(Free) Surga yang Retak (1)

10
2
Deskripsi

 Jatuh cinta lagi, bukanlah cita-cita dan keinginanku sebagai laki-laki, apalagi aku sudah beristri.

Tetapi, siapa yang mengerti? Tiba-tiba saja, rasa itu tumbuh begitu perlahan. Mencari-cari akar di sisi hati yang ternyata masih ada ruang-ruang kosong.

Dadaku terasa agak sesak jika mengingat senyum Syahdu—istriku yang mungkin sekarang sedang mengingatku di antara aktivitas sehari-harinya di rumah.

Hatiku terasa melayang-layang, saat mendengar suara lirih tangisan Syahdu saat kami selesai menunaikan...

  1. Perempuan Kedua yang Mencintaiku

Zafir


 

Aku menyukaimu, Mas Zafir.

Kamu yang selama ini aku nanti. Sudah berulang kali aku mencoba berpaling tapi sungguh tidak bisa. Perasaan ini begitu mendalam.

Apa yang harus aku lakukan Mas? Apakah aku berdosa jika telah mencintaimu sebesar ini. Tolong beri tahu aku. Maaf, aku tidak bisa melupakanmu. Tidak sampai kapanpun.

(Lalita)


 

Dadaku bergemuruh saat melipat lembar kertas di tangan. Sekali lagi, aku memastikan kalau sekarang tidak sedang berhalusinasi. Apakah benar Lalita mencintaiku dengan begitu hebatnya?

Gadis itu. Sungguh di luar dugaan.

Walaupun tidak berharap hal ini bisa membuatku merasa bahagia, tetapi ada secercah rasa bangga diperhatikan sedemikian rupa. Bibirku mengulas senyum samar. Entah mengapa. Padahal, aku tidak berharap ini semua terjadi. Bahkan sampai detik ini, aku tak bisa menampik jika surat ini membuat hariku lebih berwarna.

 Namun, tidak. Tentu saja, ini hanya sekadar ungkapan rasa cinta yang tak perlu berlanjut apa-apa.

Bukankah demikian, Zafir?

Aku berbicara pada diriku sendiri menyenandungkan penolakan-penolakan atas cinta Lalita yang semakin hari telah memikatku begitu jauh. Tetapi, aku dirundung rasa ragu.

Aku tengadah menatap langit yang tampak biru cerah. Sesaput awan melayang lembut seperti seuntai kapas. Tanganku masih menggenggam kertas berisi tulisan tangan Lalita. Mungkin, dia ke sini tadi, dan meletakkannya di dalam buku agenda yang selalu kubawa.

Bisa jadi seperti itu.

Beberapa hari ini, aku tidak membalas pesan-pesannya yang memenuhi kotak masuk di salah satu akun media sosialku.

Kau tidak akan tahu, bagaimana rasanya berusaha menjauh dari perempuan yang telah menawan hatiku diam-diam.

Itu sebuah perjuangan.

Namun, usahaku itu kandas, saat surat Lalita kembali menggugah rasa hangat yang menjalar di dalam hati.

Aku mengembuskan napas panjang.

Jatuh cinta lagi, bukanlah cita-cita dan keinginanku sebagai laki-laki, apalagi aku sudah beristri. Tetapi, siapa yang mengerti? Tiba-tiba saja, rasa itu tumbuh begitu perlahan. Mencari-cari akar di sisi hati yang ternyata masih ada ruang-ruang kosong.

Dadaku terasa agak sesak jika mengingat senyum Syahdu—istriku yang mungkin sekarang sedang mengingatku di antara aktivitas sehari-harinya di rumah.

Hatiku terasa melayang-layang, saat mendengar suara lirih tangisan Syahdu saat kami selesai menunaikan salat Isya—seminggu yang lalu.

Ketika aku masih membaca beberapa ayat dari surah An-Nisa, di rakaat kedua—kudengar suara tangis itu. Kukira aku salah mendengar, namun setelah selesai mengucapkan salam—dan Syahdu mencium punggung tanganku—ternyata setetes air matanya jatuh. Tanganku basah.

Aku ingin sekali mendekapnya. Semakin hari, tampaknya istriku menjadi sedikit pendiam, padahal biasanya dia selalu ceria dan penuh semangat.

“Ada apa, Dinda?” sapaku padanya, dengan lembut.

Tapi, Syahdu hanya menggeleng, “Aku hanya merasa sedih, Mas. Tapi, tidak tahu kenapa.”

Aku memicingkan mata. “Benar begitu?”

“Iya. Insya Allah begitu, Mas.”

“Apa anak-anak selama Mas di luar kota bikin ulah?” mungkin Syahdu agak lelah, mengingat di rumah tidak ada asisten rumah tangga. Sedangkan dua anak kami—sedang lincah-lincahnya bergerak. Aku memahami, dia pasti dirundung rasa letih.

Seharusnya, aku segera mencari pengganti Mbok Welas. Hanya saja, hingga kini belum menemukan kandidat yang cocok.

“Anak-anak baik-baik saja kok.”

“Apa Zayyan sering tantrum?”

“Sejak terapi, kemarahannya sedikit terkendali. Dia mulai paham kalau sekarang sudah punya adik, Mas.”

“Alhamdulillah, bagus lah kalau begitu. Mungkin, Dinda sedang jauh dari Al Quran, atau kurang kerap membaca zikir. Terkadang, aktivitas yang padat bisa membuat hati kita lengah,” aku berusaha tersenyum, menatapnya lembut.

Dia masih tampak begitu cantik bahkan di usia pernikahan kami yang menginjak delapan tahun.

“Bisa jadi, Mas. Kadang, kalau kita jauh dari Allah. Hati tidak bisa dikendalikan. Hal yang halal jadi terlihat buruk, yang haram jadi seperti tampak indah. Ilusi kan namanya, Mas?”

Aku tercenung. Apa dia sedang menyindirku?

Tapi sungguh, Syahdu tidak tahu aku sekarang sedang menaruh hati pada salah satu pegawai di kantorku. Pegawai baru, mengingat Lalita masuk dan bekerja di sana setidaknya enam bulan lalu. Menggantikan Siska—sekretaris lama yang resign karena permintaan suaminya untuk fokus merawat rumah tangga.

Aku berdehem, “Biasanya begitu,” jawabku dengan suara serak. Ternyata, aku dilanda rasa gugup, saat kedua bola mata yang bulat itu seperti menerka-nerka rasa yang sedang kusembunyikan.

“Semoga saja, Allah selalu menjaga kita ya Mas.”

“Insya Allah, Dinda.”

Lalu dia terdiam lama. Mungkin, melanjutkan zikirnya. Namun, entah kenapa air mata masih menetes di pipinya yang tirus. Seakan-akan, ada timbunan masalah begitu besar yang menghimpit dadanya.

Walaupun, aku lumayan piawai berbisnis, namun tetap saja luluh saat melihat air mata menetes demikian derasnya—apalagi di pipi perempuan yang paling kusayangi.

Aku tentu saja ingin mengusapnya, namun sepertinya saat ini Syahdu tidak menginginkan menangis di pangkuanku. Padahal, biasanya dia seringkali bercerita sesaat sebelum kami melipat sajadah dan melanjutkan aktivitas lainnya.

Saling membagi kisah atau hanya sekadar bersenda gurau saja. Malam itu rasanya begitu dingin dan sepi. Aku tidak beranjak dari sajadah, hingga istriku bangkit dan melipat mukenanya. Lalu, dia bersuara pelan padaku.

“Aku lihat Zayyan dan Ziyan dulu ya, Mas.”

Lalu, dia berlalu dan menutup pintu. Aku memandanginya penuh tanda tanya. Mungkin saja, Syahdu sedang mengalami pre-menstrual syndrome, bukankah sebentar lagi adalah tanggal dari siklus bulanannya?

Aku mencoba menepis perasaan curiga, bahwa istriku mengetahui apa yang sedang kusembunyikan jauh di dasar hati terdalamku. Dia tidak boleh tahu, hingga aku sudah siap dengan semuanya.

Apa yang sedang kusiapkan sebenarnya?

Entahlah, aku sendiri masih dalam masa-masa untuk memastikan kepantasan diri. Tentu saja, aku tidak akan bertindak ceroboh.

Aku tidak sedang berselingkuh, hanya sedang mencoba memberi ruang di hatiku untuk perempuan lain. Bukankah, sebagai laki-laki aku diperkenankan untuk berpoligami?

Itu semua untuk menghindari ‘mafsadah’ atau bahaya yang timbul dari beragam aktivitas hati yang mungkin saja, nanti membuat hasrat se^ksual tidak bisa dikendalikan. Aku sungguh mengerti itu.

Cuma, membagi hati dan memiliki dua biduk rumah tangga—masih kupikirkan dengan sangat cermat. Ibarat sedang berbisnis mungkin aku sedang berupaya membuka cabang. Itu perlu sekali perhitungan manajemen yang tidak main-main.

Lagi pula, aku masih belum memutuskan secara final. Belum mengerti apa yang terjadi dengan rasa yang semakin tumbuh liar di dalam hatiku ini—untuk perempuan bernama Lalita.

Sesaat ketika aku berdiri dan meletakkan peci, serta mengganti baju koko dengan piyama—tiba-tiba saja gawaiku berdering dengan nyaring.

Aku mengabaikannya, rasanya ingin merebahkan punggungku yang terasa pegal dan mengistirahatkan bayang-bayang tangisan Syahdu tadi.

Namun, sepertinya gagal.

Seuntai pesan melayang di layar monitor.

Malam Mas Zafir, maaf saya mau bertanya, kenapa Mas tidak menjawab pesan saya di Instagram? Apa saya melakukan sesuatu yang salah Mas? Maaf jika saya bertindak lancang. Tapi, saya tidak bisa membohongi hati ini lagi.” []


 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya (Free) Surga yang Retak (2)
6
2
Jatuh cinta lagi, bukanlah cita-cita dan keinginanku sebagai laki-laki, apalagi aku sudah beristri.Tetapi, siapa yang mengerti? Tiba-tiba saja, rasa itu tumbuh begitu perlahan. Mencari-cari akar di sisi hati yang ternyata masih ada ruang-ruang kosong.Dadaku terasa agak sesak jika mengingat senyum Syahdu—istriku yang mungkin sekarang sedang mengingatku di antara aktivitas sehari-harinya di rumah.Hatiku terasa melayang-layang, saat mendengar suara lirih tangisan Syahdu saat kami selesai menunaikan salat Isya—seminggu yang lalu.Ketika aku masih membaca beberapa ayat dari surah An-Nisa, di rakaat kedua—kudengar suara tangis itu. Kukira aku salah mendengar, namun setelah selesai mengucapkan salam—dan Syahdu mencium punggung tanganku—ternyata setetes air matanya jatuh. Tanganku basah.Aku ingin sekali mendekapnya. Semakin hari, tampaknya istriku menjadi sedikit pendiam, padahal biasanya dia selalu ceria dan penuh semangat.“Ada apa, Dinda?” sapaku padanya, dengan lembut.Tapi, Syahdu hanya menggeleng, “Aku hanya merasa sedih, Mas. Tapi, tidak tahu kenapa.” []  
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan