Tentado Part. 7

0
0
Deskripsi

Bagaimana bila saat terjadi konflik dengan pasangan tiba-tiba ada seseorang yang membuat hati tergoda?


 

Part. 7


 

Aku menghargai keputusannya. Beberapa hari kemudian aku mendengar ada Counter Handphone yang membutuhkan karyawan. Sebenarnya mereka mencari tenaga kerja minimal berijazah SMA. Untunglah, pemilik usaha itu adalah putra teman Dosen ayah yang iba dengan kondisi Farida.


 

Aku sedikit lega setelah melihat gadis itu diterima kerja. Beberapa kali aku sengaja lewat depan Counter sepulang sekolah,  barangkali bisa melihatnya. 


 

Memiliki teman-teman baru tidak serta merta membuatku hilang rasa kepadanya. Entahlah, sepertinya nama itu selalu berada di dalam hati. Suatu hari aku mencoba mengajaknya ke warung Mbak Leni dan dia menyanggupi. Namun, dia tidak mau berangkat bersamaku, lebih memilih naik sepeda.


 

"Ada apa, Her, kok pake acara makan di sini?"


 

"Mmm …pengen tahu kabarmu aja."


 

"Kamu aneh. Kalau pengen tahu kabar ya tinggal nelpon atau datang langsung ke rumah."


 

Aku benar-benar bingung mau memulai. Saat itu aku masih kelas dua SMA, tapi ingin menjalin hubungan dengan wanita itu.


 

"Ayo, Her, bilang ada apa?"


 

"Mmm…aku…"


 

"Herman Adi Pratama?"


 

"Apakah aku bisa menjadi pacarmu?" 


 

Kuucapkan kalimat itu dengan sekali tarikan napas.


 

Dia menunduk.


 

Sebuah mobil berwarna perak memasuki halaman warung lesehan ini. Beberapa anak muda segera turun memasuki warung. Di antara mereka ada dua orang yang kukenal sebagai siswa sekolahku.


 

"Eh, kamu anak SMA Mahardika kan?" 


 

Seorang teman menghampiri mejaku. Dia mengulurkan tangannya. 


 

"Aku Reno, anak kelas 2 Bahasa 2."


 

"Herman, kelas 2 IPA 1."


 

"Nanti gabung ke sana ya."


 

Aku cuma tersenyum dan mengangguk. Ternyata itu awal pertemananku dengan mereka setelah saling bertukar nomor telepon.


 

"Bagaimana, Rid, apa aku diterima?"


 

Ia masih diam. Ada keraguan yang dipendamnya.


 

"Maafkan, Her, kita masih terlalu muda untuk membicarakan hal ini."


 

"Apakah itu artinya kamu menolakku?"


 

"Apakah aku mengatakan begitu?" dia balik bertanya. 


 

Kuhela napas panjang. Sebenarnya aku kecewa. Sikapnya membuatku bingung. Padahal aku sangat ingin kepastian.


 

"Jawab saja iya atau tidak, Rid, jangan membuatku berspekulasi."


 

"Maaf, Her, untuk saat saat ini jelas tidak. Kita masih terlalu muda untuk menjalin hubungan. Berapa banyak dosa yang akan kita buat sampai umur kita cukup untuk menikah?"


 

"Maksudmu, kamu ingin dilamar langsung menikah."


 

Dia mengangguk.


 

"Baiklah, kalau itu keinginanmu."


 

Aku sudah kehabisan kata-kata. Ada rasa kecewa yang dalam, tapi aku sadar bahwa ucapannya benar. Namun, entahlah sebagian sisi jiwaku berontak, merasa harga diriku direndahkan. Bisa-bisanya wanita miskin ini menolak seorang Herman, tatkala perempuan-perempuan yang lain berebut perhatianku.


 

Senja telah memanggil malam. Bulan sabit merayap menghiasi langit yang semakin menghitam.

Gadis di depanku telah berpamitan lima belas menit yang lalu. Kuputuskan untuk bergabung dengan rombongan Reno. Rupanya mereka teman satu desa yang bersekolah di tempat yang berbeda.


 

"Hai, Her. Ini, kenalkan teman-temanku," sapa Reno.


 

Ia mulai memperkenalkan satu persatu temannya. Seorang pemuda dengan tubuh bongsor bernama Dandy, lalu pemuda berambut ikal dengan kacamata tebal bernama Rafli. Selanjutnya 

teman satu sekolah denganku bernama Andik, dan dua teman yang lain bernama Johan dan Heru.


 

Aku segera akrab dengan mereka. Sepertinya mereka juga berasal dari status ekonomi yang lumayan, bila dilihat dari gurauan dan assesoris yang dipakai.


 

Semula aku hanya berteman dengan pemuda-pemuda di desa, dan beberapa teman sekelas yang rumahnya tidak terlalu jauh. 

Namun, sejak berteman dengan geng Reno, tidak terasa lingkungan pergaulanku mulai berubah. Aku mulai mengenal beberapa merk minuman beralkohol, dan kami bergantian menraktir. 


 

Karena mereka juga bergaul dengan cewek-cewek sepemikiran, aku berusaha melupakan perasaanku kepada  Farida. Namun, aku tidak bisa mendustai hati, bahwa rasa itu tidak bisa kuhapuskan. Apakah cinta pertama itu selalu seperti ini? Terpatri indah di dalam hati?


 

***


 

"Ayok, nambah lagi, Her. Masa orang sekeren kamu kalah sama perempuan? Hahaha!"


 

Waktu itu Shasha mengejek karena dia bisa minum lebih banyak. Dia masih merasa kuat, meskipun caranya berbicara sudah mulai oleng. Namun, aku tak kuasa menolak egoku yang bangkit, hingga kutenggak lagi beberapa sloki miras.


 

"Rida, kamu di sini?" 


 

Aku tersenyum melihat dia berada di depanku. Aku lebih gembira, ternyata dia diam saja saat tanganku menggenggam jemarinya. Dalam pandanganku saat itu, dia malah tertawa dan memelukku. Selanjutnya aku merasa beberapa orang mengangkat tubuhku dan memasukkan ke dalam mobil. 

Aku tidak ingat apa-apa lagi hingga aku merasa kedinginan, tapi tidak kuat untuk bergerak.


 

"Herman, bangun Kenapa kamu tidur di sini?" 


 

Kurasakan seseorang mengguncang-guncangkan tubuhku. Saat membuka mata, ternyata Mamaku.


 

"Mmmhh, nggak tahu, Ma. Aku masih pusing."


 

"Astaghfirullah, apa kamu mabuk, Her? Ini di baju ada bekas lipstik siapa? Terus ini tumpahan apa? Bau sekali!"


 

Kulihat Mama berdiri menjauhiku. 

Sempat kulihat wajahnya yang memerah. Dengan tubuh terasa sakit seperti habis digebuki, aku berusaha bangkit. 


 

Mama tidak bergeming saat aku melewatinya. Aku hafal, bila beliau diam, itu artinya kemarahan sudah sampai pada puncaknya. 


 

Aku segera masuk ke dalam kamar mandi. Guyuran air di kepala membuatku segar dan mengingat kembali kejadian semalam. Aku tidak tahu persis apa yang terjadi sesungguhnya, hanya ingat ada seorang wanita yang memelukku. Apakah dia itu benar-benar Farida atau orang lain? Aku belum menemukan jawabannya. Namun, apakah mungkin gadis itu bertindak seperti itu? Kalau benar dia, lantas, mau apa datang ke cafe Ekstra Hot? Lalu siapa yang mengangkatku masuk mobil? Berbagai macam pikiran berkelindan dalam kepala.


 

Suara motor ayah terdengar memasuki halaman. Hari Minggu seperti ini biasanya beliau ingin beristirahat di rumah. Biasanya setelah datang dari Musholla, lelaki itu bersantai di gazebo taman kecil di belakang rumah ditemani burung-burung kesayangannya. 


 

"Assalamualaikum." 


 

"Wa'alaikumussalam, Ayah." 


 

Aku menunduk sambil mengulurkan tangan, menyambutnya memasuki teras.


 

"Kelayapan kemana saja semalam?"


 

Aku tidak berani menatap wajahnya. Ada rasa takut yang menyelimuti hati.


 

"Jawaaab!"


 

Aku tersentak mendengar suaranya yang menggelegar seperti Guntur.


 

Aku membeku, bingung jawaban apa yang hendak kuberikan kepadanya. Saking gugupnya, aku tidak menyadari ada seseorang yang sudah berada di halaman. Entah sejak kapan dia berdiri mematung di halaman dan memperhatikan kami. Di tangan kanannya memegang satu kantung plastik berwarna putih.


 

"Ma… ma… af, Ayah, aku dari Kafe Ekstra Hot."


 

"Kamu pikir Ayah tidak melihatmu tidur di teras seperti gelandangan dengan bau minuman keras?"


 

Kudengar napas ayah tersengal-sengal, berusaha menguasai emosinya. 


 

Aku tidak tahu, tiba-tiba saja aku punya keberanian untuk menyela, saat pandanganku menemukan sesosok wanita yang sangat kukenal. 


 

"Fa...Farida!"


 

"Maaf, aku tidak sengaja. Aku cuma mengantarkan pesanan Ibu Dirga."


 

Ia berjalan mendekatiku untuk menyerahkan kantung plastik yang dibawanya. 


 

"Aku permisi dulu." 


 

Dengan cepat dia mengambil sepeda dan mengayuh kuat-kuat meninggalkan halaman rumah kami. 


 

Bersambung 


 

Terima kasih sudah berkenan membaca 🙏😊.
























 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Damar Kambang
0
0
Resensi buku Damar Kambang karya Kak Muna Masyari 
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan