Resensi Kubah

Judul buku : Kubah

Penulis. : Ahmad Tohari

Penerbit

dan percetakan : PT. Gramedia Pustaka Utama

Cetakan keempat: September 2012

Jumlah Halaman : 216 hal, 20 cm

ISBN : 978-979-22-8774-5

EISBN : 978-602-06-0953-9

Blurb:

Tidak mudah bagi seorang lelaki mendapatkan kembali tempatnya di masyarakat setelah dua belas tahun tinggal dalam pengasingan di Pulau Buru. Apalagi hati masyarakat memang pernah dilukainya. Karman, lelaki itu juga telah kehilangan orang-orang yang dulu selalu hadir dalam jiwanya. Istrinya telah menikah dengan lelaki lain, anaknya ada yang meninggal, dan yang tersisa tidak lagi begitu mengenalnya. Karman memikul dosa sejarah yang amat buruk dan hampir tak sanggup menanggungnya. Namun, di tengah kehidupan yang hampir tertutup baginya, Karman masih bisa menemukan seberkas sinar kasih sayang. Dia dipercayai oleh Pak Haji, orang yang terkemuka di desanya yang pernah dihianatinya, karena dia sendiri berpaling dari Tuhan untuk membangun kubah masjid di desa itu. Karman merasa menemukan martabat hidupnya.

***

Pernah membaca tulisan Ahmad Tohari membuat saya kembali ingin menyelam ke dalam lautan aksaranya. Meneliti tiap kata bermakna yang terangkai demikian epik.

Dibalut nuansa alam yang membuat kita seakan menapak bersama tiap langkah tokoh Karman yang sedang melarikan diri. Merasakan emosi dan ketakutan, juga keresahan dan penyesalannya.

Membayangkan kondisi yang lemah dalam kesendirian persembunyiannya di sebuah makam. Makan sekedarnya dari pemberian alam, hingga menderita sakit tanpa seorang pun yang menemani. Toh, meskipun demikian, akhirnya pria malang yang menanggung akibat kesesatannya itu akhirnya diketahui warga dan ditangkap.

Karya yang dinobatkan sebagai novel terbaik tahun 1981 Yayasan Buku Utama Kementerian P dan K itu berlatar waktu sekitar tahun 1960-an. Masa pemberontakan G 30 S/PKI juga tersampaikan dengan deskripsi suasana dan kondisi masyarakat saat itu yang sangat memprihatinkan.

Pada sampul buku tercetak sebuah catatan dari Gus Dur:

Kubah berisi gagasan besar rekonsiliasi pasca peristiwa tragedi 1965 yang ditulis paling awal, yakni 1979 dan terbit dua tahun kemudian.

Segala penderitaan hidup tokoh yang lahir di Pegaten tahun 1935 sebenarnya dialami sepeninggal ayahnya. Kehidupan anak Mantri pasar itu di sebuah kota kecamatan waktu itu kemudian ditolong oleh Haji Bakir.

Beliau membantunya melewati masa kecilnya itu. Menampung di rumahnya, memberikan pekerjaan sesuai usia Karman agar anak itu tetap hidup layak. Dia pernah tampil sebagai penyelamat Rifah, Putri Haji Bakir yang membanggakannya.

Selanjutnya Hasyim_pamanda Karman_ juga memiliki andil besar dalam pendidikan Karman sepulang dari tugas kemiliteran. Saat itu bisa mencapai sekolah setingkat SMP merupakan pencapaian yang membanggakan.

Sayangnya, sekelompok orang partai pemberontak yang memiliki pandangan komunis memanfaatkan kecerdasan Karman. Mereka dengan sangat lihai mempelajari kehidupan suami Marni.

Mereka mencari informasi sebanyak mungkin, termasuk kesedihannya karena lamarannya yang ditolak Haji Bakir dan cerita tentang perpindahan kepemilikan sawah ayahnya. Semuanya digunakan untuk tujuan tertentu. Tanpa disadari, anggota partai seperti Margo dan Triman itu menjejali dengan buku-buku yang berisi doktrin-doktrin partai komunis dan pikiran-pikiran Lenin. Perlahan tapi pasti buku-buku itu mengubahnya.

Inilah salah satu bukti bahwa apa yang kita baca sangat memengaruhi pikiran. Pandangannya tentang kehidupan yang lurus mulai berbalik arah. Salah satunya provokasi yang memutar balikkan fakta, bahwa sawah ayahnya dimiliki Haji Bakir dengan cara yang sangat tidak adil, yaitu setengah hektar sawah ditukar dengan satu ton padi.

Jadilah ayah Rudio, Tini dan Tono itu membenci Haji Bakir dan selalu berprasangka buruk. Dimulai dari penolakan beliau atas lamaran kepada Rifah, putrinya. Bahkan, melakukan fitnah yang suatu ketika membuat orang yang pernah berjasa kepadanya itu ditangkap aparat. Padahal faktanya rumah Haji Bakir dirampok sebanyak dua kali, dan beliau malah dituduh bersekongkol dengan pelaku.

Dalam sebuah dialog dengan pamannya tentang sawah ayahnya, Karman membuat Hasyim sangat emosional sehingga ingin sekali menembak.

"Luar biasa," batin Hasyim.

"Hati kemenakanku telah penuh dengan keingkaran, hati nurani serta akal budinya telah tertutup. Inilah cikal bakal kesesatan Karman."

Kesesatan pikiran itu mencapai puncak saat dia menghancurkan bumbung bambu sebagai tempatnya berwudhu. Tindakan itu sebagai wujud penolakannya terhadap agama. Kelompok partai berhasil menanamkan prinsip bahwa agama adalah candu bagi kaum tertindas.

Pemikiran itu membuatnya tidak lagi percaya kepada Tuhan (atheis), apalagi menjalankan perintah-Nya. Marni tentu saja menjadi sangat sedih, karena salat berjamaah dengan suaminya saja ternyata hanya menjadi khayalan. Namun, istrinya masih beruntung tidak dilarang melakukan ibadah wajib itu.

Kerisauan Marni semakin bertambah saat suaminya berubah menjadi mudah terkejut dan takut. Sebuah sendok makan yang jatuh di meja saja bisa membuatnya gemetar. Saat Pohing -tetangganya- mengetuk pintu, hampir saja membuat pingsan.

Ketika ditanya oleh istrinya, rupanya lelaki itu pernah membuat poster-poster merah bergambar palu arit.

Akhirnya, hari itu tibalah juga. Karman berpamitan kepada Marni dan mulai melarikan diri. Dia sempat melihat Triman dibawa sekelompok orang dengan tangan terikat.

Penangkapan dan penahanannya sangat memukul kejiwaan Karman. Apalagi saat sang istri mematahkan hatinya dengan mengirim surat permintaan cerai. Ketika curhat kepada teman-teman sesama tahanan politik, dia malah dianggap beruntung. Istrinya kuat bersabar dalam kesetiaan dan penderitaan mengasuh anak-anaknya selama lima tahun, sementara yang lain hanya beberapa bulan sudah menikah lagi.

Jiwanya yang hancur membuat tubuhnya ikut menderita. Karman hampir menyerah untuk menyambung nyawa, dan tidak mau meminum obat. Untunglah ada seorang aparat yang masih peduli padanya. Kesediaan Kapten Somad mendengarkan keluh kesah tapol itu, serta beberapa nasihat, membuat lelaki itu kembali bertahan hidup.

Sayangnya setelah pembebasan diri dari penjara membuatnya kebingungan. Dia tidak tahu lagi tempat yang dituju karena istrinya sudah berkeluarga dengan lelaki lain. Pria itu bahkan rela menceraikan istri pertamanya demi menikahi Marni.

Mantan anggota Partindo itu juga merasa terbuang dan khawatir warga desa akan menolaknya bila dia kembali.

Sebersit harapan muncul ketika dia ingat masih memiliki Paman yang pernah mengasuhnya di desa lain. Kenyataan yang didapatkan tidak terduga, karena ketika sampai di rumah itu, dia bertemu dengan Rudio-anak kandungnya.

Bagaimana lika-liku kehidupan Karman selanjutnya? silakan membaca buku keren ini.

Saya suka dengan penulis ini karena tidak terasa menyisipkan pesan-pesan tanpa terkesan menggurui. Juga deskripsinya yang indah tentang alam yang membuat kita seakan berada di tempat yang diceritakannya.

Terima kasih sudah berkenan membaca 😊🙏.