
Dewangga Arjuna. Nama yang dulu selalu Zale puja-puja. Lelaki yang begitu Zale cintai, nyatanya kini berubah menjadi sosok yang begitu ia benci. Zale harus keguguran, karena Dewa lebih mementingkan Nala, mantan kekasih Dewa yang sedang sakit.
"Istrimu itu aku atau Nala sih, Wa?" Sering Zale tanya begitu pada Dewa, karena ia merasa bahwa Dewa jauh lebih mementingkan Nala hanya karena wanita itu ibu dari anak Dewa.
Bagian 1
🍁🍁🍁
Seharian ini Zale merasa benar-benar tidak beruntung. Saat dia melangkah masuk ke kamar mandi, kakinya tergelincir di lantai yang licin. Begitu tubuhnya jatuh, rasa sakit tiba-tiba melanda ke seluruh tubuhnya. Namun, ketika Zale melihat ke bawah, dia meringis dalam ketakutan. Darah mengalir keluar dari organ kewanitaannya, menciptakan tanda merah yang mencolok di lantai putih dan roknya. Pikirannya langsung berlari ke janin yang sedang dikandung.
Dengan gemetar, Zale berdiri dan berusaha menguatkan diri. Dia merasa begitu panik. Air mata mulai mengalir di pipinya saat dia mencoba menghubungi suaminya.
🍁🍁🍁
Sementara itu di tempat lain, Dewa yang melihat layar ponselnya menyala di meja samping ranjang, justru membalikkan ponsel. Ia memilih mengabaikan sejenak panggilan dari Zale. Ia duduk di sebelah tempat tidur Nala dengan perasaan cemas, menunggu dengan penuh kegelisahan. Nala, mantan kekasihnya itu kini sedang demam tinggi dan membutuhkan perhatian dan perawatan yang ekstra. Dewa sangat khawatir tentang kondisi Nala dan berusaha melakukan yang terbaik untuk membantu.
Dengan lembut, Dewa menyuapi Nala dengan bubur hangat yang telah dia persiapkan, memastikan agar Nala mendapatkan nutrisi yang cukup untuk membantu tubuh wanita itu melawan demam. Dewa melihat mata Nala yang lelah dan perasaan sayang yang tak terucapkan tumbuh dalam dirinya.
Setelah memberikan makanan, Dewa memberikan obat yang telah diresepkan oleh dokter kepada Nala, berharap itu dapat membantu menurunkan suhu tubuh wanita itu. Dia menjaga suhu ruangan tetap nyaman dan memastikan Nala terbungkus dengan selimut hangat. Dewa duduk di samping tempat tidur, memegang tangan Nala dengan lembut, memberikan kehangatan dan kenyamanan kepada orang yang pernah memiliki tempat istimewa di hatinya.
"Jangan pergi," gumam Nala dengan suara parau dan mata terpejam. "Tolong jangan pergi."
"Tenanglah, Nala." Dewa semakin erat menggenggam tangan Nala, menatap tak tega mantan kekasih yang tak lain ibu dari anaknya. Rasa bersalah masih mengungkungnya hingga kini, karena kebodohannya, ia tak tahu jika dulu Nala mengandung anaknya.
Dewa melihat ekspresi tenang yang terpancar dari wajah Nala ketika lelap akhirnya terbawa oleh obat dan kelelahan. Dia berdoa dalam hati, berharap agar Nala segera pulih dan kembali menjadi yang dulu. Dewa berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia akan selalu ada untuk Nala, dalam sukacita maupun duka.
🍁🍁🍁
Zale gelisah memegang ponselnya dengan kedua tangan gemetar. Ia sudah mencoba menghubungi Dewa berkali-kali namun panggilan tersebut tidak pernah diangkat. Keadaan tersebut memancing emosinya semakin naik, membuat hatinya semakin panas.
"Lagi di mana kamu sih, Wa!" gumam Zale dengan suara gemetar. Ia merasa khawatir dan panik, tidak tahu harus berbuat apa. Darah yang memenuhi roknya dan berceceran di lantai membuatnya semakin takut. Ia sungguh takut kehilangan janinnya. Calon anak yang sudah satu tahun ia harapkan.
Tanpa berpikir panjang, Zale mengambil napas dalam-dalam dan mencoba menghubungi Gibran, sepupunya Dewa. Ia tahu Gibran adalah orang yang bisa dia andalkan dalam situasi seperti ini. Instingnya memberi sinyal bahwa saat-saat genting ini membutuhkan bantuan yang segera.
Dengan jari yang gemetar, Zale menekan nomor telepon Gibran dan menunggu dengan ketegangan yang merambat di tubuhnya. Percakapan berlangsung singkat, namun Zale berhasil menyampaikan pesan paniknya kepada Gibran.
"Gibran, Tolong aku! Aku mohon tolong," ucap Zale dengan suara bergetar.
Mendengar situasi yang mendesak, Gibran langsung merespons dengan cepat dan berjanji akan segera datang membantu Zale. Nada suara Gibran penuh kekhawatiran dan kepanikan, membuat Zale merasa sedikit tenang, karena ada seseorang yang peduli dengannya.
🍁🍁🍁
Zale tidak bisa menahan emosinya dan histeris di ruang rawat. Tubuhnya gemetar dan tangisannya menggema di ruangan. Ia tidak bisa mempercayai bahwa hal ini sedang terjadi padanya. Rasa sakit dan kehilangan yang mendalam menerpanya, membuatnya histeris dan terus menangis seolah-olah dunia akan runtuh di depan matanya.
Gibran yang ada di sana merasa tak tega melihat Zale dalam keadaan seperti itu. Ia mencoba menenangkan Zale dengan suara lembutnya dan mencoba menghalangi tangisannya dengan pelukan hangat. "Tenang, Za. Tenang."
Tetapi Zale tidak bisa berhenti menangis. Rasa bersalah dan penyesalan merayap perlahan ke dalam pikirannya. Perasaan takut dan sedih menyelimuti Zale. Ia ingin tahu apa yang bisa ia lakukan untuk mencegah keguguran ini. Ia merasa bahwa ia telah gagal sebagai seorang ibu. Ia merasa dirinya sangat bodoh karena tidak berhati-hati.
Saat ini, suasana di ruang rawat Zale sudah tenang. Setelah melewati prosedur medis yang melelahkan, akhirnya Zale berhasil tertidur meski masih ada sisa air mata yang mengalir. Di sampingnya, Gibran duduk dengan rasa lega setelah melihat keadaan Zale yang kini sudah lebih baik.
Namun, ketenangan itu seketika terganggu saat ponsel Gibran tiba-tiba berdering dengan keras. Merasa khawatir, ia segera mengambilnya dan melihat nama "Dewa" terpampang di layar. Tanpa berpikir panjang, Gibran segera mengangkat panggilan itu dan berjalan keluar ruangan.
“Halo.”
“Zale ada sama lo?” tanya Dewa langsung tanpa basa-basi.
“Kenapa lo tanya kayak gitu?”
“Gue telpon Zale berkali-kali nggak diangkat.”
“Lo belum pulang?”
“Belum. Tapi kayaknya Zale nggak di rumah.”
Gibran mendengkus kasar. “Mending lo pulang aja dulu biar tau apa yang terjadi.”
“Emang kenapa sama Zale?”
“Lo nggak ada rencana balik apa gimana sih? Di mana lo sekarang? Di rumah Nala?”
“Nala lagi sakit—”
“Sakit?” tukas Gibran. “Sepeduli itu lo sama Nala. Kalau gitu mending lo nikahin Nala aja sekarang, ceraiin Zale. Zale berhak bahagia!”
“Gi, gue tau lo suka sama Zale, tapi jangan sampai sebegininya sampe berharap banget gue cerai dari Zale.”
“Sakit ya lo, Wa! Gue harap lo akan nyesel seumur hidup. Laki-laki bego kayak lo nggak berhak bahagia.”
Sebelum Dewa menyahut lagi, Gibran lebih dulu mematikan sambungan teleponnya. Ia mengepalkan tangannya dan rasa ingin meninju wajah Dewa benar-benar kuat, tapi saat ini ia harus fokus pada Zale. Ia menarik napas panjang dan mengembuskan perlahan lalu kembali masuk ke ruangan.
“Loh, Za?” Gibran melangkah cepat saat melihat Zale membuka mata. “Kenapa? Ada yang sakit? Atau mau ke kamar mandi? Haus? Apa bilang aja.”
Kedua mata Zale justru merebak menatapnya. Wanita itu tersenyum lalu terkekeh bersamaan air mata yang mulai terjatuh. “Aku bingung. Suami aku itu Dewa atau kamu sih, Gi?"
Gibran terdiam, ia menarik kursi, duduk lalu menggenggam tangan Zale. “Jangan banyak pikiran dulu, Za, biar cepet pulih, nggak suka bau rumah sakit kan kamu?”
“Kamu malah jauh lebih tau tentang aku dibanding Dewa.” Zale terkekeh lagi sembari mengusap wajahnya yang basah. “Tadi Dewa telpon kamu?”
“Iya.”
“Kamu kasih tau tentang aku?”
“Nggak.” Gibran menghela napas. “Kamu mau aku kasih tau dia?”
Zale menggeleng. “Jangan. Dia lagi sibuk ngurusin Nala yang lagi sakit.”
Gibran diam menatap lekat Zale. Ia terkadang tak paham dengan pemikiran Zale yang bisa-bisanya mengizinkan suami pergi menemui wanita lain, bahkan wanita itu adalah mantan Dewa.
“Tadi siang Dewa minta izin buat ke rumah Nala, katanya Nala sakit,” imbuh Zale dengan senyum tipis. “Aku izinin asal jangan lama-lama, eh pas aku butuh, dia malah nggak ada.”
“Mau sampai kapan, Za?”
Zaale menatap Gibran dengan kedua alis terangkat.
“Mau sampai kapan kamu kayak gini?”
“Sampai hari ini.” Zale tersenyum dan menghela napas panjang. “Saat dokter bilang anakku udah nggak ada, saat itulah aku berhenti. Aku nggak mau lagi sama Dewa. Nggak mau lagi.” Zale tertunduk dan kembali sesenggukan. “Nggak apa-apa kan, Gi, kalau aku nyerah? Rasanya aku udah nggak kuat. Sakit banget rasanya. Sakit.”
“Pergi, Za. Kamu berhak bahagia.”
💔💔💔
Bagian 2
Kita Bercerai Saja
🍁🍁🍁
Jam delapan malam yang tenang hanya terisi dengan keraguan dan kegelisahan dalam diri Dewa. Ia menatap ponselnya, teleponnya tak juga diangkat oleh Zale. Tadinya ia menghubungi Gibran karena ingin tahu apakah Zale sedang bersama lelaki itu atau tidak. Tapi ia justru emosi karena jawaban Gibran. Tapi ia juga jadi cemas dengan Zale, apalagi kata-kata Gibran yang seolah-olah tengah terjadi sesuatu pada istrinya itu.
Dewa merasa bersalah tak bisa memberikan perhatian yang cukup pada Zale, padahal istrinya itu tengah hamil lima minggu. Kehamilan yang selama setahun sangat dinantikan. Namun, di tengah kegelisahannya, Dewa juga tak bisa mengabaikan keberadaan Nala yang memang sedang sakit. Pagi tadi, anak kandungnya bersama Nala yang kini berusia sembilan tahun, menghu menelponnya. "Om, Mama sakit."
Hanya satu kalimat yang membuat Dewa bergegas ke rumah Nala. Tapi tentu ia izin lebih dulu pada Zale. Bukan, tapi lebih tepatnya memberitahu, karena walau Zale tak mengizinkan ia akan tetap ke rumah Nala apalagi anaknya yang meminta.
"Dewa ….”
Dewa terperanjat dan menoleh. “Loh, La?” Ia berjalan mendekati Nala yang berdiri di ambang pintu. “Kok keluar, dingin di sini.”
“Kamu kalau mau pulang, pulang aja, Wa.” Nala tersenyum dengan sorot mata sayu.
“Kamu gimana?”
“Aku nggak apa-apa. Anak-anak juga udah tidur.”
“Iya. Sana pulang, kasihan istri kamu nungguin.”
“Ya udah aku balik kalau gitu. Kamu langsung tidur ya, kalau ada apa-apa hubungi aku aja.”
Nala mengangguk lemah, membuat Dewa tak tega meninggalkan sebenarnya, tapi ia juga tak bisa bermalam di sini. Dewa mengucap salam, dan bergegas berjalan menuju mobilnya. Namun, baru saja ia menyalakan mesin, Nala tiba-tiba merintih kesakitan sambil memegang perut.
Dewa terkejut dan khawatir melihat kondisi Nala. Ia bergegas turun mendekati wanita itu dan bertanya dengan penuh kekhawatiran, "Nala, kenapa?”
Nala hanya bisa menatap Dewa dengan wajah yang penuh rasa sakit. Ia mencoba membuka mulutnya untuk berkata-kata, tetapi tidak ada kata-kata yang keluar. Dewa merasa semakin cemas melihat Nala seperti ini.
Tanpa ragu lagi, Dewa segera mengurungkan niatnya untuk pulang. Ia memutuskan untuk tetap berada di sisi Nala dan menemani wanita itu hingga kondisinya membaik. Ia membantu Nala berjalan dan menuju kamar.
Dewa mengambil langkah-langkah kecil untuk membantu Nala sampai ke tempat tidur. Ia menepuk-nepuk punggung Nala dengan lembut, mencoba meredakan rasa sakit yang dirasakan wanita itu.
Dewa duduk di samping tempat tidur Nala dan tetap berjaga di sisinya. Ia memperhatikan setiap gerakan Nala dan mencoba meredakan ketidaknyamanan yang dirasakan wanita itu. Ia tidak ingin meninggalkan Nala dalam keadaan seperti ini.
“Mau minum?” Dewa menawarkan. “Atau aku bikinin susu aja ya?”
“Nggak mau. Eneg. Nggak apa-apa, nanti juga reda sendiri.”
“Jadwal menstruasi kamu ya?”
Wajah Nala bersemu. “Kamu inget?”
“Inget. Kamu selalu kayak gini pas lagi mau datang bulan. Berubah jadi manja banget.”
Nala hanya tersenyum, membuat Dewa menggelengkan kepala mengenyahkan kenangan masa lalu. Tak seharusnya ia begini, ia sudah punya istri dan hubungannya dengan Nala hanya sebatas karena ada anak di antara mereka.
Waktu terus berlalu, dan akhirnya rasa sakit yang dirasakan oleh Nala mulai mereda. Nala akhirnya bisa melepaskan rasa sakit yang sejak tadi ia tahan. Namun, ia masih merasa lelah dan lemah.
Dewa terus mengawasi Nala dengan penuh perhatian. Ia membawa segelas air hangat untuk Nala dan membiarkan wanita itu minum sedikit demi sedikit. Nala merasakan kenyamanan yang diberikan oleh Dewa, dan seperti ada kehangatan yang menjalar ke seluruh tubuhnya.
Akhirnya, setelah Nala minum dan merasa cukup kuat, wanita itu memejamkan mata dan tertidur dengan tenang. Dewa mengamati wanita itu dengan penuh perasaan lega. Ia tahu bahwa Nala sedang membutuhkan istirahat yang nyenyak.
Dewa terus duduk di samping tempat tidur Nala sambil memegangi tangan wanita itu. Hingga sekitar jam sebelas malam, ia baru memutuskan pulang. Lagi, ia menghubungi nomor Zale tapi tak diangkat. Rasa khawatir kini justru berpindah pada istrinya. Di mana Zale sebenarnya? Dan apakah Zale marah?
Begitu Dewa sampai rumahnya, ia terkejut melihat rumahnya gelap gulita, tidak ada cahaya yang menyinari halaman. Terasa aneh karena biasanya istrinya selalu menyalakan lampu untuk menyambut kedatangannya. Dewa pun memutuskan untuk memeriksa keadaan dan membuka pintu rumahnya perlahan setelah menyalakan lampu teras. Saat pintu terbuka, dia langsung merasa ada yang tidak beres. Suasana rumah terasa hening dan aneh.
"Sayang!" panggil Dewa sembari berjalan menuju lantai atas. "Za, kamu di rumah nggak?"
Tidak ada sahutan sama sekali. Dewa berjalan menuju kamar sambil terus memanggil, ia berharap menemui Zale di sana. Namun, setelah lampu menyala, apa yang ditemukannya malah membuatnya terkejut dan ketakutan. Lantai kamar penuh dengan darah yang sudah hampir mengering. Nadi Dewa berdetak kencang dan panik mulai merasuki dirinya.
"Zale!" teriak Dewa berjalan cepat menuju kamar mandi mengikut bercak darah tersebut.
Dewa merasa hatinya berdegup kencang dan kepanikan pun mulai menghujani dirinya. Ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tubuhnya kian gemegar, apalagi melihat banyaknya darah yang ada di kamar mandi, pikirannya langsung menuju ke arah yang tak ingin ia bayangkan.
Tanpa berpikir panjang, Dewa segera mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dia mencari-cari Zale di setiap sudut rumah, memeriksa semua ruangan, tetapi tidak menemukan jejak keberadaannya. Semua terasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung berakhir.
Dalam kepanikan yang semakin memuncak, Dewa mencoba menghubungi Zale melalui telepon. Namun, panggilan itu tidak diangkat. Ketidakpastian semakin menjalar dalam pikirannya, membuatnya semakin gelisah dan khawatir. Apa yang telah terjadi pada Zale? Apakah dia baik-baik saja?
Dewa akhirnya menghubungi Gibran, tapi beberapa kali panggilan tak dijawab juga. Ia mengetik pesan dengan tangan gemetar, menanyakan keberadaan istrinya pada Gibran karena lelaki itu pasti tahu.
Dewa bingung, karena pesannya pun tidak dibaca. Akhirnya ia telepon lagi dan lagi hingga akhirnya diangkat. Tak butuh basa-basi, Dewa langsung menyerbu dengan pertanyaan, "Di mana Zale?! Ada apa sama Zale? Dia kenapa? Jawab, Gi!"
"Dewa …."
Tubuh Dewa menegang mendengar suara Zale, tapi kemudian ia merasakan kelegaan. "Sayang, kamu di mana sekarang? Apa yang terjadi?"
"Kita bercerai saja ya, Wa."
Deg!
Bersambung ….
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
