(I Love you) ayah

5
0
Deskripsi

Penderitaan bukan sebuah alasan untuk kita melakukan sebuah kejahatan.

"Di acara renungan malam kemarin, cerita pak Sri menyentuh sekali ya?"

Aku menoleh, kulihat Sofi berjalan mendekat, menjadikanku dan Wella objek pemandangan terbaik. Tetapi tidak bagiku, senyumnya yang seperti itu terlalu mengerikan.

"Iya, aku saja sampai nangis sesenggukan." Di samping kananku Wella tampak antusias membahas kegiatan renungan malam di acara kemah kemarin. Sambil sesekali Wella menarik tali tasnya lebih antusias untuk pulang sekolah.

"Hehe sudah kuduga. Tapi sayangnya ada yang tidak menangis. Bukan begitu Naira?" Mendengar nada sinis itu membuatku mengerut tidak suka. Apa-apaan gadis itu? Mendekat padaku hanya ingin bermain api saja rupanya.

"Apa maksudmu?"

"Maksudku adalah, kau sama sekali tidak menangis di acara kemah kemarin. Padahal pak Sri menyuruh kita untuk membayangkan jika orang tua kita meninggal. Tetapi kau santai-santai saja."

"Apa masalahnya?"

"Tentu saja masalah, kau tidak menyayangi orang tuamu."

Aku berdecak sinis. Jujur saja aku sudah lelah dengan semua tekanan batin yang diberikan orang-orang padaku. Tanpa tau apa kesalahan yang membuat mereka begitu geram dengan masalah hidupku sendiri. "Kau dapatkan kesimpulan itu dari mana? Kenyataanya kecil kemungkinan seseorang yang mencintai akan membayangkan sesuatu yang buruk terhadap pujaan hatinya. Dan sebaliknya, mereka yang memiliki cinta lebih memilih berfikir positif untuk kemungkinan positif di masa depan."

Sofi tertawa hambar kemudian menyilangkan kedua lengannya. "Ayahmu itu gila! Dulu aku pernah melihatnya berpakaian compang-camping di jalanan."

"Oh, ya? Benarkah itu Nai." Wella berujar tampaknya gadis itu mulai tertarik dengan pembahasan ini, begitu pula siswa lain yang terlihat berbisik sinis.

"Kau hanya berhalusinasi!" Teriakku kemudian. Aku tidak suka orang lain menghina keluargaku. Sekalipun apa yang Sofi ucapkan itu benar. Ayahku dulu pernah jatuh dari pohon kelapa dan hal itu membuat sedikit kerusakan sementara pada otak beliau. Tetapi aku tidak pernah tau mengapa kecelakaan seperti itu membuat seseorang menjadi gila.

Aku menghela nafas berat tidak pernah rela semua orang mendekat padaku dengan batin menghina seperti Sofi. Dan sayangnya semua orang seperti itu. Dengan kesal kulangkahkan kakiku pulang.

"Well, tebakanku tepat sekali."

Sepanjang perjalanan aku menangis sesenggukan. Sampai kuusap kasar sesaat setelah tubuhku berdekatan dengan pintu rumah. Tanganku mengambang di gagang pintu. Samar-samar terdengar orang berteriak yang disusul suara wanita. Aku langsung membuka pintu kasar, berlenggang ke arah pintu dapur dan berhenti di sana.

"Kalau begitu berikan uang yang pernah aku berikan padamu, sekarang!" Itu suara ayahku. Beliau berteriak nyaring pada ibu yang tengah mengupas mete dengan alat tradisional. Satu-satunya pekerjaan yang bisa ibu lakukan karena cacat pada kedua kakinya.

Ibuku tersenyum sinis.

"Kalau kau sungguh mau. Belah otak Naira! Uangnya aku ganakan untuk biaya sekolahnya."

Jantungku berdetak kencang saat ayah dengan beringas menyapu piring di meja. Dengan cepat beliau meraih pisau dapur dan dilemparkan kepada Dara. Suara melengking pilu menghiasi seluruh sudut dapur. Pisau itu menebas tepat pada telinga kelinci kesayangan Naira.

"Ayah, kenapa?" rintihku sesaat setelah ayah berjalan ke luar dapur. Beliau mengabaikanku dengan sorot sendu.

Dapur mulai sunyi setelahnya. Ayah pergi begitu saja setelah perdebatan selesai. Sedangkan ibu, beliau masih teralu asik berkutat dengan pekerjaannya. Aku tau pada air mengalir terdapat bebatuan terjal yang melukai. Ada sakit yang yang tertimbun oleh luka di setiap masanya. Ibuku merasakan kesakitan itu, sepanjang hari.

Setelah terisak cukup lama kuputuskan untuk mengubur Dara di dekat sungai. Kubelai batu yang kugunakan sebagai penanda kuburan Dara tadi.

"Naira. Kaukah itu?"

"Arga?"

"Sedang apa kau di sini?"

"Bukan apa-apa."

Aku mulai berdiri. Mencari tempat nyaman untuk duduk di pinggir sungai yang diikuti Arga setelahnya. Dia teman sekelasku.

"Benarkah? Kulihat kau menangis. Kau boleh cerita kalau kau mau. Ada apa?" Degan gerakan pelan Arga meletakkan pancingnya di samping.

"Menurutmu, apa aku anak yang nakal?"

"Kenapa bicara begitu."

"Kau pasti tau. Semua anak di sekolah membenciku."

"Kata siapa? Mereka tidak seperti itu."

"IYA! Mereka seperti itu."

"Yahh, aku rasa kamu hanya perlu lebih mengerti mereka. Tidak perlu menangis hanya karena itu." Aku terawa sinis. Mengerti mereka? Bahkan mereka tidak cukup sudi melekukan itu untukku.

"Konyol. Kau tidak tau bagaimana rasanya dikucilkan. Kau tidak pernah tau gimana rasanya diragukan orang lain. Selama ini aku memendam rasa sakit sendiri. Selama ini aku tau, dibalik sikap peduli mereka mengejekku. Aku orang yang lemot, cupu, dan acuh tak acuh terhadap keluarga. Kau tau aku bukan superhiro berhati baja yang kebal akan semua rasa sakit. Mereka semua tidak pernah tau kesedihanku yang paling dalam. Dan dengan beraninya mereka meremehkanku, menabur garam di atas luka-luka yang kucoba keringkan secara perlahan. Kau tak pernah tau! Rasanya sakit Ga! Dan dengan bodohnya kau menyuruhku mengerti mereka?"

"Aku tau, aku tidak akan pernah tau bagaimana rasa sakitnya orang lain. Tetapi yang aku tau Nai, semua musibah dan cobaan yang diberikan Allah itu selalu ada hikmahnya."

"Ck, hikmah? Konyol sekali, aku tidak akan pernah percaya dengan omong kosong seperti itu. Kenyataannya hal 'itu' tidak pernah ada."

"Hikmah itu selalu berdampingan dengan musibah. Tergantung bagaimana kita menyadarinya."

"Lalu apa hikmah yang dapat aku ambil dari sikap temanku."

"Kau hanya perlu menghargai orang lain. Selama ini kau tidak pernah tertarik berteman dengan mereka. Allah menghadirkan luka itu agar kau bisa lebih menghargai Dia dan orang lain. Kau pasti tau pepatah mengatakan 'apa yang kamu tanam itulah yang akan kamu urai'."

Aku mulai menatap genangan air, membiarkan angin lembut menenangkan hatiku. "Kau tau ayah dan ibuku tidak pernah akur. Apa hikamahnya?"

Pria itu mulai tersenyum. "Tidak ada yang namanya kebetulan di dunia ini. Dan Allah menciptakan orang tuamu seperti itu supaya kau bisa lebih kuat mental dan fisik untuk menghadapi dunia yang lebih kejam. Semua orang punya caranya sendiri dalam hal mencintai, entah itu salah ataukah benar. Setidaknya mereka punya rasa nyaman di hati." Arga menatapku sekilas kemudian beralih pada langit yang mulai memerah. "Untuk mendapatkan hikmah kita perlu menyadarkan diri kita. Ikhlas dengan takdir, merenungkan apa yang kita alami. Hikmah akan datang untuk mereka yang mau berfikir dan bersyukur."

Kata-katanya terlalu rumit. Tetapi aku tau satu hal. Tidak ada orang yang benar-benar menderita di dunia ini. Dan tidak ada yang benar-benar tersenyum dengan semua kehidupan. Hikmah selalu berdapingan dengan masalah. Dan dia akan transparan bagi mereka yang mengingat Tuhan.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐Ÿฅฐ

Kategori
Cerpen
Selanjutnya Wolf fair eyes (bab 14 & 15)
4
0
Bab 14: Dyn Aku tidak suka pria, ya.Seketika Ananta langsung terbengong. Salah fokus dengan ucapan Dyn. Aku tidak bilang kau suka pria."Itu barusan kau bilang begitu,Mana? Aku hanya menyuruhmu mengandeng leganku, tidak lebih.Bodoh, kau pikir aku tidak jijik dengan itu?Bab 15: peraturan kelompok Keluarlah! Alice mengaum marah.Dan dengan bodohnya Insley berpikir kalau perempuan tersebut dapat meredakan Alice. Putri? Kenyataanya Alice tidak bisa disirkus.Keluar! Sebelum aku menerkammu hidup-hidup.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan