CEMPAKA - Bab 2 (Yaksana dan Yaksina)

11
0
Deskripsi

Prolog:

Ketika Cempaka meninggalkan rumahnya, tanpa sengaja, Nyi Murti menjatuhkan lampu minyak yang tak terduga, memicu lahirnya sebuah kebakaran tragis yang melahap habis rumah mereka. Dari peristiwa ini, warga desa yang mengingat penghuni rumah tersebut teringat akan bayang-bayang masa lalu yang kelam, di mana seorang dukun bernama Ki Wasa pernah melakukan perjanjian yang gelap dengan makhluk misterius, satu tubuh dengan dua kepala, yang dikenal sebagai Yaksana dan Yaksina.

Disisi lain, Nyi Murti merasa cemas saat Cempaka pergi. Matanya yang keriput penuh dengan kecemasan, dan hatinya berdebar-debar. "Oh, cucuku," bisiknya dalam hati, "semoga dia selamat."

Malam semakin larut, dan Nyi Murti merasakan kehausan yang menyiksa. Dia ingin minum di dapur, tapi kondisinya yang lemah membuatnya kesulitan. Saat dia mencoba mengambil lampu minyak di meja yang berada di samping ranjangnya, tangannya yang gemetar membuat lampu minyak itu terjatuh ke ranjang. Dalam sekejap, api menjalar dengan cepat.

Nyi Murti berteriak ketakutan saat api melahap rumah mereka dengan ganas. Dia merasa terjebak, terlalu lemah untuk melarikan diri, dan api semakin besar. "Ya Allah, selamatkan aku," batinnya dengan suara serak.

Warga desa, meskipun rumah mereka berjauhan satu sama lain, segera menyadari kebakaran yang menerangi malam itu. Mereka berkumpul dengan wajah-wajah penuh kepanikan, mencoba menemukan cara untuk memadamkan api yang meluas dengan cepat.

"Nyi Murti dan Cempaka pasti di dalam sana!" seru Pak Karim, dia berusaha memasuki rumah yang terbakar. Namun, panas dan asap yang mencekik membuatnya terpental ke belakang, tidak dapat menyelamatkan diri atau mencari Cempaka dan Nyi Murti.

Seorang warga, Pak Supardi, berseru dengan kepanikan, "Cepat, bawa ember dan air!" Sementara itu, Ibu Siti menambahkan, "Kita perlu mengatur barisan untuk membawa air dari sungai."

Para warga yang lain mencoba dengan putus asa untuk menjinakkan kobaran api yang mengamuk. Mereka membentuk barisan, memadati ember-ember dengan air dari sungai terdekat, dan berusaha memadamkan api yang semakin membesar.

Sementara para warga sibuk mencoba memadamkan api, mereka tak henti-hentinya meneriaki nama Cempaka dan Nyi Murti, berharap ada sahutan dari dalam.

"Cempaka dan Nyi Murti pasti di dalam rumah!" ujar Pak Karim, mengulangi kalimatnya.

Namun, api begitu cepat dan ganas, hingga pemadamannya menjadi sangat sulit. Air dari sungai yang jauh dan usaha keras warga akhirnya berhasil memadamkan api ketika matahari mulai muncul, tetapi rumah telah habis terbakar. Puing-puing hangus adalah sisa-sisa dari tempat yang dahulu mereka panggil sebagai rumah. Tidak ada yang tersisa, termasuk tubuh dari penghuni rumah.

Warga desa berkumpul dalam keheningan yang sedih dan pilu. Mereka meratap atas kebakaran yang menghanguskan rumah itu. Sementara mereka memikirkan apa yang telah terjadi, beberapa di antara mereka memulai percakapan.

"Kasihan Cempaka dan Nyi Murti," kata Bu Tuti dengan suara tersedu-sedu.

"Iya, padahal anak itu akan ku jodohkan dengan anakku," tambah Pak Supardi. Sementara yang lain, langsung menatap kosong kearahnya.

Bagaimana tidak, Jono, anak pak Supardi ialah seorang pemuda gemuk, dengan kulit hitam legam, dan rambut keriting kribo. Sedangkan Cempaka adalah sosok yang bisa dianggap kembang desa karena kecantikan dan keanggunannya.

"Semoga mereka berdua beristirahat dalam damai," ujar Ibu Siti sambil mengangguk dengan mata berkaca-kaca, tak mengindahkan apa yang pak Supardi ucapkan.

Dalam cemas dan kepanikan, mereka tidak menyadari bahwa Cempaka, tidak ada di rumah saat kebakaran terjadi. Cempaka telah pergi mencari pertolongan di malam yang gelap, tanpa sepengetahuan siapa pun.

Dalam keheningan yang kacau dan penuh dengan keprihatinan, warga desa itu, yang telah berjuang keras memadamkan api, akhirnya merenung di hadapan puing-puing hitam yang masih menyala-nyala. Beberapa dari mereka masih mencoba untuk mencari tanda-tanda keberadaan Cempaka dan Nyi Murti, meskipun kekhawatiran telah menggelayuti hati mereka.

Pak Karim, yang sebelumnya berusaha memasuki rumah yang terbakar dengan putus asa, melihat puing-puing hitam yang menyala dengan mata berkaca-kaca. "Mungkin ada harapan," gumamnya pelan, lalu bergabung dengan beberapa warga yang lain untuk mengamati lebih dekat.

Namun, ketika mereka menginjak tanah yang masih hangat dan mengintai dalam api yang belum sepenuhnya padam, kekecewaan merasuki hati mereka. Sudah terlambat. Api telah melahap habis semua yang ada di dalam rumah tersebut.

Beberapa warga lainnya berdiri di samping mereka, memandang dengan tatapan penuh kasihan. Mereka tahu bahwa nyawa Cempaka dan Nyi Murti mungkin telah terenggut oleh kobaran api itu.

Ibu Siti yang mengenali baik Cempaka dan Nyi Murti, menutupi mulutnya dengan tangan gemetar, mencoba menahan tangis yang hampir meledak. "Semoga mereka berdua mendapat kedamaian," bisiknya dengan nada rendah.

Seiring matahari terbit dan suasana mulai mereda, para warga berusaha menerima kenyataan yang pahit.

Pak Supardi, yang sebelumnya merasa kesal karena harapannya pada pernikahan anaknya dengan Cempaka pupus, sekarang merasa menyesal atas pikiran negatifnya. Dia memandang dengan penuh penyesalan kepada puing-puing yang menyisakan ingatan akan rumah Cempaka dan Nyi Murti.

Warga desa yang berkumpul di sekitar puing-puing rumah Cempaka dan Nyi Murti mulai memperbincangkan masa lalu keluarga Cempaka, mengenang cerita tentang ayah dan ibunya.

"Ingatkah kalian akan Haris, ayah Cempaka?" tanya Bu Tuti, yang pernah menjadi ibu angkat Cempaka.

Pak Supardi mengangguk, "Ia, tentu saja. Dia adalah seorang ustadz yang mengerti banyak hal tentang mistis. Banyak yang datang kepadanya untuk mencari nasihat dan pertolongan."

Namun, pembicaraan mereka berubah menjadi lebih suram saat mencapai kenangan tentang ibu Cempaka, Halimah. "Sungguh tragis," ucap Pak Karim dengan suara tergantung. "Halimah meninggal dunia saat melahirkan Cempaka. Itu adalah saat yang sangat sulit bagi mereka."

Bu Tuti menambahkan, "Pada saat itu, Cempaka masih bayi. Dan ingatlah, saat itu  juga aku melahirkan Kenanga."

Para warga mengangguk, mengenang kejadian tragis itu. "Tapi kami bahagia," ujar Ibu Siti, "bahwa Cempaka mendapat ibu angkat yang baik seperti Bu Tuti."

Pembicaraan tentang masa lalu mereka terputus saat mereka mulai memikirkan kejadian mistis yang terjadi saat Cempaka masih bayi. "Ki Wasa," bisik Pak Supardi, dengan wajah yang penuh keraguan.

Bu Siti menggelengkan kepala, "Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada saat itu, tetapi cerita itu selalu membuatku merinding. Bagaimana bisa ada orang yang mau bersekutu dengan makhluk halus?"

Pak Karim menambahkan, "Ki Wasa adalah seorang dukun yang sangat sakti. Dia meminta bantuan pada makhluk-makhluk gaib untuk tujuannya yang mencari kesaktian."

***

Ki Wasa adalah seorang dukun yang haus akan kekuatan. Dia merasa bahwa untuk mencapai tingkat kekuatan yang diimpikannya, dia harus mencari bantuan dari kekuatan yang lebih besar daripada dirinya sendiri.

Suatu malam yang gelap, Ki Wasa memutuskan untuk melakukan perjalanan ke kedalam hutan, di antara dua desa yang berbatasan.

Dengan hati yang penuh dengan keraguan, Ki Wasa memasuki hutan yang gelap itu. Dia meraba-raba melalui semak-semak dan mendaki tebing yang terjal. Setelah berjalan cukup jauh, dia tiba di sebuah gua yang dalam.

Saat Ki Wasa memasuki gua tersebut, dia merasa suasana berubah. Udara terasa lebih dingin, dan cahaya remang-remang gua itu memberikan kesan mistis yang dalam.

Ki Wasa mulai mengambil tempat untuk bersemedi, dia menemukan batu besar dan langsung duduk di atasnya.
Ki Wasa mengeluarkan ubo rampe dan barang-barang perdukunan yang ia bungkus di kain yang sebelumnya diletakkan diantara punggung layaknya sebuah tas.

Ki Wasa mulai melakukan ritual tersebut, untuk memanggil penghuni goa yang akan memberikan kesaktian lebih padanya.
Hingga, waktu pun berlalu, siang menjadi malam dan malam pun menjadi siang.
Ki Wasa hanya duduk diam tanpa minum dan makan, dan masih dalam posisi duduk bersila, hingga suara terdengar menyuruhnya membuka mata.

Yaksana dan Yaksina, makhluk dengan dua kepala, hadir di depannya. Tubuh mereka satu dan berbulu hitam legam, mata merah menyala dengan taring yang tajam. Mereka mengenakan mahkota di masing-masing kepala mereka.

Ki Wasa menelan ludahnya, tetapi dia telah datang terlalu jauh untuk mundur. Dengan tekadnya, dia memberanikan diri untuk berbicara dengan makhluk-makhluk itu. "Mbah," katanya dengan suara gemetar, "aku mencari kekuatan yang lebih. Aku ingin menjadi dukun sakti yang tak terkalahkan. Bisakah kalian membantuku?"

Yaksana dan Yaksina bertukar pandang sebentar, seolah berkomunikasi dengan cara yang tak bisa dimengerti oleh manusia biasa. Akhirnya, Yaksana yang berbicara dengan suara yang dalam dan menggema, "Kami bisa memberikan kekuatan itu padamu, tetapi tidak tanpa imbalan."

Ki Wasa mengangguk, siap untuk memberikan apa pun yang diminta oleh makhluk-makhluk itu. "Apa yang kalian inginkan sebagai imbalannya?"

Yaksina menjawab, "Kami ingin bersemayam di tubuhmu, dan carikan bayi atau anak-anak untuk di tumbalkan."

Ki Wasa berpikir sejenak. Meskipun permintaan itu aneh dan menakutkan, hasratnya untuk kekuatan lebih besar mengalahkan segalanya. "Baiklah, aku setuju dengan syarat itu. Berikan aku kekuatan yang aku inginkan."

Dengan persetujuan Ki Wasa, Yaksana dan Yaksina membaca sebuah ajian atau japa-japa mantera. Cahaya yang terang benderang memenuhi gua itu, dan Ki Wasa merasakan kekuatan baru mengalir melaluinya, saat sosok makhluk kembar siam itu berubah menjadi kepulan asap dan masuk ke dalam tubuhnya.

Namun, saat proses itu berlangsung, Ki Wasa juga merasakan tubuhnya mulai terasa lemah. Rasanya seolah-olah energi dan kekuatan dihisap dari dirinya. Namun, dia tidak bisa bergerak atau berbicara. Dia hanya bisa meratap dalam diam saat kekuatannya disedot oleh makhluk misterius ini.

Ki Wasa, yang kini memiliki kekuatan magis yang luar biasa, mulai menebar teror di desa. Dia berubah menjadi sosok yang gelap dan misterius, selalu bergerak di malam hari, saat kegelapan menyelimuti desa. Warga desa menjadi panik dan ketakutan karena serangkaian kejadian mengerikan yang mulai menghantui mereka.

Ki Wasa menggunakan kemampuannya untuk membuat penghuni rumah tertidur, terkena sirep yang membuat mereka tidak sadar akan apa yang terjadi. Dengan mudahnya, dia masuk ke rumah-rumah dan mencari anak-anak kecil atau bayi yang akan dijadikan tumbal.

Setiap malam, suasana ketakutan merajalela. Warga desa takut tidur karena takut anak-anak mereka akan diculik oleh sosok misterius ini. Mereka merasa tak berdaya dan frustasi, tidak tahu bagaimana melindungi diri mereka sendiri dan keluarga mereka dari teror ini.

Suatu malam, Ki Wasa masuk ke rumah Bu Tuti saat seluruh keluarganya tertidur lelap. Dia meraba-raba ke kamar tidur tempat Kenanga, bayi Bu Tuti, tertidur dengan pulasnya. Kenanga adalah salah satu tumbal yang dipilih Ki Wasa.

Dengan penuh kehati-hatian, Ki Wasa menggendong Kenanga yang tidur dengan lembut, dan meninggalkan rumah Bu Tuti tanpa meninggalkan jejak. Suasana hening dan ketakutan yang merayap melanda desa, dan Bu Tuti merasa sesuatu yang tidak beres ketika bangun dan menemukan Kenanga tidak ada di sampingnya.

"Mas! Kenanga mana?" teriaknya panik, membangunkan seluruh keluarganya. Mereka mulai mencari bayi kecil itu dengan cemas, namun tidak ada tanda-tanda Kenanga.

Sementara itu, Ki Wasa membawa Kenanga ke dalam gua. Dengan perlahan, dia menyiapkan ritual mengerikan yang akan mengorbankan nyawa bayi ini demi kekuatan yang tak tertandingi.

Di dalam gua yang gelap dan mencekam, Ki Wasa memulai prosesi yang mengerikan. Dia menciptakan lingkaran dengan darah Kenanga, dan mengucapkan mantra yang membuat tubuh bayi itu mulai merasakan penderitaan yang tak terbayangkan.

Kembali di desa, Bu Tuti dan keluarganya merasa putus asa. Mereka tidak tahu apa yang terjadi pada Kenanga, dan tak ada yang bisa mereka lakukan selain berdoa agar bayi itu selamat.

Malam demi malam, Ki Wasa terus menebar teror dan menculik anak-anak dan bayi dari desa. Warga desa hidup dalam ketakutan yang tak terkendali, dan desa yang dulu penuh kedamaian menjadi tempat yang gelap dan menakutkan.

Sedangkan pada saat itu, ustadz Haris tidak ada di desa. Pada saat itu dia merantau ke kota untuk mencari uang, guna menghidupi Cempaka dan ibunya.

  • *** Penasaran dengan kelanjutan ceritanya? Jangan lupa berikan “suka” dan “komen” agar Rama semakin semangat dalam melanjutkan cerita ini. Dan jangan lupa berikan Tip juga, jika kalian puas dengan ceritanya ***

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya PENGALAMAN SERAM SAAT MANDI DI WAKTU PETANG
1
0
Spoiler:Di kamar mandi belakang, Lia mengalami serangkaian peristiwa mencekam yang membuatnya merasa terancam oleh kehadiran misterius di sekitarnya. Mulai dari lampu yang tiba-tiba mati, hingga bayangan menakutkan yang muncul di cermin, Lia harus berjuang untuk keluar dari situasi yang semakin mencekam. Namun, apakah Lia berhasil menemukan jawaban atas misteri yang mengintainya di malam itu?
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan