
Lebaran harusnya menjadi moment bahagia kumpul keluarga. Namun, tidak bagi Husen. Dirinya yang paling miskin di antara kedua adiknya, hanya menahan sakit hati karena dibanding-bandingkan.
Bagian 1
Telepon dari Ibu
🍁🍁🍁
"Nduk, coba bujuk Husen lagi. Siapa tau lebaran ini mau pulang. Sudah tiga tahun kalian nggak pulang. Nggak kangen tah sama bapak ibu?"
Laila menggigit bibir mendengar ucapan Bu Murni, ibu mertuanya di telepon. "Nggih, Buk. Nanti Laila coba bujuk Mas Husen. Insha Allah, lebaran kali ini pulang."
"Bener lho ya, ibuk tunggu. Nanti Ibuk bikinin gule kambing kesukaan Husen sama sambel teri kesukaanmu."
Air mata Laila seketika menetes. Ia merasakan kerinduan yang mendalam dari suara Bu Murni. Rasa rindu pada anak yang sudah tiga tahun tak pulang dari tanah rantau. Tapi apalah daya, Laila selalu gagal membujuk suaminya. Namun kali ini ia akan kembali mencoba lebih keras lagi.
"Yeee Ayah pulang!" seru Maryam, anak pertama Laila yang berusia lima tahun.
"Ayah!" Aisyah, anak keduanya yang berusia hampir tiga tahun itu ikut berseru, lalu keduanya lari ke depan untuk membuka pintu.
"Maryam, Aisyah! Pelan-pelan, Nak, nanti jatuh." Laila pun berseru. Ia segera mematikan kompor, lalu menyusul mereka.
Mereka memeluk Husen dengan girangnya, apalagi dibawakan es krim.
"Adek cuci tangan dulu, kan tadi abis megang mainan." Maryam menegur.
Aisyah nyengir lalu lari ke dalam, dan disusul Maryam. Husen berseru agar mereka hati-hati supaya tidak terpeleset seperti minggu lalu.
"Gimana dagangannya, Mas?" tanya Laila sambil meraih tangan Husen dan menciumnya.
"Alhamdulillah hari ini habis, makanya bisa pulang lebih cepet."
"Alhamdulillah ya Allah."
Ingin Laila mengutarakan tentang telepon dari Bu Murni tadi sore, tapi ia tahan. Husen baru saja pulang dan pasti lelah dagang dari jam empat sore, dan ia tak ingin menambah beban pikiran suaminya.
***
Jam sebelas malam, Laila ke kamar anak-anak karena sudah tak ada suara. Ternyata benar, mereka semua sudah tidur, termasuk Husen yang menemani anak-anak tidur. Maryam dan Aisyah memang selalu ingin tidur sama ayahnya.
Laila ingin membangunkan Husen dan menyuruh pindah tidur di kamar mereka, tapi tak tega melihat wajah lelahnya. Ia menaikkan selimut, lalu dipandangi wajah mereka satu persatu. Senyum Laila terkembang, melihat wajah wajah yang mirip satu sama lain. Tak disangka, ia bisa memiliki mereka.
Laila memilih keluar dan kembali ke kamar sendiri setelah mengambil wudhu. Ingin sekali ia sholat hajat dengan harapan Allah mau melembutkan hati suaminya. Karena sebagai istri dan menantu, ia tidak bisa melihat hubungan mereka renggang hingga bertahun-tahun.
Tiga tahun lalu ….
Saat itu, Maryam yang masih berusia dua tahun mengalami sesak napas berat hingga masuk ICU. Penyebabnya adalah asap rokok. Saat itu Laila menyalahkan Husen. Husen pun diam menerima amarahnya. Sepertinya Husen memang merasa bersalah, karena sulit untuk berhenti merokok.
Apalagi saat itu keadaan ekonomi sedang sulit. Hutang untuk biaya kelahiran Aisyah di bank keliling belum lunas. Kini harus memikirkan biaya rumah sakit yang sudah pasti mahal. Sedangkan untuk makan sehari-hari juga susah.
"Aku coba pinjam sama Nur dan Wisnu."
Laila menatap Husen. "Mas yakin adik-adiknya Mas mau pinjemin?"
"Kita coba dulu aja."
Setelahnya, Husen menghubungi adik bungsunya. Husen menceritakan kondisi saat itu pada Nur, dan tak lama telepon dimatikan.
"Punya adik kayak asu!"
"Astaghfirullah!" Laila memegang pundak Husen, menenangkan.
"Kamu tau apa kata Nur?" Husen mendengkus kasar. "Katanya uangnya mau dipake biaya studytour anaknya. Dia lebih mentingin piknik, dibanding ponakannya yang lagi di rumah sakit!"
Laila tak bisa berkata-kata, ikut emosi. Terlebih lagi, ia tahu jika Husen menikah di usia 32 tahun karena mementingkan biaya sekolah kedua adiknya. Namun, saat kedua adiknya bisa kuliah dan jadi PNS, justru lupa pada Husen.
"Coba pinjam ke Wisnu, Mas."
"Rasa-rasanya aku nggak sudi minjam uang ke adik sendiri andai nggak kepepet begini." Husen menggerutu, lalu menghubungi Wisnu.
"Nggak diangkat, Mas?" tanya Laila.
Husen menggeleng.
"Sabar. Mungkin lagi kerja. Coba WA aja."
Husen mengikuti saran Laila. Pesannya tak kunjung dibaca sama Wisnu, tapi tak lama kemudian, ada telepon masuk dari Pak Warto, bapaknya Husen. Laika ikut mendengarkan. Dan kata-kata Pak Warto membuatnya menangis saat itu juga.
"Kalian kan sudah punya rumah tangga masing-masing, sebagai anak mbarep harusnya kamu nggak nyusahin adek-adekmu. Mereka juga punya kebutuhan. Punya anak juga. Biaya rumah sakit anakmu ya dipikir sendiri entah gimana caranya. Pokoknya—"
Husen memilih mematikan telepon sebelum Pak Warto selesai bicara. Lalu dengan wajah memerah, Husen membuka whatsapp lalu memblokir nomor bapak, ibu, Wisnu, dan Nur.
"Sekalian aja aku nggak punya keluarga!" geram Husen.
Nur memeluknya dengan derai air mata. "Mas punya aku, Maryam, dan Aisyah. Kita berjuang bareng-bareng ya, Mas, buat lewatin ini semua."
Selama pernikahan, Laila belum pernah melihat Husen menangis. Kali ini dia memeluk suaminya erat dengan suara sesenggukan.
Semenyakitkan itukah dikecewakan keluarga sendiri?
🍁🍁🍁
Bagian 2
Nafkah yang tak Layak
🍁🍁🍁
“Sudah telepon Laila?” tanya Pak Warto, malam saat mereka buka puasa.
Bu Murni mengangguk tanpa menjawab karena mulutnya sedang mengunyah.
“Terus?”
“Katanya nanti mereka akan pulang. Ya diusahakan.”
“Masa uang buat ongkos pulang nggak pernah punya? Coba besok kirimin uang buat mereka. Di baju warna putih di lemari ada uang tiga ratus ribu, kamu tambahi kalau ada.”
Bu Murni menatap Pak Warto dan menghela napas sejenak sebelum berkata, “Apa Bapak nggak merasa kalau Husen benar-benar nggak mau lagi pulang ke rumah? Telepon aja nggak pernah mau. Bapak tau kan alasannya?”
“Ya makanya suruh dia pulang biar jelas semuanya. Jangan langsung mutus silaturahmi begini, apalagi dengan keluarga sendiri.” Pak Warto meneguk air putih lalu berdiri dan pergi keluar untuk merokok.
Sementara Bu Murni diam menatap gule kambing di mangkuk. Setiap dia merindukan Husen, dia akan memasak makanan kesukaan anak sulungnya itu. Selama tiga tahun, dia sama sekali tak pernah melihat Husen, bahkan mendengar suaranya saja tidak pernah. Husen benar-benar pergi dari keluarga, jika saja bukan karena Laila, mungkin dia juga tidak pernah tahu kabar anaknya itu.
Tiga tahun lalu ….
“Oooo bocah kurang ajar! Wongtuo lagi ngomong malah dipateni,” gerutu Pak Warto.
“Kenapa sih, Pak?” tanya Bu Murni yang baru pulang dari pasar.
“Anakmu itu si Husen. Katanya anaknya lagi sakit, terus mau ngutang sama Nur dan Wisnu. Ora diutangi lha kok nesu, telponku langsung dipateni pas dikandani.”
(Anakmu, itu si Husen. Katanya anaknya sakit, terus mau hutang ke Nur dan Wisnu. Nggak dikasih pinjeman lah kok marah. Telponku langsung dimatiin.”
“Anaknya yang mana, Pak? Maryam apa Aisyah?”
“Maryam. Wes ndak usah dibela terus. Husen itu sering ngutang ke adik-adiknya belum juga dibalikin. Itu yang bikin Nur sama Wisnu males ngutangi lagi. Lha mereka kan juga punya keluarga. Kok dirusuhi terus.”
“Yo wajar, Pak. Kan Husen yang nyekolahin Wisnu sama Nur. Apa salahnya—”
“Ya salah!” tukas Pak Warto. “Itu namanya ndak ikhlas nyekolahin adik-adiknya. Minta imbalan namanya.”
Bu Murni berdecak dan memilih segera membawa sayuran ke dapur. Dia mengeluarkan ponsel dari tasnya, lalu mencoba menelpon Husen. Hanya saja, nomornya tidak aktif. Ia tidak paham jika nomornya sudah diblokir. Bu Murni hanya paham cara menelpon dan menerima telepon, selebihnya ia tak bisa, termasuk mengirim pesan.
***
Beberapa hari kemudian, Bu Murni tanya ke Nur saat anak bungsunya itu ke rumahnya. Nur malah tertawa dan menjawab, “Ya jelas nggak bisa ditelepon, Buk. Kita itu diblokir sama Mas Husen.”
“Diblokir?”
“Iya. Artinya Mas Husen udah nggak mau lagi ditelepon.”
“Loh terus piye?”
“Piye apanya tho, Buk? Ya sudah biarin saja. Nanti kalau kepepet butuh duit juga dia yang telpon.”
“Berarti, ibuk yang kudu nunggu ditelepon?”
“Iya, Buk. Udah sih nggak usah dipikir.”
Awalnya Bu Murni tidak mau terlalu memikirkan itu, tapi hingga berbulan-bulan, Husen sama sekali tidak ada telepon. Bu Murni mengumpulkan anak-anaknya di rumah untuk mendiskusikan masalah Husen. Karena perasaannya sebagai ibu, dia ketakutan. Takut jika tidak bisa bertemu lagi dengan Husen.
“Buk, kita harus gimana? Kita diblokir. Nomornya Mbak Laila juga nggak bisa ditelepon,” ujar Nur.
“Ya nggak bisa ditelponlah, Nur. Kan hpnya dijual buat bayar kontrakan. Lupa kamu?”
“Oh iya. Sesusah itu apa ya mereka?”
“Harusnya kalian sebagai adik itu mau bantu! Ingat, yang nyekolahin kalian sampe bisa jadi bidan sama guru itu masmu.” Bu Murni terlihat marah dan matanya seperti hendak menjatuhkan air mata.
“Apa kita wajib bantu Mas Husen selamanya, Buk? Cuma karena Mas Husen yang nyekolahin kita?” sahut Wisnu.
“Kita itu udah cukup ngebantuin Mas Husen, Buk. Biaya nikahannya kan dari uang aku sama Mas Wisnu. Sampe sekarang juga nggak ada dibalikin, padahal dulu bilangnya minjem,” timpal Nur.
“Buat ke Jakarta buka usaha juga uangnya minjem aku, Buk. Aku juga nggak pernah minta dibalikin kan? Tapi masa iya aku harus terus-terusan ngebiayain hidupnya Mas Husen? Aku juga punya keluarga yang harus dihidupi.”
“Sudah cukup.” Pak Warto menegur. “Kalian pulang saja, sudah malam. Nggak ada habisnya kalau kita bahas Husen. Nanti kita bahas lagi kalau dia pulang. Biar jelas semuanya.”
Bu Murni hanya duduk terdiam dengan air mata mengalir membasahi wajahnya yang sudah keriput.
Sementara itu, di Ibu Kota, Husen tengah duduk di teras memandang langit. Ia merenung, dan berpikir apa yang harus dikerjakan sekarang. Gerobak jualan mie ayam sudah dia jual untuk biaya rumah sakit Maryam. Dia pun kini mengajak anak dan istri pindah ke kost yang lebih murah. Kost yang hanya berupa satu kamar sempit, dan tidur dengan tikar tipis.
Tiba-tiba bahunya disentuh dengan lembut oleh Laila. Tanpa mendongak, dia bertanya, "Maryam dan Aisyah udah tidur?"
"Udah, Mas." Laila duduk di samping Husen. "Aisyah nyusunya kenceng banget. Dia kayaknya bakal lebih aktif dari kakaknya."
Husen memandang wajah Laila yang lebih tirus. Itu membuatnya merasa bersalah, karena sebagai suami, dia belum bisa memberikan nafkah yang cukup. Di saat menyusui begini, ia hanya bisa memberi makan istrinya dengan mie instan hampir setiap hari.
"Apa kita pulang aja ya, La?" Husen bertanya. Karena saat itu dia buntu. Seperti tak menemukan jalan keluar. Mungkin dengan pulang ke rumah orangtuanya, Laila dan anak-anaknya bisa makan dengan layak.
"Sebagai istri, aku nggak ridho kalau suamiku harga dirinya diinjak-injak, apalagi oleh keluarga sendiri."
Husen memalingkan wajah dan kembali menatap langit. "Aku juga nggak bisa lihat kamu tiap hari makan mie instan terus, La. Setidaknya, kalau kita pulang, kamu bisa makan dengan layak."
"Aku lebih rela makan mie instan setiap hari tapi kita damai di sini, Mas. Kita bisa kok lewatin ini semua. Ini nggak akan lama, percaya sama aku, Mas. Aku akan terus minta sama Allah, biar Mas bisa cepet dapet kerjaan. Kerjaan yang bisa menghasilkan uang banyak." Laila tersenyum meski matanya berkaca-kaca.
Husen pun menatap dan menyentuh wajah Laila lalu berujar, "Jika dosaku terlalu banyak hingga Allah enggan mengabulkan doaku, maka aku akan minta sama Allah agar mau mengabulkan doa istriku ini. Doa istri yang sangat berbakti pada suami."
Laila tak kuasa lagi menahan tangisnya, ia pun memeluk Husen. Husen membalas pelukan Laila, mengecup puncak kepala istrinya itu lalu berkata, "Maafkan aku, La. Maaf belum bisa kasih nafkah yang layak buat kamu.
"Demi Allah aku ridho, Mas. Aku ridho berapa pun nafkah yang Mas kasih."
Bersambung ….
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
