1. Kenzie Mahaprana

3
0
Deskripsi

"Dih, biasa aja kali. Kaya nggak pernah liat orang ganteng aja lo, Bang."

"Dokter ada bilang apa lagi? Lo dikasih resep obat apa gimana?" Dalam sekali pergerakan, Rifky sudah duduk tepat di sebelah Kenzie.

"Nggak dikasih apa-apa, cuma dikasih kata-kata mutiara ala Kak Gem."

"Jangan becanda mulu, Ken. Gue serius."

post-image-67b6122ec0262.jpg

Dari banyaknya mitos, salah satu yang masih dipercayai hingga saat ini adalah mitos tentang anak buangan. Kepercayaan ini mengatakan bahwa dalam setiap keluarga, pasti ada satu anak yang dianggap kurang beruntung, tidak secantik atau setampan saudara-saudara lainnya, atau bahkan kurang disayang oleh orang tua. Mitos ini juga mencerminkan stereotip sosial bahwa setiap keluarga harus memiliki ketidaksempurnaan dalam bentuk fisik atau hubungan antar anggota keluarga.

Secara garis besar, tak sedikit orang yang percaya bahwa tidak ada keluarga yang sempurna.
 

Namun, sepertinya mitos ini tidak berlaku bagi Kenzie bersaudara. Karena faktanya, tiga bujang piatu itu lahir dalam keadaan sempurna baik fisik maupun rupa. Finansial mereka baik, begitu pun dengan profesi yang ketiganya geluti. Sudah lah good looking, good rekening pula.
 

Dimulai dengan si sulung, Elzio Mahardika. Seorang Direktur Keuangan di salah satu perseroan terbatas yang ada di Jakarta. Genius, berwibawa, tidak banyak bicara dan punya kesabaran seluas samudera. Elzio ini tipe Kakak yang jarang marah, tapi sekalinya marah, bikin ketar-ketir satu rumah. 

Kemudian ada si anak tengah, Rifky Mahendra. Mahasiswa semester tujuh yang sedang stres oleh tugas dunia perkuliahan. Lebih pendek dari Elzio, selengekan, suka berpenampilan nyentrik dan hobi marah-marah. Keterbalikan dari Elzio yang memiliki kesabaran seluas samudera, kesabaran Rifky pula hanya setipis tisu dibelah lima. Oknum yang paling sering istighfar di rumah. 

Nah, sekarang masuk lah kita ke bagian penyebab Rifky sering istighfar, Kenzie Mahaprana. Si bontot yang hobinya teriak-teriak. Disenggol sedikit, teriak. Ditegur sedikit, teriak. Dimarahin makin menjadi. Didiemin apalagi. Suka modifikasi motor, suka mancing emosi Rifky, suka ngabisin uang Elzio, suka ngoleksi surat panggilan orang tua dan suka cari ribut sama tetangga. Kurus, petakilan, tengil, petantang-petenteng, ngeselin. Kalau kata Rifky, setiap lihat Kenzie bawaannya pengin jitak.
 

Contohnya, ya, seperti sekarang ini. Di saat orang-orang sedang asyik bersantai menikmati senja dengan secangkir teh, bocah tengik itu malah memilih adu argumen dengan seorang pria paruh baya di pelataran rumah. Bibir tipisnya komat-kamit, terus menggerutu. Sesekali menunjuk baret panjang yang melintang di permukaan tangki.
 

"Ya karena suara knalpot kamu ganggu ketenangan saya sama keluarga saya!"
 

"Dih, stres. Hidup nggak tenang malah nyalahin knalpot orang." Remaja itu mendengkus, lalu melipat bibir. "Lagian, yak, ini tuh tempat umum. Semua orang bebas ngapain aja. Kalau mau sunyi, mah, jangan di sini, bangun rumah di atas terjun Paradise noh, jadi tetangga kakeknya Russel."
 

Selayaknya orang tua, disanggah begitu si bapak jelas tidak terima. Sambil melotot pria itu pun kembali buka suara. "Dasar anak kurang didikan, dikasih tau malah ngelawan."
 

Alih-alih ketakutan, Kenzie malah ikut melebarkan mata. Berkacak pinggang sembari membalas semua ujaran buruk yang pria tua itu berikan. Persetan dengan yang namanya durhaka, motornya sudah lecet sana-sini asal kalian tahu.
 

"Pantes aja mamamu cepat mati, makan hati ngadepin anak kaya kamu setiap hari."
 

"Nih orang tua, dihalusin malah ngelunjak. Gue pukul aja dadanya apa gimana, ya?" gerutu Kenzie pelan. 

"Saya nggak mau tau, kamu lepas knalpot berisik ini sekarang juga."
 

“Apa-apaan, sih! Nggak sopan banget swalow burik lo nyentuh-nyentuh knalpot gue. Minimal Carvil lah.”

Pria paruh baya itu sedikit terhuyung begitu Kenzie memberi dorongan spontan. Hendaknya membalas dengan pukulan, tapi pekikan seseorang membuat layangan tangannya berhenti di udara. Disusul suara langkah yang mendekat dengan tergesa. 

“Ada apa ini, Pak?”

"Ada apa, ada apa! Adik kamu, nih, yang tingkahnya kaya setan. Bawa motor seenak jidat, dia kira jalanan komplek ini punya nenek moyang dia?" Merasa memiliki peluang, pria itu lantas mengeluarkan unek-uneknya.

"Ya bukan punya nenek moyang lo juga, kan? Jadi nggak ada hak larang-larang. Egois itu namanya." Bukan Kenzie kalau tidak membantah. Padahal suasana sedang panas-panasnya.

“Ngejawab lagi kamu!”

“Eh, jangan kasar, dong, Pak.”

Rifky panik, buru-buru menahan tangan yang nyaris menghantam pipi kiri sang adik.

"Kaya gitu emang orang tua, di—"

"Lo bisa diem dulu, nggak?" tukas Rifky ketus lengkap dengan pelototan maut yang sukses membuat sang adik tutup mulut.
 

Namun, percayalah, mulut Kenzie memang diam, tapi hatinya berisik.

"Benci banget, anjing. Nggak suka banget, anjing."

 

***
 

“Kan udah dari awal gue bilang, jangan modif yang aneh-aneh, apalagi—”

"Nyenyenye, nggak mau denger, nggak denger, satu tambah satu, dua. Dua tambah dua ...."

Rifky hanya mampu menghela napas memperhatikan Kenzie yang terus bersuara sambil menutup telinga di ujung sofa. Selalu begitu saat diberi nasihat. Kalau saja bukan karena tenaganya sudah habis terkuras oleh perdebatan sengit beberapa waktu lalu, mungkin sudah Rifky tendang bocah tengik itu ke luar rumah.

"Nggak usah batu, anjir. Demi Allah, gue udah muak banget ngurus semua kasus yang lo buat."

"Dih, kasus apaan? Lebay. Adu bacot sama aki-aki menopause aja dikata kasus."

"Ngejawab lagi, gue pites lo!" Selesai berucap demikian, Rifky cepat-cepat tarik ulur napas. Kalau dibiarkan emosi terus, bisa-bisa asam lambungnya kumat. "Abis dari mana emang lo, baru balik jam segini? Ngelayap mulu."

"Buset, fitnah, anjir. Orang abis ngambil hasil lab ke RS."

Rifky spontan terkesiap. Tubuhnya terdiam beberapa detik untuk mencerna keadaan. Beberapa hari lalu, sang adik memang sempat pingsan dan dirujuk ke rumah sakit. Setelah diperiksa, dokter menyarankan untuk tes darah. Namun, sayangnya, kesibukan di kampus membuatnya lupa akan pengambilan tes yang telah ditetapkan.

"Mana hasilnya? Dokter bilang apa?"

Alih-alih menjawab, bocah kurus itu malah berdiri, berniat beranjak.

"Ntar dah gue jelasin, gerah pen mandi."

"Ken ...."

"Intinya kanker, tapi bukan kantong kering."

"Bacot lo." Rifky menyambar dengan ketus, sedikit sensitif dengan candaan yang Kenzie bawa.

"Nggak percaya yaudah, sih," sahut Kenzie pula seraya berjalan menaiki anak tangga.

Rifky yang sudah dilanda kalut pun akhirnya ikut berdiri, menyusul. Meski belum tentu serius, tetap saja ia khawatir. Nakal-nakal begitu, adiknya cuma ada satu di dunia.

Sesampainya di kamar, Kenzie langsung menjatuhkan diri di kasur dengan posisi telungkup. Sejak berdebat tadi, kepalanya sudah pusing. Ditambah mendengar kultum Rifky, rasanya isi otak Kenzie mau meledak. Untung buatan Tuhan, jadi agak lebih kuat dari perkiraan.

Baru saja hendak mengarungi alam mimpi, Kenzie dikejutkan dengan bunyi resleting dari tas yang masih tertanggal di punggung. Setelah ditilik, ternyata sang Kakak lah pelakunya. Laki-laki itu tampak mencari sesuatu dengan raut serius.

"Minimal ngucap salam, bjir. Bikin kaget aja lo muncul tiba-tiba."

Kenzie beringsut melepas tas, kemudian ubah posisi menjadi telentang. Pandangannya kini jatuh pada sang Kakak tampak fokus meneliti bait-bait aksara di permukaan kertas putih. Wajahnya tampak serius, membuat jantung Kenzie berdetak sedikit berantakan.

"Nggak percayaan banget dibilangin. Sekarang adek lo ini bukan manusia sehat lagi, jadi kudu diperhatiin luar dalem."

Bukannya menjawab, Rifky malah mengerjab beberapa kali. Menatap kertas di tangan dan wajah Kenzie secara bergantian.

"Dih, biasa aja kali. Kaya nggak pernah liat orang ganteng aja lo, Bang."

"Dokter ada bilang apa lagi? Lo dikasih resep obat apa gimana?" Dalam sekali pergerakan, Rifky sudah duduk tepat di sebelah Kenzie.

"Nggak dikasih apa-apa, cuma dikasih kata-kata mutiara ala Kak Gem."

"Jangan becanda mulu, Ken. Gue serius."

Percayalah, saat ini hati Rifky sedang dilanda cemas berlebih. Merasa bersalah karena tak berada di samping anak itu saat pertama kali mendengar vonis. Rifky yakin, Kenzie tak sekuat yang terlihat. Anak itu hanya mencoba tetap baik-baik saja dengan kepribadian yang ia punya.

"Ck, beneran nggak dikasih apa-apa, kocak! Emang lo berharap gue dikasih apa? Seperangkat alat sholat?" Kenzie menjawab sambil berusaha duduk. Tak tega juga dengan raut khawatir sang Kakak.

Hingga saat anak itu benar-benar duduk, Rifky langsung menarik tubuhnya masuk dalam dekapan. Dan dalam hitungan detik, isakan pun terdengar. Kenzie yang menyadari kesedihan dan Kakak pun ikut membalas pelukan seraya memberi usapan. Ah, payah. Padahal yang divonis dia, kenapa yang terlihat lebih hancur malah Kakaknya?

“Kalem, Bang. Gue nggak bakal mati secepet itu.”

Spontan Rifky terlalu cepat, membuat Kenzie merintih kecil oleh pukulan yang laki-laki itu beri.

“Buset, udah tau gue sakit aja lo masih KDRT!”

“Nggak usah bahas mati, anjing.”

"Kenapa? Toh alasan lo nangis karena takut gue mati, kan?" Kenzie menghela napas ketika mendengar isakan Rifky malah semakin menjadi. “Ya elah, Bang. Masih hidup loh, gue ini. Jangan lebay, ah. Taehyung nggak suka. Berasa mau meninggal jadinya.”

“Maafin gue, Dek ....”

“Lebaran masih jauh, ditabung aja maafnya.”

Meski begitu, Kenzie masih belum berniat mengurai pelukan. Turut mengiringi kesedihan sang Kakak dengan getaran aneh di dada. Sejujurnya, Kenzie juga dilanda rasa takut. Kenzie takut mati, Kenzie takut dengan kemungkinan buruk yang akan dihadapi, Kenzie takut, semua yang ada di dalam kepalanya adalah rasa takut.

“Kita berobat, gue janj—”

“Pintu nggak ditutup, kunci nempel di motor, jemuran nggak diangkat, dipanggil nggak ada yang nyaut. Janjian budek apa gimana?”

Kenzie yang kebetulan menghadap pintu reflek mengurai pelukan, menghapus air mata yang tak sengaja terjatuh. Sedang Rifky memilih menunduk, melanjutkan tangisan dalam diam.

"Kenapa nangis? Kepala lo sakit lagi?" 

Tanpa aba-aba, Elzio lantas mendekati Kenzie untuk memastikan suhu tubuh anak itu. Matanya bergerak liar, meneliti dengan seksama rona pucat yang menghiasi wajah tirusnya. Bayang-bayang saat Kenzie pingsan masih terekam apik di kepala, menimbulkan gusar.

“Kaga, ini tadi Bang Rifky curhat masalah kuliah, jadi Keikut sedih, bejir, Bang.”

Kini fokus Elzio beralih pada eksistensi si tengah. Tanpa sadar, tangannya spontan menyentuh pundak anak itu. “Ngapa lo? Masalah apa?”

Namun, bukannya menjawab dengan suara, yang ditanya malah melempar kertas yang sempat terjatuh di selebah ke pangkuan si sulung.

"Demi apapun, gue benci banget sama alur hidup keluarga kita, Bang ...."
 

— Kenzie —

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Kenzie
Selanjutnya 2. Hari Buruk Part Dua
2
0
Udah minum obat?  Boro-boro, baru juga bangun. Kenzie memijit pelipis kala pening kembali bertamu.  Sambil membantu Kenzie meredakan sakitnya dengan pijatan, Elzio berkata, Nggak usah sekolah, nanti biar suruh Rifky bikin surat.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan