penasarannya.“Saingan gue buat dapetin si Aang tambah banyaklah!” jawab Rinai ringan. Detik kemudian ia menyadari sesuatu dan segera membungkam mulutnya agar tidak semakin banyak mengeluarkan kata tanpa pikir panjang lebih dulu.Dirinya keceplosan.Meringis, Rinai melirik ada Mesta yang sudah menantapnya horor. Oh, tentu saja! Pasti Mesta sudah berpikir macam-macam. Bukankan Rinai pernah mengaku sebagai laki-laki pada cowok ini? Masa iya, laki-laki suka pada sesama? Dia kan, bukan penganut LGBT.Menggaruk tengkuk yang tak gatal, Rinai berdehem. “Maksud gue, gue nggak bakal punya saingan buat jodohin si Angkasa sama adek gue.” Rinai meralat. Nada suaranya disetel lebih berat. Ia menegakkan punggung, bersikap layaknya laki-laki sejati. Kalau Angkasa melihat sikapnya sekarang, dijamin sahabatnya itu akan makin meragukan kecewekannya.Perlahan ekspresi horor Mesta mulai berubah. Ada lega juga luka yang tertoreh dalm telaga bening sewarna jelaga itu. Tapi hanya sesaat, hingga Rinai menganggap bahwa dirinya hanya sekadar salah lihat. Lagi pula, kenapa Mesta harus terluka? Itu konyol sekali!“Saya kira kamu gay.”Rinai nyaris tersedak saliva yang hendak ia telan begitu mendengar kalimat pendek yang barusan Mesta cetusakan.Apa katanya? Gay? Gila saja! Urakan begini, ia masih perempuan tulen, hanya saja Rinai belum bisa membuktikan sebelum ijab kabul. Dan dapat dipastikan bukti itu hanya akan ditunjukkan pada Angkasa seorang. Yang kemungkinan nanti akan menjawbat tangan penghulun untuk mengikatnya.Ah, apa yang Rinai pikirkan? Itu masih jauuuhhh ... mereka bahkan belum lulus SMA. “Sori, ya. Gue benci kaum homo. Mereka menyalahi kodrat. Dan gue masih terlalu waras buat suka sama sesama jenis,” ujar Rinai tajam. Tak menyadari perubahan ekspresi wajah sang lawan bicara yang sudah pasi. Kata-kata Rinai berhasil menusuk ulu hatinya.“Kamu tidak bisa men-judge kaum yang memiliki penyimpangan seksual dengan sebutan sekeji itu. Kamu tidak tahu kesulitan yang dialami mereka, Rain!”Rinai mengangkat sebelah alisnya. Menatap Mesta dengan pandangan mencela. “Lo gay?” tanyanya tanpa tadeng aling-aling. Sukses membuat Mesta terkesiap dan nyaris menjatuhkan kepalanya ke atas meja persegi di hadapan mereka. Ia mengalihkan pandangan, menatap rak piring dapur Damai yang mulai karatan sambil menggaruk tengkuk yang sudah basah oleh keringat dingin demi menghindari kejaran mata sang lawan bicara.“Ti-tidak! Pacar saya Mentari. Dan ... dan dia perempuan.”“Terus kenapa lo sewot?”“Karena yang kamu bilang tadi itu jahat, Rain.” Semesta membalas tatapan meremehkan lawan bicaranya. Berusaha menyetel ekspresi wajahnya agar kembali tampak datar dan dingin. Semesta tak pernah suka apabila ada orang yang menatap ia dengan cara pandang macam yang Rain lakukan saat ini. Tapi anehnya, ia sama sekali tak sakit hati bila cowok itu yang melakukannya.“Bah, kaum homo emang harus dijahatin kali. Biar mereka sadar dan cepet tobat. Melakukan penyimpangan kok, didukung.”Semesta merasa dadanya makin sesak. Ia menelan saliva berulang kali demi menghilangkan ganjalan yang menyumbat kerongkongan dan membuat sakit di sana. Setelahnya ia berkata, “Kamu tidak tahu kesulitan yang mereka alami. Jadi lebih baik diam, Rain!”“Dan gue makin curiga kalau lo gay!”“Kalau saya benar gay, terus kenapa? Kamu mau jadi pasangan gay saya?” balas Semesta kesal. Tatapannya makin dingin dan datar. Membuat Rinai sejenak merasa ketakutan. Tapi begitu mendengar kalimat terakhirnya, ia bergidik ngeri dan buru-buru bangkit berdiri.“Gila!” umpatnya sebelum memilih pergi. Lebih baik menjadi orang ketiga di antara pertengkaran Angkasa dan pacar laki-laki sinting ini daripada ikut menjadi gila bila terus-terusan meladeni Semesta. *** Dia normal.Semesta tahu itu. Sejak dulu, laki-laki yang telah mencuri hatinya tidak pernah menyukai sesama. Rain justru mengutuk penerus kaum Nabi Luth itu dengan kata-kata keji. Tidak tahu bahwa Semesta merupakan satu di antaranya. Dan sialnya, laki-laki yang membuat ia menjadi segila ini adalah Rain sendiri.Semesta menatap kartu nama salah seorang psikolog kenalan Kenzo. Mempertimbangkan untuk konsultasi. Barangkali ia bisa mendapat jawaban dari gulana yang kini menyerangnya dengan berkonsultasi kepada orang yang tepat.Mendesah, Mesta memasukkan kartu nama tersebut ke saku kemeja lengan panjang yang sudah digulung sebatas siku. Ia baru saja pulang dari mengurus surat tanda registrasi bagi tenaga kesehatan yang telah memiliki sertifikat kompetensi saat menemukan Rinai yang sedang bermain dengan Meda.Bukan bermain, lebih tepatnya laki-laki cantik itu dibuat kualahan mengejar-ngejar Meda dan berusaha menghalaunya agar tidak merusak bunga-bunga Damai yang tertanam di taman belakang.Alih-alih pergi, Mesta malah mendudukkan diri di bangku panjang tak jauh dari sana. menyaksikan interaksi dua manusia beda generasi di depan sana dalam diam.“Meda, jangan dicabutin! Nanti Bunda marah!” tegur Rain sambil mengangkat tubuh mungil Meda menjauhi pot batu yang tertanam mawar merah. Satu tangkainya sudah menguncup. Barangkali besok pagi sudah mekar sempurna. Tapi, Meda malah berusaha membunuhnya.Bocah nakal yang berada dalam rengkuhan Rain bergerak-gerak tak terima dijauhkan dari kesenangannya. Tubuh gempalnya di liukkan bagai cacing kepanasan. Ia menghentak-hentakkan kaki ke udara, membuat Rinai kesulitan melangkah. Lebih-lebih bobot Meda yang sangat montok, pasti berat untuk Rain yang otot lengannya hanya sekepalan tangan Mentari. Mesta saja kadang pegal bila kelamaan menggendong tubuh gendut sang adik.Mungkin tak tahan, Rain menurunkan lagi tubuh Meda. Dan bocah hiperaktif itu tak mau membuang waktu. Dia kembali berlari menuju pot bunga matahari yang ditanam minggu lalu oleh Damai dan baru tumbuh setengah meter. Tangan usilnya mulai menarik helai-helai daun yang baru akan menguncup.“Meda, kalau kamu nakal Kakak jewer, ya!” Rinai mulai marah. Dia menarik tubuh mungil si bungsu Wiratmadja menjauh dari bunga malang itu. Lalu berkacak pinggang dengan tatapan mengancam.Alih-alih takut, Meda malah ikut meletakkan dua tangannya di pinggang. Ia berseru tak kalah keras. “Kalo Kalin jahat, Eda igit, ya!”Mesta mati-matian menahan tawa melihat interaksi mereka. Wajah Rain yang memerah karena kesal jadi makin merah. Bola matanya nyaris keluar mendengar ancaman balasan Meda.“Oh, berani, ya! Sini Kakak jewer!” Rinai menurunkan dua tangannya. Bersiap menarik tangan Meda. Tapi sebelum niatnya terealisasikan, Andromeda sudah berbalik badan. Dengan gesit ia berlari sambil menjerit-jerit kesenangan karena berhasil membuat Rain kewalahan.Kenzo bilang Rain sudah punya anak. Pantas dia sabar menghadapi Meda yang kadang bisa hiperaktif serta sangat manja. Dan kenyataan itu sukses membuat wajah senang Mesta mendadak muram.Berdiri, laki-laki itu mendongak. Menatap langit siang dengan matahari yang bersinar sombong di atas sana. Pantas saja Mesta merasa keringatan, ternyata terik tengah memanggangnya dengan leluasa. Dan dia tak menyadari itu sedari tadi.Mesta sudah hendak pergi. Meneruskan langkah ke dalam rumah untuk mandi, tapi teriakan Meda menghentikan gerak tubuhnya. “Kalin, jangan!”Mesta yang mendadak khawatir segera berbalik badan sembari setengah berlari menuju sumber suara cempreng itu.Begitu sampai, ia dibuat terdiam.Tidak terjadi apa-apa seperti yang ia khawatirkan. Meda dan Rain hanya sedang bermain perang air.Hanya perang air, tapi sukses membuat Mesta terpana.Di sana. Di pojok halaman belakang. Rinai berusaha merebut selang dari tangan Meda. Dan tubuh laki-laki cantik itu sudah basah semua. Kaus hitam kebesarannya melekat sempurna bagai kulit kedua.Jakun Mesta naik turun melihatnya. Melihat dua gundukan kecil yang tercetak samar di dada laki-laki cantik itu. Napas Mesta tercekat.Rain ... dia—“Bang Ta!” Meda melepas selang air dalam kuasanya begitu menemukan sosok Semesta berdiri di dekat mereka. Menghampiri si abang dan bersembunyi di belakang tubuh tinggi itu.Selang air yang Meda lempar sembarangan dipungut Rinai. Dia berniat membalas Meda, namun niatnya urung karena ada kakak Meda yang kelewat posesif di antara mereka. Mau tak mau ia kembali bersikap menjadi pengasuh baik hati dengan menggulung selang dan mematikan aliran air.Selesai, ia melangkah mendekati posisi kakak beradik itu sambil mengibas-ibas rambut cepaknya. Hendak mengambil alih Meda untuk diajak mandi dan ganti pakaian. Namun Mesta malah makin menyembunyikan sang adik di belakangnya. Membuat kening Rinai mengernyit tak paham.“Baju Neng Meda basah. Ente mau gantiin sendiri apa aye aja?” tanyanya enggan. Dia tidak pernah suka berinteraksi dengan Semesta sejak dulu.Yang ditanya tak menjawab. Ia malah menatap wajah Rinai lekat-lekat. Lalu turun ke dadanya. Begitu terus sampai beberapa kali. Berhasil membuat Rinai salah tingkah. Hingga ia menyadari apa yang menjadi objek tatapan sang tuan muda.“Ente lihat apa?!” Ia melotot tajam. Dua tangannya menutupi dada dengan gerakan rikuh. Dalam hati berdoa agar Mesta tak curiga. Bisa langsung dipecat nanti kalau ia ketahuan berbohong. Tak menyadari bahwa sikapnya saat ini benar-benar mirip bencong yang sok jual mahal.“Kamu—”“A-apa?”“—ginekomastia?”Hah? 10Bukan Telor Ceplok “Emang dada gue serata itu, ya, Ren?” Rinai duduk bertopang dagu di meja makan kediaman Rendi. Perutnya sudah kenyang. Diisi oleh berbagai masakan buatan Lulu yang luar biasa enak. Tidak kalah dengan hasil makanan Mpok Nuri—penjual nasi uduk di depan gang tempat tinggal mereka. Rinai datang ke rumah ini semata-mata bukan hanya untuk menumpang makan. Tapi, juga untuk menumpahkan segala unek-unek yang sedari tadi siang bersarang dalam batok kepalanya. Dan satu-satunya tempat sampah yang ia punya hanya Rendi seorang.Pertanyaan spontan yang diajukan tanpa tadeng aling-aling itu, praktis membuat Lulu yang sedang meminum susu hamilnya tersedak. Buru-buru ia menjauhkan gelas dari bibir dan melap mulutnya yang belepotan. Dibantu Rendi yang menepuk-nepuk punggungnya dengan sayang.“Pelan-pelan dong, Bun, kalau minum.”Rinai memutar bola mata jengah melihat betapa lembut sikap Rendi kepada Lulu. Berbeda sekali saat bersikap terhadapnya. Rendi, si belangsak itu bisa menjadi begitu penyayang bagi keluarga. Rinai jadi bertanya-tanya, akankah Angkasa seperti itu juga nanti? Kalau pun iya, belum tentu juga Rinai yang menjadi pasangannya. Hah, nasib terjebak friendzone ya, begitu. Diungkapkan malu, tidak diungkap bikin hati ngilu.“Rinai, tuh, Yah!” tuding Lulu begitu batuknya reda.“Lah, kok, gue?” Rinai yang tak merasa telah melakukan kesalahan, balik bertanya. Tangan kanan yang sebelumnya dijadikan penopang, ia lipat di atas meja.“Pertanyaan kamu itu, loh. Masya Allah sekali, Rin. Untung aku yang jadi istrinya Bang Rendi, ya. Kalau nggak, bisa jadi kamu udah dituding pelakor, tahu!”Rinai makin tak paham. Dia melirik Rendi sekilas sebelum kembali bertanya polos pada Lulu. “Hubungan pertanyaan gue sama pelakor emang apa?”“Kamu barusan nanyain ukuran dada sama suami aku.” Lulu mendelik. “Ya kali, dia tahu!”“Ya, pasti tahulah! Satu-satunya mahluk batangan yang tiap hari sama gue kan, laki lo, Lu. Lagian dia udah kayak abang gue.”“Ya Allah, Rin, mulut lo emang perlu dirukyah, ya!” Rendi geleng-geleng. Inilah salah satu alasan ia berharap Rinai benar-benar terlahir sebagai kaum Adam. Sahabatnya yang satu ini benar-benar tak bisa menjaga omongan. Beruntung Lulu sudah kenal mereka lama dan tahu kalau dirinya dan Rinai terikat persaudaraan karena tali persusuan. Jauh sebelum Rendi menjalin hubungan dengan Lulu. Jadi Lulu tidak akan pernah tersinggung dengan letusan mercon dari mulut Rinai. Yang bahkan tidak malu bertanya tentang ukuran dadanya pada laki-laki beristri itu.Suara dengusan kasar dari sampingnya, menarik perhatian Rendi yang tengah memusatkan pandangan pada wanita setengah jadi di seberang meja. Saat ia menoleh, didapatinya Lulu yang sudah mendorong kursi makan ke belakang sembari berdiri. Siap pergi.“Urusin bini kedua kamu itu dulu, deh, Yah. Aku mau nyuapin si Adnan,” ujar Lulu sebelum berlalu ke dapur.“Bini kedua? Dalam mimpi sekali pun gue nggak sudi jadi bini kedua lo, Ren,” cibir Rinai setelah Lulu tak tampak lagi dalam jangkauan pandangannya.“Dih, lo pikir gue sudi?”Rinai cemberut sok imut. Mendengar perkataan Rendi yang terlalu jujur, ia jadi teringat maksudnya datang ke sini. “Emang gue nggak secewek itu, ya?” Ia kembali bertopang dagu. Dua pipinya di kembungkan bagai ikan lohan. Niat hati ingin tampak cantik, tapi dari cara pandang Rendi, ia tahu penampakannya malah cenderung bikin ngeri. Berdecak, Rinai menormalkan posisi duduknya seperti biasa. Satu kaki diangkat ke atas kursi.“Maksud lo nggak secewek itu?”“Tadi gue main air tuh, sama adiknya si Aang, kan. Baju gue basah, jadi nemplok banget sama badan gue, sampe dada gue keliatan. Nah, si Semesta lihat gue ternyata, dan dia malah ngira gue kelainan apa, tuh. Nyebut namanya aja gue nggak tahu. Intinya sih, kelainan. Sejenis laki-laki berpayudara gitu,” terang Rinai tanpa diminta. “Emang dada gue serata itu, ya? Sampai nebak gue perempuan aja kayaknya mustahil banget buat dia.”Serta merta Rinai kembali diingatkan pada kejadian siang tadi. Di taman belakang keluarga Wiratmadja. Saat Mesta menatap dadanya penuh arti. Di bawah terik matahari yang serasa membakar kulit keduanya. Kalau bukan karena Meda, Rinai ogah berpanas-panas ria dan menambah gosong kulit eksotisnya.Anehnya alih-alih marah karena disebut kelainan, Rinai justru merasa malu. Pipinya terasa panas, bahkan ia yakin telinganya ikut merah kala itu.“Gi-ginekomastia?” ulangnya hati-hati. Takut lidahnya terpleset dan salah berucap kata. Ia menatap Semesta bingung. Dua tangannya masih menyilang di depan dada. Berusaha menutupi sesuatu yang bahkan tak terlalu tampak sekalipun tak ditutupi.“Iya. Ginekomastia. Itu sebutan untuk laki-laki yang ...” Semesta menatap mata Rinai dengan pandangan yang sulit di artikan. Lalu kembali pada dada Rinai yang masih berusaha ditutupi, “memiliki payudara. Hal itu terjadi karena pembesaran kelenjar glandular di bagian dada. Ginekomastia biasanya terjadi akibat gangguan keseimbangan estrogen-androgen pada laki-laki. Umunya terjadi pada bayi, remaja dan lanjut usia. Tapi bisa juga terjadi pada laki-laki dewasa yang pernah mengalami obesitas, atau karena sindrom klinefelter, kecanduan alkohol, bahkan penggunaan obat-obat tertentu,” jelas Semesta panjang lebar. Tak menyadari wajah Rinai yang sudah melongo karena tak paham. Otak Rinai yang masih pentium satu itu jelas kesulitan memahami seluruh perkataannya. Entah karena ia yang terlalu bodoh, atau karena Semesta yang terlalu pintar.Rinai ingin bertanya, maksud penjelasan Semesta itu apa. Namun sebelum satu vokal lepas dari katup bibirnya, laki-laki setinggi 179 senti itu kembali bicara, “Sekarang saya paham kenapa kamu selalu pakai baju kebesaran. Karena memiliki ukuran payudara yang menonjol bagi kaum kita itu memang memalukan.”Kaum kita, katanya?Rinai tambah melongo. Selain pintar, Semesta ternyata juga sok tahu. Dan ... sejak kapan dia jadi cerewet begini? Setahunya, Semesta itu jenis manusia paling irit bicara di kolong langit. Rinai membuka mulut hendak menyahut, tapi lagi-lagi suara Semesta lebih dulu menyela. “Tapi, kamu tenang saja. Itu masih bisa ditangani oleh medis, kok. Saya punya kenalan ahli endokrinologi kalau kamu mau periksa dan konsultasi.”“Mmm ... begini—”“Baju kamu basah.”Demi apa! Rinai ingin mengumpat rasanya. Laki-laki yang irit bicara ternyata sekali buka suara bisa semenyebalkan ini. Dia bahkan selalu berhasil memotong setiap kata yang bahkan belum sempat keluar dari mulut lawan bicaranya.“Ikuti saya,” perintahnya dengan nada yang tak ingin dibantah. Tanpa menunggu jawaban Rinai, ia berbalik badan. Meraih tubuh mungil Meda dalam gendongan, kemudian melangkah ke dalam rumah. Tak sekali pun menoleh ke belakang. Seolah yakin kalau Rinai akan mengikutinya.Dan, ya. Rinai memang tak punya pilihan selain menurut. Sialan.Semesta ternyata membawanya ke kamar laki-laki itu di lantai dua. Sekali lagi, kamar laki-laki itu. Rinai jelas tak berani masuk. Dia hanya mematung di muka pintu yang terbuka lebar. Sedang Meda sudah guling-guling di kasur super besar sang Abang tanpa peduli baju basahnya.“Kenapa berdiri di sana? Saya menyuruh kamu masuk.”Yeah, menyuruh. Bukan meminta. Sebagai babu Rinai tak bisa mmebantah. Lagi pula Semesta tidak akan melakukan tindakan asusila padanya. Dia kan, pria di mata laki-laki itu.Rinai mengikuti gerakan Semesta yang kini sibuk di depan lemari panjang dan tinggi berbahan kayu jati yang melintang di sisi dinding selatan. Luas kamar ini bahkan sama dengan separuh rumahnya. Tanpa bisa dicegah, mata Rinai bergerilya. Menatap interior kamar Semesta yang terlalu rapi untuk ukuran kamar laki-laki. Seluruh dinding diselimuti cat putih. Lantai putih. Seprei pun putih. Bahkan lemari pakaian juga putih. Yang memiliki warna berbeda hanya tivi 40 inchi yang menempel di dinding seberang ranjang. Lebih dari sebuah kamar tidur, bagi Rinai ruangan ini cocok disebut kamar mayat. Terlalu pucat.“Cepat ganti pakaian kamu.”Rinai mengerjap. Matanya berhenti menginvasi demi menatap Semesta yang entah sejak kapan sudah berada di hadapannya dengan kaus, celana jins panjang serta celana dalam di tangannya. Tengah disodorkan pada Rinai.Demi Tuhan. Haruskah lengkap dengan celana dalamnya juga?“E ... ini—” Rinai kebingungan mencari kata-kata. Ia mau-mau saja mengenakan pakaian Semesta. Tapi, celana dalamnya? Ia ogah mengenakan celana dalam bekas orang lain. Apalagi bekas mahluk berbatang.Dan seolah mengerti kecamuk dalam benak Rinai, Semesta kembali bicara. “Ini masih baru,” ujarnya sambil membalik kain segitiga itu untuk memperlihatkan bandrol harganya yang masih belum dilepas. Dan mata Rinai nyaris copot begitu melihat enam digit angka di sana.“Kamu bisa ganti di kamar mandi kalau malu sama saya.”“Nanti balikinnya—”“Nggak usah. Untuk kamu saja.”“Sama ini juga?” Rinai mengangkat celana dalam abu-abu pemberian Mesta di depan wajahnya. Berusaha merasai tekstur kain luar biasa kembut dan halus dari benda segi tiga seharga ratusan ribu itu.“Iya.”Setelahnya Rinai buru-buru mengambil pakaian yang Semesta sodorkan dengan hati berbunga. Kapan lagi dia bisa dapat celana dalam mahal. Gratis pula. Rejeki nomplok, pamali ditolak.“Semesta belum tahu kalau lo cewek?” pertanyaan Rendi otomatis menyentak Rinai. Berhasil membawa perempuan berdada kecil itu kembali pada kenyataan.“Belum. Kalau dia tahu, ya kali ngira gue kelainan!” balas Rinai kemudian.Rendi mengangkat satu alis. Menatap sang lawan bicara dari ujung kepala sampai sebatas perut. Lalu memandang lama bagian dada Rinai—yang memang tampak rata—tanpa membuat Rinai tersinggung. Dia meringis setelahnya. “Kalau gue nggak kenal lo juga, mungkin gue bakal ngira lo laki, Rin,” katanya jujur. Bahkan terlalu jujur sampai Rinai mendelik kesal. “Lagian ini udah sepuluh tahun, loh. Dan Mesta masih aja ngira lo cowok. Kalau sampe lo ketahuan bohong, bisa langsung dipecat. Nganggur lagi. Nyaho lo!”“Gue nggak pernah bohong sama dia!” bantah Rinai tak terima. “Dia sendiri yang ngira gue laki.”“Iyalah. Dari awal lo kumpulnya sama cowok. Ikut tawuran sama balap liar. Penampilan lo kayak cowok. Kelakuan lo juga. Nggak ada feminim-feminimnya. Ya wajar, sih, kalau Mesta ngira lo laki. Lagian, mestinya tadi pas dia bilang lo kelainan itu, lo jujur kalau lo cewek. Heran gue. Nyamain laki-laki itu dosa, Rin, tapi lo malah bangga.”Rinai merenggut. “Nggak usah lo nasihatin, gue juga udah tahu!” bantahnya. “Lagian kenapa gue harus jujur sama dia, coba?”“Ya karena dia majikan lo, Ogeb!”Bibir Rinai makin manyun. Dalam hati menolak kalau Semesta adalah majikannya, karena jelas dia bekerja untuk Damai. Bukan si calon dokter yang suka bikin jantungan.“Lagian, Mesta jeli banget tuh pasti. Sampe bisa liat dua telor ceplok yang nemplok di dada lo.”Sialan. Harusnya Rinai tahu, curhat pada Rendi hanya akan bikin emosi. 11Tak Benar-benar Mau Ruang persegi seluas 5x5 meter itu tampak serba putih. Mulai dari dinding, lantai, bahkan plafon. Belum lagi psikiater paruh baya berparas cina dengan kulit pucat yang selalu menatapnya penuh penilaian di seberang meja, membuat Semesta merasa sangat terintimidasi. Bukan, bukan pada tatapan si dokter, apalagi nuansa ruang praktik yang sudah bagai alam barzah, melainkan pada kenyataan karena ini untuk kali pertama ia harus bercerita tentang rahasia terkelamnya pada orang lain. Orang asing yang bahkan baru ia temui sekarang.Semesta terbiasa menyimpan semua masalah sendiri. Kalau pun ada yang tahu, orang tersebut pastilah Kenzo. Tetapi kali ini, Mesta tidak punya pilihan lain.Menelan saliva yang mendadak terasa menggumpal di kerongkongan, Semesta menarik napas panjang. Seiring dengan embusan karbon dioksida yang ia keluarkan dari lubang hidung, pemuda 28 tahun itu mulai berucap pelan.“Namanya Rain.” Semesta memulai. “Pertama kali kami bertemu sembilan tahun lalu. Saat itu saya masih tujuh belas tahun dan duduk di bangku SMA. Sekolah kami bermasalah, I mean ... teman saya memiliki permasalah dengan teman Rain yang menjadi awal perseteruan kami. Saya jatuh cinta pada pandangan pertama padanya, saat bertemu di arena balap liar untuk menentukan kelompok siapa yang terkuat. Malam itu dia terlihat berkilau di bawah sinar bulan. Tatapannya penuh ambisi, dia berdiri gagah berani di barisan depan, dan ketika pandangan kami bertemu, jantung saya berdebar kencang. Sangat kencang sampai saya merasa takut sendiri. Takut kalau-kalau sesuatu yang salah telah terjadi.“Dan yah, ini memang sebuah kesalahan besar. Tidak seharusnya saya jatuh cinta padanya. Dia ... laki-laki. Kenyataan itu membuat saya nyaris gila memikirkannya. Saya bahkan sampai kabur ke Amerika dengan alasan melanjutkan kuliah hanya untuk melupakan Rain. Tahun-tahun berlalu tanpa melihat senyumnya, saya kira semua sudah baik-baik saja. Cinta yang dulu tumbuh untuknya hanya sementara. Tapi ternyata perkiraan saya salah, karena saat saya kembali ke sini, dan saat kami bertemu lagi tanpa sengaja, jantung saa kembali berdetak di luar batas normal, seolah tahu siapa pemiliknya.Belum lagi sekarang dia bekerja pada ibu saya, dia juga dekat dengan adik saya. Saya kesulitan menghindarinya. Dan makin ke sini, saya merasa benar-benar nyaris mati. Apa yang harus saya lakukan, Dok? Jelas perasaan saya hanya kegilaan untuk diri saya sendiri, kan?” Mesta bertanya retoris dengan nada emosional. Tanpa sadar, ia mengepalkan tangan di atas pangkuan, meremas kain celana jins tebal yang siang ini membungkus apik sepasang kakinya.Diakui atau tidak, Semesta merasa sedikit lega setelah segala unek-unek dan kegelisahannya setiap malam akhirnya tersampaikan. Benar kata Kenzo, masalah memang harus dibagi dengan orang lain agar tidak merasa sendiri.“Kenapa kamu ingin melupakan si Rain ini?”Semesta mengerjap, menatap bingung Dokter Naryo, psikiater paruh baya yang direkomendasikan Kenzo padanya. Pada akhirnya, dia memang mendengarkan saran Kenzo untuk mendatangi ahli yang barangkali bisa membantu ia mencari solusi agar bisa kembali normal.Kembali normal? Kurcaci bertanduk hitam dalam kepala Semesta mencibir. Tertawa penuh ejekan. Selama 28 tahun hidup, Mesta tidak yakin bahwa dirinya pernah benar-benar normal, mengingat Rain adalah orang—laki-laki—pertama yang membuat ia panas dingin tak keruan.“Karena saya tahu ini salah. Dalam agama dan lingkungan saya, penyimpangan semacam ini tidak dibenarkan,” ujar Mesta mulai kesal. Bagaimana mungkin dokter ini masih bertanya?“Seandainya hubungan sesama jenis dibenarkan, apa yang akan kamu lakukan?”“Ap-apa?” Punggung Mesta refleks mundur sampai menyentuh sandaran kursi. Semua kecamuk dalam benaknya mendadak buyar begitu mendapati pertanyaan tak terduga dari Dokter Naryo. “Maksud Dokter apa?”“Seandainya hubungan sesama jenis dibenarkan, apa kamu masih ingin melupakannya.”Saliva dalam tenggorokan Mesta bukan lagi menggumpal, melainkan sudah mengkristal, menciptakan rasa sakit di sepanjang leher. Semesta kehilangan kata-kata. Pertanyaan Dokter Naryo sama sekali tak pernah ia duga. “Dokter—” Dan dia tidak tahu harus menjawab apa.“Dalam dunia psikologi, penyimpangan seksual bukan lagi dianggap penyakit, tapi hanya kelainan seksual biasa. Tentu bisa disembuhkan, tapi semua tergantung pada diri sendiri. Kamu tidak bisa serta-merta kembali normal tanpa alasan dan keinginan yang kuat. Karena sesungguhnya, kesembuhan dan keinginan itu berbanding lurus. Makin besar keinginan kamu untuk sembuh, maka peluang kamu juga makin lebar. Percuma kamu datang kepada saya dan melakukan terapi kalau kamu tidak benar-benar mau.“Jadi, beri saya satu alasan kenapa kamu ingin jadi normal, agar saya bisa mencarikan metode yang tepat untuk kamu.”“Saya,” Semesta membasahi bibir bawahnya yang mendadak kering, “karena saya tahu ini salah, Dok.” Semesta keras kepala. “Agama dan kehidupan sosial saya tidak membenarkan adanya hubungan sesama jenis. Begitu pun hati saya.” Dan jawaban yang sama kembali terucap dari bibirnya.Dokter Naryo menghela napas panjang. Satu tangannya mengelus dagu yang bebas jenggot, menatap Mesta penuh penilaian dari kelereng cokelatnya di balik kaca mata silinder bulat itu.“Oke, sejauh mana hubungan kamu sama pasanganmu itu? Apa kalian pernah melakukan hubungan badan?”Melakukan hubungan badan dengan Rain? Mesta ingin tertawa dalam hati. Menertawakan nasibnya yang sialan. Sebagai manusia yang tercipta dengan berahi, tentu dia ingin—sangat ingin—melakukan hubungan badan dengan seseorang yang dicintai. Tetapi membayangkan dirinya memasuki lubang anus, sukses membuat Mesta mual setengah mati. “Tidak!” jawabnya cepat, terlalu cepat sampai-sampai membuat Dokter Naryo mengernyit curiga. “Selama ini saya mencintainya dalam diam.”“Kenapa? Apa dia punya pasangan gay lain? Atau—”“Dia normal, bahkan sudah menikah dan memiliki anak.”“Cinta bertepuk sebelah tangan,” komentar Dokter Naryo prihatin. “Harusnya ini bisa jadi lebih mudah. Begini, seandainya tidak melihat genre, kamu ingin memiliki pasangan yang seperti apa?”Punggung Mesta melamas sebelum ia jatuhkan hingga menyentuh sandaran kursi. Ia berkedip pelan sebelum berucap, “Saya ingin seseorang yang bisa mengimbangi saya. Yang tegas, percaya diri, berpenampilan apa adanya, dan yang pasti punya senyum menawan.” Dalam bayangan Mesta, muncul sosok tengil yang beberapa hari ini menggangu tidurnya.“Secara fisik?”“Hmm ... tinggi, tidak terlalu kurus, cantik, dan berambut cepak.” Seiring dengan penjelasannya, mata Semesta terpejam. Lelaki itu mengutuk diri dalam hati.“Perempuan berambut cepak, ya ....” Dan ini entah hanya perasaannya saja, atau memang Dokter Naryo setengah mengejeknya dengan nada nyinyir itu. “Kalau begitu, cobalah kamu mencari perempuan dengan ciri-ciri seperti yang jamu sebutkan tadi. Barangkali kamu bisa cocok dan merasa nyaman. Yang pasti perlu kamu percaya, berhubungan dengan lawan jenis itu tidak mengerikan. Kunci untuk belajar mencintai itu komunikasi. Semakin sering kamu berkomunikasi dengan seseorang, semakin kamu akan mengenalnya dan makin besar pula kemungkinan ikatan emosional terjadi di antara kalian. Cinta itu kata kerja dan bisa diusahakan kalau memang kamu mau.”“Saya tidak bisa, Dok.”“Kenapa?”“Usaha saya untuk melupakan Rain bukan hanya dengan pergi melanjutkan pendidikan ke luar negeri, tapi juga melamar seseorang sebagai pelarian.”Dokter Naryo tampak tidak terlalu kaget. Ia menatap Mesta prihatin. “Bagaimana bisa kamu melupakan laki-laki itu, kalau jauh di dalam hati kamu tidak rela melepaskan perasaan untuknya. Jujur saja, Semesta, kamu hanya tidak ingin dipandang rendah oleh masyarakat seandainya mereka tahu kamu mengalami kelainan, kan, bukan benar-benar ingin melupakannya?” *** “Yang, kita kapan nikahnya, sih?”Semesta sedang pusing. Pusing memikirkan pengurusan SIP yang begitu rumit, pusing memikirkan perkataan dokter Naryo, dan ditambah pusing memikirkan pertanyaan Eta yang ... kalau bisa tidak ingin ia jawab.Sejak ia melamar Eta lima tahun lalu, sudah lebih dari seratus kali gadis itu bertanya hal yang sama. Kapan mereka menikah?Menikah!Rasanya Semesta ingin tertawa keras-keras. Jujur saja, menikah belum ada dalam daftar inginnya saat ini. Dan mungkin untuk beberapa tahun ke depan. Paling cepat, ia ingin mengakhiri masa lajang di usia ke 30 tahun. Bukan saat ini, saat statusnya sebagai dokter bahkan belum jelas—nasib dokter lulusan luar negeri. Jika memakai koneksi ayahnya, tentu kini Semesta sudah bisa mengenakan jas putih dan bertugas sebagai dokter di sebuat rumah sakit swasta kenamaan Ibukota. Oh, tidak perlu memakai koneksi Surya, karena Nina, calon ibu mertuanya bahkan beberapa kali bertanya apakah ia sudah mendapat tempat praktik dan bagaimana progresnya dalam mendapat surat izin. Tapi Semesta ingin melakukannya semuanya sendiri agar saat gelar dokter benar-benar tersemat padanya ia bisa menjelanakan dengan sepenuh hati bilamana mengingat perjuangan yang harus ditempuhnya. Terlebih, ia benci segala bentuk nepotisme. Kalau pun nanti gagal menjadi dokter, toh ia masih punya 15 persen saham dari Wiratmadja Corporation.“Memang kamu sudah boleh menikah sama Om Rafdi?” Alih-alih menjawab, Semesta balas bertanya, yang sukses membuat Mentari memajukan bibirnya.“Kalau nurutin mau Padi, aku bisa jadi perawan tua, Yang! Nanti kamu keburu nyari cewek lain. Aku nggak mau!”Semesta mendesah tak kentara. Disesapnya teh herbal dalam gelas tinggi yang sudah tersisa separuh demi mendinginkan otak yang mulai panas mendengar rengekan Eta.Kata Dokter Naryo, dia harus mulai membiasakan diri dengan 'kaum perempuan' agar kecintaannya pada mahluk Tuhan paling menyebalkan itu bisa tumbuh. Dan dalam hal ini, Mentari merupakan satu-satunya perempuan yang bisa Semesta jadikan pelampiasan. Semesta tidak punya waktu dan tidak mau buang-buang waktu mencari wanita lain. Karena siapa pun wanita itu sama saja baginya.“Kalau aku bisa tergoda sama perempuan lain, sudah dari dulu kamu kutinggal.”Eta yang tengah menyesap jus apel nya kontan tersedak. Cairan yang seharusnya masuk ke dalam tenggorokan justru nyasar ke saluran napas begitu mendengar gumaman Semesta. “Kamu bilang apa tadi?!” jeritnya kemudian.Semesta memicing seraya menarik napas panjang. Tidak suka dengan jeritan cempreng Eta yang tiba-tiba, membuat beberapa pasang mata yang posisi mejanya di dekat mereka menoleh. “Ingat situasi, Ta!” desisnya.“Bilang dulu, kamu tadi ngomong apa?”“Nggak ada.”“Jujur, Yang! Aku denger!”Mendesah sekali lagi, Semesta menyahut jengkel. “Kalau aku bisa tergoda sama perempuan lain, sudah dari dulu kamu kutinggal!”“Berarti kamu nggak bisa tergoda sama cewek lain?” Mentari meminggirkan gelas minumnya. Ia melipat kedua tangan di atas meja sembari memajukan badan dan menelengkan sedikit kepala. Menatap Semesta lebih dekat sambil mengedipkan satu mata centil. Yang demi Tuhan membuat perut Semesta mual. “Berarti kamu udah cinta mati dong, sama aku!” serunya kemudian.Semesta mengusap wajah kasar. Tak paham dengan tingkah perempuan yang menjadi calon istrinya ini. Detik yang lalu dia menjerit bagai singa betina yang siap menerkam, lalu detik berikutnya berseru kelewat riang.Demi Hujan, Tuhan pasti mengutuknya. Membuat ia jatuh cinta pada sesama pria dan terjebak dengan wanita sejenis Eta.“Kalau kamu sudah selesai, kita pulang.” Semesta malas menanggapi ocehan Mentari dalam bentuk apa pun. Niat hati mengajak wanita ini kencan untuk belajar mendekatkan hati, yang ada ia malah ingin mati menghadapi sikap aneh si Mentari.“Yah, Yang ... baru sejam kita di sini loh. Kenapa sih, tiap jalan sama aku kamu buru-buru mulu? Coba lagi ngomongin saham sama Papa, mulutnya bisa sampai berbusa, tuh! Padahal kamu harusnya lebih banyak ngobrol sama Mama loh. Kan, sama-sama dokter.”Satu lagi yang membuat Semesta tidak suka. Selain cerewet, Mentari mudah sekali teralihkan. Topik bahasan mereka tentang A belum selesai, kini dia melompat pada bahasan Z yang bahkan tidak nyambung dalam obrolan.Coba jelaskan pada Semesta, apa korelasi antara 'ingin buru-buru pulang' dan 'sebaiknya berbicara dengan calon ayah mertua atau ibu mertua hanya karena profesi serupa'? Dan jangan lupakan bahwa sebelumnya bahasan mereka seputar pernikahan.Apa semua perempuan seperti itu, atau hanya Eta saja yang langka? Semesta tidak tahu.“Kalau kamu masih mau di sini tidak apa-apa. Aku pulang duluan.”“Ih, Yang!” Mentari hendak kembali mengajukan protes, tapi melihat Mesta memundurkan kursi duduknya, mau tak mau ia pun harus ikut bangkit.Laki-laki itu memanggil pelayan untuk meminta tagihan pesanan mereka, kemudian berbalik tanpa kata. Melangkah keluar dari kafe yang terletak di seberang jalan komplek tempat tinggal mereka.Semesta memang tidak pernah mengajak Mentari kencan terlalu jauh. Tidak pernah keluar dari Jakarta. Dan kalau pun mereka jalan berdua, pasti tempat tongkrongannya di kafe, restoran, atau mal. Dan begitu saja Mentari sudah kelewat bahagia, meski lebih sering ia yang memaksa Semesta jalan.Semesta tahu, untuk ukuran seorang laki-laki sejati, ia terlalu berengsek. Sangat berengsek. Dia yang telah meminta Mentari pada ayahnya, tapi justru tak bisa menghargai perempuan itu sama sekali. Semesta tahu Mentari sering terluka atas sikapnya, tapi percaya atau tidak, dirinya jauh lebih terluka.Lebih dari separuh umur hidupnya Samesta belajar dan berusaha mencintai Eta, tapi tetep saja sulit. Barangkali memang karena cinta bukan sesuatu yang diusahakan, melainkan apa yang kita rasakan.Di dekat mobilnya terparkir, Semesta tiba-tiba menghentikan gerak kaki. Mentari yang mengejar sang calon suami dengan langkah tergesa sampai membentur punggung tegap laki-laki itu.“Ugh, Yang, kalo mau ngerem mendadak bilang dong!” sungutnya sambil mengelus kening.“Ta!” Tak menanggapi ocehan mentari, Semesta berbalik. Menatap si cerewet Eta dengan tatapan intensnya, membuat perempuan itu bergerak salah tingkah. Selama lebih 15 tahun mereka kenal, baru kali ini Semesta menatapnya dalam jarak yang begitu dekat.“Ya?” sahut Mentari mendadak gugup.Semesta mendekatkan posisi wajahnya pada wajah Mentari. Sangat dekat. Nyaris tak berjarak. Eta bahkan sudah memejamkan mata. Siap menerima sentuhan tunangannya. Ciuman mungkin. Ciuman pertamanya. Namun lama menunggu, tak ada apa pun terjadi. Hanya desah napas berat Semesta yang terasa di dekat telinganya, disusul suara pelan laki-laki itu. “Tidak jadi,” katanya. ...Meda menjerit, meronta pada Angkasa agar tangannya dilepas. Rinai yang semula asyik menjilat es krimnya sampai menoleh pada dua kakak beradik yang selalu ribut ini.Dengan alasan dendam kesumat pada si bocah iblis, Rinai enggan membantu tangan Meda lepas dari cengkeraman kakaknya. Tapi mendengar Meda mulai merengek hendak menangis, membuat Rain tak tega juga.“Ang, lo isengnya jangan kelewatan, dong. Itu tangan Meda sakit!” serunya.Namun, yang diajak bicara tak bergeming. Tatapannya masih fokus ke depan. Rinai mengernyit mendapati kobar amarah dalam telaga bening laki-laki itu.Mengikuti arah pandang Angkasa, Rinai ikut mematung. Mendadak tuli pada rengekan Meda yang minta dilepas. Es krim yang masih baru dua kali ia jilat pun terlupa hingga melelahkan satu tetes kental ke tangannya.“Ang ....” Rinai bergumam. Menatap Angkasa dengan luka yang sama. Dia tahu sejak dulu hati Angkasanya sudah tercuri. Tapi, Rinai tidak pernah tahu bahwa sampai kini hati pemuda cinta pertamanya ini belum juga kembali.Merenggangkan genggaman pada tangan Meda yang sudah siap menangis, Angkasa berbalik. Tidak jadi pergi ke taman komplek sebelah. Diangkatnya Meda ke dalam gendongan tanpa banyak bicara, lalu kembali melangkah. Dia hanya ingin pulang. Menghabiskan minggu sore sendirian di gazebo belakang kediaman Wiratmdja rasanya lebih menyenangkan ketimbang terjebak di keramaian tapi merasa sepi. Dan semua itu gara-gara pemandangan sialan tadi.“Ang—”“Rin, kalau sampai di usia tiga puluh kita masih sama-sama sendiri, lo mau ya nikah sama gue?”“Hah?”Rinai bukan lagi hilang napsu pada es krim rasa cokelat kesukaannya, makanan manis itu bahkan sudah terjun bebas mencium bumi. Sedang sang empunya mematung di sana. Menatap punggung Angkasa yang mulai menjauh dan meninggalkannya.Apa baru saja ia bermimpi? Rinai mencubit pipinya sekali, lalu meringis merasakan sakit akibat ulah konyolnya sendiri.Berarti ini nyata? Angkasa benar-benar melamarnya?Demi apa pun, ini sulit dipercaya! Rinai di mata Angkasa itu tidak termasuk kaum hawa. Jika sampai Angkasa melamarnya, berarti dunia benar-benar sudah gila. Tapi Rinai suka kegilaan ini.Menoleh ke belakang sekali lagi, Rinai melangkah setengah berlari mengejar Angkasa. Ia tidak tahu harus senang atau sedih sekarang. Angkasa mengajaknya menikah bila di usia kepala tiga mereka masih sendiri, tapi di sisi lain laki-laki itu melamarnya saat sedang patah hati.Sisi baik Rinai menangis meraung-raung melihat luka Angkasa.Namun sisi jahatnya tertawa kesenangan menyaksikan Semesta dan Mentari berciuman di depan kafe seberang jalan sana.Setidaknya dengan ini Angkasa akan sadar, selamanya Mentari hanya milik Semesta. Angkasa hanya sekadar orang ketiga yang memiliki cinta terpendam. Dan Rinai merupakan mahluk astral yang terlupakan.Yah, dirinya sengenes itu! 12Gara-garaAdegan 21 Ples Semesta batal menciumnya? Demi apa?Mentari kesal sekali! Padahal dia pikir, setelah sekian lama Semesta akan punya inisiatif menciumnya. Bayangkan betapa keringnya hubungan mereka selama ini. Tapi, Mentari yang secantik dewi pagi mempunyai stok sabar tak terbatas. Dia berhasil melewati cobaan itu demi meraih akhir bahagia dari kisah cintanya dengan Semesta Arya. Barangkali Semesta ingin menyimpan ciuman pertama mereka di malam pertama setelah halal nanti, agar lebih romantis.Namun, tak semudah itu kesalnya hilang. Rasanya Eta mau berteriak kencang, mengadu pada dunia bahwa keinginannya untuk mendapatkan ciuman sejati belum juga kesampaian. Ia benar-benar iri pada tokoh perempuan dalam novel roman atau film percintaan yang selalu mendapat ciuman lembut kekasihnya, karena dia belum juga dapat. Mentari jadi tak sabar ingin segera menikah agar bisa menyerang Semesta duluan. Kalau sudah jadi suami, Semesta tidak akan pernah menolaknya, kan?Aih, mengingat kejadian sore tadi, sukses membuat Eta kembali merana.Menghentakkan kaki pelan agar bunyi ujung heelsnya tak terdengar sang tunangan, Eta berusaha menampilkan wajah penuh senyum. Seolah semua baik-baik saja. Seakan kelakuan Semesta tadi sama sekali tak melukainya. Dia melangkah cepat demi menyamai gerak kaki Semesta yang bergerak gesit. Eta yakin, suatu hari perjuangannya akan berbuah manis.“Yang, yakin nikahnya nggak mau dicepetin aja?” Eta makin mempercepat langkah hingga posisinya sejajar dengan laki-laki itu. Ia menarik lengan baju Semesta. Tubuhnya memberat, langkahnya melambat, semata agar tidak lekas sampai ke rumah. Eta tak pernah berani memulai skinship lebih dulu, karena Semesta tak suka. Padahal mereka sudah tunangan, masa kalah dengan remaja esempe yang bahkan sudah berani mama-papaan di depan umum? Tapi, Semesta memang berbeda. Barangkali itu yang membikin Eta jatuh cinta.“Aku masih belum mau mati di tangan papa kamu.”Lagi-lagi karena ayahnya. Mentari mendesah pendek. Dia bertekad akan merajuk habis-habisan pada Rafdi setelah ini. Pokoknya dia harus sudah menikah sebelum beranjak kepala tiga.“Kalau Papa udah kasih izin, janji ya ... nikahan kita wajib dipercepat!”“Hmm.” Semesta hanya bergumam pendek. Tak yakin Rafdi akan memberi izin putri kesayangannya untuk menikah cepat. Rafdi itu super protektif. Beliau bahkan setengah tak merestui pertunangannya dengan Mentari. Bukan karena tidak menyukai Mesta, ia hanya tidak suka siapa pun mendekati putrinya. Rafdi memberi batasan usia 30 tahun untuk menikah pada Eta pun karena gadis itu yang memohon-mohon sampai mogok makan seharian. Lantas, sekarang Eta mau memakai cara apa lagi untuk meluluhkan ayahnya itu? Mesta tak yakin. Dan ia berharap Rafdi tidak mengubah keputusannya. Karena demi apa pun, Semesta belum siap. Dia tidak berani membayangkan apa jadinya bila benar-benar harus menikahi Mentari sebelum cinta tumbun untuk gadis itu. Karena hubungannya dengan Mentari begitu hambar.Menatap langit barat yang mulai jingga, bulu roman Semesta meremang. Ingatannya mengelana pada sentuhan tangan tak sengajanya dengan Rain bertahun-tahun silam. Rasanya aneh, menggelikan, menyenangkan, dan membuat candu. Berbeda sekali dengan sentuhan tangannya dengan Mentari selama ini. Semua terasa dingin. “Lihat aja. Kurang satu bulan dari sekarang, kamu udah harus siap-siap nikahin aku!” janji Eta yang hanya Mesta angguki sambil lalu. “Nanti pas ijab aku mau pake kebaya, terus resepsinya pake gaun ala Cinderella. Eh, nggak, kayaknya gaun Aurora lebih cantik, deh! Atau Belle aja, ya? Waktu dia dansa sama The Beast, cakep, tuh. Nanti kamu pakenya tuxedo putih biar lebih ganteng. By the way, Yang, kita mau ngadain resepsi berapa kali? Minimal dua kali aja ya, satunya di Bali. Biar kayak nikahannya Raffi Ahmad sama Nagita Slavina. Nikah di pantai sambil menikmati sunset. Terus yang dateng cuma sahabat dan kerabat deket aja. Huaaaa ... romantis banget nggak sih, Yang?”Semesta menahan diri untuk tidak memutar bola mata jengah. Merayu Rafdi saja belum tentu berhasil, tapi tunangannya ini sudah sibuk berkhayal pada pesta pernikahan. Dan Semesta tidak punya pilihan lain kecuali berdehem mengiyakan. Biar Eta senang. Karena bila Eta senang, telinga dan kepala Semesta pun tenteram.“Ih, Yang!” Eta melepaskan tarikan tangannya dari lengan baju Semesta. Ia berhenti melangkah dengan bibir mengerucut serta sepuluh lipatan di wajahnya. Kakinya menghentak kesal. Melihat tingkah Mentari yang seperti ini, Semesta tahu ada yang salah. Dia sudah bersiap-beraiap dari rumah dengan membawa balsam dalam kantung jaketnya untuk berjaga-jaga bila pelipisnya mendadak pening. “Kamu kok, nggak ada antusias-antusiasnya gitu sih, sama rencana pernikahan kita?”Benar, bukan? Dia keliru lagi.Semesta memicing seraya menarik napas panjang. Ia lupa sesuatu. Mentari itu bila dikasih hati mintanya jantung! Dituruti sedikit, maunya segunung. Dia tipe-tipe perempuan manja menggemaskan yang lebih sering bikin kelimpungan. Semesta harus selalu menambah ekstra sabar menghadapinya.“Terus kamu maunya aku gimana, Ta?” Ia terpaksa ikut menghentikan gerak kakinya. Menatap Mentari Setengah enggan. Bagaimana bisa dia belajar mencintai Eta, jika semua yang ada dalam diri wanita ini sama sekali berbanding terbalik dengan yang Semesta inginkan? Tapi mencari perempuan lain pun Mesta tak lagi punya kesempatan.“Tanggepin omongan aku, kek. Kasih saran gaun yang cocok buat aku nanti, kek. Gaun Aurora, Cinderella, atau Belle? Jangan diem aja gitu.”“Aku bahkan nggak kenal mereka. Gimana caranya aku kasih kamu saran?”“Demi apa, kamu nggak kenal mereka? Masa kamu nggak pernah nonton Disney, sih? Kamu punya adik cewek padahal, tapi nggak kenal Cinderella, Jasmine, Ariel?”Semesta mendesah. “Satu-satunya princess yang Meda kenal cuma Princess Mindy,” jawabnya menahan sabar, “itu pun karena dia suka nonton spongebob dan cinta mati sama Squidward.”Ugh, ingatkan Eta kalau Semesta dan adiknya sama-sama aneh! Tapi, dia masih tak ingin menyerah mendebat. Mentari mau Semesta mengalah untuk kali ini saja. Apa pun gaun pengantin Disney yang dia rekomendasikan, akan Mentari pilih. Dia berjanji dalam hati.“Tapi kamu pernah nonton Disney, kan?”“Ya.”“Terus, gaun pengantin yang kamu inget di film Disney apa? Yang paling berkesan buat kamu? Yang kira-kira cocok buat aku.”Sejenak, Semesta tak langsung menjawab. Dia menatap Eta lebih intens. Menilik dari ujung kaki sampai kepala. Tapi tetap tidak menemukan ide. Satu-satunya gaun pengantin yang ia ingat di salah satu film Disney dan paling berkesan hanyalah ... “Gaun Ellie.”“Belle?” Eta berusaha memastikan. “Gaun dia emang bagus. Kuningnya nggak norak. Kalau kamu suka, aku bakal minta desainer langganan Mama buat rancang gaun yang kayak gitu.”“Ellie. Istrinya Carl di film Up.”“Hah?” Otak Mentari yang masih pentium dua dipaksa berpikir keras. Matanya berputar-putar, berusaha mengingat judul film yang Semesta sebutkan. Hingga ingatannya melayang pada adegan pernikahan sederhana di sebuah gereja. Carl dan Ellie. Up. Terakhir kali dia menonton ulang film itu adalah satu tahun lalu, itu pun demi menemani Nina yang cinta mati dengan kesetiaan si Kakek Carl. Mentari sendiri kurang suka dengan genre petualangan seperti itu. Dan demi Tuhan ... gaun pengantin Ellie itu ... terlalu sederhana. Tidak ada renda, payet, taburan swatovsky atau apa pun! Dan Mesta merekomendasikan itu? Sungguh?Maafkan Mentari kalau kali ini ia harus ingkar janji.“Kalau aku pilih gaun lain, nggak apa-apa, kan?”“Terserah.”Tanpa sadar, Mentari mengembuskan napas lega. Mulai sekarang dia tidak akan meminta pendapat Semesta perihal busana pengantin mereka nanti. Selera Semesta benar-benar tidak tertolong!Memasukkan kedua tangan ke dalam kantung celana, Semesta kembali menghadap depan. Siap meneruskan langkah saat tiba-tiba dia mendengar jeritan melengking Meda dari kejauhan. Begitu menoleh, didapatinya sang adik yang tengah menyeret paksa lengan Rain. Dua sosok itu baru saja keluar dari gerbang rumah keluarga Wiratmadja. Rain tampak berusaha melepaskan lengannya dan membujuk Meda agar kembali, tapi si bocah gembul menolak dan malah menjerit-jerit.Melupakan Mentari yang masih mengoceh panjang pendek, Semesta segera berlari menghampiri dua manusia itu. Khawatir pada adiknya yang hampir menangis.“Meda, kenapa?” tanyanya begitu jarak mereka tersisa satu meter. Sekilas Semesta sempat melihat ekspresi kaget Rain melihat kedatangannya. “Kenapa nangis?”Sekonyong-konyong Meda langsung mengempas tangan Rain dan menghambur memeluk lutut kakak kesayangannya. “Kalin nakal, Bang!” Dia mengadu. Pipinya masih basah bekas air mata tadi. “Bang Sa juga nebelin! Dia ngajak Eda ke namam, tapi balik lagi! Eda kesel. Eda mau ke namam komplek! Kalin jangan itut!” Bocah itu melotot pada Rain. Alih-alih merasa takut, Rinai justru gemas dibuatnya. Gemas ingin mencekik bocah setan ini!“Iya, iya. Meda ke taman sama Abang aja, ya!” bujuk Semesta sembari mengangkat si bocah gendut ke dalam gendongan. Meda sontak mengangguk antusias. Kerut-kerut di keningnya langsung menghilang. Ia melingkarkan tangannya pada leher si abang kesayangan.Rinai yang melihatnya berdecih dalam hati. Mengikuti omongan Semesta dengan cibiran tak kentara. Andai Angkasa tidak melihat adegan dua puluh satu ples Semesta dan Eta, sekarang dia dan laki-laki itu pasti sedang menikmati sore di bangku taman sambil mengawasi Meda bermain. Tapi gara-gara rekan patung pancoran ini, rencana itu berantakan, diganti lamaran dadakan di pinggir jalan. Tidak romantis memang, tapi Rinai suka.“Kamu senang Meda meminta kamu tidak usah ikut?”Eh? Senyum Rinai yang semula terbit mengingat lamaran dadakan Angkasa, spontan musnah. Dia menoleh sangsi pada tuan muda sombong di hadapannya. “Maksud ente?”Semesta menyipit dongkol. “Kamu tersenyum.”“Salah?”“Iya. Kamu tersenyum karena senang Meda tidak ingin kamu ikut ke taman, kan? Jadi kamu bebas tugas dan bisa pulang cepat. Tapi maaf, Rain, saya tetap ingin kamu ikut. Waktu kerja kamu masih tersisa satu jam. Jangan makan gaji buta!”Rinai melongo seperti orang bego. Berusaha mencerna kalimat panjang Mesta yang ... terlalu sok tahu! Tapi mau membantah pun, Rinai tidak berani karena ini masih jam kerjanya. Yang itu berarti, Mesta sang tuan dan dia si babu!Mengangguk sajalah.“YANG, KENAPA AKU DITINGGAL, SIH!?”Namun sepertinya, mereka harus melewati satu cobaan dulu sebelum benar-benar pergi ke taman. Karena di sana, lima belas meter di belakang mereka, Mentari tampak terengah-engah sambil memegangi lututnya. Rinai memutar bola mata jengah. Meda mengerucut kesal. Dan Semesta memejamkan mata, kembali mengisi stok kesabaran. 13Sudah Jatuh,Tertimpa Kursi Pula Sialan!Sejak bertemu kembali dengan Rain, Semesta tidak tahu sudah berapa kali mengumpat. Padahal sebelumnya dia sama sekali tidak suka berkata kasar. Ini semua memang gara-gara Rain.Bagaimana tidak, sebelumnya Semesta sudah bertekad ingin melupakan pemilik nama hujan itu. Tapi, hampir seribu satu cara yang dilakukannya selalu berakhir dengan nol besar! Belum ada satu jam dia mencium Mentari sebagai upaya untuk belajar mencintai gadis itu, lalu sekarang ia mendapati dirinya susah berkedip hanya karena menatap laki-laki cantik yang duduk manyun di sisi kursi panjang dengan jarak sepuluh jengkal darinya. Semesta merasa ia hampir gila—oh, tidak. Dia emang sudah benar-benar gila—karena merasa kesenangan saat Mentari tadi menolak ikut ke taman gara-gara sudah terlalu lelah berjalan kaki. Ia jadi berpikir bagaimana bisa sebuah hati mendua, sedang ia saja berusaha belajar mencintai seseorang dan melupakan yang lain saja begitu sulitnya?“Bang Ta!” Meda yang sebelumnya tengah bermain kejar-kejaran dengan anak tetangga, tiba-tiba berbalik dan berlari menghampirinya. Mau tak mau Semesta mengerjap, berhenti curi-curi pandang pada si laki-laki cantik yang duduk bersedekap dan mendelik pada Meda saat bocah itu mendekat.“Kenapa, Da?” tanyanya.“Es glim!” Meda menunjuk ke arah jam sembilan. Tepat pada seorang laki-laki muda yang berjualan es krim di pinggir trotoar.“Kamu mau?”Meda mengangguk antusias. Kelewat antusias sampai Rinai yang melirik setengah enggan khawatir kepalanya bisa lepas lantaran mengangguk-angguk terlalu keras. Tapi, sebodo amatlah. Toh kalau kepala Meda lepas dan jatuh bergelindingan, Rinai tinggal mengambilnya dan menyambung dengan lem cina. Lagi pula, Rinai yakin kalau si bocah iblis itu punya nyawa sembilan, jadi aman.“Mau rasa apa, Da?” Semesta bertanya sambil merogoh kantung belakang celana. Mengambil dompet berbahan kulit berwarna cokelat loreng-loreng yang tampak tebal. Penasaran dengan isinya, Rinai menelengkan kepala mendekat demi mengintip lembar-lembar rupiah di dalam sana. Dan perempuan setengah jadi itu hanya bisa menelan ludah begitu mendapati kumpulan Pak Soekarno Hatta sedang asik silaturahim di dompet Semesta. Tidak seperti dompetnya yang hanya dihuni Tjut Meutia.“Vanila, Bang!”Begitu Semesta mendongak setelah mencabut salah satu lembar merah dari dompetnya, buru-buru Rinai menegakkan kembali posisi duduknya seperti semula sambil bersiul-siul santai dan toleh kanan toleh kiri agar tidak ketahuan mengintip.“Heh,” Rinai tahu Semesta memanggilnya, tapi dia pura-pura tuli saja dulu. “Rain!” Kalau sudah seperti ini, mau tak mau Rinai memutar kepala menghadap sang tuan muda dengan satu alis terangkat.“Ya?”“Tolong belikan es krim rasa vanila, dua,” ujar laki-laki itu seraya menyerahkan uang tadi pada Rinai. Yang diajak bicara menerima uang tersebut dengan perasaan dongkol.“Jadi cuma dua?” tanyanya memastikan. Kali saja Semesta lupa kalau mereka datang ke taman ini bertiga. Bertiga. Bukan berdua. Karena dia tidak mau dianggap setan.“Ya, dua.”“Nggak mau dilebihin aja satu gitu? Takutnya Neng Meda kurang.”“Nggak, Rain. Dua!”Rinai mendengus kasar begitu dirinya berbalik badan. Dalam hati merutuk sebal. Semesta itu tidak peka sekali. Atau dia memang pura-pura tak peka karena tidak mau bersedekah pada Rinai? Dasar orang kaya sombong! Sama sekali jauh berbeda dengan Angkasa yang baik hati dan suka menabung—walau kadang sedikit matrealistis, sih.Dengan kaki menghentak, Rinai berjalan menuju Kang Es Krim. Setelah selesai memesan, dia kembali dengan ekspresi wajah yang tetap keruh. Dalam kepalanya terbayang ia tengah mencabik-cabik tubuh sang tuang muda dengan gigi taringnya yang mendadak panjang.“Ini!” Wanita itu menyerahkan plastik putih pada Semesta beserta kembalian atas uangnya.“Satunya kasih ke Meda. Satunya buat kamu.” Semesta hanya mengambil sisa uang kembalian tanpa menerima plastik yang Rinai ulurkan.“Eh?” Tapi yang diajak bicara itu malah melongo. Tak paham. “Maksudnya?”“Satu buat kamu. Satu buat Meda. Kalau begitu saja kamu tidak paham, saya yakin dulu kamu lulus SMA dengan nilai katrolan.”Anjir! Rinai mengumpat dalam hati. Dia bukan tidak paham dengan interuksi Semesta, tapi dia hanya takut salah kira. Karena sebelumnya, Rinai menyangka dua eskrim ini untuk Meda dan tuan muda sombong di hadapannya ini.“Jadi ini satunya beneran buat aye?” tanyanya sekali lagi.“Kalau kamu tidak mau, sini biar saya kasih orang.”“Jangan, dong!” Rinai buru-buru menyembunyikan plastiknya di balik punggung. Benar-benar takut Semesta akan mengambilnya dan menyedekahkan pada orang lain. Rinai kan, juga doyan. “Tapi ini gratis, kan?”“Tentu saja tidak. Saya akan memotong gaji kamu sesuai harga es krim itu nanti.”“Kalau gitu aye nggak mau, deh! Nih, kasih sama orang aja!” Rinai kembali menyodorkan plastik putih dalam genggamannya pada Semesta. Wajahnya bukan lagi cemberut, tapi sudah ditekuk sepuluh. Membikin muka kucel itu makin tak sedap dipandang. Tapi mata Mesta yang memang sudah bermasalah sejak awal malah enggan berpaling muka ke arah lain.Dan siapa sangaka, ternyata si tuan muda sombong itu malah tersenyum.Oh, tidak. Bukan senyum, melainkan tertawa. Tawa kecil yang membuat lesung pipit di sudut bibirnya kelihatan. Manis sekali. Saking manisnya, Rinai sampai terperangah, bahkan ia lupa bagaimana cara bernapas, hingga udara yang baru saja terhirup tertahan dalam paru-parunya selama beberapa saat.“Serius sekali sih, kamu? Saya cuma becanda, Rain.”Apa tadi katanya? Bercanda? Jadi manusia rekan patung pancoran ini bisa juga bercanda?Menelan ludah kelat, Rinai berkedip lambat. Ia tidak pernah menemukan sosok Semesta yang ... semanis dan setampan ini. Dan ia dibuat kaget mendapati dirinya merasa ... terpesona?W-what? Terpesona? Oh ... spontan karbon dioksida Rinai embuskan melalui mulut. Ia mengerjap sembari menggeleng-gelengkan kepala. Berusaha mengusir bisikan setan yang tadi mengatakan kalau Semesta tampan. Ehm, memang tampan sih, tapi kaku dan sombong. Rinai tetap menobatkannya sebagai orang pertama yang harus dihindari.Berdeham, Rinai menurunkan tangan ke sisi tubuh. Disampirkannya dua lembar rambut pendek nakal ke belakang telinga dengan gerakan rikuh. “Aye ... aye kasih ini dulu buat Neng Meda.” Lalu cepat-cepat berbalik badan. Melangkah setengah berlari menuju posisi jongkok Meda yang diam-diam memetik bunga melati di sudut taman.Saat kembali ke bangku panjang yang sebelumnya ia tempati bersama Semesta, Rinai mengambil tempat dengan jarak paling jauh. Saking jauhnya sampai hanya separuh bokong yang menempel di kayu panjang itu. Mau mencari tempat duduk lain, tapi semua kursi sudah penuh. Dan dia ogah berdiri. Jadi satu-satunya pilihan hanya kembali ke tempat semula.Satu suara dari syaraf otak yang mulai eror dalam tempurung kepalanya mengejek, 'Ngapa lu ogah duduk deket-deket sama Mesta? Tadi aja cuek bebek aja?!'Ugh. Rinai tidak tahu harus menjawab apa. Daripada memikirkan pertanyaan retoris itu, lebih baik ia membuka bungkus es krim dan segera melahapnya demi mendinginkan otak dan hati. Nikmatnya es krim vanila bertabur kacang membuat detak jantung Rinai yang sempat berdebar aneh jadi lebih adem. Sukses membuatnya melupakan senyum Semesta dan malah asyik menjilati makanan manis dalam genggamannya. Saking asyiknya sampai tak sadar seseorang yang tadi membuatnya tepesona sedang menatap intens.Perhatian Rinai sedikit teralihkan saat Semesta tanpa tadeng aling-aling mengulurkan sapu tangan abu-abu ke depan hidungnya. “Apa?” tanyanya dengan mulut penuh.Semesta tak menjawab. Hanya menunjuk sudut bibirnya sendiri, sebagai isyarat bahwa ada bekas eskrim yang tertinggal di ujung bibir Rinai. Alih-alih menerima sapu tangan dari Semesta, Rinai malah menjilati bibirnya sendiri. Membuat Semesta gemas dan akhirnya membantu mengelap ujung bibir wanita setengah jadi itu.Lagi. Rinai terpaku. Debar kecil yang tadi menyerang jantungnya kembali. Tapi, kali ini dengan tempo yang lebih kencang. Mesta yang memang pernah memimpikan ini, memanfaatkan keadaan dengan mengelap sudut bibir Rinai dengan lambat. Sengaja berlama-lama agar bisa mempelajari setiap tekstur kulit laki-laki cantik yang entah bagaimana enggan hengkang dari hatinya selama sepuluh tahun ini. Lebih-lebih, Rain tidak menolak.Mata keduanya sempat beradu. Rinai jadi tahu kalau Semesta memiliki bola mata sehitam malam yang tak kalah indah dengan telaga bening beda warna milik Angkasa. Semesta juga memiliki tahi lalat kecil di bagian kanan kepalanya. Tampan.Namun, suasana syahdu itu mendadak hancur saat samar-samar Semesta mendengar bisik-bisik beberapa orang di sekitar.“Mereka homo, ya?”Sekonyong-konyong, Mesta mendorong kepala Rinai menjauh seraya beridri. Rinai yang duduk di ujung kursi panjang itu sontak terjengkang karena beban kursi yang tak seimbang. Nahasnya lagi, kepalanya tertimpa sebagian kursi kayu hijau itu hingga ia mengaduh kesakitan. Es krim yang masih tersisa separuh terdorong ke muka dan menancap pas di hidungnya.Mesta yang melihat itu berdiri terpaku. Meringis merasa bersalah, tapi tak berani membantu karena takut makin dikira homo. Sedang orang-orang di sekitar mereka tertawa terbahak-bahak. Meda sampai berguling-guling di atas rumput saking senangnya melihat Rinai yang sudah jatuh tertimpa kursi pula. Belum lagi wajahnya yang tampak seperti badut.Rinai yang mendapat benjolan sebesar bola pimpong dan cemong-cemong es krim di wajah, menatap Semesta penuh ancaman.Sialan! Dia tidak jadi terpesona! Dan Mesta harusnya memanglah dihindari!Dasar patung pancoran! Manusia es batu! Tidak punya hati! Rinai makin benciii!!!Lantas, mau ditaruh di mana mukanya setelah ini? 14 ManusiaPembawa Sial “Maaf. Saya benar-benar tidak sengaja tadi.”“Nggak sengaja bikin kepala gue benjol dan nggak punya muka di depan orang-orang maksud lo?”Jam kerja Rinai sudah habis sejak tiga puluh menit lalu. Jadi sekarang dia bebas mau berbicara apa saja pada tuan muda sombong ini. Mau mengumpat juga boleh. Tapi, Rinai yang sudah kadung dongkol merasa lebih baik diam, sehingga sepanjang jalan perempuan berambut cepak itu hanya bungkam. Jangankan berbicara, menoleh ke arah kursi kemudi saja dia tidak sudi.Ya, kali ini Rinai kembali diantar pulang Semesta. Tidak, si Blacky—motor bututnya—baik-baik saja, hanya jidat Rinai yang bermasalah. Damai yang terlalu khawatir melihat ia pulang dari taman dengan kening benjol besar nyaris menyerupai bakpao, tak mengizinkannya pulang sendiri, apalagi mengendarai motor. Takut Rinai merasa pusing saat tengah menyetir dan pingsan di tengah jalan katanya. Iya, Damai memanglah selebay itu. Padahal bila disuruh memilih, Rinai tujuh kali lipat lebih baik pingsan di tengah jalan ketimbang pulang diantar si Semesta Arya Sombong Wiratmadja. Kalau bisa diantar Angkasa sebenarnya, tapi laki-laki itu menghilang entah ke mana sejak insiden ciuman Mentari dan Semesta beberapa saat lalu.“Tadi saya refleks, Rain.”“Refleks yang bagus sampe bikin kepala gue kayak si Papa yang suka drama!”“Papa siapa yang suka drama?”“Lupakan!” Rinai malas menjelaskan. Lebih-lebih bila lawan bicaranya adalah cowok sombong, sok pintar, sok ganteng dan tahunya istilah kedokteran! Mau dijelaskan sampai mulut berbusa pun Mesta tak akan paham.Di sampingnya Semesta mendesah keras, setengah mendengus. Dia sudah berusaha meminta maaf, tapi Rinai tolak mentah-mentah, membuat rasa bersalah dan jengkelnya makin besar saja. Apalagi bila tak sengaja melirik benjolan besar di keningnya, membikin tangan Mesta gatal ingin mengelus dan mengecup. Seperti yang biasa ia lakukan pada Meda bila kejedot, siapa tahu benjolan itu bisa langsung kempes. Tapi sebelum bibirnya menempel di kening Rain, dia yakin sudah terkena jotos lebih dulu.Namun di samping itu, Mesta juga kesal setengah mati. Seumur-umur dia belum pernah begini, mengemis maaf pada seseorang! Oh, jangankan meminta maaf sampai sebegininya, diperlakukan ketus saja tak ada yang berani. Hanya Rinai, serta dua cecunguk lainnya. Si Angkasa serta sahabat mereka yang satu lagi—Mesta lupa siapa namanya dan tidak ingin ingat juga.“Saya sudah menawari kamu untuk periksa ke rumah sakit, tapi kamu tidak mau. Kamu bahkan menolak saya obati.” Semesta berujar lagi begitu mendengar seseorang di sampingnya meringis samar-samar.“Lo pikir malu gue bisa dikasih obat?!” Balas Rinai sinis. Lebih dari jidatnya yang bejol, dia sakit hati. Rinai tidak pernah ditertawakan di depan umum. Dengan keadaan yang sangat memalukan. Di area taman komplek perumahan elit yang cukup ramai pula. Ini pertama kali dan semoga tidak terulang lagi.“Seenggaknya dengan obat, sakit di kepala kamu bisa berkurang.”“Makasih deh, gue nggak butuh!”“Apa yang harus saya lakukan biar kamu memaafkan saya?”“Ke laut aja sono!”“Kalau saya tenggelam bagaimana?”“Sukur!”Merasa percuma mengajak Rain berdamai, Mesta ikut diam. Tatapannya diarahkan pada jalanan menuju gang tempat tinggal Rinai yang sore ini padat merayap, membuat waktu tempuh menjadi lebih lama dari seharusnya. Sementara Rinai lebih suka menikmati jingga yang mulai terlukis di langit barat. Mulutnya cemberut akibat sisi kiri kepalanya nyut-nyutan, padahal tadi sudah dikompres oleh Bi Rum. Awalnya Semesta yang menawarkan diri untuk mengompres, tapi Rinai tolak. Alih-alih sembuh, ia takut benjolnya makin besar nanti.Sampai di gang tempat tinggalnya, sedan hitam itu berhenti. Tanpa mengucapkan terima kasih, Rinai langsung membuka pintu mobil dan keluar begitu saja. Meninggalkan Semesta yang termangu di belakang kemudi. Laki-laki itu hendak ikut turun untuk mengantar Rinai sampai ke rumah, tapi gerakannya yang hendak membuka sabuk pengaman terhenti begitu dari kejauhan dia melihat seorang perempuan berhijab memanggil nama Rain. Dan Semesta tak bisa merasa lebih patah hati dari ini saat mendapati Rain yang melangkah setengah berlari menuju wanita tadi. Wanita berparas cantik dengan perut buncit.Mereka tampak berbicara entah apa. Yang pasti, si wanita berhijab itu menyentuh kening Rain dengan ekspresi khawatir dan tatapan ... sayang? Sedang Rain mengelus perut buncitnya yang kira-kira berusia tujuh bulan.Apa itu istrinya? Batin Semesta pilu. Mereka tampak serasi. Berbeda bila Rain disandingkan dengan dirinya. Tidak ada serasi-serasinya sama sekali. Tentu saja. Memang Semesta siapa? Jelas bukan siapa-siapa, dan tidak memiliki hubungan apa pun dengan mereka! Dia juga tidak berniat menjadi pelakor seperti kata Kenzo. Tapi melihat Rain dan wanita itu, kenapa rasanya sakit sekali?Tak kuasa, Semesta cepat-cepat memutar kemudi. Tidak tahan melihat adegan mesra keduanya. Semesta butuh udara untuk bernapas, sekaligus mengurangi sesak asing yang sama sekali tak menyenangkan ini. *** “Rin!” Suara Lulu, istri Rendi, terdengar dari kejauhan. Berhasil menghentikan langkah menghentak Rinai. Keningnya yang tadi berkerut kesal, berganti kebingungan.Sedang Apa Lulu di sini? Tak tega melihat wanita hamil yang sudah mulai kesusahan berjalan itu berusaha mendekatinya, Rinai berisiniatif menghampiri.“Heh, ngapain lu di sini? Rendi mana?”“Dia nemenin si sulung di rumah. Lagi merajuk anaknya. Kebetulan aku mau ngambil jahitan di rumah kamu. Bareng aja, yuk!” Lulu sudah hendak berbalik untuk melanjutkan langkahnya saat tanpa sengaja melirik kening Rinai yang benjol, sedikit tersamarkan oleh poni depannya yang mulai memanjang dan disampirkan ke telinga kanan. “Lho, kamu abis nabrak tiang listrik, Rin?” tanyanya khawatir sembari menyentuh kening Rinai dan mengelus-elus pelan. Rinai meringis ngilu.“Tadi kejedot kursi.”“Kok bisa? Emang kamu duduknya pake kepala?”Rinai sedang bad mood, dan mendapat pertanyaan Lulu yang lugu, polos mendekati bodoh ini bukan kombinasi yang pas. Dari pada tambah emosi, Rinai mengalihkan topik pembicaraan saja. Disentuhnya perut Lulu yang sudah melendung seperti balon dengan pelan. Sangat pelan, takut perut Lulu meledak bila ditekan terlalu kasar.“Kabar calon ponakan gue gimana?”Berhasil. Lulu sudah lupa pada benjolan bakpao di kening Rinai. Sekarang malah ikut mengelus perutnya sembari menjawab, “Alhamdulillah, baik. Tapi makin ke sini dia makin aktif nendang, kadang sampai bikin perut sakit.”“Tapi lo nggak apa-apa, kan?”“Nggaklah. Ngidamnya juga udah jarang.”“Lah, kenapa malah jarang ngidam? Diseringin dong, biar si Rendi ada kerjaan. Enak banget dia, seneng pas bikin doang, giliran jadi aja malah istri yang dikasih beban!”“Hus, anak itu anugerah, bukan beban!”Iyalah, Rinai mengalah bicara dengan Ibu Ustazah. Apa-apa yang dia omongin mental kalau berhadapan dengan Lulu. Rendi beruntung sekali punya istri calon penghuni surga macam si Lulu, yah ... walau pun kadang tingkahnya terlalu polos mendekati bego, sih.“Hayuk, deh, Rin. Udah mau magrib ini.”Rinai menurut. Berjalan pelan mengikuti ritme langkah Lulu. Tak hamil pun jalannya seperti putri keraton, apa lagi hamil. Rinai mengeluh dalam hati. Bisa-bisa mereka sampai rumah Rinai saat azan isya.“Ngomong-ngomong, itu yang anterin kamu Angkasa?”“Bukan. Abangnya.”“Oh!” Lulu manggut-manggut sok paham, padahal Rinai yakin sama sekali kalau perempuan berhijab ini tidak tahu menahu tentang abangnya si Aang. Dan Rinai juga malas menjelaskan. Menyebut namanya saja dia ogah. “Ganteng, ya.”Jedug!Rinai tersandung kerikil di depannya, sukses membuat kulit lututnya tergores dan celana jinsnya robek. Meringis ia mendongak, menatap Lulu yang tampak kaget dengan pandangan kesal.“Rin, nggak apa-apa? Makanya kalau jalan hati-hati.” Istri Rendi yang kadang menyebalkan itu berusaha membungkuk untuk membantu Rinai berdiri, tapi Rinai menolak uluran tangannya. Sadar diri kalo ia memiliki bobot tubuh yang lumayan. Enam puluh kilo. Kalo ia menerima ukuran tangan Lulu, bukannya berdiri, yang ada mereka akan jatuh berdua. Sekadar informasi, Lulu ini merupakan tipe wanita lemah lembut. Jangankan angkat beban, lari pun dia tidak bisa.“Udah. Gue bisa sendiri,” ujar Rinai berusaha menahan ngilu. Ia menunduk, berniat membersihkan bagian depan jinsnya yang barangkali kotor. Tetapi niat perempuan itu tak kesampaian lantaran melihat bagian yang tergores itu ternyata sudah bolong. “Sialan! Jins kesayangan gue!”Rasanya Rinai mau menangis saja. Jins yang ia pakai sekarang adalah jins laki-laki favoritnya, hadiah ulang tahun dari Angkasa tiga tahun lalu. Dan harganya lebih sejuta! Lalu sekarang ... sobek?“Kenapa, Rin?” Lulu tambah panik. Ia sampai menengok bagian lutut Rinai, takut-takut cederanya parah. Tapi yang didapatinya cuma luka kecil, hanya kain pembungkus kakinya saja yang tak terselamatkan. “Lukanya nggak parah, kok.”“Bukan lukanya, Lu! Celananya! Ini gara-gara lo tahu, nggak?!” Rinai tidak bisa menahan diri untuk tak mengomel. Bahkan dia tidak sadar sudah membentak, membuat si ibu hamil mengkerut takut. “Sekali lagi lu ngomongin tuh cowok, gue bisa sial lagi!”“Maaf, aku nggak tahu kalau dia pembawa sial.”“Yaudah, sekarang udah tahu, kan?”Lulu mengangguk cepat tanpa berani menatap wajah garang Rinai. Pandangannya fokus ke bawah, pada kerikil kecil yang tidak sengaja Rinai injak dan membuatnya tergelincir.Rinai sudah hendak melangkah saat Lulu kembali bersuara, “Tapi, Rin, bukannya nggak ada manusia pembawa sial, ya?”“Demi Tuhan, Lulu!”Dan Lulu tak lagi berani bersuara. Rinai jarang kesal padanya, dan sekali dia buat kesal, Lulu bisa dicueki sampai seminggu. 15Sakit Sendiri “Saya kira kamu tidak akan datang lagi ke sini.”Semesta tersenyum kaku sebagai balasan untuk psikolog paruh baya berkepala plontos dan berkacamata tebal yang duduk tenang di seberang meja praktiknya. Menatap Semesta sambil menggoyang-goyangkan kursi putarnya ke kiri kanan dengan dua tangan yang saling tertaut di atas pangkuan. Santai.“Saya pun inginnya begitu,” jawab Mesta sekenanya. Ada sorot luka yang terpancar dalam telaga bening laki-laki itu yang dapat dengan mudah Sunaryo tangkap. Tapi selama beberapa saat dia hanya memilih diam. Memperhatikan gesture Semesta dan menunggu kelanjutan perkataannya dengan sabar. “Tapi, saya tidak bisa. Semakin hari saya merasa makin gila. Dokter benar, sesungguhnya saya tidak ingin melupakannya. Ada sesuatu dalam hati saya yang menolak gagasan itu. Rasa tidak rela. Saya takut saat saya sudah berhasil mengeyahkannya dari hati dan pikiran saya, dia malah berbalik mencintai saya—walau pun mustahil sepertinya.“Dan saat dipikir-pikir lagi, apa untungnya sekali pun dia berbalik mencintai saya? Kami jelas tidak akan bisa bersama kan, Dok? Dunia akan menantangnya, dan kami tidak akan bisa melakukan apa pun untuk melawan.” Semesta yang sejak tadi menunduk, mendongakkan kepala hingga sorot matanya sejajar dengan pandangan Naryo yang menatapnya penuh spekulasi. “Saya sudah benar-benar gila ya, Dok? Khayalan saya makin melantur ke mana-mana.” Ia menangkup wajah dengan kedua tangan yang bertumpu di atas meja. Malu sekaligus merasa tak berdaya. “Kemarin saya melihat dia bersama ... istrinya. Mereka terlihat bahagia sekali. Dan saya merasa ... merasa sesuatu menusuk jantung saya. Menyempitkan paru-paru saya. Membuat saya ... seakan hina. Dokter, saya harus apa?”Pertahan Semesta runtuh. Begitu tangkup tangannya terlepas, mata pemuda itu memerah. Menatap Sunaryo mengiba. Meminta pada laki-laki berkemeja dongker di hadapannya agar memberi solusi. “Saya sudah berusaha semakin dekat dengan tunangan saya. Tapi, saya justru semakin tersiksa. Tunangan saya bahkan meminta agar kami cepat menikah.” Suaranya makin melemah di akhir kalimat. Kemudian hilang sepenuhnya.“Kamu mau?”“Saya belum mengambil keputusan,” jawabnya pelan. Terlalu pelan sampai Sunaryo harus memajukan tubuh hingga dadanya menempel pada pinggiran meja. “Dan saya belum siap.”“Kenapa kamu tidak mencobanya saja dulu.”“Maksud Dokter?”“Siapa tahu tunangan kamu merupakan jalan keluar dari semua permasalah kamu selama ini.”Semesta mendadak merasa bodoh. Ia berkedip sekali, membalas pandangan Sunaryo tak mengerti. “Saya tidak mencintainya. Bila pernikahan kami gagal nanti, sama saja saya menyakitinya semakin dalam, Dok. Begini saja saya sudah merasa sangat bersalah.”“Maka jangan sampai gagal!”“Dok—”“Saya tidak tahu jenis cinta seperti apa yang kamu rasakan sekarang pada si Rain ini.” Dokter Naryo melepas tangannya dari gagang kursi. Ia melipat kedua tangan di atas meja sembari lanjut bicara, “Melupakan seseorang itu memang bukan perkara mudah, dan berusaha kembali normal itu susah. Kamu ingin menjadi normal tanpa harus melupakan laki-laki yang kamu cintai. Jelas itu lebih sulit lagi. Secara tidak langsung, nurani kamu mengharapkan keajaiban agar si Rain ini menjadi perempuan. Itu mustahil, Semesta.“Maksud saya mustahil menjadi perempuan sejati, kalau perempuan jadi-jadian seperti yang sedang marak diberitakan di tivi sih, tinggal operasi. Tapi, masalah lainnya di sini dia juga sudah berkeluarga. Jadi, pilihan kamu cuma satu. Lupakan keinginan untuk menjadi normal dulu, karena sepertinya yang satu ini lebih mendesak.” Sunaryo menghentikan ucapannya sejenak, menunggu reaksi lawan bicaranya. Setelah yakin bahwa Semesta paham, ia pun melanjutkan, “Pernah mendengar istilah cinta tidak harus memiliki?”Yang ditanya mengangguk. Tak lagi punya daya walau hanya sekadar mengeluarkan satu silabel dari mulutnya.“Menurut saya, kasus kamu sama dengan kasus percintaan lainnya. I mean, tentang perasaan kamu sama si Rain ini, terlepas dia juga laki-laki. Coba seandainya begini. Ubah pola pikir kamu. Selama ini kamu berpikir, kamu takut melupakan dia karena tidak ingin saat kamu mencintai orang lain, dia malah berbalik mencintai kamu, kan? Sekarang buang pikiran itu jauh-jauh. Ganti.“Begini, kamu pilih mana, dia bahagia dengan orang lain atau tersiksa bersama kamu? Terbebani dengan perasaan kamu?”Semesta tak langsung menjawab. Hanya saja pancaran luka yang tergambar di matanya tampak makin dalam. Bibirnya bergerak sedikit, tapi tak sampai terbuka. Pun keningnya mengernyit tak kentara. Ada sesuatu yang bergejolak dalam diri laki-laki itu mendengar pertanyaan Sunaryo yang cukup menohoknya.Di luar kenyataan bahwa Rain laki-laki, bagaimana bila dia tersiksa bersamanya? Atau terbebani dengan perasaannya? Tidak! Jangan sampai.Spontan Semesta menggeleng keras seiring dengan pahitnya saliva yang mati-matian ia telan sebagai upaya menghilangkan perih yang mendadak timbul di tenggorokan. “Saya ... saya mau dia bahagia. Perasaan saya tidak untuk memberatkannya, Dok.”“Meski pun tidak bersama kamu?”“Meski tidak bersama saya.” Semesta menjawab lirih. Membayangkan wajah sendu Rain karenanya, ia tidak mau. Senyum itu harus selalu ada. Rona kebahagiaan di wajahnya tidak boleh luntur. Tidak boleh. Semesta bahkan rela melakukan apa saja demi bisa mendengar merdu suara tawanya. Menekan perasaan dalam-dalam pun tak apa. Sungguh.“Tekankan itu dalam diri kamu, Semesta! Kamu ingin dia bahagia dengan siapa pun itu. Jangan paksa diri kamu untuk terlalu keras melupakannya. Pelan-pelan saja. Lambat laun, saya yakin kamu akan terbiasa.”Semesta mengangguk lemah. Tatapannya kembali turun. Memandang kosong pada keramik putih di bawah sana.“Selama ini, apa kamu baik-baik saja? Kehidupan kamu?”Lagi-lagi Semesta mengangguk tanpa mengalihkan pandangan dari lantai keramik di bawah kakinya. “Sejak kemunculan Rain kembali, apa pernah terjadi sesuatu dengan hubungan kamu sama tunangan kamu itu?”“Tidak.”“Apa tunangan kamu tahu tentang Rain?”“Tidak.”“Apa dia mencintai kamu?”“Sangat.”“Lantas apa yang masih kamu takutkan?”“Maksud Dokter?”Semesta mendongak lagi. ada banyak tanda tanya yang tergambar dalam ekspresi wajahnya. Yang dibalas Dokter Naryo dengan senyum jumawa. “Saya punya beberapa klien dengan kasus sama. Bukan hanya klien, tapi kejadian ini saya alami sendiri. Saya mencintai seseorang, tapi saya menikahi orang lain. Meski begitu, sampai sekarang hidup saya baik-baik saja. Saya sudah punya dua anak dengan istri saya. Dan orang yang saya cintai juga bahagia dengan suaminya. Yang terbaik dari itu, saya dan orang yang saya cintai tetap berteman sampai sekarang.”Kelopak mata Semesta sedikit membesar, pun bibirnya yang menganga tanpa sadar. “Ya-yang Dokter cintai itu ... perempuan?” tanyanya hati-hati.“Ya.”“Dia ... juga mencintai Dokter?”“Ya.”“Lantas kenapa kalian tidak bersama?”Sunaryo mendengus kecil. Maklum dengan pertanyaan Semesta yang terlalu biasa. “Tidak semua hal di dunia ini bisa kamu atur sesuai keinginan. Seperti kamu yang mencintai sesama jenis. Begitu pun saya. Saya mencintainya, dia mencintai saya. Ini jelas lebih berat dari kasus cinta kamu yang bertepuk sebelah tangan. Setiap kami bertemu, saya harus selalu menahan diri menatap pancaran rindu dari matanya. Saya juga harus menahan diri untuk tidak memeluknya. Itu berat sekali, Ta.”“Kalian saling mencintai, tapi kenapa—”“Kami beda agama.”Mulut Semesta praktis bungkam. Tanpa sadar, napasnya pun ikut tertahan. Antara sakit dan miris. Satu pemahaman hinggap dalam otaknya. Di luar sana, masih banyak yang jauh lebih parah, tapi mereka baik-baik saja. Semetara di sini, cinta bertepuk sebelah tangan saja sudah nyaris gila. Dan itulah dirinya.“Yang lebih lucu dari itu adalah, banyak orang yang datang pada saya dengan kasus sama. Saya tentu menasihati mereka, memberi solusi yang selama ini hanya saya baca dari teori. Mirisnya hal itu tidak pernah berhasil saya praktikkan sendiri.” Sunaryo melanjutkan begitu tak mendapati tanda-tamda Semesta akan membuka suara.“Apa ... apakah istri Anda tahu?”Sunaryo tersenyum penuh misteri. “Terkadang kamu harus pintar-pintar menyembunyikan perasaan untuk menjaga perasaan yang lain. Selama luka itu masih bisa kamu simpan sendiri, selama kamu bisa mengontrol diri dan hati, semua akan baik-baik saja. Percayalah”
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai
syarat dan persetujuan?
Laporkan