
Mengumpulkan cerita-cerita pendek dalam satu buku
Based on true story (93%)
Silakan Ambil, Mas
Matahari tengah memanggang bumi dengan kejamnya ketika kereta Pasundan mulai berhenti. Beberapa penumpang hilir mudik di sebuah stasiun siang itu. Ada yang menjajakan nasi, minuman, krupuk dan lain sebagainya. Aku dan sepupu yang hanya selisih dua tahun baru setengah jam duduk di kendaraan ini. Saat itu kami hendak liburan ke rumah Nenek Mbak Ningsih di Bandung setelah ujian sekolah berakhir.
Hawa panas mulai merayapi tempat ini. Kami mengibaskan ujung krah baju untuk sedikit mengurangi rasa gerah. Aku dan Mbak Ningsih tidak bisa selonjor, karena kursi depan kami diduduki oleh dua orang lelaki muda.
Seorang pria berwajah tirus berjaket biru tua, sedangkan satunya berkemeja merah dengan garis-garis vertikal berwarna putih. Memang sih, kata ahli fashion, garis lurus ke bawah memberi kesan pemakainya lebih langsing. Untuk aku yang kerempeng, tentu lebih cocok horisontal.
Setelah merapikan rambut dengan jari-jarinya, pemuda berjaket biru itu berpamitan. Aku tidak tahu, mengapa lengkung bibirnya itu sempat terekam ke dalam pikiran.
"Eh, kenapa senyum itu mirip seseorang yang kukenal. Siapa, ya?" batinku.
Sepupuku yang bernama Ningsih cuma mengangguk sebentar, lalu mengarahkan pandangannya ke luar jendela kaca. Tampak lelaki tadi berjalan cepat menuju gedung stasiun. Dia hanya menyampirkan tali tas punggungnya ke pundak sebelah kiri.
"Lho, Mbak, kayaknya buah apelnya Mas tadi ketinggalan," ucapku pada sepupu.
Aku tidak mengerti, mengapa waktu itu dia juga punya pemikiran yang sama denganku.
"Oh, iya ya. Tapi sudah jauh orangnya. Sudahlah, anggap aja sedekahnya dia."
Mulailah Mbak Ningsih membuka kantung plastik berwarna putih itu, dan aku mengikutinya. Maka, tenggorokan kami yang kering pun merasakan segarnya buah itu. Perpaduan manis dan sedikit asam sungguh pas menurut seleraku. Belum lagi aroma khasnya menguar dan membelai hidung kami. Aku sampai memejamkan mata karena sangat menyukainya.
"Silakan ambil, Mas."
Mbak Ningsih menawari pemuda di depan kami berbasa-basi. Dia hanya mengangguk sambil tersenyum.
Ketika angkutan umum itu hendak berhenti di stasiun berikutnya, lelaki berkemeja merah itu berdiri lalu mengambil kantung plastik berwarna putih berisi apel yang berada di bawah jendela.
Lengking peluit petugas KAI seolah mengembalikan kewarasan kami. Aku dan Mbak Ningsih saling berpandangan dengan mata membulat. Sesaat tenggorokanku tercekat. Tidak peduli dengan rupa wajahku saat itu, akhirnya terucap juga sebuah kalimat "sakral" agar buah yang sudah telanjur kami telan menjadi halal.
"Waduh, maaf, Mas, saya kira miliknya Mas yang turun tadi. Tolong diikhlaskan, ya," tanganku menyatu di depan dada.
"Iya, gak papa. Mau ambil lagi?"
Spontan aku dan Mbak Ningsih menggeleng kuat-kuat sambil menggoyangkan telapak tangan. Dengan menahan senyum lalu pria itu berjalan menuju pintu keluar kereta.
"Bhuahahaha!"
Meletuslah tawa kami yang sudah tertahan selama beberapa waktu.
(Duh malunya, pake nawarin yang punya buah, hihihi)
TAMAT
30 Januari 2023
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐ฅฐ
