Di dalam karya ini ada 5 chapter. Pelan-pelan aja bacanya ya. Hehee
Full of Betony
6. Brother Complex
Tahu nggak biarpun aku dongkol, tapi aku juga senang banget? Ya gimana nggak? Aku punya alasan buat batalin pernikahan ini. Sampai rumah aku akan bilang ke Ayah kalau adiknya Oliver nggak suka sama aku. Itu kenyataan, jadi aku nggak bohong, 'kan? Doaku pas di mobil Oliver dikabulin, lho, sama Allah.
Senang nggak? Senang nggak? Senanglah! Masa nggak? Ini aku sampai nahan-nahan senyum biar nggak dikira aneh kalau ada yang lihat.
Pokoknya sekarang aku harus cari taksi buat pulang. Eh, tapi rencanaku ambyar saat seseorang menarik tasku secara tiba-tiba. Untung saja aku nggak sampai kejengkang. Siapa yang narik? Oh, tentu saja Oliver. Karena dari dalam rumah, sampai aku lewati pintu rumahnya, dia terus manggil-manggil tapi nggak aku hiraukan.
Karena tasku masih dipegang, aku terpaksa balik badan. Oliver natap aku dengan pandangan memelas yang nggak match banget sama wajahnya. Dan aku nggak suka lihat dia begini, bikin aku ngerasa bersalah, bikin kayak aku jadi penyebab perasaannya buruk.
"Apa?" tanyaku.
Kami berdiri di depan gerbang rumah. Nggak ada orang lewat, sepi, tapi Oliver kelihatan nggak nyaman, makanya dia mengusulkan nganterin aku pulang sambil kami bicara.
"No. Aku nggak mau. Mending kamu urusin adik kamu, tuh."
"Please," mohonnya sembari menarik-narik tasku.
Aduh. Iya, iya. Dari dulu aku paling nggak tahan kalau: digombalin Oliver pakai tatapan hangat, Oliver memohon dengan nada rendah, dan Oliver manggil nama lengkapku dengan pelan. Kalah sudah aku kalau dia mengeluarkan tiga versi dirinya itu. Anehnya, ternyata itu masih berpengaruh buatku saat ini.
Oliver doang memang yang bikin aku gagal move on! Ngeselin nggak?
Well, seperti yang memang seharusnya terjadi karena aku mau dianterin pulang, kami ada di mobil Oliver. Belum bicara apa pun hampir sepuluh menit perjalanan. Kalau aku sih, nggak butuh bicara apa-apa lagi sebenarnya. Semua sudah sangat jelas tadi di rumah Oliver.
"Sorry Azmi keterlaluan sama kamu."
Mancing nih? Mancing? Oliver kayak nggak tahu saja aku bisa meledak-ledak kalau lagi kesal. Dan mengingat Azmi tuh sama kejadian tadi bikin kesal, lho.
"Kami kira dia akan bisa jaga sikap kalau ketemu kamu langsung."
Kami nih pasti maksudnya Oliver dan orang tuanya, ya? Hah. Jadi mereka dari awal pasti sudah tahu Azmi nggak suka sama aku, tapi tetap kukuh dengan rencana pernikahan ini.
"Sof, say something. Aku nggak bisa lihat kamu diam gini, lebih buruk daripada kamu ngomel sepanjang kereta api."
Ternyata ... dia nggak berubah. Dulu Oliver bakal uring-uringan kalau aku diemin. Dulu-
Sofie, stop! Berhenti mikir dulu, dulu, dan dulu! Argh!
"Sofie Paramitha ...."
Nggak dengar. Aku nggak dengar ada yang manggil jadi aku tetap sibuk main HP.
"Sofie Paramitha yang cantik, yang baik hati."
Ah, apaan, sih?!
"Sofie Paramitha yang manis ...."
Argh! Stop!
"Kamu maunya apa, sih?"
Percuma juga pegang HP, nggak konsen, jadi aku masukin ke tas. Lalu kutatap Oliver yang masih berwajah serius.
"Jangan batalin pernikahannya, oke?"
"Terus kamu mau nanti aku dan Azmi cekcok setiap hari?"
"Kita nggak akan tinggal di sana, Sofie. Kamu nggak perlu ketemu dia."
"But she is your sister, Oliver! Kamu kira kita akan tinggal di belahan bumi mana sampai aku nggak perlu ketemu dia?!"
Please, deh, ya! Kadang-kadang aku memang nggak habis pikir dengan cara Oliver menanggapi sesuatu. Dia maunya aku bagaimana? Cuek saja walau tahu calon adik iparku nggak menyukaiku? Setelah nikah dan setiap pertemuan bakal ngamuk-ngamuk kayak tadi? Gitu maunya?
I see Azmi itu cuma adiknya Oliver, masih ada orang tuanya Oliver yang suka sama aku. Aku paham kalau ada yang menganggap ini persoalan sepele. Tapi bagiku, ini masalah besar. Hubungan antar ipar itu rawan, sebaik mungkin harus dijaga. Karena dari hubungan antar ipar yang nggak akur, aku sangat yakin masalahnya bisa merembet ke yang lain. Ya sekarang coba saja bayangin aku nikah sama Oliver, terus setiap ketemu aku dan Azmi sama-sama adu urat. Yakin Oliver nggak pening lihatnya? Yakin dia bakal bisa stay cool melihat istri dan adiknya terus-terusan ribut? Jawabannya sudah pasti nggak! Karena aku pun tahu kalau Oliver sayang banget sama adiknya.
"Kita pikirin jalan lain, ya?"
"Apa? Kalau kamu nyuruh aku ngerayu Azmi, aku nggak mau! Ogah ya merendah di depan adik kamu yang sombong itu!"
"Nggak, nggak akan. Sekarang kita makan dulu gimana?"
Makan. Astaga. Terakhir aku makan itu jam satu siang. Sekarang sudah lewat jam delapan, ya pantesan saja aku lapar. Coba, gara-gara siapa aku batal makan tadi?
"Aku makan di rumah aja. Malaslah mampir-mampir."
"Di rumah ada makanan? Aku sekalian makan ya?"
Tadi aku ngabarin Bunda kalau bakal makan di rumah Oliver. Kalau aku nggak di rumah, Bunda pasti masaknya sedikit.
"Pesan ajalah. Nggak tahu Bunda masak apa nggak."
"Oke."
Lalu Oliver menepikan mobilnya. Nggak paham dia klik-klik apaan di HP, aku cuma sekilas doang lihatnya. Karena masih kesal gitu kan, jadinya aku lebih sering natap ke luar kaca, asalkan nggak natap Oliver lama-lama.
Kami sampai rumah tanpa drama. Oliver nggak cerewet di mobil, bikin perjalanan nyaman buat aku istirahat sebentar. Hari ini berasa chaos, membuat hatiku lelah banget. Pengennya berdiri yang lama di bawah shower. Salah satu caraku menenangkan diri adalah mandi air hangat dan itu nggak pernah gagal. Sayangnya aku nggak bisa buru-buru masuk kamar sekarang. Karena ternyata makanan yang Oliver pesan sudah tiba di rumah dan diterima oleh Bunda. Sekarang Bunda natap aku dan Oliver penuh tanya, tapi nggak ada satu pertanyaan pun yang keluar.
"Oliver jelasin nanti, Bun. Kami boleh makan dulu, nggak?"
Aku diam saja, nggak punya daya buat ngomong. Tenagaku habis banget. Buat sampai ke meja makan saja aku berjuang keras. Capekkkk.
"Ya, ya. Sekarang makan dulu. Tadi Bunda langsung buka kotak-kotak makannya. Bunda tunggu di ruang tamu, sekalian nunggu Ayah pulang tahlilan."
Bunda pergi gitu saja. Aku dan Oliver makan tanpa ada obrolan. Heninggg banget. Aku sadar dilihatin, tapi aku sengaja nggak bilang apa-apa sampai kami selesai makan.
"Aku mau mandi. Kalau kamu mau pulang, nggak usah nunggu aku."
"Aku tunggu. Obrolan kita kan belum selesai, Sofie."
Ngomongin apa lagi? Bodo, ah! Aku ninggalin Oliver yang masih cuci tangan. Di ruang tamu Ayah dan Bunda lagi duduk bareng. Ayah masih pakai baju Koko dan sarung, belum sempat ganti kayaknya. Pasti Bunda cerita ke Ayah ada something yang berkaitan dengan aku pulang telat, tapi nggak jadi makan di rumah Oliver.
"Yah," sapaku.
Kucium takzim telapak tangan Ayah.
"Hal penting?"
Ayah memang gitu, nggak suka basa-basi. Mau sat set sat set, biar cepat beres.
"Oliver tuh mau jelasin katanya. Sofie mandi dulu, Yah, Bun."
Aku naik ke lantai dua setelah Oliver menyapa Ayah dan Bunda. Seperti biasa, Oliver ramah dan sopan, tipe kesukaan Ayah banget. Entah setelah dengar tentang Azmi keputusan Ayah gimana.
Sampai kamar aku langsung mandi. Hampir satu jam kemudian aku baru turun. Ternyata Oliver belum pulang, asyik main HP sendirian.
"Ngapain masih di sini?"
"Kan masih mau ngobrol sama kamu, Sofie."
Malas banget kalau intinya dia mau bujukin aku buat terima Azmi apa adanya.
"Aku udah kasih tahu Ayah sama Bunda situasi di rumah tadi. Tentang Azmi juga aku jelasin. Duduk dulu, yuk, Sof."
Ponsel itu segera ditaruh sama Oliver. Aku nurut disuruh duduk, biar cepat selesai urusan sama dia, biar aku cepat tidur. Besok aku ada meeting.
"Gimana?" tanyaku.
Aku duduk di seberang Oliver. Dengan begini aku bisa lihat setiap gerak-geriknya. Dan anehnya, apa-apa yang Oliver lakuin kenapa menarik, sih? Dia ngusap tengkuk dan menyugar itu bikin aku nahan napas. Seksi, cyin!
Astaghfirullah. Mata, Sof, mata!
"Azmi terlalu sayang sama aku, sampai bisa timbul tindakan impulsif kayak tadi."
"Terlalu sayang?"
"Dia over protective ke aku, takut aku nggak perhatian sama dia saat udah menikah, dan dia punya banyak kekhawatiran kalau ada perempuan lain di hidupku."
Tunggu. Aku seperti pernah mendengar hal itu.
"Brother complex bukan, sih?" tebakku ragu-ragu.
"Iya."
Hah? Demi apa?
"Olv, orang-orang pengidap brother complex itu bisa sampai tahap mengerikan. Dan Azmi?"
Demi apa, aku kaget. Oliver juga mukanya kusut. Mungkin sebenarnya dia nggak pengen cerita, tapi berhubung terpaksa, ya jadinya begini.
Aku belum pernah ketemu kasus brother complex secara langsung. Tapi sependek yang aku tahu, orang-orang dengan rasa kasih berlebih pada saudara laki-lakinya ini bisa sampai berfantasi. Tentu saja dalam artian ngebayangin badan saudaranya, bayangin make out or maybe bisa sampai bayangin make love.
"Tenang, Azmi nggak sampai punya perasaan cinta sebagai lawan jenis. Dia hanya berlebihan menyayangi aku sebagai kakaknya. Azmi khawatir aku nggak sayang lagi sama dia."
"Terus gimana?"
"Ya nggak gimana-gimana. Kami tahu kondisi Azmi sampai mana dan itu cukup melegakan. Di matanya aku tetap kakak, jadi dia nggak ada perasaan dan keinginan jadiin aku pacarlah atau bayangin hal-hal terlarang lainnya."
"Terus?"
Kayak orang oon deh aku nanya-nanya terus. Habisnya lumayan penasaran. Dilihat dari sikap Azmi tadi, dia memang nggak mau kehilangan Oliver. Apa ini artinya kalaupun orangnya bukan aku, Azmi tetap nggak suka?
"Terus aku akan bicara baik-baik sama dia. Kita tetap nikah ya, Sof? Ayah sama Bunda juga tetap setuju kita nikah."
Melas banget coba wajahnya Oliver.
"Segitunya pengen nikah sama aku? Kenapa, sih?"
"Karena cuma kamu yang aku mau, Sofie. Bertahun-tahun aku kerja dengan ngebayangin senyum kamu. Dan tadi, aku merasa hampir kehilangan semuanya."
Kalau bukan Oliver orangnya, aku akan percaya dua tetes air mata yang meluncur dari sudut matanya itu adalah palsu. Karena Oliver orangnya, aku jadi percaya bahwa saat ini hatinya sedang berkecamuk. Kadang, Oliver bisa nunjukin sisi yang mengejutkan seperti ini. Sisi lemahnya ini yang buat Oliver berbeda dengan cowok-cowok lain, di mataku. Karena dari matanya aku bisa merasakan ketulusan.
"Kalau aku udah jadi istri orang lain saat kamu kembali, apa yang kamu lakuin, Oliver?"
"I have no idea. Mungkin aku tikung kamu lewat sepertiga malam?"
Aku malah senyum, padahal Oliver pasang muka serius.
"Dan gimana kalau seandainya kamu yang menikah duluan, ya?" tanyaku serius.
Oliver diam sejenak.
"Aku nggak pernah memikirkan pernikahan selain dengan kamu. Karena aku nggak bisa membayangkan mencintai perempuan lain seperti aku mencintai kamu sejak kita SMA."
Soal Azmi terlewat gitu saja di benakku. Aku sudah nggak mau mikirin dia. Aneh, 'kan? Harusnya aku tetap kukuh, tapi lagi-lagi Oliver membuatku luluh.
"Sejak kapan kamu suka aku?"
"Sejak kelas 1 SMA."
"Tapi dulu kamu pacaran sama cewek lain, lho. Mana aku percaya kamu suka sama aku saat itu."
Lah, kok malah bahas masa lalu, sih? Salting deh aku karena Oliver senyum-senyum.
"Karena aku nggak mau ngerusak persahabatan kita. Tapi akhirnya aku tetap ngambil resiko itu."
Mmmm. Iya, sih, masuk akal. Katanya persahabatan bisa rusak karena cinta.
"Sofie, give me your forever. Could you?"
Bentar. Bentar. Aku nge-lag!
Oliver tadi bilang apa? Terus kenapa dia keluarin cincin dari sakunya? Maksudnya gimana?
Dia ngelamar aku? Dengan aku yang pakai piama dan rambut tergerai setengah basah? Seriously?!!
"Ini kamu ngapain?"
Aduh! Aku tepuk-tepuk pipi, kirain ini cuma khayalanku. Nyata dong, tapi. Cincin yang Oliver taruh di meja cantik banget dan senyum laki-laki ini bikin deg-degan.
"Ngelamar kamu. Kita nikah ya, Sofie?"
Harusnya aku tolak. Tapi kok aku malah ngangguk?!
To be continued
Full of Betony
7. Chaos
"Gilaaaa! Mbak Sofie benar-benar niat banget ngerjain kitaaa!"
Aku menjauhkan ponsel dari telinga. Senyumku makin lebar saat di seberang sana Rina masih ngedumel. Dia syok saat tahu kalau siang ini ternyata harus ngedekor di rumahku demi acara lamaran. Kebayang banget wajah kaget Rina dan yang lainnya. Jadi, kemarin-kemarin aku memang nggak ngabarin kalau mau lamaran. Aku cuma order bunga untuk acara hari ini dan ngasih tahu Rina buat buka note untuk detail alamat acara. Kemarin aku kasih tahu biar buka note-nya pas hari H saja, karena klien spesial dan pasti bikin histeris. Benar kan dugaanku. Astaga, aku sampai mau ketawa.
Oh, ya. Soal dekorasi aku memang misah dari plan WO. Ngapain pakai jasa orang lain kalau ada anak-anak toko, 'kan? Hahaha. Oliver setuju, tapi dia maunya dana tetap dari dia. Aku tolak mentah-mentahlah. Biar gimana, ini pernikahanku. Aku juga mau dong berbuat sesuatu. Terus konsepnya juga aku yang nentuin, sampai pemilihan bunganya Oliver percaya saja sama aku.
Ah, apa, sih? Kayak aku excited sama acara iniii!
"Kok, bisa, sih, nggak bilang-bilang sebelumnya? Dan bisa-bisanya aku nurut nggak meriksa note kemarin. Ahhhh, Mbak Sofie jahatt!"
Ya ampun. Rina bikin aku mood banget, karena jujur saja sekarang aku deg-degan. Bentar lagi aku bakal dirias, terus pakai kebaya khusus buat acara ini. Huaaa! Kayak nggak nyangka gitu lho beberapa jam lagi keluarga Oliver bakal datang buat ngelamar.
"Rin, kerja yang benar ya. Awas lho kalau dekorannya jelek."
"Aku mau bikin jelek ajaa! Kesel, sih, Mbak Sofie main rahasia-rahasiaan dari kamiii!"
Kalau Rina bisa masuk ke kamarku, pasti deh dia bakal peluk aku saat ini sambil merajuk.
Pintu kamarku yang setengah terbuka diketuk seseorang. Ada tiga orang berdiri di sana, di dekat kaki mereka ada dua koper yang bisa kupastikan apa isinya. Satu orang WO ngasih tanda kalau yang datang adalah penata rias. Aku juga balik ngasih tanda kalau mereka bisa masuk.
"Ya udah, kamu balik kerja sana. Ini penata rias aku udah datang."
"Mbak, Mbak, aku sama anak-anak boleh stay nggak nanti lihat acara lamaran Mbak?"
Pokoknya kalau ada yang ngomong pakai suara rendah plus nada memohon gitu, aku nggak sampai hati buat bilang nggak.
"Ya bolehlah. Soalnya kan nanti kamu sama anak-anak juga harus bongkar dekorannya kalau udah selesai."
"Ah, Mbak Sofieeee! Udah deh, aku matiin dulu!"
Dongkol nih pasti Rina, ketahuan dari suaranya yang sebenarnya ngarep bisa datang sebagai tamu. Aku bersyukur punya Rina dan yang lainnya karena menganggap aku sebagai keluarga. Paham sih aku mereka maunya bisa menyaksikan semua rentetan acara sambil duduk anteng. Tapi ya gimanaaa, aku kan butuh mereka buat merealisasikan konsep dekorasi pernikahanku nanti. Karena aku percaya banget sama hasil kerja mereka.
Detik berlalu cepat. Semua orang rempong banget. Orang WO berkali-kali ngecek progress riasanku, karena nggak mau sampai telat. Bunda yang duluan selesai dirias juga rada-rada cemas kalau keluarga Oliver duluan datang. Sepupu-sepupuku yang turut hadir karena memang sengaja kami libatkan, nggak kalah heboh. Mereka masih pada syok atas lamaran tiba-tiba ini. Cuma Ayah yang santai, nggak ada tuh masuk ke kamarku. Mungkin Ayah percaya everything will be okay, soalnya mustahil banget kalau aku bikin drama kabur di hari lamaran. LOL!
Dan tibalah di waktu yang makin mendebarkan. Aku sedang dibantu memakai kain lilit batik dengan pasangannya kebaya biru muda berbahan tile yang pas aku lihat di kaca, ternyata cantik banget.
"Aduhh, cantik banget Mbak Sofie. Serasi sama Mas Oliver," puji si MUA.
Entah kapan dia ketemu Oliver sampai bisa bilang kami serasi. Tapi emangnya kami beneran serasi?
Aku cuma senyum sebagai jawaban. Bingung sih ngasih respons gimana.
MUA mulai ngeberesin barang-barang. Sekali lagi Bunda ngecek kabarku karena katanya mobil-mobil dari keluarga Oliver sudah datang. Lah, aku kok makin deg-degan?
"Masya Allah, cantik banget anak perawan Bunda. Tunggu di sini, ya. Bunda sambut mereka dulu."
Wajahku panas, entah karena pujian Bunda atau karena ... tahu Oliver sudah selangkah lebih dekat untuk meminangku.
Sesaat setelah Bunda pergi, Ayah datang. Ayah pakai batik yang motifnya sama dengan kainku. Ayah ... ganteng banget.
"Deg-degan?" tanya Ayah seraya duduk di sebelahku.
"Iya, padahal tadinya Sofie ngira bakal biasa aja karena awalnya kan ini semua terpaksa."
"Anak Ayah cantik banget. Oliver pasti bahagia banget bisa nikahi kamu. Dan Sofie, Ayah juga bahagia, karena kamu akan dijaga oleh laki-laki yang bertanggung jawab. Semoga kamu juga bahagia."
Ayah nepuk-nepuk pelan tanganku, lalu pamitan karena mau menyambut keluarga Oliver.
Bahagia, ya. Sebenarnya apa definisi dari bahagia? Saat orang-orang di sekitar tersenyum karena kita? Atau saat kita tersenyum tanpa peduli sekitar? Ayah dan Bunda bilang mereka bahagia, tapi aku sendiri nggak paham apa aku juga merasakan seperti itu. Maksudku ... apa di dalam hati aku tulus atas semua yang terjadi?
Bahagia, ya. Satu orang yang pasti nggak bahagia dengan pernikahan ini adalah Azmi. Tapi dia nggak lagi agresif. Pertemuan tiga hari lalu berjalan sangat baik. Azmi meminta maaf, walau aku tahu itu atas dasar paksaan Oliver. Tapi ... itu artinya pernikahan ini nggak memuaskan semua pihak. Hah.
Aku turun dari tepi ranjang, mendekati jendela dan menatap ke jalanan di bawah sana. Banyak mobil terparkir, lantai bawah rumahku juga bising, sepertinya orang-orang memang sudah berkumpul.
Apa aku bahagia?
Apa Oliver bahagia?
Apakah kami akan baik-baik saja?
Tiba-tiba aku gelisah. Kesendirian ini membuatku memutar ulang kejadian sebelas tahun terakhir. Oliver yang pergi dan nggak pernah berkabar, aku yang berhari-hari nangis karena kangen dia, aku yang setia menunggunya, aku yang akhirnya menyerah atas penantian melelahkan itu, dan dia yang kembali dengan berbagai kejutan.
Kami yang begitu berantakan apakah akan berhasil jika disatukan?
"Sofie, udah waktunya turun," beri tahu Bunda.
Ah, sudah sampai pada inti acara ya ternyata. Berdasarkan instruksi kemarin, aku akan turun setelah pihak Oliver mengutarakan maksud kedatangan. Ya, tentu saja niat melamar aku. Jadi, aku akan hadir serta memberi jawaban.
"Udah siap, 'kan?"
Bunda mendekat, lalu meraih lenganku, menuntunku perlahan meninggalkan kamar.
"Apa Sofie siap, Bun?" tanyaku balik.
Langkah Bunda terhenti di pertengahan tangga. Dari sini, beberapa tamu dapat melihat kami. Orang-orang di bawah sana tersenyum dan berbisik, sehingga yang lainnya ikut-ikutan melihat ke arahku. Itu keluarga Oliver, yang wajahnya asing semua di mataku. Tapi mereka terlihat antusias.
"Sofie, kamu nggak punya pemikiran aneh, 'kan?"
Bunda kelihatan resah.
"Sofie nggak tahu, Bun. Tiba-tiba Sofie bingung."
"Nak ...."
"Apa ini benar, Bun?"
Aku juga resah. Perasaan nggak jelas ini sangat mengusik. Keraguan yang datang jelas nggak di waktu yang tepat.
"Sofie, kami berharap kamu nggak mengecewakan. Tapi kami juga ingin kamu bahagia. Kalau kamu mau menolak, masih ada waktu."
Bunda meneteskan air mata yang membuatku bersalah banget. Bisik-bisik di bawah sana juga makin keras. MC sampai memanggil ulang dan mempersilakan aku untuk segera duduk.
Kakiku bergetar saat mengambil langkah. Tatapan semua orang terasa tertuju untukku. Dan laki-laki yang duduk di seberangku saat ini, yang wajahnya dihiasi senyum, menciptakan perasaan aneh di hatiku.
Apa ini benar?
Apa seharusnya aku nggak melakukan ini?
Akan seperti apa kami nanti karena aku nggak bisa menghapus kekecewaan pada Oliver?
"Ya, jadi gimana jawabannya, Mbak Sofie kita yang sangat cantik sore ini?"
MC yang merupakan sepupu dari pihak Bunda bertanya. Aku menoleh ke Ayah, juga Bunda. Seperti mengerti kebimbanganku, mereka berdua menggengam tanganku. Dan Oliver yang sepertinya paham karena aku nggak langsung menjawab, tatapannya meredup. Dia menyadari kalau aku kembali dalam posisi dilema.
"Wah! Sepertinya calon pengantin wanita kita gugup karena dilihatin terus oleh calon pengantin laki-laki. Apa kita harus menyuruh Mas Oliver tutup mata?"
Gelak tawa mengisi ruang. Aku tahu itu adalah pemecah kecanggungan. MC pun ternyata mengerti kalau saat ini aku ragu.
Kalau aku menolak, semua yang terjadi setelah itu sudah tergambar jelas di benakku. Dan kalau aku menerima lamaran Oliver saat ini, aku mungkin ... akan mendapat kejutan-kejutan lain yang nggak terprediksi.
Aku meraih mikrofon yang tersedia di depanku. Sejenak kutatap Ayah dan Bunda yang terlihat pasrah atas jawabanku. Lalu pandanganku terfokus pada Oliver yang wajahnya nggak semangat sama sekali.
"Saya ...."
Bisik-bisik itu lenyap saat aku mulai bersuara.
"Saya Sofie Paramitha ... menerima lamaran Bram Oliver Permadi."
Ruangan kembali gaduh karena ucapan syukur orang-orang. Bunda meluk aku dari samping, sedangkan Ayah cuma ngusap kepalaku. Orang tua Oliver senyum-senyum sambil nepuk pundak anak laki-lakinya. Azmi, seperti yang sudah diduga, ekspresinya B saja. Terakhir, laki-laki itu, yang mencuri perhatianku karena dia sedang mengusap matanya dengan tisu.
Kuharap ini adalah keputusan yang tepat, karena aku bisa merasakan euforia orang-orang yang turut membuatku bahagia.
Acara berlanjut ke doa sebagai wujud rasa syukur. Lalu penyerahan seserahan, dan penutupan. Setelah itu MC mempersilakan semua orang untuk menikmati hidangan yang sudah dipersiapkan. Bunda dan Ayah tentu saja sibuk beramah tamah dengan keluarga Oliver yang lainnya. Di sini tinggal aku dan Oliver, masih duduk berseberangan karena terpisah meja panjang yang dihias bunga.
"Aku sempat pasrah," katanya tiba-tiba.
Beralih fokus sejenak, ya. Oliver cakep parah pakai kemeja yang warnanya senada denganku. Ah, dia mau pakai apa pun tetap ganteng, sih. Apa aku memang harus bersyukur punya calon suami bernama Oliver?
"Awalnya aku emang mau nolak."
"Sesusah itu ya, Sof, ngasih aku kesempatan?"
Aku mencondongkan tubuh dan mengambil setangkai mawar putih di depanku, lalu mematahkan tangkainya.
"Kamu harusnya paham tanpa perlu aku jelasin."
Dan aku meletakkan mawar yang patah itu di depan Oliver. Dia mengambil mawar itu, lalu mengeluarkan sapu tangan dari saku celananya. Tahu apa yang dia lakukan? Melilit bagian yang patah dan meletakkan mawar itu di depanku.
"Aku akan rawat sampai sembuh total."
"Dan kalau ternyata duluan mati sebelum sembuh?" tanyaku sarkastik.
"Bangkainya akan aku simpan."
Aku bergidik dan tiba-tiba mual. Niatnya mau mojokin Oliver, tapi malah aku yang dibikin ngeri sama jawabannya.
"Kamu cantik banget, Sofie."
Ah, apaan, sih tiba-tiba muji?
Fokusku dengan cepat teralih saat keluarga Oliver mendatangi dan mengajakku bicara. Saat kami berbincang-bincang tentang persiapan pernikahan, suara gaduh di halaman depan menyita perhatianku. Beberapa orang keluar dari ruang tamu dan suara kacau di luar sana makin jelas.
"Sofieee! Kamu nggak bisa ninggalin aku nikah kayak giniii!"
Dahiku mengerut. Suara itu ... masa milik Farel? Aku menatap Oliver, dia gegas berlari keluar saat pemilik suara tadi kembali berteriak. Perasaanku nggak enak. Ini nggak benar, nih. Aku ikut mengecek keluar dan betapa kagetnya aku saat dekorasi di halaman depan hancur. Orang-orang yang berdiri di teras berteriak histeris karena sekelompok laki-laki masih menghancurkan dekorasi taman dengan membabi buta.
Dan aku melihatnya, laki-laki yang pernah kusayangi tersenyum lebar di tengah-tengah kekacauan itu.
Dan aku juga melihatnya, sosok yang akan mengikat janji suci denganku berlari ke arah Farel dengan tangan terkepal.
Aku menggaruk-garuk telapak tangan. Suaraku tiba-tiba tertahan. Aku nggak mau Oliver berantem di sini.
Aku ... nggak mau Oliver sampai dikeroyok, karena kurasa itu memang tujuan Farel membawa sekelompok pengacau kemari.
To be continued
Mantan emang suka berulah ya bund🥴
Full of Betony
8. Stunning Man
Aku sudah waswas kalau Oliver bakal langsung nonjok Farel. Di sini ada banyak orang, aku nggak kebayang gimana hebohnya mereka kalau sampai ada adegan baku hantam. Awalnya aku ingin menyusul Oliver dan menghentikan semua niat nggak baik yang ada di kepalanya, tapi ternyata aku mengkhawatirkan sesuatu yang nggak perlu. Saat mereka berdiri berhadapan, Oliver cuma keluarin ponsel dari saku celananya. Aku yang sudah melangkah tiba-tiba melambat karena mendengar Oliver bicara dengan Farel.
"Kamu tahu Kapolsek sini? Aku lagi hubungi dia biar ngirim anak-anak buahnya buat ngeberesin kamu dan anak-anak buahmu yang nggak bermoral itu."
Tahu nggak? Farel wajahnya langsung kaku, lho. Terus para laki-laki berandalan yang tadi sibuk ngacak-ngacak rangkain bunga di halaman, mendadak terdiam.
"Kamu kira aku bohong nyebut Kapolsek?" tanya Oliver.
Ponselnya yang masih menunggu panggilan dijawab, terdengar keras. Kurasa Oliver mengaktifkan fitur pengeras suara. Farel nggak nyahut, dia seperti ragu apakah Oliver serius atau nggak. Lalu saat panggilan itu dijawab, kegaduhan kembali terdengar. Suara gaduh itu berasal dari orang-orang bawaan Farel, yang kemungkinannya terkejut kenapa bisa sampai membawa Kapolsek dalam urusan ini.
"Selamat sore, Nak Oliver. Tumben ini menghubungi saya. Ada yang saya bisa bantu, Nak?"
"Sore Pak. Maaf kalau saya mengganggu. Jadi begini, saya sedang melakukan acara lamaran, tapi ada sekelompok orang yang mengacau di rumah calon pengantin saya. Apa Pak Jaya bisa membantu saya?"
"Wah, nggak beres ini. Kirimkan alamat lengkapnya, Nak. Bapak akan langsung mengirim anak-anak Bapak ke sana."
"Berengsek, Rel! Katanya bakal aman-aman aja!" protes seorang laki-laki yang lengan kanannya penuh tato.
Aku nahan senyum, ngerasa kocak banget. Bisa-bisanya Farel bawa orang yang kelihatannya doang sangar, tapi nyalinya cuma seujung kuku.
Oliver nggak langsung jawab Pak Jaya, dia kayak ngasih kesempatan buat Farel mikir. Please ya, aku nggak bisa mendeskripsikan ketegangan Farel dan para suruhannya. Pengennya aku tuh ketawa keras-keras karena mereka saat ini lagi lari keluar rumahku, termasuk Farel. Masalah kelar. Gils nggak, sih? Segampang itu Oliver menyelesaikannya.
"Baru saya telepon Bapak, mereka sudah pada kabur. Tapi saya tetap minta tolong ya, Pak."
Aku nggak tahu lagi apa jawaban dari Pak Jaya yang memang Kapolsek di sini, karena Oliver mematikan fitur pengeras suaranya. Dia juga sempat bicara pelan yang membuatku nggak bisa dengar lagi ngomong apa. Setelah Oliver mematikan telepon, barulah beberapa orang mendatangi Oliver dan nanya sebenarnya apa yang terjadi.
"Udah, nggak usah dipikirin. Maaf ya acaranya jadi agak kacau. Ayo ayo, kita balik lagi ke dalam lanjutin makan."
Dan jawaban Oliver sesederhana itu. Orang-orang nggak lagi nanya apa-apa, mereka beneran balik ke dalam rumah. Kudengar Ayah dan Bunda juga sempat meminta maaf atas gangguan tadi. Terus ya, Ayah tuh geleng-geleng pas tatapan sama aku. Aku tadi panik, jadi nggak merhatiin kalau ternyata Ayah juga berdiri di teras. Beneran deh, Ayah pasti nanti ceramah yang intinya Farel itu memang bukan laki-laki yang tepat buat aku.
Iya, iya, aku mengakui dengan sukarela bahwa Farel itu bukan calon suami idamanku. Selain suka gombalin aku, kayaknya dia nggak ada nilai plus lainnya, deh. Kenapa coba dulu aku suka sama dia?
Sudah nggak ada orang di teras, semua pada anteng di dalam. Rina dan anggota tim dekor lainnya gegas membereskan kekacauan di halaman. Mereka nggak nanya apa-apa ke aku, tapi aku rasa mereka tahu inti masalahnya. Sewaktu masih pacaran sama Farel, dia lumayan sering ke toko. Sekarang di saat aku lagi lamaran sama laki-laki lain dan Farel datang sebagai pengacau, ya anak-anak tokoku bisa menyimpulkanlah cerita singkatnya gimana.
Saat ini kira-kira aku hanya berjarak satu meter dengan Oliver. Laki-laki ini selalu menawan, bahkan di saat wajahnya diselimuti resah. Dia menatapku naik turun, lalu menghela napas panjang dengan wajah menengadah.
"Mungkin aku harus bilang sorry," kataku, memecah keheningan kami.
Yang melakukan kekacauan itu Farel, tapi kalau diurutkan dari awal, aku jelas punya andil dalam insiden tadi. Oliver membersihkan kekacauan tanpa menjelaskan alur detail ke keluarganya bahwa tindakan kurang ajar Farel itu karena rasa patah hati terhadapku. Seminggu ini Farel selalu menghubungiku, meminta maaf, meminta kesempatan. Dan bodohnya, aku memberi tahu bahwa hari ini bakal lamaran. Sumpah, maksudku ngasih tahu dia tuh ya biar dia sadar diri dan berhenti ganggu aku. Lho, tahunya dia malah bikin keributan. Kalau Oliver nggak memanfaatkan hubungannya-yang entah apa-dengan Pak Jaya, lalu memilih jalan kekerasan, aku bisa memastikan bahwa keadaan di sini sekarang runyam banget.
"Aku udah memprediksi ada kejadian memalukan kayak gini."
Dia santai banget coba ngomongnya. Kayak nggak ada beban sama sekali, tapi wajahnya itu jelas-jelas cemas.
"Kamu marah?"
Ih, ngapain juga aku tanya? Urusan dialah mau marah atau nggak. Tapi kenapa lidah sama mulutku malah berkhianat, sih?
"Aku sempat emosi. Tapi aku menahan diri karena ingat kamu. Yang harus aku lindungi adalah kamu, karena dia bisa aja datang dan mau menculik calon istriku.
Cringe banget pemikiran dia, lebay gitu lho. Tapi ... kalau dilihat dari kegilaan Farel tadi, ya mungkin saja sih hal itu bisa kejadian.
"Dia hubungi kamu lagi?"
"Koreksi, dia selalu hubungi aku sejak malam itu."
"Oh, oke. Besok-besok kalau dia ganggu kamu lagi bilang sama aku."
Sisi protektif Oliver keluar. Alasan kenapa aku nggak cerita kalau Farel masih hubungi kemarin-kemarin itu ya karena takutnya Oliver meledak terus ngajak Farel berantem. Dari pengalaman-pengalaman zaman SMA, Oliver kan paling nggak tahan kalau ada yang ganggu aku. Nah, kalau satu lawan satu aku yakin banget Oliver menang. Cuma ... aku sebisa mungkin mau menghindari kekerasan. Nggak setiap permasalahan harus diselesaikan dengan berantem, 'kan? Laki-laki jago berantem itu keren. Tapi ... laki-laki yang bisa pakai otaknya ketimbang mengadu otot, itu jauh lebih mempesona.
Dan sekali lagi aku mengakui, bahwa Oliver memang mempesona dengan caranya menghadapi Farel tadi.
Hah! Sofieee! Kamu tuh plin-plan ya! Sebentar-sebentar kesal sama dia, sebentar-sebentar terpesona!
"Sof, ngapain geleng-geleng?"
Hah?
Ah! Rupanya aku geleng-geleng saking sebalnya sama isi hatiku yang nggak jelas maunya apa. Oliver sampai ngelihatin aku dengan ekspresi bingung.
"Nggak. Lagi mikir sesuatu aja barusan."
"Apa? Berusaha menyangkal kamu yang terpesona sama aku?"
Ih, kok, dia tahu sih?
"Nggak! Kepedean kamu, tuh! Udahlah, aku mau masuk lagi!"
Panas! Panas! Pipiku panas karena Oliver senyum-senyum. Argh!
Aku siap meninggalkan Oliver, tapi langkahku tertahan saat dia melontarkan sebuah pertanyaan.
"Kalau dia ngajak kamu kabur, kamu mau, Sof?"
Pertanyaan Oliver nggak sulit buat dijawab. Saat Ayah terang-terangan nggak merestui aku sama Farel, aku nggak ada sedikit pun niat buat kawin lari atau apalah itu. Tadi di saat aku bimbang, aku juga nggak berniat kabur, hanya sempat terlintas apa sebaiknya aku bicara terus terang. Pikiranku nggak sependek itu buat ambil jalan pintas yang merugikan.
"Menurutmu gimana? Apa aku bakal kabur sama mantan pacarku?"
Oliver tersenyum, kemudian menggeleng.
"Nggak, kamu nggak akan lakuin itu. Tapi aku berharap dengar jawaban langsung dari kamu, setidaknya itu buat aku senang dan semangat untuk dapat kepercayaan dari kamu lagi."
"Oh, jadi maksudnya sekarang kamu nggak semangat?" tanyaku cepat. Atau mungkin tepatnya aku menuduh dia.
Salah satu manusia paling sabar yang pernah aku temui adalah Oliver. Nada sinisku barusan nggak bikin dia kesal atau balas sinis juga.
"Nggak gitu maksudnya, Sayang."
Alasanlah paling. Tuh, tadi dia sendiri yang bilang biar semangat. Artinya sekarang dia nggak semangat, 'kan? Iya, 'kan?
"Kamu, kok, fokus ke kata itu aja sih, Sayang?"
"Ya habisnya kata itu nggak enak didengar."
Dia malah senyum lebar coba.
"Aku gemas lho sama kamu. Coba udah halal, aku pasti-"
"Pasti apa?" tanyaku penuh curiga.
Ngelihat wajah semringah Oliver, kayaknya dia lagi mikirin hal aneh, deh!
"Pasti peluk kamu dan ya ... itulah. Biasanya suami istri ngapain di kamar?"
Aku mendelik. Dia bahas apaan sih?! Wajahku jadi panas banget, nih! Terus senyumnya Oliver itu kayak ada maksud tersembunyi. Dasar!
"Kamu mesum, Olv!"
"Lho, kok, mesum? Emang kamu tahu suami istri biasanya ngapain di kamar?"
"Ih! Kamu ya pikirannya ke sana. Aku nggak mau diperawanin sama kamu," ucapku tajam dengan nada tertahan.
Selanjutnya, Oliver ngakak dong. Sampai bungkuk-bungkuk lho dia megangin perut. Aku sengaja mengontrol intonasi biar nggak ada yang dengar. Eh, Oliver malah bertingkah yang bisa saja menarik perhatian. Bikin makin ketawa.
"Apa sih ketawa-ketawa? Nggak ada yang lucu."
Susah payah dia menghentikan tawa. Setiap mau bicara dia ngakak lagi. Aku melotot sambil bersedekap, barulah Oliver mulai bisa mengontrol kegirangannya itu.
"Kamu lucu, Sofie. Maksudku itu aku mau peluk kamu sambil tidur, suami istri kan emang gitu kalau di kamar. Kenapa kamu jadi bawa-bawa kata virgin?"
What?! Dia ngejebak aku, ya?! Siapa sih pikirannya yang nggak travelling kalau bahas suami istri di kamar? Aku tuh normal, jadi kan langsung kebayang adegan yang nggak-nggak itu. Argh! Oliver cicakkk!
"Ah, bodo! Aku mau balik ke dalam!"
"Eh, eh, tunggu dulu!"
Bodo amat! Aku berjalan cepat walau agak susah karena memakai kain lilit. Di belakangku Oliver memanggil-manggil, tapi kayak lagi nahan ketawa gitu. Puas banget kayaknya dia bikin aku malu tadi.
"Nah, ayo kita foto-foto dulu!"
Sampai di ruang tamu, kalimat itu menyambutku. Siska yang merupakan MC acara ini tersenyum lebar dan memberi isyarat agar aku mendekat ke photobooth berdekorasi penuh oleh bunga-bunga. Belum sempat mikir apa-apa, aku didorong pelan sama beberapa anggota keluarga. Oliver juga diperlakukan sama. Dan akhirnya kami berdiri berdekatan tanpa saling menyentuh, tapi itu nggak lama, karena Oliver segera memberi jarak lebih lebar dan terlihat canggung.
"Gayanya dong, Mbak dan Mas!" seru seorang laki-laki. Saudara Oliver sepertinya.
Fotografer sudah siap, tapi aku dan Oliver masih tatap-tatapan.
"Padahal nggak mau foto prewed, tapi ternyata foto saat lamaran nggak terelakkan ya," kata Oliver seraya mengusap tengkuknya.
Mungkin Oliver juga bingung gimana mau nolak. Ini mereka semua berisik banget nyuruh buru-buru pasang pose bagus. Akhirnya aku dan Oliver memutuskan untuk segera mengakhiri adegan ini dengan memenuhi permintaan mereka. Mereka semua bersorak saat lihat hasil foto yang cakep banget-menurut mereka. Jadi, posenya aku menatap kamera, satu kaki maju, kemudian lututku sedikit tertekuk, dan dagu sedikit naik. Oliver ada di belakangku, tersenyum dengan tatapan tulus padaku. Ya, dilihat-lihat memang bagus, sih hasilnya. Lumayanlah dijadikan kenang-kenangan.
Magrib hampir tiba saat sebagian besar keluarga Oliver berpamitan lebih dulu, beberapa sisanya bilang akan sholat di sini, karena Ayah mempersilakan. Nggak terasa acaranya sudah berakhir. Lega, sih.
Aku kira setelah sholat Oliver dan orang tuanya bakal langsung pulang, ternyata nggak. Aku yang sudah ganti pakaian jadi ngerasa aneh karena yang lainnya masih berpakaian normal. Soalnya tadi tuh sudahlah mau wudhu kalau aku nggak ganti pakaian dulu.
"Karena tinggal kita keluarga inti, saya mau membahas kejadian tadi."
Wah! Ayah mau bahas Farel? Sekarang? Di depan orang tua Oliver? Di depan Azmi yang pasang jutek dari tadi? Gimana reaksi mereka kalau tahu, ya?
"Kalau Pak Angga merasa nggak perlu menceritakannya, kami nggak akan menjelaskan. Toh, masalahnya udah selesai. Jangan dijadikan beban," sahut Papa Wijaya.
Orang tua Oliver memang baik. Aku yakin mereka sudah menduga-duga. Farel teriak-teriak kayak orang nggak waras gitu, ya semua orang yang hadir tadi pun mungkin punya pemikiran yang sama. Tapi bagusnya, nggak ada satu pun yang bertanya ke aku.
"Biarkan saya meminta maaf terlebih dulu pada Pak Wijaya dan keluarga. Yang tadi itu adalah mantan pacar Sofie. Di hari Pak Wijaya datang, saya juga menjelaskan situasi Sofie saat itu. Dan karena Sofie menerima pernikahan ini, mungkin dia nggak terima. Sekali lagi saya minta maaf. Saya berharap kejadian tadi nggak membuat hubungan kita merenggang."
Nyut!
Dadaku nyeri. Bukan Ayah yang bikin kesalahan, tapi Ayah minta maaf.
"Udah, udah, nggak usah dipikirin. Kita lupakan kejadian tadi, Pak. Kami paham situasinya."
Papa Wijaya juga nggak mempermasalahkan ini, bahkan Mama Reni menenangkan Bunda. Katanya, nggak perlu khawatir apa pun, karena Mama nggak akan mengubah keinginannya untuk menjadikanku menantu. Suasana adem, tapi sebelum seseorang mulai mengacaukannya.
"Berarti kalau nikah sama Kak Oliver, bisa aja laki-laki tadi lagi bikin ulah, 'kan? Dia mantan pacar Kak Sofie, apa Kak Sofie udah nggak sayang sama dia? Kak Sofie yakin nggak akan berpaling dari Kak Oliver kalau terus didekati mantan?"
Nggak usah aku perjelas ya siapa yang bicara. Bunda yang duduk sebelahan sama Mama kelihatan bingung. Ayah terlihat akan bicara, tapi Oliver mendahuluinya. Untuk sedikit menenangkan Ayah, aku yang duduk bersebelahan dengannya jadi gampang buat genggam tangan Ayah.
"Azmi, Kak Sofie itu pilihan Kakak. Apa kamu nggak percaya sama Kakak?"
Oliver mengelus kepala Azmi yang terbalut kerudung abu-abu polos. Anak itu memberengut, papanya geleng-geleng dan Oliver memberi isyarat supaya papanya nggak ambil suara. Papa dan dua anaknya itu duduk di deretan kursi seberangku dan cuma Oliver yang ekspresinya tetap terjaga.
"Kakak sayang sama Kak Sofie. Sebagai adik yang paling Kakak sayangi, kamu juga bisa menerima Kak Sofie biarpun belum sayang, 'kan, Azmi? Kakak percaya kamu juga pengen Kakak bahagia."
"Tapi Azmi kan takut Kakak disakiti."
Gadis berkebaya biru muda itu memeluk kakaknya. Azmi nangis, perlahan-lahan dia juga terisak. Mungkin baginya sangat menyakitkan saat Oliver harus membagi hati. Semua kasih sayang dan perhatian Oliver yang awalnya hanya untuk dia, akan terpecah.
"Nggak akan ada yang nyakiti Kakak. Udah, ya, nangisnya."
Sosok menawan itu menepuk-nepuk pelan punggung sang adik. Para orang tua tersenyum dan bisa kuartikan mereka lega. Aku pun ikut tersenyum, tersentuh oleh cara Oliver menangani pemberontakan Azmi.
Aku nggak punya kakak kandung. Ngelihat interaksi Oliver ke Azmi, aku sebenarnya iri. Oliver ... lembut banget memperlakukan adiknya. Kalau kami sudah menikah, apa dia juga akan memperlakukan aku kayak gitu?
To be continued
Next chapter adalah The Day. Bisa tebak malam pertama mereka kayak gimana?🤣
Jangan lupa follow ig putriew11, FB Putrie W
Lav,
Putrie
Full of Betony
9. Late Night Call
Mendekati hari akad, aku ternyata ngerasa gugup. Aku juga jadi jarang ke toko, lebih banyak waktu di rumah atau ketemuan sama orang WO untuk meriksa persiapan. Bawaannya aku nggak pengen ngapa-ngapain, berasa deg-degan terus. Makan saja aku malas, main HP berkurang drastis, media sosial aku mungkin hampir lumutan karena sudah sebulan nggak aktif kayak biasanya. Anak-anak toko giliran nelpon aku, bahkan ada yang sampai datang ke sini karena khawatir. Mereka tahu aku bakal nikah dan pastinya waktu untuk pekerjaan itu berkurang. Cuma, aku yang sama sekali nggak mantau keadaan toko tetap saja bikin mereka kepikiran.
Oh, iya, karena nafsu makanku agak menurun, aku ngerasa berat badanku terpengaruh. Sewaktu fitting kebaya buat yang terakhir, itu kebayanya berasa longgaran, padahal sebelumnya pas banget. Jujur, itu bikin aku tambah worry. Bukannya gimana, ini badan aku sudah kurus, bakal nggak lucu banget kalau ada acara berat badan turun lagi. Nggak kebayang kalau tulang-tulangku sampai kelihatan gitu karena dagingnya nggak ada. Hah! Sebenarnya aku mencemaskan hal-hal lain juga, seperti gimana kalau Oliver mendadak gagu dan nggak bisa menyelesaikan ijab qobul dengan benar.
Apa ini yang dinamakan pre-marriage syndrome?
Setelah hari lamaran, aku makin jarang ketemu Oliver. Komunikasi kami juga nggak intens lewat telepon. Palingan kami membicarakan persiapan pernikahan, terus malamnya dia bakal kirim pesan ucapan selamat tidur. Sudah, gitu doang. Kalau dipikir-pikir sikap Oliver itu B banget. Coba, deh, katanya sayang, tapi hubungi aku jarang. Nanti kalau sudah nikah dia juga pasti kayak gini, 'kan? Kalau aku nggak berkabar, dia santai saja gitu.
Tunggu, tunggu. Kalau sikapnya dingin memang masalah, ya? Harusnya kan nggak, Sofieee! Dia mau kayak gimana juga bukan urusanmu!
Kan! Aku mikir berlebihan lagi. Kayaknya benar ini efek hari pernikahan yang tinggal menghitung jam.
Ponselku berdering, aku nggak ada ide siapa yang nelepon. Dengan malas aku mengambil benda pipih itu dari nakas. Tadinya aku mau melanjutkan berbaring, tapi batal. Aku seketika bersila dan mataku serasa melebar saat membaca nama yang tertera di layar. Dan boom! Ada yang meledak di dadaku, sampai-sampai di dalam sana rasanya kacau banget.
Angkat, nggak? Angkat, nggak?
Layar ponselku padam, kukira orang itu nggak akan menghubungi lagi, tapi aku salah. Dia nggak menyerah hanya karena tiga panggilannya nggak aku jawab. Di panggilan keempat, aku memutuskan untuk bicara padanya. Karena aku memang nggak bermaksud untuk menghindar.
"Ada yang penting?" tanyaku tanpa basa-basi.
"Sofie, kamu mau nikah sama Oliver, tapi kenapa kamu nggak ada cerita apa-apa ke aku? Oliver udah balik juga kamu nggak pernah ngabarin. Seminggu ini aku sibuk dan aku baru ngecek grup barusan, aku kaget banget. Berarti sama Farel udah putus, ya?"
Sia-cicak! Sebenarnya aku sudah menduga Anggi akan membicarakan soal pernikahanku, mengingat seminggu yang lalu aku sudah menyebarkan undangan daring untuk alumni angkatanku di grup WhatsApp. Tapi kok kesal ya saat dia bertanya kenapa aku nggak ngabarin? Lupakah apa yang sudah terjadi di antara kami?
"Kamu punya hak apa untuk bertanya, Anggi? Kita bahkan udah nggak komunikasi selama dua bulan."
"Soal itu, aku udah minta maaf berkali-kali, Sof. Kita kan sahabatan dari lama, sampai kapan kita mau marahan gini? Kenapa nggak mau terima maafku, sih? Aku beneran minta maaf, Sof, dan mau kita balik kayak dulu."
Kesal! Bahasa Anggi barusan seperti membalik keadaan bahwa aku yang salah karena nggak memaafkan dia. Gimana mau maafin kalau dia saja tampak nggak tulus mau memperbaiki hubungan kami.
"Anggi," aku mengembuskan napas panjang, "kalau kamu mau datang ke pernikahanku, silahkan. Kalau nggak mau datang juga nggak apa-apa, karena aku emang nggak ngasih undangan secara khusus. By the way, aku udah putus sama Farel. Dia available tuh kalau mau kamu deketin, kayak katamu dua bulan lalu."
Lalu aku mengakhiri panggilan, padahal Anggi sedang memanggil namaku tadi.
Mood-ku anjlok, mataku makin nggak bisa diajak kerja sama buat tidur. Menyebalkan!
Selain Oliver, Anggi adalah sahabatku sejak SMA. Kami sekelas, aku duduk sama Oliver, sedangkan Anggi tepat di belakangku. Selama ini aku ngerasa hubungan kami baik-baik saja, sewaktu aku ngegalau karena Oliver menghilang Anggi pun selalu nemenin aku. Tapi ... mungkin cuma aku yang menganggap kami nggak ada masalah, sehingga aku selalu menyangkal kabar burung tentang Anggi.
Mulanya aku mendengar dari teman yang lain, bahwa Anggi selalu membicarakan keburukanku. Salah satu contohnya, seperti aku yang nggak pintar dan nggak begitu cantik tapi punya crush se-perfect Oliver. Saat itu aku nggak mempertanyakan ke Anggi, karena aku berprinsip no body has perfect life. Aku juga menerima kalau aku ini nggak spesial, jadi ya sudahlah. Tapi ternyata nggak berhenti sampai di situ. Setelah lulus SMA, kami beda universitas, tapi tetap menjaga hubungan. Nggak jarang aku hangout sama teman-teman SMA dulu. Dan ... aku makin sering dengar kalau Anggi ngomongin aku. Kali ini agak nyelekit sih omongannya. Dia bilang aku gamov dari Oliver, bahkan tersiar kabar bahwa mungkin aku pernah ngapa-ngapain sama Oliver makanya aku stuck dan nggak bisa pindah ke lain hati. Saat itu aku emosi banget, tapi sekuat mungkin aku nahan diri karena aku nggak pernah mendengar langsung dari mulut Anggi.
Sekalipun aku pernah macam-macam sama Oliver, dalam pandanganku Anggi nggak berhak mengumbar hal tersebut, apalagi ini cuma fitnah. Mempertimbangkan persahabatan kami, aku memendam semua pertanyaan dan perasaan nggak enak itu. Sayangnya makin hari Anggi buat aku nggak nyaman. Puncaknya adalah, saat aku dengar langsung dari mulutnya bahwa Farel itu ganteng dan bakal dia pacarin seandainya aku sama Farel belum jadian.
Sumpah, aku syok banget. Situasinya saat itu adalah aku lagi ngantri di restoran cepat saji dan Anggi lagi makan bareng Fani-teman SMA kami dulu. Hari itu aku flu, jadi pakai masker dan kacamata hitam karena mataku juga perih-takut kena debu. Untuk itu, Anggi ataupun Fani nggak ngenalin aku, walau aku berdiri di dekat meja mereka karena antrian mengular. Dengan penampilanku yang nggak ketahuan, aku bisa mendengarkan obrolan mereka sampai selesai. Seketika aku pengen ngamuk, karena saat itu aku mendengar langsung penilaian Anggi terhadapku selama ini.
"Aku kalau bukan Sofie punya toko besar dan relasinya banyak juga malaslah temenan sama dia. Dari jaman SMA juga, sih, sebenarnya. Dulu itu aku nempel dia karena anaknya royal aja. Kalau ke kantin aku lebih sering dibayarin. Sisanya nggak ada kelebihan apa-apa tu anak. Sok cantik iya, beruntung banget juga sekarang punya pacar seganteng Farel. Apa aku coba goda Farel, ya?"
Ternyata begitu. Jadi, selama ini dia hanya memikirkan benefit yang didapat kalau dekat denganku. Selama ini aku sendirian yang menganggap Anggi adalah sahabat? Aku sering traktir dia zaman SMA karena ngerasa ya kenapa nggak, toh dia temanku. Oliver pun aku perlakukan sama. Dan bisa-bisanya dia bilang mau goda Farel, padahal mereka pernah ketemu beberapa kali saja saat di tokoku.
"Gila kamu, Nggi. Sofie teman kita dari dulu, biarpun aku nggak dekat banget sama dia, tapi kamu keterlaluan ngomongin dia di belakangnya."
Nggak nyangka, Fani yang nggak terlalu dekat sama aku mau membela, tapi Anggi ....
"Yeee! Biasa ajalah, Fan. Emang kenyataannya gitu, 'kan? Terus ya, palingan perawannya udah diambil Oliver, makanya bertahun-tahun dia nggak mau pacaran sama yang lain."
Gila, ya. Di tempat umum bahas keperawanan seseorang. Di mana sih etikanya si Anggi? Aku jadi nggak heran kalau dia sering gonta-ganti kerjaan, mungkin attitude-nya ini yang bikin dia susah diterima dengan baik.
"Apaan, sih, Anggi? Keterlaluan mulut kamu."
"Kamu, kok, belain dia terus, Fan?"
"Karena Sofie nggak sa-Sofie?"
Fani bengong saat aku duduk di kursi sebelah Anggi. Kacamata dan masker sudah kubuka. Aku tersenyum lebar pada Fani dan juga Anggi. Wajah mereka sangat menunjukkan keterkejutan. Suapan Anggi sampai tertahan dengan mulut sedikit terbuka.
"Hai, antriannya masih panjang, nih. Boleh numpang duduk di sini? Obrolan kalian kayaknya seru banget. Asyik gitu ya, Nggi, ngomongin keperawananku?"
"Eh, eh! Nggak gitu, Sof! Kamu salah paham."
Ayam goreng yang tadi sudah berada di dekat bibir Anggi, kini kembali ke piring. Dia terlihat panik dan berniat mencuci tangan dulu.
"Nggak perlu."
Aku mencekal lengan Anggi, mencegahnya mengulur waktu untuk kepastian yang ingin kuminta. Fani diam saja, sepertinya dia tahu bahwa aku memahami situasi sebelum aku duduk di sini.
"Sof, jangan marah. Itu tadi omongan iseng-iseng aja."
Anggi memelas, ekspresi yang selalu dia tampilkan kalau sedang meminta bantuanku. Sial-cicak! Kenapa aku membiarkan orang berkulit badak ini ada di sisiku selama bertahun-tahun?
"Yang mana? Bagian mau goda Farel? Oliver yang ambil perawanku? Bagian mana yang omongan iseng-iseng? Nggak capek bersandiwara, Anggi?"
Perempuan berambut cokelat di sampingku ini nggak memberi penyangkalan lagi. Dia hanya berkali-kali mengucapkan maaf yang membuat aku sangat muak.
"Sorry, Sof, sorry. Aku janji akan jaga omongan dari sekarang. Jangan marah, ya?"
"Bullshit, Anggi."
Aku menepis tangan kirinya yang hendak menyentuh tanganku. Anggi tegang dan terlihat makin panik.
"Bertahun-tahun aku tutup telinga karena nggak pernah dengar secara langsung dari kamu hal buruk tentang aku. Selama ini aku diam, bukan karena pengecut, tapi karena aku nggak punya bukti. Dan sekarang, aku lega bilang ini. Jangan pernah temui aku lagi, Anggi."
Rasa laparku menguap. Tanpa memikirkan untuk kembali mengantri, aku meninggalkan Anggi dan Fani. Nggak peduli berapa kali pun Anggi telpon aku hari itu, aku nggak ngejawab. Terus kok bisa-bisanya dia masih nanya kenapa aku nggak ngabarin soal pernikahan dengan Oliver?
Uhh! Sebal!
Waktu sedikit lagi menuju tengah malam, tapi aku nggak bisa tidur sama sekali. Gimana ini? Gimana? Lingkaran hitam di bawah mataku pasti parah nanti pagi, lalu Bunda bakal ngomel karena aku sudah disuruh tidur cepat, tapi malah begadang.
Ngapain, ya, biar bisa cepat tidur?
Satu pemikiran gila muncul ketika aku melirik ponsel. Aku kembali berbaring dan menatap layar ponsel yang mati. Tiba-tiba saja ponselku berbunyi dan membuatku terkejut. Hampir aku lempar lho karena barusan lagi nggak fokus.
Oliver menghubungiku di tengah malam begini, apa ada yang penting?
"Halo," sapaku, setelah menimbang mungkin memang ada yang perlu dia bicarakan.
"Assalamu'alaikum, Calon Istri."
Kyaaaaa! Aku sampai bingung mau berekspresi gimana dipanggil kayak gitu.
"Wa'alaikumussalam. Ngapain telpon jam segini?"
Cool, Sofie, cool. Jangan sampai Oliver tahu barusan kamu senyum-senyum.
"Aku nggak bisa tidur, aku pikir kamu juga sama. Kurang dari 24 jam kita akan jadi suami istri, Sof. Aku nggak bisa berhenti mikirin mimpi besar itu akan jadi kenyataan."
Mimpi yang pernah kami bicarakan memang sebentar lagi akan terwujud. Hatiku dipenuhi berbagai perasaan, jadi aku nggak bisa menjelaskan detailnya. Tapi anehnya, entah gimana, aku bisa merasakan ketulusan Oliver barusan. Hanya lewat kata-katanya tadi, aku yakin dia sangat bahagia atas status baru yang akan kami sandang.
"Mau dengar aku ngaji, nggak, Sof?"
Eh? Tiba-tiba? Padahal kukira dia akan melanjutkan topik tentang pernikahan kami. Hahaa. Aku geleng-geleng saat kembali sadar Oliver memang out of the box.
"Boleh."
"Oke, tunggu sebentar."
Aku meringkuk setelah menutup tubuh dengan selimut, bersiap mendengarkan suara Oliver. Dulu kami ngaji di TPQ yang sama, jadi aku tahu tuh suara Oliver memang enak didengar. Pas bulan Ramadan juga aku beberapa kali dengar dia tadarusan di masjid. Cuma ini adalah kali pertama dia memperdengarkan suaranya khusus buat aku.
Dan aku merasa ... tenang? Kekesalan terhadap Anggi jadi terlupakan begitu saja.
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم"
الٓمّٓ ۚ
"ذٰلِكَ الْكِتٰبُ لَا رَيْبَ ۛ فِيْهِ ۛ هُدًى لِّلْمُتَّقِيْنَ ۙ
Tepat di saat Oliver mengucapkan Alif Lam Mim, ada sesuatu yang tiba-tiba membuatku meneteskan air mata. Aku berkali-kali pacaran, tapi nggak sekali pun pernah ketemu yang seperti Oliver. Ketimbang nyanyiin aku lagu-lagu romantis atau ngerayu, dia lebih milih ngaji. Ketimbang ngajak pacaran dan ngasih janji palsu, dia malah langsung ngajak nikah.
Kalau begini, gimana aku nggak jatuh hati lagi sama dia?
To be continued
Hai! Apa kabar semua?
Maafkan aku yang masih lelet update. Dan izinkan aku meminta maaf untuk beberapa atau mungkin sebagian reader yang kecewa kalau Full of Betony berbeda dengar ceritaku yang lain.
Ini lapak SANGAT BERSIH DARI AREA 21+. Mungkin terkesan membosankan, tapi aku menulisnya dengan sepenuh hati sebagai reminder untuk diri sendiri. Syukur-syukur ada yang bisa ambil bagian positifnya juga.
Jadi mari enyahkan pikiran kalian malam pertama Sofie tanpa sensor.😆😆😆😆
Btw, aku salah prediksi. Next part baru The Day ya, alias hari pernikahan mereka.
Ada yang mau disampaikan? Silahkan.
Lav,
Putrie
NB: Ayat di atas diambil dari Surat Al-Baqarah ayat 1 dan 2.
Full of Betony
10. The Day
Boleh nggak aku minta vote sama komen kalian yang banyak? Biar aku senang. Wkwk

“Saya terima, nikah dan kawinnya Sofie Paramitha binti Angga Sanjaya dengan maskawin seperangkat alat salat dan logam mulia seratus gram dibayar tunai!”
Deg!
Deg!
Deg!
Jantungku berdebar sangat sangat kencang. Aku merasa mual karena seluruh tubuhku bereaksi pada apa yang baru saja kudengar. Dalam satu tarikan napas Oliver menyelesaikan kalimat sakral itu. Nggak ada keraguan, nggak ada kata yang salah, dan dia melakukannya jauh lebih baik dari yang aku perkirakan.
"Bagaimana, para saksi? Sah?"
"Sah!"
Ucapan syukur para keluarga terdengar sangat tulus, kebahagiaan mereka bahkan bisa aku rasakan. Di sampingku, Bunda menyeka air matanya, mungkin karena terharu bahwa baru saja putrinya resmi menjadi istri seseorang.
"Pengantin laki-laki dipersilahkan untuk menjemput pengantin wanitanya."
Ucapan MC membuatku kembali tegang. Napasku terasa pendek-pendek saat Oliver berdiri dari kursinya dan tersenyum ke arahku. Kami memang tidak duduk bersebelahan. Sesuai kesepakatan dua keluarga, aku akan menunggu Oliver menyelesaikan ijab qobul di kursi undangan paling depan. Di sisi-sisiku ada Bunda, Mama, Papa, dan tentunya Azmi.
Kini laki-laki itu berjalan mendekat, ditemani seorang anggota keluarga yang membawa mikrofon. Senyum di wajah Oliver tidak menghilang sejak tadi. Dan waktuku terasa terhenti beberapa detik saat dia mengulurkan tangan. Perasaanku kembali berbaur. Laki-laki ini sudah menjadi suamiku, menerima uluran tangannya pun kini tak bisa kutolak. Bukankah begitu?
"Assalamu'alaikum, Istriku."
Jerit bahagia orang-orang tidak tertahankan. Pasalnya, mikrofon itu berada di depan bibir Oliver. Ya sudah pasti kan semua orang mendengar bagaimana manisnya sapaan Oliver barusan.
"Wa'alaikumussalam," jawabku.
Nggak, aku nggak bisa balas sapaannya diikuti embel-embel suamiku. Aduh, geli lho, apalagi di depan banyak orang gini. Tapi biarpun begitu, Oliver kelihatan nggak kecewa, wajahnya masih semringah. Anggota keluarga juga mikirnya aku memang malu, pada nggak segan godain aku soalnya.
Meski terkesan lambat, tapi pada akhirnya jemariku bersentuhan dengan Oliver. Tanganku digenggam erat ketika aku berdiri. Dalam sentuhannya ini pun aku nggak merasakan keraguan. Anehnya, aku merasa bergetar atas interaksi ini. Mungkin karena sebelas tahun lalu adalah kali terakhir kami berpegangan tangan? Mungkin karena orangnya Oliver? Mungkin karena memang nggak ada alasan khusus? Entah, aku nggak paham.
Suasana pagi ini sedikit mendung, panasnya matahari nggak menjadi keluhan untuk kami yang menyelenggarakan acara di ruangan terbuka, tepatnya di halaman belakang. Nggak jadi nikah di KUA? Yups! Pernikahan akhirnya diselenggarakan di rumah yang Oliver nobatkan sebagai istana kami setelah menikah. Karena setelah hari lamaran, Bunda dan Mama rempong ngomongin kalau mending acaranya di rumah, daripada di KUA Dan jadilah rumah ini yang dipakai. Yah, aku mau debat lagi saat itu juga sudah malas. Terserahlah, yang penting keadaan damai.
Desir angin sejuk mengiringi tangan Oliver yang menyentuh ubun-ubunku. Di tempat baru dengan suasana tenang dan segalanya seperti berjalan seperti seharusnya. Alam seakan-akan sengaja memberi kami kedamaian seperti ini di hari yang sangat penting. Oliver membaca sebuah doa tanpa dipandu. Aku yakin suaranya menyebar ke setiap sudut tempat ini karena memakai mikrofon, tapi yang lebih aku perhatikan adalah betapa jernih suara Oliver. Dan betapa dia mempersiapkan proses ini. Dia melafalkan doa itu tanpa terbata-bata.
Tadinya aku hanya berdebar, merasa tegang karena sedang menjalani satu lagi proses setelah akad. Tapi saat Oliver melafalkan arti dari doa yang dia ucapkan tadi, mataku memanas. Terlebih lagi karena aku tahu Oliver mendoakan dengan sepenuh hati. Baginya pernikahan kami adalah mimpi besar yang akhirnya diwujudkan Allah.
"Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu kebaikan dirinya dan kebaikan yang Engkau tentukan atas dirinya. Dan Aku berlindung kepada-Mu dari kejelekannya dan kejelekan yang Engkau tetapkan atas dirinya."
Di dalam hati aku mengaminkan doa Oliver. Dan tanganku bergerak tanpa kusadari untuk memberi penghormatan pada laki-laki yang kini menjadi suamiku.
Rasanya ... mengejutkan ketika Oliver mencium keningku. Sejenak otakku lumpuh, hanya ada kosong sebelum aku kembali sadar bahwa bibirnya masih menempel di keningku. Aku merasa bergetar saat tangan besarnya menyentuh lenganku. Rasa dan sensasi ini jauh berbeda dari ingatan terakhirku tentang sentuhan kami sebelas tahun lalu.
Setelah kucium dengan takzim tangannya, setelah Oliver memberi senyum bahagianya, para keluarga bertepuk tangan dan mengucapkan alhamdulillah. Kami berpandangan dalam hening dan di sepasang matanya yang bening, aku melihat tumpukan-tumpukan harapan.
Hatiku kembali nyeri, ketika kuingat rasa sakit yang masih ada di sana. Bagaimana cara untuk menghilangkannya? Aku sungguh kesal dengan diri sendiri karena di saat yang penting begini aku malah mengingat hal yang seharusnya mulai belajar untuk kulupakan.
"Ayo, Sofie."
Tenangkan hatimu, Sofie, tenang. Jangan merusak kebahagiaan keluarga saat ini.
Tanganku digenggam Oliver, lalu kami melangkah menuju meja tempat petugas KUA dan Ayah berada. Ayah tersenyum ketika aku sudah duduk di seberangnya. Sekitar mata Ayah basah, pasti tadi ayahku menangis karena sudah menyerahkan tugasnya selama 28 tahun ini pada Oliver. Sesungguhnya aku juga mau menangis, tapi seakan-akan memperhatikan gerak-gerikku, Oliver lebih dulu menyeka air mataku. Nggak usah ditanya gimana ekspresiku, sudah pasti kaget banget! Mentang-mentang sudah halal, Oliver jadi nggak segan lho nunjukin perhatiannya. Ayah yang melihat adegan itu langsung melebarkan senyum, para keluarga juga sepertinya memperhatikan karena sampai ada yang ngomong, "Nggak takut lagi nih ya sentuh-sentuhan!"
To be honest, ini rasanya seperti baru punya pacar dan digodain teman-teman sekelas. Senang, malu, canggung, dan ya begitulah pokoknya. Nano-nano!
Kami mengadakan doa bersama, lalu berlanjut penandatanganan buku nikah, dan penyerahan maskawin. Ah, tentunya sesi foto nggak bisa dilewatkan. Entah berapa banyak potretku dan Oliver diabadikan oleh kamerawan serta keluarga.
Tapi ada hal ajaib yang terjadi. Hari ini aku berkali-kali tersenyum tulus saat berpose dengan Oliver. Bahkan ketika kami duduk berdua untuk saling menyuapi, aku ngerasa malu dan deg-degan lho. Astaga! Benar-benar, deh, aku kayak ABG punya pacar baru.
"Kamu cantik banget, Sayang. Berat nggak pakai siger gini?"
Pipiku dibelai dan hatiku seperti meledak. Gils, gils, gils! Kenapa aku baru tahu kalau disentuh laki-laki bisa membuat merinding gini? Dan tatapan Oliver itu ya, aduhh nggak bisa aku jelaskan.
"Nggak berat, biasa aja. Gombalan kamu tuh nggak ngaruh buat aku, by the way."
Iya, sangkal saja terus, Sofie. Sangkal terus!
"Oh, ya?"
Aku mengangguk.
"You are coming into my life such an angel, Wifey. I'll love you anytime, unconditionally. Thanks for being Sofie Paramitha, the woman who I loved since twelve years ago." (1)
Para keluarga lagi sibuk makan, mungkin nggak ada yang memperhatikan bahwa saat ini aku merasa nggak berkedip menatap Oliver.
He attacked my heart and I lose! (2)

Oke, setelah momen akad yang menegangkan dan acara resepsi yang pecah banget, saat ini adalah bagian paling bikin aku mati gaya. Apa itu? Tentu saja malam pertama! Aku dan Oliver sudah menikah dan dia menolak ketika aku mengajukan keinginan tidur di kamar lain. Tadinya aku pun sudah siap nyeret koper ke kamar sebelah, sayangnya Oliver langsung merampas koperku. Rumahnya nggak bertingkat, tapi di sini ada tiga kamar, bisa banget kan sebenarnya kalau kami nggak sekamar?
Tegang, nggak? Tegang, nggak? Ya teganglah! Aku tahu Oliver nggak akan memaksa ataupun main tangan ketika aku menolak, tapi dia punya hak untuk meminta. Aku cemas kalau kami berdebat, dia akan menggunakan haknya itu.
Lelah dan ngantukku mulai hilang karena sibuk memikirkan hal ini. Aku duduk dengan gelisah, bolak-balik lihatin jam dan pintu kamar mandi yang tertutup. Oliver lagi mandi di pukul 2 dini hari dan masalahnya adalah sebentar lagi dia pasti keluar dari sana. Lalu apa yang akan terjadi?
Kyaaaa! Aku pusing mikirinnya!
"Sof, belum ganti?"
Tuh! Dia sudah keluar dari kamar mandi.
Eh, tunggu! Oliver topless! Astaghfirullah! Tutup mata, Sof, tutup!
"Kok panik gitu, sih?"
Aduh, aduh! Makin gugup nih aku. Gimana, ya?
"Sof? Kenapa, sih? Kesusahan buka gaunnya? Mau aku bantu?"
Laki-laki ini ingin aku serangan jantungkah? Bayangkan, dia duduk di sampingku tanpa baju! Kalau aku buka mata, otomatis perutnya yang kotak-kotak itu bakal aku lihat. Ampun! Ujiannya kok berat gini sih, ya Allah?
"Sof?"
Tubuhku berasa kesetrum saat Oliver menurunkan kedua telapak tanganku yang menutup wajah.
"Kalau kamu nggak ngomong, aku nggak akan ngerti."
"Kamu tuh nggak peka banget, Olv. Kamu setengah naked gimana aku nggak malu?"
Nih, ya. Aku mati-matian banget cuma menatap mata Oliver dan berusaha nggak goyah untuk melirik perutnya itu. Sebagai perempuan, aku juga suka hal-hal yang terkategori indah dan menarik, contohnya ya perut Oliver itu.
"Gimana kalau full naked, ya? Mau coba nggak, Sayang?"
Hah?!
"Gila ya, kamu."
Aku memukul lengannya, tapi Oliver malah ketawa santai.
"Oke, ayo bicara dan perjelas hal-hal yang emang dibutuhkan."
Kali ini ekspresi Oliver serius dengan tanganku yang masih digenggam. Dia belum bicara lagi, tapi konsentrasiku terganggu karena wangi tubuhnya. Mungkin itu aroma dari sampo ataupun sabun, atau mungkin dua-duanya, yang jelas aku suka banget.
"Sof, aku suamimu sejak tadi pagi. Aku punya hak atas kamu, begitu juga sebaliknya. Ini adalah malam pertama kita, benar? Tapi aku tahu kamu nggak siap untuk melakukannya. Jadi, aku nggak akan memaksa karena tujuanku adalah membuat kamu menerima aku dengan ikhlas. Kamu nggak perlu takut kalau soal itu. Tapi ...."
"Tapi?" Aku mengulang ucapan Oliver.
"Tapi aku berhak melakukan kontak fisik lainnya."
Perasaanku nggak enak, nih.
"Contoh?"
"Ciuman, pelukan. Kalau mau cepat cinta harus perbanyak kontak fisik, 'kan? Lagian kita halal, lho, Istriku."
Buset! Nggak tahan aku dampingan sama makhluk tampan yang ternyata jago juga buat ngomongin hal privat gini.
"Kamu di luar kelihatan alim banget, tahunya gampang banget ngomongin soal ciuman."
Oliver nyengir dan dengan gerakan tiba-tiba wajahnya mendekat, sangat dekat malahan. Refleks wajahku mundur, kagetlah.
"Mau coba nggak, Sofie?"
"Coba apaan?"
"Our 2nd kissing." (3)
Dalam sekejap wajahku jadi panas, apalagi karena tatapan intens Oliver. Dia ngajakin ciuman, nih? Astaga.
"Nggak mau."
Dada Oliver aku dorong, sehingga kami kembali berjarak. Rasanya gugup dan nggak jelas banget duduk berdua di tepi ranjang yang didekorasi khas ranjang pengantin.
"Padahal aku penasaran banget gimana rasa bibirmu setelah itu."
Aku geleng-geleng, nggak sanggup kalau bahas masa lalu bagian itu dengan Oliver. Oke, pembicaraan ini harus segera diakhiri, caranya adalah aku harus ke kamar mandi.
"Aku mau bersihin wajah dan mandi dulu. Kamu tidur duluan aja."
Lalu aku berdiri dengan raut wajah yang kubuat sok cool, padahal dalam hati sudah kacau balau mikirin tidur seranjang sama laki-laki.
"Sof."
Eh? Apa ini?
Kakiku urung melangkah karena dari belakang Oliver memeluk pinggangku. Jantungku berdebar cepat dan aku nggak bisa mengeluarkan sepatah kata pun.
"Aku bantu buka gaunnya, ya. Pasti kesusahan karena resletingnya ada di belakang."
Boom!
Aku harus berterima kasih atau mengumpat pada gaun mewah berpayet ini?!
To be continued
NB:
(1). Kamu datang ke hidupku seperti malaikat, Sayang. Aku akan mencintaimu kapan pun, tanpa syarat. Terima kasih sudah menjadi Sofie Paramitha, perempuan yang aku cintai sejak dua belas tahun lalu.
(2). Dia menyerang hatiku dan aku kalah!
(3). Ciuman kedua kita
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰