Curug Pemakan Tumbal Mau ke mana kau, Cep? Ni, Nek ... mau ke curug, diajak Atis, jawab seorang bocah lelaki yang berumur sembilan tahun kepada neneknya. Eeh ... jangan! Kau masih kecil, gak boleh main-main ke curug itu! seru si nenek dan langsung menarik tangan cucunya untuk masuk ke rumah. Tapi, Nek ... nah, itu si Atis dah datang. Tis, masuk dulu. Aku gak diijinkan nenek untuk pergi ke curug. Atis–teman si Cecep masih nampak mematung depan di pagar bambu rumah neneknya Cecep. Anak lelaki yang sebaya dengan Cecep sejenak terlihat bingung. Lalu, dia akhirnya menjawab, setelah memasuki pintu pagar, memangnya, kamu mau pergi ke curug dengan siapa, Cep? Tentu saja bola mata Cecep membulat penuh mendengar ucapan temannya itu . Hei! Tadi, kan, kau yang ngajak aku. Kok, sekarang malah nanya? Aku? Ngajak kau ke curug? Gak mungkin, lah. Aku, kan, udah dilarang ayah ibuku, gak boleh main-main ke curug itu, Cep. Cecep yang merasa kesal akan menghampiri temannya, sambil tangan kanannya terkepal kuat, akan menjotosnya. Neneknya Cecep yang dari tadi hanya memperhatikan perdebatan dua anak itu langsung menengahinya sambil menarik kedua tangan bocah-bocah lelaki itu. Daaah ...sini, Nenek ceritakan sejarah tentang curug itu. Kalian mau? Mau, mau, Nek! jawab Atis dengan antusias. Sedangkan Cecep malah memelototi temannya itu, karena masih merasa kesal. Mereka bertiga lalu duduk di bawah pohon mangga yang terdapat di halaman belakang rumah. Sambil menikmati sepiring singkong goreng buatan neneknya Cecep yang biasa dipanggil dengan Nek Icih di desa itu. Cecep dan Atis sudah menghabiskan empat potong singkong, tetapi Nek Icih masih berdiam diri, malah nampak seperti melamun. Nek ... Nek, ayo dong. Kapan mulai ceritanya? tanya Cecep yang mulai gak sabaran. Atis yang mulutnya masih penuh potongan singkong, hanya mengangguk beberapa kali. Nek Icih tersadar dari melamunnya, sambil tersenyum, dia pun mulai bercerita tentang kejadian tiga puluh tahun yang silam di kampung itu. ***