
Riset ini berangkat dari satu pertanyaan sederhana: mengapa kopi hadir dalam sajen tradisional Jawa? Apakah ini hanya kebetulan modern, atau ada jejak budaya yang lebih dalam?
Lewat penelusuran terhadap sejarah, catatan etnografi, manuskrip tradisional, dan praktik lokal di Jawa, kami menemukan bahwa kopi bukan sekadar minuman pengganti tuak. Ia telah menjadi simbol penghormatan, penghubung antara generasi, dan alat komunikasi spiritual.
Riset ini mengurai bagaimana:
• Kopi menggantikan tuak dalam...
Tradisi Sajen Sejak Masa Kuno di Jawa
Tradisi sajen (sesajen) – yakni persembahan berupa makanan, minuman, atau benda-benda tertentu untuk entitas spiritual – sudah mengakar dalam budaya Jawa sejak zaman kuno. Bahkan para pakar menyebutkan bahwa praktik ini telah ada jauh sebelum masuknya agama Islam, bahkan mendahului era Hindu-Buddha . Artinya, semenjak masa kepercayaan animisme-dinamisme, masyarakat Jawa sudah mengenal ritual mempersembahkan sesaji sebagai wujud syukur, penghormatan kepada arwah leluhur, memohon perlindungan, atau berusaha berdamai dengan kekuatan gaib di alam sekitar .
Pada masa kerajaan Hindu-Buddha di Jawa (sekitar abad 8–15 M), tradisi sajen tetap berlangsung dan menyatu dengan upacara keagamaan. Berbagai prasasti masa Kerajaan Mataram Kuno (Medang, abad 8–10 M) mencatat pelaksanaan ritual dengan sesaji. Misalnya, upacara penetapan sima (tanah perdikan) pada era Mataram Kuno selalu disertai “barang-barang untuk sesajian” sebagai perlengkapan ritual . Bahan persembahan berupa hasil bumi pun digunakan; sumber sejarah mencatat masyarakat Mataram Kuno menggunakan buah-buahan sebagai bahan persembahan atau sesaji . Tradisi ini terus berlanjut melalui era kerajaan berikutnya. Upacara tradisional Larung Sesaji – menghanyutkan sesaji ke laut, telaga, atau kawah gunung – dikenal sudah ada sejak zaman Kerajaan Mataram Kuno, dilanjutkan pada masa Singosari hingga Majapahit . Ini menunjukkan bahwa memberikan sesajen sebagai penghormatan kepada kekuatan alam dan dewa-dewi (misalnya persembahan hasil panen kepada Dewi Padi atau penguasa laut) sudah menjadi bagian dari kehidupan spiritual masyarakat Jawa purba.
Secara filosofi, sajen dianggap sebagai media komunikasi dengan dunia gaib. Masyarakat Jawa kuno percaya bahwa arwah leluhur maupun penunggu alam (gunung, hutan, laut) perlu dihormati dan “diberi makan” secara simbolis agar memberikan berkat dan tidak mendatangkan celaka . Melalui sesaji, manusia menyampaikan rasa terima kasih dan harapan. Misalnya, hingga kini di beberapa tempat masih dilestarikan upacara sedekah bumi, ruwatan, atau bersih desa yang intinya menyediakan sesajen sebagai ungkapan syukur atas panen dan tolak bala. Dengan demikian, sejak masa pra-sejarah, Hindu-Buddha, hingga peralihan ke Islam, ritual sajen tetap lestari, meski isi dan maknanya bisa menyesuaikan konteks zamannya.
Kopi dalam Sajen Tradisional Jawa
Salah satu unsur menarik dalam tradisi sesajen Jawa (juga Sunda) adalah kopi. Di banyak daerah, secangkir kopi hitam menjadi komponen tetap sesaji yang disuguhkan kepada arwah leluhur atau penunggu gaib. Misalnya dalam adat Sunda, praktik nyuguh (menyuguhkan sesajen untuk roh leluhur tiap malam Jumat atau Selasa) kerap kali menyertakan kopi pahit selain puncak manik (nasi tumpeng kecil), bunga tujuh rupa, sirih-pinang, dan sebagainya . Ensiklopedi Sunda mencatat bahwa dalam entri “sasajen” tercantum air kopi dengan gula batu sebagai salah satu persembahan, dan dalam entri “nyuguh” disebut sajian kopi pahit – seolah kopi dianggap minuman penting bagi makhluk gaib . Tradisi Sunda memuliakan Dewi Sri (dewi padi) dengan sajen yang berisi kopi; menurut keterangan etnografis, di dekat lumbung padi disediakan sesajen termasuk kendi air kopi sebagai persembahan untuk Nyi Sri . Demikian pula di Jawa, kopi hitam sering hadir dalam sesajen yang ditujukan bagi roh leluhur. Budayawan Sunaryo mencatat bahwa sesajen untuk mendoakan arwah leluhur di Jawa Tengah dan Timur lazim berisi rokok kretek dan minuman favorit almarhum semasa hidup – kerap kali berupa kopi atau teh . Bahkan dalam upacara kejawen seperti ruwatan (ritual buang sial), perlengkapan wajibnya mencakup sepasang cawisan berisi wedang putih (air tawar) dan wedang kopi pahit . Hal ini menunjukkan betapa akrabnya kopi dengan dunia ritual Jawa. Sajen yang disajikan saat malam Jumat di rumah-rumah orang tua tempo dulu pun umumnya berisi segelas kopi hitam hangat, kembang tujuh rupa, makanan berbahan beras (seperti apem, ketupat, lontong), serta unsur kelapa . Kopi hitam dianggap sebagai salah satu “jamuan” bagi arwah leluhur yang pulang berkunjung, disajikan agar mereka merasa dihormati dan dikenang oleh keturunannya .
Sejak kapankah kopi digunakan dalam konteks sajen di Jawa? Pertanyaan ini menarik karena tanaman kopi (Coffea arabica) sendiri bukan tanaman asli Nusantara. Secara historis, kopi baru dibudidayakan secara luas di Jawa setelah diperkenalkan oleh kolonial VOC (Belanda) menjelang akhir abad ke-17. Gubernur Jenderal VOC di Batavia pertama kali menanam bibit kopi arabika kiriman dari Malabar, India, pada tahun 1696, dan percobaan itu berhasil . Tak lama kemudian, VOC memonopoli produksi kopi di Jawa untuk diekspor, sehingga mulai awal 1700-an Jawa muncul sebagai pemasok utama kopi bagi Eropa . Namun, apakah masyarakat Jawa sudah mengenal dan mengkonsumsi kopi sebelum VOC datang? Beberapa sumber menunjukkan ya, sudah ada yang mengenal kopi lebih awal. Menurut catatan sejarah Islam Nusantara, kaum Muslim di negeri ini sebenarnya telah mengetahui biji kopi melalui jalur ibadah haji dan perdagangan dengan Arab sebelum dibawa resmi oleh Belanda . Jamaah haji asal Nusantara yang singgah di Mekkah atau Yaman pada abad ke-16 dan 17 berkenalan dengan minuman qahwa (kopi), lalu membawa bijinya ke tanah air dalam skala kecil. Meski persebarannya terbatas dan tidak dibudidayakan luas, hal ini menandakan bahwa kopi kemungkinan sudah dicicipi di Jawa sebelum kedatangan VOC. Bukti tertulis langsung dari periode pra-VOC tentang kopi di Jawa memang nyaris tidak ada, mengingat dokumentasi lokal abad ke-16 sangat minim menyebut komoditas baru ini. Akan tetapi, bukti tidak langsung tampak dari penyesuaian tradisi. Misalnya, H. Agus Sunyoto (sejarawan dan budayawan) menjelaskan bahwa dalam tradisi Jawa-Islam, kopi akhirnya mengambil alih peran tuak (minuman fermentasi kelapa) dalam sesajen bagi leluhur . Pada masa pra-Islam dan era kerajaan Hindu-Buddha, minuman beralkohol seperti tuak kerap dipakai dalam ritual. Setelah Islam tersebar, tuak dianggap tidak sesuai syariat, sehingga ketika kopi mulai tersedia (diperkenalkan oleh Belanda), masyarakat Muslim Jawa mengadopsinya sebagai pengganti tuak untuk persembahan ritual . Dengan kata lain, sejak abad ke- eighteenth (atau mungkin akhir seventeenth), kopi mulai digunakan sebagai bagian sesajen tradisional, seiring dengan tersedianya kopi secara lebih luas dan diterimanya ia sebagai minuman “halal” pengganti arak.
Dari sudut pandang tradisi lisan dan budaya, masyarakat lokal sendiri menganggap kehadiran kopi dalam sajen sudah lumrah dari dulunya. Tradisi nyuguh di kalangan Sunda, misalnya, dianggap “peninggalan nenek moyang sebelum memeluk Islam” – yang artinya penyuguhan kopi kepada arwah leluhur dianggap selaras dengan adat nenek moyang. Tentu, secara historis kopi baru dikenal setelah masa Hindu-Buddha berakhir, namun pelestarian tradisi membuat kopi yang “datang belakangan” itu seolah diterima menjadi bagian tak terpisahkan dari ritual kuno. Berbagai kesaksian etnografi abad ke-20 mencatat kebiasaan petani menyediakan kopi pahit di altar rumah atau lumbung padi untuk “suguhan” penghuni gaib , yang menegaskan bahwa pada era itu orang telah memandang kopi sebagai minuman kesukaan para leluhur atau penunggu.
Kesimpulan: Kopi dalam Sajen sebagai Jejak Kehadiran Awal Kopi di Jawa
Berdasarkan penelusuran di atas, dapat disimpulkan bahwa praktik sesajen di Jawa memiliki akar sejarah yang sangat tua, terbukti sudah ada sejak masa Mataram Kuno (abad 8 M) bahkan sebelumnya. Sajen berfungsi sebagai media spiritual untuk berterima kasih dan berkomunikasi dengan leluhur maupun kekuatan alam, dan tradisi ini bertahan lintas zaman hingga sekarang . Adapun kopi sebagai bagian dari sesajen muncul seiring dengan masuknya komoditas kopi ke Jawa. Meskipun VOC Belanda baru memperkenalkan dan membudidayakan kopi secara massif sekitar akhir abad ke-17 , tanda-tanda konsumsi kopi lokal sudah ada sedikitnya sejak awal abad ke-17 berkat interaksi para haji dan pedagang Muslim dengan Timur Tengah . Begitu kopi tersedia, masyarakat Jawa-Sunda mengintegrasikannya ke dalam ritual tradisional – misalnya sebagai pengganti minuman beralkohol dalam sesaji leluhur . Dengan demikian, kehadiran kopi dalam sesajen tradisional dapat dipandang sebagai salah satu indikasi bahwa kopi telah dikenal dan dikonsumsi di Jawa sebelum masa tanam paksa VOC, setidaknya dalam skala terbatas. Tradisi spiritual lokal yang menyertakan kopi (seperti sajian kopi pahit untuk Dewi Sri atau arwah keluarga) memperkuat argumen bahwa orang Jawa tempo dulu sudah akrab dengan kopi bahkan sebelum bangsa Eropa mempopulerkannya . Walaupun bukti arkeologis langsung tidak ditemukan dan referensi tertulis pra-kolonial tentang “kopi” jarang, warisan budaya lisan dan catatan etnografi memberikan gambaran bahwa kopi cepat beradaptasi menjadi bagian dari adat. Ketika kita melihat sesajen berisi secangkir kopi hitam di sudut rumah orang Jawa, itu bukan sekadar ritual kosong, melainkan jejak sejarah interaksi Jawa dengan dunia luar. Tradisi ini menyiratkan bahwa secangkir kopi telah melalui perjalanan panjang – dari biji eksotis yang dibawa melintasi lautan, hingga menjadi sarana spiritual untuk menyambung ingatan dengan para leluhur di tanah Jawa.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
