
Resensi buku Bekisar Merah karya Ahmad Tohari
Bekisar Merah
Judul buku: Bekisar Merah
Penulis: Ahmad Tohari
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama Jakarta, 2011
Kompas Gramedia
360 hal. 21 cm
ISBN: 978-979-226632-0
EISBN: 978 602-06-0176-7
Dicetak oleh PT. Gramedia, Jakarta
Blurb:
Bekisar adalah unggas elok, hasil kawin silang antara ayam hutan dan ayam biasa yang sering menjadi hiasan rumah orang-orang kaya. Dan adalah Lasi, anak desa yang berayah bekas serdadu Jepang yang memiliki kecantikan khas-kulit putih, mata eksotis membawa dirinya menjadi bekisar di kehidupan megah seorang lelaki kaya di Jakarta, melalui bisnis berahi kalangan atas yang tak disadarinya. Lasi mencoba menikmati kemewahan itu dan rela membayarnya dengan kesetiaan penuh pada Pak Han, suami tua yang sudah lemah. Namun, Lasi gagap ketika nilai perkawinannya dengan Pak Han hanya sebuah keisengan, main-main. Hanya main-main, longgar, dan bagi Lasi sangat ganjil. Karena tanpa persetujuannya, Pak Han menceraikannya dan menyerahkannya kepada Bambung, seorang belantik kekuasaan di negri ini yang memang sudah menyukai Lasi sejak pertama melihat wanita itu bersama Handarbeni. Lasi kembali hidup di tengah kemewahan yang datang serbamudah namun sama sekali tak dipahaminya. Apalagi kemudian ia terseret kehidupan sang belantik kekuasaan dalam berurusan dengan penguasa-penguasa negeri.
***
Rentangkan kain putih dalam pikiran, dan siapkan imajinasimu! Bersiaplah lebur dan terhanyut dalam rangkaian kata-kata yang tertulis di buku ini. Resapi tiap gambaran latar yang diberikan oleh penulis satu ini.
Seperti opening sebuah film, begitu mulai membaca, pada awal-awal paragraf kita disuguhi suasana alam yang menjadi latar belakang kisah sepasang suami istri yang berprofesi sebagai penyadap kelapa. Dengan teknik showing, kita seakan "dipaksa" masuk ke dalam imajinasi penulis. Penyampaian cerita seperti ini, saya seakan ikut melongok ke dalam sungai saat tokoh Lasi kecil mengamati kepiting-kepiting di bawah sana.
Mungkin bagi orang yang kurang berselera dengan narasi yang panjang, tidak telaten membacanya karena sangat mendetail. Akan tetapi, penikmat seni sastra seperti saya justru terkagum-kagum dengan pengarang yang pernah mengikuti International Writing Program di Amerika ini. Mungkin inilah kelebihan profesi penulis, yang hanya bermodalkan huruf A sampai Z tetapi bisa membuat ribuan kata dengan penuh makna dan pesona.
Ahmad Tohari yang lulusan SMA di Purwokerto ini membuat emosi saya sempat bangkit, saat menuturkan ketidakberdayaan para penyadap yang harus mempertaruhkan nyawa dan sangat tidak sepadan dengan harga gula kelapa. Sedih, ironis, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Juga saat menceritakan derita Darsa yang harus merelakan sepuluh pohon kelapanya (hanya menyisakan dua pohon) ditebang: Darsa yang telah memberikan sumber kehidupannya demi kawat listrik, mustahil kelak dapat menjadi pelanggan.
Banyak pesan moral disampaikan dengan baik lewat beragam kejadian yang dialami tokoh. Petuah-petuah bijak orang tua, serta selipan ajaran agama membuat kita bisa mengambil sebagai pelajaran hidup.
Salah satunya pesan Mak Wiryaji, bahwa tidak ada pemberian yang tidak menuntut balasan. Namun, pengabaian Lasi terhadap ucapan emaknya itu meskipun disadari kebenarannya, membawanya pada akhir kisah dimasukkannya dia dalam bui.
Saya menemukan ucapan Gus Mus, tokoh agama di desa Karangsoga, yang berdialog dengan Daksa-suami pertama Lasi, saat dia dirundung duka yang mendalam.
"...Kamu telah menyakiti istrimu. Kamu juga telah mengabaikan angger-angger, aturan Gusti dalam tata krama kehidupan. Tetapi jangan terlalu sedih, sebab kesalahan terhadap Gusti Allah mudah diselesaikan. Gusti Allah jembar pangapurane, sangat luas ampunannya. Kamu akan segera mendapat ampunan bila kamu sungguh-sungguh memintanya. Gusti Allah terlalu luhur untuk dihadapkan kepada kesalahan manusia, sebesar apa pun kesalahan itu."
Lanjutnya:
"...Memang, orang bilang talak adalah kewenangan lelaki, sehingga lelaki boleh berkata wong lanang wenang. Tetapi jangan lupa, seorang istri seperti Lasi pun bisa minggat. Dan itu sudah terbukti, bukan?"
Ketika membaca kisah Lasi yang masih menjadi istri Daksa, membuat kita menyadari bahwa perempuan itu mampu bertahan dalam pahitnya kehidupan sederhana, kelelahan fisik saat mengurus suaminya yang sakit setelah jatuh dari pohon kelapa (bahkan hanya bisa berbaring dan mengompol). Akan tetapi, Ia tidak kuat saat menerima penghianatan setelah kesembuhan suaminya. Lasi pun pergi meninggalkan desa kelahirannya dengan hati hancur.
Oleh karena itu, ketika hidupnya berubah di "dunia lain," ia merasa sangat ganjil saat suami keduanya malah membebaskan dirinya bersenang-senang dengan lelaki mana pun, asal jangan minta cerai. Ia masih memegang teguh adab dan kesucian pernikahannya, meskipun saat itu hatinya tengah berharap pada Kanjat.
Lelaki yang lebih muda dua tahun itu tidak pernah ikut mengolok-olok Lasi semasa kecil, karena perbedaan fisik yang sangat mencolok di antara semua orang di Karangsoga. Dia telah berubah menjadi calon dosen yang gagah, dan (tentu saja) memiliki perasaan khusus kepada wanita tercantik di desanya itu.
Setting waktu yang diambil penulis adalah zaman di saat Pemimpin tertinggi di negri ini memboyong wanita Jepang Naeko Nemoto ke Istana Negara. Mungkin tindakan beliau akhirnya menjadi tren di kalangan pejabat pada masa itu. Wanita-wanita blasteran Melayu-Jepang banyak menjadi buruan mucikari.
Kepolosan Lasi yang hanya mengenyam pendidikan rendah dan kelicikan Bu Lanting serta Pak Bambung, seorang belantik kekuasaan di negeri ini, membawa Lasi dalam kehidupan yang tidak pernah terbayangkan. Tiba-tiba saja Bu Lanting sudah membelikan tiket dan membawa Lasi terbang ke Singapura untuk diserahkan kepada lelaki itu. Bertemu dengan duta besar, tamu-tamu negara lain, hotel mewah, mendapat kalung berharga milyaran, benar-benar dialami wanita itu.
Episode selanjutnya, perpindahan Lasi dari Slipi ke rumah yang lebih besar di Jakarta, serta kemudahannya memperoleh uang benar-benar berbanding terbalik dengan kehidupannya sewaktu menjadi istri penyadap nira kelapa. Saat itu Ia pernah merelakan pelupuh tempat tidurnya untuk kayu bakar dan terpaksa tidur di atas tikar.
Namun, di balik kemewahan itu, ternyata Pak Bambung di lain pihak, keberadaanya justru ingin disingkirkan. Lawan-lawannya berhasil menjebloskan ke dalam penjara. Harta bendanya disita negara, serta wanita-wanita yang berkaitan dengannya ikut terseret, termasuk Lasi.
Beruntung, Kanjat yang telah menjadi suami Lasi berhasil membawa pulang Lasi yang tengah mengandung anak mereka setelah meminta bantuan temannya yang menjadi pengacara.
Saya suka dengan cara penulis yang pernah menjadi dewan redaksi majalah Amanah (Agustus 1986-Maret 1993) ini menggambarkan hubungan suami istri Daksa dengan Lasi, serta Kanjat-Lasiyah (nama lengkapnya) yang tidak mendeskripsikan dalam aksi, tetapi dengan diksi yang indah dan sangat terasa kesakralannya. Bahwa hubungan itu sangat suci, yang seharusnya hanya dilakukan pasangan suami-istri.
Selamat berpetualang dalam lautan kata-kata ๐๐.
Terima kasih sudah berkenan membaca ๐๐.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐ฅฐ
