
Berakhirnya perang semesta membuat semua orang bisa hidup dalam damai. Namun naas, pejuang yang memimpin perang tersebut harus tewas demi melindungi keluarga dan seluruh pasukannya.
Tetapi nasib berkata lain, Lintang kembali hidup pada tubuh seseorang. Lebih tepatnya pada tubuh seorang bayi kecil yang lahir di saat terjadi fenomena purnama biru.
Bab 1 Kebangkitan kembali.
Setelah tertidur lama akibat kematian, saat ini untuk pertama kalinya Lintang kembali membuka mata.
Namun aneh, dia merasa sekujur tubuhnya amat sakit seakan sedang mengalami banyak luka.
“Ada apa ini? Mengapa seluruh persendianku terasa ngilu? Apa mungkin aku telah mengalami penyiksaan? Ah tidak mungkin, bukankah terakhir kali kuingat diriku masih berupa ruh?” gumam Lintang meracau.
Dia terbangun di sebuah kamar besar berdinding kayu dengan satu lentera kecil sebagai penerangannya.
Tiak ada apa pun di sana selain satu meja sederhana yang di atasnya terdapat nampan berisi poci tanah liat lengkap dengan 4 cangkir pendek berbahan bambu.
Selain itu, terdapat juga sepasang pedang lusuh di permukaan salah satu dinding yang ditaruh secara menyilang sehingga tampak seperti hiasan.
Tetapi Lintang tidak peduli, dia kini sedang menitikan air mata teringat dengan semua kenangan keluarganya.
Lintang belum sadar bahwa dirinya telah hidup kembali pada seorang anak kecil.
“Ayah, ibu, Sari, Tari, Rani, Rara,, Arga, Sugi, Ayu, bagaimana keadaan kalian?” ucap Lintang lirih sembari berlinang air mata.
“Jagat, Asgar, Limo,” gumam Lintang.
Dia masih terbaring bingung, menatap kosong pada langit-langit, membayangkan wajah semua keluarga yang pasti sedang bersedih akibat kematiannya.
Namun lamunan pemuda itu seketika buyar dikejutkan oleh sebuah teriakan keras dari balik pintu kamar.
“Oiii, Kusha! Aku tahu kau sedang menangis. Dasar cengeng! Ayo cepat bangun, ibu memanggil kita ke ruang makan.”
Teriakan tersebut seperti berasal dari seorang anak lelaki berusia sekitar 14 tahun yang entah siapa.
“Kusha? Siapa Kusha? Mengapa ada suara seorang bocah? Bukankah di sini tidak ada siapa-siapa selain aku?” Lintang mengerutkan kening tidak mengerti.
Sekarang dia mulai sadar bahwa dirinya ternyata sedang berada di sebuah ruangan yang entah di mana. Yang pasti Lintang tidak lagi terkurung dalam kegelapan semesta.
“Rasa sakit? Bernapas? Detak jantung? Apa mungkin aku hidup kembali?” gumam Lintang melebarkan mata.
Dia kemudian segera meraba dada, memastikan bahwa detak jatung yang ia rasakan bukanlah mimpi.
Dan benar saja, Lintang ternyata kembali memiliki jantung, membuat pemuda itu tertawa terbahak bahak.
“Hahaha, aku hidup! Aku hidup! Yosh! Aku hidup lagi!” Lintang meracau berlompatan di atas pembaringan.
Dia berlompatan senang layaknya seorang anak kecil tanpa peduli pada teriakan yang terus memanggil nama Kusha dari luar kamar.
“Dasar gila! Apa mungkin dia mengalami gegar otak akibat benturan?” umpat seorang anak lekaki di luar kamar.
“Oii, Kusha, cepat buka pintu! Ayah dan ibu sudah menunggu kita, ayo cepat keluar!” bentak anak tersebut.
“Kusha? Dasar bocah nakal! Siapa dia? Mengapa anak itu terus berteriak ke dalam kamar?” gumam Lintang.
Karena merasa heran, Lintang pun lantas mengedarkan pandangan, menyusuri setiap sudut ruangan memastikan barangkali ada anak bernama Kusha di sana.
Tapi sekeras apa pun Lintang mencari, di dalam kamar tetap saja tidak ada siapa pun selain dirinya.
“Aneh! Di sini tidak ada siapa-siapa?” gumam Lintang mengerutkan kening.
Namun anak lelaki tadi kembali berteriak, kali ini suaranya lebih kencang membuat Lintang sakit kepala mendengarnya.
Merasa kesal kepada anak itu, Lintang pun lantas menanggapi teriakannya.
“Oiii bocah! Siapa kau? Mengapa terus memanggil nama Kusha?” seru Lintang.
“Dasar tengik! Berani kau memanggil aku, Bocah? Ayo cepat keluar, ibu sudah menunggu kita sedari tadi!” balas sang anak lelaki dengan umpatan.
“Ibu?” Lintang duduk di pembaringan, menyandarkan punggung pada dinding dipan sembari mengangkat tangan berniat mengurut keningnya yang terasa sakit.
Namun sebelum tangannya tiba menyentuh kening, Lintang langsung terperanjat kaget melebarkan mata.
Dia tidak percaya menyaksikan tangan yang seharusnya kekar entah mengapa menjadi begitu kecil layaknya tangan anak-anak.
Dan ketika diraba kulitnya terasa begitu lembut bagaikan bayi. Terlebih dia memiliki kulit berwarna biru tua membuat Lintang semakin terkaget keheranan.
“Ini ...? A-a—ada apa de-dengan ta-tanganku?” Lintang terbata.
Mengira semua itu hanya ilusi, Lintang pun lantas memeriksa kaki, tubuh, serta meraba wajahnya, memastikan bahwa dia tidak sedang terjebak dalam jurus seseorang.
Tapi seberapa kali pun pemuda itu memeriksa, tubuhnya tetap tidak berubah membuat dia langsung berteriak panik.
“Kyaaaaaaaaa, tidakkkkk! Aku tidak mau! Mengapa tubuhku menjadi anak kecil seperti ini, ayahhhhh, tidakkkkk! Siapa pun tolong aku!” Lintang menjerit histeris.
Dia kembali meracau seperti orang gila, tapi racauannya kali ini bagaikan seorang yang sedang tersakiti membuat anak lelaki di luar kamar langsung mendobrak pintu sangat khawatir.
Bab 2 Kenyataan
Brak! Wush! Bruuus!
Pintu kamar terlempar sejauh 2 meter dan berakhir tergeletak di dekat pembaringan.
Setelah itu, seorang anak lelaki berusia 14 tahun berlari cepat menghampiri Lintang.
Raut wajahnya pucat karena panik, dia mengenakan pakaian berwarna abu dengan celana panjang sebetis yang juga berwarna abu.
Namun ikat pinggang anak tersebut berwarna hitam, melingkar mengencangkan pakaian serta menjadi penyangga sebilah pedang.
Tubuhnya cukup kekar, berkulit putih mulus dengan wajah tampan berambut panjang.
Dia mengenakan ikatan kepala berupa kain berwarna merah tua sebagai ciri seorang murid dari sebuah perguruan.
“Kusha! Ada apa? Di mana? Siapa yang menyakitimu?” teriak anak lelaki itu kepada Lintang.
Dia terlihat mengedarkan pandangan menyusuri setiap sudut kamar, mencari seseorang yang telah membuat adiknya menjerit.
Tetapi di sana tidak ada apa-apa selain seorang bocah berusia tujuh tahun berkulit biru yang sedang duduk termangu sembari memeluk kedua lututnya seperti anak yang tengah ketakutan.
Merasa kesal mengira sudah dipermainkan, anak lekaki tadi lantas menggetok kepala Lintang menggunakan gagang pedang membuat bocah berkulit biru langsung mengerang berteriak kesakitan.
“Apa yang kau lakukan bocah? Sakit tahu, dasar anak tidak tahu sopan santun!” maki Lintang sembari menggosok kepala berusaha mengurangi rasa sakit.
Peletak! Aaaaaaaw!
Lintang lagi-lagi menjerit terkena getokan kedua, di mana anak lekaki tadi ternyata menggetoknya kembali dengan wajah merah menahan amarah.
“Dirimu yang bocah, dasar tengik! Beraninya kau memaki kakakmu sendiri,” umpat sang anak lelaki sembari menyilangkan tangan di depan dada.
“Apa! Aku? Kau yang bocah, dasar anak nakal!” maki Lintang masih kesakitan, sementara sang anak lelaki tadi hanya terkekeh menyeringai ke arahnya.
“Siapa kau bocah? Mengapa menggangguku?” teriak Lintang.
Dia berdiri di atas pembaringan seraya menatap marah kepada sang anak lelaki.
“Hahaha! Lama kutinggalkan ternyata dirimu sudah melupakan aku, dasar adik nakal! Kau lupa atau pura-pura lupa, Kusha? Tentu saja aku adalah kakakmu, Balada yang tampan dan pemberani,” sang anak lelaki tertawa membuat Lintang semakin bingung tidak mengerti.
“Ka-ka—kakak? Sejak kapan aku memiliki kakak?” gumam Lintang di dalam hati.
Namun tidak lama setelah itu, Lintang kembali menjerit akibat kupingnya dijewer oleh Balada.
Dia ditarik keluar kamar, dibawa melalui lorong panjang menghadap sepasang suami istri yang tengah duduk di atas meja makan.
“Aww, sakit sialan! Lepaskan aku, tolong! Lepaskan dasar anak naka!” Lintang meracau, meronta berusaha melepaskan diri.
Tapi Balada tidak peduli, anak lelaki itu terus saja menarik Lintang tanpa ampun bahkan sembari tertawa terbahak bahak.
“Hahaha, aku tidak akan melepaskanmu sebelum kau mengakuiku sebagai kakak,” ujar Balada.
Sudah 4 tahun Balada meninggalkan rumah, dia berguru di sebuah padepokan kanuragan terbesar di kerajaan Suralaksa.
Sementara Lintang tumbuh menjadi seorang anak pendiam, dia jarang sekali keluar rumah akibat selalu dibuli dan dicemooh oleh anak-anak lain hanya karena berbeda warna.
Lintang yang sekarang bernama Kusha, dia lahir dari sepasang suami istri yang kaya raya.
Hal itu karena ayahnya merupakan seorang saudagar ternama di katumenggungan Surapala.
Lintang hidup damai penuh kemewahan di sebuah kediaman besar. Dia tumbuh dengan kasih sayang orang tua.
Bahkan para pelayan di rumahnya juga begitu menyayangi Lintang karena sosok Kusha memiliki kerendahan hati, sopan santun, tidak sombong dan selalu baik kepada semua pelayan.
Namun 15 hari yang lalu, Lintang mengalami insiden yang cukup mengerikan.
Kusha secara tidak sengaja terperosok ke dalam sumur kering sedalam 10 meter hingga membuatnya terkapar dan harus dirawat oleh tabib katumenggungan.
Lintang terbaring tidak sadarkan diri selama 15 hari dan kabar tentang kecelakaan yang dialaminya tersebar secara cepat.
Bahkan kabar tersebut sampai terdengar ke tempat Balada membuat anak lelaki itu langsung bergegas pulang untuk memastikan keselataman adiknya.
Balada tiba di rumah di malam sebelum Lintang terbangun, dia menjaga Kusha semalaman sampai pagi menjelang.
Setelah mentari terbit, Balada baru keluar dari kamar adiknya karena ingin membersihkan diri setelah melalui perjalanan jauh.
Tapi tanpa sengaja, pintu kamar Kusha terkunci dari dalam karena Balada menutupnya terlalu keras. Namun anak lelaki itu tidak menyadarinya.
Selepas mandi, Balada dipanggil oleh sang ibu untuk makan bersama. Dia juga diberi tugas untuk kembali memeriksa Lintang karena menurut keterangan tabib, Lintang akan bangun setelah 15 hari perawatan.
Dan benar saja, saat Balada tiba di depan pintu kamar, sayup-sayup terdengar suara tangisan Lintang pertanda bahwa adiknya memang sudah bangun.
Tapi ketika Balada akan masuk, dia mendapati pintu kamar terkunci mengira Lintang sengaja sedang menjahilinya.
Sehingga saat mendengar tangisan Kusha, Balada malah menggoda sang adik dengan memanggilnya bocah cengeng.
Dan benar saja, sesaat setelah Balada berteriak, dia mendengar Kusha tertawa membuat Balada semakin yakin bahwa Kusha sedang mengerjainya.
Namun yang membuat Balada heran adalah ketika mendapati Kusha berani memanggailnya bocah dan berpura-pura tidak mengenalinya.
Hal itu jelas sangat jauh dengan sikap adiknya dahulu. Tapi Balada tidak berpikir jauh.
Dia hanya mengira mungkin Kusha telah tumbuh dewasa dan sedang ingin bermain dengannya. Atau bisa saja Kusha marah karena Balada terlalu lama meninggalkan rumah.
Balada terus menjewer telinga Kusha, membawa anak kecil tersebut ke tempat ayah dan ibunya.
“Awww, ampun kak. Baiklah-baiklah aku minta maaf, tadi aku hanya bercanda,” lirih Lintang berpura-pura.
Dia sungguh tidak mampu melawan Balada karena tenaga fisik anak lelaki itu jauh lebih kuat dari pada dirinya.
Dahulu Lintang memang seorang pendekar maha sakti yang telah mencapai kanuragan tingkat alam rasa. Satu tingkat jauh di atas Galuh dan Arga.
Namun pada kehidupan ini, Lintang hanyalah seorang anak kecil yang tidak berdaya.
Jangankan kanuragan, kemampuan fisik saja Lintang begitu sangat lemah, bahkan lebih lemah dari anak-anak seusianya.
Sehingga mau tidak mau Lintang terpaksa harus menuruti keinginan Balada dengan memanggilnya kakak.
Bab 3 Kenyataan Dua.
Ruh Lintang menitis pada seorang bayi laki-laki yang lahir di saat fenomena purnama biru.
Hal itu membuat rupa fisiknya berbeda dengan manusia biasa. Sehingga sekali lagi Lintang harus menelan kepahitan mengalami dikucilkan dan dicemooh orang-orang.
Tetapi kedua orang tua serta kakaknya begitu mengasihi Lintang, menganggap dia sebagai mutiara keluarga yang sangat berharga.
Lintang diberi nama Kusha Warta, dia memiliki seorang kakak laki-laki yang lahir 7 tahun lebih awal bernama Balada Warta.
Sedangkan ayahnya bernama Weda Warta dan ibunya merupakan seorang putri seorang adipati dari nagari sebrang bernama Ratna Kianti Dharma.
Saat pertama lahir, ingatan Lintang tersegel jauh di dalam tubuh Kusha membuat dia tumbuh layaknya anak biasa.
Kusha jarang sekali keluar rumah karena kerap dihina, dibuli, dan dicemooh anak-anak lain. Bahkan tidak sedikit para orang tua juga ikut menghina dirinya.
Tapi meski begitu, Kusha merupakan seorang anak yang tegar. Dia tidak pernah mengeluh atau merengek mengadu kepada ayah dan ibunya.
Kusha selalu menelan kepahitan itu sendiri, dia juga tidak pernah merasa dendam atau marah akan hinaan.
Dahulu saat Balada masih berada di rumah, Kusha begitu bahagia karena memiliki kakak yang sangat baik.
Balada selalu menemani Kusha bermain, mengajarinya berbicara, membaca, dan menulis. Bahkan Balada kerap melindungi Lintang dari berbagai hinaan orang-orang.
Tidak jarang Balada berkelahi dengan anak-anak sebaya-nya akibat menghina Kusha.
Namun ketika Balada berangkat menimba ilmu, hari-hari Kusha mulai suram. Tidak ada satu pun anak yang mau bermain dengannya.
Sementara kedua orang tua Kusha disibukan oleh urusan perdagangan.
Mereka kerap pergi berdagang keluar katumenggungan bahkan sampai berhari-hari membuat Kusha begitu kesepian dan hanya hidup ditemani oleh para pelayan.
Meski masih sangat kecil, Kusha terbilang sebagai anak yang mandiri. Dia tidak pernah merepotkan pelayan atau kedua orang tuanya.
Kusha juga merupakan anak yang cerdas di mana sejak usia tiga tahun dia sudah pandai membaca dan menulis.
Namun karena hinaan dan cemoohan itulah Kusha menjadi anak pendiam, hingga dia selalu manghabiskan waktu sendiri di kediamannya.
Kusha memiliki wajah cukup tampan, berhidung mancung dan bibir yang tipis layaknya perempuan.
Namun kulit diseluruh tubuhnya berwarna biru tua membuat dia sangat berbeda dengan manusia pada umumnya.
Bahkan rambut dan kedua bola matanya juga berwarna biru akibat terkena energi purnama langka.
Tapi saat usianya menginjak 4 tahun, rambut dan bola mata Kusha perlahan berubah warna menjadi hitam. Namun kulit di tubuhnya masih tetap sama berwarna biru tua.
Kedua orang tuanya sudah beberapa kali meminta bantuan kepada para resi sakti untuk menyembuhkan Kusha, berharap dia bisa memiliki tubuh layaknya manusia normal.
Tapi seberapa keras apa pun para resi berusaha, mereka tetap tidak bisa menyembuhkan Kusha karena warna dikulitnya sudah merupakan sebuah takdir.
Alhasil, kedua orang tuanya pasrah menerima kenyataan bahwa apa yang terjadi kepada Kusha adalah bagian dari kehidupan-nya.
Namun meski begitu, mereka tetap mencintai Kusha melebihi apa pun.
**o0o**
Selama 7 tahun ingatan Lintang tertidur di dalam tubuh seorang anak kecil berkulit biru tua.
Namun tidak disangka, sebuah kejadian membuat ingatannya terbangun.
Lintang sangat senang ketika menyadari bahwa dirinya hidup kembali. Dia bertekad akan kembali pulang ke Madyapada.
Tapi saat mendapati tubuhnya menjadi kecil, Lintang sungguh terpuruk.
Namun dia terpuruk bukan karena rupa atau bentuk tubuhnya, melainkan karena seluruh kekuatan Lintang lenyap tidak tersisa.
Waktu itu sesaat sebelum Balada mendobrak pintu kamar, Lintang sempat mengukur kekuatan tulang, kualitas tubuh, dan inti energi yang dia miliki.
Tapi sungguh mengejutkan di mana kualitas tulangnya ternyata hanya tulang biasa, tulang seorang anak kecil berusia 7 tahun.
Inti energi Lintang juga begitu sangat lemah, bahkan lebih kecil dari kebanyakan pendekar.
Lintang tertegun tidak percaya mendapati semua pencapaiannya hilang.
Tapi sebagai seorang bijak, dia segera bisa kembali menenangkan hatinya. Menerima kenyataan bahwa apa pun yang terjadi tidak lebih buruk dari kematian.
Semua kanuragannya memang hilang, tapi Lintang tidak berkecil hati karena dia bisa memulainya kembali dari awal.
Walau prosesnya akan memakan waktu, tapi setidaknya Lintang akan bisa kembali pulang.
Dia tidak peduli dengan waktu, yang terpenting sekarang adalah dirinya sudah kembali memiliki kehidupan.
“Balada! Apa yang kau lakukan kepada adikmu? Cepat lepaskan!” teriak sang ayah panik mendapati Kusha sedang dijewer oleh kakaknya.
“Hehehe, maaf ayah. Kusha sekarang telah menjadi anak nakal. Jadi aku menghukumnya sedikit,” Balada terkekeh.
Dia segera melepaskan tangannya, membuat Lintang bisa kembali menarik napas lega.
Ratna Kianti yang melihat putra bungsunya sedang kesakitan langsung berlari menghampiri Lintang.
“Apa Kusha tidak apa-apa, nak?” Ratna Kianti berlutut memeriksa telinga Lintang, sementara Balada masih menyeringai bodoh tanpa merasa bersalah.
“Ti-ti—tidak biung,” jawab Lintang ragu-ragu.
Meski sadar bahwa wanita tersebut adalah ibu yang melahirkannya, tapi Lintang tetap merasa asing karena baru saja mengenalnya.
Dia bingung entah harus bersikap apa karena sejatinya usia Lintang lebih tua dari kedua orang tuanya.
Tempo hari Lintang mungkin masih anak kecil, tapi sekarang ingatannya telah kembali membuat dia menjadi sosok dewasa.
“Syukurlah!” Ratna Kianti memeluk Lintang penuh kasih sayang.
Setelah itu dia lantas mengomeli Balada karena telah bersikap kasar kepada adiknya.
Terlebih Kusha baru saja pulih dari luka, membuat Ratna Kianti benar-benar marah.
“Maaf ibu,” ucap Balada lemas.
Dia menundukan wajah tidak berani membantah sang ibu.
“Sudahlah! Ibu mengerti kau rindu terhadap adikmu, ayo kita makan,” Ratna Kianti mengelus rambut Balada membuat anak lelaki tersebut kembali tersenyum senang.
Sementara Lintang masih terdiam memikirkan entah mengapa dia tiba-tiba memanggil biung kepada ibunya sementara Balada memanggil Ibu.
“Apa mungkin itu dari ingatan Kusha?” gumam Lintang dalam hati.
Tapi lamunan tersebut tidak berlangsung lama karena Ratna Kianti segera menggendong Lintang membawa dia duduk di meja makan.
Waktu itu Lintang ingin meronta, tapi apalah daya. Dia tidak mungkin menunjukan sikap janggal kepada ibunya.
Bagi Lintang mungkin dia telah dewasa. Namun di mata keluarganya, Kusha tetaplah anak kecil yang mereka cintai. Sehingga mau tidak mau Lintang harus menghargai mereka.
Di meja makan, ayah Kusha kembali bertanya tentang keadaannya membuat Lintang harus kembali berpura-pura menjadi anak kecil.
Selepas itu, mereka pun lantas menyantap hidangan bersama sebagai suatu keluarga.
Meski awalnya risih, tapi lama-kelamaan Lintang menjadi terbiasa. Bahkan entah mengapa hatinya menjadi terasa hangat.
Lintang merasa kedamaian di sana, dia begitu bahagia memiliki seorang kakak, ibu, dan ayah yang begitu mencintainya.
“Puluhan tahun aku bertarung, beradu nyawa, perperang melawan keangkara murkaan untuk mencari kedamaian. Namun tidak disangka kedamaian itu ternyata kutemukan disebuah keluarga sederhana seperti ini,” gumam Lintang dengan mata berkaca-kaca.
Bab 4 Ingatan Kusha
Setelah berhari-hari dilanda kebingungan, ingatan milik Kusha pun akhirnya kembali berdatangan membuat Lintang semakin mengerti akan siapa dan di mana dia sekarang.
Termasuk ingatan memilukan saat Kusha terperosok ke dalam sumur.
Lintang kini tahu bahwa kecelakan yang menimpa Kusha tempo hari ternyata bukanlah sebuah kebetulan di mana ada beberapa anak lain yang sengaja ingin membunuh Kusha atas perintah seseorang.
Hal itu tentu membuat Lintang sangat marah hingga gigi-giginya bergemertak sembari mengepalkan tangan.
“Mereka, tidak bisa kubiarkan!” ucap Lintang dingin.
“Mereka? Apa maksudmu, Kusha?” tanya Balada mengerutkan kening.
Lintang sebelumnya tengah termenung sendiri di taman belakang, dia tidak sadar bahwa sedari awal Balada mengikutinya.
Sehingga saat mendengar suara Balada, Lintang langsung melompat kaget sembari memasang kuda-kuda bertarung.
“Hahahaha, apa yang kau lakukan, Kusha? Kau bukan seorang pendekar,” Balada tertawa tidak kuasa menyaksikan tingkah lucu adiknya.
“Kakak! Kau mengagetkan aku saja,” teriak Lintang kesal.
“Hahaha! Baiklah-baiklah maafkan aku. Tapi itu juga salahmu karena terus melamun di sini,” ujar Balada dengan masih tertawa.
Padahal jauh di dalam hatinya, Balada sangat merasa sedih mendapati adiknya menjadi pendiam seperti itu.
Balada merasa bersalah karena telah meninggalkan Kusha, di mana dahulu, adiknya merupakan anak yang periang, selalu tertawa dan tidak pernah mengeluh apalagi melamun sendiri di tempat sepi.
“Apa yang sedang kau pikirkan Kusha?” tanya Balada serius.
Sebagai kakak, dia bertanggung jawab menjaga sang adik apa pun yang terjadi.
Meski usianya masih 14 tahun, tapi Balada memiliki kedewasaan di atas anak-anak seusianya.
Dia tahu saat ini Kusha sedang memiliki masalah yang entah apa sehingga Balada terus mendekatinya berusaha menggali informasi untuk membantu adiknya tersebut.
“Tidak apa kak, aku hanya berpikir hari-hariku akan kembali sepi setelah kakak kembali kepadepokan nanti,” jawab Lintang berbohong.
“Hahaha, dasar cengeng. Di sinikan ada ibu dan ayah. Mereka tidak akan lagi berdagang keluar wilayah katumenggungan karena ingin menjagamu, Kusha. Aku juga di padepokan tidak akan lama. Aku akan kembali setiap 6 bulan sekali untuk menjengukmu,” tutur Balada menjelaskan.
Lintang hanya menyeringai mendengar itu di mana sebetulnya bukan itu yang Lintang pikirkan.
“Kakak memang baik, hihihi,” Lintang berusaha tertawa.
“Sudahlah, besok lusa aku akan berangkat lagi ke padepokan. Sekarang bagaimana kalau kita bermain ke pasar?” ajak Balada menghibur.
“Ke pasar kak?” Lintang terlihat ragu.
“Benar! Kau tenanglah Kusha. Selama ada aku, tidak akan ada yang berani mengganggumu,” ujar Balada.
Dia mengucapkan itu dengan sunguh-sungguh karena sejatinya niat Balada menimba ilmu pun hanya untuk melindungi adik dan keluarganya.
Balada sadar, dunia tidak sedamai kelihatannya. Apalagi dunia persilatan, sehingga dia berpikir harus ada salah satu anggota keluarga yang menjadi pendekar untuk berjaga-jaga.
“Jika kakak memaksa, baiklah,” angguk Lintang.
“Hahaha, tentu saja,” Balada menepuk lembut pundak adiknya.
Setelah itu, kedua anak tersebut lantas berpamitan kepada orang tua mereka.
“Begitu rupanya, baiklah! Ayah akan memita paman Bakung dan Ki Jara untuk menjaga kalian,” ungkap Weda.
Dia berniat memanggil dua pelayan kekar untuk menjaga Kusha dan Balada karena di pasar kerap terdapat banyak preman.
Sebagai seorang saudagar kaya, Weda tentu memiliki beberapa pelayan kuat yang merupakan seorang pendekar.
Mereka bertugas mengawal perjalanan saat berdagang dan sebagian menjaga kediaman agar tidak disatroni perampok.
Sehingga ketika mendengar Balada ingin jalan-jalan ke pasar, Weda pun tidak mungkin membiarkan kedua putra kecilnya berkeliaran sendiri.
“Tidak ayah, Balada juga sekarang sudah bisa melindungi diri. Balada berjanji akan selalu melindungi Kusha,” tolak Balada sopan.
Mendengar itu, Weda langsung terdiam berpikir entah harus menjawab apa.
Dia tahu Balada sekarang memang sudah menjadi pendekar, dan usianya telah memasuki pase remaja.
Tapi keadaan pasar tetaplah berbahaya. Namun ketika melihat Ratna Kianti mengangguk, Weda pun terpaksa mengijinkan mereka.
“Baiklah! Tapi kalian harus berjanji akan segera pulang jika sudah selesai,” ucap Weda.
“Tentu ayah, kami berjanji,” angguk Balada dan Lintang secara bersamaan.
“Jaga adikmu dengan baik, Nak. Dan jangan buat masalah,” pesan Kianti kepada Balada.
“Baik ibu,” angguk Balada.
“Hati-hati ya, Nak,” Kianti memeluk Kusha.
“Hmmm,” Lintang mengangguk senang kerena dia sendiri sangat penasaran ingin tahu bagaimana kehidupan masyarakat katumenggungan Surapala.
Akhirnya, Lintang dan Balada pun berangkat menuju pasar. Keduanya menunggangi seekor keledai jantan milik Balada.
Sebetunya Balada memiliki seekor kuda yang sangat bagus. Tapi dia sedang ingin membawa keledainya karena sudah lama tidak pernah bermain bersama.
Lintang duduk tenang di belakang Balada, mereka berjalan menuju selatan melewati beberapa perkampungan warga.
Banyak mata yang menatap jijik kepada Lintang, tapi dia tidak peduli kerena bagi Lintang, hinaan adalah sikap kagum dengan cara pandang yang berbeda.
Lintang tidak menilai wujud Kusha buruk, tapi malah menganggapnya sebagai berkah karena dengan memiliki perbedaan, dia akan menjadi pusat perhatian dan mudah dikenali orang lain.
Sedangkan Balada sendiri terlihat sangat kesal dengan sikap para penduduk, dia ingin sekali turun dari keledai untuk menghajar mereka. Namun Lintang segera mencegahnya.
Setelah melewati perjalanan selama 3 jam, kedua bocah itu pun akhirnya tidak di gerbang pasar.
Balada dan Lintang dapat masuk dengan mudah karena memiliki lencana perak sebagai simbol keluarga Warta.
Bahkan para penjaga gerbang pasar besikap sangat baik di mana mereka menghormati Weda sebagai saudagar terpandang di wilayah katumenggungan.
Balada menitipkan keledainya di gerbang pasar. Setelah itu, dia mengajak Lintang berjalan menyusuri jalan besar yang saat itu penuh dengan hiruk-pikuk penduduk.
Berbagai dagangan dijajakan pada kios-kios sederhana dipinggir jalan. Ada juga penjual yang menjajakan dagangannya di lantai tanah dengan hanya menggunakan alas meja bambu.
Senjata, buah-buahan,sayuran, ikan, pakaian, makanan, gerabah dan berbagai dagangan lain bertengger lengkap di pasar itu.
Tetapi Lintang tidak peduli, dari pada memperhatikan barang-barang, dia lebih tertarik dengan kehidupan dan kebudayaan penduduk.
Namun kesukaannya terhadap makanan lezat serta berbagai tumbuhan obat masih melekat di diri Lintang, membuat pandangannya terus bergilir ke sana kemari memperhatikan dagangan tersebut.
“Apa kau ingin membeli makanan, Kusha?” tanya Balada.
“Tidak kak, aku hanya ingin berjalan-jalan saja bersama kakak,” jawab Lintang sembari tersenyum lebar.
“Bagaimana dengan tumbuhan obat? Aku melihat dirimu terus memperhatikan kios obat yang di sana. Apakah kau tertarik?” Balada kembali bertanya sembari menunjuk ke arah toko besar di sebrang jalan.
“Hihihi, aku mau kak, aku mau,” angguk Lintang seraya terkekeh senang.
Bab 5 Toko Lempuyang Malam
“Hahaha, sudah kuduga,” Balada tertawa.
Tetapi sesaat kemudian, entah mengapa tawanya tiba-tiba lenyap berganti keterkejutan.
“Tugu dulu! Sejak kapan kau menyukai tentang obat-obatan, Kusha?” tanya Balada melebarkan mata.
“Sejak kakak pergi berguru kepadepokan, aku sering membantu mbok Tarmi menjemur kulit kayu manis, dan baunya sangat harum sekali kak. Jadi sejak saat itu aku suka dengan tumbuhan obat,” tutur Lintang tersenyum lebar.
“Begitu rupanya, baiklah! Ayo kita ke sana,” Balada menggeleng.
Sebetulnya Balada bingung karena sangat jarang ada anak yang tertarik dengan obat-obatan. Hal itu jelas terlihat aneh, tapi karena Kusha adalah adiknya, dia tetap membawa anak kecil tersebut ke toko tanaman obat.
Toko itu bernama Lempuyang Malam, tidak ada yang tahu entah mengapa ada nama Malam pada toko tersebut yang pasti toko obat Lempuyang Malam adalah toko terbesar yang ada di pasar katumenggungan.
Bangunan toko Lempuyang Malam sangat megah, berdiri kokoh diantara toko-toko kecil di sekitarnya.
Memiliki 4 lantai besar dengan puluhan pegawai membuat toko Lempuyang Malam menjadi pusat perhatian para pendatang.
Terlebih bagi para pendekar sehingga toko Lempuyang Malam tidak pernah sepi setiap harinya.
Di toko itu menjajak berbagai tanaman obat yang berkualitas tinggi membuat harga bahan obat di sana terkenal sangat mahal.
Tapi bukan masalah bagi Balada karena dia memiliki banyak uang.
Sehingga saat mengetahui adiknya tertarik ingin tanaman obat, Balada pun tanpa berpikir panjang langsung mengajaknya masuk ke sana.
“Hebat! Ternyata di dalam sini sangat megah,” Balada terperangah tidak percaya dengan apa yang di saksikannya.
Meski dia adalah penduduk asli Katumenggungan Surapala, tapi Balada tidak pernah masuk ke sana.
Hal itu tentu karena dahulu Balada masih sangat kecil, dan ketika tumbuh dewasa, dia menghabiskan sepanjang waktu dipadepokan.
Terlebih Balada tidak tertarik dengan dunia tabib sehingga dirinya tidak pernah penasaran.
Ini merupakan kali pertama Balada masuk ke dalam gedung Lempuyang Malam. Itu juga karena Kusha yang ingin melihat-lihat.
Tidak disangka, gedung Lempuyang Malam ternyata sangat begitu megah.
Di dalamnya terdapat banyak pendekar kuat yang menjaga tempat tersebut.
Balada terperangah melihat banyak berbagai jenis tanaman langka di dalam yang tersimpan rapih pada kotak-kotak kaca yang terlihat mewah.
Ini tentu merupakan pemandangan asing karena kaca merupakan barang langka di kerajaan Suralaksa.
“Sial! Sebenarnya dari mana semua barang-barang ini?” umpat Balada di dalam hati.
Sementara Lintang malah berbinar memperhatikan beberapa tanaman obat.
Dia menemukan ada tanaman yang dapat digunakan untuk memperkuat tulangnya.
Hal itu tentu sangat penting karena Lintang berniat kembali memperkuat tubuhnya agar dapat menjadi seorang pendekar.
Dia membutuhkan berbagai jenis tanaman langka untuk dijadikan ramuan, dan jika berhasil. Lintang akan dapat kembali belajar kanuragan dasar sebagai awal perjalanannya.
Ternyata selain ingin melihat kebudayaan dan kehidupan para penduduk, tujuan Lintang ke pasar yang sesungguhnya adalah untuk mencari sumber kekuatan yang dapat membantunya menjadi seorang pendekar.
Lintang sadar, inti energi dan tubuh Kusha sangatlah lemah. Dia tidak akan bisa menjadi pendekar dengan kondisi tubuh seperti itu kecuali dengan bantuan obat-obatan.
Tapi di kerajaan Suralaksa belum ada satu pun tabib yang mampu menciptakan ramuan tersebut. Di sana ilmu pengetahuan masihlah tertinggal sehingga Lintang harus berjuang lebih keras untuk bisa mencapai tujuannya.
Beruntung ilmu pengetahuan pemuda itu tidak ikut hilang seperti kanuragannya. Jadi Lintang bisa kembali menapaki jalan keabadiaan seperti dahulu.
“Paman, paman, bolehkan aku tahu berapa harga Kunyit Darah yang ada di sana?” tanya Lintang kepada sang pelayan toko membuat pelayan yang dirinya tanya langsung melebarkan mata.
Tidak hanya pelayan, tapi Balada dan bebebara pendekar yang ada di sana juga ikut melebarkan mata.
Hal itu karena barang yang Lintang tanyakan merupakan tanaman yang sangat langka bahkan hanya ada satu di toko Lempuyang Malam.
Terlebih tidak ada yang mengetahui nama tanaman tersebut kecuali kepala pelayan.
Dan kebetulan pak tua yang Lintang tanya tadi adalah kepala pelayan. Dialah orang bertanggung jawab atas semua barang di toko Lempuyang Malam.
Balada dan semua pengunjung di sana terkejut bukan karena nama tamanan yang Lintang sebutkan. Tetapi karena mendengar Lintang menanyakan harga tanaman yang berada di dalam kotak kaca bersegel emas yang harganya pasti sangat amat mahal.
“Ba-ba—bagaimana kau tahu nama tamanan ini, nak?” tanya sang kepala pelayan terbata.
Dia sadar, bahwa orang yang mengenal nama tanaman langka pasti tahu akan khasiatnya. Dan orang seperti itu tentu bukan manusia sembarangan karena hanya pendekar maha sakti sajalah yang mengetahuinya.
Bab 6 Penyakit Kusta
Dalam sekejap Lintang langsung menjadi pusat perhatian semua orang. Termasuk para pendekar yang juga sedang berburu tanaman langka untuk kepentingan perjalanannya dalam berpetualang.
Mendapati seorang anak kecil menanyakan tanaman di dalam kotak bsegel emas. Mereka pun tentu sangat penasaran dan bertanya-tanya siapakah bocah itu?
Para pendekar sempat terkejut ketika melihat paras Lintang berbeda dengan manusia biasa.
Tapi mereka segera menepis pikirannya tentang paras karena bagi para pendekar, tampang bukanlah yang utama di mana mereka sudah terbiasa menemukan mahluk aneh di luar sana.
Bahkah para siluman, hewan buas, atau mahluk lelembut sekali pun sudah pernah mereka temui sehingga warna kulit di tubuh Lintang tidak menjadi masalah.
Karena yang membuat para pendekar itu penasaran adalah pengetahun Lintang tentang dunia tanaman langka.
“Benar! Bagaimana kau tahu nama tanaman itu, Kusha?” tanya Balada tidak mengerti.
Mendapati Lintang tahu tanaman yang orang lain tidak tahu, Balada semakin merasa heran kepada adiknya.
“Hihihi, aku hanya pernah membaca pada buku yang dulu sempat di bawa oleh tamu ayah dari nagari sebrang, kak” tutur Lintang menjelaskan.
Dia tentu berbohong karena ayahnya tidak penah menerima tamu jauh apalagi dari nagari sebrang.
Namun Balada mempercayainya begitu saja di mana dia sudah lama tidak pulang.
Terlebih ibunya berasal dari nagari sebrang sehinga alasan Kusha sangat masuk akal.
Begitu juga dengan para pendekar, mereka tentu tahu bahwa pengetahun di nagari sebrang jauh lebih maju dari pada kerajaan Suralaksa. Sehingga penjelasan Lintang bisa diterima.
Tetapi tidak dengan kepala pelayan, dia sadar bahwa Kusha sedang berhobong karena pengetahuan tentang Kunyit Darah sangatlah terbatas.
Merasa aneh terhadap kehadiran Lintang, sang kepala pelayan pun segera membawa Lintang naik ke lantai paling atas memasuki ruang pribadinya sebagai tamu kehormatan.
Balada juga ikut mengawal adiknya. Dia semakin tidak mengerti dengan apa yang terjadi di sana.
Namun karena khawatir terhadap Kusha, dia tetap mendampingi bocah kecil itu mengikuti sang kepala pelayan ke lantai atas.
Tapi ketika tiba di depan sebuah pintu besar menuju ruangan tertutup, Balada di hadang oleh 4 pengawal membuat dia tidak bisa masuk.
Hampir saja terjadi pertarungan karena Balada sempat mencabut pedang. Namun Lintang segera menghampirinya, mengatakan bahwa dia tidak akan apa-apa.
“Ta-tapi Kusha!” sergah Balada bersikeras.
“Kakak jangan khawatir, paman-paman ini pernah berkunjung kerumah kita. Percayalah! Mereka tidak mungkin menyakiti aku, kak,” tutur Lintang kembali berbohong.
Sang kepala pelayan hanya tersenyum mendengar itu, selanjutnya dia juga ikut berbicara membantu Lintang, meminta Balada menunggu di depan pintu.
“Benar kata tuan Muda, aku tidak akan pernah menyakitinya dan tidak akan berani. Aku hanya ingin berbicara sebentar membahas tentang tanaman yang ingin tuan muda beli,” jelas sang kepala pelayan.
Dia memanggil Lintang sebagai tuan Muda karena percaya Lintang bukanlah bocah sembarangan.
“Cih! Baiklah, tapi jika sekali saja aku mendengar dia berteriak dari dalam, maka aku akan melaporkan toko obat ini kepada tuan tumenggung,” ancam Balada.
“Kami mengerti,” angguk sang kepala pelayan.
Dia tersenyum lembut kepada Balada sebagai tanda persahabatan. Tapi tetap saja, anak lelaki itu masih menanggapinya dengan ketus.
Lintang dan kepala pelayan segera kembali berjalan memasuki ruangan tertutup melewati para penjaga. Semetara Balada menunggu dengan kesal di depan pintu.
Di dalam, Lintang dipersilahkan duduk di atas kusi mewah berbahan kain sutra. Sedangkan sang kepala pelayan duduk di sebrang meja tempat kebesarannya.
“Perkenalkan, namaku adalah Kali Kalingga. Orang-orang kerap memanggilku Ki Kali. Tapi tuan Muda boleh memanggilku apa saja,” ucap sang Kepala Pelayan membukan pembicaraan.
“Salam Ki Kali, maaf jika kehadiranku telah mengejutkanmu,” Lintang berkata layaknya orang dewasa membuat Ki Kali semakin yakin dengan penilaiannya.
“Sudah kuduga, anda ternyata buka anak biasa, tuan,” Ki Kali menyeringai lebar.
“Apa yang Ki Kali butuhkan dariku?” tanya Lintang.
“Itu ...,” sang Kepala Pelayan terperangah mendapati Lintang bisa menebak tujuannya.
“Katakan saja Ki, aku akan membantu jika memang diriku mampu melakukannya,” tutur Lintang.
“Si-si—siapa anda sebenarnya, tuan Muda?” tanya Ki Kali terbata.
Meski dia tidak merasakan adanya energi atau apa pun di tubuh Lintang, tapi entah mengapa dirinya seperti sedang berhadapan dengan seorang penguasa besar membuat Ki Kali merasa segan untuk meminta.
“Hihihi, siapa aku tidak penting Ki.. Aku hanya anak biasa, putra seorang saudagar di katumenggungan ini. Jadi katakan saja apa yang aki inginkan,” jawab Lintang sembari terkekeh membuat Ki Kali langsung menelan ludah mendengarnya.
“A-anu tuan, aku memiliki seorang putra berusia 25 tahun. Tapi sekarang dia sedang terbaring sakit entah mengapa. Sekujur tubuhnya dipenuhi bercak merah membuat dia tidak mampu kemana-mana,” ungkap Ki Kali ragu-ragu.
“Sudah banyak tabib yang aku bawa untuk menyembuhkannya, namun tidak ada satu pun dari mereka yang mampu mengenali penyakitnya,” sambung Ki Kali.
“Sudah berapa lama putramu menderita penyakit itu, Ki?” tanya Lintang.
“Sekitar 6 bulan tuan, kini tubuhnya kurus kerontang seperti tulang terbungkus kulit,” jawab Ki Kali lirih.
Sudah lama dia mencari seorang tabib berharap dapat menyembuhkan putranya.
Namun setiap tabib yang dirinya temui selalu saja langsung angkat tangan setelah melihat penyakitnya.
Tapi ketika melihat Lintang, dan mendengar dia menanyakan sebuah tanaman langka di tokonya. Ki Kali langsung menduga bahwa Lintang sejatinya bukanlah anak biasa.
Dan benar saja, Lintang kini menunjukan jati dirinya bahwa dia jauh lebih dewasa dari apa yang orang lain lihat, membuat Ki Kali semakin percaya bahwa Lintang memiliki pengetahuan luas tentang dunia pengobatan.
“Apa putramu mengalami mati rasa serta lemas pada bagian kaki dan tangan?” Lintang kembali bertanya membuat Ki kali semakin terperangah.
“Be-be—benar tuan,” jawab Ki Kali terbata.
“Celaka, itu adalah penyakit Kusta,” ungkap Lintang membuat Ki Kali sekali lagi langsung melebarkan mata.
“Ku-kusta, tuan?” Ki Kali tidak percaya dia belum pernah mendengar nama penyakit tersebut.
Padahal seumur hidupnya telah dia habiskan untuk meneliti dan memahami tanaman obat.
“Benar, penyakit kusta adalah semacan penyakit kulit yang diakibatkan oleh bakteri jahat. Bisa juga karena racun kuat. Penyakit itu tidak mampu membunuh tapi membuat penderitanya akan tersiksa seumur hidup. Bahkan dampak terparahnya tangan dan kaki putramu bisa buntung serta mengalami kebutaan permanen,” jelas Lintang membuat Ki Kali langsung tersentak kaget sembari menelan ludah.
**o0o**
Klik Paket di bagian kiri bab selanjutnya jika teman-teman ingin memberi 100 bab sekaligus. untuk lebih jelasnya, teman-teman bisa buka dasboard pujangga dengan cara Klik nama pujangga di atas kiri karya. Masuk kebagian paket, di sana terdapat penjelasan perpaketnya.
Terimakasih teman-teman sudah berkenan tetap mengikuti Lintang. Aku tidak bisa berjanji entah akan up berapa bab dalam sehari, tapi akan selalu di usahakan selama sehat dan tidak ada halangan.
Untuk setiap up date harganya akan berubah-ubah sesuai jumlah kata dan bab yang dipublis. Jadi teman-teman tidak perlu heran.
Salam damai buat semua. Semoga kita senantiasa diberikan kesehatan.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
