
Lagi-lagi Amel dikhianati oleh sahabatnya sendiri. Dan kali ini pelakunya adalah teman satu kantor yang sudah sangat ia percayai, Monica.
Lantas bagaimana kelanjutan kisahnya?
Sudah sekitar lima bulan Amel resmi menjadi pengangguran, tanpa sedikit pun niat untuk mencari pekerjaan baru. Yang dilakukannya selama ini hanya duduk termenung di rumah sahabat baiknya, Rina.
Ia sudah tak peduli mau dianggap sebagai benalu atau sampah oleh Rina. Yang ada di pikirannya saat ini hanyalah, Monica dan Gavrel.
Padahal waktu sudah berlalu, namun sampai saat ini Amel masih belum bisa move on dari pria yang sekarang ini menjadi tunangan Monica.
Jangan tanya ia tahu dari mana. Pasalnya berita pertunangan mereka tersebar luas di sosial media dan televisi. Berita tentang mereka menjadi trending topik di mana saja.
Amel menghela napas lelah. Ia merasa benar-benar payah. Dua kali ia harus merasakan kehilangan. Dan penyebabnya adalah orang kepercayaannya sendiri. Itu benar-benar menyakiti hatinya.
"Mel, aku berangkat kerja dulu yo. Kamu jangan lupa sarapan. Sedikit juga gapapa, sing penting keisi perutnya," pamit Rina kepada Amel yang masih sibuk melamun di ranjangnya.
Amel mendongakkan wajah menatap Rina sendu, "Aku mau mati aja rasanya."
Rina mendengus seraya mengibaskan tangannya merasa kesal dengan sikap Amel yang terlalu kekanak-kanakan. "Hush, gak boleh gitu. Masih di kasih kesempatan buat hidup yo jangan disia-siain."
Amel menghela napas kemudian mengangguk, ia pasrah. Ia benar-benar merasa lelah. Merasa hidup tak berdaya di ambang batas ketidakwarasan, atas cinta yang tak diinginkannya.
***
Sepeninggalan Rina, Amel hanya diam. Enggan beranjak dari ranjang kesayangannya. Beberapa kali ia menatap ponselnya yang tergeletak di atas nakas. Perasaan ingin mencari tahu kabar terbaru tentang Monica dan Gavrel begitu membebani hati dan pikirannya.
Kalau ada Rina di sampingnya, pasti perempuan kelahiran 1997 itu akan langsung merebut ponselnya dan memarahinya habis-habisan.
Amel bahkan masih inget perkataan Rina dengan jelas.
"Kamu iki aneh, Mel. Udah tahu bakal sakit kalo masih suka stalkingin mereka. Tapi masih juga dilakuin. Mending kamu cari kerja atau kamu lakuin hal-hal yang bermanfaat. Jadi ga bakal kepikiran sama mereka."
Amel mengacak-acak rambutnya merasa frustasi. Kenapa hanya karena cinta dirinya jadi depresi begini. Sungguh memalukan dan membuatnya muak.
Rina mungkin benar, seharusnya ia move on. Setidaknya Amel tidak menghancurkan dirinya sendiri karena orang lain yang bahkan tidak pernah memikirkannya sama sekali. Kenapa ia begitu bodoh, ya?
Amel bangkit dari ranjang dan menatap pantulan dirinya di depan cermin. Tubuhnya yang dulu dibanggakannya kini terlihat begitu menyedihkan. Kurus kering tinggal tulang. Wajah pucat.
Amel tertawa miris, ia benar-benar mirip seperti zombie. Hal itu membuat amarah di dalam dirinya meledak.
Tidak, Amel harus sukses. Ia harus bisa membuktikan kepada orang yang telah mengkhianatinya kalau ia bisa. Ia pasti bisa!
🦋🦋🦋
Amel keluar dari kamar mandi dengan wajah yang lebih segar. Meski tidak banyak berubah namun Amel tahu semangat di dalam dirinya membara dan itu sangat terasa.
Kini, tekad Amel sudah bulat. Dirinya ingin sukses. Ia tidak akan lagi peduli pada cinta. Karena saat ini keinginan nya hanya satu, hidup bahagia bersama teman baiknya. Ia akan menjadi wanita karir yang sukses.
Sebab Amel tahu, ratu tidak butuh raja. Tetapi raja lah yang butuh ratu.
"Amel, aku pulang." Amel menoleh saat pintu kamar terbuka dan menampakkan Rina yang masih berpenampilan sama seperti ketika ia berangkat kerja.
Sesaat Rina mematung memandang Amel layaknya hantu. Entah itu mimpi atau bukan tetapi air mata Rina menetes begitu saja. Sebuah keajaiban bagi Rina melihat Amel bangun untuk mandi dan membersihkan dirinya.
"Iki beneran kamu, Mel?" tanya Rina tidak percaya.
Amel tersenyum tipis, bibir nya masih pucat namun ia yakin kali ini pun Rina tahu ia sudah tidak selemah dulu.
"Benar yang kamu bilang, Rin. Aku gak boleh gini terus. Sekarang aku sadar cinta itu gak penting. Lagipula aku lahir bukan untuk cinta. Jadi kenapa harus menangis untuk hal gak berguna kayak gitu?"
Rina menutup mulutnya tidak percaya. Ia merasa turut bahagia melihat sahabat nya sudah berubah.
"Amel!" Rina berlari dan memeluk Amel dengan erat. Sejujurnya saat pulang tadi Rina ingin berbicara serius mengenai masalahnya. Namun ia urungkan karena melihat Amel sudah bertekad untuk berubah.
Amel membalas pelukan Rina dengan erat. Ia sangat berterima kasih kepada Rina karena selama ini sudah banyak membantu nya. Dan kini Amel tak akan mengecewakan Rina lagi.
"Tumben kamu pulang cepat?" tanya Amel setelah melepas pelukannya.
Rina menatap Amel ragu. "Aku pulang sebentar doang kok. Abis ini mau balik lagi. Ada yang ketinggalan," kata Rina seraya menjauh dari Amel.
Amel mengernyitkan dahinya bingung, "Apa yang ketinggalan emang nya?"
"Dokumen yang aku bawa pulang. Kemaren udah aku kerjain tapi aku lupa bawa. Dan hari ini bos minta dokumen itu karena ada rapat penting sama kliennya. Jadi aku buru-buru pulang, mumpung masih jam makan siang," kata Rina seraya membuka meja di sebelah ranjang nya.
Amel mengangguk seraya mengusap rambutnya yang masih setengah basah dengan handuk. "Oh iya, di tempat kerja mu ada lowongan lagi gak? Apa yang kemaren itu udah ada yang isi?"
"Lowongan yang mana? Aku lupa, Mel."
Amel menepuk keningnya, ia baru ingat jika Rina seorang yang pelupa. "Itu loh lowongan office girl."
"Hah, yang benar aja kamu mau sama pekerjaan kayak gitu?" tanya Rina yang merasa shock.
Amel mengangguk, "Emang salah? Lagipula kan kita bisa berangkat kerja bareng, terus bisa pulang bareng juga. Lebih enak daripada aku cari kerjaan, kan belum tentu langsung keterima."
Rina menatap Amel sebentar kemudian mengangguk. "Yaudah kalo kamu maunya gitu. Sekarang aja berangkat ke kantor bareng aku. Tapi aku ada satu permintaan."
Amel bersorak riang kemudian bergegas mengganti pakaian. "Gampang, apapun permintaan mu pasti ku turutin asal bukan hal yang susah."
Rina menghela napas melihat Amel. Dalam hati ia berharap kerja sama antara bosnya dengan kliennya gagal. Agar ia dan Amel bisa bekerja di sana dengan tenang.
🦋🦋🦋
Amel telah rapih dengan kemeja putih dan rok hitam selutut miliknya. Ia keluar dari kamar mandi dengan senyum yang mengembang.
Melihat hal itu, Rina yang sejak tadi duduk di ranjang memperhatikan Amel pun ikut tersenyum.
"Kamu mau ngelamar jadi office girl tapi dandananmu kayak mau jadi pegawai kantoran aja," ujar Rina sambil terkekeh pelan.
Amel tertawa dari balik cermin, ia tak membantah perkataan Rina yang memang ada benarnya. Toh selama ini ia memang selalu bekerja sebagai pegawai kantoran, dan ini adalah pertama kali dalam hidupnya yang indah, ia memutuskan untuk menjadi seorang office girl.
"Aku gak ada pakaian lain, lagian kan selama ini aku emang kerja jadi pegawai, wajar dong kalo bajuku kayak gini semua. Nanti juga kalo aku udah keterima jadi office girl bakal dapet seragam dari kantor," kata Amel sembari mengoles bibirnya dengan pelembab bibir milik Rina yang ada di atas meja.
Rina bangkit dari ranjang dan menghampiri Amel. "Mel, kamu iki cantik loh, masa mau jadi office girl? Beneran kamu mau ngelamar jadi office girl di kantor aku? Aku bisa bantu kamu cari lowongan pekerjaan di perusahaan lain, loh."
Amel memutar balik tubuhnya agar ia bisa menatap kedua bola mata kecokelatan milik Rina, "Kan aku tadi udah bilang, Rin. Aku mau kerja di tempat kamu biar kita bisa bareng terus. Dan lagi, aku males harus nyari lowongan pekerjaan lain, udah lima bulan aku jadi pengangguran, aku gamau makin lama jadi pengangguran."
Rina baru saja hendak membalas perkataan Amel saat gadis itu kembali berbicara.
"Pekerjaan jadi office girl juga gak buruk kok, itu juga termasuk pekerjaan yang mudah walau bakal capek banget," kata Amel sembari tersenyum tipis.
Dalam hati, Amel tahu Rina khawatir, ditambah lagi belakangan ini kondisi kesehatannya memburuk. Amel bahkan harus rutin mengonsumsi vitamin dan obat penambah darah karena ia terkena anemia.
Wajar saja jika Rina terus membujuk Amel untuk mencari pekerjaan lain yang layak dan mudah untuknya. Karena Amel tahu Rina sangat menyayangi nya. Sebab sejak kecil, mereka memang telah bersama. Terutama setelah kematian kedua orang tua Rina, Amel lah yang selalu ada untuk gadis itu.
"Yaudah yuk, aku takut telat. Soalnya aku gak bawa HP, ketinggalan di kantor, takutnya bosku nyariin dan aku gatau," kata Rina sembari menggandeng tangan Amel untuk mengikutinya.
🦋🦋🦋
Amel dan Rina tiba di perusahaan yang mereka tuju setelah menempuh waktu 10 menit. Jarak antara perusahaan tempat Rina bekerja dengan apartemen miliknya memang tidak terlalu jauh. Hanya butuh waktu sekitar 8 menit untuk sampai di sana. Tak heran jika Rina suka sekali bolak-balik dari apartemen ke perusahaan untuk mengambil barang ataupun berkas yang tertinggal.
"Mel, aku langsung ke atas ya," pamit Rina kepada Amel yang hanya dibalas anggukan kepala oleh Amel.
Sepeninggalan Rina, Amel langsung bergegas menuju meja resepsionis untuk memberitahu tujuannya datang ke sana.
"Semoga aja aku keterima, biar bisa kerja bareng sama Rina. Semangat Amel!" ujar Amel berusaha menyemangati dirinya sendiri.
🦋🦋🦋
Amel yang tengah duduk seorang diri di kantin perusahaan menatap layar ponselnya dengan jengah. Kata Rina tadi dirinya akan datang sebentar lagi, tapi sudah 10 menit ia menunggu namun tak ada tanda-tanda kedatangan gadis itu.
"Rina kemana sih lama banget sumpah. Aku udah abis 2 gelas kopi loh ini. Pesen makan aja apa ya kalo dia masih lama?" ujar Amel kepada dirinya sendiri.
Saat Amel akan memesan makanan, tak sengaja bola matanya bertubrukan dengan mata pria yang ia rindukan. Mata biru laut yang mampu membuat Amel tersesat itu masih sangat indah bila dipandang. Mata yang membuat Amel jatuh cinta pada pandangan pertama.
"Amel!" Tepukan di pundak Amel diikuti panggilan dari suara yang sangat dikenalnya membuat Amel menoleh.
Rina, sahabat baik Amel menatap Amel dengan pandangan bingung.
"Eh mukamu kenapa kayak gitu? Kamu marah ya sama aku karena aku lama datengnya?" tanya Rina yang tak dihiraukan oleh Amel.
Amel bangkit dari duduknya dan mencari ke tempat di mana tadi ia melihat pria pujaan nya. Namun nihil, tak ada pria itu di sana.
"Mel, kamu iki kenapa? Nyari siapa?" tanya Rina lagi.
Amel menatap Rina sekilas lalu menggeleng pelan. Dalam hati Amel berkata bahwa tadi hanyalah halusinasinya saja. Ia tak benar-benar melihat pria itu. Mana mungkin pria itu ada di sini. Bukankah dia tengah berlibur di Perancis sehabis bertunangan dengan Monica?
"Yaudah yuk pulang. Kamu udah makan belum? Tadi aku dapet jatah makanan dari teman kantorku. Dia ngasih oleh-oleh sama makanan bungkus," kata Rina seraya mengangkat paperbag berukuran sedang yang diberikan oleh teman kantornya itu.
"Yaudah, yuk."
🦋🦋🦋
Amel merintih saat pergelangan tangannya tertusuk oleh sesuatu yang kasar dan tajam. Ia langsung membuka mata dan melihat benda apakah yang menyentuh pergelangan tangannya itu.
"Astaga, apaan nih. Kok bisa ada di sini?" gumamnya merasa heran.
"Kamu udah bangun, Mel?" tanya Rina yang muncul tiba-tiba membuat Amel reflek menoleh ke sumber suara.
"Iya, tadi kena ini jadi kebangun," jelas Amel seraya mengangkat sebilah pisau yang terletak di bawah bantal nya.
"Ah itu, maaf aku lupa mindahin. Waktu itu aku ngerasa ada mata-mata yang ngawasin kita. Jadi aku jaga-jaga naro pisau di bawah bantal," jelas Rina seraya memandang Amel yang tampak terkejut mendengar ceritanya barusan.
Amel melongo, "Hah? Serius ada mata-mata? Kok aku gak sadar?"
Rina menghela napas berat, "Iya, kejadiannya juga belum lama kok. Makanya aku suka gak tega ninggalin kamu sendiri. Aku khawatir kamu kenapa-kenapa. Aku takut kamu diapa-apain sama stalker itu."
Amel menatap Rina kemudian memeluk sahabatnya itu dengan erat. "Maaf ya, aku banyak ngerepotin kamu. Sampe ada kejadian kayak gini aja aku gak tau."
Rina menggeleng kemudian membalas pelukan Amel dengan tak kalah eratnya. "Gapapa, saat itu kan kamu lagi sedih jadi aku ngerti."
Amel mengangguk kemudian melepaskan pelukannya. "Jadi sekarang masih ada mata-mata yang ngawasin kita itu? Apa mau pindah aja? Masalah uang nanti kita patungan, sekarang aku udah dapet kerjaan juga jadi gak perlu pake uang kamu semuanya."
"Eh, gak usah. Uang kamu di simpan aja. Sekarang aku kurang tahu sih, tapi ada baiknya jaga-jaga. Aku takut dia ngincer kamu, karena aku mergokin dia ngawasin kamu waktu kamu lagi sendirian di rumah."
Amel mengangguk pelan. Dalam hati ia menjadi sangat penasaran sebenarnya siapa orang yang mengawasinya itu? Apakah orang itu berniat buruk padanya?
Amel menghela napas berat. Kenapa ya, di saat dia sudah bertekad ingin hidup bebas tapi yang terjadi justru sebaliknya. Sekarang dirinya seperti tengah dalam bahaya karena diincar oleh stalker gila yang ia sendiri tidak tahu apa motifnya.
"Aku mau beli nasi goreng di sebrang jalan, kamu mau ikut atau nitip aja?" tanya Rina seraya bangkit dari ranjang milik Amel.
"Nitip aja deh. Aku pengen nonton drakor terbaru yang lagi booming itu. Kamu keluar sendirian gapapa kan?" jawab Amel seraya mengambil laptop miliknya yang ia taruh di atas nakas.
"Yaudah aku keluar dulu. Kalo ada apa-apa telpon aku aja ya," pamit Rina seraya berjalan keluar meninggalkan Amel yang mulai sibuk dengan rutinitas hariannya sebelum tidur.
To be continued
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
