
Entah kamu menyadarinya atau tidak. Segala usahamu untuk melarikan diri lah yang membuatku semakin ingin mengejarmu. ~Nararya Widhiyanata~
Aku benci perubahan. Terutama jika sesuatu dalam hidupku berubah dengan tiba-tiba. Contohnya? Ada banyak. Mungkin kita bisa mulai dari keluargaku yang tiba-tiba hancur di kala aku masih belia. Papa yang ku sayangi seketika menjadi kasar dan menakutkan. Lalu tak selang lama, Mama menggugat cerai dan kami akhirnya hidup serba pas-pasan.
Di saat aku berusaha menerima kenyataan bahwa aku harus terbiasa dengan itu semua, tahu-tahu saja Mama bertemu seseorang yang diyakininya sebagai jodohnya, kemudian menikahi laki-laki itu. Tanpa bertanya pendapatku sama sekali.
Seharusnya aku sudah terbiasa dengan sikap Mama yang sejak dulu memang cuek dan suka seenaknya. Tapi, bukankah itu keterlaluan? Tanpa meraba perasaanku sama sekali, Mama membawaku bersama keluarga barunya yang nampak sempurna. Orang-orang asing satu-persatu masuk dalam hidupku secara tiba-tiba tanpa aku punya waktu untuk mempersiapkan diri.
Dan Bella ...
Ku rasa dia satu-satunya orang yang paling sulit ku terima. Bukannya dia menyebalkan atau sebagainya. Justru sebaliknya. Dia sempurna, baik sebagai adik atau bahkan sebagai teman mengobrol.
Aku pernah berpikir bahwa hidupku mungkin akan berwarna kembali setelah mendapatkan Papa baru dan adik tiri yang sempurna. Namun sepertinya aku salah. Karena saat segala kesempurnaan itu bersanding denganku, aku menjadi satu-satunya bayangan gelap di sana.
Satu kalipun aku tidak pernah merasa iri pada Bella. Aku selalu mensyukuri segala hal yang ku miliki.
Di saat Bella memiliki Papa yang penyayang yang baik hati, aku tidak perlu iri. Karena tidak seperti dia, aku masih memiliki Mama meskipun Mama bukanlah sosok ibu yang penyayang dan perhatian.
Di saat Bella selalu menarik perhatian di mana pun ia berada karena kecantikan dan keanggunannya? Aku tak perlu iri karena parasku pun tidak jelek-jelek amat. Teman-temanku bilang wajahku itu menarik dan tidak membosankan.
Bahkan aku tidak perlu iri dengan bakat dan keuletan Bella dalam menekuni seni tari. Toh aku punya kebanggaan tersendiri berkat nilai akademikku yang tak pernah mengecewakan itu.
Intinya aku merasa cukup dengan apa yang ku miliki, terlepas dari kenyataan bahwa aku dan Bella amatlah berbeda. Kami punya kelebihan dan kekurangan satu sama lain yang tidak bersinggungan sama sekali.
Hanya saja, ketika Mama dan Papa Bella resmi menikah, mau tak mau aku dan Bella pun seolah menjadi satu paket karena kami telah menjadi satu keluarga.
Yang tak ku sangka adalah bahwa pandangan setiap orang padaku pun akan berubah. Ketika aku dan Bella hanya dua orang asing yang saling kenal, orang-orang hanya memandang kami apa adanya. Apa yang kami miliki adalah gambaran seutuhnya diri kami satu sama lain.
Namun, saat kami bersanding sebagai Kakak beradik, penilaian dan perbandingan itu mulai bermunculan. Bella yang cantik dan Ayyara yang biasa saja, Bella sang penari berbakat dan Ayyara si penggila film, Bella yang anggun dan Ayyara si cuek. Semula aku berusaha tak terganggu dengan itu semua. Namun, saat segala perbandingan itu menjurus pada satu labeling yang tak berdasar, aku benar-benar membencinya. Aku benci saat orang-orang berubah memandangku sebagai kakak tiri yang jutek sedangkan Bella tak pernah memiliki cela sedikit pun di mata orang karena sifat baik hatinya.
Aku tidak pernah membenci Bella, dan mungkin sampai kapan pun tak akan pernah bisa membencinya. Aku hanya benci menjadi tampak buruk saat berada di dekatnya. Barangkali itulah alasannya mengapa aku enggan berurusan dengannya. Enggan tertarik pada segala hal tentangnya dan berusaha untuk tidak peduli meskipun kentara sekali Bella ingin aku benar-benar menjadi Kakak yang sesungguhnya.
Mama mungkin menurunkan banyak sifat buruknya padaku, cuek, ketus dan seenaknya. Tapi untunglah Mama tidak menurunkan bakat sandiwaranya pula padaku. Tak dapat ku bayangkan betapa sengsaranya aku jika harus berpura-pura menyayangi seseorang yang sebenarnya ingin ku jauhi seumur hidupku. Dalam kasusku, tentu saja orang itu adalah Bella.
Bicara soal perubahan, sekali lagi karena Bella orang-orang asing masuk dalam kehidupanku. Jika dulu adalah keluarga besarnya yang diam-diam selalu membandingkan kami, kini keluarga Arya pun mulai sering menampakkan diri di rumah, memaksaku bertahan dalam situasi canggung selama beberapa menit kalau saja Ben tidak menyelamatkanku. Mungkin hari ini pun termasuk di antaranya. Aku tahu Ben itu menyebalkan dan merepotkan. Tapi, sekali lagi, hari ini dia berhasil menyelamatkanku dari situasi yang ku benci. Pokoknya hari ini hampir berhasil ku lalui dengan baik-baik saja berkat Ben. Sayangnya, HAMPIR!
Mungkin karena aku dan Mama sama-sama cuek, kami bahkan jarang bicara meskipun tinggal di bawah atap yang sama. Sayangnya kali ini kebiasaan buruk itu merugikanku! Saat hari menjelang sore dan semua tugasku selesai, ku pikir aku dapat berleha-leha di kamar sembari menonton film-film terbaru dan mengemil kue-kue kering tanpa ganngguan.
Tak tahunya, saat kembali dari dapur dengan memeluk dua toples berisi kue semprit dan kastengel, tahu-tahu saja Mama mengehentikan langkahku dan menggeplak punggungku dari belakang.
"Ya ampun, ini gadis satu kenapa masih dekil gini sih?!" omelnya. Aku bahkan tidak dapat mengelus punggungku yang lumayan perih karena tanganku penuh toples.
Aku berbalik pada Mama dengan kesal karena mengagetkan orang yang sedang menaiki tangga itu berbahaya, apalagi jika mengagetkannya dengan kepretan maut begini. Hanya saja, saat seutuhnya berbalik pada Mama aku benar-benar dibuat terkejut oleh keberadaan beberapa orang yang menyusul di belakangnya. Oh my God, di belakang Mama ada Bella, Arya, Ben dan kedua orang tua mereka!
Rasanya baru kali ini aku marasa semalu ini. Jika dibandingkan dengan Bella yang sudah mandi, rapi dan cantik sore-sore begini, apalah aku yang tampil super kucel dengan Kaos, training ditambah menggondol dua toples besar kue?! Mana rambutku saja tak terikat dengan semestinya. Memalukan!
Mama ini sebenarnya Mama kandungku bukan sih?! Bisa-bisanya dia membuatku malu di depan banyak orang begini? Memangnya tidak bisa ya dia melewati tangga ini begitu saja tanpa menahanku?! Argh, rasanya tambah menyebalkan saat ku lihat Ben dan Arya sama-sama menahan tawa melihat penampilanku.
Aku hanya bisa meringis dan berbalik berlari menuju kamar setelah Mama menyuruhku cepat-cepat mandi dan segera ke taman belakang untuk makan malam bersama keluarga Om Lukman.
Bahkan sampai acara makan malam selesai pun aku masih saja menekuk muka. Sesekali aku bahkan mengusap wajah kesal, berharap bayangan memalukan tadi sore berhenti berputar dalam ingatanku. Kalau bisa aku tidak ingin muncul di hadapan Om Lukman dan Tante Ira dulu untuk sementara waktu. Mungkin sampai mereka juga dapat melupakan betapa mengerikannya penampilanku tadi sore. Sayangnya Mama dan Papa seolah sangat ingin aku bergabung di sini. Duduk di gazebo belakang rumah bersama Arya, Bella dan Ben sementara para orang tua duduk di tempat terpisah samping kolam renang entah membicarakan apa.
"Ck, ngapain juga sih gue harus ikut diem-dieman di sini?" gumamku sebal di saat batas kesabaranku mencapai batas maksimum.
Rasanya itu adalah suara pertama yang terdengar di gazebo ini setelah kami berempat hanya saling mendiamkan nyaris 15 menit lamanya. Bella nampak anteng dengan tehnya, Arya entah mengapa sering ku dapati sedang mengamatiku dan Ben bergantian dalam diam. Sedangkan si Ben, asik dengan game onlinenya. Hanya aku yang tidak bisa duduk anteng di sini. Tanganku bahkan sudah pegal sejak tadi bersidekap di tempat dengan pandangan mengawasi ketiga penghuni gazebo lainnya yang aneh luar biasa.
Seluruh mata tertuju padaku tanpa suara begitu mendengar gerutuanku. Ah menyebalkan. Apa mereka tidak memiliki topik apapun untuk dibicarakan? Setidaknya dengan bersuara, nyamuk-nyamuk di sekitar sini tidak akan seenaknya menjadikan kami santapan malam begitu saja.
"Sewot banget sih Lo. Masih kesel ya karena kita semua lihat tampang kucel Lo tadi sore?" Jangan ditanya siapa yang dengan kurang ajarnya bicara begitu padaku.
Aku hanya mendelik pada Ben.
"Bell, gue masuk ya. Ada yang nunggu gue di kamar nih! Kalau Mama tanya, bilang aja gue masuk angin gitu ya."
"Siapa yang nunggu Lo,"
"Siapa yang nunggu kamu?"
Aku dan Bella sama-sama melirik dua kakak beradik itu dengan kening berkerut.
"Ya siapa lagi kalau bukan film-film?" jawab Bella dengan senyum tipis. "Kak Ayya kan suka banget menghabiskan quality time nya dengan nonton film," jawab Bella tanpa diminta.
"Gue ikut dong!" pinta Ben seolah peristiwa menyebalkan di Mall Minggu lalu tak pernah terjadi. Dengan cepat ia bahkan mematikan layar ponselnya.
"Enggak! Ngapain juga Lo ikut-ikut segala?"
"Kita kan partner, Ay."
Aku memicingkan mata tajam. "Gue gak butuh partner yang bisa berkhianat kapan aja kayak elo."
"Ya ampun, Ay. Kalo waktu itu bukan Bang Arya, mana mungkin gue kabur."
"Hah? Kabur? Sebenarnya ... kalian ini sedang ngomongin apa sih?" Bella nampak kebingungan tapi juga penasaran.
Seketika aku melirik Arya yang juga balas menatapku. Sudah pasti dia juga menyimak cekcok tidak penting antara aku dan Ben. Yang pasti tidak ada untungnya juga kalau aku menceritakannya pada Bella. Apalagi kalau ku ceritakan juga soal Arya yang nampak sangat dekat dengan perempuan lain. Mana tega aku menceritakannya? Aku juga masih punya hati.
"Ceritanya panjang. Yang pasti, gue jadi males berurusan sama ini bocah," ujarku akhirnya.
Aku hendak berdiri dan pergi dari tempat tidak menyenangkan itu saat tahu-tahu saja Ben justru mengekoriku dan memanggil Mama Papa dengan lantang.
Sial, Ben! Mau apa lagi dia?!
"Kenapa Ben?" tanya Mama. Lirikan tajamnya seketika tertuju padaku yang terlihat sudah menjauh dari gazebo. Awas saja kalau Ben lagi-lagi menyusahkanku!
Aku mengawasi Ben yang menghampiri para orang tua dengan was-was.
"Tante. Terakhir kali Kak Ayya janji mau bantu saya mengerjakan review film. Apa boleh saya ikut nonton di sini?"
Ha! Lihat, kan. Dia sebenarnya bisa saja memanggilku dengan sapaan Kak. Pada dasarnya dia mungkin memang senang saja membuatku bete.
"Oh ya?" tanya Mama, sementara Papa, Om Lukman dan Tante Ira justru melirikku. Seolah menunggu aku mengkonfirmasi perkataan Ben. Tapi aku hanya bisa berdiri diam di tempat dengan cengiran yang dipaksakan.
"Iya, Tante. Ini tugas Bahasa Indonesia Ben dari sekolah. Boleh ya?"
"Oh tentu dong," Mama langsung menyetujui. Meskipun aku tahu ia pasti curiga kalau aku lagi-lagi mau kabur dari acara kumpul-kumpul ini.
"Jangan ngerepotin Ayya, kamu Ben!" Tante Ira memperingati.
Akhirnya aku dan Ben berjalan menuju kamarku di lantai dua.
"Buka aja pintunya lebar-lebar" kataku lalu menayangkan film lewat infokus dan mematikan seluruh lampu dalam kamar.
Aku mengambil tempat di sofa kamar dengan toples kue di pangkuan, sementara Ben lebih memilih duduk di karpet.
"Asik juga ya hobi Lo. Gue berasa lagi di bioskop pribadi," komentar Ben yang langsung ku balas senyum tipis. Aku selalu suka jika ada orang lain yang menganggap hobiku menarik.
"Thanks."
"Untuk muji hobi Lo?" tanya Ben sembari menyamankan diri duduk di karpet dengan bersandar pada kaki sofa.
"Untuk itu dan untuk bantu gue kabur dari situasi gak menyenangkan di gazebo. Bener juga kata Lo. Kita bisa saling bantu dalam melarikan diri dari situasi menyebalkan kalau jadi sekutu." jawabku.
Aku tidak tahu bagaimana ekspresi Ben saat ini karena semua lampu dimatikan. Tapi, yang pasti dia menjawab "your welcome" setelahnya.
Kurang lebih 15 menit kemudian kami berdua sama-sama menyimak film Enola Holmes dengan serius ditemani kue-kue manis hingga tiba-tiba saja suara ketukan pintu menginterupsi kegiatan kami.
Aku melirik ke arah ambang pintu yang terbuka lebar dan mendapati siluet Arya dan Bella berdiri di sana.
"Boleh gak Kita gabung?" tanya Arya.
Awalnya aku hendak melarang karena kehadiran mereka bisa merusak moodku. Tapi, tahu-tahu saja keduanya masuk sebelum ku persilakan. Kalau sudah begini, tidak mungkin ku usir kan?
Suka tidak suka, akhirnya ku biarkan saja Bella duduk di sampingku dan Arya bergabung bersama Ben di karpet.
"Film ini bercerita tentang apa?"
"Antagonisnya siapa?"
Sudah ku duga kehadiran mereka hanya akan mengganggu kegiatan menontonku. Baru saja beberapa menit bergabung, Arya sudah menanyakan dua pertanyaan! Ck!
"Tentang adiknya Sherlock Holmes. Penjahatnya belum ada yang tahu." jawabku singkat.
Nampaknya dengan menjawab sesingkat itu, sukses membuat Arya enggan bertanya lagi. Baguslah, aku memang tidak suka banyak ditanya saat menonton film.
Selama menonton, sesekali aku mengulurkan tangan ke depan, mengetuk-ngetuk bahu Ben dan menengadahkan tangan karena seingatku toples kue semprit-ku dia yang pegang. Sementara mataku tetap fokus pada layar, Ben dengan patuh akan meletakkan seraup kue di atas tanganku. begitu terus hingga puluhan menit ke depan.
Ternyata ada gunanya juga dia.
Setidaknya itu yang ku pikirkan hingga tiba-tiba lampu menyala terang membuat mataku menyipit menyesuaikan diri dengan cahaya. Aku menoleh ke arah saklar lampu terletak dan Mama ada di sana.
"Nak Arya, Ben, Mama Papa kalian sudah mau pulang tuh. Mereka tanya kalian mau ikut pulang sekarang atau menyelesaikan filmnya dulu?"
"Huaaaaam!" suara menguap seseorang mengalihkan perhatianku. Spontan aku melirik ke arah di mana suara itu berasal. Ben yang nampaknya baru saja terbangun dari tidurnya menegakkan duduknya sembari menggaruk belakang kepalanya sementara matanya masih menyipit karena silau lampu.
Tapi, tunggu dulu. Kalau Ben sejak tadi duduk di depan Bella. Lalu yang sedari tadi duduk di depanku dan memberiku kue siapa? Arya kah?
Kini aku menatap Arya yang rupanya sudah lebih dulu menoleh padaku dengan senyum usil.
Entah hanya aku seorang yang merasakannya, tapi baru kali ini aku merasa malu, kesal dan tegang di saat yang bersamaan. Bahkan hingga tanpa sadar membuat jantungku bergemuruh tak terkendali untuk beberapa saat.
Dengan hati-hati kemudian aku melirik Bella yang juga mengamati senyum usil Arya dalam diam. Baru kali ini aku melihat Bella menunjukkan ekspresi tak terbaca seperti itu. Mungkin itu pula yang membuat perasaanku semakin tak enak.
Sebenarnya, situasi macam apa ini?
Bersambung ...
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐ฅฐ
