SESAL USAI BERCERAI (BAB. 1 - 2)

6
1
Deskripsi

Danu pernah melakukan kesalahan fatal yang membuat rumah tangganya berantakan. Ia pasrah saat digugat cerai istrinya dan anak-anaknya dibawa semua. Kini yang ada hanya penyesalan yang abadi di jiwa. Ia merindukan istri dan anak-anaknya. Ia mencoba tetap bertanggung jawab, hingga rasa cemburu hadir kala mantan istri didekati oleh laki-laki lain. Akankah ia memperjuangkan cinta mantan istrinya lagi?

Bagian 1
Penyesalan

***

Mobil berhenti di halaman rumah yang gelap. Danu turun dan segera menyalakan lampu di halaman, kemudian masuk dan lagi-lagi ia disambut oleh kegelapan. Saat ia memencet saklar, seketika ruang tamu pun menjadi terang. Terang tapi tetap sepi dan sunyi. Saat dalam keadaan seperti ini, ia benci pulang ke rumah.

Danu menutup pintu lalu melempar tas di sofa dan ia pun duduk tanpa peduli ruangan lain yang belum dinyalakan lampunya. “Rania!” serunya sengaja. “Tolong ambilkan aku minum. Kamu masak apa hari ini?”

Tidak ada sahutan, yang terdengar hanya suara denting air yang menetes dari kran di dapur karena tadi pagi ia menutupnya tidak rapat. Danu merebahkan kepala di badan sofa, menatap langit-langit kamar. Lagi-lagi ia berseru, “Ghafi, Clara, Cassia pada kemana kok nggak kedengeran suaranya? Udah pada tidur?”

Tentu saja tidak ada suara sahutan, apalagi anak-anaknya yang merengek, menangis, atau berceloteh tentang banyak hal. Tidak akan pernah ada lagi suara Rania yang mengomel karena ia langsung menggendong Clara dan Cassia padahal belum cuci tangan saat baru pulang, atau saat ia menaruh handuk basah di kasur, atau ketika ia tak sengaja menumpahkan kopi di kamar. Tidak akan ada lagi yang bisa ia tanya dimana letak kaus kakinya, di mana kemeja warna abu-abunya, di mana sepatu yang baru dibeli, di mana kunci motor, di mana map berisi berkas yang harus ia bawa ke kantor, di mana buku bacaannya yang terakhir, dan lain sebagainya.

Semua itu sudah hilang dari delapan bulan lalu saat Rania membawa ketiga anaknya pergi dari rumah ini setelah gugatan Rania di pengadilan diterima majelis hakim melalui putusan verstek karena dirinya tidak hadir. Ia memilih mengasingkan diri karena tak bisa menerima kenyataan jika harus pisah dari Rania dan ketiga anaknya.

Pernikahannya kandas karena kesalahan fatal yang ia perbuat. Bodohnya dirinya yang berani bermain api tapi takut terbakar. Lemah sekali imannya karena terjerat pesona dari sang mantan saat tanpa sengaja bertemu kembali. Desir di dada muncul dan semakin membuat nyaman saat sering bertemu. Wanita itu yang membuatnya nyaman menumpahkan segala beban pikiran. Hingga ia lupa bagaimana caranya pulang, dan malah semakin masuk ke dalam jurang.

“Mas, satu hal yang mesti kamu tau. Aku bisa memaafkan semua kesalahan kamu, kecuali pengkhianatan. Saat kamu melakukannya, dan aku punya bukti kuat, akan kudatangi pengadilan agama saat itu juga, lalu membawa Ghafi pergi dari sini.” Tegas dan lugas ucapan Rania malam itu saat ia baru saja hendak menarik selimut.

Ia menelan ludah dengan tubuh menegang. Ia merasa jika Rania sudah mencium perselingkuhan yang ia lakukan, tapi mungkin belum punya bukti. Danu berdehem dan mencoba menjawab tenang bahwa dirinya tidak akan pernah berkhianat.

Esoknya, ia meminta Sofia, wanita cantik yang menjadi selingkuhannya itu untuk memutuskan hubungan. “Aku takut istriku tau, Sof. Hubungan kita nggak seharusnya ada. Kita hanyalah masa lalu yang nggak seharusnya kembali menjalin hubungan saat masing-masing dari kita sudah punya pasangan.”

“Tapi aku cintanya sama kamu, Dan.” Mata Sofia berkaca-kaca, menggeleng dan kembali berkata, “Kemana lagi aku harus cerita masalah rumah tanggaku kalau bukan sama kamu. Kamu tau sendiri suamiku nggak pernah ada waktu untukku. Kalau aku ngeluh dikit aja, dia akan marah. Padahal yang aku keluhkan adalah masalah biaya sekolah anak kami.”

“Aku akan tetap bantu kamu soal biaya sekolah anakmu. Tapi, soal hubungan kita, kita berhenti sampai di sini.”

Sofia menggeleng dan menolak. Hingga dua hari kemudian, ia mendengar kabar jika Sofia masuk rumah sakit karena asam lambung naik. Semenjak itu, hubungannya kembali lagi, ia tidak tega karena suaminya Sofia tidak ada di rumah sakit menunggu wanita itu. Yang ada hanyalah adik dan kedua anak Sofia.

Rasa iba membuatnya kembali terjerat pada cinta lama, hingga tanpa sadar ia semakin terlena. Bukan sekadar sentuhan tangan, pelukan, ia kini berani untuk berciuman, dan hampir saja melakukan hubungan terlarang jika saja ponselnya tidak tiba-tiba berdering karena telepon dari Rania. Ia langsung berhenti saat gairahnya sedang tinggi karena teringat akan sang istri. Apalagi pesan dari Rania yang mengabarkan jika Clara demam tinggi, membuatnya langsung pergi dari hotel tempatnya menginap bersama Sofia.

Sepandai-pandainya bangkai ditutupi, pada akhirnya tercium juga. Rania mengetahui semuanya, dan malam itu saat pulang dari kantor, ia disidang oleh istri dan ibunya.

“Sejak kapan kamu melakukan perbuatan haram itu, Danu?” Zulaika, ibunya Danu yang bertanya dengan wajah menyiratkan kekecewaan mendalam. “Sejak kapan kamu diam-diam kirim uang ke wanita lain selain istrimu? Sejak kapan kamu berani keluar masuk hotel dengan wanita lain selain istrimu? Sejak kapan, Danu?”

Tubuh Danu lemas seketika. Semua bukti foto, screenshot chat, dan bukti transfer terpampang di meja ruang tamu. Ia sudah tidak bisa mengelak lagi, apalagi yang kini bertanya adalah ibunya.

“Ibu sudah mati-matian berjuang sendirian mendidik dan membesarkan kamu supaya kamu bisa jadi laki-laki baik, berakhlak, dan bertanggung jawab. Tapi ternyata ibu gagal. Ibu gagal mendidikmu. Ya Allah ampuni aku.”

Danu tak kuasa melihat air mata ibunya, apalagi sampai menyalahkan diri sendiri. Ia pun langsung bersimpuh di kaki sang ibu, memohon ampun. “Danu yang salah, Bu. Danu yang salah, bukan Ibu. Maafkan Danu. Ampuni Danu, Bu.”

“Jangan meminta maaf pada Ibu. Minta maaflah pada istrimu. Apa pun keputusannya, Ibu akan mendukung. Ibu tidak bisa membelamu karena kamu yang salah.”

Saat dirinya bangun dan menoleh pada Rania. Wanita itu berdiri dan menghindar. “Tiga bulan lalu aku sudah tau tentang perselingkuhanmu, Mas. Aku sengaja mengancam dengan akan langsung ke pengadilan agama dan membawa anak-anak pergi dari sini. Kupikir kamu akan berhenti, tapi ternyata ancamanku kamu anggap angin lalu. Jadi maafkan aku, besok aku akan pergi dari sini membawa Ghafi.”

Terlambat. Dirinya sudah terlambat untuk memperbaiki. Ia bahkan memohon-mohon agar diberi kesempatan lagi. Ia menunjukkan bahwa nomor Sofia sudah ia blokir dan hapus. Ia tidak lagi mengunci ponselnya. Ia juga berjanji akan menyerahkan semua keuangan pada Rania. Tapi percuma, Rania tetap pada pendirian untuk berpisah.

“Satu hal yang membuatku terluka. Sebesar apa pun aku mencintaimu, pemenangnya tetap orang lama. Ternyata benar, cinta laki-laki habis di orang lama dan selebihnya hanya melanjutkan hidup.”

Kata-kata Rania sebelum pergi meninggalkan rumah ini. Kini ia hidup sendiri dalam penyesalan yang abadi. Ia selalu dihantui rasa bersalah dan kerinduan yang mendalam. Ia rindu keluarganya yang utuh. Maka, kini ia pun mengambil kunci mobil dan keluar, ia ingin pergi ke rumah Rania. Rumah yang dibelikan oleh ibunya untuk mereka setelah resmi bercerai.

Butuh waktu sekitar setengah jam untuk sampai di perumahan sederhana di Bekasi. Danu sengaja memarkirkan mobil di seberang rumah Rania. Ia turun dan berjalan pelan menuju rumah tanpa pagar tersebut. Ia memilih mengintip dari jendela depan rumah yang kebetulan tirainya belum ditutup. Ia tahu kebiasaan Rania, yang akan menutupnya saat hendak tidur.

Di dalam sana, di depan televisi, anak-anaknya dan Rania sedang belajar mengaji. Rania menyimak bacaan Clara yang usianya enam tahun. Ghafi yang usianya sembilan tahun itu menyimak bacaan Cassia yang berusia empat tahun. Sesekali Ghafi tertawa saat Cassia salah-salah dalam membaca. Perasaan Danu kini diselimuti oleh sesak yang menyeruak, hingga membuat matanya merebak.

Teringat dulu saat masih hidup bersama, ketika Danu baru pulang kerja setengah tujuh, ia disambut oleh anak-anak yang rapi. Clara dan Cassia memakai mukena warna merah jambu, sedangkan Ghafi memakai baju koko dan sarung, lengkap dengan kopiah di kepala. Ia pun akan buru-buru wudhu lagi, dan berganti pakaian lalu menyimak bacaan Alquran dari mereka. Sementara, Rania akan menyiapkan makan malam.

Air matanya terjatuh, karena kini seperti orang asing di luar rumah. Hanya bisa berdiam diri tanpa berani mengganggu mereka. Karena kini, dirinya sudah tidak pernah ditunggu lagi kehadirannya.

"Papa kangen sama kalian," lirihnya disertai air mata yang kembali terjatuh.

🍁🍁🍁

Bagian 2 
Mama Ayo Pulang

***

Dari sudut mata, Rania bisa melihat Danu sedang mengintip dari balik jendela. Ia memang sengaja membuka tirai jendela karena tahu jika mantan suaminya itu suka diam-diam datang. Ia sengaja ingin memperlihatkan pada Danu jika rutinitas harian tetap berjalan meski tanpa lelaki itu. Walau hati kecilnya kerap menjerit saat merindukan sosok Danu ada di antara dirinya dan anak-anak. Ia bahkan berkali-kali menarik napas panjang ketika menatap anak-anaknya saat sedang mengaji seperti ini. Meski sekarang, clarra atau Cassia sudah jarang menanyakan tentang papa mereka yang tak pernah ikut mengaji.

Keputusannya yang tidak memberikan Danu kesempatan ternyata berimbas pada anak-anaknya. Terutama Ghafi yang sudah mulai mengerti dan kini menjadi sangat pendiam dan enggan bertemu dengan Danu. Dirinya tak pernah melarang Danu untuk datang menemui anak-anak, karena walau bagaimana pun, mereka masih butuh sosok ayah. Ia sudah cukup egois dengan memilih berpisah dari Danu. Ia tak mau lagi egois dengan melarang Danu bertemu anak-anak.

Selesai mengaji, Rania menyuruh anak-anak untuk kembali berwudhu dan bersiap untuk ke mushola karena adzan sudah terdengar.  Perumahan tempat tinggal mereka memiliki satu musholat yang kebetulan tidaklah terlalu jauh jaraknya. Sebenarnya bisa saja ia sholat di rumah, tapi ia ingin mengajari Ghafi untuk tetap sholat di masjid atau mushola. Sebelumnya, Danu lah yang berperan untuk mengajari Ghafi untuk selalu sholat di masjid. Tapi sekarang keadaan sudah berbeda, ia lah yang bertanggung jawab semuanya ketika hak asuh anak jatuh padanya.

Ketika keluar dari rumah, Danu sudah tidak ada, bahkan mobil lelaki itu juga tak ada. Tapi entah mengapa ia bisa menebak jika Danu ada di mushola. Rania menggandeng Cassia sementara Ghafi menggandeng Clara. Mereka berjalan pelan menuju mushola sambil sholawatan. Tapi ingatan Rania kini justru tertuju pada saat Cassia masih berusia dua tahun. Anak bungsunya itu merengek minta ikut papanya ke masjid. Hingga akhirnya, mereka semua pun pergi ke masjid bersama. Cassia yang manja minta gendong Danu, dan Ghafi yang juga minta digandeng. Ia berjalan di belakang sambil menggandeng Clarra.

“Pa, nanti kalau di surga, kita jalannya juga gandengan kan ya?” Ghafi nyeletuk, nyengir menatap Danu.

“Iya, nanti kita berlima gandengan tangan jalan ke surga,” jawab Danu. Lelaki itu tersenyum menatap Ghafi. Senyuman penuh kebanggaan.

Rania tahu, jika Ghafi adalah kebanggan Danu. Karena lelaki itu memang menginginkan anak pertama laki-laki. Masih teringat jelas di ingatan jika dulu saat Ghafi lahir, Danu tak henti-hentinya mengucap syukur. Hampir setiap jam mengirimkan pesan menanyakan Ghafi, saat lelaki itu sedang bekerja. Ia juga tahu, jika Ghafi pun sangat mengidolakan Danu sebagai papanya. Anak sulungnya itu setiap ditanya ingin jadi apa, selalu menjawab ingin jadi seperti papa. Tapi semua itu hilang semenjak Ghafi tahu jika papanya berkhianat. Anak itu berubah sangat pendiam, dan tak pernah sekali pun menanyakan Danu. Sudah tak lagi mau saat diajak main basket oleh Danu. Kini yang dikatakan Ghafi justru sebaliknya.

“Aku nggak mau jadi kayak papa.”

Rania tahu jika Ghafi pun terluka atas perceraian dirinya dan Danu. Tapi anak itu seolah-olah kuat bahkan jauh lebih kuat dibanding dirinya. Saat ia tak kuasa menahan tangisnya, Ghafi akan memeluk dan bilang, “Mama jangan nangis.”

Sungguh, Rania terkadang menyesal dengan keputusannya memilih berpisah. Saat itu yang ia rasakan adalah kalut, bingung, terluka, tak tahu harus bagaimana, dan yang mendominasi dari semua itu adalah emosi. Ia tak bisa mengendalikan emosinya hingga tak mau memberikan Danu kesempatan kedua. Tapi saat resmi bercerai, yang membuatnya terluka justru saat menatap anak-anaknya. Kebingungan di wajah mereka seolah-olah minta penjelasan mengapa harus pindah rumah dan mengapa papanya tidak ikut.

Apalagi ketika tengah malam Cassia menangis ingin tidur dengan papanya. Anak itu merengek dan terus memanggil, “Papa!” Hingga membuatnya ikut menangis juga. Ia hancur tapi anak-anaknya juga ikut merasakan. Seegois itukah dirinya sebagai ibu?

Rania menarik napas panjang dan mengusap sudut mata saat sampai di depan mushola. Hanya saja, ia tidak melihat mobil Danu ada di sana. Entah mengapa, hati kecilnya seperti kecewa. Ia kemudian masuk ke barisan perempuan bersama Carrisa dan Cassia, sementara Ghafi sendirian ada di barisan laki-laki. Anak sulungnya itu meski masih sembilan tahun, tapi seperti sudah memahami keadaan, dan dirinya sangat bersyukur akan hal tersebut. Karena Ghafi benar-benar sangat membantu, apalagi saat Cassia rewel, Ghafi akan ikut membujuk.

Selesai sholat berjamaah, Rania bersama kedua anak perempuanya keluar. Saat ia menoleh ke barisan laki-laki yang satu persatu sudah berdiri dan berjalan keluar itu, ia melihat Danu ada di pojok sedang menadahkan tangan dengan punggung bergetar. Hatinya berdesir, tapi suara Ghafi membuatnya menoleh ke arah anak itu yang berdiri di luar.

“Mama, ayo pulang!”

Bersambung ….

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya SESAL USAI BERCERAI (BAB. 3, 4, 5)
2
2
Danu pernah melakukan kesalahan fatal yang membuat rumah tangganya berantakan. Ia pasrah saat digugat cerai istrinya dan anak-anaknya dibawa semua. Kini yang ada hanya penyesalan yang abadi di jiwa. Ia merindukan istri dan anak-anaknya. Ia mencoba tetap bertanggung jawab, hingga rasa cemburu hadir kala mantan istri didekati oleh laki-laki lain. Akankah ia memperjuangkan cinta mantan istrinya lagi?
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan