
Cemburu. Satu perasaan asing nan terlarang yang nampaknya sedang menggangguku saat ini. Ini … salah. ~Ayyara~
Satu hari lagi. Aku hanya perlu melalui satu hari lagi di Bali dan semua kisah mengerikan di pulau ini akan aku simpan rapat-rapat sebagai kenangan terburuk dalam hidupku.
Kenyataan bahwa Mama selama ini membohongiku, nyaris mati tenggelam dan pengakuan Arya yang seolah menyambarku bak petir. Apa lagi yang bisa lebih buruk dari ini? Terjebak perjalanan dengan Bella dan kedua kakak beradik Arya-Ben di pulau Dewata? No! Aku tidak butuh kisah tambahan. Aku hanya perlu menghindar, menjauh dan berjalan-jalan sendirian sampai sore.
Pagi-pagi sekali, aku berkirim pesan dengan Papa dan meminta izin untuk pergi jalan-jalan sendirian hari ini sebelum sorenya kami bersiap pulang ke Bandung. Awalnya aku tidak diizinkan karena katanya bahaya perempuan jalan-jalan sendirian di tempat asing. Tapi, setelah meyakinkan bahwa aku sudah menghafal peta dan tidak akan pergi terlalu jauh, Papa akhirnya memberi izin, dengan catatan aku harus mengiriminya pesan tiap kali singgah di satu tempat.
Ini bukan pertama kalinya aku takjub akan kebaikan Papa Bella. Jarang sekali ada Papa tiri yang dapat memperlakukan anak tirinya sebaik ini. Mama rupanya tidak salah memilih pasangan. Mungkin Papa Bella yang salah telah memilih Mama.
Setelah mengantongi izin Papa, aku bersiap-siap tanpa menghiraukan pesan terakhirnya.
Papa
Apa kamu sudah berbaikan dengan Mamamu?
Hubunganku dengan Mama pada dasarnya memang sudah buruk sejak awal. Kami jarang berkomunikasi dan lebih sering adu argumen ketimbang berbagi kisah layaknya ibu dan anak pada umumnya. Dan sekarang, yang memperburuk situasi pun adalah Mama sendiri. Jadi, jangan harap aku akan memaafkannya begitu saja jika Mama belum juga menyadari kesalahannya.
Setelah berpakaian ala pelancong mancanegara; dress santai tanpa lengan. Slayer tipis, topi dan tas selempang, aku langsung keluar kamar begitu memastikan Bella masih tertidur.
Pokoknya, hari ini adalah milikku!
****
"Bego. Ayyara begooo!"
Aku mengetuk-ngetuk kepalaku sendiri begitu menyadari bahwa kamera digital yang seharusnya ku bawa dalam tas nampaknya tertinggal di hotel. Padahal sedang ada parade di jalan raya sekarang ini. Sayang sekali kalau tidak diabadikan sebanyak mungkin!
Dengan sedikit rasa sayang, aku pun mengikuti parade Ogoh-ogoh yang memang biasa diadakan menjelang hari raya Nyepi itu dari samping. Merekam dengan kamera ponsel dan beberapa kali memotret diri ku yang tersenyum lebar pada kamera untuk mempostingnya di Instagram.
Hari yang sempurna untuk bertualang sendirian!
Setelah mengetikkan caption tersebut dan memastikan fotoku terposting, aku pun menepi dan mencari kedai minum untuk berteduh dan meredakan dahaga karena sudah berpanas-panasan sejak tadi pagi. Hanya butuh beberapa menit hingga seseorang menghubungiku via WhatsApp video call. Ah rasanya baru kali ini aku rindu sekali pada Sendi sahabatku.
"Lagi melancong, Non?" ledeknya begitu terhubung denganku.
"Oh iya dong ... Gimana? Oke banget kan tampilan gue? Cantik kan?" Aku berpose di depan kamera sementara Sendi malahan mencari-cari sosok lain di belakang ku
"Keluarga Lo mana? Kenapa jalan-jalan sendirian aja? Bahaya tau. Jangan-jangan Lo dibuang ya sama mereka?"
Aku memanyunkan bibir sebal begitu keluargaku diungkit-ungkit. "Gue nanya apa, Lo malah balik nanya. Gak baca caption-nya apa?"
"Apa asiknya sih jalan-jalan sendiri?"
"Gue happy aja kalau gak bawa siapa-siapa. Orang-orang yang gue kenal di sini nyebelin semua. Andai Lo ada di sini nemenin gue." Aku menghembuskan napas pasrah dan tersenyum pada Sendi yang masih setia mendengarkan dan mengamati ekspresiku.
"Oh iya! Gue punya cerita panjaaang banget buat Lo sepulang dari sini. Pokoknya sepulang dari Bali gue harus hangout bareng Lo. Atau Lo aja yang main ke rumah gue?"
Seketika aku jadi tidak sabar ingin cepat-cepat pulang ke Bandung dan menceritakan semua kejadian tak menyenangkan di pulau ini.
"Kayaknya soal cowok nih," goda Sendi. Aku pun mengangguk mantap dengan raut seserius mungkin. "Gue rasa, gue sedang dalam masalah besar saat ini."
"Mending Lo cerita di tempat biasa aja deh. Gue selalu deg-degan gimanaa gitu tiap main ke rumah Lo. Apalagi kalau disambut sama nyokap Lo."
Benar juga. Setiap kali Sendi main ke rumah, terlihat sekali kalau Mama kurang suka aku bergaul dengannya. Meskipun Mama selalu berusaha bersikap ramah pada semua temanku, tetap saja mata tidak bisa berbohong. Sampai sekarang pun aku masih tidak tahu alasannya. Padahal sudah terbukti selama tiga tahun ini hanya Sendi seorang yang sanggup bertahan dengan sifatku ini. Mungkin Mama akan benar-benar menyukai Sendi kalau ia selevel dengan Ben dan Arya. Terpandang, kaya dan jelas latar belakangnya.
Kalau Mama sampai tahu Sendi ini anak dari istri siri pejabat bagaimana ya? Bisa-bisa Sendi sahabatku ini diharamkan menginjakkan kakinya di rumah melihat sifat Mama yang seperti itu.
"Sorry, ya. Nyokap gue emang gitu. Ngeselin."
"Oh iya, bicara soal masalah, kayaknya detik ini pun Lo sedang dalam masalah deh."
"Maksud Lo?"
Aku tak mengerti maksud perkataan Sendi. Sendi di seberang sana malah tertawa tanpa suara seraya menunjuk-nunjuk ke arahku. Atau mungkin ... bukan ke arahku? Aku menyipitkan mata guna melihat lebih jelas apa yang tengah ditunjuk oleh Sendi lewat layar hingga pandanganku terpaku pada sosok familiar yang ku kenal tengah berjalan-jalan tak jauh di belakangku dengan tangan sibuk memegang tongsis.
Sial! Itu Ben!
Langsung saja aku mengenakan kembali topi pantaiku dan pergi dari sana.
Aku mengubah panggilan video menjadi panggilan biasa dan mengumpat sekesal-kesalnya pada mic headset sembari mencari jalan aman agar tak terlihat oleh Ben.
"Lo kenapa gak bilang langsung aja sih?!"
"Ya gue mana tahu kalau itu bocah ada di Bali juga? Yang gue tahu kan sebatas dia itu adiknya Arya dan bocah yang seneng banget nyusahin elo."
Benar juga.
Aku masuk ke dalam sebuah toko suvenir dan bersembunyi di sana.
"Sebenarnya gue gak lagi menghindari dia, Sen. Ada alasan lain."
"Arya?"
"Hm. Kalau Ben sedang jalan-jalan di daerah ini, itu artinya Arya dan Bella pun ada di sekitar sini. Semalem mereka sepakat ingin jalan-jalan sambil beli suvenir sebelum pulang nanti sore." Aku berdecak kesal. "Gue bahkan siap-siap dari pagi buta dan main sejauh ini dari hotel. Tapi mereka malah belanja di daerah ini juga? Berasa keluar kandang singa masuk kandang buaya gak sih? Sekarang malah gue kucing-kucingan sama mereka."
Sendi tertawa di seberang sana sementara aku mulai tertarik pada suvenir -suvenir yang dijual di toko ini.
"Yang kucing-kucingan elo sendiri kali. Orang mereka gak tau Lo ada di sini."
Benar juga.
"Sen, kok Lo gak pernah salah sih. Jadi kesel gue."
"Karena Lo selalu salah mungkin."
Memangnya aku begitu? Tidak juga ah.
"Sen, Lo mau oleh-oleh suvenir gak? Mumpung gue lagi di toko suvenir nih."
Aku merubah mode panggilan lagi menjadi panggilan video dan mengarahkan kamera pada berbagai suvenir khas Bali yang terdapat di sana.
Sendi sepertinya sama-sama ikut mengamati. Hingga tiba-tiba saja perhatianku jatuh pada beberapa udeng berbagai motif di etalase.
"Ini ... bagus nih!" seruku dan Sendi berbarengan.
"Coba lo pake dulu deh, Ay!" usul Sendi aneh.
"Ngapain juga gue yang pakai? Kan ini buat elo!"
Mengabaikan keinginan aneh Sendi, aku mencari penjaga toko untuk meminta tolong mengambilkan udeng tadi dari etalase. Hanya saja, sesuatu justru menarik perhatianku seutuhnya.
Arya dan Bella ada di toko ini juga.
Sesaat aku hendak berbalik dan kabur dari toko ini. Hanya saja entah mengapa aku malah berdiam diri di tempat. Dalam diam mengamati mereka yang tidak menyadari keberadaanku.
Dilihat dari sudut pandang mana pun mereka itu sebenarnya terlihat sangat serasi. Melihat bagaimana Arya berlutut memakaikan sebuah sandal jepit sederhana pada Bella seperti ini saja merupakan suatu pemandangan indah yang dapat menyentuh hati siapapun. Mungkin termasuk aku.
Mungkinkah hatiku pun ikut tersentuh hingga rasanya tidak nyaman seperti ini? Melihat keduanya tersenyum dan saling tatap seperti ini nampaknya menyentuh hatiku lebih kuat lagi. Aku tidak nyaman dengan ini semua.
"Ada yang bisa dibantu?"
Aku terperanjat dan seketika berbalik terkejut hingga menabrak seorang cowok yang bertanya padaku barusan.
Sayangnya cowok yang nampaknya pribumi asli Bali itu sedang membawa kopi saat bertanya padaku dan kini kopi itu sukses mengotori dress-ku.
Ya Tuhan ... ini memalukan!
"Kenapa Lo, Ay?!"
Aku mengabaikan panggilan Sendi dan mematikan sambungan sembari menenangkan cowok tadi yang nampak amat merasa bersalah. Katanya karena ini jam istirahatnya, ia sengaja membeli kopi. Lalu melihatku yang mematung di tempat ini membuatnya berinisiatif menghampiri dan bertanya. Tidak pernah menyangka kalau aku akan seterkejut itu sampai menyenggol kopinya.
"Tidak apa-apa, Bli. Saya juga salah."
"Tapi itu bajunya ketumpahan banyak sekali kopi."
"Benar gak apa-apa, Bli. Saya bisa beli baju ganti. Sekarang ... bisa tolong saya ambilkan udeng yang ada di etalase itu? Saya mau beli soalnya."
Aku menggiring cowok itu menjauh dari tempatku mengintip Arya dan Bella agar mereka tidak menyadari keberadaanku. Tapi, nampaknya terlambat.
"Kak Ayya!"
****
"Dari sekian banyaknya pakaian ... kenapa harus ini sih?" gerutuku setelah keluar dari ruang ganti.
Begitu Bella menyadari keberadaanku, itu artinya sudah terlambat untuk melarikan diri. Dengan ekspresi sumringah ia langsung tertatih-tatih menghampiriku dengan tongkatnya diikuti Arya di belakangnya.
Sekarang, di saat hanya Bella seorang yang ku pikir bisa membantuku, sepertinya ia malah tengah mengerjaiku habis-habisan. Dia memang membantuku mencari fitting room dan bahkan bantu memilihkan pakaian. Tapi, apa aku bisa keluar dari ruang ganti begitu saja dan memprotesnya saat mengetahui baju yang disodorkannya adalah kebaya khas Bali, sementara pakaianku sebelumnya sudah tidak tertolong lagi untuk tetap dikenakan?
Bukannya aku membenci pakaian yang dipilih Bella. Kebayanya nampak cantik dengan warna kuning terang ditambah sabuk prada berwarna dongker serasi dengan motif kemennya . Tapi rasanya berlebihan saja jika aku harus memakai kebaya sebagai ganti dress santaiku yang kotor? Aku tidak suka pakaian yang pas badan seperti ini!
"kak Ayya cantik bangeeet!"
Aku tak menanggapi saat Bella mengomentari penampilanku begitu keluar dari ruang pas.
"Cariin baju lain gih! Ribet iniiii. Gimana gue jalannya?" titahku kesal. Aku terbiasa jalan cepat. Apa dengan kemen ini jalanku tidak akan terganggu?
"Jalan ya jalan aja," timpal Arya yang sejak tadi turut mengamati penampilanku. Dia bahkan terang-terangan menelitiku dari ujung kepala hingga ujung kaki dengan senyum misterius.
"Sepertinya juga tidak mengganggu gerak tubuh kamu," komentarnya tanpa diminta.
"Iya nih, Kak. Aku ingin banget lihat Kakak pakai kebaya ini sejak kemarin lihat beberapa warga Bali pakai kebaya. Kayaknya bagus aja gitu. Dan ternyata ... cantik banget kalau dipakai Kakak."
Merasa percuma saja meminta tolong pada Bella, aku akhirnya memutuskan untuk pergi detik itu juga mendahului mereka dengan tangan menjinjing paper bag berisi pakaian kotor dan topiku di dalamnya.
"Mau kemana kamu?" tanya Arya setelah aku membayar kebaya yang ku kenakan. Aku mengacuhkannya dan berjalan keluar dari toko. Mengabaikan Bella yang nampaknya cukup kesulitan berusaha mengejar kami dengan tongkatnya.
"Aku tanya kamu." Arya menahan pergelangan tanganku dan menatapku tak suka. Balas menatapnya tak suka, aku pun menghempas genggamannya.
"Ya mau balik ke hotel lah! Ini sudah jam berapa? Dua jam-an lagi saya dan keluarga harus pulang." Jawabku jauh dari kata ramah.
Arya menatapku lamat-lamat dengan kening berkerut, seolah ini pertama kalinya aku bersikap ketus padanya. Padahal hanya semalam saja aku bersikap normal padanya.
"Kamu cemburu?" tanyanya tak masuk akal.
Aku mengernyitkan dahi. Untuk apa aku cemburu pada mereka berdua? Menyukai cowok ini saja tidak.
"Kenapa saya harus cemburu? Seolah saya ada rasa aja ke kakak. Saya justru senang kalian semakin dekat."
Diluar dugaan, Arya malah menyeringai tipis. Membuatku penasaran dengan apa yang tengah dipikirkannya saat ini.
"Mungkin untuk saat ini kamu belum mengerti. Tapi, ekspresi kamu ini, bukanlah ekspresi seseorang yang sedang senang," katanya sok tahu.
Aku melirik ke belakang, pada Bella yang tinggal beberapa meter lagi hampir sampai di tempatku berdiri. Kemudian kembali menatap Arya tajam.
"Hanya karena semalam saya bilang mustahil untuk membenci Kakak, bukan berarti saya bisa suka juga pada Kakak. Saya bisa suka pada cowok manapun yang saya kenal, kecuali Kakak," tegasku untuk yang terakhir kali sebelum meninggalkan Arya yang masih terdiam di tempat dengan rahang menegang. Mungkin tidak terima dengan perkataanku barusan.
Menjaga jarak beberapa meter dari cowok itu, aku langsung menyetop taksi. Mengabaikan Bella yang memanggil-manggil namaku dan masuk ke dalam taksi yang langsung melesat menuju hotel.
****
Kisah tidak menyenangkan di Bali hanya ku bagi pada Sendi seorang. Seperti biasa dia sabar mendengarkan keluh kesahku dan memberikan nasihat agar aku tidak terlalu keras pada Mamaku.
Sendi memang anak yang berbakti sekali pada orang tua. Bahkan sangat menyanjung wanita karena tahu menjadi wanita itu tidak mudah melihat Mamanya yang membesarkan ia dan kedua saudaranya seorang diri, sementara Sendi tidak dapat memanggil ayahnya dengan leluasa seperti anak-anak pada umumnya. Setiap nasihat Sendi selalu berhasil menyentuh hatiku dan seringnya merubahku. Ini memang sisi lain Sendi yang ku sukai. Di balik sikap menyebalkannya, Sendi itu sebenarnya adalah pribadi yang bijak.
Hanya kali ini saja dia tidak dapat merubahku. Hubunganku dengan Mama kian memburuk sejak hari di mana aku mengetahui segalanya. Dan aku sama sekali tidak dapat merealisasikan nasihat Sendi untuk memaafkannya.
Sendi bilang Mamaku pasti punya alasan baik di balik tindakannya itu. Tapi. Aku tak memiliki gambaran lain selain Mama hanya ingin aku melupakan Papa dan masa lalu kami agar tidak ada penghalang lagi untuk kebahagiaannya seorang. Tidak ada yang lebih masuk akal daripada itu.
Sejak pulang dari Bali pula aku lebih sering berada di luar rumah dan baru pulang sekitar jam 9 malam. Saat Mama sudah tidak beredar lagi di sekitar rumah. Pada dasarnya aku memang suka keluyuran dan tidak betah berada di rumah itu kecuali kamarku sendiri. Tapi, kali ini aku nampaknya bertindak kelewat ekstrim.
Karena tidak seperti biasanya, malam ini ada seseorang yang menungguku di depan pintu rumah. Papa.
"Bisa kita bicara?" tanyanya.
Aku yang baru saja turun dari motor hanya bisa mengangguk pelan sembari meletakkan helm di atas setang.
Kami bicara di meja makan.
"Kamu belum berbaikan ya dengan Mamamu? Kenapa? Papa lihat dia belakangan ini sering melamun sendiri."
"Itu pasti cuma akal-akalan Mama saja. Kalau Papa tahu bagaimana Mama saya yang sesungguhnya, mungkin Papa gak akan ikut campur seperti ini," ucapku pelan. Tanpa ada niatan menyinggung atau bahkan menyakiti perasaannya.
Papa menghela napas seraya mengerutkan keningnya tak setuju. "Kamu pikir. Papa menikahi orang tanpa mengetahui sifatnya terlebih dulu? Papa tahu seperti apa Mamamu itu. Dia dari luar mungkin memang cuek, tapi sebenarnya perhatian. Sama seperti kamu."
"Kalau Mama sebaik yang Papa nilai, saya tidak mungkin akan jadi seperti ini," sanggahku tak setuju
Ketus, seenaknya dan egois. Jelas-jelas aku adalah sosok Mama dalam bentuk yang lain. Bedanya aku tahu bagaimana caranya mengakui kesalahanku, sedangkan Mama tidak.
Papa bahkan tidak tahu bagaimana perasaan Mama yang sesungguhnya pada Bella. Mama tidak benar-benar menyayangi Bella ....
"Sejak kita pulang dari Bali dua Minggu lalu, Papa gak bisa tenang memikirkan kalian berdua. Papa jadi selalu teringat sewaktu kamu datang ke rumah ini untuk pertama kalinya sembilan tahun lalu. Saat itu kamu sedang peralihan dari anak-anak ke remaja. Papa sulit sekali mengajak kamu bicara. Kamu pasti terkejut saat itu karena Mamamu tiba-tiba menikah dengan Papa. Mulanya Papa berharap banyak pada Bella karena kalian sempat akrab saat itu. Tapi, tiba-tiba kamu menjauh lagi. Papa jadi bertanya-tanya bagaimana kamu menghabiskan masa kanak-kanakmu sampai bisa sedingin itu."
"Ayya gak seperti ini sejak lahir, Pa. Mama yang buat Ayya seperti ini." Aku memberanikan diri menatap Papa. "Ayya ini benar-benar mirip dengan Mama, makanya Ayya seperti ini. Seenaknya dan ketus. Ayya gak bisa berubah. Termasuk berubah menjadi lembut pada Mama yang sudah membohongi Ayya selama bertahun-tahun. Jadi ... Papa hanya buang-buang waktu jika ingin Ayya berbaikan dengan Mama. Gak akan ada yang berubah meskipun Ayya dan Mama berbaikan. Sampai kapanpun Mama gak akan berubah. Dan Ayya sudah menghabiskan banyak waktu Ayya untuk menunggu keajaiban itu terjadi. Tapi ..."
Aku tak tega melihat raut sedih Papa Bella. Tapi, aku tidak bisa membohonginya dengan mengatakan bahwa aku akan berbaikan dengan Mama. Aku lebih suka mengatakan kejujuran meskipun nyatanya tidak lah sebaik yang diharapkan.
"Tapi ... Ayya tahu Papa benar-benar peduli pada Ayya meskipun Ayya cuma anak tiri. Untuk semua yang sudah Papa lakukan demi Ayya, Ayya benar-benar mensyukurinya. Dan Ayya juga sayang sama Papa."
Kali ini barulah Papa perlahan tersenyum meskipun amat tipis. "Papa ingin melakukan sesuatu yang berarti untuk kalian berdua. Makanya Papa begini. Kamu mungkin tidak tahu. Tapi Papa tahu kalau kamu seringkali dibuat sedih dengan sikap Mamamu sendiri. Sejak masuk ke keluarga ini, Mamamu jadi membagi perhatiannya, bahkan lebih condong pada Bella."
Jujur aku terkejut Papa angkatku saja lebih tahu apa yang kurasakan selama ini. Tapi Mama ajaibnya tidak tahu sama sekali.
"Mungkin kamu berpikir Mamamu lebih memanjakan Bella daripada kamu, tapi itu bukan berarti dia tidak menyayangi kamu."
Oh ya? Seiring berjalannya waktu, kepercayaan itu bahkan perlahan mengikis dari hatiku.
"Mungkin dia tidak menyadari kesalahannya itu karena kamu pun tidak pernah memintanya. Kamu tidak pernah meminta untuk diperhatikan oleh Mamamu."
Bagaimana caranya untuk meminta perhatian itu di saat bagi seorang ibu, memperhatikan anaknya adalah suatu hal yang wajib dan naluriah? Apa aku harus mengemis perhatian pada Mamaku sendiri? Jika Bella bisa melakukannya, aku dapat memaklumi. Dia sudah kehilangan sosok ibunya sejak belia. Tapi aku? Mama selalu ada dalam jarak pandangku tapi tidak pernah bersikap layaknya seorang ibu yang sesungguhnya. Aku tidak mau mengemis perhatiannya seperti itu. Karena aku ini darah dagingnya sendiri, seharusnya Mama dapat memberikannya tanpa diminta.
"Dan malam itu, sewaktu Papa berpapasan dengan kamu untuk menengok keadaan Bella, Papa baru menyadari kalau kamu juga bisa terluka jika terbiasa mengabaikan kesedihan terpendammu. Makanya Papa rencanakan acara liburan itu. Papa berharap kita semua bisa jadi semakin dekat. Sayang hasilnya malah seperti ini. Maafkan Papa, ya?"
Mataku terasa memanas mengetahui Papa Bella telah melakukan begitu banyak hal untukku. Andai Mama bisa memiliki secuil saja kebaikan Papa Bella untukku, aku tidak akan meminta lebih.
"Andai kamu tahu betapa bahagianya Papa sewaktu tidak sengaja melihat kamu menggendong Bella saat Papa sedang mencari Om Lukman dan Arya. Awalnya Papa kira salah lihat, tapi itu ternyata memang kamu. Papa jadi semakin yakin untuk menitipkan Bella padamu kalau-kalau sesuatu terjadi pada Papa atau Mama."
Aku tersentak mendengarnya. Antara terkejut dan takut. Baru kali ini aku merasa takut ditinggalkan oleh seseorang yang tak ada ikatan darah denganku.
"Papa jangan bicara begitu. Kita semua akan berumur panjang. Dan Bella sudah memiliki Kak Arya untuk menjaganya."
Aku menghela napas dan memberanikan diri menyentuh tangan Papa Bella untuk pertama kalinya. Sebelumnya aku terlalu takut dan canggung untuk melakukannya.
"Mungkin usaha Papa untuk mendekatkan Ayya dan Mama kembali itu mustahil. Tapi Ayya benar-benar berterima kasih untuk semua ini."
****
"Kayaknya kemahalan deh kalau gue harus bertindak sejauh ini cuma untuk bayar Lo nemenin gue nonton."
Aku mengamati penampilanku di depan cermin setelah memasang anting-anting dan kalung satu-satunya yang ku punya di kotak perhiasan. Biasanya aku tidak pernah memakainya. Tapi, hari ini adalah pengecualian.
Dari seberang sambungan, Sendi nampak terdiam beberapa saat. Tapi cowok itu hanya berkata kalau ia sudah otw untuk menjemputku begitu kembali bersuara. Padahal hari Minggu ini rencananya aku ingin bermalas-malasan seharian di kamar.
Begitu menuruni tangga, semua mata tertuju padaku. Papa, Mama dan Bella nampak syok melihat tampilanku. Membuatku segera mengeluarkan bedak dan berkaca kembali memastikan tidak ada make up yang melenceng dari tempat seharusnya. Jangan sampai aku mempermalukan diriku sendiri di resepsi nanti.
"Kamu ... mau ke mana?" tanya Mama menelitiku dari ujung kepala hingga ujung kaki dengan tatapan tak percaya. Dia bahkan sampai menghampiriku dan menyenggol heel yang ku kenakan dengan sandal rumahnya. "Ini beneran heels? Kamu pakai heels?"
Aku melirik Papa yang kini mengacung jempol diikuti oleh Bella tanpa menghiraukan Mama.
"Cantik banget sih, Kak," puji Bella yang hanya ku balas senyum tipis.
"Mau ke mana, Ay?" tanya Papa.
"Hm ... nemenin Sendi ke undangan pernikahan, Pa," jawabku malu. Kesannya memang niat banget si Sendi sampai suruh dandan maksimal begini hanya untuk menemaninya ke undangan pernikahan Wanda, mantan pacarnya.
"Kamu akhirnya pacaran sama dia?" sela Mama cepat. Terlihat sekali ia mulai menduga-duga dengan tak suka.
"Enggak," jawabku datar. Dapat ku lihat Mama sudah siap-siap dengan segala argumen negatifnya tentang Sendi. Hm, sekalian saja aku buat Mama marah. "Enggak tau juga ke depannya gimana."
Mama seketika melotot padaku sementara aku pamit pada semua orang dan segera keluar dari rumah sebelum Mama menyusulku.
"Jangan pulang malam-malam, Ay!" Itu pesan terakhir Papa yang ku dengar begitu keluar dari rumah.
Sesampainya di pagar, aku berusaha menghubungi Sendi lagi. Tepat saat sebuah motor Harley berhenti di hadapanku.
Dari balik helm terdengar siulan menyebalkan Ben.
"Mau ke mana, Non? Cantik bener."
Aku tersenyum pongah pada Ben dan mengibaskan rambut dengan anggunnya. "Emang sih, cantik banget gue tuh hari ini," aku ku tanpa malu.
"Mau ke mana?" tanya Ben mulai serius.
"Nemenin sobat gue ke kondangan. Elo sendiri, ngapain main ke sini?"
Ben tampak menggaruk tengkuknya salah tingkah. "Awalnya sih gue mau ngajak Lo hangout. Tapi ... kalau Lo ada janji. Yaudah deh. Gue pulang lagi aja."
Aku jadi tak enak hati pada sobat kecilku ini. "Ya elo kenapa gak kabar-kabari dulu sih kalau mau main? Mama rumah Lo lumayan jauh lagi dari rumah gue. Sorry ya. Hari ini Lo main aja sama temen-temen Lo sana. Temen Lo bukan gue seorang kan?"
"Ya enggak lah. Gue ganteng bin supel gini. Masa temennya elo doang."
"Bagus deh kalau gitu."
Tak lama, mobil Sendi akhirnya tiba juga. Aku jadi penasaran. Punya rencana apa Sendi sampai menyuruhku berdandan lengkap seperti ini?
Bersambung ....
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
