BUMANTARA

116
3
Deskripsi

Bumantara VS Bujang dunia malam

Winata sedang membaca beberapa catatan penting yang ditulis oleh Sembilu. Sastra menyisipkannya pada lipatan pampers yang hampir saja Winata kira itu kertas struk kasir minimarket.

“Nggak boleh nonton video katane, berarti oleh nonton film?”  

“Bayi mau diajak nonton film naon emangna, Wir?”

“Maraton one piece live action mau nggak, yo?”

“Mau. Mau di tonjok bapaknya ai sia?”

Winata mencibir Arion yang selalu kontra akan  pendapatnya, sedangkan Arion sendiri memilih berlalu dari sana karena tidak ingin bergabung bersama Winata Si otak udang. Arion mendekatkan diri pada Geraldo yang kini ditindihi karung bulog versi manusia alias Bumantara. Bayi itu sedang memegang mobil-mobilan yang ia mainkan di dagu Geraldo. Geraldo pun tidak melarang, yang penting anteng dan ia bisa rebahan saja sudah cukup. Tidak peduli bagaimana dagu bayi itu dibasahi liur, kedua mata Geraldo mulai memberat.

“Lindes matanya juga, Dek.”

“Emang dia dipanggil adek?”

“Iya kalo masih bayi mah dipanggilnya adek atuh, Bray.”

“Panggilnya bayi kata Sastra, soale his ayah gitu lek manggil,” jelas Winata seraya mendekat.

Mendengar ada yang memanggil bayi, Bumantara kemudian menoleh. “Eh, ngerti iya lagi dipanggil?”

Bayi itu berkedip lambat dan memasukkan mobil-mobilannya ke dalam mulut. Winata mendekatkan diri untuk menarik mainan di mulut bayi itu, namun pipinya terasa basah. Bukannya mendapat ciuman, Pipi Winata justru dimakan oleh Bumantara.

“Ayo panggil Daddy!” Bocah gembul itu masih terdiam dan terfokus pada mainannya. “Deeeeeee, ayo ngomong,” paksa Winata.

Bumantara masih tidak menggubris. “Deeee-diiii”

“Yayayayayah….”

“Daddy, bukan Ayah. Deeeeee—diiiiii.”

“Yayayayayah.”

Winata berdecak, “Padahal aku pengen dipanggil Daddy.”

“Iya sana bikin anak sendiri,” suara Geraldo.

“Males ah ribet kok e. Enak kayak gini, minjem sebentar terus kalo bosen dibalikin.”

Melihat Bumantara yang mulai memakan tangannya, Arion berinisiatif bertanya. “Makannya mau di kasih apa?”

“Katanya boleh makan rebus-rebusan?”

“Iya tapi apa? Piraku mie rebus? Di blender si Sabian siah teh, Do.”

“Liat di google aja, nyontek menunya Nikita Mirzani,” celetuk Winata.

“Nikita willy !!” Sahut Geraldo dan Arion penuh amarah.

Setelah mendapat contekan dari konten Ibu Nikita Willy, Winata melihat isi kulkasnya, tapi yang tersisa hanya beberapa botol wine dan whisky. Kulkas yang sangat tidak ramah untuk bayi. 

“Makan di luar ae yaapa? Kulkasku isine minuman dewasa tok.”

“Makan bubur, Wir?”

“Bayi ga oleh makan yakiniku tah? I pengen ke yoshinoya, pengen shrimp bowl.”

“Lo kalo aneh-aneh terus nanti dilarang minjem lagi, Win. Yang sehat aja.”

Winata berpikir sejenak hingga akhirnya ia menelpon seseorang. Setelah lima menit berlalu, Winata kembali dengan mengantongi ponselnya. 

“Ayo bersiap. Bawa segala peralatan bayi,” ujarnya dengan cengiran sombong khas anak tunggal broken home.

Ketiga pria tampan yang baru saja memasuki Plaza itu mendapat perhatian beberapa pengunjung.  Winata menggendong tas biru muda dengan tambahan motif bunga kecil sebagai tempat susu, pampers dan juga baju ganti. Arion mendorong stroller keluaran terbaru dari fendi. Dan Geraldo yang sedang berusaha membawa dirinya sendiri dan kesadarannya karena matanya benar-benar lengket. Jam makan siang begini, biasanya Geraldo sedang terlelap dan terbangun kalau sudah ada suara bedug magrib. Demi bayi bersama, Bumantara si karung beras bulog, Geraldo rela menjadi zombie berjalan di siang hari.

“Buset… ini restoran Wir? Beneran hidden game, ada ruang tersembunyi di dalam ruang restoran.” Arion benar-benar terpesona dengan ruangan yang Winata pesan untuk makan siang mereka. Ia tidak peduli dengan budget yang pria itu keluarkan karena uang Winata tidak mungkin habis hanya untuk  makan siang di empat mewah ini.

“Berisik! Lap dulu baby chairnya pake tisu basah.” Winata merogoh tas yang sedari tadi ia bawa tetapi tidak ada tisu basah di dalamnya. “Cuk, ga enek. Ya apa iki?”

“Minta tisu basah aja sih Win, ribet lo.”

Setelah menerima satu saset tisu basah kemasan, Winata tidak langsung membukanya. Pria itu membaca dengan detail kemasan tisu basah tersebut. “Sorry, ini bukan for baby, ya? Tolong yang khusus buat baby,” pinta Winata.

“Maaf Pak, hanya merk ini yang tersedia.” Senyuman pelayan perlahan mulai memudar ketika Winata melayangkan protes seraya berkaca pinggang.

“Thanks, ya, Mbak.” Geraldo memberi gesture mengusir  ketika Winata masih saja mengomel. “Berisik lo. Mending buruan pesen makan ini udah kelewat jam makan bayi.”

“Gaissa gitu dong, yaapa kalo nanti kulitnya iritasi atau kenapa-kenapa karena tisu basahnya?”

“Dia cuma kerja Win, lo kalo mau marah langsung ke bosnya aja. Pake privelegge putra tunggal mahawirya lo, lah.

Winata kemudian mendengus dan mulai membuka buku menu. “Peseno dewek, jangan ikutan!” Winata kemudian melirik pada Bumantara yang sudah duduk di kursinya. “Kamu mau makan apa, bayi?”

Sang bayi gembul hanya memukul meja dengan excited karena ia tahu bahwa perutnya akan segera diisi. “Bubur ayam aja, ya?” putus winata seraya menutup  buku menu.

“Bubur ayam naon sampe 135 rebu? Curiga aing mah bisi ayamnya blasteran ayam boiler sama ayam kampus.”

Winata hanya merotasikan bola matanya. Arion memang sering protes dengan harga makanan mahal, padahal yang bayar tagihan kartu kredit milik Winata.

Ketika pesanan tiba, Arion terlebih dahulu mengurus Bumantara sebelum mengisi perutnya. “Buset, Geraldo buru suapin aing. Asam lambung, Bray.” 

Geraldo menuruti permintaan Arion. “Ini si Sembilu sama Sabian tiap hari begini? Apa nggak repot, ya?”

“Sembilu tok nggak seh? Sabian kan kalo siang kerja?” Sahut Winata. “Kinda miss my mom,” keluhnya mengilas bagaimana perjuangan seorang Ibu.

“Gausah  nangis Wir, samperin aja deket ini.”

“Mamamamam.. mam..”

“Iku loh suapin bayine yang bener, ojo ngomong tok ae.”

Brrrr…..Brrrr…..Brrrr

Kalo udah kenyang jangan di sembur.” Winata mengusap pipi bocah itu yang kini basah karena clemotan bubur. “Bajunya kotor, Boy.”

“Sono Wir sia gantiin baju dulu aing mau makan.”

Winata menatap Geraldo yang sedang menahan kantuknya mati-matian. Setelah berdecak, Winata membawa bayi gembul itu dan menggendong tas kecil karena ia ingin mengganti pampers. 

“Jangan poop, ya… aku kudu muntah lek kamu poop.” Winata kemudian menyerngitkan hidungnya. “Loh nggak pipis tah kamu? Ga apa-apa tah nggak pipis?” Bayi yang sedang diangkat kedua kakinya itu justru sedang mengemut ibu jarinya dengan mata bulat yang terfokus pada lampu toilet. 

“Eh, tapi air ini gapapa tah buat cuci muka bayi? Kamu pernah cuci muka pake air toilet Plaza ngga?” Bayi itu membalas pertanyaan Winata dengan gumaman tidak jelas. “Lucu banget pengen tak beliin roket buat jalan-jalan ke bulan.”

“Ayo, wash your hands first.” Winata membuka genggaman kecil bayi itu dan mencuci telapak tangan serta sela-sela tangan Bumantara. Setelahnya, ia mengelap tangan basah itu dengan tisu kering. Pemandangan itu, menjadi perhatian beberapa gadis muda yang mau lewat ke toilet. Bau uang dari jaket balenciaga yang Winata kenakan saja mampu menarik perhatian para wanita, ditambah dengan telatennya pria itu mengurus bayi gembul yang kini sedang berusaha memakan kran air, tentu membuat siapa saja gemas. Gemas ke bayinya, dan juga ke Winata. 

Setelah mengganti pakaian yang dibantu oleh salah satu staf resto yang hendak ke toilet karena Bumantara tidak mau diam, kini Bumantara sudah beroutfit keren dengan bucket hat keluaran hermes yang winata pesan dari teman di Italy. 

“Kecut siah Wir, can udud dari pagi.” Arion kembali menggerus permen mint yang Winata berikan. Tidak boleh merokok di dekat Ibu hamil, orang tua, dan anak kecil. 

“Heh, ojo mok tabraki ke maneken strollernya!” Winata memukul bahu belakang Geraldo. “Baskin Robbins di lantai berapa seh?” 

“Lantai atas, males aing balik laginya. Ribet gelo si bayi nggak mau pake lift.”

“Pengen es krim, iku es krim opo o kok banyak orange?”

“Es krim Turki.”

“Opo iku? Es krim khusus orang turki?”

“Coba aja gih, cocok buat manusia pemarah kayak lo Win.”

“Nggak yo, Cuk. Aku penyabar.”

Dan nyatanya, winata berdiri di depan kedai es krim dengan wajah yang memerah karena aksi mamang es krim Turki. Winata selalu terkecoh dan gagal mendapatkan es krimnya karena aksi jahil dan juga tak-tik. “Kalo sekali lagi aku masih ga dapet es krimnya, tak tutup kedai iki!”

Dan nyatanya Winata kembali gagal dan menjadi sumber tawa beberapa pengunjung yang tertarik.

“Alah gak usah wes. Ga pengen aku wesan!” Winata merogoh ponselnya hendak menghubungi pengacara keluarganya tapi aksinya dihentikan karena Arion merampas ponselnya.

“Punten, ya, aa teteh sekalian. Emang dia teh unyeng-unyengnya ada dua jadi weh agak bader budakna.”

Arion kemudian menarik Winata menjauh meski pria itu masih saja mengomel dengan bahasa inggris. Geraldo kemudian mendorong Winata ketika mereka berdiri di depan kedai jus. “Beliin gue wotah,” titahnya. (Winata pakai british accent, jadi pengucapan water terdengar seperti wotah.)

“Capek ya jalan-jalan sambil dorong stroller,” keluh Geraldo. “Nggak bisa fokus. Bayinya gerak mulu, khawatir jatoh terus ketinggalan.”

Winata juga mengangguk setuju. “I deg-degan banget, takut de e poop, tapi nggak i ternyata.”

Arion melotot ke arah Winata dan Geraldo tanpa penjelasan. “Apaan?” tanya Geraldo.

“Anying sia Wir, ngomongin tai!”

“Loh emang nyapo? Ga enek poop e kok.”

“Aing pesen jus mangga! Kehed!”

                                                   ***

Setelah empat jam bersama Bumantara, bocah itu sama sekali tidak merepotkan. Namun, tiba di jam ke-lima, bocah itu mulai sering mengusak wajahnya.

“Apa gara-gara tadi cuci muka pake air toilet?” tanya Winata panik.

“Bubur tadi aing nggak masukin apa-apa, kan?” Imbuh Arion yang ikut panik juga. 

Bumantara juga mengabaikan mainan yang sudah Winata serakkan di lantai. Mobil-mobilan, donat susun, bola pelangi dan juga drum yang Sastra bilang mainan terfavorit bayi itu. Karena takut gerah, Arion mengganti pakaian sang bayi dengan kaos pendek tanpa celana karena Bumantara selalu kabur ketika mereka bertiga mencoba memakaikannya celana.

Geraldo memberikan cookies coklat yang Mama Sabian katakan menjadi cemilan bocah itu, tetapi… jangankan untuk memakannya, bocah itu justru merangkak menjauh dan berteriak 'bubububu' mencari Sembilu.

Sedangkan Geraldo sedang menggendong dan menepuk-nepuk bayi itu karena Bumantara mulai menangis. Winata justru semakin frustasi melihat apartemen nya berantakan.

Please don't cry… aku beneran ga seneng denger suara bayi nangis,” mohon Winata. 

“Lo liat di catatan Sembilu, siapa tau dia ngasih tips buat nenangin nangis.” Winata langsung mencari lembaran kertas keramat tadi. 

Sepertinya point no 4 paling benar.

“Mau tidur atau haus paling, ceunah.

“Yaudah bikin susu, ngapain kalian ngeliatin gue?” tanya Geraldo tidak habis pikir.

“Aku tak siapin tempat tidure aja,” ujar Winata.

“Win… dispenser sia pencetan air panasnya rusak, pan?”

Geraldo berdecak kesal. “Iya rebus air Arion, cepet bagi tugas sebelum gue tendang lo satu-satu!”

Arion langsung bergegas menuju dapur dan Winata kini memasang kasur bayi yang katanya bisa membunuh virus, bakteri, atau kuman atau apalah itu, yang harga satu selimut mencapai satu unit motor vario. Winata juga mengatur suhu kamar agar bayi itu lebih nyaman.

“Wir sia ada termometer nggak? Aing takut kepanasan siah.”

“Ga punya aku, lak testpack ada.”

Geraldo menidurkan Bumantara di karpet. “Sebentar, ya… mau bikin susu dulu.”

Keributan di area dapur membuat tangis Bumantara tidak terdengar. Mereka memperdebatkan suhu 'hangat-hangat kuku' yang Sembilu tulis pada note.

“Kalo kedinginan issa ladùzi.” (diare)

“Kalo kepanasan kebakar sia, Wir lidahnya.”

“Ya ukur aja pake kuku.”

“Nggak steril!”  Keduanya kompak tidak setuju pada Geraldo.

Setelah rapat paripurna dadakan, akhirnya mereka membawa satu botol susu dengan wajah bangga. 

“Bumantara, where are you? Daddy bawa susu…”

Sayangnya presensi bocah itu tidak terlihat dan suara tangisnya sudah hilang. 

“Kemana arek e?” tanya Winata pada Geraldo.

“Tadi gue taro di sini.” 

“Iya tapi mana bray? Ayeuna gaadaan budakna?”

“Nggak mungkin diculik, kan?” Pertanyaan Geraldo kini mendapat decakan dari Winata. “Nggak mungkin issa keluar kamar,” jawabnya.

Mereka bertiga mencari keberadaan Bumantara ke seluruh sudut apartemen. Setelah 10 menit mencari, presensi bocah itu masih belum ditemukan. 

Shit!” umpat Winata. 

“Kaos kakinya mah eta ayaan.” Tunjuk Arion pada sepasang kaos kaki biru yang tergeletak asal. 

Geraldo memilih merebahkan tubuhnya karena kepalanya terasa akan pecah. Tangisan bayi, kurang tidur, makan telat dan juga beberapa perdebatan menyebalkan dengan kedua temannya membuat pria itu lebih baik memunggungi Arion dan Winata yang masih berdebat.

Ketika matanya akan terpejam, Geraldo seperti menangkap jari-jari gembul dalam indra penglihatannya. Ia mengucek matanya berkali-kali, apakah ini adalah bentuk rasa bersalah kepada Bumantara hingga matanya dihantui jari gembul bayi itu, atau itu adalah hantu penunggu apartemen?

“Gendeng a? Yaapa seh awakmu?”

“Win, gue liat jari-jari gembul di deket rak sepatu.”

Ketiganya mengendap-endap mendekati objek yang Geraldo lihat. Pria itu bahkan bersumpah atas nama Tuhan bahwa dia tidak berbohong. Geraldo sangat jarang membawa nama Tuhan, jadi mereka percaya akan kesaksian pria itu.

“Kalo iki hantu, aku stay di kost kalian, ya?”

“Mun eta buntut ular piton kumaha sia teh?” Winata menatap Arion tidak percaya. “Si Geraldo pan rabun jauh,” ucapnya menguatkan argumen.

“Yaudah panggil pemadam kebakaran ae.”

Geraldo meninggalkan kedua sahabatnya yang justru berdebat masalah ular piton. Ia bergerak dengan hati-hati seraya memfokuskan pandangannya pada objek yang ia yakini berada beberapa langkah di depannya. 

Setelah mendekat dengan langkah hati-hati, Geraldo kemudian memicingkan matanya. Pria itu menghela napas lega setelah melihat dengan jelas apakah itu ular piton atau hantu dan nyatanya itu adalah Bumantara. 

Bayi itu sedang tertidur memeluk sepatu rajutnya beralaskan keset di dekat rak sepatu pada pintu masuk. 

Geraldo memberi isyarat agar kedua temannya tidak berisik ketika mendekat. Bibir Bumantara bergerak seperti sedang mimpi minum susu. Bocah itu terlihat begitu nyaman yang mana membuat ketiganya duduk lemas di lantai.

“Haaaaaaaaahhhhh” hela napas ketiganya berbarengan. 

“War is over !!”

Mereka ikut tertidur di lantai dan mulai memejamkan matanya. Namun, ketika lelap belum sempat terjemput… mereka merasakan pintu apartemen mulai terbuka. 

Ketiganya melihat sosok Mami Winata yang menenteng tas gucci di lengan kanannya. Pandangan wanita itu terjatuh pada Bumantara yang sedang meringkuk. 

“He is…” ucapan Wanita itu terhenti karena interupsi. “Bukan punya saya tante,” ucap Geraldo. “Apalagi saya,” imbuh Arion.

Sedangkan Winata hanya bisa menggigit bibirnya karena Bumantara mulai terusik. Bayi itu mulai tengkurap dan bersiap menangis. “Yayayayayah.”

Tangan kecil itu meraih paha Winata karena jarak pria itu yang paling dekat dibanding yang lainnya. Tangan kecil Bumantara menarik ujung baju Winata. “Bubububu, nen….”
 

Mata sipit Winata membola. “Mi… Wait….”

“Yayayayayah… nen….”

Mau tidak mau Winata menggendong bocah itu di dalam dekapannya. Aksi itu justru membuat Sang Mami memegangi kepalanya. “Kudu semaput aku. Mateng kon, I'm already a  grandmother that I don't even know that I have grandchildren.”

“Mami, sek tah,” pinta Winata menghentikan segala pikiran buruk Maminya.

“Modar kon, gak usah sorry-sorry. Ancene secinping. Pengen ndelok mamine kena jantung paling arek iki.” (secinping = edan = gila)

Wanita itu berjalan menuju sofa. “Ya Tuhanku… astaga Winata,” Kagetnya ketika melihat berantakannya sofa dengan barang-barang Bumantara.

Winata kini duduk bersimpuh dengan menggendong Bumantara yang sedang minum susu. Arion dan Geraldo justru terkesima dengan drama yang mereka saksikan secara live.

“Ini namanya drama keluarga, ya, Yon? Gue kelamaan sebatang kara jadi nggak tau.”

“Iya siah aing geu udah lama nggak punya keluarga ternyata seru juga ngeliat beginian.”
 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Setelah Jadi Kita
6
0
Keluarga Atala di sini👋
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan