
"Aku akan melindungimu, melakukan segalanya demi kepentinganmu, melayanimu, menuruti semua perintah yang kau berikan dengan syarat setiap Kali purnama, kau akan memberikan Satu hari nyawamu untuk kusesap dengan cara ~" Alardo tersenyum tipis. "Menyetubuhimu."
Prolog
Aku pernah terluka, dikhianati oleh dia yang kusayangi sepenuh hati.
Aku telah mati, pada detik yang sama saat seluruh keluargaku dibantai dengan keji.
Aku ingin menangis, tapi air mata tidak bisa tercurah lagi.
Lalu, kau datang memberiku perlindungan, kebahagiaan yang kuimpikan, serta rasa aman dan nyaman.
Cinta yang dulu hilang kembali hadir, ketidakpercayaan pada manusia tidak berlaku karena kau bukan salah satu dari mereka.
Namun, pada saat aku jatuh cinta, aku tahu itu tidak berlaku untukmu.
Ketika aku ingin bersamamu, aku sadar itu berkebalikan dengan keinginanmu.
Tapi, rasa ini tidak kusesali. Cinta ini akan kugenggam sampai mati.
Karena kau yang telah mengajariku menjaga. Keberadaanmu yang membuatku mulai berpikir… kalau dunia tidaklah sekejam yang aku pikirkan.
You & Me
Hitam, putih, biru.
Kontras warna yang tidak lagi memanjakan netra menjadi satu-satunya yang tertangkap saat kelopak terbuka. Ranjang berderit, gadis itu terjaga dari tidurnya, menyingkap selimut lalu menatap hampa kemeja putih longgar yang membalut tubuhnya.
Wajah cantik piasnya terlihat lebih berantakkan dari yang biasa. Keringat dingin mengucur deras dari pelipis dan punggungnya. Dia pun kembali terlempar ke dalam mimpi buruk. Sekali lagi, dia melihat kenangan yang tidak selayaknya terlalu lama dikenang.
Jendela kamar sudah terbuka, menampilkan langit biru yang bertolak belakang dengan suasana hatinya.
Dia menghela napas berat. Diam saja saat seseorang mengetuk pintu kamarnya. Sesaat kemudian, daun pintu besar terbuka, menampakkan seorang pria dewasa yang memberi senyuman ramah.
Pria itu menghampirinya kemudian mengulurkan tangan kanan yang langsung disambut Kirena tanpa banyak berkata. Gadis itu ditarik turun dari kasur mewahnya, berdiri dengan kedua kaki telanjang menapak marmer.
“Tadi saya sudah menyiapkan air hangat dan minyak zaitun untuk Nona mandi.” Pria itu terlihat santai saja melepas satu demi satu kancing kemeja sang nona.
Kirena pun tidak bicara. Dia hanya diam ketika kemeja putih itu lolos dari tubuhnya, membiarkan tubuh telanjangnya dilihat oleh kepala pelayan rumah. “Apa ada yang harus kulakukan?”
“Nona ada pertemuan dengan dewan direksi perusahaan,” jawab pria itu seraya membimbing Kirena berjalan menuju kamar mandi. Namanya Alardo Lucifer, pria bermata kelam dengan wajah aristokrat. Sudah sejak setengah tahun lalu dia menjadi kepala pelayan di kediaman Kleantha sekaligus menjadi seseorang yang selalu ada di sisi Kirena. Sosok yang tidak pernah satu kali pun mengkhianati Kirena walau sesekali memang mempermainkan gadis itu.
Kirena memang tidak pernah bisa percaya pada siapa pun lagi.
Tidak setelah seluruh anggota keluarganya dibantai habis oleh mantan kepala pelayannya yang saat ini menjadi buronan. Sosok yang sudah dia anggap ayah kandung sendiri. Pria dewasa yang diperlakukan papanya dengan layak seperti saudara. Namun pada akhirnya, pria itu mengkhianati keluarganya dan melakukan tindakan keji hanya demi mengambil alih seluruh harta keluarga Kleantha.
Sementara itu, Kirena menjadi satu-satunya orang yang berhasil melarikan diri. Satu-satunya yang berhasil selamat di antara puluhan pelayan, dua kakak perempuan, dan kedua orangtua yang dibunuh dengan sadis.
Darah bergelimang di mana-mana, menyerbakkan bau amis yang menuai mual setiap kali Kirena tidak sengaja mengingatnya.
Dalam pelarian, Kirena terseok-seok menapaki jalan sempit demi menghindari kejaran pembunuh keji utusan si mantan kepala pelayan. Sosok mengerikan yang membunuh kedua kakaknya di depan mata Kirena.
Di tengah rinai hujan, Kirena terjatuh ke dalam bak sampah karena kehabisan tenaga.
Saat itu, seseorang menghampirinya, mengulurkan tangan padanya. Sosok itu tersenyum menawan dengan roman yang luar biasa cerah.
Kirena terpaku, samar-samar masih bisa melihat wajah rupawan yang menjanjikan kehangatan. Dia menawari Kirena payung, tapi dirinya sendiri tidak tersentuh hujan walau tanpa penghalang.
Kirena sama sekali tidak menolak saat pria itu menawarinya bantuan. Dan setelahnya, dia tidak sadarkan diri.
Ketika siuman, dia sudah berada di sebuah kamar mewah yang tidak dia ketahui. Tangis pilu langsung pecah begitu Kirena mengingat nasib keluarganya yang kini sudah tidak mungkin lagi berada di sisinya.
Pria itu lantas memperkenalkan diri sekaligus menunjukkan benang merah yang sudah mengikat mereka berdua. Kontrak mati yang telah Kirena setujui malam itu.
Dia mengaku bernama Alardo Lucifer, salah satu keturunan malaikat berdosa yang terusir dari surga dan kini menjadi raja iblis. Dia mengatakan akan membantu Kirena balas dendam, membunuh semua orang yang sudah terlibat dalam perampokan sekaligus pembunuhan seluruh anggota keluarga Kirena.
Kirena berdiri di depan cermin, menatap wajah menyedihkannya. Rasanya, hidup pun sudah sangat percuma. Namun, Alardo berdiri di belakangnya, tersenyum manis, menempelkan bibir lembutnya di telinga kanan Kirena.
“Aku akan melindungimu, menyingkirkan siapa pun yang berani menyakitimu, melayanimu, melakukan segalanya demi kebaikanmu. Tapi, dengan satu syarat…” Alardo Lucifer berbisik mesra di telinga Kirena Kleantha namun yang membuat tubuh mungil itu membeku adalah ketika tangan besar dengan kuku-kuku panjang mencengkeram kuat kedua pundaknya, “setiap kali purnama, kau akan membiarkan aku menyesap satu hari nyawamu dengan cara…”
Kirena kian membeku, “menyetubuhimu.”
***
“Menurutmu, apa yang salah dengan pria itu?” Kirena membaca dokumen yang diberikan Al sepuluh menit lalu. Saat ini, gadis yang usianya masih sembilan belas tahun itu duduk di balik meja kerja. Dia menoleh untuk menatap pria yang baru saja meletakkan cangkir teh di atas mejanya.
Pria yang kental dengan semua hal bernuansa hitam itu tersenyum tipis. “Maksud Nona, Mr. Roxi?”
“Tentu saja.”
“Jawaban apa yang Nona inginkan?” Al menyunggingkan senyum. Mata kelamnya masih saja menatap dalam netra nonanya.
Kirena paling kesal saat sang butler mengajaknya bermain kata. Pria itu tidak akan berhenti memojokkan sebelum dia mengucap kata yang paling dia haramkan: tolong.
“Berikan aku semua informasi yang kau tahu.”
“Saya... mengetahui segalanya.”
Kirena berdecak. Dia menghela napas berat. Al masih mempertahankan sorot mata hangatnya. Dia akan tetap menunggu sampai Kirena meminta tolong atau memberi perintah. Semakin banyak perintah yang didapat, semakin nikmat rasa detik-detik kehidupan yang akan dia sesap setiap purnama.
Semakin sakit juga detik demi detik yang Kirena alami setiap kali Alardo mengambil satu hari kehidupannya.
Karena itu, Kirena sebisa mungkin tidak memberi perintah ataupun meminta tolong jika tidak terlalu terdesak. Dia tidak ingin merasakan penderitaan yang jauh menyakitkan akibat arogansi setinggi langit pelayannya.
“Lupakan. Aku akan cari tahu sendiri.” Kirena mendengus. Gadis itu mencibir kesal saat pelayannya hanya meringis. Dia kembali membaca materi meeting yang akan dipresentasikan para petinggi perusahaan lima belas menit lagi.
“Sepertinya tadi malam saya terlalu kasar.” Sesekali, Al memang akan bersikap demikian. Saat masternya sengaja menghindari perdebatan, dia justru mencari titik kelemahan. Dua tangan besarnya menyentuh leher Kirena dari belakang, mengelusnya lembut. “Ada lebam biru tua di leher belakang Nona.”
“Abaikan saja.”
“Nona yakin tidak mau saya menghilangkannya?” Al merunduk, menyejajarkan kepalanya dengan sisi kanan kepala gadis pemilik netra cokelat itu. Senyum menggoda terukir di bibirnya. “Kalau mereka lihat, Nona akan kembali dicibir.”
“Aku akan mendapatkan lebam yang lebih parah lagi jika terus memerintahmu.” Gadis itu masih keras kepala, tersenyum mencemooh. Dengan satu tarikan, kain yang mengikat rambut panjangnya terlepas, mengurai rambut cokelat bergelombangnya. “Seperti ini sudah tidak terlihat lagi.”
Al kembali menegakkan tubuhnya. Dia berkedip sekali kemudian terkekeh dengan punggung tangan menutup bibir. Iris kelamnya memaku Kirena beberapa detik.
“Akan tetap terlihat, jika saya…” lidahnya terjulur, melembapkan bibir bawahnya, Kirena hanya mendelik sambil tetap waspada, “menyingkap rambut Nona di depan mereka semua.”
“Jangan macam-macam!”
“Apa itu perintah?”
“Kau benar-benar menyebalkan!”
***
“Anda yakin melakukan ini, My Lord?”
Begitu sampai di rumah dan Kirena masuk ke dalam kamar, seseorang menyambut hormat kedatangan Alardo. Orang itu berdiri dan membungkuk singkat, mengagungkan seseorang yang sudah membuat dia dan dua temannya dapat tinggal di tempat ini.
Berhadapan di dapur bersih dengan salah satu orang kepercayaannya, Al mengabaikan dan berjalan melewatinya. Dia membuka pintu lemari es lalu mengeluarkan bahan-bahan mentah untuk dirinya olah menjadi makanan lezat.
“Sampai saat ini saya masih tidak mengerti. Kenapa Anda sampai melakukan semuanya sendiri? Jika hanya untuk makan, tidak perlu melakukan ini pun Anda bisa selalu mendapatkan hidangan terlezat. Dengan mengandalkan kami, Anda pasti akan mendapat makanan yang layak.”
Tangan kanannya yang sedang memotong daging berhenti bergerak. Al menoleh lalu tersenyum ramah. Dia mengerti para bawahannya khawatir. Sebagai seorang pangeran, titisan dari Lucifer sang raja iblis, sudah selayaknya dia lebih menyibukkan diri dengan urusannya sendiri. Dan lagi, tidak lama lagi ayahnya akan turun takhta. Dia merupakan salah satu kandidat yang akan menggantikan ayahnya. Meski harus bersaing dengan dua saudaranya, Al merupakan kandidat terkuat.
Alardo terlahir sebagai empat bersaudara. Hanya saja, sampai kapan pun adik bungsunya tidak akan dijadikan kandidat sebagai raja. Adik bungsunya memiliki kelainan dan tidak dapat mengendalikan nafsu membunuh.
Dia… terlalu berbahaya, tidak pandang bulu menyerang semua orang yang ada di sekitarnya—di luar kriteria.
Membahas soal penobatannya sebagai raja, Alardo tidak terlihat serius bersaing dengan adik-adiknya. Sudah enam bulan ini, dia seolah sama sekali tidak ambil peduli. Dia justru mengikat kontrak mati untuk melindungi Kirena sampai gadis itu tidak bernapas lagi. Dia melakukan hal merepotkan, padahal sudah sangat sibuk sebagai seorang putra mahkota.
Kirena menjalin kontrak dengannya sama sekali tidak memikirkan risiko tentang kehidupan yang diambil sedikit demi sedikit karena ditenggelamkan amarah. Mungkin, manusia merasa hidupnya akan baik-baik saja jika hanya kehilangan satu hari kehidupan mereka setiap kali purnama.
Namun, tidakkah mereka menyadari? Tidakkah mereka ingat? Kalau tidak ada seorang pun di antara mereka yang tahu pada usia berapa seharusnya mereka mati.
Kirena adalah salah satu gadis yang terjebak ilusi. Dia merasa seharusnya sejak awal dirinya sudah mati. Karena itu, dia tetap ingin menjalin kontrak mati meski sebelumnya Al sengaja memberitahukan semua hal padanya.
Dia juga tidak peduli ketika kerongkongannya terasa pedih saking nyaringnya dia berteriak menahan perih setiap kali Al mencumbunya di tengah purnama. Menyeretnya dalam kubangan dosa. Memberikan satu hari kehidupannya yang direnggut dengan cara menyiksa.
“Aku lebih suka ‘memakan’ sesuatu dengan jerih payahku sendiri.” Alardo kembali melanjutkan pekerjaannya. Nonanya akan mengeluh jika makan malam terlambat dia siapkan. “Lagi pula, kau tidak perlu mengkhawatirkan siapa yang akan menggantikan ayah nanti.”
Bibirnya mengukir senyum, tapi matanya masih saja berekspresi datar.
“Karena jelas, tidak ada yang lebih layak menjadi Lucifer XIX melebihi diriku.”
***
“Nona memiliki punggung yang sangat indah.”
Memandikan nonanya adalah kegiatan rutin Alardo. Dia membiarkan sang nona duduk di tengah kolam dengan dipenuhi mawar-mawar merah yang berfungsi sebagai aroma penenang. Kamar mandi yang luas dan mewah bernuansa putih dan kuning emas itu terletak di kamar Kirena. Segala kemewahan memang sejak awal dimilikinya.
Hanya saja, rumah ini memang bukan rumah miliknya. Kirena tidak pernah mau lagi melihat rumah tempat di mana dirinya dibesarkan. Sebab, halusinasi yang matanya ciptakan hanya sekumpulan mayat, genangan darah, juga siluet orang yang mengejar kemudian mencabik seluruh anggota keluarganya.
Dia adalah pria bermata merah yang menatapnya bengis saat membunuh kedua kakaknya di puncak tangga.
Rumah ini milik sosok rupawan yang kini ikut duduk basah-basahan di balik punggungnya.
Sang rupawan itu mengelus kulit putih bertato bintang enam dalam sebuah lingkaran dengan hati-hati. Tak lupa mengoleskan sabun ke setiap inci bagian tubuh Kirena secara perlahan. Sesekali Al akan mengecup pundak Kirena, membuka mulut dan memamerkan dua taring panjangnya, menancapkannya kemudian menyesap darah sang nona pelan-pelan tanpa mendapatkan protes.
Kirena sudah terbiasa, meski sesekali akan meringis menahan perih.
“Kau itu bukan vampir, kenapa kau senang sekali mengisap darah?” Akhirnya, setelah sekian lama saling mengenal, Kirena menyuarakan keheranannya. Dia tetap tidak menolak saat pria di belakangnya merengkuh pinggangnya, menarik dirinya ke dalam dekapan.
Dia tidak keberatan. Atau lebih tepatnya, tidak memiliki alasan untuk merasa keberatan.
“Saya hanya suka melihat Nona menderita.” Wah! Dia memang pria yang menyebalkan.
Kirena meluruskan pandangan, tidak tertarik berdebat ketika dia selalu kalah.
“Saya tidak suka meminum darah.” Al memberi jawaban lain, berharap kali ini mendapat balasan yang diharapkan. Dia tersenyum samar saat melihat Kirena kembali melirik. “Saya hanya senang saat aroma darah Nona ada di dalam mulut saya. Benar-benar manis. Bisa untuk sesaat menahan rasa lapar.”
“Kau makhluk aneh. Kenapa kau tidak makan roti atau daging saja?”
“Saya suka memakan daging Anda.”
“Diam!” Kirena mengibaskan tangan, mencipratkan air tepat ke wajah pria di belakangnya. Kedua pipinya bersemu merah. Alardo tertawa pelan. “Kau itu... benar-benar menyebalkan.”
Mereka sama-sama diam, terkurung dalam keheningan untuk beberapa lama. Kirena menyamankan diri dalam pelukan pelayannya. Dia mendongak, menatap langit-langit kamar mandi dengan sorot yang amat sendu.
“Aku berharap, semuanya akan segera berakhir.”
Diam, Al sama sekali tidak menyahut. Dia hanya meletakkan telapak tangan kanan di kening Kirena, menariknya, kemudian mengusapkan ke bawah, menutup kelopak mata Kirena. Bibirnya mendekat, menempel di telinga kanan sang nona kemudian mengukir senyum hangat.
“Nona tidak akan pernah bisa melupakan semua kegelapan yang pernah Nona lewati.” Al berbisik lirih. Kirena hanya menahan napas. Gadis itu tidak memiliki keberanian untuk membuka mata kembali. “Terutama… saat kegelapan terburuk itu sendiri selalu ada di sisi Nona.”
Kirena yang sudah menenggelamkan dirinya di kubangan dosa ini. Dia sendiri yang menawarkan jiwanya untuk iblis, asal iblis menyanggupi permintaannya untuk membalaskan dendamnya.
Kirena mengorbankan sisa hidupnya, tidak peduli meski setelah mati akan kekal di neraka. Selama dendamnya terpenuhi, selama dia bisa melihat Gren mati dengan cara keji, siksaan macam apa pun akan dia terima dengan senang hati.
Dia akan membalas dendam atas perilaku keji yang sudah mantan kepala pelayannya itu lakukan. Setelah semua kebaikan yang diberikan keluarga Kleantha, pria berengsek itu lancang membunuh keluarganya.
Dia harus mati di tangan Kirena.
***
Shadow
Ada bayangan yang selalu mengiringi langkahnya, melindunginya, dan mencekiknya pada satu waktu yang sama. Seseorang yang
selalu berjalan di belakangnya adalah satu-satunya makhluk ciptaan Tuhan yang paling dia percaya setelah seluruh keluarganya tiada. Dia yakini melebihi kepercayaannya terhadap diri sendiri.
Sudah lama Kirena tidak pernah lagi berdoa. Tuhan hanya memberinya kehidupan dengan sejuta penderitaan serta rasa sakit yang mencambuknya berulang-ulang sampai dia tidak sanggup berdiri lagi. Sejak dulu, dia terlalu dimanjakan dengan kebahagiaan yang semu sehingga saat seluruh anggota keluarganya direnggut paksa, dia tidak bisa menemukan lagi kesenangan dalam kehidupan. Dunia berwarnanya berubah menjadi dunia gelap yang didasari kematian.
Tapi, itu tidak masalah lagi untuknya. Seperti yang selalu dikatakan oleh Al padanya, “Hidup tidak perlu bahagia. Karena tanpa kebahagiaan itu pun, kau akan tetap bisa menjalani kehidupanmu.”
“My Princess, ini teh Anda.” Al meletakkan cangkir teh dengan pocinya di meja samping kiri kursi santai Kirena.
Di depan mereka, tersuguh pemandangan yang luar biasa indah. Sepanjang mata memandang, yang terlihat adalah taman bunga mawar merah. Bayangannya memantul dan bercahaya ketika malam dihiasi bulan sebelah.
Mantel bulu mahal menutupi tubuh bagian atas Kirena, sementara kakinya tertutup selimut tebal yang baru saja diambil oleh butler serba sempurnanya. “Jamie melamarku. Dia menginginkan aku menjadi istrinya. Bagaimana pendapatmu?” Kirena bertanya, manik cokelatnya bergulir menatap Al yang kini berdiri di sisinya, tegap dan memandang lurus ke depan.
Pria itu menoleh kemudian menunduk, tersenyum ramah.
“Tidak masalah selama dia tidak keberatan dengan persyaratan saya yang akan mencumbu Nona setiap purnama.”
“Bukan itu maksudku!” Kirena nyaris menjerit kesal. Dia tahu, Al hanya mempermainkannya, sengaja ingin membuat panas. Selalu saja seperti ini. Setiap kali Kirena bertanya, Al tidak pernah to the point menjawabnya. “Kau mengerti maksudku.”
“Memangnya apa maksud Nona?”
“Berhenti bermain-main. Kau ingin aku menamparmu lagi?” Kirena mendelik marah. Saat kesal, dia tidak akan segan memberi hukuman pada sang butler. Kirena pernah menampar, memukul, mencambuk, bahkan menusuk Al dengan pisau. Tapi, reaksi sosok itu benar-benar membuatnya sebal.
Al tidak pernah keberatan, apalagi melawan. Dia hanya akan meringis “aw” dengan ekspresi wajah yang datar. Dia tidak merasa kesakitan sekuat apa pun Kirena menyiksanya selama ini.
“Nona, walau senjata manusia tidak akan bisa membunuh saya, tetap saja saya merasa sakit setiap Nona pukul.”
“Karena itu, jangan terus-terusan mempermainkanku!” Kirena gerah. Dia sedang serius, kenapa pelayan kurang ajarnya dengan seenak jidat mengusilinya? Sering kali bersikap tidak ada hormat-hormatnya.
Yah, Kirena sebenarnya tahu, Alardo bukan seorang iblis biasa. Dia adalah seorang pangeran iblis yang berasal dari keluarga tertinggi sekaligus terkuat. Belum lagi, dia merupakan kandidat raja iblis, calon pemegang takhta Lucifer yang berikutnya. Dia sosok yang amat rupawan juga sempurna. Sikapnya hangat dan tajam pada waktu yang sama.
Kirena bahkan tidak mengerti, di antara ribuan iblis rendahan yang tetap saja memiliki kekuatan di batas luar nalar, kenapa yang menjalin kontrak mati dengannya justru pangeran iblis tertinggi itu sendiri? Sosok terkuat yang dapat membunuh manusia bahkan dalam satu kedipan saja.
Manusia tidak akan berdaya melawan kuasanya.
Lagi pula, Al itu terlalu banyak melakukan hal di luar kontrak dan kegiatan lain yang sebenarnya tidak diperlukan, termasuk tentang makanan yang dimintanya setiap purnama sejak awal pertemuan mereka.
Menurut gosip yang tidak sengaja Kirena dengar dari dua pelayan yang merupakan bawahan Al, seharusnya proses pemberian satu hari nyawa sang tuan kepada iblis cukup dengan bersentuhan bibir saja. Hanya dengan begitu, nyawa sang tuan akan otomatis terisap sendiri. Meski tetap, sang tuan merasakan penderitaan yang luar biasa menyakitkan.
Jadi, hubungan badan yang biasa Kirena dan Al lakukan memang tidak diperlukan. Itu murni semata-mata hanya untuk melampiaskan hawa nafsu si iblis saja. Tidak sampai di sana, Al itu memang sering seenaknya sendiri. Di luar hari purnama pun, bukan sekali dua kali dia merayu nonanya untuk melampiaskan berahinya.
Garis besarnya, Alardo Lucifer itu bajingan pervert yang memanfaatkan kepolosan Kirena untuk membuat gadis itu suka tidak suka mengikuti semua keinginannya. Sejak awal, memang bukan Kirena yang mengendalikan, tetapi dia yang dikendalikan. Yah, walau di luar purnama, mereka melakukannya tanpa rasa sakit sama sekali.
“Ah, Nona tidak perlu berpikir sampai merona begitu.” Al tersenyum sopan, membuat Kirena yang sejak tadi melamun tersentak. Ketahuan sedang melamun, wajahnya semakin memerah saja. “Kalau Nona mau, sekarang juga saya tidak keberatan melakukannya.”
“Jangan mengalihkan pembicaraan, kita sedang membahas Jamie!” Jantungnya berdegup tidak sesuai ritme, amat cepat sampai Kirena takut Al bisa mendengarnya. Kulitnya pun kini memerah karena panas. “Lamaran Jamie! Jamie!”
“Ah, ya, Sir Jamie, ya?” Al mengulang, berpangku tangan sambil mengelus dagu—sok berpikir. Kelereng kelamnya bergulir, menatap nonanya serius. “Bagaimana kalau kita memikirkannya setelah—”
“Bunuh dirimu sendiri! Ini perintah!”
Al tertawa merdu. Melihat wajah nonanya yang semakin merah padam, entah kenapa benar-benar lucu. Mempermainkan Kirena memang selalu menyenangkan. Hiburan manis untuknya.
Omong-omong, membunuh diri sendiri merupakan perintah terlarang. Manusia tidak memiliki kuasa sampai sejauh itu. Lagi pula, sejak awal mengikat kontrak, justru Kirena-lah yang akan mati. Selesai atau tidak selesai, gadis itu sudah terlanjur menggadaikan jiwanya pada iblis.
“Dia adalah utusan Sir Gren. Mantan kepala pelayan di kediaman Kleantha.”
Kirena tidak tampak terkejut saat Al mengatakannya. Sepertinya dia sudah mulai biasa.
Memang banyak orang yang mendekatinya. Mereka diutus oleh Gren Deobe, mantan kepala pelayan di rumahnya dulu dan pelaku tunggal tragedi mengerikan yang dialami keluarganya. Mereka mengincar tanda tangan juga separuh harta berlimpah keluarga Kleantha yang jatuh pada Kirena, setelah setengahnya mereka ambil dari kedua kakaknya secara paksa.
“Besok dia akan datang ke rumah ini.” Kirena meluruskan pandangan, menatap hampa mawar merah yang terlalu banyak, berkumpul seperti darah.
Luka yang masih basah, goresan yang tidak terobati, dan penderitaan yang akan membayanginya sampai mati. Semua kesakitan itu selalu membuatnya jera juga lelah. Terkadang, Kirena pun menginginkan mati.
“Dia pasti sudah menyiapkan kejutan besar untuk kita.”
“Tidak ada yang perlu Nona khawatirkan.” Al masih saja menyunggingkan senyum. Dia mengelus bahu sang nona, membungkuk kemudian menempelkan bibirnya di telinga Kirena. Dia berbisik, “Selama kontrak kita terjalin, tidak akan ada seorang pun yang bisa menyakiti Nona.”
Kirena memejamkan mata rapat saat lidah Al terjulur, menjilat lubang telinganya secara sensual. Kirena merintih pelan ketika pria itu menggigit cuping telinganya kemudian mengisapnya dalam-dalam. Namun, tidak sedikit pun Kirena meronta.
“Saya … akan melindungi Nona.”
***
“Anda datang dari perjalanan jauh, selamat datang!” Kirena menyambut ramah.
Gaun hitam membalut kulit pucatnya, menutupi tubuh ramping miliknya sampai ke mata kaki. Rambut cokelatnya digelung tinggi, memamerkan dua giwang berbandul berlian yang menghias telinganya.
Kalung permata menggantung apik di leher jenjangnya. Bahkan, dengan gaun dan tata rambut sesederhana itu pun Kirena terlihat cantik luar biasa.
Dia memang gadis yang memiliki kecantikan sempurna.
Pria yang diantar Vilt, salah satu pelayannya, berjalan mendekat dengan sopan menuju Kirena yang berdiri di tangga layaknya putri raja yang menyambut para tamunya. Tangannya terulur penuh hormat. Dikecupnya punggung tangan bersarung putih milik sang lady kemudian melepaskannya perlahan.
“Hati saya tersentuh melihat kecantikan seorang wanita yang melebihi batas wajar.” Jamie tersenyum lebar.
Kirena menarik tangan kanannya ke balik punggungnya, mengusap ke gaun mahalnya seolah jijik karena disentuh pria bermuka dua. Di sisinya, Al yang memang selalu mengekori ke mana pun dia pergi segera menutup mulut dengan punggung tangan, menahan tawa.
Tidak sopan, seperti biasa.
Dapat Al lihat Jamie pun menangkap gerak tangan Kirena dan cukup tersinggung karenanya. Tapi, pria itu memilih bungkam, sama sekali tidak menyuarakan rasa terhinanya.
“Sir Jamie terlalu memuji. Mari, pelayan saya sudah menyiapkan hidangan spesial.”
Kirena berjalan anggun melewati para tamu dengan dagu sedikit terangkat, menunjukkan perbedaan derajat.
Para tamu memperhatikan Kirena. Dia adalah sosok nona muda yang sampai detik ini masih menyimpan banyak misteri. Bagaimana bisa dia selamat dari cengkeraman maut yang hanya kecil kemungkinan bisa dihindarinya?
Sama sekali tidak terlihat jejak trauma dalam dirinya. Kirena melangkah percaya diri seolah tidak kehilangan satu pun hal berharga dalam hidupnya. Gadis itu memiliki topeng yang terpasang apik. Dididik oleh Al agar tidak menunjukkan sisi lemah di depan musuh.
“Jangan pernah minta dikasihani siapa pun karena belum tentu orang-orang mau berbelas kasih. Mereka hanya sekadar ingin tahu, setelah itu tidak mau peduli sama sekali.”
Di belakangnya, Al mengikuti dengan langkah tegap tapi sopan. Kukuh namun tetap sedikit merendahkan diri untuk menunjukkan bahwa di rumah ini dia hanya seorang kepala pelayan.
Di balik Kirena dan Al, Jamie tersenyum sinis, merasa terganggu dengan kesombongan Kirena, baik dari tingkah maupun nada bicaranya. Tetap membungkam mulut, dia mengikuti kedua orang di depannya menuju ruang makan.
Dekorasi emas berlian dan dinding bercat putih memanja sepanjang mata memandang. Ruangan luas yang hanya diisi satu meja makan mewah beserta kursi-kursi yang juga mewah membuat Jamie terperangah.
Dia tahu Kirena sangat kaya, tapi tidak menyangka gadis itu akan sekaya ini walau setengah hartanya sudah dicuri. Bahkan, Kirena sampai membuangbuang emas dan permata hanya untuk hiasan kaki meja dan kursi saja. Sementara itu, satu jendela besar terletak di sisi utara, menggunakan gorden tebal dan mahal berwarna putih dengan garis keemasan yang masing-masing sisinya diikat rapi.
Dekorasi kosen jendela pun dilapisi emas.
“Sungguh ruang makan yang menakjubkan.” Jamie memuji. Dia duduk di kursi berbantal beledu hitam yang terasa amat nyaman. Salah satu pelayan datang menghampirinya, membalikkan posisi piring untuknya.
“Berapa banyak yang Nona habiskan untuk dekorasi rumah saja? Tentunya, saya tahu ini bukan rumah tempat di mana Nona dibesarkan.”
Penekanan di ujung kalimat sama sekali tidak membuat raut sang Lady berubah.
Kirena tidak terlalu tahu caranya tersenyum. Wajahnya terlanjur datar dan meskipun bibirnya membuat sebuah lengkungan, senyuman itu justru terlihat sedikit menakutkan. Dia memiliki wajah yang cantik bak boneka. Sayangnya, masa lalu kelamnya sudah merenggut semua ekspresi manis dari wajahnya.
Hanya di depan Al dan saat mereka berdua saja, sesekali sikap aslinya yang sedikit manja keluar karena keusilan sang kepala pelayan.
“Oh, iya. Semenjak seluruh anggota keluarga saya dibunuh, saya tidak mau menempati kediaman itu lagi. Kalau saya memiliki banyak uang dan bisa mendapatkan rumah yang lebih bagus, kenapa saya harus tinggal di rumah suram dengan banyak setan bergentayangan?” Sorot matanya berubah lucu, tapi keangkuhan tersirat dari setiap kosakatanya yang meluncur merdu. Tidak lupa saat mengatakan “setan”, dia melirik Alardo yang hanya mengukir sebuah lengkungan tipis dengan bibir.
Jamie mengangkat sebelah alis, merasa sedikit heran karena sikap tenang gadis di depannya. Dia pikir setelah kejadian itu, Kirena akan mengalami trauma dan sedikit takut untuk membahas masa lalunya.
“Itu sangat menyedihkan, saya turut berduka cita.”
“Tidak perlu.” Bibir Kirena membentuk senyum. Kepalanya bergerak miring ke kanan. “Kalau mereka semua tidak mati, saya tidak akan sekaya ini.”
Jamie terkejut.
“Saya justru merasa lebih berduka karena Sir Jamie begitu mudah dibodohi. Bekerja untuk Gren Deobe dan mendekati saya karena berencana membunuh saya malam ini.” Kirena terkekeh, merasa kejadian ini amat lucu, apalagi saat wajah pria di depannya berubah pucat pasi.
Jamie pasti tidak menyangka Kirena sudah tahu rencananya. Pria itu terlalu mudah dibaca. Ekspresi wajahnya menggelikan juga memualkan.
Jamie mengucapkan berbagai kata persuasif untuk menjebak Kirena, bermaksud menenggelamkannya dalam fatamorgana. Tapi jangankan mengkhayal, Kirena merasa jijik hanya dengan berhadapan dengannya.
“Ap-apa maksud Nona?”
“Semua orang suruhanmu yang berjaga di luar sana sudah mati.” Kirena berkedip polos. Dia menoleh saat Al yang nyatanya tadi sempat hilang beberapa menit kini berjalan menghampirinya dengan tangan kanan berlumur darah.
Al mengambil tisu di samping piring nonanya kemudian membersihkan tangannya. Seraya menatap Jamie beberapa lama, Alardo tersenyum.
“Saya melihat dua puluh sampah busuk di luar karena itu saya membereskannya. Oh, iya, Sir, hati-hati dengan pisaunya.” Al berucap dan bersikap hormat. “Ba-bagaimana mungkin?” Jamie terkejut ketika seseorang berdiri di sisi kirinya, menuangkan wine ke gelasnya.
Ketika Jamie bergeser ke sisi lain dan nyaris terjatuh, seseorang terlebih dulu menahan tubuhnya. Jamie memekik saat Alardo juga ada di sisi kanannya.
Ada tiga?
“Anda mau tambah kue?”
“Bagaimana dengan teh?”
“Cuaca malam ini cukup terang, bagaimana kalau jalan-jalan di luar?”
Seolah bisa membelah diri, satu demi satu sosok Alardo bermunculan, mengerumuni tamu Kleantha. Kirena hanya bertopang dagu, mengulurkan sebelah tangan, membiarkan satu Alardo mengecup punggung tangannya. “Kau seperti melihat hantu saja, Sir Jamie,” sindir Kirena dengan senyum angkuh. “Tidak pernah dikerumuni banyak pria tampan?”
“Ka-kalian itu makhluk apa?” Jamie melotot syok. Putih matanya memerah. Tubuhnya berguncang hebat. Keringat dingin mengucur deras. Degup jantungnya menggila, berburu memompa darah. Sementara orang yang berada di hadapannya masih terlihat tenang, tersenyum ramah padanya seolah tidak melakukan apa-apa.
“Apa maksud Anda?” Suara Alardo menggema.
Dua puluh Alardo kini menatap Jamie dengan tatapan ramah. Dua dari mereka menyentuh bahu Jamie dan bertanya, “Anda baik-baik saja?”
“JANGAN SENTUH AKU!” Jamie menjerit histeris lalu menepis dua tangan di pundaknya. Dia menatap Kirena tajam dan menunjuknya. “Kau benar-benar wanita iblis!”
Jamie berdiri, menjerit melengking, dan kembali duduk di kursi. Kepalanya menunduk, menatap dua kakinya yang telanjang entah sejak kapan. Dua pisau menancap begitu dalam di sana, mengeluarkan banyak darah sehingga mengotori karpet yang menghiasi sepanjang meja makan.
“Ka-kakiku...”
“Saya sudah mengingatkan agar Sir Jamie lebih berhati-hati dengan pisau.” Al terlihat amat menyesal, sedangkan Jamie menjatuhkan diri ke lantai.
Jamie merangkak, berusaha mencapai pintu.
Kirena masih terlihat santai. Dia menyesap minumannya pelan, memperhatikan Jamie yang tampak luar biasa ketakutan. Satu Alardo berjalan di belakangnya, meninggalkan sembilan belas bayangan yang tetap diam. Derap langkahnya menggema, menambah suasana mencekam di antara mereka.
“Jangan bunuh aku!” Jamie berteriak histeris saat Al mengayunkan tangan dengan kuku-kuku yang bertambah panjang nyaris lima belas senti. Kuku-kuku hitam nan runcing itu si pemilik jilat dan matanya jadi kian berkilat.
“Lepaskan aku! Kumohon!”
Jamie menyesal karena sudah tergiur rayuan Gren Deobe. Kalau saja dia mendengarkan rumor yang beredar tentang orang yang memiliki niat buruk pada keturunan terakhir Kleantha maka akan menghilang tanpa jejak, dia tidak akan terjebak dalam keadaan semengerikan ini.
Dia pasti sedang duduk bersantai sambil menonton siaran televisi dan memakan camilan malam.
“Maafkan aku, maafkan aku!” Dia memohon, berbalik, kemudian berlutut saat Al menipiskan jarak di antara mereka.
Al mengulurkan tangannya kemudian membungkuk. Dia juga menyeringai lebar, memamerkan taring runcingnya yang kian memanjang.
Jamie semakin histeris ketakutan, terutama saat ujung-ujung kuku Al mencapai lehernya, menusuknya perlahan.
“Semoga bermimpi indah….” Al mengayunkan tangannya, memutus kepala tamu sang nona dalam satu entakan saja. Kepala itu pun terlempar lalu menggelinding jauh. Baru berhenti satu jengkal sebelum mencapai kaki Kirena.
Kirena yang sedang melahap kentang goreng menunduk, menatap potongan kepala itu dengan mata melotot. Delikan kesal dia lemparkan pada sang kepala pelayan yang masih asyik sendiri menggumamkan, “Sir Jamie.”
“Jangan sembarangan membuang sampah ke sekitarku. Kau mengganggu makan malamku!” Kirena mengomel.
Penampilan mengerikan sang pelayan kembali berubah normal. Dia berbalik dan tersenyum lebar, tapi menatap nonanya dengan sorot menyesal. “Maafkan saya, akan segera saya bereskan.”
“Kau ini memang menyebalkan.” Kirena mendengus. Dia menendang kepala di bawahnya sampai terlempar beberapa meter. Tidak ada rasa ngeri ketika pemandangan terburuk sudah pernah dia lihat sebelum ini. “Dasar iblis menyebalkan!” imbuhnya saat melirik tubuh bagian lain Jamie yang bersandar ke pintu jati, mengucurkan banyak darah yang mengotori lantai rumah.
“Segera bersihkan! Kau tahu aku sangat membenci sampah.”
“Anything for you, My Lady.”
Tidak ada yang berbeda dengan ekspresi wajah Kirena. Gadis itu sudah terlalu biasa melihat banyak kematian di sekitarnya. Dia juga sudah terlalu banyak membunuh, menyingkirkan manusia-manusia tidak tahu diri yang datang padanya untuk memberikan sendiri nyawa mereka.
Kirena mematikan nurani. Dia tidak akan membiarkan siapa pun menggerakkan hatinya, menyusup ke relung diri untuk mendapatkan kelemahannya. Meski lambat laun dia sendiri mulai menyadari… ada seseorang yang sudah menempati bagian terpenting dalam hatinya, mengisi kekosongan yang ada dalam dirinya.
***
Red Thread
Ikatan itu ... tidak pernah ada.
Cinta manusia dan makhluk tak kasatmata bukanlah sesuatu hal yang selayaknya dijaga.
Iblis akan tetap menjadi iblis selamanya. Menggoda, merayu, menjerumuskan setiap makhluk agar ikut bersama mereka hidup kekal di neraka. Tidak ada kebaikan dalam diri mereka. Setiap sikap yang mereka buat elok adalah bentuk kamuflase yang membutakan.
Cinta di mata mereka tidak pernah ada.
Tidak satu iblis pun yang beranak pinak didasari perasaan yang disebut kasih. Yang ada hanyalah nafsu, keserakahan, kesombongan, dan kekuatan. Api yang membentuk tubuh mereka sebagai bukti jika dalam semua sosok mereka tidak ada keindahan yang nyata.
Iblis tidak punya hati. Mereka tidak memiliki perasaan. Mereka tidak mungkin jatuh cinta. Tidak-akan-pernah.
Dan barang siapa pun yang berani melanggarnya…
“Buku apa yang sedang Nona baca?”
Kirena menoleh. Dia berkedip saat Al sudah berdiri di sisinya, tegap dan mengukir senyum hangat. Kirena yang sedang berada di tengah taman kembali menunduk, melanjutkan membaca buku dengan penulis anonim yang dia temukan di perpustakaan beberapa jam lalu. Judulnya cukup menarik perhatiannya, Makhluk Terkutuk, sungguh sangat pas untuk menggambarkan sosok yang kini menjadi butler pelindungnya.
Dan barang siapa pun yang berani melanggarnya…
“Duduk!” Kirena memberi perintah. Sejak tadi dia berdiri, menunggu Alardo mendekat. Dia ingin duduk di antara taman bunga, menghirup harumnya aroma mawar menjelang senja. Tetapi karena dia selalu membenci semua hal kotor, setiap kali dia akan membaca di tempat ini, dia akan menjadikan Al sebagai kursi.
“Haruskah saya melepas pakaian say—ahahahaha! Hari ini Nona bersemangat sekali!” Al tersenyum dengan punggung tangan menutup mulut. Dia bergerak gesit menghindari setiap lemparan buku dan beberapa pulpen dari sang nona yang mendelik galak.
Di depan Kirena, Al bergerak sedikit membungkuk, meminta maaf.
Dia pergi lalu kembali setelah memungut semua barang yang dilemparkan padanya, menyerahkan kembali pada nonanya. Sementara itu, Kirena bergeming. Manik cokelatnya masih saja nyalang memusuhi Alardo.
“Anything for you, My Lady.” Al bergerak maju beberapa langkah. Dia duduk bersila, siap menjadi kursi untuk Kirena.
Di pangkuan Alardo, Kirena menggerakkan sedikit lehernya sehingga pria beriris kelam di belakangnya mengerti. Al segera menyampingkan rambut panjang yang menghalau pandangan sang nona.
Tangan kekarnya memeluk punggung sang nona, membuat sang nona merasa nyaman. Al tersenyum tipis memperhatikan visual wajah Kirena dari samping. Bola mata cokelat yang menatap fokus pada buku bergerak dari satu sisi ke sisi yang lain.
Hidung mancung rampingnya mengembuskan napas teratur. Sesekali bibir tipisnya terbuka, mengembuskan wangi mint yang membuat Al bergairah.
“Mana yang terakhir kubaca tadi?” Kirena mengerutkan kening. Lupa, tadi dia sudah membaca sampai paragraf yang mana.
“Dan barang siapa pun yang berani melanggarnya…” Al mengingatkan, tapi Kirena sibuk mencari bagian yang dia lupakan. Al tetap menatap dalam sang nona. Pikirannya sulit diartikan.
Diperhatikan seperti itu tidak membuat Kirena tertarik untuk bertanya. Awalnya, dia selalu merasa risih setiap Al memandanginya dengan begitu dalam. Tapi lama-lama, dia terbiasa. Mungkin hal itu dilakukan untuk meningkatkan nafsu makan saja.
Yah, apa pun itu, kebaikan yang Al berikan semuanya hanya kesemuan semata. Tidak sedikit pun terbesit ketulusan dalam setiap tingkahnya. Kirena maklum, sejak awal memang itu kesepakatan mereka.
“Jadi, iblis itu tidak pernah jatuh cinta?”
“Iblis tidak memiliki perasaan serumit itu.” Al menjelaskan, dia mengecup pipi Kirena tanpa mendapatkan perlawanan. Dihirupnya aroma tubuh Kirena dalam-dalam lalu menelan ludah. “Kami hanya bergerak dilandasi nafsu. Kami tidak memiliki perasaan kasih. Kami... hanya punya obsesi, ambisi, dan hal-hal buruk lainnya.”
“Kalian benar-benar terkutuk.”
“Yah, setidaknya, kami bukan makhluk lemah yang takut mati.” Al menyindir.
Kirena meliriknya kesal. Pria itu masih sangat tenang. Beberapa lama mereka saling mengenal, tidak pernah sekali pun Kirena melihat Al berganti karakter ataupun marah. Dia adalah pria yang bahkan tetap bisa tersenyum ramah walau tangannya tengah menembus tubuh seseorang—mengambil jantungnya.
“Kami memiliki kekuatan, tidak seperti manusia-manusia lemah layaknya Nona.”
Mendebat Al saat pria itu ingin mengganggunya tidak akan memberikan hasil apa pun. Karena itu, Kirena pun tidak ambil peduli. Dia meluruskan pandangannya, menatap hamparan merah kekuning-kuningan yang tersuguh di depannya. Kirena berpikir beberapa lama.
“Jadi, tidak pernah ada iblis yang jatuh cinta?”
“Ada.” Al menampik karena setahunya, dulu memang ada iblis yang melenceng dari kodratnya. Kirena menoleh, menatap Al terkejut. “Dulu, ada satu iblis yang jatuh cinta pada manusia.”
“Lalu?”
“Dia mati.” Al tersenyum geli. Dia belum lahir saat itu, tapi cerita tersebut ada di buku perpustakaan kerajaan miliknya. Diceritakan juga oleh para iblis tua kepada para iblis muda agar tidak ada iblis lain yang mengalaminya. “Dia mati akibat kebodohannya sendiri.”
“Apa maksudmu?” Menutup buku, Kirena lebih menggeser duduknya agar mereka bisa saling menatap. Jarak yang amat dekat, bahkan embusan napasnya sampai di wajah rupawan butler-nya. Kirena sangat penasaran. “Kenapa dia mati?”
“Iblis tidak memiliki hati.” Al menjelaskan, “Saat mereka jatuh cinta, bagian tubuh mana yang bisa merasakannya?”
“Aku tidak mengerti.”
“Iblis bahkan tidak bisa jatuh cinta pada sesama iblis. Jadi, bagaimana caranya mereka bisa mencintai makhluk selemah manusia? Yang hidupnya benar-benar singkat, tidak seperti kami yang bisa mencapai ribuan tahun.” Al memiringkan kepala. “Nona, iblis yang jatuh cinta melanggar kodratnya. Mereka akan mati sia-sia, terbakar oleh perasaan mereka sendiri. Mereka akan mengakhiri kehidupan mereka karena tidak bisa melihat orang yang mereka cinta… mati.” Kirena terpaku.
“Berbeda dengan kalian manusia, iblis selalu memegang teguh janji. Kami tidak pernah mengingkari janji. Bagi kami, melakukan cara apa pun untuk memenuhi ambisi itu sudah biasa. Kami patuh pada seseorang yang derajatnya lebih tinggi dan hanya pada satu nama. Kami saling menyingkirkan.
Kami tahu panasnya api neraka sekalipun tercipta dari api. Tapi, sekalipun kami mengerti, kami tetap memegang teguh sumpah leluhur kami. Iblis tidak akan menderita sendiri. Para iblis akan menyeret manusia, makhluk lemah yang dikatakan paling sempurna, masuk ke dalam neraka. Sampai kiamat nanti, sampai bumi musnah tidak berbentuk lagi.” Al diam beberapa lama.
“Iblis tidak layak memiliki perasaan semewah cinta. Karena itu, ketika ada iblis yang berani melawan kodratnya, dia akan terusir, tidak memiliki golongan lagi. Dia tersiksa oleh perasaannya sendiri lalu hanya tinggal menunggu waktu beberapa saat saja sebelum... mati.”
“Ternyata menjadi iblis itu rumit sekali.” Kirena meringis seraya membuka kembali bukunya. Dia lanjut membaca hanya demi mendapatkan simpulan yang sama seperti yang sudah diringkas pelayannya beberapa menit lalu.
“Ah, tidak juga. Iblis bisa tidur dengan siapa pun yang mereka suka.”
“Dasar kau setan mesum! Apa yang kau pikirkan hanya selangkangan wanita saja?”
“Bisa dibilang, saya hanya memikirkan selangkangan Nona!” Al tertawa saat Kirena menghantamkan buku ke wajahnya. Pria itu sama sekali tidak merasa sakit. Dia pun tidak mengelak saat Kirena yang jengkel memukuli tubuhnya. Dia hanya diam, menerima hukuman, sampai nonanya merasa kelelahan dengan napas memburu diiringi delikan mata yang tajam.
“Aku benar-benar ingin membunuhmu,” desis Kirena galak.
Pelayannya hanya berkedip, kemudian terkekeh lagi.
“Nona yakin?”
“Suatu hari nanti, aku pasti membunuhmu.”
“Bahkan, setiap malam sayamph—” Al tidak berkutik saat Kirena membungkam mulutnya dengan kedua tangan mungil.
Kirena melotot, mengharamkan pria yang tengah didudukinya mengeluarkan kalimat-kalimat yang lebih porno lagi. Mata kelam Al mengerling nakal, membuat Kirena menggertakkan gigi dengan sebal.
“Diam!” Kirena memberi perintah bernada tidak mau dibantah. “Ocehanmu seperti tidak pernah mencecap bangku sekolahan saja.”
Sementara Kirena menarik kembali tangannya, Al hanya mengukir senyuman hangat. Dia menjawab, “Nona, iblis memang tidak sekolah. Semua bakat kami murni.”
“Terserah apa katamu saja. Lebih baik kau segera siapkan makan malamku karena aku sudah lapar.”
“Baik, My Lady.”
Kirena mendadak duduk di atas jas hitam. Alardo berdiri di depannya kemudian membungkuk mohon pamit. Dia berbalik dan melangkah menuju rumah.
Sorot mata Kirena melayu. Pria yang semakin menjauh darinya itu merupakan sosok yang membawa bahagia juga petaka untuknya. Kirena tidak pernah berpikir kalau dia akan jatuh sejauh ini. Namun, dia bersyukur karena setidaknya, sebelum mati ada seseorang yang selalu melindunginya seperti ini.
***
Kirena memandang dari kejauhan saat Al tengah sibuk menyiapkan makan malam untuknya di dapur. Dibantu beberapa pelayannya yang lain, Al berusaha menciptakan hidangan selayak mungkin. Walau sebenarnya apa pun yang dimasaknya memang selalu layak. Al benar-benar ahli dalam memasak.
Iblis tidak akan pernah jatuh cinta.
Kirena meringis. Memangnya apa yang selama ini dia pikirkan? Semua perhatian, perlindungan, kasih sayang, dan pelayanan yang Al berikan murni sebatas kontrak karena dia akan memberikan satu hari nyawanya setiap purnama. Tidak mungkin Al jatuh cinta pada sesosok gadis lemah yang bahkan mengikat tali sepatu saja tidak bisa.
Hanya saja…
Kirena melangkah gontai, naik ke atas tangga menuju kamar. Ada rasa sesak yang menggelegak, menyempitkan paru-parunya sehingga napasnya mulai terengah. Matanya terasa panas dengan pipi yang basah. Bibirnya mendesis, berusaha menetralisasi rasa sakit yang kian menjadi-jadi.
Tidak ada seorang pun wanita yang akan bertahan dengan hati bekunya setelah diberikan perhatian sebanyak ini.
Bahkan, Kirena yang berusaha mematikan hatinya pun pada akhirnya tersadar bahwa dia memiliki perasaan khusus pada sang pelayan. Iblis yang mengikat kontrak mati dengannya adalah calon pemimpin kerajaan kegelapan di masa depan.
Iblis tidak akan jatuh cinta...
Dan Kirena sudah ditakdirkan patah hati sejak pertama kali mereka bersua.
***
“John,” Al menghentikan kegiatan memotong daging. Dia berbalik, menatap bawahannya yang sedang membuat kuah kaldu.
Yang merasa dipanggil berbalik, memberi hormat, baru balas menatap pangerannya.
“Iya, My Lord?”
“Apa menurutmu, aku harus berganti wajah di depan Nona?” Al melontarkan pertanyaan yang membuat pelayannya mengerutkan kening. Bahkan, dua orang lain di dekatnya pun ikut kebingungan. Tidak mengerti dengan pertanyaan tuan mereka.
“Kenapa Anda bertanya demikian?” John menjawab sopan. Meskipun di rumah ini mereka sama-sama pelayan, tapi jelas ada jurang yang memisahkannya dengan Alardo. Akan berakibat fatal jika dia kehilangan kesopanannya.
“Aku hanya sedikit khawatir.” Al memiringkan kepala. Dia berbalik. “Nona itu wanita, dan manusia berjenis wanita itu punya sisi lemah yang gampang jatuh cinta. Bukankah aku terlalu tampan untuk menjadi seorang pelayan?”
“Your Majesty memang terlalu sempurna untuk menjadi seorang pelayan.” John tidak menyangkal. Alardo memiliki perwujudan yang sempurna. Jangankan manusia, bahkan iblis saja tidak akan bisa menyerupai wujudnya. Pelayan pria itu tersenyum hormat. “Sejak lama saya sudah khawatir soal ini. Tapi, saya pikir apa pun yang Nona rasakan pada Anda, tidak akan memengaruhi segalanya.”
Al mengangguk setuju. Apa pun yang Kirena rasakan padanya, itu sama sekali tidak berpengaruh untuknya. Lagi pula, dicintai tuan sendiri itu sudah menjadi lagu lama. Tidak ada seorang wanita pun yang tidak terbius dengan kesempurnaan sosoknya.
Alardo menatap jauh, tempat di mana tadi Kirena memperhatikannya.
Sekalipun dia mengetahuinya, masih saja ada rasa tidak nyaman yang membuatnya goyah.
“Justru ada hal lain yang lebih kami khawatirkan selama ini.” John tampak tidak nyaman mengatakannya.
Al memberikan atensi penuh. “Maksudmu?”
“Tidakkah Your Majesty terlalu sering bermain dengan Nona Kirena Kleantha? Sampai mengabaikan beberapa kali pertemuan dengan para petinggi agung. Kami hanya takut, Anda—”
“Aku mengerti apa maksudmu.” Al memotong. Dia tersenyum ramah, tidak terusik dengan kecemasan pelayannya. “Tidak ada yang perlu kau khawatirkan juga soal itu.”
Al melanjutkan pekerjaannya, begitu juga dengan kedua pelayannya yang lain. Namun, pikirannya masih sibuk menerka apa yang dipikirkan sang nona sampai memperhatikannya begitu lama. Walau bagaimanapun, Kirena memiliki aroma yang berbeda. Sesuatu hal yang menariknya datang ke bumi hanya untuk mengetahui keharuman itu berasal dari mana.
Kirena juga merupakan seorang gadis yang dikejar salah satu kenalan Al. Itu membuat Al berhasrat mengujinya, ingin tahu reaksi orang itu jika tahu dia memberikan perlindungan mutlak untuk gadis yang seharusnya orang itu bunuh.
Al menunduk, menatap jari kelingkingnya yang terdapat benang merah pekat. Tanda kontrak yang akan mengikat dirinya dan Kirena sampai gadis itu mati. Benang itu mengikat erat, membuatnya sesekali kesulitan untuk menggerakkan kelingkingnya. Kirena pun memiliki benang yang sama, hanya saja... gadis itu sama sekali tidak bisa melihatnya.
“Bukankah warna benang ini merahnya terlalu pekat?” gumam Al pelan. Dia hanya memiringkan kepala sedikit, merasa heran karena kali ini warna benang merah yang mengikatnya memang tidak biasa seolah itu pertanda akan ada hal yang menyeretnya masuk ke dalam bencana.
“Ah, aku tidak peduli. Selama perutku terisi, semuanya bukan masalah sama sekali.”
Ya sudahlah... tinggal dijalani saja apa susahnya?
***
Bastard Butler
Perlahan, maniknya terbuka. Kepalanya sedikit pening. Matanya langsung menyipit karena disorot lampu dari berbagai arah. Dia
tidak tahu ada di mana. Sesaat, pandangannya terasa gelap. Dia menahan napas, berusaha menggerakkan kedua tangan yang kram karena terkunci ke masing-masing sisi.
Dia ada di mana?
Apa yang terjadi?
Haus. Tenggorokannya seolah terbakar. Dia berusaha mengingat hal yang sudah dia lewati sebelum tidak sadarkan diri. “Dia memiliki kulit seputih salju, wajah amat rupawan seperti malaikat yang tersesat, mata cokelat muda yang benar-benar menawan, dan lekuk tubuh indah dari mana pun Anda melihat. Dia bisa Tuan dan Nyonya jadikan sebagai budak, pelayan, istri muda, ataupun boneka. Harga untuk bidadari yang turun ke bumi ini kami buka seharga 5.000 Euro.”
Kirena hanya bisa terdiam. Dirinya terjebak di sebuah kurungan besi setinggi paha pria yang kini berdiri tidak jauh darinya. Kurungan itu membuat dirinya tidak berdaya. Terlebih dua tangannya diborgol ke masing-masing sisi sehingga tidak dapat bergerak bebas di dalam sangkar besinya. Dia hanya bisa menunduk dan bungkam, tapi sama sekali tidak merasa ketakutan. Yang dirasakannya saat ini justru emosi yang meletup-letup di dada. Emosi itu ingin segera dia lampiaskan pada orang berengsek yang menyebabkan dirinya terjebak dalam kondisi menyebalkan seperti ini.
Tidak banyak visual manusia yang bisa ditangkap retinanya ketika semua lampu fokus menyorot setiap bagian tubuhnya. Kemeja hitam panjang yang dia pakai tadi pagi sudah kusut juga kotor. Sabuk yang melingkari pinggangnya hilang entah ke mana.
Rambutnya pun terurai sedikit kusut.
Orang-orang yang turut serta dalam acara pelelangan manusia kali ini memberi atensi penuh padanya. Ada yang berdecak takjub, ada yang menggeleng tidak habis pikir karena gadis secantik Kirena yang menjadi “barang” jualan hari ini. Sebagian lain menatap Kirena, memastikan dirinya bukan hanya bagus di luar, sedangkan sisanya memberi Kirena sorot mata tidak senonoh.
Berbagai ekspresi menjijikkan yang sedikit bisa Kirena tangkap membuat perutnya mual. Dia ingin segera mengakhirinya namun masih terlalu gengsi karena terlalu cepat menyerah. Walau bagaimanapun, dia sudah terlanjur bersumpah.
“6.000 Euro!” Seorang pria tua mulai mengangkat tangannya. Tertarik untuk mengoleksi satu-satunya keturunan terakhir Kleantha—yang tidak diketahui identitasnya di tempat ini.
“7.000!”
“10.000!”
“15.000!”
“30.000!”
“50.000!”
Mata Kirena mendelik saat mengenali suara baritone seseorang yang terakhir memberi tawaran untuknya. Bibirnya mendesis galak saat si pria penawar yang duduk santai sambil menutup senyum kurang ajar memberinya sorot mata jenaka. Kirena tidak peduli dengan bisikan juga sorak-sorai orangorang karena penawaran untuknya mencapai harga yang fantastis dalam waktu beberapa menit saja. “50.000 Euro, ada yang sanggup lebih tinggi lagi? Gadis cantik ini juga pandai bermain musik dan menari. Dia memiliki kulit selembut sutra layaknya putri-putri raja zaman dulu. Anda tidak akan kecewa jika menjadikannya koleksi pribadi.” Si MC semakin memanasi, berucap sok tahu hanya demi meraup keuntungan yang lebih tinggi. Dia berdecak senang saat hari ini tempat lelangnya akan mendapatkan keuntungan yang benar-benar besar.
“60.000!”
“70.000!”
“100.000!”
Al yang berperan sebagai tamu undangan benar-benar hampir terbahak saat Kirena melotot padanya. Papan kecil dengan nomor tiga dan kursi VIP yang didudukinya membuat semua hal yang dia lakukan bisa tertangkap jelas oleh Kirena.
Al sengaja? Tentu saja. Alardo akan selalu hadir untuk membuat nonanya marah. Tiada hari tanpa mengusili Kirena. Hanya dia satu-satunya sosok yang pantas membuat Kirena tenggelam dalam derita.
Ekspresi marah sang nona sama sekali tidak membuatnya terintimidasi. Merasa masih belum puas, dia berdeham saat semua orang sepertinya tidak sanggup memberikan harga yang lebih tinggi. Sebelum palu tanda Kirena sudah dihak miliki olehnya diketuk, Al mengangkat tangannya, memberi seringaian jenaka.
Kirena menelan ludah gugup, merasakan firasat buruk.
“Tapi, kita tidak akan tahu apa benar dia memiliki tubuh yang indah seperti yang kau ucapkan jika tidak memeriksanya, bukan?” Al memiringkan kepala, sedangkan Kirena memucat. “Bagaimana jika dia ditelanjangi sekarang juga?”
Kirena mengepalkan kedua tangan geram. Manik cokelatnya menyorot Alardo muak. Wajah putihnya kini memerah padam. Dia menggertakkan gigi kesal.
Luar biasa marah.
Si berengsek itu!
Alardo benar-benar sedang mempermainkannya. Dia ingin membuktikan Kirena tidak bisa apa-apa tanpa pertolongannya. Semua hal buruk yang dialami Kirena hari ini diawali sejak tadi pagi.
***
Karena mimpi buruk yang dialaminya semakin sering mengganggu, setiap malam Kirena akan meminta Al untuk tidur di sisinya. Pria itu akan memberinya sebuah pelukan hangat sehingga Kirena merasa aman dan tidak lagi dibayang-bayangi oleh kesendirian. Kirena pun mulai bisa kembali tertidur pulas. Al pun sama sekali tidak keberatan beristirahat di samping sang nona jika hal itu memang merupakan perintah.
Namun, ada hal yang Kirena benci dari Al. Pria itu selalu saja mengganggu tidurnya. Sesekali, Al akan membisikkan sesuatu sehingga Kirena mengalami mimpi yang lebih buruk. Kirena akan terbangun dengan tubuh panas dan dibanjiri keringat juga napas terengah. Walaupun tahu hal itu, Kirena tidak pernah mengusir Al pergi. Asal pria bermanik hitam itu berada di sisinya, Kirena tidak akan terlalu banyak menuntut.
Tapi, tadi malam Alardo membuat kesalahan terfatal. Dia sengaja menghadirkan Gren ke dalam mimpi Kirena yang awalnya damai. Lebih nahas lagi, mimpi itu mengulas kembali tragedi berdarah yang tidak mau gadis itu ingat. Begitu Kirena bangun, Alardo tertawa lalu bungkam setelah mendapat tiga tamparan.
“Aku minta berhenti membuatku jengkel!” Kirena mengeluh ketika dia sudah bersiap ke kantor. Gadis itu menepis tangan Al yang hendak membantunya mengancingkan kemeja hitam longgar yang panjangnya mencapai tengah betis. Kirena memasang sabuk bajunya sendiri.
“Membuat Nona jengkel? Kapan?” tanya Al tidak tahu diri. Dia mengulas senyuman kecil. “Saya selalu mengikuti semua yang Nona mau. Padahal, Nona tidak lebih dari gadis kecil manja, tidak berguna, buruk rupa, tidak tahu malu, dan hanya bermodal payudara saja.”
“Mulutmu itu benar-benar minta disobek, ya?”
“Saya bisa menyobeknya sendiri. Nona tidak perlu repot-repot.”
“Sampai kapan kau akan membuatku kesal?” Kirena yang sedang bercermin berbalik, menatap Alardo yang berdiri tegak dua meter darinya. Dia mendesis, “Kau membuatku muak.”
“Ah, saya akan terus membuat Nona kesal karena saya akan selalu ada di sisi Nona.” Al hendak merapikan rambut Kirena, tapi tangannya buru-buru ditepis kasar. Bahkan, Kirena merebut sisir itu dari pegangan Al dan susah payah menyisir rambutnya sendiri.
“Seperti yang saya bilang, Nona itu hanya gadis jelek yang hanya bisa merengek.”
“Kau pikir, aku tidak bisa melakukan apa pun kalau kau tidak ada di sisiku?”
“Tentu saja.” Al tersenyum ramah. Kesopanan masih dia pertahankan. “Nona akan membusuk dan jadi bangkai tidak berguna kalau sehari saja saya tidak menjaga Nona. Oh, maaf, sepertinya kalimat saya barusan kasar sekali, ya? Saya… memang sengaja.”
Butler macam apa yang berani bicara sekurang ajar itu pada tuannya sendiri? Kirena hampir lupa bahwa kepala pelayannya sekarang bukan manusia. Dia hanya pangeran iblis bermulut kotor yang bersikap semaunya. Kirena menampar pipi pria itu dua kali lalu menendang tulang keringnya.
Al tidak bergerak. Dia justru hanya mengangkat sebelah alis seolah tidak merasakan sakit sama sekali.
“Aku bisa tetap hidup sekalipun kau tidak ada di sampingku.”
“Nona… Nona akan langsung mati jika berani berkhianat dan mengingkari janji.” Al berkedip sekali. “Mati dengan cara tubuh terkoyak dan jantung dicabut paksa. Lalu, mata Nona akan saya congkel dan leher Nona disembelih menggunakan kuku-kuku saya yang runcing sampai putus.”
“Bukan itu maksudku!” Ngeri sendiri, Kirena buru-buru membantah. “Aku akan membuktikan padamu bahwa aku bisa hidup sehari tanpa membutuhkan bantuan dan pertolonganmu.”
“Nona belum bangun tidur?”
“BERHENTI MENGEJEKKU! AKU TIDAK SELEMAH ITU!”
Al tidak menjawab. Dia cukup speechless sebenarnya, tidak menyangka pagi ini Kirena akan sensitif sekali. Biasanya, dihina dan diejek separah apa pun gadis itu tidak akan semarah ini, apalagi sampai menamparnya dua kali. Kirena hanya akan marah kalau Alardo sudah berani meniupkan mimpi buruk saat tengah terlelap saja. “Lihat saja! Aku pasti akan membuktikannya. Sekarang, aku akan pergi ke kantor sendiri. Aku tidak akan menggunakan mobilmu atau apa pun yang ada di rumah ini karena semuanya sejak awal milikmu.”
“Mau saya gendong?”
“BERHENTI MEMPERMAINKANKU!” Kirena lagi-lagi berteriak. Al bergeming. Sepertinya kali ini Kirena benar-benar serius dengan ucapannya.
“Lihat saja nanti!” Kirena bergegas menuju kasur, mengambil tasnya kemudian menatap Al dengan sorot hina. “Aku pasti akan tiba di kantor tepat waktu.”
***
Dan beginilah nasibnya. Jangankan membuktikan ucapannya kepada Al, di perjalanan tadi dia justru tersasar dan disergap oleh beberapa orang tidak dikenal. Dia dibius sampai pingsan. Dan begitu sadarkan diri, dia sudah ada di tengah-tengah acara pelelangan manusia.
Suatu hal ilegal dan seharusnya tidak lagi ada pada zaman modern.
“Jadi, bagaimana?” Al tersenyum manis seraya menatap Kirena dengan jenaka. “Bisa kau menelanjanginya dulu? Untuk memastikan dia benar-benar wanita. Jujur, sekarang banyak operasi jender dan itu sangat menjebak. Aku tidak tertarik bermain bokong.”
Gelegar tawa membahana. Kirena hanya bisa menggigit bibir bawah kuat-kuat saat si MC menyetujuinya. Pintu sangkar besinya dibuka, dua borgol itu dilepas. Dia ditarik paksa keluar dan berdiri, padahal dua kakinya mati rasa setelah ditekuk di dalam sana selama beberapa jam ke belakang.
“Baiklah, saya akan menelanjanginya untuk meyakinkan Tuan.” MC pria itu mengangguk bersemangat. Dia menarik kemeja kanan Kirena sampai beberapa kancing atasnya terlepas.
Kirena meronta. Dia melawan dan hendak kabur namun terhenti saat rantai yang mengikat lehernya ditarik kuat-kuat.
Tadi, dia tidak menyadari lehernya juga diikat.
Kirena terbatuk-batuk. Wajahnya semakin merah, matanya berkaca-kaca.
“Bajingan!” Kirena mendesis murka. Dia mendelik saat lagi-lagi ikatan di lehernya kembali ditarik. Dia kesulitan bernapas karena perlawanan yang sia-sia. Pada akhirnya, dia memang tidak bisa berbuat apa pun jika Al tidak melindunginya.
“Menurutlah budak kurang ajar!” Si MC menggeram. Dia melotot memperingati, menahan diri untuk tidak menampar karena tidak ingin harga “barangnya” dikurangi.
“Menurut, atau aku akan menarik rantainya sampai lehermu putus?” imbuhnya saat Kirena masih saja meronta, mempertahankan setengah pakaiannya yang sudah terkoyak.
Mendapatkan ancaman demikian membuat Kirena semakin berang. Dia seolah dilempar untuk mengingat masa-masa kelam saat dia meminta pertolongan namun tidak ada seorang pun yang memedulikan. Melihat kakak-kakaknya dibunuh di depan kedua matanya sendiri, melihat seluruh anggota keluarganya mati, dan dia tidak bisa melakukan apa pun selain lari.
Manusia tolol itu… dia pikir, saat ini sedang bicara dengan siapa?
“Diam dan berlututlah!” Rambut keturunan terakhir Kleantha dijambak. Tungkai kaki ditendang pelan, membuat Kirena terpaksa berlutut. Namun, manik cokelatnya tetap memandang muak. Bibirnya merapat, menahan desisan marah demi mempertahankan harga diri.
“Tidak ada yang menginginkanmu, jadi menurutlah! Kau akan memiliki tuan yang kaya setelah keluar dari tempat ini.” MC itu tidak berhenti meracau.
“Hanya 100.000 Euro? Hargaku terlalu murah, berengsek!” Kirena tersenyum sinis. “Uangku seratus kali lipat lebih banyak. Hanya idiot sepertimu saja yang tidak tahu.”
Kirena memekik tertahan, jambakan di rambutnya semakin kuat. Pria di sampingnya tersulut emosi dan melotot. “Kalau kau banyak bicara, akan kuputus lehermu itu.”
“Aku yang akan memenggal kepalamu!” Kirena mengepalkan kedua tinjunya. Dia tidak sudi direndahkan lebih dari ini. Dari kursi duduknya, Al hanya menikmati pertikaian Kirena sambil menyesap cola yang sebenarnya sama sekali tidak bisa tercecap lidahnya.
“Aku akan menghabisi kalian semua.”
“Gadis bodoh sepertimu memangnya bisa apa?” Pertanyaan meremehkan itu membuat emosi Kirena semakin tersulut. “Aku bisa menghabisi kalian semua!” Kirena menarik napas dalam-dalam. Tidak peduli lagi pada sumpahnya, dia ingin mengakhiri hari suramnya detik ini juga. Dia meneriakkan, “BUNUH MEREKA SEMUA! INI PERINTAH!!!!”
Hanya beberapa detik setelah teriakannya, suara lengkingan dan jeritan nyaring menggema mengisi aula. Ledakan demi ledakan membuat pengang telinga. Para tamu yang duduk di setiap baris kursi pelelangan secara beruntun membengkak dan meledak menciptakan sungai darah.
Darah menciprat ke mana-mana. Setiap orang yang melihat kejadian mengerikan itu berlomba mencapai pintu namun pada akhirnya tetap saja dipaksa mati.
Banyak nyawa yang hilang. Mereka mati tanpa tahu apa yang sebenarnya tengah terjadi.
Al masih saja tersenyum manis sambil menjilat sisi bibirnya yang terkena cipratan darah. Dia berjalan melewati genangan merah, menuruni tangga kecil yang membawanya ke panggung. Al tetap bersikap tenang seolah bukan pelaku pembunuhan yang menghabisi puluhan nyawa dalam sekejap. Dia menginjak organ-organ manusia yang tercecer kemudian berdiri tepat di depan Kirena.
Tubuh Kirena bermandi darah. Sosok berengsek di sampingnya tadi adalah yang pertama kali meledak.
Malam si MC yang dipenuhi tawa dan keangkuhan beberapa menit lalu seketika berubah menjadi tragedi mengerikan hanya karena dia menculik orang yang salah.
“Tentu, My Princess.” Al mengangguk sopan.
Gadis di depannya masih memberikan tatapan nyalang. Matanya berkilat merah.
“Kau benar-benar bajingan.”
“Tidak perlu memuji saya sampai seperti itu.”
“Suatu hari nanti, aku benar-benar akan membunuhmu!” Kirena bersumpah. Dia diam saja saat Al memangkunya. Dua maniknya bersinggungan dengan dua manik Al. “Aku akan membunuh pria seberengsek kau, Alardo Lucifer.”
“Saya akan sangat menantikannya.” Al tersenyum hangat. Dia membawa nonanya menuju pintu keluar, menginjak setiap organ yang tercecer di jalan seolah organ-organ itu bukan milik makhluk yang Tuhan ciptakan.
Dia harus segera sampai ke rumah karena Kirena tampaknya sudah sangat lelah dan juga merindukan kasurnya.
“Aku akan membunuhmu!”
Apa pun yang dikatakan Kirena sama sekali tidak mengganggu pria yang kini mendekapnya. Setidaknya, hari ini gadis itu sudah mendapatkan pelajaran yang benar-benar berharga. Dia tidak akan bisa lagi sok kuat dan sok mampu melewati hari-harinya sendiri tanpa perlindungan “bayangan hitam”-nya.
Keangkuhan manusia seringkali menyebabkan mereka sendiri merugi. Keangkuhan yang melebihi keangkuhan iblis. Kepercayaan diri yang tinggi membuat mereka seolah tidak sadar bahwa pada setiap detik mereka, bayangan kematian akan selalu mengiringi.
Iblis memang makhluk yang hina. Mereka durhaka pada Tuhan karena pernah menolak bersujud kepada Adam. Tapi, mereka mengakui kekuasaan Sang Pencipta. Mereka sadar bahwa hidup dan mati mereka sudah ada yang menentukan. Mereka berlomba-lomba menyeret banyak manusia ke neraka, seperti sumpah leluhur yang sudah terusir dari surga.
Jadi... sebenarnya siapa yang lebih hina dan berdosa?
Iblis yang menyeret dan menggoda?
Atau para manusia, yang banyak menolak Keagungan dan Kekuasaan Pencipta?
***
Nah, buat yang nunggu My Devil Butler, ini versi novelnya ya. Bukan versi wattpad. Hehehe
Mulai chapter besok dimasukin jenis paketan langsung puluhan chapter sekalian. Biar nggak ribet. Kemungkinan dibagi 2 sih.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
