
"Ceroboh! Kalau badan lo mandi kuah panas tadi, gimana?" Rifky memekik lantang sembari mengibaskan tangan, perih.
"Ya namanya kaget. Lagian dimana-mana orang kalau masuk, tuh, ngucap salam, Bang. Bukan maki-maki nggak jelas."
"Bacot lo!"

Saat sang kakak menepis tautannya dengan kasar, Kenzie menjadi tegang. Ia mundur selangkah, menunduk, menatap setumpuk mi racikannya yang sudah terkapar mengenaskan di permukaan lantai.
"Ceroboh! Kalau badan lo mandi kuah panas tadi, gimana?" Rifky memekik lantang sembari mengibaskan tangan, perih.
"Ya namanya kaget. Lagian dimana-mana orang kalau masuk, tuh, ngucap salam, Bang. Bukan maki-maki nggak jelas."
"Bacot lo!"
Kedatangan Tama bersama handuk kecil di tangan menjadi penengah kegaduhan. Sembari menuntun Rifky ke wastafel, ia juga menginterupsi Kenzie untuk menjauh dari serpihan mangkok yang berserak. Takut jika anak itu nekat membersihkan akan berakhir dengan terluka.
"Tolong tutupin pintu depan, dong, Ken. Gue lupa kunci. Takut anjing orang sebelah masuk."
Kenzie sempat melirik kecil Rifky yang sibuk membasuh tangan sebelum akhirnya putar arah. Tama tahu, remaja itu tengah diliputi rasa bersalah. Namun, sepertinya Rifky dengan emosi di kepalanya belum bisa diajak kerja sama.
"Punya otak, tuh, dipake. Lo bukan lagi anak kecil yang apa-apa harus dikasih tau. Mikir, Ken."
"Kalau gue nggak mikir, nggak mu—"
"Ngejawab lagi gue sambit gelas lo," pungkas Rifky yang sukses membuat Kenzie tutup mulut.
Selang beberapa detik, suara gemeretak terdengar. Tama menyimpan salep pereda nyeri ke kotak obat, kemudian berdiri. Sesekali curi pandang pada Kenzie yang terdiam di sudut kasur lipat yang terbentang. Sesungguhnya, ia juga tidak tahu apa yang terjadi pada anak itu.
"Gue angkat jemuran bentar, Bang. Kalau butuh sesuatu, panggil aja." Tama bermaksud memberi keduanya ruang.
"Thanks, Tam."
Selepas kepergian remaja itu, suasana yang tercipta di sana kian mencekam. Tak ceriwis seperti biasa, Kenzie memilih memainkan jemari yang sama sekali tidak gatal. Bingung hendak bagaimana, karena apapun yang ia lakukan, pasti akan selalu salah di mata sang kakak. Rifky mode galak begini, tuh, ibarat komunitas marah-marah kalau dikasih nyawa. Full menyala.
"Masih bisa dikasih tau, nggak, sih, Ken?"
Mendengar intonasi Rifky mulai menurun, Kenzie akhirnya berani angkat kepala. "Bisa," cicitnya pelan.
Rifky pun kian melemah. Tak tega dengan rona pucat yang belum sepenuhnya enyah dari wajah sang adik. "Jangan kebiasaan gitu. Gue panik, Bang El panik. Lo tau, gue hampir nabrak pedagang cilok tadi saking ngebutnya."
"Sorry."
"Jangan suka ambil keputusan yang bisa bikin diri sendiri dalam bahaya. Masih inget, kan, keterangan dokter kemaren?"
Kenzie mengangguk kecil, menyetujui. Matanya kembali menatap pergerakan jemari. Ada sesuatu yang ingin ia coba ungkapkan, tapi sulit. Semua terasa lebih berat dari yang dibayangkan.
"Gue tau alasan lo marah apa, tapi gue pun Bang El nggak cukup punya hak buat ngubah keputusannya. Lo tau sendiri, kan, watak Papa kaya gimana?"
"Gue tau, makanya gue pengen tinggal bareng Tama aja di sini."
"Ken, please, lah. Situasinya udah beda. Mana mungkin kita berdua lepas lo dengan kondisi fisik lo yang kaya gini. Belum soal kemo, pola makan lo, siapa yang jamin semua bakal baik-baik aja?"
"Dengan gue tinggal bareng kalian di sana pun nggak menjamin gue bakal tetep baik-baik aja, Bang," tutur Kenzie tanpa mengangkat pandang. "Luka kehilangan mama aja belum bener-bener sembuh."
Tangan Rifky mengepal gugup. Sial, ia melupakan sesuatu yang cukup besar. Terlalu sibuk menghakimi membuatnya abai pasal sakit yang anak itu miliki. Harusnya ia sadar, hal ini memang cukup berat bagi sang adik.
"Maaf kalau terkesan maksa, tapi please jangan ngekos. Gue janji bakal cari solusi lain yang jauh lebih baik."
"Lo pikir ada?"
"Ada. Pasti ada. Gue usahain."
***
Elzio terjaga dari semua pikiran kusutnya dan langsung membuka pintu begitu deru mesin kendaraan berhenti di depan rumah. Pemuda jenjang itu memakai sendal asal-asalan, menghampiri dua laki-laki di pelataran dengan cemas. Sampai saat tubuhnya sudah berhadapan dengan si bungsu, tanpa ba-bi-bu membawa tubuh kecil itu masuk dalam pelukan.
"Jangan dibiasain gitu, Ken ...."
Suara yang terdengar sedikit bergetar itu membuat Kenzie diliputi rasa bersalah. Pelan-pelan, sepasang tangan mungilnya mulai terangkat membalas dekapan. Memberi tepukan hangat sebagai pengutaraan bahwa dirinya masih baik-baik saja.
"Mau sampe kapan? Gue udah laper, nih," celetuk Rifky sambil menyisir rambut di depan pantulan spion.
"Iya, sama. Tadi kan nggak jadi makan gara-gara mie gue lo tumpahin." Kenzie menggerutu kecil begitu Elzio melepas tautan.
"Masih untung cuma tumpah. Belom aja gue masukin per-helainya ke dalam lubang hidung lo."
"Yeu, kocak lo, bibir kebalik!"
Rifky mendelik. Secepat kilat mengambil leher Kenzie untuk diapit erat-erat. "Ngomong lagi gue kasih makan bulu ketek lo."
"Iya, deh. Iya. Ampun. Nggak berani gue kalau harus berurusan sama ketek busuk lo."
"Takut kan lo?" Melepas pitingan dengan raut congkak, Rifky kemudian membiarkan bocah itu menjauh beberapa langkah.
"Jangan diladenin, gila dia, tuh," ujar Kenzie pada Elzio seraya menarik tangan pria itu masuk ke dalam rumah. Si empunya hanya mampu senyum sambil geleng-geleng kecil.
"Malam ini mau makan apa?"
"Apa aja asal jangan ada telornya. Please, gue udah di tahap muak banget nyatuin telor sama nasi di mulut." Kali ini anak itu berbicara sambil memijat pelipis di atas sofa. Matanya terpejam, seperti menahan sesuatu. Beruntung tak ada yang menyadari karena Elzio dan Rifky sudah sibuk dengan aktifitas masing-masing.
"Pesen aja lah, udah laper banget. Keburu pingsan gue nunggu lo masak lagi," imbuh Rifky tanpa mengalihkan fokus dari gawai di tangan.
"Nggak usah, gue udah belanja tadi. Lagian nggak bagus kebanyakan makan makanan luar. Nggak sehat."
"Lah, emang kalau lo yang masak jamin sehat?" pungkas Rifky dengan alis mengkerut. Tampak sangat tidak setuju.
"Buktinya? Masih pada hidup, kan?"
"Masih, sekarang. Nggak tau besok."
"Bangsat lo."
Sebenarnya Kenzie pengin ikut mengolok-olok masakan Elzio, tapi apalah daya, kekuatannya hanya tinggal lima persen saja. Lemas mendominasi, ditambah sensasi pusing yang sudah mengganggu sejak di perjalanan pulang tadi. Jadi, satu-satunya hal yang bisa anak itu lakukan hanyalah tertawa. Setidaknya supaya tidak ada yang curiga.
"Bantu gue cuci sayur, Ky!"
"Ya Allah, Bang. Tenaga gue cuma nyisa buat buka mulut doang, ini. Lo tau, nggak, kalau hari ini gue full day ngejogrok di aula kampus? Belum lagi—"
"Nggak usah ngeluh, gue nggak nanya. Udah buruan sini, bantuin."
"Ya lagian elu, seharian di rumah ngapain aja sampe nggak masak?"
"Lo kira gue bisa masak dalam keadaan panik?"
"Alasan lo, bilang aja males."
"Buruan ...."
Kenzie spontan terkikik begitu mendapati si tengah misuh-misuh, tapi tetap bangkit. Kalau saja dalam keadaan baik, ia mungkin sudah menjadi orang pertama yang turut membuat dapur berantakan. Sesederhana menyembunyikan wadah bawang motif bunga milik Elzio, atau menarik celana Rifky sampai si empunya memekik kesetanan.
"Gue izin bantu doa aja, yak. Ngantuk, nich," tutur Kenzie sebelum Rifky benar-benar meninggalkan ruangan.
"Emang lebih bagus gitu, sih."
"Haha, masak yang enak, ya, mbok Inem."
"Lo sakit aja masih ngeselin, njing."
Meski begitu, Rifky tetap menyempatkan diri mengecek suhu tubuh Kenzie lalu mengambil selimut. Tak lupa dengan suhu AC, pemuda itu baru benar-benar beranjak ketika Kenzie sudah nyaman dengan posisinya.
"Kaya gini aja sebenernya udah bahagia, sih. Nggak perlu ada bapak," cicit Kenzie sebelum akhirnya benar-benar terlelap.
— Kenzie —
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
