Kepada yang pernah datang, lupakan!

3
0
Deskripsi

Berusaha melupakan kenangan adalah cara kita menyiksa diri. Karena kita tidak akan bisa melakukan itu! Beberapa kenangan perlu di simpan agar kita tidak pernah lupa, apa sebab luka pernah ada.

Kenapa kamu datang jika tidak untuk tinggal. Kenapa kamu datang menyembuhkan luka jika pada akhirnya kamu sendiri yang menyakiti lagi.

Aku hanya pernah cinta, sampai-sampai aku lupa cara untuk membenci.
Aku pernah cinta, sampai-sampai aku terlalu buta untuk tau.
Aku pernah cinta, sampai-sampai aku gila memikirkanmu.
Kamu sudah melupakanku.

~Esa Radiana
 

Tiga bus pariwisata dari musium Adipura itu mulai berjalan meninggalkan pekarangan, hampir semua siswa sekolah SMA Adiputra Jaya itu mulai tertidur di dalam bus karena lelah setelah kegiatan tour tahunan sekolah ini.

Satu jam perjalanan yang melelahkan itu masih belum menampakkan tanda-tanda akan segera sampai, membuat para siswa mulai gelisah ingin merebahkan diri di kasurnya masing-masing.

Di kursi bagian tengah bus Esa terbangun dengan wajah terkejut, keringat dingin memenuhi pelipisnya, Esa masih berusaha mengatur nafas yang memburu. 

"Mimpi itu lagi?" gumam Esa dengan sedikit frustasi, ada nada lelah disetiap celah ucapanya.

Kadang Esa selalu bertanya-tanya dalam hati apakah salah dia selama ini, dengan lelaki dimipinya tadi?
Esa lelah, apa hanya Esa yang mengalami semuanya. Apa pria dimimpi Esa mengutuknya karena sebuah kesalahan yang tidak pernah Esa tau?

Esa benci malam, Esa benci ketika ia harus tertidur dan memimpikan orang yang pernah hadir dihidup Esa dulu.

Android yang sedari tadi ia genggam itu bergetar, nampak sebuah notifikasi dari Rara teman yang duduk didepanya. Esa menoleh ke samping kanan dan benar saja disana ada lelaki yang terlihat asing menurutnya. Lelaki berparas tampan, kulit putih hampir pucat mungkin dan hidung mancung itu menatap mata Esa sambil tersenyum tipis, Esa pikir itu lebih ke senyum yang menakutkan.
 

Esa buru-buru mengalihkan pandangannya kearah yang berlawanan menatap jendela dan mulai mengetik pesan di room chatnya bersama Rara bertanya siapa pria disampingnya itu, tapi Rara menjawab tidak tau dan malah bertanya kepadanya yang tidak-tidak.

Esa terkejut, lelaki disampingnya itu menyentuh lengan Esa dengan jari telunjuk kokohnya terlihat seperti jijik menyentuh Esa. Rasa dingin pada jari lelaki itu seakan menguliti lengan Esa tanpa ampun. Esa mengalihkan pandanganya dari lengan yang barusan disentuh itu ke wajah lelaki tadi. Jika dipikir lebih dalam lelaki itu sedikit merip dengan patung di musium yang barusan ia sentuh tadi, tidak-tidak ralat bukan sedikit mirip tapi mereka berdua seperti pinang dibelah dua.
 

*****
 

"Kamu itu kenapa sih ngikutin aku terus?" Esa menghentakkan kakinya kesal melihat lelaki di depanya yang tampak tersenyum tipis dengan wajah pucat.

Sejak di musium tadi, Esa diikuti lelaki aneh yang mengaku bahwa dia adalah lelaki dari masa lalu yang dibunuh setelah membangun sekolah Adiputra Jaya. Tentu saja Esa tidak percaya, kalaupun yang dikatakan lelaki itu benar Esa akan lebih memilih mengusir lelaki itu karena firasat Esa tidak enak tentang dia.

"Sudah aku bilang, aku mau minta bantuan kamu"

Esa memutar matanya jengah sambil menyilangkan lengan didepan dada. Lelaki itu sulit sekali diusir, bahkan sekarang dia mengikuti Esa sampai pekarangan rumah.

"Aku udah bilang nggak, ya enggak! Aku tidak tau apa masalahmu dan aku tidak mau tau apa masalahmu. Oke-oke aku berterima kasih karena jasamu membangun sekolah itu dimasa lalu, berkat kamu kita semua, murid di sekolah bisa sekolah dengan damai. Tapi mohon jangan aku!" terang Esa menjelaskan sedikit tidak yakin dengan apa yang dia ucapkan, Esa yakin lelaki itu sedikit gila, mungkin.
 

Selang beberapa detik tidak ada jawaban dari lelaki didepanya, Esa melepas tautan lenganya dan mulai menyeret koper yang ia bawa satelah study tour tadi. Sungguh Esa ingin istirahat sekarang, hidup Esa sudah cukup lelah.

Sebelum hendak membuka pintu dengan kunci yang dia pegang Esa menoleh ke belakang, memastikan apakah lelaki itu masih dibelakang. Esa menghela nafas jengah berusaha untuk sabar.

"Mau sampai kapan kamu berdiri disitu terus? Kamu ngga pulang?" teriak Esa saat mendapati lelaki itu berdiri di tempat yang sama sampil menatap Esa nyalang, mungkin marah, harusnya Esa, kan.

"Kalau kamu mau disitu terus, silakan aku tidak peduli dan tidak akan berubah pikiran" 

Esa memutar kontak kunci pada pintu sambil menggerutu tidak jelas, setelah terbuka Esa meraih koper hendak masuk. Esa terkejut, jidatnya membentur pintu yang tiba-tiba tertutup dengan kasar.

Dengan wajah ditekuk Esa mengusap jidatnya yang mungkin sudah memerah, Esa menoleh ke belakang berharap kejadian memalukan itu tidak dilihat lelaki tadi.

"Kamu ngapain sih disitu terus?" teriak Esa jengkel pada lelaki yang memakai seragam sekolah khas jaman dulu itu.

"Kamu mau aku masuk?" tanya lelaki itu lembut.

Dengan perlahan dilangkahkan kakinya mendekati Esa membuat gadis itu terkejut gugup.
 

"Eh, aku ngga ngajak kamu masuk. Ih kamu pergi aja, minta bantuan yang lain sana!" Esa mengusir lelaki itu sambil menggerakkan kedua tangan seperti mengusir ayam.

"Kamu di rumah sendiriankan?" lelaki itu tersenyum miring membuat Esa semakin ngilu melihatnya.

Buru-buru Esa menarik koper masuk ke dalam dan mengunci pintu rapat mencegahnya masuk.

Rumah sebesar ini sepi, dari mana lelaki itu tau Esa tinggal sendiri, mungkin hanya menebak. Esa berjalan gontai melewati tangga sambil menyeret kopernya, membuka pintu berwarna coklat cerah dengan tulisan 'Esa Radiana' bersebelahan dengan pintu bertuliskan 'Edi Ramadan' pintu yang dahulunya itu ditempati sang kakak yang cerewet itu kini kosong karena penghuninya harus kerja di Kalimantan.
 

Esa menghela nafas, menyiapkan mental menghadapi kesendirian lagi. Esa membuka pintu kamarnya, pikiran Esa yang semula berkelana jauh itu harus dipaksa kembali setelah nada serak memasuki indra pendengaranya.
 

"Kamu lelet sekali jalanya, aku sudah menunggu lama sekali" 

Pupil mata Esa membesar melihat lelaki yang beberapa menit tadi ditemuinya telah duduk di jendela kamar miliknya.
 

*****
 

Esa duduk di kursi ruang tamunya sambil memegang android dengan malas. Di depanya sudah ada lelaki yang berdiri gagah menghadap ke depan mulai menyilangkan lengan di depan dada.
 

"Sekarang aku akan memberikan sedikit pertimbangan padamu. Kamu membantuku, dan aku akam membantumu. Terima atau tidak kamu harus tetap membantuku" 
 

Esa mendongak mengadu mata dengan sorot kebencian, sedangkan lelaki itu masih tersenyum lembut seakan tidak ada yang terjadi diantara mereka sebelumnya.
 

"Jangan menggangu kehidupan pribadiku, aku akan membantumu" ucap Esa pelan membuang muka.

"Serius?" 

Esa menatap sorot mata berbinar dari lelaki itu, raut wajah senang seperti anak kecil yang baru mendapat permen bukan wajah dingin dan berkarisma seperti sebelumnya. Perubahan secepat itu membuat Esa terkejut.

"Kamu serius ingin membantu?" tanyanya lagi antusias duduk disamping Esa
 

"Jangan tanya lagi, atau aku akan berubah pukiran" ucap Esa yang tidak bisa menyembunyikan senyumnya, lelaki ini unik.

"Kenalin aku Dimas Anggara!"
 

*****

Setelah perjanjian Esa dengan Dimas beberapa hari lalu, Dimas mulai menceritakan masalah apa yang dia alami dan tugas apa yang perlu Esa bantu.

Katanya, dulu Dimas adalah salah satu pemuda yang menyuarakan aspirasinya tiga puluh tahun yang lalu, pemuda yang memimpin pembangunan sekolah Adiputra Jaya, sekolah Esa saat ini. Pemuda yang meninggal ditembak oleh orang misterius di perayaan selesainya pembangunan sekolah itu.

Tugas Esa hanya cukup mencari sosok yang membunuh Dimas dahulu. Esa bilang mustahil jika kejadian itu terjadi tiga puluh tahun yang lalu disaat Dimas berusia tujuh belas tahun, sekarang usianya mungkin empat puluh tuju atau mungkin saat ini orang itu juga sudah meninggal.

Tapi Dimas sama sekali tidak peduli, Esa harus tetap membantunya kalupun orang itu telah meninggal mungkin keturunanya masih ada.

"Memangnya apa yang akan kamu lakukan setelah bertemu dengan keturunan orang itu?" Esa menutup laptop, memusatkan perhatianya pada Dimas.

"Kalau kamu mau bunuh dia aku nggak mau bantu" ucap Esa sedikit tinggi membuat orang disekitar mereka menoleh.

Saat ini Esa dan Dimas berada di lestoran untuk makan siang sambil membahas misi mereka, mumpung hari libur niat Esa. Entah mengapa setelah mendengar cerita Dimas Esa sedikit tertarik, mungkin ini bisa menjadi bahan tambahan laporan study Esa.

"Aku tidak ingin membunuh, aku ingin mereka tanggung jawab dan memakamkan tubuhku dengan layak" ucap Dimas lirih, Esa mengerukan dahinya bingung.

"Maksudnya? Aku masih bingung"

"Mereka membunuhku, dan mengeringkan tubuhku" Esa menutup mulut dengan kedua telapak tangan terkejut

"Kamu tau dari mana?" Esa tanya sambil mendelik, seketika Esa mengebrak meja dan langsung berdiri

"Kamu setan?" teriak Esa sambil menunjuk ke arah Dimas

Sadar menjadi pusat perhatian Dimas berdiri, menurunkan lengan Esa yang masih menunjuk ke arahnya dan menyuruh gadis itu untuk duduk.

"Kamu kenapa suka teriak-teriak? Perempuan sekarang agresif" tanya Dimas dan bergumam di tiga kalimat terakhir berharap Esa tidak mendengar

"Lagian kita tidak punya petunjuk tentang orang itu, ini bakal sulit" Esa membenamkan wajahnya pada lipatan kedua lenganya di meja

"Aku punya foto, alasan aku minta bantuanmu karena jaman sudah berubah setelah dua puluh tahun berlalu aku mencoba mencari"

Dulu, Dimas pernah mencari keberadaan orang yang membunuhnya. Tetapi setelah bertemu, Dimas malah dikunci di dalam patung. Alasan patung dibuat bukan untuk menggenang jasa Dimas, tapi patung itu dibuat untuk mengurung Dimas.

Status Dimas saat ini, dia tidak tau dirinya apa. Manusia ataukah hantu Dimas tidak tau, tapi yang Dimas tau dulu semasa dia hidup Dimas bukan manusia normal seperti orang lain.

"Dari ceritamu kemarin, kalau patung itu dibuat oleh orang yang membunuh kamu. Seharusnya kita bisa mencari orang ini dengan mudah lewat patung itu. Eh, patungnya ngga hilang, kan, kalau kamu disini?" Dimas menggeleng, Esa menatap melihat lagi sosok di dalam foto usang itu, Esa tidak mengenali wajahnya dengan jelas fotonya sudah rusak. Percuma foto ini ada pikir Esa.

Tapi di foto itu Esa tau, lelaki di dalam foto itu pasti orang berpengaruh. Dan simbul bendera dibelakan sosok itu, sepertinya Esa tau pemiliknya.

*****

Kemarin, sepulang sekolah Esa dan Dimas sudah mengunjungi musium Adipura, di sana mereka tidak mendapat petunjuk apapun. Kata pemandunya pembuat patung itu hanya menyetorkan patungnya tanpa embel-embel apapun dan mereka juga tidak tau siapa pastinya pembuat patung itu, karena patung itu sudah ada sebelum mereka berkerja di sana.

Dan saat mengunjungi musium, Dimas tidak ikut masuk sama sekali takut sesuatu yang buruk terjadi.

Saat ini Esa bertatapan dengan Fauzi, duduk disalah satu taman titik nol Malioboro, bersampingan dengan Dimas yang mengawasi dari jauh pembicaraan keduanya. Saat ini Dimas memakai kaos sederhana dengan celana levis sekarang dengan gaya rambut sedikit acak, kata Esa agar kelihatan tampanya. Dimas agak cemburu melihat Esa disana.

"Kamu kenapa ngajak aku ke sini?" ucap Fauzi membuka pembicaraan.

"Cuman pengen ngembaliin buku aja kok" bohong, Esa rindu dengan lelaki disampingnya sekarang. Esa rindu dengan lelaki yang selalu menghiasi mimpinya setiap malam.

Dulu, Esa dan Fauzi pernah sedekat itu. Tapi tidak tau kenapa, Fauzi yang selalu memberi harapan pada Esa itu perlahan menjauhi Esa.

"Ini aja, kan?" Fauzi lekas berdiri, seakan dia akan mati jika terlalu lama dekat Esa, hal itu membuat Esa semakin miris

"Aku mau ngomong jujur sama kamu" Esa menundukkan kepalanya dalam sambil memainkan jari dipangkuanya.

Fauzi mendaratkan bokongnya lagi, meminta Esa segera bicara. Esa menarik nafas dalam, mengumpulkan keberanian ini, untuk kali ini.

"Aku cuman mau jujur-" Esa tersenyum perih.

"Kamu nyebelin banget ya?" Fauzi yang awalnya memainkan androidnya kini mengalihkan seluruh perhatian ke Esa yang masih menunduk sambil meremas tangan.

"Aku, ngga suka kamu. Tapi kenapa ya setiap aku tidur kamu selalu membayangi mimpiku? Aku, pusing. Padahal sudah lama kita tidak bertegur sapa, tapi kenapa kamu selalu datang dimimpiku. Kenapa kamu selalu datang disaat aku mulai lelah. Kenapa aku merasakan ini? Kenapa setiap malam aku harus terjaga sampai sepuluh kali lebih, dan setiap mimpi-mimpi yang terpotong itu kamu ada didalamnya. Aku cuman mau bilang, kalau aku sulit melupakanmu" Esa mendongak, menatap Fauzi di sampingnya. Dia tersenyum

"Hehe ternyata mukakku ini, sulit dilupain ya?" jawab Fauzi dan mulai fokus ke androidnya lagi.

Seketika ribuan jarun menusuk hati Esa bersamaan, respon Fauzi tidak seperti yang Esa harapkan.

Esa tersenyum sinis, lagian apa yang Esa harapkan dari seseorang yang jelas tidak mencintainya. Tenang Esa hanya terlalu perasa, Esa hanya terlalu pede mengganggap semua hal yang dikatakan Fauzi dulu itu tulus dari hatinya.

Untuk kali ini, haruskah Esa melepasnya. Haruskah Esa melupakan rasanya, harusnya Esa tidak bilang tadi. 

Esa menarik nafas dalam-dalam, benar tidak ada yang perlu Esa khawatirkan, tidak ada yang perlu Esa sesali. Esa sudah cukup lega dengan mengucapkan apa yang Esa alami. Memimpikan lelaki yang tidak mencintaimu setiap malam itu sakit, memaksakan cinta untuk pergi dari hatimu itu perih, dan menunggu dia datang untuk sekedar membantumu melupakanya itu capek.

"Kayaknya kamu punya pelet deh, hehe" tawa Esa untuk memecah kecanggungan diantara mereka, Fauzi hanya tersenyum.

Untuk kali ini, akhirnya Esa memiliki alasan kenapa dia harus ikhlas. Dan dia memiliki alasan kenapa harus berhenti berjuang.

Esa menatap jemari Fauzi yang terlihat sibuk menari di layar androidnya, hal yang masih sama ada dalam diri Fauzi itu hanya gelang yang dipakai lelaki itu sejak mereka bertemu seluluh tahun lalu, gelang bergambar bendera motif bunga matahari kecil bersandingan dengan gambar bata acak.

Esa menatap Fauzi terkejut, simbol itu, simbul yang sama dengan simbul bendera yang ada difoto kemarin, Esa tidak mungkin salah keduanya terlihat jelas.

Esa menatap setiap gerak tubuh Fauzi yang hendak beranjak pergi darinya, ingin mencegah lelaki itu pergi tapi ada gejolak hati menahan Esa untuk berhenti, mungkinkah?

"Esa? Kamu tidak kanapa-kenapa, kan?"
 

*****
 

Dua minggu setelah kejadian itu Esa sama sekali belum memberitahu Dimas tentang apa yang dia lihat waktu itu. Karena Dimas selalu meminta penjelasan dari Esa kemarin Esa memberitahu Dimas tentang apa yang dia lihat, katanya Dimas sudah tau bahwa Fauzi keturunan orang yang membunuhnya, katanya itu karena Dimas mampu mendengar dari jarak jauh.

Dimas memiliki kekuatan, Esa hampir lupa itu. Waktu Dimas mengikutinya sampai halaman rumah saat itu pintu tertutup tiba-tiba saat Esa hendak masuk, Dimas yang tiba-tiba ada di jendela kamarnya yang berada dilantai dua dan kejadian janggal lainya Esa harus selalu ingat. Katanya, Dimas memiliki kekuatan pada pikiran, semua bisa Dimas kendalikan dengan itu. Dimas bilang semua kekuatanya terbatas kecuali jika ada orang yang mau meminjamkan tubuhnya untuk Dimas.

Esa hari ini tidak melihat Dimas dimanapun, seluruh sudut rumahnya kosong seperti sebelum adanya Dimas. Aneh, padahal lelaki itu tidak akan pergi kemanapun jika tidak dengan Esa.

Esa berheti pada anak tangga tengah saat menuruninya, Esa teringat sesuatu Dimas bilang katanya hari ini semuanya akan berakhir. Jangan-jangan Dimas menemui Fauzi, apa mungkin Dimas hendak membunuh Fauzi?

Esa bedecak, ia mengusap rambutnya frustasi kembali menaiki tangga ke kamar, mengganti pakaian dan melaju ke rumah Fauzi dengan mobilnya. Dalam perjalanan Esa terus merapalkan doa agar Dimas tidak melukai Fauzi, hp Fauzi tidak aktif.
 

*****
 

Fauzi berjalan dari arah dapur membawa segelas air putih, terlihat bahwa dia baru bangun tidur. Rasa terkejut dari raut wajah Fauzi jelas terlihat, Dimas berdiri di ruang tengah menghadap langsung ke arah Fauzi dengan wajah santai dan tenang.

"Kamu temanya Esa, kan?" tanya Fauzi sambil menunjuk Dimas dengan lengan yang ia gunakan untuk memegang gelas, Fauzi berjalan mendekat.

"Ada apa dengan Esa? Dia nangis lagi?" rahang Dimas mengeras, marah mendengar nama Esa begitu direndahkan oleh Fauzi, tetapi wajahnya terlihat berbanding terbalik terlihat santai dengan gestur tubuh cool.

"Sepertinya wajahmu tidak asing, apa kita pernah bertemu sebelumnya?" 

*****

"Sulit dipercaya, ternyata kamu beneran hidup" Fauzi tersenyum sinis dengan sorot mata berbinar, seakan menemukan sebuah harta karun tepat di depannya

Saat ini, Fauzi dan Dimas berada di dalam ruangan mirip laboratorium dengan suhu dingin yang sedikit lebih tinggi dari suhu ruang, keduanya menghadap sebuah peti kaca yang memperlihatkan isinya. Disana, Dimas dapat melihat tubuhnya yang lain terperangkap, tubuh di dalam peti kaca itu terlihat kering seperti hanya tulang yang dibalut kulit dengan seragam yang sama seperti yang ia pakai sekarang.

"Aku tidak menyangka bisa berhadapan dengan orang yang berasal dari masa lalu" Fauzi menghadap ke arah Dimas, membiarkan matanya melihat dengan jelas sosok Dimas.

Sambil memasukkan kedua lenganya ke dalam saku celana Fauzi berucap.

"Aku tidak tau kenapa mendiang keluargaku menyimpan tubuhmu itu disini, tapi yang jelas jika kamu menyuruhku membebaskan tubuh ini_" Fauzi tersenyum sinis, memberi jeda sejenak untuk melihat peti kaca itu

"Aku tidak akan mengabulkanya"
"Bukankah lebih baik aku juga menangkapmu? Aku rasa kamu bukan manusia" sambung Fauzi lagi

"Apa kamu mau bermain-main denganku? Lihatlah buah jatuh tidak akan jauh dari pohonya bukan?" sinis Dimas berkeliling ke seluruh laboratorium yang menyimpan bangkai berbagai jenis spesies langka

"Kamu mau menjadi bagian dari mereka? Aku akan dengan sedia melakukanya. Aku tau, Esa adalah orang yang menghidupkanmu bukan? Jika kamu tidak ingin Esa kenapa-kenapa serahkan dirimu padaku, adil bukan?" ucap Fauzi sambil berkeliling memutari peti kaca dan berhenti tepat berhadapan dengan Dimas

"Lagi pula, kekuatanmu tidak akan ada apa-apanya tanpa tubuh Esa"

Keduanya saling bertatapan, menyalurkan kebencian mendalam yang mereka pendam masing-masing.

*****
 

Esa berhenti tapat di pekarangan rumah Fauzi, raut cemas terlihat kentara diwajahnya, buru-buru Esa melepas sabuk pengaman dan berlari masuk ke dalam rumah Fauzi yang kebetulan tidak dikunci. Manik matanya menyapu ke seluruh penjuru ruangan, menebak di mana keberadaan orang yang ia cari. Bola mata hitamnya berhenti tepat di salah satu pintu yang terbuat dari almunium dengan warna abu-abu, Esa berlari masuk ke dalam ruangan itu, ada ikatan batin, tidak tahu dari mana perasaan Esa menuju ke sana.

Kedua pasang mata milik Dimas dan Fauzi tertuju ke arah pintu yang dibuka kasar oleh Esa, hening, admosfir disana seakan mulai mencengkam.

"Wahh, kebetulan Esa. Mau ikut pesta bersama kami?" ucap Fauzi, tentu saja dengan nada mengerikan, seperti tokoh antagonis dalam sebuah cerita horor

Esa berjalan mendekat, melihat dengan jelas ke dua wajah lelaki didepanya. Esa cukup terkejut dengan isi ruangan itu, berbagai patung hewan langka, botol-botol kaca yang tidak tau berisi apa, mata Esa semakin dibuat terkejut dengan peti kaca yang berada di belakang Dimas dan Fauzi.

"Itu, tubuh Dimas, Zi?" ucap Esa sedikit bergetar, tubuhnya ikut merasakan kejadian tiga puluh tahun yang lalu saat Dimas dibunuh dan diawetkan disini, kepala Esa pusing seketika.

"Sa, ayo kita pulang?" Dimas menggenggam tangan Esa, berusaha menuntun tubuh gadis itu Dimas tidak mau Esa mengetahui sisi terlemah dirinya.

Esa menepis lengan Dimas, ia mulai mendekat ke arah peti kaca di depan Fauzi. Setelah puas mengamati tubuh dalam peti itu Esa berbalik menatap Dimas dan Fauzi.

"Bukankah ini salah satu tidakan ilegal? Keluargamu membunuh berbagai hewan langka dan menyimpan jasad Dimas disini" ucap Esa dengan semua keberanian yang berhasil ia kumpulkan.

"Dimas itu berbahaya, kamu hanya dimanfaatkan oleh Dimas seperti Tiara dulu" 

Kening Esa mengkerut, berusaha mencerna setiap ucapan Fauzi barusan.

"Kamu tidak taukan, kenapa aku mulai menjauhimu demi Tiara. Tiara menjadi gila karena dimanfaatkan Dimas dua puluh tahun lalu" Esa menatap Dimas yang masih terlihat tenang

Esa memenjamkan mata, meyakinkan dirinya akan keputusan yang akan ia ambil.

"Aku tidak peduli jika Dimas memanfaatkanku, kenyataanya setiap orang bersama karena saling membutuhkan, saling memanfaatkan. Sekarang berikan tubuh itu pada Dimas!"

Fauzi tersenyum sinis "Kalau begitu, boleh aku menyakitimu untuk melukai Dimas?" 

Fauzi mengarahkan pistol dari saku belakang celananya yang sebelumnya ia ambil dari laci saat hendak masuk ke laboratorium, Fauzi menaikkan pistolnya ke arah Esa, Esa dan Dimas sama-sama terkejut saat benda kitam yang dipegang Fauzi itu meledak mengeluarkan isinya. Setengah detik setelah letusan itu, waktu seakan berjalan begitu lambat, peluru yang bergerak ke arah Esa perlahan memudar tetapi Dimas tidak sanggup menahan laju peluru itu lebih lama lagi, ia kemudian menarik lengan Esa yang membuat tubuh mungil itu jatuh ke pelukanya.

Esa yang terkejut dengan kejadian tadi menoleh ke arah Fauzi tidak percaya, di belakang Esa rahang Dimas mengeras menahan amarah. Tubuh Dimas menyatu dengan Esa tanpa persetujuan gadis itu, Dimas menggunakan tubuh Esa untuk melawan Fauzi.

Dalam sekejap mata, rambut Esa perlahan memutih bersamaan dengan mata Esa yang menjadi biru laut, Dimas telah menguasai tubuh Esa sepenuhnya. 

Tanpa pergerakan, tiba-tiba tubuh Fauzi melambung ke atas melemparkan pistolnya ke sembarang arah dan mulai memegangi lehernya yang tercekik oleh udara. Dimas akan membunuh Fauzi, dendam yang sejak awal dipendamnya itu muncul tanpa terkontrol. Dengan gerakan anggun tubuh Esa yang dirasuki Dimas itu berlari dan menyambar tubuh Fauzi yang melayang membenturkanya ke tembok dengan tangan mungil Esa menyekik leher Fauzi di atas sana. Tangan Fauzi bergerak sekuat tenaga untuk melepas cengkraman Esa yang begitu kuat, sedangkan di dalam tubuh Esa, Esa mulai memberontak ingin mengusir jiwa Dimas yang menguasai tubuhnya.

Esa berteriak kesakitan saat jiwa Esa dan Dimas saling bertengkar untuk menguasai tempat diraga Esa. Esa melepas cengkraman dileher Fauzi secara spontan membuat tubuh Fauzi jatuh dengan kasar.

Kaki Esa yang semula melayang mulai menapaki tanah dengan lembut, Esa tersadar bersamaan dengan Dimas yang mulai keluar dari tubuh Esa. Dimas menghadap ke arah Esa membelakangi Fauzi untuk melihat keadaan Esa yang mulai lemas. Dimas menyesal, seharusnya ia tidak kalap menggunakan tubuh Esa yang jelas memiliki resiko pada gadis itu.

"Sa? Maaf" gumamnya lirih melihat mata dan rambut Esa yang perlahan mulai berubah warna menjadi hitam lagi, tubuh Esa bergetar menahan tangis sambil berusaha menyesuaikan raganya lagi.

Esa menatap raut wajah Dimas yang terlihat khawatir, ada nada penyesalan disetiap hembusan nafas Dimas. Esa mengalihkan tatapanya dari wajah Dimas menuju ke belakang, Esa melihat Fauzi yang merangkak meraih pistol dan diarahkanya ke Dimas.

Bersamaan dengan suara dentuman pistol Esa memutar tubuh Dimas sehingga Esalah yang membelakangi Fauzi, kejadian itu begitu cepat saat isi pistol memasuki tubuh Esa, tubuh Esa menegang.

"Kau bodoh Esa!" teriak Fauzi geram, ia tidak menyangka Esa akan mengantikan tubuhnya hanya demi Dimas.

Pengorbanan Esa percuma, karena apa yang Esa rasakan Dimas akan merasakannya. Jika Esa terluka maka Dimas akan terluka. Termasuk jika Esa mati Dimas akan mati.

Dengan sigap Dimas memegangi tubuh Esa yang mulai kehilangan keseimbangan. Dimas menatap pistol yang digenggam Fauzi, seketika pistol itu melambung kearah Dimas. Dimas menyahut pistol itu dan membidiknya kearah dada Fauzi, tanpa jeda lebih lama pluru itu menembus tubuh Fauzi. Fauzi menegang, ia memandang dadanya yang ia cengkram mulai mengeluarkan darah.

Sedangkan disisi lain, punggung Esa telah dibanjiri darah. Beberapa tetes air mata mulai lolos dari manik hitam Esa. Dimas masih memeluk Esa erat, ia turut merasakan kesakitan yang Esa rasakan. 

"Esa, maaf. Maafkan aku, seharusnya aku tidak melibatkanmu disini" Dimas menagis

Keduanya menangis sesengukkan, tidak tau apa yang ingin diucapkan. Perlahan tubuh Dimas mulai memudar terlihat transparan seperti air. Esa menggeleng dengan jawaban Dimas. Esa mulai mengeratkan pelukanya begitupun Dimas. Hembusan akhir keduanya menghilangkan setiap keping tubuh Dimas.

Dan akhirnya, apa yang kita rasakan seharusnya diungkapkan lebih awal. Agar tidak ada penyesalan diakhir. Seharusnya kita tidak perlu berlebihan dengan semua hal tentang hati. 

Semua kesakitan yang pernah kita rasakan itu muncul karena kita tidak pernah berusaha ikhlas dengan takdir. Jika kita ikhlas dan mulai tersenyum dengan alur yang telah diberikan-Nya, kita akan mulai bahagia dengan sendirinya saat ini dan dimasa yang datang.
 


 

~TAMAT~

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi πŸ₯°

Kategori
Cerpen
Selanjutnya Tanah ku Indonesia
4
0
Jiwa patriotisme…
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan