Lingsir wengi (cerpen {horor})

8
6
Deskripsi

Nggak semua hal yang kau pikirkan tentang seseorang itu realitanya mereka.

"Salah satu cara terbaik untuk mengetahui seberapa besar cintamu untuk orang lain itu cuman satu. Buat dia menghilang! Jika semakin panjang kamu rindu dengannya, akan semakin berat pula cintamu dengannya. Cinta itu bahasa jamaknnya rindu."
 

๐Ÿšง๐Ÿšง๐Ÿšง
 

LINGSER WENGI
Yunianti
 

"Ligser wengi.... Sepi durong bisa nendra, Kagodho mring wewayang. Kang ngrerindhu ati. Kawitane, mung sembrana njur kulino. Ra ngira bakal nuwohke tresno. Nanging duh tibane aku dewe kang nemahi." Selalu saja, setiap kali melewati kamar Naira suara serak remang-remang itu memenuhi gendang telingaku. 

Aku benci horor. Setiap mendengar lagu Jawa itu hawa dingin merasuk ke dalam pori-pori. Sudah berapa kali aku menyuruh Naira menghentikan ritual malamnya, tetapi berkali-kali pula Naira nekat. Setiap kugedor pintu kamarnya Naira akan keluar dengan wajah sembab penuh air mata. Dia akan bilang, "iya." Kemudian kembali ke kamar lagi. Aku tidak tau apa yang mendasari sikap aneh kembaranku tersebut. Lebih tepatnya tidak mau tau.

Ada banyak hal yang aku tidak suka dari Naira, contohnya menghabiskan seluruh waktu hanya demi membuat novel aneh di kamar. Bagiku itu membuang-buang waktu dan tidak menghasilkan banyak uang. Aku pernah menawari Naira untuk mengambil jurusan kedokteran, tetapi dia menolak dan lebih memilih berdiam diri di rumah bersama tumpukan imajinasi gilanya.

"Hentikan!" Seketika aktivitas sarapan ibu dan Naira terhenti sejenak. Menatapku dengan pandangan penuh tanya. "Aku tidak suka setiap malam mendengarkanmu nyanyi lagu Jawa itu Naira. Jadi hentikan!" Kutekankan suaraku, berharap Naira akan berhenti.

"Aku sudah selesai. Oh iya, nanti siang tolong antar aku ke kantor Bunga Pustaka." Naira langsung berdiri, meninggalkan piring yang sebenarnya hanya berkurang dua suapan.

"NAIRA! Bersikap sopanlah terhadap makanan! Dan lagi aku tidak pernah mengijinkanmu menulis." 

Gadis itu berhenti sejenak lalu mengambil piringnya. "Untuk yang satu itu, aku tidak bisa. Maaf." 

Tanpa sadar aku membanting sendok dan berteriak. Ibu mulai ambil suara menyuruhku diam. Tapi aku tidak peduli. Mau jadi apa Naira nanti? Dia tidak akan kenyang memakan hasil kertasnya itu.

"Kenapa? Kakak seharusnya tidak ikut adil menentukan mimpiku. Aku mungkin akan menurut setiap kak Nadia menyuruhku ini, itu. Seharusnya seperti itu, seperti ini. Titahmu dengan nada tinggi itu selalu aku turuti. Tapi tidak untuk yang ini, kak."
 

๐ŸŒป๐ŸŒป๐ŸŒป
 

Hari kerjaku sebagai dokter spesialis mata beroperasi tiga hari dalam seminggu yaitu senin, kamis dan sabtu. Untuk itu, kali ini aku mengantar Naira ke perusahaan penerbitan buku dengan hati setengah tidak rela. Terjadi keheningan disepanjang perjalanan. Rupanya kejadian tadi pagi cukup membekas dibenakku. Naira tidak pernah meninggikan suaranya dalam berucap. Meskipun saat berdebat denganku. Hal itu membuatku semakin merasa bersalah.

Saat ini kuputuskan untuk berbicara dengan Naira tepat saat lampu merah di depan. Dia mengacuhkanku. Kepalanya fokus ke jendela. Kubujuk lagi sambil menyentuh pundaknya. Tegangan terasa di tubuhnya, dia menoleh dengan mata membulat sempurna. Lalu berteriak, menyuruhku mundur.

Tidak! Naira tidak menyuruhku memundurkan tubuh, tetapi mobilnya. Aku lupa menginjak rem yang mengakibatkan mobil ini bergulir dengan sendirinya pada saat lampu merah. Dan saat itu waktu terasa begitu cepat dan lambat. Sebuah truk berukuran besar menghantam mobil bagian kiri, tepat dari arah Naira duduk dengan kecepatan turbo. Merusak mobil abu dan mendorongku keluar. Semuanya terasa aneh, ringan, kemudian gelap.

Rasanya begitu tenang dan damai. Jika boleh memilih aku tidak ingin bangun dari tidur panjangku, merasakan kenikmatan surgawi tanpa beban. Tetapi suara isak tangis berpadu dengan lagu lingser wengi  samar-samar kudengar. Membuat beban pada tubuh dan kepalaku mulai terasa begitu berat. Perih disemua sudut tubuh dan gelap.

Rintihan suara paruh baya menyapa indra pendengaran, menanyakan apa aku telah sadar? Kupanggil beliau yang ternyata adalah ibuku. Aku ingin meraih tubuhnya tapi di mana? Apa aku belum tersadar? Kudengar lagi ibu berteriak mengejutkanku. 

Jantungku berpacu lebih cepat. Sesorang yang kuyakini dokter memeriksa mataku. Setetes cairan hangat meluncur begitu deras bersamaan dengan isak tangis ibuku. Aku buta. Ibu berusaha keras menenagkanku yang membisu. Katanya aku akan segera dioperasi.

Tiga minggu paska operasi dokter membuka perban pada mataku. Silau cahaya lampu menyapa, aku tertawa haru. Ibu menitikan cairan kental sambil membekap mulut. Kata dokter mulai hari ini aku boleh pulang.

Aku berhenti di ruang tamu. Ada yang terasa berbeda di sini selain mataku. Rumah ini terlalu sunyi. "Di mana Naira? Pergi ke Bunga Pustaka lagi?" Ibu langsung memintaku untuk segera duduk, menenangkan emosi yang melonjak ke ubun-ubun. Kulihat ibu nampak bingung merangkai kata dengan guratan wajah sendu.

"Kata dokter Naira mengalami trauma tumpul di dada. Membuat pendarahan luas membanjiri dan mendorong jantung tidak bekerja normal. Naira mengalami Pneumothoraks dan tidak selamat setelah keritis selama dua minggu. Bertepatan dengan kepergian Naira kamu sadar dan didiagnosa mengalami kebutaan. Akhirnya ibu memutuskan untuk mendonorkan mata Naira padamu."

Aku membekap mulut menahan tangis. Rasa sesak memenuhi tenggorokanku yang semakin kering. Kata-kata ibu tadi membuatku bisu, menutup diri dalam kamar. Seharusnya ini tidak terjadi. Naira seharusnya tidak pergi.

Kamu tau, ada yang lebih rapuh dari kaca dan ada yang lebih tahan lama dari baja. Yaitu hati. Semakin sering kamu lempar ia akan semakin kuat, waspada dan tahan lama. Termasuk hati yang terluka. Aku tau selama ini kamu membuatku tertib dan bertanggungjawab. Menjauhkanku dari tulisan karena peristiwa Gibran dulu. Kecelakaan di panggung saat seminar kepenulisan yang membuang nyawa pacarku itu mungkin membuatku merasa bersalah dan terpuruk. Karena seharusnya akulah yang mengisi acara itu andai aku orang yang bertanggungjawab. 

Tapi Kak Nadia, rasa cinta mengajarkanku untuk ikhlas. Gibran membuatku sadar akan berharganya hidup. Maka aku berusaha menulis meski kamu larang. Lagu Lingser Wengi itu kesukaan Gibran. Makanya aku menyanyikan itu setiap malam sambil nangis. Itu semua aku lakuin untuk menghayati pembuatan novel terbaruku. Jadi jangan takut lagi. Jangan nangis karena merasa bersalah telah keras padaku. Aku nulis di surat ini karena tidak mampu merangkai kata secara langsung. Semoga kamu suka cerita terbaruku yang berjudul Lingser Wengi ini ya? Tidak horor, kok. Lov kak Nadia.

Aku terisak makin histeris setelah membaca surat dari Naira yang ibu berikan padaku tadi. Katanya surat dan novel tersebut seharusnya diambil di perusahaan andai  kecelakaan itu tidak terjadi. Dengan tangan gemetar kubuka lembar demil lembar novel Naira yang baru terbit itu. Goresan pedang di hatiku menambah bumbu kesedihan dalam cerita. Novel itu menceritakan penantian seorang perempuan dengan rasa cinta yang menggebu dan kandas karena jatuh seorang diri. Sang pujaan hati telah pergi dalam perjalanan ke Romawi bersama janji yang terpahat rapi pada langit-langit empedu.

Ada banyak hal yang tidak bisa diungkapkan lewat kata-kata. Termasuk rasa cinta. Seperti halnya Gibran mencintai Naira. Seperti halnya tokoh utama perempuan dalam novel Naira tersebut dan seperti halnya aku mencintai saudaraku. Setiap orang punya caranya sendiri dalam mengekspresikan rasa cinta. Aku yakin walau pujaan hati tidak pernah tau. Tetapi Tuhan akan selalu tau dan menyampaikan cinta itu dengan untaian peristiwa yang lebih indah dari yang kita angankan.

"Maaf Naira dan terima kasih. Aku janji akan membuat mata ini mengikis kelembapan bolanya agar kamu tau. Bahwa matamu bisa lebih transparan melihat dunia tanpa cairan asin yang mengabut mimpi. Love you too Naira. Kepunyaanmu akan menjadi kado terindah bahwa cinta terlalu suci untuk disalah gunakan."
 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐Ÿฅฐ

Kategori
Cerpen
Selanjutnya Kepada yang pernah datang, lupakan!
3
0
Berusaha melupakan kenangan adalah cara kita menyiksa diri. Karena kita tidak akan bisa melakukan itu! Beberapa kenangan perlu di simpan agar kita tidak pernah lupa, apa sebab luka pernah ada.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan