
(gratis) Pesugihan Cayapata, dikisahkan langsung oleh pelaku pesugihan melalui Damarlangit
Yang malas baca, bisa dengarkan lewat video yang ada di bawah:
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh ....
Sebagai penulis horor, tak luput dari gangguan gaib. Begitu juga denganku.
Kisah ini dimulai, dimana aku pulang larut pagi.
Dimana waktu itu, ada mahluk yang mengikutiku.
Sebenarnya, aku tak bisa melihat atau merasakan mereka.
Aku tahu, karena mbak Ainur yang chat aku.
Bisa dibilang, mbak Ainur memiliki sedikit anugerah.
Dia bisa merasakan, atau melihat mahluk-mahluk tak kasat mata.
Oh iya, waktu itu aku pulang jam 01.30 pagi, kalau tak salah.
Mbak Ainur langsung chat seperti itu dan tak memperbolehkan aku keluar rumah.
Aku menurutinya dan aku tak bisa tidur.
Kita chat sampai menjelang shubuh.
Akan tetapi ....
Pukul 03.30, nenek hendak salat shubuh ke masjid.
Dia membuka pintu depan dan dari situ, aku langsung diperlihatkan akan sesuatu.
Sesuatu yang akan mengawali kisah ini.
Kisah mahluk penguasa disalah satu gunung, yang namanya tak boleh disebutkan.
Budak pesugihan, para indigo yang mencoba mencari kebenaran dari sebuah kata.
Hingga ada salah satu dari mereka yang hampir tak bisa pulang ke dunia nyata, karena mencoba mengucapkan kata ini.
Sebuah kata yang seakan kunci untuk membuka dimensi berbeda.
Kita kuat, kita kembali.
Kita tak kuat, kita tersesat dan menjadi budak mahluk tersebut, hingga hari yang dijanjikan.
Inilah penglihatan yang aku dapat waktu itu.
Aku juga tak mengerti, kenapa aku mendapatkannya.
Aku melihat diriku, berdiri membelakangiku dan anehnya, aku tak tahu ada dimana.
Aku hanya melihat sosok yang mirip denganku berdiri, membelakangi.
Didepannya ada pintu bercorak emas.
Samping kiri dan kanannya ada hordeng berwarna merah.
Sosok tersebut berbalik, sambil menyikap hordeng dan berucap, "B*******o"
Sosok tersebut melihatku sambil mengucap kalimat itu.
Kalimat atau kata yang aku tak mengerti akan artinya.
Suaranya saat mengucapkan kata tersebut begitu berat, ekpresi wajahnya menakutkan.
Sontak aku langsung kaget dan memberitahukan hal tersebut pada mbak Ainur.
Aku tak mengerti, kenapa melihat sesuatu yang aku benar-benar tak mengerti.
So, aku bukan indigo, maupun orang-orang yang pernah mempelajari hal tersebut.
Aku hanya penulis horor biasa.
Karena mbak Ainur tak tahu akan arti kata, "B" itu. Aku coba searching di google. Tetapi, tak menemukan arti dari kata tersebut.
Akhirnya aku menyebarluaskan kata ini di facebook.
Banyak yang mencoba untuk mencari tahu arti dari kata, "B*******o"
Beberapa anak indigo, maupun orang awam, mencoba bertanya pada ahli spiritual.
Hingga, sesuatu terjadi pada si pencari arti dari kata ini.
Yang tahu kata tersebut, tolong jangan diberi tahu sama siapa pun.
Nama Arlang, aku yang memberikannya pada pemuda ini, karena untuk menyembunyikan identitasnya.
Bismillahirrohmanirrohim ....
Dengan ini, cerita akan mulai dibuka.
Demi kenyamanan, aku akan mengganti nama B*******o menjadi Cayapata (samaran)
- ASTRAL PROJECTION -
Rabu, 4 maret 2020.
Pukul 06, aku baru sempat membuka internet. Kaget, ketika melihat beberapa chat dari Damarlangit.
Rupanya, semalam Damarlangit Astral Projection (Meraga Sukma) untuk mencari tahu, kebenaran dari Cayapata.
Isi chat dia, aku tulis ulang. Agar para pembaca dapat memahami.
Mohon maaf, kalau masih ada beberapa hal yang sengaja tak di ceritakan.
Damarlangit, atau bisa dipanggil Arlang adalah nama yang aku berikan ke dia, untuk menyamarkan indentitas nya.
Tanpa berpanjang lebar, mari kita langsung ke inti dari cerita.
Sebelumnya, Damarlangit bertanya pada Ayahnya, tentang seluk beluk Gunung Antargata (samaran).
Setelah mendapatkan info yang cukup, Damarlangit Astral Projection ke Gunung Antargata.
Sampai disana, Arlang melihat hal berbeda.
Hutan lebat di Gunung Antargata, tak terlihat hutan.
Padahal, dengan mata telanjang nampak pepohonan tinggi nan rimbun.
Sedangkan yang Arlang lihat, adalah rumah besar bak istana.
Diluar rumah, nampak sepi. Tak ada seorang pun yang lalu lalang.
Arlang penasaran dengan rumah tersebut. Dia mulai melangkah, masuk ke dalamnya tanpa permisi terlebih dahulu.
Sampai di dalam rumah, Arlang kaget. Ramai nya bukan main.
Ada puluhan, bahkan ratusan manusia yang terjebak didalam rumah tersebut.
Mereka di jadikan pelayan atau budak oleh mahluk-mahluk yang berada disini.
Manusia didalam sini, diperlakukan tidak manusiawi.
Mereka di perlakukan dengan sangat kejam, tanpa belas kasihan.
Makhluk itu, kerap menyiksa. Kalau apa yang dia perintahkan tidak sesuai dengan yang diharapkan.
Para budak hanya bisa berteriak, menangis, menjerit kesakitan.
Tapi, tak bisa membantah dan hanya bisa pasrah.
Tubuh mereka kurus kering, darah bercampur nanah membasahi tubuh.
Luka sayatan dan terbuka, bahkan tulang pun nampak terlihat.
Tapi, manusia disini tak bisa mati, sampai hari yang ditentukan tiba (Kiamat).
Inilah, yang di dapatkan pelaku pesugihan.
Kenikmatan sesaat, berujung siksaan pedih yang akan terus di terima sampai kehidupan berikutnya (akhirat).
Pandangan Arlang teralihkan oleh dua orang yang membawa nampan besar.
Arlang mengekori keduanya.
Rupanya, kedua orang ini pergi ke salah satu ruangan yang banyak Genderuwo.
Beberapa dari mereka memandang kearah Arlang.
Arlang takut, kalau tiba-tiba salah satu dari mereka menyerangnya.
"Hei, Bocah. Mengapa ada di sini? Dari bau mu, aku tak mencium aroma bangsa Kami, atau bau orang yang di tumbal kan." tanya salah satu dari mereka.
"Aku datang, dengan maksud baik! Hanya ingin tahu cerita Cayapata (samaran)" jawab Arlang.
"Kamu tidak sopan, bilang pemimpin kami dengan sebutan nama. Dia itu panglima dari kerajaan demit di Antargata." ucapnya memicingkan mata.
Mahluk itu bangkit dari tempat duduknya.
Dia mengangkat tubuh Arlang dengan kedua jari, bak orang mengambil selembar tisu.
Arlang di bawa ke salah satu ruangan.
Di dalam ruangan tersebut, ada beberapa makhluk. Tapi, berbeda bentuk.
Salah satu mahluk berwujud Genderuwo yang membawa Arlang, menceritakan semuanya.
Lalu, dia meletakkan Arlang di atas meja dan langsung pergi.
Arlang berdiri dan hanya bisa diam.
Matanya memandang ke setiap penjuru ruangan.
Dia mendapati satu mahluk, dengan warna kulit/bulu yang berbeda.
Dari salah satu mahluk tersebut, ada yang bangkit dari tempat duduknya.
Dia berjalan, mendekati Arlang.
"Hey, bocah. Beraninya Kamu mendatangi rumah Ku seorang diri!. Ada perlu apa?" ucapnya bertanya.
"Aku ingin tahu, cerita pesugihan Cayapata." jawab Arlang, bertanya balik.
"Aku, Cayapata." ucapnya diiringi tertawa, "huahahahahahaha."
"Aku sudah tahu, kalau kamu akan datang kesini." ucapnya lagi. Arlang hanya diam sambil menatap si Cayapata.
"Kalahkan Aku dan akan Aku pinjamkan seseorang untuk bercerita." ujar Cayapata memicingkan kedua matanya, sambil menunjuk kearah Arlang.
"Memang sudah lama, Aku ingin kejadian ini terjadi! Makanya, Aku selalu memerintah kan bawahan ku untuk datang kemimpi seseorang." ucapnya dengan nada tinggi
"Tapi, hanya kamu yang bisa menggambarkan bentuk asliku." ungkap Cayapata, kagum terhadap apa yang bisa Arlang lakukan.
Arlang di bawa ke suatu tempat.
Tanahnya lapang nan luas.
Cayapata menggunakan Ajian Brajamusti dan menghantam kan nya ke dada Arlang.
Arlang menangkis pukulan Cayapata. Tapi, Dada nya membiru.
Dari sini, Arlang tak sendirian lagi.
Pendampingan Arlang pun ikut andil di dalam pertarungan.
Namanya, Rara Astami (samaran). jin cantik mengenakan kebaya berwarna merah.
Rara Astami mempunyai dua ekor harimau.
Yang satu berwarna putih. Namanya, Singoludyo dan si loreng bernama, Ki Danu.
(Maaf, Damarlangit tak memberitahu secara rinci, tentang pertarungan tersebut.)
Arlang, Rara dan dua harimau, memenangkan pertarungan tersebut dan Cayapata menepati janji. Dia mengambil salah satu orang untuk memberikan informasi pada Arlang.
- CERITA SANG PEMUJA -
Cayapata menepati janjinya dan dia menyuruh salah satu pasukan nya mengambil salah satu budak untuk bercerita.
Di datangkan, orang yang tangan dan kaki nya di rantai.
Di sebelah nya, ada gadis belia, yang mengikuti.
Tapi, gadis ini tak seperti pelayan atau budak.
Mungkin, dia tumbal. Karena lehernya berlubang dan darah kental keluar, mengucur deras.
Gadis ini nampak ceria. Seakan, tak merasakan sakit.
Dia senang, berada di dekat Ayah nya yang telah menumbal kan dia.
Seakan, tak mempermasalahkan kesalahan sang Ayah.
Berbeda dengan sang Ayah.
Raut wajah nya memendam kesedihan.
Pilu, kesal dan penyelasan nampak terlihat dari raut wajah nya.
"Cepat, cerita kan kisah hidup Mu padanya!" seru pengawal yang membawa lelaki tersebut.
"Ba-ba-baiklah ...!" jawabnya dan mulai bercerita.
*************
Di Desa Sari Kemuni (samaran), ada salah satu keluarga yang hidup harmonis dan tentram.
Mereka hidup sederhana.
Mereka, keluarga petani.
Sepasang pasutri itu, bercocok tanam beberapa sayuran di sawah nya.
Seperti sayur, cabai dan padi.
Tanaman mereka begitu subur dan hasil panen nya melimpah ruah.
Nama kepala keluarga nya, Pak Johan (samaran). Sang istri bernama, Bu Salimah (samaran).
Mereka memiliki anak gadis yang masih belia. Namanya, Susanti (Samaran).
Melihat kemakmuran keluarga Pak Johan, membuat salah satu tetangga nya panas. Iri, dengki, hasut dan ria kepada keluarga Pak Johan.
Namanya, Pak Hamdan (samaran).
Dengan berbekal sebuah ilmu warisan dari leluhur nya, Pak Hamdan hendak mencelakai keluarga Pak Johan.
Pak Hamdan mengguna-gunai tanaman Pak Johan dengan ajian Tikus Putih.
Manfaat ajian tersebut, dapat memindahkan hasil panen yang di guna-gunai ke si pengguna aji tersebut.
Sedangkan untuk si korban akan kehilangan hasil panen nya.
Panen nya nampak limpah ruah. Tapi, setelah terkumpul dan di masukan ke suatu tempat, seperti karung dan sebagainya, hasil panen tersebut akan meresot. Bahkan, bobotnya tiba-tiba berkurang.
Pak Johan mengalami kerugian yang teramat drastis.
Dia bingung dan tak tahu penyebabnya.
Pak Johan berpikir positif dan tak menaruh curiga sama sekali.
Dia hanya berpikir, kalau salah perawatan.
Musim panen berikutnya, masih tetap sama.
Bahkan, lebih buruk dari musim-musim sebelumnya.
Sayur-mayur miliknya, di serang hama ulat.
Cabai yang seharusnya lebat, di serang hama kutu.
Sedangkan padi miliknya, di serang hama wereng.
Pak Johan putus asa.
Dia merasa pusing. Apalagi, Bu Salimah sedang sakit.
Persediaan beras mulai menipis. Uang yang dia pegang pun, hanya sisa satu lembar.
Sore itu, Pak Johan merenung dan meratapi kesialan nasib nya di gubug sawah, sambil memandangi petak kan tanah luas yang mulai di tumbuhi rumput liar.
Tiba-tiba, ada seorang teman datang menghampiri dia.
Namanya, Pak Karna (samaran). Dia teman Pak Johan dari desa sebelah.
Pak Karna datang dengan mengenakan kemeja dan celana dasar berwarna hitam.
Dia tersenyum dan duduk di sebelah Pak Johan yang tengah termenung.
"Koe ngopo, Jo. Sore-sore ngelamun nang sawah? Kesambet, kapok!" (Kamu kenapa, Jo. Sore-sore melamun di sawah? Kesetanan, kapok!) ucap Pak Karna.
"Elah dalah ... Koe toh, Na. Wih ... Sue ora ketemu malih bedo. Panjen gagah. Kedelangane, wis sukses?" (Wara dalah ... Oh Kamu, Na. Wih ... Sudah lama tidak bertemu nampak beda. Terlihat gagah. Kelihatannya, sudah sukses?) tanya Pak Johan.
Setelah sedikit berbasa-basi dan saling tanya perihal pengalaman-pengalaman mereka. Akhirnya, Pak Johan mengutarakan isi hati nya.
Dari situ, Pak Karna memberikan solusi yang konyol dan tak masuk di akal.
"Oh ... Ngono masalah Mu? Aku ono solusi ne. Koe jajalen moro Gunung Antargata. Koe nginep telung dino telung bengi nang duwur, mengko, Koe entok jalan keluare." (Oh ... Seperti itu masalah Mu? Aku ada solusi nih. Kamu coba ke Gunung Antargata. Kamu menginap tiga hari tiga malam di atas. Nanti, Kamu ketemu jalan keluarnya.) saran Pak Karna.
"Maksud Mu, Aku kon golek pesugihan, nyupang ngono Na?" (Maksud Mu, Aku mencari pesugihan, Muja kaya gitu Na?) tanya Pak Johan dengan nada tinggi. Karena sebelumnya, dia sudah mengetahui seluk-beluk Gunung Antargata.
Pak Karna menjawab dengan beberapa anggukan.
Selang setengah jam mengobrol, Pak Karna pamit untuk pulang.
Karena hari pun, mulai petang.
Pak Johan kembali ke rumah, sambil memikirkan obrolan yang baru dia lewatkan.
Waktu semakin larut.
Mata Pak Johan enggan terpejam.
Dia masih memikirkan apa yang di ucapkan Pak Karna.
Dengan modal nekat, akhirnya Pak Johan mengambil keputusan untuk pergi ke gunung tersebut.
Esok paginya, saat embun mulai menguap dan matahari mulai menunjukkan eksistensinya.
Pak Johan berpamitan kepada Bu Salimah dan Susanti.
Alasannya, mau main ke rumah Pak Karna untuk meminjam uang pada Pak Karna, untuk keperluan sehari-hari dan untuk berobat Bu Salimah, selagi di tinggal pergi untuk mencari bibit unggulan di Desa lain.
Dia berangkat dengan harapan akan berhasil dan sukses seperti Pak Karna.
Setelah menempuh perjalan panjang yang cukup terjal.
Beberapa hambatan pun sudah dia lalui.
Akhirnya, Pak Johan sampai di kaki gunung dan bertemu seorang Kakek yang duduk di sebuah gubug.
"Kek. setelah ini, Aku harus kemana lagi?" tanya Pak Johan kepada si kakek yang merupakan juru kunci tempat tersebut.
Kakek tersebut menunjukkan lokasinya pada Pak Johan.
Dia pun, melanjutkan perjalanannya.
Sepanjang perjalanan menuju puncak.
Dia melihat pohon jati.
Kini dia berada di hutan jati.
Setiap seratus meter, dari kanan dan kiri jalan setapak yang dia lalui ... Terdapat kompleks pemakaman kuno, atau pemakaman jaman dahulu.
Setelah sampai puncak, Pak Johan beristirahat sejenak untuk melepaskan penat.
Ternyata, dia tak seorang diri berada di tempat tersebut.
Sudah ada dua orang yang tengah melakukan ritual nyepi (bertapa).
Pak Johan melakukan beberapa ritual khusus, sebelum mengikuti mereka yang tengah tapa brata.
Lalu, menjalankan langkah selanjutnya ... .
******************
Pak Johan tidak bisa melanjutkan cerita.
Dia tak bisa berlama-lama.
Tapi, dia berjanji akan kembali secepatnya dan melanjutkan cerita.
Sosok Pak Johan dan anak nya kembali ke tempat semula.
Sedangkan Arlang kembali ke tubuh nya dan mendapati dada nya memar dengan warna agak ke biruan.
Arlang langsung mengirim cerita ini via mesenger facebook ke pada ku. Agar, dia tak lupa.
Setelah mengirim cerita, Arlang pamit offline dan langsung memulihkan diri.
- RITUAL -
Setelah menceritakan hal tersebut, Pak Johan langsung pergi lagi.
Dia tak bisa berlama-lama.
Dua malam berikutnya, dia datang ke rumah Damarlangit. Tapi, tak seorang diri.
Dari sini, Pak Johan melanjutkan ceritanya.
***
Setelah menempuh perjalanan panjang, Pak Johan langsung memulai ritual gaibnya.
Ia duduk bersila diatas sebuah batu besar dibawah pohon beringin berukuran besar, ditaksir usia pohon itu mungkin sudah ratusan tahun.
Malam pertama ritual sukses dilakukan Pak Johan, Tanpa ada gangguan sedikitpun.
Suara ayam berkokok, Pertanda hari telah pagi. Fajar menyingsing di ufuk timur. Cahaya mentari perlahan menyinari bumi.
Pak Johan membuka kedua netranya, ia melihat dua orang yang kemarin melakukan ritual juga. Mereka tampaknya telah selesai, Wajah mereka sumringah.
Masing-masing mereka membawa tas ransel besar.
Mereka tersenyum kepada Pak Johan. Lelaki yang berbadan lebih gemuk menyapa Pak Johan.
"Selamat pagi Pak, aku turun duluan ya! Aku sudah mendapatkan hasil sebagian dari ritual." Ucapnya dengan nada ramah.
Pak Johan hanya mengangguk, sambil memperhatikan mereka. Namun Pak Johan tak berkata sepatah katapun, karena dalam ritual adalah pantang berbicara sebelum selesai.
Lelaki yang bertubuh kurus membuka tasnya, ternyata berisi uang dengan nilai tak terhitung banyaknya. Ia juga memamerkan keberhasilannya dengan Pak Johan.
"Ini uang saya Pak, awalnya saya tidak percaya. Tapi ini nyata, saya akan pulang dan menjadi orang kaya,hahaha." Suara gelak tawa mereka bersamaan.
Pak Johan semakin bersemangat, Uang dan harta kekayaan sudah menanti didepan mata.
Kedua lelaki tadi turun, tak butuh waktu lama mereka sudah tak terlihat lagi. Kini yang terdengar hanya suara binatang hutan yang mulai memekakkan telinga.
Pak Johan mengusap perut, Ia merasa lapar. Ya wajar saja, Ia sedang puasa. Syarat dari ritual.
Puasa full tiga hari tiga malam harus ia jalani, agar terwujud impiannya.
Malam kedua, Pak Johan kembali melanjutkan ritualnya. Duduk bersila sambil memejamkan kedua mata.
Ada dua wanita cantik, datang menghampiri. Meskipun matanya terpejam, Pak Johan bisa melihatnya melalui mata batin.
Satu wanita berkebaya merah dan satu lagi berkebaya ungu, rambut hitam legam sepinggang. Sungguh belum pernah ia melihat wanita sacantik mereka. Satu wanita disebelah kanan, dan satu disebelah kiri.
"Mas, bukalah matamu, kita akan bersenang-senang malam ini. Aku dan adikku akan melayanimu." Ucap salah satu dari mereka, dengan suara lemah gemulai. Siapapun pasti akan tergoda.
"Ayo, Mas. Ikutlah kami ke Gua dibawah sungai disana. Kami hanya akan melayanimu," Sahut wanita yang lain.
Pak Johan, sebagai manusia biasa yang tidak punya iman, merasakan hasrat bergelora didalam dada. Pikiran negatif terus mengajak Pak Johan mengikuti wanita itu, Namun Pak Johan hanya diam.
Menahan segala hasrat kelelakiannya. Bayangan harta dan uang adalah penguat jiwanya.
Akhirnya wanita itu menghilang, dia bosan menggoda manusia yang teguh dengan ritualnya.
Ternyata tak lama kemudian,
"Hihihi... Hihihi... "
Suara kuntilanak, semakin keras. Semakin mendekat, membuat bulu kuduk Pak Johan meremang.
Kuntilanak itu tertawa keras, sambil sesekali mencolek pipi dan bahu Pak Johan.
Dingin, ya dingin seperti es. Setiap kali kuntilanak itu menyentuhnya.
Pak Johan juga manusia biasa, Ia punya rasa takut dan ingin mengakhiri saja ritualnya. Namun, Pak Johan kuat. Ia tak bergeming.
"Hihihi... Hihihi.. "
Akhirnya kuntilanak itu bosan, lalu pergi.
Tiba-tiba terasa ada sesuatu yang sedang mengitarinya, terasa sesuatu berbulu mengibaskan ekornya ke punggung dan kaki Pak Johan. Macan, Ya itu macan.
Terdengar suaranya mengaum.
"Auuumm....auuum... "
Masih saja macan besar itu memutari Pak Johan. Suara khas gemrutuk giginya pun terdengar jelas ia sedang sangat lapar.
Pak Johan mulai merasa takut, Ia khawatir akan menjadi santapan macan itu. Ingin rasanya ia lari saja, namun ia tetap diam.
Akhirnya macan itu pergi menjauh.
Tak lama kemudian terdengar lagi suara khas tertawa anak kecil.
"Hahaha... Hahaha... "
Sepertinya itu suara tuyul.
Pak Johan berhasil, rintangan di malam kedua ia lolos. Tak ada satupun gangguan yang bisa merusak keteguhan jiwanya.
Malam ketiga paling menentukan.
Pak Johan terus menyebut "Cayapata" dalam ritualnya.
Nama itu disebut terus menerus dengan khusyu dan sepenuh hati. Akhirnya berhasil. Pucuk dicinta ulam pun tiba.
Terdengar suara gemuruh langkah kaki orang banyak yang datang menghampiri. Terasa jika Cayapata beserta pasukan kerajaannya telah tiba.
Berhenti tepat beberapa meter didepan Pak Johan.
"Hai manusia! Ada perlu apa kau kemari dan menyebut namaku!"
Tanya seorang raja yang bernama "Cayapata" itu.
"Aku datang kemari untuk mengabdi pada Cayapata. Aku ingin meminta harta kekayaan yang berlimpah. Serta aku ingin mengetahui apa penyebab hasil panenku merosot dan gagal." Jawab Pak Johan.
"hahaha... " Suara tawa Cayapata menggema dihutan. Diikuti semua pasukannya juga tertawa.
"Baiklah, akan aku kabulkan. Tapi dengan syarat, berikan aku tumbal sebagian darah dari keluargamu sendiri!" Ucap Cayapata.
"Aku siap, akan aku berikan." Kata pak Johan tegas.
Pak Johan menyanggupinya. Tanda sumpah janji setia ia tunjukkan.
Pak Johan melukai jari manis tangan kanannya hingga berdarah.
Darah merah saksi perjanjian dengan Cayapata itu ditampung dalam tempurung kelapa yang berisi darah burung gagak dara ayam cemani.
Mulai saat ini, ia resmi menjadi pengikut Cayapata.
"Pulanglah! Aku tepati janjiku, kau akan jadi orang kaya. Dan setelah sampai rumah, kau akan mendengar orang yang telah membuat gagal panenmu akan meninggal dengan tragis." Ucap Cayapata.
Keesokan paginya, Pak Johan membuka mata.
Mentari pagi menyembutnya, menyinari tubuh Pak Johan dengan sangat cerah.
Pak Johan, merasakan kehangatan di tubuhnya.
"Uah ...." Pak Johan menguap, sambil mengusap kedua matanya beberapa kali.
Lalu, dia turun dari atas batu dan mendekati tas.
Pak Johan melebarkan senyum, sambil mengambil sesuatu dari dalam tas kecilnya.
Dia mengambil roti dan memakannya.
Dirasa sudah kenyang, dengan sigap Pak Johan mengambil kelapa muda sisa ritual.
Lalu, dia meminumnya dengan sangat puas.
Rasa haus dan dahaga sudah hilang.
Dengan begitu, dia sudah tak memikirkan apalagi selain pulang.
Dia berjalan, meneruni tanah yang curam.
Tapi anehnya, dia dapat melewati turunan tersebut dengan sangat mudah.
Pak Johan sudah ada di perkampungan yang berada di kaki bukit.
Dia bertanya pada orang sekitar, tentang penjual bibit sayuran dan padi.
Pak Johan melakukan ini, agar istri dan anaknya tak curiga.
Sesuai dengan janji, Pak Johan pergi untuk membeli bibit bagus.
Setelah mendapatkan petunjuk penjual bibit, dia langsung mendatanginya.
Saking senangnya, Pak Johan membeli beberapa bibit tanpa menawar.
Bibit sudah di dapat.
Pak Johan pun, langsung melangkah kaki, melanjutkan perjalanan menuju rumah.
Sampai di depan rumah, saat Pak Johan hendak menapakkan kaki di lantai teras rumahnya.
Dia mendengar pengumuman dari Masjid terdekat. Yang menginformasikan, kalau Pak Hamdan meninggal dunia.
Pak Hamdan tewas, karena terjatuh dari jurang.
Kepalanya hancur. Bahkan, sampai putus.
Kepala Pak Hamdan dibawa oleh salah satu Anjing peliharaan warga.
Anjing tersebut, membawa kepala Pak Hamdan ke pinggir sawah.
Dari situ, warga tahu kalau Pak Hamdan meninggal dunia dan si pemilik anjing, menyuruh hewan peliharaannya, menunjukkan letak tubuh Pak Hamdan.
Pak Johan tak mengira, kalau selama ini yang tega mencurigai keluarganya, adalah Pak Hamdan.
Padahal, Pak Hamdan tetangganya sendiri dan dia juga orang yang sangat baik.
***
Dari sini, cerita pun berhenti lagi, karena pak Johan tiba-tiba menghilang.
Dia hanya meninggalkan anaknya yang tak bisa berbicara dan hanya bisa tersenyum.
Bau anyir darah yang keluar dari lehernya tanpa berhenti, membuat Damarlangit merasa mual dan keluar kamar.
Menikmati malam, sambil ngopi dan merokok.
- ALAM SEBELAH -
Hari berikutnya, adalah hari perjanjian. Tepatnya, 5 maret 2020.
Di mana dalam perjanjian tersebut, ada adu kesaktian.
Waktu itu, Arlang chat ke Aku (author "Rama Atmaja"), kalau dia mau fokus dan takut ada serangan mendadak. Dia akan chat, setelah pukul 03.00 pagi.
Aku langsung panik dan minta bantuan pada teman-teman FB, agar mendoakan Arlang.
Dari situ, aku lupa dengan kondisi tubuh yang sedang mengalami gangguan.
Arlang menarik visualku, sehingga aku bisa menyaksikan pertarungan tersebut.
Walau, versi kilas balik.
Waktu itu, sebenarnya Arlang dan beberapa orang yang membantu, sudah mengalahkan 30 mahluk yang datang ke rumah nya.
Tapi, aku mendapatkan gambaran awalnya.
Aku melihat Arlang duduk, main handphone.
Tiba-tiba, sosok tinggi besar menghantam tengkuknya.
Arlang tersungkur, memuntahkan darah.
Aku mendapatkan gambaran ini bukan semata-mata aku anak indigo atau ahli spiritual.
Aku melihat gambaran akan kejadian ini, karena Arlang yang mentransfer visual kepadaku tentang kejadian tersebut.
Di belakangnya, ada dua sosok yang hanya mengamati.
Visualku hanya mendapatkan kejadian tersebut.
Tapi, Arlang sedikit memberikan penjelasan tentang kejadian setelah itu.
Dari sini, Arlang melawan dan sosok-sosok yang tadinya bersembunyi, menampakkan diri.
Untungnya, ada beberapa teman Arlang yang sama-sama seperti dia. Mereka merasakan ada aura jahat yang mendatangi Arlang.
Makanya, mereka datang untuk membantu.
Sekitar 6 orang. 4 lelaki dan 2 perempuan datang untuk membantu.
Pasukan Cayapata berhasil dilumpuhkan dan bergegas meninggalkan rumah Arlang.
Beberapa kejadian aneh datang menghampiri.
Seperti angin kencang yang mendobrak-dobrak pintu, bola api terbang mendatangi rumah dan banyak keganjilan lainnya.
Namun, tak membuat Arlang dan teman-temannya takut.
Menjelang pagi, beberapa pasukan Cayapata datang lagi.
Mereka pun, berhasil di lumpuhkan untuk kedua kalinya.
***
11 maret 2020.
Pak Johan tak kunjung menemui Arlang, untuk melanjutkan ceritanya.
Membuat Arlang penasaran dan mencari tahu keberadaannya.
Dirasa hari tersebut sudah pulih, Arlang Astral Projection lagi.
Tapi, kali ini tak sendiri.
Arlang ditemani seorang perempuan, yang biasa dia panggil, Mami Diah (samaran).
Mereka berdua menembus alam lain, untuk mencari keberadaan Pak Johan.
Mami Diah, dia seorang Bidan di salah klinik di daerah Arlang yang mempunyai kelebihan khusus.
Tapi, terkadang tingkahnya seperti anak-anak, kalau didekat Arlang.
Terkadang, Arlang risih dan gak enak hati dengan suami Mami Diah.
Tapi entah mengapa, suami Mami Diah takut kepada Arlang,
Setiap Arlang berkunjung ke rumahnya, suami Mami Diah, ketakutan.
Arlang, Mami Diah, Rara Astami, Ki Singoludyo dan Ki Danu pun, tiba di alam sana.
Tapi, Arlang merasa sedikit takut. Dia masih teringat, saat dirinya menerima pukulan telak. Hal ini membuatnya menjadi semakin waspada dan mudah kaget.
Mereka mendatangi bibir danau.
Air di danau ini sangat jernih, sampai dasar danau pun nampak terlihat dari atas permukaan.
Mereka berlima, melanjutkan perjalanan.
Sudah beberapa langkah mereka lalui. Tiba-tiba, ada puluhan ular mendatangi mereka.
Mereka tak tahu datangnya ular tersebut, tiba-tiba sudah ada dan mengerumuni kaki-kaki, kelimanya.
Arlang kaget dan tanpa sadar memeluk Rara, yang berada di sampingnya.
Ternyata, di dunia sebelah, Rara bisa disentuh oleh tubuh astral Arlang.
"Plak ...." hantaman panas menghampiri pipi Arlang.
"Maaf Ra, Aku kaget! Meluk Kamu hanya reflek." terang Arlang.
'Hahahahahaha' Mami Diah tertawa melihat Arlang kena gampol sama Rara.
Berbeda dengan Ki Singoludyo dan Ki Danu hanya memperhatikan saja.
Arlang langsung malu. Dia, berpikir kalau Rara ikut merasakan malu.
Pasalnya, pipi Rara langsung memerah, saat dia di goda Mami Diah.
Ular-ular itu, tak ada yang menyerang mereka.
Mereka pun bingung. Tapi, Mami Diah langsung merapalkan doa dan mengusir semua ular tersebut.
Mami Diah selesai membaca doa dan ular-ular itu hilang, dengan sendirinya.
Setelah ini, mereka melanjutkan perjalanan lagi.
Sampai di dekat bukit, mereka melihat bangunan megah yang berada di atas bukit tersebut.
Bangunan yang tak asing, bagi Arlang.
"Mi, itu rumahnya." terang Arlang sambil menunjuk ke rumah tersebut.
"Lah, kenapa harus jauh-jauh dari sana? Mengapa, tak langsung datang kesini?" tanya Mami Diah dengan tatapan kecewa.
"Itung-itung ... Jalan-jalan Mi. Mumpung lagi cuti." jelas Arlang memegang pipi bekas tamparan yang masih berasa sakit.
Kelimanya lanjut berjalan, melewati jalan setapak.
Samping kanan dan kiri jalan, ada tumpukan batu yang tersusun rapih.
Sesampainya di jalan menurun, tepatnya di dekat sungai kecil.
Mereka melihat seorang gadis cantik.
Kecantikannya tak kalah dengan Rara.
Gadis itu, baru selesai mencuci pakaian.
Arlang berpikir nakal.
Dia ingin menggoda gadis tersebut, sambil mata nya curi pandang ke Rara.
Maksud Arlang, dia ingin mengetahui, apa Rara cemburu atau tidak.
Arlang berlari, mendekati gadis tersebut.
Arlang, menyapa gadis itu. Yang ternyata ... Susanti, anak Pak Johan.
Susanti melempar senyum, karena merasa kenal dengan si Arlang.
Ternyata, inilah wujud Susanti di dunia sebelah.
Dia tak nampak menakutkan dan sudah tumbuh menjadi gadis yang cantik jelita.
"Eh, Mamas." sapa Susanti.
- KEBENARAN -
(Dari sini, cerita akan mengambil sudut pandang Arlang)
"Susanti ...?" sapaku tersenyum melihatnya.
"Iya, mamas! Ini, Susanti!" serunya menjawab.
"Sini, biar mamas yang bawa!" pintaku sambil menyerobot keranjang berisi kain yang baru selesai dia cuci.
Kita mulai berjalan, sejajar. Sedangkan mereka, mengekor dari belakang.
Sesekali aku melihat kebelakang, untuk mengetahui ekpresi Rara.
Tatapannya begitu sinis, cemberut, kesal, jengkel dan marah.
"Ye ...! Cemburu." gumamku dalam hati, sambil tersenyum dan terus menggoda Susanti.
Kita terus berjalan, melewati jalan setapak.
Mengikuti Susanti, hingga sampai di tujuan.
Tak berapa lama, nampak rumah gubuk.
Kita mendekati rumah tersebut dan Susanti mempersilahkan semuanya untuk masuk.
Susanti masuk terlebih dulu.
"Ra! Ayo, masuk!" pintaku menarik tangan kanannya.
"Gak mau, ih ...!" jawabnya melepaskan tanganku tanpa menatap.
Nampaknya, Rara masih kesal!
Dia memilih berdiam diluar rumah, bersama Ki Singoludyo dan Ki Danu.
Rara aku tinggalkan dan dia duduk di atas kursi kayu.
Aku meninggalkan mereka dan menyusul masuk ke rumah bersama mami.
Kita dipersilahkan duduk, sedangkan Susanti pergi ke kamar, untuk mengganti pakaian.
Tak berapa lama, Susanti keluar kamar dan menemui kita, sambil membawa makanan ringan, beserta minuman.
Tanpa pikir panjang, aku menyerobot makanan yang disuguhkan Susanti.
"Plak ...!" Susanti menepis tanganku.
"Ini untuk Rara, ki Danu dan ki Singoludyo!" tegasnya.
"Mamas gak boleh memakan makanan di dunia ini!" jelasnya mengingatkan.
"Oh iya, aku lupa!" jawabku, sambil tersenyum dan menggaruk belakang kepala.
Susanti keluar, memberikan makanan kepada mereka.
Lalu, dia kembali menemui kita.
Susanti duduk, tersenyum menatap kita berdua.
"Dia siapa? Dan si Cayapata, itu siapa?" tanya Mami menatapku.
"Aduh, aku lupa menceritakan kisah ini pada mami." gumamku dalam hati.
Aku menjelaskan siapa Susanti dan siapa itu Cayapata.
Mami terus mendengarkan, sambil menganggukkan kepala beberapa kali.
Selesai menceritakan semuanya, aku langsung memberitahukan maksud kedatangan kita ke alam ini.
Kalau kedatangan kita, tidak lain adalah ... mencari keberadaan pak Johan.
Karena sudah beberapa hari tak menemuiku, untuk melanjutkan ceritanya.
"Mamas! Susanti gak tahu! Yang Susanti tahu, ayah dibawa ke salah satu gunung.
Tapi, Susanti tak tahu dimana letaknya," jelasnya.
Kita terdiam beberapa saat.
Lalu, Susanti melanjutkan ucapannya,
"Katanya si ...! Supaya tidak bertemu dengan mamas Arlang lagi!" jelasnya lagi.
"Susanti ada disini?" tanyaku mengerenyitkan dahi.
"Cayapata, hanya membawa si pelaku pesugihan saja. Sedangkan para tumbal, akan dibebaskan sementara waktu. Karena, menjelang bulan ramadhan si tumbal akan pulang ke rumahnya masing-masing,
untuk menemui keluarganya yang masih hidup dan meminta doa, agar dosa-dosa para tumbal diampuni oleh-Nya.
Itu pun, kalau keluarganya peka akan kehadiran." jelas Susanti panjang lebar.
Susanti masih mempunyai keluarga di alam nyata. Seorang sepuku, berjenis kelamin perempuan. Tetapi, sepupunya tak mempunyai kepekaan terhadap mahluk astral. Membuatnya tak tahu, kalau Susanti masih ada.
Sesupu perempuannya sudah menikah dan mempunyai seorang anak.
Anaknya mempunyai kelebihan dari kecil. Dia dapat merasakan kehadiran mahluk astral.
Kalau Susanti pulang, pasti si anaklah yang memberitahukan kepada sang ibu.
Dirasa sudah cukup mendapatkan informasi, kita pun pamit.
Kita merasa sudah cukup lama, berada di alam ini. Kita takut, kalau raga kita dimasuki jin kafir, bila pagar diri yang kita buat sudah jebol.
Susanti memaklumi hal tersebut.
Aku pun berjanji! Bila ada waktu, kita akan mengunjunginya lagi.
Aku dan Mami keluar rumah.
Aku mendekati Rara dan membujuknya, agar tidak ngambek lagi.
Namun, dia masih kekeh pada pendiriannya.
"Aku harus pulang! Kalau tidak, aku tak bisa kembali ke dalam ragaku!" pintaku dengan nada tinggi. Rara menatap wajahku dan akhirnya, mau diajak pulang.
Kita berjalan, meninggalkan rumah Susanti sambil melambaikan tangan, tanda perpisahan.
Di sepanjang perjalanan pulang, aku menceritakan kepada Rara, kalau aku dan Susanti, tak ada hubungan apa pun.
Rara masih tak mau mengerti, dia memilih diam.
Tapi, aku tak menyerah dan terus menjelaskan semuanya, agar Rara tak marah.
Semakin lama kita berjalan, semakin jauh jarak yang ditempuh.
Tiba-tiba, aku mendengar suara azan Subuh.
Aku terbangun dan sudah ada di dalam kamar.
"Alhamdulillah ...!" kataku.
Aku bangkit dari ranjang, hendak mengambil wudhu.
Aku jalan dengan sempoyongan. Karena tenagaku terkuras habis.
Lagi pula, aku baru saja pulih.
Selepas salat subuh, aku mengambil handphone dan menelepon mami, untuk mengetahui keadaannya.
Alhamdulillah, mami pulang dengan selamat.
Aku merasa lega dan kembali berbaring.
Aku memiringkan badan ke kiri, sambil memeluk guling.
Aku merasa, ada seseorang di belakang, menemani tidurku.
Kalau aku terlentang, sosok tersebut ada disebelah kanan.
Aku tak berani melihatnya dan tangan ini meraba sambil miring ke kiri, pura-pura tidak tahu.
Tanganku menyentuh tubuh tersebut dan rasanya dingin.
Aku kaget! Tapi, masih berusaha untuk tetap tenang.
Karena rasa penasaran, aku meraba bagian bawah.
"Hm ...! Masih sama, paha." dalam hatiku.
Tangan ini naik ke udara, seakan ada yang menghempaskannya dan tak boleh menyentuh bagian tersebut.
Aku masih penasaran dan didalam posisi yang sama. Tapi, masih juga tak berani untuk melihatnya.
Aku mencoba, meraba untuk sekian kali.
Belum disentuh, tangan sudah terhempas ke udara.
Lalu disusul bau wewangian, yang tak asing di hidungku.
"Hm ...! Tak salah lagi," gumamku, "Rara! Ganggu saja. Sana pergi! Kasur ku hanya muat satu orang," pintaku dalam hati.
Akhirnya Rara pun pergi. Duduk di kursi, sambil memandang kearahku.
Aku membalikkan badan, melihatnya.
Rara tersenyum ....
"Reseh lu ...!" umpatku.
Dari sini aku baru tahu, kalau mahluk seperti Rara mempunyai rasa cemburu.
Tapi, aku heran. Ketika aku mendekati wanita di dunia nyata, dia tak pernah cemburu.
Lain halnya, dari bangsa dia.
Dia cemburu dan ngambek. Ngambeknya, melebihi ABG jaman now!
Untuk meredamkan rasa cemburu Rara, susahnya minta ampun ...!
- PERJANJIAN DAN PENANTIAN -
Jumat, 13 maret 2020.
Tepatnya pukul 03.30 dinihari.
Sekali lagi, aku mencari keberadaan pak Johan.
Setelah sampai di alam sana, aku mencarinya ke sana kemari, sambil ditemani oleh Rara, Ki Danu dan Ki Singoludyo.
Sampai di rumah atau istana Cayapata, aku langsung masuk dan menjelajahi ruangan raksasa dengan tubuh kecilku.
Mengapa ruangan raksasa? Karena tinggi tubuhku, hanya satu jengkal, kalau di ukur dengan jari-jemari mereka.
Namun anehnya, tak ada satu orang pun.
Pelaku pesugihan ditempat ini lenyap, entah kemana!
Hanya menyisakan beberapa mahluk terkapar di lantai, karena terkena pukulan kita.
Kita mencari petunjuk keberadaan pak Johan dan para pelaku pesugihan yang lain.
Susanti yang aku ikut sertakan dalam pencarian ini, tak berani melanjutkan perjalanan.
Dia takut, kalau mengikuti kita terlalu jauh dan bertemu dengan Cayapata.
Dengan berat hati, kita mengantar Susanti pulang ke rumah gubuknya.
Setelah itu ... Rara, Ki Singoludyo dan Ki Danu, masuk lebih dalam lagi ke alam tersebut.
Suhu tubuhku langsung dingin, pandangan mata mulai berkunang-kunang, perut berasa mual.
"Mas! Pulang saja! Kalau dilanjutkan, mas gak bakal bisa pulang ke dunia mas. Kami antar kamu pulang! Untuk masalah pencarian, serahkan pada Rara dan ki Danu!" pinta Rara, "Nanti, ki Singoludyo menjagamu di rumah!" ucapnya dengan tatapan was-was.
"Baiklah ...! Kalian berdua, harus lebih berhati-hati lagi!" ujarku dengan tubuh sempoyongan. Lalu secara tiba-tiba, aku tak sadarkan diri di alam mereka. Pandangan mataku, menghitam.
Pukul 8 pagi, aku tersadar.
Aku merasa pusing, mual dan meriang. Sampai membuatku menggigil kedinginan.
Tak berapa lama, Rara dan ki Danu pun pulang.
Kepulangan mereka, membawa kabar yang sangat baik.
"Aku bernegosiasi dengan Cayapata, agar bisa meminjam pak Johan.
Cayapata setuju meminjamkannya, sesuai dengan janjinya tempo hari.
Tapi dengan satu syarat, Mas harus menukarnya dengan Mustika air mata duyung. Kalau tidak, Cayapata dan bala pasukannya akan menyerangmu lagi." jelas Rara.
"Boleh ...! Tapi Mustika itu, takkan aku serahkan!" ucapku, "Kalau pak Johan kembali dan menceritakan pengalamannya lagi, akan ku kuras habis.
Setelah selesai bercerita, Cayapata akan ku hadapi! Agar tak kembali berulah." jawabku.
- KENIKMATAN SESAAT -
Beberapa tahun selepas kepulangannya dari gunung itu, pak Johan kini menjadi orang yang sukses. Hasil kebun dan sawahnya melimpah ruah.
Kesuksesan pak Johan, tak membuatnya bahagia.
Kalau malam tiba, dia selalu didatangi sosok tinggi besar.
Hingga pada suatu malam, saat pak Johan melamun, dia mendengar suara, "tok, tok, tok ...." Ketukan pintu.
Dari situ, pak Johan mulai gelisah.
Dia tahu, siapa yang mengetuk pintu rumahnya.
"Kira-kira, siapa yang akan Aku tumbalkan?" tanya pak Johan dalam hati.
Pak Johan duduk di ranjang, menyandarkan punggung ke dinding, sambil menjambak keras rambut dengan kedua tangannya.
"Aaaaaaaah ...!" teriak pak Johan, kebingungan.
Pak Johan mulai turun dari ranjangnya, lalu dia keluar kamar, menuju pintu utama.
Dia terus melangkah dengan detak jantung yang kian cepat, peluh membasahi sekujur tubuhnya.
Tangan dan kaki pak Johan bergetar hebat. Tetapi, dia memberanikan diri untuk membuka pintu tersebut.
"Hufttt ... Ternyata bukan!" gumam pak Johan dalam hati.
"Maaf, Pak! Malam-malam mengganggu," terang Sardi, seorang pemuda yang setiap harinya membantu pak Johan di kebun miliknya.
Bisa dibilang, Sardi adalah salah satu Karyawan pak Johan.
"Masuk, Sar!" pinta pak Johan, menyuruh Sardi masuk kedalam rumah.
Mereka pun ngobrol di ruang tamu.
Tetapi, pikiran Pak Johan melayang jauh. Dia hanya menjawab obrolan Sardi dengan anggukan.
Sardi membicarakan mengenai kebun dan sawah milik pak Johan.
Sesekali dia memberi saran, agar memperkerjakan orang lain juga, agar pekerjaannya bisa lebih ringan.
Pak Johan tak kunjung membalas obrolan Sardi dan masih menjawabnya dengan anggukan, serta ... tatapan licik.
"Sudah Aku putuskan! Dialah yang akan jadi korban berikutnya, hahaha." ucap pak Johan dalam hati kecilnya.
Sardi berfikir tak enak, "Mungkin Pak Johan sedang tak bisa diajak ngobrol!" Tetapi tak memikirkan dampak yang akan dia hadapi dan Sardi pun, langsung pamit pulang.
"Oh iya, Sar! Kita ke kebun dulu! Ada sesuatu hal yang ingin aku tunjukkan. Tapi, Kamu jalan dibagian depan," pinta pak Johan.
"Memang ada apa, Pak? Aku kira, Bapak sedang tak bisa diganggu," ucap Sardi.
"Ayo Kita jalan saja! Nanti juga, tahu!" jelas pak Johan.
Mereka berdua pun berjalan, menuju sawah milik pak Johan.
Saat mendekati sawah, pak Johan membaca mantra untuk memanggil Cayapata.
Sardi kaget, dia mematung ketakutan.
Terukir kengerian di wajah Sardi.
Sedangkan pak Johan tersenyum kecut, tapi batinnya bahagia.
"Mahluk apa ini?" teriak Sardi, mengambil kayu patahan dari dahan pohon yang ada di dekat kakinya.
Kayu berdiameter sepuluh senti, dengan panjang satu meteran itu di pegang dengan kedua tangannya, memukul udara, " sis ... Sis ...." guna mengusirnya.
"Pak! Lari, Pak!" pinta Sardi sambil sesekali melihat kebelakang.
Pak Johan masih tersenyum, membuat Sardi kebingungan dan terdiam dengan posisi kedua tangan memegang kayu ke udara, sedangkan wajahnya menatap kearah pak Johan.
"Aaaaaaaah ...." Teriak Sardi yang tiba-tiba merasakan sakit dibagian Dadanya.
"sreek ...." Dada Sardi terkoyak, karena cakaran Cayapata. Luka cakarannya amat besar, membuat Sardi tak kuat menahan berat tubuhnya dan terjatuh, "bruk ...."
Pak Johan membalikkan badan, meninggalkan Sardi dengan wajah penuh kepuasan.
Sedangkan Cayapata, menikmati darah yang keluar dari Dada Sardi, lalu menyeret astralnya, hingga keluar dari tubuh dan membawanya pulang ke istana, untuk dijadikan budak.
Di pagi hari, ada warga yang hendak pergi ke ladang. Dia kaget, karena melihat sosok mayat bersimbah darah yang tergeletak di jalan yang akan dilaluinya.
Dia bergegas kembali, untuk memberitahukan kejadian tersebut pada para warga.
Sardi di klaim tewas, karena serangan binatang buas.
Di tahun berikutnya, Pak Johan semakin sukses dan dia menjadi orang yang kaya raya.
Pak Johan membangun rumah yang megah dan mewah. Dia pun membeli beberapa kendaraan yang harganya bisa dibilang cukup mahal.
Oh iya, ada bagian yang lupa aku cantumkan.
Disini, pak Johan sudah menduda, istrinya meninggal karena terserang penyakit.
Kejadian itu terjadi, selang beberapa hari setelah pak Johan pulang dari semedi.
Karena sekarang sudah sukses, pak Johan menjadi juragan terkaya di Desanya.
Namun dia tak sombong dan masih bersikap baik pada para warga. Pak Johan juga menjadi orang yang dermawan.
Karena sifatnya tersebut, pak Johan disegani oleh para warga.
Hari berganti hari, hingga tiba saatnya pak Johan memberikan tumbal berikutnya.
Kali ini, korbannya seorang perempuan. Sebut saja namanya, Mainah.
Mainah bernasib sama, meninggal dengan luka cakaran.
Tahun demi tahun pun sudah pak Johan lewati dan kali ini, warga sudah mencium, kalau ada yang salah dengan pak Johan.
Warga sudah menduga, kalau pak Johan melakukan ritual pesugihan.
Dipikir sudah kaya dan hartanya sudah melimpah ruah.
Pak Johan sudah tak memberikan tumbal lagi. Dia bertobat dan mendekatkan diri pada yang maha kuasa.
Awalnya sih seperti itu. Tetapi, dia takut.
Apalagi, sudah waktunya pak Johan memberikan tumbal.
"Aduh ...! Bagaimana ini? Tak mungkin Aku mengorbankan warga. Yang ada, mereka makin curiga. Tapi tak mungkin juga, mengorbankan satu-satunya orang yang Aku cinta (Putrinya)." ucapnya dalam hati.
Malam demi malam dilalui pak Johan dengan kegelisahan. Hingga sampai malam pengorbanan datang.
Pukul 23.59, pak Johan sudah mempersiapkan semua persyaratannya.
Tetapi, masih ada satu syarat yang belum dia sanggupi. Yaitu, korban manusia.
Tepat pukul 00.00, pak Johan merapalkan mantra, untuk memanggil Cayapata.
Cayapata datang, beserta bala tentaranya.
"Maaf Tuanku! Kali ini, Aku tak bisa memberikan tumbal." ucap pak Johan, memohon.
"Apa Kamu bilang?" teriak Cayapata.
"blam ...." suara pukulan mengenai Dada pak Johan hingga terpental, menabrak dinding, "bruk ...."
"Aku akan mengambil anakmu!" sambung Cayapata, memicingkan mata dan menunjuk kearah pak Johan dengan penuh kebencian.
Sekejap mata, Cayapata dan bala tentaranya menghilang.
Lalu, disusul suara teriakan dari dalam kamar putrinya pak Johan.
"Aaaaaaah ...!"
Pak Johan bergegas, berlari menuju kamar putrinya sambil memegangi Dada, menahan sakit.
Sampai didepan kamar putrinya, pak Johan memegang daun pintu, "kreeek, kreeek ...." Suara daun pintu dia goyangkan beberapa kali. Namun, pintu tak kunjung terbuka, karena terkunci dari dalam.
"Brak, brak ...." Suara dobrakan pintu. Pak Johan berniat membukanya secara paksa.
"Bruat ...." Pintu terbanting, terbuka menabrak dinding dengan suara yang amat keras.
"Tidak ...!" teriak pak Johan, mendapati putrinya tergolek lemas di lantai dengan mata terbelalak, tak bernyawa.
Dia berlari, mendekati putrinya. Lalu, membawa jasad putri satu-satunya tersebut ke kamar yang biasa pak Johan gunakan untuk ritual.
Jasad Susanti dia letakkan diatas karpet merah.
Lalu, pak Johan memanggil Cayapata.
Cayapata datang, memenuhi panggilannya.
Pak Johan yang murka, tak ingin lagi menyembah Cayapata.
Malahan, dia mengacak-acak tempat persembahan, tepat didepan mata Cayapata.
"Hei Manusia! Kamu sudah berani kurang ajar terhadapku!" teriak Cayapata dengan suara melengking.
Pedang yang selalu Cayapata bawah di punggungnya, kini ditarik, dikeluarkan dari sarung, "cring ...." dan langsung ditebaskan kearah pak Johan.
"Zrak ...." Suara tebasan pedang.
"Ukh ...!" teriak pak Johan, kesakitan.
"Whooooosh ...!" tubuh pak Johan melayang, terlempar dan jatuh, "bruk ...."
"Aw ...." Pak Johan kesakitan, dia bangkit dari tempatnya terjatuh.
Pak Johan menatap sekitar, mencari Cayapata yang sudah tak terlihat lagi dipandangan matanya.
Pak Johan berjalan tergopoh-gopoh, mendekati Susanti, anak satu-satunya yang sudah belia itu.
Pak Johan menangis, menyesali apa yang telah dia lakukan.
Tetapi apalah daya. Yang terjadi, sudah terjadi.
Pak Johan lari kearah lemari.
Dia mengacak-acak isinya, untuk mencari sesuatu.
Yang dicari, akhirnya ketemu.
Sebuah keris, dengan sarung berukiran naga.
"Cring ...." Keris dikeluarkan dari dalam sarung.
Dia melepaskan sarung kerisnya, hingga jatuh ke lantai, "klotak ...."
Pak Johan membalikkan badan, menatap jasad putrinya dari kejauhan.
Air matanya mengalir deras, "Ssss ...." Pak Johan menarik nafas panjang, memegang keris dengan kedua tangannya.
Keris diangkat tinggi-tinggi, lalu ... "Jleb ...." Suara keris yang dia ayunkan ke dadanya sendiri.
Keris menancap, darah mengalir deras.
Pandangan pak Johan mulai kabur. Tetapi, dia masih mencoba berjalan, mendekati jasad Susanti.
"Kedebug ...." Tubuhnya pun jatuh ke lantai, tepat disamping jasad putrinya. Tanpa sengaja, tangan pak Johan menyenggol lilin yang masih menyala, yang terletak di altar pemujaan.
"Pretek ... Pretek ...." Suara api memakan setiap barang yang ada disekitar, hingga menjalar keseluruh ruangan.
Api kian merambat, hingga ke seluruh penjuru rumah.
Bahkan, semua kendaraan mewah milik pak Johan tak luput dari keganasan si jago merah.
Melihat api yang sangat besar, para warga berbondong-bondong untuk memandamkannya.
Karena besarnya api, selepas subuh baru bisa padam.
Warga mengevakuasi jasad pak Johan dan Susanti.
Semua harta benda miliknya habis terbakar, tak ada satu harta benda berharga milik pak Johan tersisa.
Pagi itu, menjadi pagi yang mencekam bagi warga sekitar.
Apalagi, kejadian setelah memakamkan jasad keduanya.
Para warga yang hendak pulang ke rumah masing-masing, melihat ribuan hama menyerang sawah dan kebun milik pak Johan. Semua habis, tak tersisa sedikitpun.
Setelah kejadian itu, warga merasa ketakutan.
Hanya beberapa orang saja yang berani keluar rumah. Itu pun kalau ada keperluan mendesak.
Selang beberapa hari, keadaan menjadi normal kembali.
Namun tidak ada yang berani menceritakan kejadian yang menimpa pak Johan dan keluarganya.
Rumah pak Johan rata dengan tanah dan sekarang menjadi kebun bambu tanpa pemilik.
Jarang orang berani mendekati kebun tersebut. Tempat itu menjadi angker.
Sedangkan sawah milik pak Johan ditumbuhi ilalang dan rumput liar. Tak ada yang berani memakai sawah tersebut. Dibiarkan tak terurus dan menjadi saksi akan kejadian ini
Tamat ... .
Sesungguhnya pesugihan tak akan membuat orang tersebut kaya!
Bukannya kaya?
Iya, kaya! Tetapi tak akan lama dan akan terus menderita.
Menyesal, tetapi tak bisa berbuat apa-apa.
Karena sudah menjadi budak setan.
Akhir kata ....
Wassalamu'alaikum dan sampai jumpa dicerita berikutnya ... .
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
