Pengantin Pengganti - Bab 3

3
0
Deskripsi

Akhirnya, tiba waktunya bagi Andin untuk pergi menemui calon suaminya. Selama dia tinggal di mansion itu, ia memiliki gadis pelayan yang akan menemani. 

 

post-image-656333663ca67.jpeg
Rajendra Mansion

 

Beberapa hari sebelum pernikahan, di kediaman Prabu Wira, Widuri mendapat panggilan yang berasal dari asisten Alano. Pria itu memberitahu kalau dia akan datang untuk menjemput mempelai wanita.

Sontak saja kabar itu sangat mengejutkan bagi Widuri. Menarik napas dalam-dalam demi membuat dirinya tenang, wanita itu kemudian menjawab setuju dan memastikan putrinya akan siap dibawa oleh asisten Alano tersebut.

Menutup telepon itu, Widuri termenung sejenak di tempat duduknya. Dia merasa aneh karena permintaan mendadak itu.

Tak mau berpikir banyak, Widuri pun pergi ke dapur. Ingin menemui Andin yang di jam segitu biasanya sedang sibuk melakukan pekerjaan rumahannya.

"Andin...!"

Gadis yang dicari Widuri kini tengah menyiram tanaman di rumah kaca milik peninggalan mendiang ibu kandungnya. Letaknya tak jauh dari dapur. Mendengar namanya di panggil, buru-buru ia meletakkan penyiram tanaman itu di tanah.

"Ya, Ma." sahutnya dengan langkah tergesa-gesa. Rok panjangnya tampak berkibar tatkala gadis itu berlari. Angin sepoi-sepoi pun menerbangkan helai rambut panjangnya yang sehitam arang.

Sesampainya Andin di hadapan ibu tirinya itu, ia berdiri dengan gugup.

"Apa kau sudah menyelesaikan pekerjaanmu?"

"Sudah,"

"Perwakilan dari keluarga Rajendra akan datang. Mereka memberitahu kalau kau akan di jemputnya seminggu sebelum pernikahan."

"Apa?" Terkejut dengan pemberitahuan mendadak itu semakin membuat Andin cemas. Bukannya masih sebulan lagi? Mengapa sekarang jadi dimajukan? Bagaimana ini? Aku belum siap!

"Kau kan tidak tuli, masa begitu saja tidak dengar?!" seru wanita itu dengan mata melotot.

"Cepat bersiap. Kemasi barang-barangmu juga. Jangan bawa pakaian bulukmu itu ke rumah Rajendra." katanya lagi mengingatkan sebelum kemudian pergi dari dapur.

Andin berdiri dengan lemas tatkala mendengar kalimat final dari ibu tirinya tersebut. Tanpa bisa membantah, ia pergi ke kamarnya yang ada di loteng. Mulai mengemasi barang-barang yang akan dibawanya.

Seorang pelayan datang ke kamarnya sambil membawa gaun selutut berlengan panjang. Gaun itu sangat cantik, berwarna salem dengan brokat di bagian dada dan cetakan bunga di pinggir keliman.

"Cepat mandi. Saya akan menunggu Anda selesai lalu merias wajah Anda." Kata pelayan itu dengan muka ketus. Bahkan meski identitas Andin setara dengan Emilia, para pelayan di rumah itu tidak hormat padanya.

Tidak ada fluktuasi apa pun di wajah cantik Andin saat pelayan berkata ketus dan menatap remeh padanya. Lagi pula hal seperti itu bukan lagi hal baru baginya. Bagimanapun, dia sudah terbiasa.

Ia senang karena akhirnya tidak lagi perlu dimandikan layaknya anak kecil. Dalam beberapa hari mendapatkan perawatan, kulitnya kembali bercahaya, lembut saat disentuh dan senantiasa wangi. Meski bekas luka belum sepenuhnya pudar, tapi itu lebih baik daripada dirinya di masa lalu.

Entah dia harus merasa bersyukur atas perkawinan ini atau tidak, karena telah mengubah sebagian besar hidupnya. Namun saat dia mengingat laki-laki yang akan menjadi suaminya, perasaan takut kembali muncul ke permukaan.

Siang hari itu, mobil sedan berwarna hitam tiba di pekarangan rumah keluarga Prabu Wira. Seorang pria berusia sekitar tiga puluhan keluar dari mobil dengan memakai setelan formal, kedua tangannya terbungkus sarung tangan berwarna putih.

"Selamat datang, Tuan Nakula. Senang akhirnya Anda dapat berkunjung ke rumah kami." Widuri menyambut pria tampan itu dengan sangat ramah. Mungkin sadar betapa pentingnya sosok pria di depannya itu, yang membuat dia berubah sangat sopan padanya.

"Suatu kehormatan bagi saya bisa bertemu dengan Anda, Nyonya Widuri." balas pria itu sama sopannya.

Widuri mempersilahkan Nakula masuk. Seorang pelayan datang membawakan teh untuk pria tersebut.

"Saya tidak akan tinggal lama. Apakah putri Anda sudah siap dibawa pergi?"

Hanya berlalu beberapa menit saja, bahkan teh di atas meja belum disentuhnya namun pria itu sudah tergesa ingin pergi.

Widuri mempertahankan senyum sopannya meski di dalam hati telah mengutuk habis-habisan Nakula karena terlalu tak sabaran. Untung saja bukan putri tercintanya yang dibawa pergi oleh pria ini, atau kalau tidak mungkin dia tak akan tahan membiarkan Emilia dibawa pergi darinya secara mendadak seperti itu.

"Anda terlalu terburu-buru."

"Maaf atas ketidaksopanan saya barusan. Hanya saja, saya menuruti perintah dari tuan muda. Pesawat kami telah siap di tempat untuk membawa nona ke mansion." Nakula menjelaskan secara singkat alasan ketergesaannya.

Fakta ini pun telah diketahui oleh Widuri juga. Bahwa setelah pernikahan berhasil dilakukan, mempelai wanita akan di bawa ke kediaman Rajendra yang ada di di luar pulau.

Dia sudah dapat membayangkan, bagaimana kira-kira tempat itu. Terbelakang, jauh dari perkotaan, tidak ada mal, tidak bisa shopping... ugh, membayangkan saja membuat dia merinding. Lagi-lagi untung bukan Emilia yang dibawa.

"Panggil dia turun." Perintah Widuri pada pelayan.

Tak lama kemudian, Andin turun membawa tas kecil dan koper sedang yang dibawa pelayan, berisikan pakaian serta barang-barangnya.

Melihat turunnya Andin, Nakula langsung berdiri. Ia lantas berpamitan pada Widuri, dengan sikap sopan menyapa Andin, membantu membawakan tas jinjing di tangan calon istri tuannya itu menuju ke mobil.

Di teras, Andin menatap sedih rumah megah yang telah lama di tinggalinya. Bahkan di saat terakhir pun, dia tidak di izinkan untuk menemui ayahnya.

"Kau bisa menemui ayahmu nanti setelah resmi menjadi istrinya."

Adalah ucapan Widuri saat Andin memohon untuk bisa dipertemukan dengan Prabu Wira sebelum dia pergi namun berakhir gagal.

Sebagai putrinya, dia ingin mengucapkan selamat tinggal pada sang ayah tapi yang didapatinya hanyalah penolakan kejam serta ancaman tak ada habisnya. Meski sakit hati, Andin hanya bisa menggertakkan gigi menerima kenyataan kejam itu lagi.

"Nona, silakan masuk mobil. Kita harus pergi sekarang." Nakula mengingatkan di samping pintu mobil yang terbuka.

Tak rela, Andin menundukkan kepalanya dengan sedih. Sepasang matanya yang berkaca-kaca tak luput dari perhatian Nakula ketika gadis itu berbalik. Seolah tak melihat apa pun, Nakula tetap mempertahankan fasad tenang serta tak goyahnya.

Di lantai dua, Emilia berdiri mengamati seluruh kejadian dengan menyembunyikan diri agar tidak terlihat oleh orang-orang di teras. Tatapan sedih dan tidak rela Andin barusan membuat hatinya berbunga-bunga. Untunglah keputusannya itu tepat dilakukan. Atau kalau tidak, dia mungkin dipenuhi penyesalan tak ada habisnya.

Sampai mobil yang membawa Andin pergi, barulah Emilia berani menampakkan diri. Gadis anggun itu berdiri di balkon kamarnya. Dengan senyum lebar, ia menarik napas dalam-dalam, menikmati udara segar sebuah kebebasan.

"Akhirnya, aku tidak perlu terikat lagi dengan perjodohan konyol itu." ungkapnya dengan raut bahagia. Memikirkan bahwa dirinya bebas sekarang, ia bisa sepenuhnya memfokuskan tujuannya untuk merayu pria yang dikaguminya.

Ia jadi tak sabar untuk bisa bertemu dengan pria itu lagi. Terakhir kali, karena tak ada waktu dan keadaan tak memungkinkan untuk saling berkenalan, ia hanya bisa menatap punggung pria tampan itu dari kejauhan. Nanti, apabila mereka bertemu kembali, ia berjanji tak akan menyia-nyiakan kesempatan itu lagi.

"Aku harus bisa mendapatkannya. Tak peduli apa pun caranya, dia harus jadi milikku!"

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Epilog 1 - Drama Keluarga
2
0
Spoiler Andin! Maa... Maa....Mulut Andin terbuka lebar mengeja panggilan untuknya agar Askara dapat mengikuti. Bayi mungil yang baru belajar merangkak itu belum bisa memanggil nama Andin dengan sebutan mama dan justru malah menyebut papa lebih dulu ketimbang dia. Kata pertama emasnya malah ditujukan untuk ayahnya.Andin yang merasa cemburu berusaha keras mengajarkan putranya setiap hari. Dia yang mengandung, dia juga yang melahirkan, tapi kenapa malah Al yang disebut pertama kali oleh putranya. Sebagai ibu, dia tidak terima!Paapaa!Maamaaa.... Sekali lagi, Andin berusaha. Dipegangnya pipi gembul Askara, dan mulutnya kembali mengeja panggilan mama agar diikuti.Paaa....Arghhh, ya Tuhan... Maamaaa... Bilang, mamaaa....Askara tergelak, melihat wajah ibunya berada dekat dengan wajahnya. Ia mencondongkan wajah penuh liurnya ke depan, mulut mungilnya terbuka lebar. 
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan