
Ada apa dengannya?
Kenapa rasanya tiba-tiba jadi berbeda. Ini seperti bukan Jean yang biasanya ku ketahui. Aku mengenal caranya menatapku. Tapi matanya tadi, aku tidak pernah melihatnya menatapku seperti itu. Seperti... rasanya.. sangat sedih?
“Aya!!” Teriak seseorang dari ujung lorong di belakang. Membuat langkahku terhenti, ku balikkan tubuhku menghadap arah berlawanan dari sebelumnya. Seseorang dengan rambut kecoklatan khas golongan api berlari begitu cepat, lalu begitu ia hampir mencapai posisiku, tangan kirinya menyergap pundakku, membuatku sedikit tersedak dengan ludahku sendiri.

“Apa yang kau lakukan?! Ya ampun..” ujarku dengan mata membulat.
“Hehe.. aku hanya merindukan adik kecilkuuu,” ujarnya manja, matanya semakin sipit karena tertarik otot-otot wajahnya yang sedang membuat sebuah senyuman.
“Jamie tanganmu berat.. dan usia kita hanya terpaut satu tahun, lalu aku juga bukan adik kecilmu!”
“Aduhh.. adikku Aya.. kau sedang datang bulan? Kita tidak bertemu satu hari dan sikapmu berubah begitu dingin seperti saat periode pms-mu, hahahahaha” tawa Jamie sambil terus merangkul pundakku.
Aku melirik tajam padanya, mengisyaratkannya untuk melepaskan tangannya dari bahuku.
“Ok.. ok aku mengerti..” Jamie melepaskan tangannya dariku. Lalu melangkah seirama dengan langkah yang kubuat.
“Kau menemani Ran seharian kan kemarin?” tanyaku. Jamie mengangguk, “Ya.. wajahnya semakin hari semakin pucat..” jawabnya sambil menatap lantai. “Kau masih belum menemukan serum itu?” lanjutnya.
“Belum.. serum itu benar-benar soal tersulit selama hidupku. Aku sedang mencari formula baru sekarang..”
“Kau berhati-hatilah, dewan keamanan kota sepertinya mulai mencurigai adanya penelitian tentang serum itu,”
Aku menarik nafas panjang, “kenapa para elit Erudius sebegitu terobsesinya dengan kesempurnaan keturunan? Hingga darah campuran tak memiliki posisi di manapun, bahkan untuk sekedar hidup tenang. Lalu hanya sebuah penelitian serum pun bisa mengganggu mereka?! Benar-benar..” ujarku kesal.
“Pelankan suaramu!” ucap Jamie mengingatkan. Aku mengerutkan kening, kesal.
“Aku ingin mengajak Ran pergi ke taman bunga.. kau..” belum sempat Jamie menyelesaikan kalimatnya, Jean datang menghampiri kami.

“Aya, kau ada waktu sekarang?” tanya Jean tiba-tiba. Aku melirik Jamie, “Ah.. aku yakin dia memiliki banyak waktu luang sekarang,” ujar Jamie, dengan mata yang mengisyaratkan ‘Pergilah dengannya’ padaku.
“Oh.. jadwalku baru saja selesai..” jawabku pelan.
“Kau mau menemaniku pergi?” tanya Jean. Aku mengangguk ragu, “Oh..”
“Kalau begitu, aku akan segera menemui Ran sekarang!” Jamie tersenyum pada kami, lalu kembali berlari dan menghilang di ujung lorong.
Jean mengangkat kedua alis matanya sambil mengangguk kecil, “ayo pergi,”
Aku membalasnya dengan senyuman, lalu mengikuti langkahnya dengan hati tak menentu. Sudah lama kami tidak pergi bersama, semenjak ia sibuk dengan program pendek ke tiga nya. Ya, Jean harus belajar keras untuk mengikuti jejak ayahnya di parlemen. Tak heran jika pria berwajah lembut ini selalu terlihat bak pangeran yang berpenampilan sangat rapi, karena lingkungannya yang membentuk dia menjadi seperti ini. Berbeda dengan kakakku Valen atau temannya yang juga temanku, Jamie yang tidak terlalu senang ketika memakai pakaian formal, bahkan semi formal.
Langkah kami berhenti di sebuah kedai eskrim yang terletak beberapa meter di belakang universitas. Kami membeli 2 scoop eskrim vanilla di sana, lalu memakannya sambil melanjutkan langkah. Seperti biasa, berada dengannya selalu membuat suasana menjadi hangat. Membuatku lupa dengan segala kekhawatiranku.

“Kau mau menemaniku berbelanja?”
“Eh?” aku sedikit terkejut, pria ini tidak pernah mengajakku berbelanja sebelumnya.
“Kau tahu, selalu berpenampilan seperti ini membuatku lelah. Kadang aku ingin terlihat lebih santai seperti Jamie yang selalu mengenakan sneakers dan jaket,”
Aku tertawa, “Baiklah.. jadi kita pergi untuk sebuah make over hari ini?” tanyaku memastikan.
“Tentu saja,” jawab Jean, menyambut tawaku. Jean.. dia benar-benar membuatku semakin gila. Aku harus semakin keras menekan perasaanku, jika aku ingin selalu berada di dekatnya seperti ini..
Kami pergi ke sebuah pusat perbelanjaan, memasuki beberapa toko pakaian. Selera Jean dalam berpenampilan, ku akui sangat baik. Dia pantas mengenakan pakaian dengan style apapun.


“Bagaimana?”
Jean berdiri dengan pose seperti seorang model, tapi sedetik kemudian ia menertawai dirinya sendiri, “Ya Tuhan ini menyenangkan sekali!” ujarnya dengan ekspresi yang sangat semangat. Seperti seorang anak kecil yang sedang menggemari game keluaran terbaru.
Aku mengacungkan ibu jariku, lalu ikut tertawa bersamanya. Kini Jean jauh berbeda dengan penampilan biasanya yang selalu mengenakan celana berbahan katun, sepatu semi formal, kemeja dan vest atau sweater. Sekarang ia mengenakan celana jeans, sneakers, t-shirt dan kemeja motif tartan yang tak dikancing dan dibiarkan sebagai out wear. Lalu sebuah kacamata hitam dan topi turut melengkapi dandanan make over nya hari ini.
Setelah ia merasa puas dengan apa yang ia kenakan, Jean mengajakku pergi ke bukit tempat kami selalu bermain sewaktu SD. Bukit yang tak jauh dari sekolah kami saat itu.
***
Langit berwarna oranye dengan bintang yang mulai muncul sekarang membuat kami sama sekali tak menyesal mengunjungi bukit ini. Masing-masing dari kami telah siap memegang sebuah coat, mengingat suhu sudah mulai menurun sekarang.

“Ngomong-ngomong.. kau tak memiliki jadwal hari ini Kak? Aku pikir kau akan belajar seharian seperti biasanya, atau menghadiri pertemuan penting lainnya mungkin?” tanyaku tiba-tiba.
“Tidak ada, aku ingin bersantai hari ini,” jawab Jean. Aku mengangguk-anggukkan kepalaku.
“Lalu kau tidak pergi ke pusat penelitian?” Jean balik bertanya padaku.
Aku menggelengkan kepala pelan, “Tidak, aku akan pergi besok,”
Setelah kalimat ku selesai terucap, masing-masing dari kami mulai merasa kedinginan. Secara bersamaan kami memakai coat yang kami jinjing sebelumnya.
“Waaaaah, Kak! Kau lihat itu? Ayunan itu! Dulu kau terjatuh karena mendorong ayunanmu dengan begitu kencang, lalu terlempar jauh hingga 3 meter, setelah itu kakimu patah dan kita tidak bisa pergi ke sini selama sebulan..” kenangku dengan begitu bersemangat, berlari mendekati ayunan yang ku maksud. Meskipun sebenarnya jarakku dengan ayunan itu masih sangat jauh, tapi aku menunjuknya seakan aku sedang berada di depan benda itu. Jean tertawa, “Benar, lalu kau selalu menggambar bintang di perbanku,”
“Tidak terasa waktu berjalan begitu cepat..” ujarku lagi, kini berdiri jauh di depan Jean. Tiba-tiba badanku terangkat begitu saja, seperti memakai sling atau serupanya. Jean membawaku ke tempatnya sedang berdiri. Ia mengendalikan ku menggunakan kemampuan telekinesisnya. Ini yang pertama kalinya bagiku, setelah sekian lama aku mengenalnya. Sampai akhirnya tubuhku mendarat tepat di hadapannya.
“Kak..” ujarku dengan wajah yang entah terlihat bagaimana. Yang ku rasakan hanya... detak jantungku yang berdetak dengan begitu keras. Aku tidak pernah berdiri sedekat ini dengannya. Hingga nafasnya bisa ku rasakan dengan sangat jelas.
“Aku harap kita bisa terus seperti ini.. bersama,” ujar Jean. Matanya menatapku dengan pandangan yang tak aku kenal. Iya.. pandangan yang sama sekali tak pernah aku lihat dari nya. Aku melangkahkan kakiku ke belakang, sedikit menjauhi Jean. Aku khawatir ia bisa merasakan detak jantungku yang terdengar seperti tabuhan drum bagiku.
“Aku juga.. hmm.. Kak, udara semakin dingin, sebaiknya kita duduk di dalam sana,” kata ku sambil menunjuk rumah kecil yang memang diperuntukkan untuk anak-anak bermain. Rumah yang hanya berisikan kursi panjang dari batu, dengan sebuah jendela dan pintu yang menghiasinya. Jean mengangguk dengan senyuman simpul di wajahnya.
Ada apa dengannya?
Kenapa rasanya tiba-tiba jadi berbeda. Ini seperti bukan Jean yang biasanya ku ketahui. Aku mengenal caranya menatapku. Tapi matanya tadi, aku tidak pernah melihatnya menatapku seperti itu. Seperti... rasanya.. sangat sedih?
Aku dan Jean duduk berdampingan di dalam sebuah ‘rumah’ seluas 3,5 meter persegi, dengan wajah yang menghadap ke arah jendela. Tentu saja suhu di dalam sini tidak berubah sebanyak saat aku memasuki restoran kemarin malam. Dan pipiku masih memerah karena kedinginan.

Lalu sebuah syal berwarna merah mengapung begitu saja dari tas di sampingku, menuju tangan Jean. Ia mengerudungkannya pada kepalaku, lalu melilitkan sisanya di leherku.
“Kak kau kedinginan?” tanyaku. Jean melirikkan matanya ke langit-langit.
“Sedikit,” jawabnya sambil tersenyum.
Lalu aku mengadukan kedua sisi telapak tanganku, membentuk sebuah api kecil di atasnya. “Hangat?”
Jean mengangguk. “Terimakasih, gadis api,” ucapnya. Namun setelah beberapa detik kemudian, ia menutup telapak tanganku hingga api yang kubuat untuknya padam. Lalu kedua telapak tangannya berada di pipiku, sangat dingin. Aku tak bisa berkata-kata sekarang. Aku hanya bisa menatap balik matanya yang sedang menatapku juga. Tak lama, ia mendekatkan wajahnya padaku, menciumku tepat di bibir. Aku hanya diam. Tak membalasnya.
Aku sungguh tak percaya dengan apa yang sedang kulalui sekarang. Jean, aku sama sekali tak pernah membayangkanmu seperti ini.. Aku masih diam. Tapi perlahan aku menutup mataku, membalas ciumannya. Tak lama aku merasakan sesuatu yang basah di pipiku.
Jean.. kau menangis?
Aku tak berani membuka mataku. Aku hanya bisa menyambut bibir lembutnya, dengan hati yang tidak bisa lagi ku kontrol. Apa ini yang Ran dan Kyora rasakan ketika rasa sukanya pada pria lintas golongan ternyata berbalas? Perasaan yang sangat bercampur aduk. Atau mungkin Jean melakukan ini bukan karena ia menyukaiku?
Tangan Jean perlahan mendekapku, tanpa melepaskan ciumannya dari bibirku. Aku bisa merasakannya. Bahumu berguncang, Kak.. air matamu yang menetes di pipiku pun semakin banyak.
Lalu akhirnya ia melepaskan ciumannya, semakin memelukku erat.
“Aku tak bisa lagi,” ujarnya sambil terisak. “Aku ingin terus bersamamu, Aya. Aku tak bisa menahannya lagi, aku mencintaimu,”
Kini aku benar terpaku, hingga mulutku sedikit terbuka. Aku tidak percaya. Apa yang ku dengar tadi?
“Aku..”
“Aku mengungkapkannya hari ini.. aku tak peduli..” ujarnya lagi, memotong perkataanku.
“Kak..”
Jean melepaskan pelukannya dariku, lalu segera menyembunyikan wajahnya, mengusap air matanya. Mungkin ia tak mau aku melihat wajahnya yang basah dengan air mata.
“Aku... ayahku memintaku untuk pindah ke wilayah utara minggu depan,” jelas Jean kemudian, dengan mata yang masih merah. “Ia mengatur pertunanganku dengan seorang wanita dari daerah utara,”
DEG
Jantungku terasa mati. Lalu aku teringat wanita yang kulihat di restoran kemarin, wanita yang melangkah tepat dibelakang Jean. Dan aku sekarang menyadari, bahwa situasi yang kemarin ku lihat bersama Ray itu bukanlah sebuah pertemuan kenegaraan. Tapi perjodohan?
Tak terasa air mataku menetes ketika aku mengedipkan mata. Tanpa suara, tanpa gerakan.
***
Tatapanku tak henti-hentinya buram oleh genangan air mata yang tak ku kehendaki untuk mengalir. Langkahku terasa berat, walau sekarang aku berada tak jauh dari rumahku. Aku merasakan seseorang sedang memperhatikanku dari arah depan.
“Aya?” ujarnya. Jamie.

“Apa yang terjadi? Kau?” Jamie terlihat sangat kebingungan. Nada suaranya begitu kacau. Tapi tetap tak sekacau nada suara milikku, bahkan aku tak bisa berbicara sedikitpun sekarang.
Tangisanku pecah. Badanku berguncang hebat.
Aku berusaha mengendalikan diriku, tapi tak bisa.. bahkan setelah aku memukul dadaku sendiri.. aku tak bisa menghentikan air mata ini.
Jamie segera menenangkanku, mendekapku, mengelus kepalaku yang sedang berada di depan dadanya. Sedangkan aku masih terus terisak, meluapkan perasaanku yang tak bisa lagi aku tahan. Ketika usahaku untuk tetap bisa terus bersama Jean berakhir seperti ini, sekalipun ternyata Jean merasakan hal yang sama denganku. Tapi bayangan kesakitan yang ku lihat dari Kyora dan Ran begitu menekanku. Apa yang harus kulakukan sekarang... aku tak bisa berfikir jernih.. lalu apa ku biarkan Jean bertunangan dan menikah dengan gadis golongan telekinesis dari utara? Mengubur perasaanku? Atau hidup seperti Ran dan mungkin berakhir seperti Kyora? Akan lebih baik jika hatiku tetap tersiksa sendiri seperti sebelumnya, tapi mengapa situasi membuatku menjadi semakin takut? Mengapa harus seperti ini?
“Jamie.. bagaimana ini..” ujarku dengan tangisan yang masih berlanjut hingga aku tak bisa berkata dengan jelas. “Jean.. akan pergi ke utara dan mungkin ia akan menikah di sana..”
Jamie terdiam. Tangannya masih berada di kepalaku.
“Bagaimana ini..” ujarku lagi.
“Aya.. aku tahu kau telah berjuang selama ini dengan hatimu. Menyembunyikan semuanya demi dapat bisa terus bersama dengan orang yang kau cintai.. Kau tahu,kan? Hubunganmu dengan Jean hanya terbagi dalam dua pilihan?” Jamie melepaskan pelukannya, mendorong pundakku hingga kali ini ia bisa melihatku dengan jelas.
“Aku tidak tahu,” jawabku masih dengan isakan yang tak berkurang dari sebelumnya.
“Hei.. lalu pergilah dan buat serum itu.. setidaknya kau tidak akan berakhir seperti Kyora jika kau bisa menemukan serum yang tepat,”
“Aku tidak bisa membuat serum. Aku terlalu bodoh untuk itu, yang kulakukan hanya membuang waktu, yang kulakukan hanya sia-sia. Rasanya akan lebih baik jika aku tidak bertemu Jean, atau memiliki hati padanya. Rasanya lebih baik jika Tuhan tidak membuat segalanya di sini menjadi begitu sulit, hatiku sakit, ini tak adil, aku..”
PLAK!!
Jamie menampar pipiku keras. Aku terkejut hingga tangisanku tak lagi terdengar.
“Kenapa kau jadi seperti ini? Jean akan menikah? Lalu menikahlah! Apa pedulimu jika kau akhirnya berfikiran seperti ini? Kau tak berhak begini jika kau pikir segalanya tak adil hanya bagimu. Kau pikir usahamu sia-sia? Kau pikir Tuhan yang salah? Kau pikir akan lebih baik jika tak bertemu Jean?”
Aku masih terdiam.
“Kau lupa? Kau ingin menjadi seperti ayahmu? Peneliti jenius yang menciptakan berbagai inovasi baru di planet kita. Kau mendapatkan otak yang terbaik dari Tuhan hingga kau mampu melakukan percobaan mengenai serum itu hingga jutaan kali. Dan jika kau pikir ini tak adil bagimu.. pikirkan mengenai Ran yang hidup dengan menerima ketidak adilan yang kau sebutkan tadi, dan setidaknya dia berjuang dengan itu, tanpa mengeluh dan ia masih selalu mencoba tersenyum setiap hari. Kau tidak boleh memihak pada dirimu sendiri saja, Aya yang ku kenal tak seperti ini.. ”
Aku tak bisa membalas Jamie. Apa yang ia katakan memang benar. Bahkan sakit yang ku terima saat ini tidak sebanding dengan apa yang Ran atau Kyora rasakan, atau orang lain yang bernasib lebih buruk dari 2 orang yang ku sayangi itu. Apa yang ku pikirkan? Aku benar hanya memihak diriku sendiri.. setidaknya Jean berani mengungkapkan perasaannya setelah berjuang sekian lama ber-acting sepertiku. Dan mungkin usaha yang ia lakukan demi hatinya itu.. lebih berat dari pada apa yang ku lakukan. Benar.. aku tidak bisa seperti ini..
“Jamie.. aku harus segera menemukan serum itu,” ujarku seraya berlari kencang menuju rumah. Jamie masih berdiri di tempatnya.
“Aya.. kau memang selalu memikirkan dirimu sendiri.. tanpa kau pikirkan, aku yang juga terluka saat merasakan cintamu untuk Jean. Kau pikir cinta antar golongan yang paling bisa membuat manusia menderita? Bahkan aku yang sesama golongan denganmu, tersiksa dengan perasaanku sendiri.. padamu,”
Jean POV
Pintu rumah besar ini terbuka lebar tanpa ku sentuh sedikitpun. Aku sendiri masih tidak bisa mempercayai hal yang telah berani ku lakukan. Aku bisa mengungkapkannya, setelah bersusah payah membuat dua wajah setiap aku bertemu dengan gadis yang amat ku cintai.

“Jean,” panggil seseorang dengan suara beratnya. Mataku melirik ke arah sumber suara, hingga pandangan kami saling bertemu. Suasana kembali hening sejenak.
“Ku pikir kau bisa bertindak lebih bijaksana,”
Aku mengerutkan keningku, “Apa kau baru saja membaca isi pikiranku?”
“Kau pikir apa yang tak ku ketahui?”
Ayahku. Nada bicaranya selalu menjadi lebih tinggi ketika hatinya terusik. Kini ia membaca pikiranku dengan sangat mudah?
“Ku pikir, sebagai petinggi dewan keamanan dan anggota parlemen, kau sangat memahami aturan yang berlaku. Membaca pikiran seseorang merupakan hal yang hanya bisa kau lakukan di ruangan interogasi,” kata ku.
“Aku tidak bisa mengontrol kemampuanku sekarang. Kau tak akan tahu bahwa aku mengetahui segala hal yang telah kau lakukan, jika aku tidak memberitahumu,” balas Ayah, dengan mata yang lekat pada koran yang sedang ia baca semenjak tadi.
“Lalu bersenang-senanglah dengan kemampuan telekinesis level 5-mu itu, tataplah mata setiap orang yang kau temui dan bacalah pikiran mereka sesuka hatimu. Mereka tak akan pernah menyadari apa yang telah kau lakukan,” nadaku sedikit sinis sekarang. Aku sangat membenci situasi seperti ini.
“Tentu saja,” ucap ayah sambil tersenyum simpul. Membuatku mengeluarkan senyuman merendahkan. “Kuingatkan sekali lagi, minggu depan kau harus pindah ke utara. Bersiap-siaplah mulai dari sekarang,”
Aku melangkah menuju sofa tempat ayahku sekarang duduk. Memperhatikan wajah ayah yang sama sekali tidak memandangku, “Kau senang melakukan ini semua?”
“Tentu. Aku telah merencanakannya secara matang semenjak aku tahu kau menyukai gadis api itu. Kau tahu kan kedudukanku di pemerintahan seperti apa? Aku tidak bisa membiarkan anakku sendiri jatuh menjadi orang yang terbuang,”
“Inikah balasanmu setelah aku berusaha mengikuti langkahmu semenjak kecil? Memperlajari banyak hal yang kau kehendaki, mengikuti ajaranmu agar aku juga menjadi petinggi dewan keamanan sepertimu? Kau tidak memikirkan perasaanku?!”
“Kau tahu apa tentang perasaan? Perasaanmu tak akan membawamu ke tempat yang kau impikan. Aku membawamu hingga seperti ini, dan kau tidak berterimakasih atas jasaku?”
Ku decakkan lidahku. Ku tarik nafas sejenak, rasanya hatiku terlalu lelah untuk menanggapi perkataan ayahku malam ini, “Benar. Perasaanku tak bisa membawaku ke tempat yang kau impikan, ayah. Bukan tempat yang ku impikan,”
Lalu aku meninggalkan ayahku begitu saja di ruang keluarga, menuju kamarku di lantai dua.
Orang-orang tak akan pernah tahu bagaimana hubungan keluargaku yang sebenarnya. Yang mereka ketahui hanyalah kehidupan kami yang bahagia. Salah satu keunggulan dari golongan kami adalah : kami bisa berakting dengan baik, mengelabui orang lain dengan bakat alamiah kami. Tapi begitulah, bangkai yang kau simpan dalam box besi sekalipun akhirnya akan tercium baunya. Akhir-akhir ini isu mengenai keluarga kami yang tidak harmonis mulai merebak. Ketika berita mengenai ayah yang akan menikahkanku dengan Queena, gadis wilayah utara, anak dari direktur dewan keamanan utara itu keluar. Media membuat berbagai spekulasi, diantaranya mengenai ayahku yang haus kekuasaan. Ku akui, kabar itu benar. Itulah mengapa aku dididik seperti ini semenjak kecil. Ia mempersiapkan ku untuk menjadi petinggi dewan keamanan, agar dinasti kekuasaan keluarga kami tidak terputus.
Aku duduk di tepi tempat tidurku, lalu menarik sebuah kotak alumunium dari bawah tempat tidur dengan kemampuanku. Setelah ku dapatkan kotak itu di pangkuanku, ku letakkan ujung jari kelingkingku untuk membukanya. Kotak ini hanya bisa dibuka olehku, dengan sidik jari, darah dan keringat yang ku hasilkan.
Setelah terbuka, aku mengangkat bola kecil di dalamnya, membiarkannya mengapung di udara. Tak lama kemudian, sebuah cahaya keluar dari bola tersebut, membuat tampilan hologram di hadapanku. Hatiku semakin sakit ketika cahaya itu terbentuk dengan baik. Yang ku lihat adalah, Aya yang kini sedang berada di kamarnya, dengan mata sembap dan tangan yang sibuk menulis. Aku yakin ia sedang merencanakan formula baru untuk temuan serumnya. Selama ini gadis itu berfikiran bahwa aku tidak mengetahui apa yang sedang ia rencanakan. Salah, dia salah besar. Bahkan aku mengetahui setiap kegagalan yang ia temui.

Maafkan aku Aya. Aku tahu ini melanggar privasimu. Aku tahu ini diluar batas, aku juga tahu jelas jika apa yang telah ku lakukan selama 5 tahun terakhir ini juga melanggar hukum. Tapi peduli apa aku pada hukum. Aku hanya ingin terus bersamamu, melihatmu, walau ku akui caraku salah. Dan aku seorang stalker yang mengawasimu dengan kamera khusus dewan intelejen yang ku ambil dari lemari besi ruang interogasi di gedung tempat ayahku bekerja. Kamera yang diperuntukkan untuk mengawasi tahanan kota.
Aku tersiksa dengan wajah ganda yang ku ciptakan untukmu. Aku benar-benar merasa palsu. Satu-satunya cara yang bisa sedikit mengobati hatiku hanya kamera ini. Kau bahkan tidak menyadari ketika aku secara diam-diam mengambil sidik jari dari ponselmu untuk mengaktifkan sistem kamera. Walaupun aku benar-benar merasa seperti orang gila, aku tidak peduli. Kenyataan bahwa kita berasal dari golongan yang berbeda membuatku memikirkan berbagai cara untuk bisa sekedar melihatmu setiap hari., karena aku tahu benar.. jika kita bersama, kau akan menderita. Aku tidak peduli jika aku sendiri yang merasakan kesakitan. Tapi wanita akan merasakan akibat yang lebih besar dari hubungan lintas golongan karena kondisi fisik mereka jauh lebih lemah dari lelaki. Dan aku tidak mau melihatmu menderita seperti itu. Walaupun aku sendiri belum yakin, apa kau merasakan perasaan yang sama sepertiku.
Tapi apa yang telah ku lakukan tadi, mungkin membuatmu sangat terkejut. Aku tidak bisa membaca apa yang kau pikirkan. Aku tidak tahu perasaan apa yang ada pada dirimu untukku. Tapi aku sudah tak mau lagi terikat dalam berbagai aturan yang gila ini. Aku hanya ingin mencintaimu. Aku tak ingin pergi ke utara. Aku tak rela gadis utara itu menjadi wanita yang akan selalu ku lihat setiap hari. Aku benar tidak bisa. Tapi hatiku semakin sakit sekarang.. Dan perasaanku semakin takut, apa yang terjadi jika kau ternyata juga memiliki perasaan yang sama padaku? Kau akan segera melemah secara bertahap. Terlebih, aku menciummu tadi. Lalu kebodohan apa lagi yang akan ku ciptakan setelah tadi? Maafkan aku Aya..
***
Aya POV
Setelah menemui Ran pada tiga hari yang lalu, aku memutuskan untuk berkonsentrasi di laboratorium pribadi Ray. Pada saat itu Ran memberikanku sebuah lencana kecil bergambar phoenix dengan beberapa garis simetris membentuk segilima dan gambar kecil lainnya yang tak bisa kuperkirakan gambar apa itu. Indah sekali. Mungkin ia menyemangati langkahku melalui lencana tersebut.
Setiap mahasiswa dari golongan penyembuh dengan fokus program panjang ke dua di ilmu farmasi, dengan nilai rata-rata yang tinggi berhak memiliki sebuah ruangan laboratorium di universitas hingga program yang diambilnya selesai. Aku tak bisa membuang-buang waktuku untuk sekedar pulang-pergi ke rumah atau dormitory yang berada di balik gedung utama universitas., karena itulah 3 hari ini aku tinggal bersama berbagai cairan kimia dan teman-temannya.
Aku tidak memikirkan apapun kecuali satu yang sangat ku perlukan segera, serum. Aku tak tahu sampai kapan Ran akan bertahan, dan mulai kapan aku akan mulai melemah karena kejadian yang tak pernah ku sangka lalu. Sebuah ciuman dan pernyataan dari Jean tempo hari mungkin telah memulai ketidak seimbangan hormon dalam tubuhku, atau.. entahlah.. sejauh ini belum ada yang ku rasakan.
Tiba-tiba pintu terbuka kasar, sebelumnya terdengar samar-samar suara yang sangat ku kenal. Suara berisik kakakku Valen.

“Aya pulanglah,” ujar Valen dengan mimik wajah yang sangat serius. Aku sama sekali tak menoleh padanya, tetap melanjutkan aktivitasku dengan komputer.
“Kau mendengarku, kan? Pulanglah.. kau tak mau makan dan setahu ku kau tak tidur. Pulanglah,”
“Aku makan dan tidur di sini,” jawabku singkat.
“Hey.. aku tahu kau sedang berada dalam keadaan yang dilematis sekarang. Tapi pulanglah.. aku tak bisa melihat adik kesayanganku seperti ini..” Valen menghampiriku. Mata bulatnya membujukku untuk menurutinya. Tapi aku sama sekali tak terpengaruh.
“Kak, aku baik-baik saja.. kau menyayangi Ran, kan? Kau tak mau ia terus seperti itu kan? Kau menyayangiku juga, kan? Kau tak mau aku perlahan-lahan menjadi seperti Ran, kan?” ujarku, masih tanpa memedulikan wajah kakakku yang sedang sangat khawatir.
“Aya.. karena itu pulanglah, biar aku yang mengaturnya.. aku akan berusaha menghindarkanmu dari penurunan daya tahan tubuh itu, kumohon.. jika kau seperti ini terus, kondisimu akan melemah dengan cepat,”
“Aku masih merasa sangat sehat, Kak. Kau tidak melihatnya?” kali ini aku mengalihkan mataku padanya. “Lihat, bahkan aku bisa meninju bahumu dengan keras jika kau mau. Atau aku bisa meloncat riang seperti ini,” ujar ku sambil meloncat beberapa kali. “Lalu aku bisa berlari 5 keliling lapangan sepakbola jika perlu, lalu.. uhuk!” kalimatku terhenti karena tersedak. Lalu aku terbatuk beberapa kali, kututup mulutku dengan telapak tangan kiri. Valen terlihat lebih kacau dari sebelumnya, “Kau tak apa-apa?”
Aku menarik nafas sejenak, “Aku tidak apa-apa, hanya tersedak karena terlalu cepat berbicara,” ucapku.
“Aya..”
Entah mengapa Valen terlihat shock. Cara ia memandangku sekarang seperti ia sedang bertemu dengan seekor monster besar. Lalu ia segera merogoh tas ransel kecilnya, mengeluarkan sebuah saputangan dan segera mengusapkannya di mulutku.
“Ray!!! Kak Ray!!!!” teriaknya. Aku tidak mengerti apa yang sedang kakak kurusku ini lakukan. Setelah ia selesai mengusap mulutku, aku melihat darah membekas di sapu tangannya. Seketika aku melirik telapak tanganku yang kugunakan untuk menutup mulutku saat terbatuk tadi. Darah juga membekas di sana. Aku sangat takut sekarang. Otakku selanjutnya menampilkan gambar Kyora yang sedang tergeletak di lantai, dengan badan yang membiru dan mata yang menatap ke arahku. Badanku bergetar, nafasku tak teratur.
“Ray!!!” Teriak Valen sekali lagi, lalu ia memelukku, menenangkanku seperti saat aku kecil. Sadar karena adiknya sangat terkejut sekarang. Valen sangat memahami akan traumaku. Ia sangat mengerti dengan ketakutanku saat ini. Sewaktu kecil, setelah Kyora meninggal, dialah yang selalu menenangkanku setiap aku histeris ketakutan.
Ray berlari terburu-buru menghampiri kami. Dengan sigap ia mengarahkanku untuk berbaring di sofa dekat pintu. Lalu setelah memperhatikanku sejenak, ia meletakkan tangannya di kepalaku. Aku familiar dengan apa yang ia lakukan sekarang ini, caranya mendeteksi bagian tubuh yang sakit. Tangannya kini ia arahkan di atas perutku, lalu sebuah cahaya samar-samar berwarna biru muda terpancar dari tangannya. Selama satu menit ia melakukan ini, yang ku lihat hanya wajah kakakku. Ia begitu tak tenang.
Aku mengerti, Kak.
Hatimu seperti hati ibu. Aku mengerti kenapa kau sangat mengkhawatirkanku. Semenjak kau kehilangannya karena aku yang lahir, kau seolah berperan menjadi ibu bagiku. Setelah Kyora yang juga menjadi sosok ibu bagimu tentunya. Tapi aku tahu jelas apa yang ku inginkan sekarang, jadi aku tidak bisa menurutimu untuk pulang.
“Lambungnya sangat buruk.. pola makanmu tak baik beberapa hari ini,” ujar Ray setelah ia menyelesaikan aktivitasnya.
“Kau merasa baikan?” tanya Valen. Aku mengangguk.
“Treatment yang ku lakukan tadi tidak akan bertahan lama, jika kau tak menjaga tubuhmu sendiri, kondisi sistem pencernaanmu akan semakin memburuk dengan cepat.. Aya.. benar apa yang Valen ucapkan.. pulanglah..”
Aku segera menggelengkan kepalaku, “Aku tidak bisa, kenapa semua orang tak bisa mengerti perasaanku?! Yang kuinginkan sekarang hanya berada di sini dan mencari cara agar serum itu bisa ku temukan, aku tidak bisa pulang,”
“Aya!! Serum! Serum!!! Sudahlah!!! Aku sudah muak dengan kata itu!! Ayo pulang!!” teriak Valen akhirnya, seraya menarik kasar tanganku.
“Kak,kau gila!? Ini tujuanku, ini yang ku cari!! Kenapa kau tidak bisa mengerti?!” balasku dengan suara tak kalah nyaring. Mata Valen terlihat begitu marah sekarang, bola mata milik golongan api yang berwarna cokelat keemasan itu semakin menyala.
“Kini aku sadar betapa hancurnya hati Chris saat ia melihat adik satu-satunya melemah, dan aku mengerti mengapa ia sangat membenci Alden,” Ujar Valen dengan suara berat dan nada yang rendah, lalu ia segera berlari secepat kilat keluar ruangan.
“Kak!!” panggilku seraya mengikutinya berlari. Aku tahu persis apa yang akan ia lakukan, dan aku tak mau ia melakukan apa yang ia kehendaki itu. Ray ikut berlari di belakangku.
Benar dugaanku, ia mencari Jean. Ia tahu persis Jean pasti berada di perpustakaan saat ini. Saat jam istirahat sore yang selalu dipakai Jean untuk menikmati keheningan dibalik barisan buku-buku tebal. Valen mengitari seluruh perpustakaan, mencari seseorang yang ia inginkan.

“Jean!!” panggilnya dengan nada tinggi, lalu menyerang Jean dengan api yang ia ciptakan. Refleks Jean yang sangat baik karena kemampuan telekinesisnya, membuat ia bisa menghindari serangan Valen dengan mudah. Api yang Valen keluarkan kini membakar buku yang berserakan di meja, di belakang Jean. Asap yang ditimbulkannya membuat alarm kebakaran berbunyi, lalu semprotan air keluar secara otomatis dari langit-langit perpustakaan.

“Apa yang kau lakukan pada adikku, hah?! Kau ingin membuatnya mati?!!” ujarnya seraya menarik kerah kemeja Jean. Ia tak memedulikan air yang kini membasahi tubuhnya. Jean tak menjawab.
“Kau tak bisa membela diri?! Hah?!” Ujar Valen lagi dengan nada bicara semakin keras, lalu meninju hidung Jean hingga pria itu jatuh terkapar di lantai. Jean memegangi hidungnya yang sekarang mengeluarkan darah.
“Kak!!!!” teriakku kaget, lalu berusaha menahan badan kakakku yang hendak menyerang Jean lagi. Jean terlihat kebingungan, kini ia terduduk di bawah guyuran air yang tak berhenti menyirami kami.
Badanku turut basah sekarang. Ray yang baru saja datang ikut menahan tubuh Valen karena ia hendak kembali menyerang Jean. Valen kembali melemparkan sebuah bola api pada Jean, namun meleset hingga barisan buku di sudut ruangan ini terbakar.
“Kau puas?! Adikku sakit sekarang, kau puas? Apa kedudukanmu sekarang tak membuatmu senang? Kau putra seorang petinggi dewan keamanan dan kelak kau mungkin akan menjadi direktur badan intelejen atau kepala dewan, kau bisa memilikinya. Kau bisa memiliki apapun yang kau mau, harta, kekuasaan, bahkan kau bisa mendapatkan wanita terbaik dari golonganmu. Tapi jangan ambil adikku seperti ini!! Kau tau hukum dan kau mengerti aturan yang orang-orang setinggi ayahmu urusi, aku yakin kau mempelajarinya hingga hafal dan mengerti makna per-huruf dari setiap kosakatanya. Lalu kenapa kau bertindak gegabah seperti ini?!!” ujar Valen masih dengan emosi yang meledak. Aku tak terima dengan apa yang baru saja kudengar. Segera kudorong mundur tubuh tegapnya.
“Gegabah? Kau bilang ini gegabah Kak? Kau pikir saling menyukai itu adalah hal yang gegabah? Kau tak pernah merasakan hal yang kami rasakan. Kau tak berhak berkata seperti ini!”
Valen diam memperhatikanku, hingga aku bisa berbicara dengan nada lebih pelan. “Kak.. manusia tidak pernah memilih secara gegabah untuk mencintai seseorang. Perasaan seperti ini muncul begitu saja, tanpa dibuat, muncul secara alami seperti kemampuan yang kita miliki. Kau bisa mengerti, kan?” Ucapku. Dia masih tak mengeluarkan sepatah katapun. Tangannya masih mengepal kuat.
Setelah berbicara, aku segera mengulurkan tanganku pada Jean. Menarik tangannya ke luar perpustakaan. Meninggalkan kakakku dan Ray yang masih terdiam di sana.
***
Aku menuntun Jean ke kamar asramaku. Kamar yang kugunakan selama aku mengambil program panjang. Di perjalanan menuju dormitory, kami tak saling bercakap. Suasana begitu canggung, namun aku tak melepaskan tangannya hingga kini aku membuka pintu kamar.

“Tunggu di sini Kak,” pintaku sambil menunjuk bibir tempat tidur. Ia menuruti perintahku, duduk di sana tanpa kata-kata yang keluar dari mulutnya. Aku segera mengambil kotak obat di lemari dekat kamar mandi, lalu kembali pada Jean. Duduk di sampingnya seraya membuka kotak berwarna biru cerah ini. Tanganku mengusapkan kapas yang telah kubasahi dengan alkohol untuk membersihkan darah di hidungnya. Setelah itu, Jean segera memegang tanganku.
“Kau sakit?”
Jantungku kembali berdebar cepat, “Tidak,”
“Jangan berbohong.. matamu bergerak ke kanan saat kau berbohong. Dan Valen tak akan semarah itu jika kau tak sakit,” ujar Jean sambil manatapku tajam. Aku berusaha menyembunyikan ekspresi wajahku, namun sulit sekali saat ini.
“Jadi kau mulai melemah?” tanya Jean lagi. Aku tak menjawab.
“Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan sekarang. Jika kau melemah.. itu artinya kau juga memiliki perasaan yang sama denganku. Aku bingung apa sekarang aku harus merasa senang atau sedih,”
Tanpa banyak bicara, aku memeluk Jean. Membenarkan kata-katanya tadi, bahwa aku memang memiliki perasaan yang sama dengannya. Badan kami yang masih basah kuyup sama sekali tak kuhiraukan. Yang kurasakan sekarang hanya otakku yang entah berfikiran ke mana. Bukan hanya kau yang bingung, Kak.. Kepalaku juga kacau karena hal ini..
Tak terasa air mataku menetes.
“Aku tak akan mati,” ujar ku kemudian. Meyakinkan diriku sendiri bahwa aku bisa lebih kuat mulai saat ini. Namun sisi lain dalam hatiku masih berusaha membalikkan kepercayaan diriku. Hingga yang bisa ku lakukan saat ini hanya terisak. Iya.
Jean mengangkat wajahku, lalu mendekatkan wajahnya, dan mencium bibirku seperti beberapa hari yang lalu di bukit belakang sekolah. Air mataku masih menetes, diantara balasan ciumanku untuknya. Sejenak ia melepaskan ciumannya. Memandang wajahku, menatap mataku yang kini kemerahan dan sembap. Kami saling memandang untuk beberapa saat, sampai akhirnya ia kembali menaruh bibirnya di bibirku. Aku bisa merasakannya.. Ciumannya kali ini lebih dalam dan kuat dari sebelumnya. Yang kulakukan hanya membalasnya, memeluknya.
Mungkin ini puncak dari segala perasaan yang telah kami pendam sejak lama. Namun setitik kekhawatiran kembali muncul dalam batinku. Aku yakin posisi kami tak akan terus berada di puncak. Lembah di bawah bukit telah menanti kami untuk mengunjunginya..
***

Aku membuka mataku yang terasa sangat berat. Kepalaku masih bersandar di atas lengan Jean. Pria ini masih tertidur lelap. Wajah lembut di hadapanku ini terlihat sangat damai, seperti tak pernah merasakan sedikitpun rasa sakit. Tak terasa bibirku membentuk sebuah senyuman, menikmati perasaan yang sangat tentram bersamanya.
Kulirik jam yang terpajang di dinding sebelah kiriku. Jam 2 pagi. Tubuhku yang hanya ditutupi selimut ini mulai menyerah dari hawa dingin malam hari. Kuputuskan untuk bangkit dan mengenakan pakaian hangatku, lalu memberikan Jean selembar selimut tebal di atas selimut lainnya yang telah menutupi badannya.
Sedetik kemudian aku mendengar suara benda terjatuh dari arah beranda. Tanpa pikir panjang aku membuka pintu beranda, lalu menutupnya kembali. Mencegah angin malam memasuki kamarku dan mengganggu seseorang yang tengah terlelap di dalamnya. Setelah itu aku memeriksa sekitar beranda ku. Tak ada apapun yang terjatuh di sini. Aku hanya mengerutkan alis, “Aneh sekali..” ujarku pelan. Sesaat kemudian tanpa ku duga, seseorang yang tak ku ketahui menangkap badanku, menutup mulutku hingga aku tak bisa mengeluarkan suara sedikitpun. Mataku membulat karena terkejut. Aku berusaha meronta, namun kekuatan orang yang menyekapku ini terlalu kuat. Dalam waktu sekejap, ia mengangkat tubuhnya dan membawaku pergi dengan kemampuan levitasinya. Golongan Telekinesis.
***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
