PEREMPUAN PEMELUK LUKA (BAB 1 - 2)

8
2
Deskripsi

Selama hampir tujuh tahun lamanya, Marwah memeluk lukanya sendiri, rela dimadu demi anak-anaknya hidup tercukupi dan masa depan cerah. Ia telah membu-nuh perasaannya sendiri pada suami agar bisa tetap bertahan pada pernikahan yang terus menerus menggoreskan luka. Namun, ketika anaknya tumbuh besar dan tahu jika papanya punya istri lain selain mamanya, anak itu meminta Marwah bercerai saja dan mencari bahagia dengan cara lain.

Akankah Marwah bisa membawakan kebahagiaan pada kedua anaknya?

PEREMPUAN PEMELUK LUKA
Bagian 1
Bercerai Saja, Ma

🍁🍁🍁

Terik mentari siang hari ini membuat Marwah beberapa kali menarik napas panjang, lalu sesekali berteduh di bawah pohon untuk meneguk air putih dari botol. Lauk-pauk yang dijualnya masih sisa beberapa bungkus lagi, dan ia masih ingin keliling untuk menawarkan dagangannya. Melangkahlah wanita berusia 39 tahun itu menyusuri pinggir jalan. Dari rumah ke rumah menawarkan dagangan.

Seorang kakek naik sepeda berhenti tepat di sampingnya, bertanya, “Ada lauk apa saja, Nak?”

Marwah tersenyum dan menjawab, “Ada soto ayam, perkedel, orek tempe, dan sambal ati ampela. Bapak mau yang mana?”

“Perkedel sama soto ayam saja yang empuk biar istriku mau makan, kebetulan lagi sakit.”

Hati Marwah terenyuh bahkan ia tak tega menerima lembaran uang dari si kakek penjual balon ini. Matanya bahkan berkaca-kaca karena sesak di dada oleh rasa haru. Ingin sekali ia bertanya pada kakek ini apa yang membuat pernikahan bisa bertahan hingga sama-sama renta. Sedangkan dirinya, gagal dalam mempertahankan rumah tangga, dan baru tiga bulan lalu resmi bercerai.

Jam tiga sore akhirnya dagangannya hanya tersisa satu bungkus sambal ati ampela. Biarlah dimakan anak-anaknya nanti malam. Sampai di rumah, ia heran karena kedua anaknya belum juga pulang. Ia mencoba menghubungi satu persatu tapi tidak diangkat. Rasa khawatir kini menyelimuti, takut jika kejadian dua bulan lalu terulang lagi. Melvin, anak pertamanya yang berusia 17 tahun terlibat perkelahian hingga ia harus datang ke kantor polisi.

Marwah mencoba untuk tenang, dan memilih untuk mengambil wudhu dan sholat Ashar lebih dulu. Namun, baru saja ia memakai mukena, didengarnya ada suara mobil di depan gerbang rumahnya. Buru-buru ia keluar dan ternyata yang datang adalah mantan suaminya bersama Melvin. Ia bernapas lega tapi seketika membelalak saat Mahendra, mantan suaminya itu menarik kasar tangan Melvin.

“Ada apa ini, Mas?” Marwah berjalan cepat mendekat dan membuka gerbang. Tapi Mahendra menyeret tangan Melvin masuk lalu menyentak agar anak itu duduk di kursi depan rumah.

“Mas, kenapa?” Marwah bertanya lagi sembari menatap bingung.

Kedua mata Mahendra menatap nanar. “Kenapa kamu membiarkan anakmu kerja, Marwah?!”

Marwah mengerutkan dahi dan bergumam, “Kerja?” Kemudian ia menatap anaknya itu yang tertunduk dengan kedua tangan meremas ujung seragam.

“Apa uang bulanan yang aku kasih ke kamu itu kurang hah?!” sentak Mahendra lagi penuh emosi.

Marwah menggeleng. “Kerja apa, Mas? Aku nggak tau.”

“Kamu ibu macam apa, anak kerja jadi pelayan cafe pun kamu nggak tau! Kerjaan kamu di rumah ngapain? Kalau kamu nggak bisa ngurus anak, bilang, biar mereka ikut sama aku.”

“JANGAN BENTAK BENTAK MAMA!” Melvin berteriak marah dan berdiri. Wajah anak itu merah padam dengan sorot mata tajam. Kedua tangan terkepal dan dada kembang kempis penuh emosi.

Mahendra kini menatap Melvin dan berkata tegas. “Kalau besok Papa masih liat kamu kerja di cafe itu, Papa akan potong uang jajan kamu!”

“Potong aja! Ambil aja semua uangnya aku nggak butuh uang dari Papa!”

Seketika saja tangan Mahendra melayang pada wajah Melvin. Marwah tersentak dan langsung memeluk anaknya itu meski tingginya tak sepadan. “Kenapa harus mukul? Kalau mau mukul, pukul aku aja, jangan anakku!” sentaknya dengan suara bergetar dan air mata berjatuhan.

Mahendra pergi tanpa mengatakan apa pun sementara Melvin pun langsung masuk kamar dan menutup pintu dengan cara dibanting. Marwah mencoba memanggil, ingin melihat wajah bekas pukulan mantan suaminya tadi, tapi pintu dikunci.

“Melvin, Mama sholat dulu ya, nanti Mama kompres pipinya,” serunya masih dengan suara bergetar karena menahan tangis.

Marwah kembali mengambil wudhu dan segera ke ruangan sholat. Tergugu dirinya dari mulai takbir. Air mata berjatuhan tanpa bisa dibendung. Serapuh ini dirinya hanya karena tahu jika anak sulungnya bekerja. Sebagai ibu, ia merasa gagal karena tak sanggup mencukupi kebutuhan anak-anaknya. Uang yang diberikan oleh Mahendra, hanya cukup untuk biaya sekolah dan uang saku mereka. Sementara kebutuhan sehari-hari, ia tetap harus mencari sendiri karena kini ia bukan lagi tanggung jawab lelaki itu.

Seusai salam, Melvin memeluknya dari belakang dan berkata, “Kenapa nggak nunggu Melvin sholatnya?”

Marwah membalikkan badan dan memindai wajah anak sulungnya itu demi melihat sisi wajah bekas pukulan Mahendra. “Mama kompres ya?”

“Nggak usah, Ma. Nggak sakit kok. Tenang aja.”

Air mata Marwah terus saja tumpah sekeras apa pun ia mencoba menahannya. Ia tak ingin terlihat lemah di depan anaknya. Ia harus kuat agar anak-anaknya percaya untuk bisa bersandar di kedua bahu kecilnya.

“Melvin kenapa kerja? Melvin butuh uang?” tanyanya pelan agar anaknya itu mau berterus terang.

“Melvin cuma mau bantu Mama cari uang. Kita nggak bisa ngandelin Papa lagi. Melvin nggak mau.”

“Nak, Mama seneng Melvin bantu Mama cari uang. Tapi belum waktunya. Melvin bahkan belum genap 17 tahun. Belum punya ktp. Melvin sekolah aja yang bener ya, itu sudah cukup bikin Mama seneng.”

Melvin diam saja, tak menjawab tapi justru bilang, “Melvin laper, Ma.”

“Iya. Mama siapin makan. Kamu mandi, terus holat dulu ya.”

Melvin mengangguk. “Mario tadi katanya mau main futsal sama temen-temennya, Ma.”

Mario adalah anak keduanya yang berusia 14 tahun, dan ia bernapas lega karena sudah tahu keberadaan anaknya itu. Ia kemudian bergegas melepas mukena dan pergi ke dapur menyiapkan makan.

Ada banyak hal yang kini berkeliaran di kepalanya. Antara jujur mengatakan pada mantan suaminya tentang uang yang diberikan kurang, atau ia harus mencari pekerjaan tambahan agar Melvin berhenti kerja. Ia pun tidak tega melihat anaknya yang masih di bawah umur ikut banting tulang. Anak-anak masih tanggung jawabnya, meski sebagai ibu ia kerap kali merasa gagal karena tak bisa diandalkan. Inilah penyebab dirinya bertahan dimadu selama hampir tujuh tahun. Demi anak-anaknya bisa hidup dan sekolah dengan layak. Ia bertekad untuk membu-nuh perasaannya pada Mahendra demi bisa melihat masa depan anak-anaknya cerah. Tapi Melvin yang tumbuh semakin besar itu akhirnya sadar dan tahu semuanya tentang Mahendra yang memiliki istri selain dirinya.

Malam itu, dengan mata berkaca-kaca, Melvin meminta, “Mama cerai saja dari Papa.”

Marwah terkejut dengan permintaan anaknya itu. Saat ia tanya alasannya, Melvin menjawab dengan mata berkilat penuh amarah. “Melvin nggak ngizinin Papa terus terusan nyakitin Mama. Bercerai dari Papa saja, Ma. Melvin dan Mario akan ikut Mama.”

Malam itu, Marwah menangis haru memeluk anaknya. Selama hampir tujuh tahun ia memeluk lukanya sendiri. Menutupinya seorang diri demi melihat anak-anaknya hidup tercukupi. Namun, kini anaknya justru menawarkan untuk mencari bahagia dengan cara lain.

Malam itu, Marwah pun mengabulkan permintaan anaknya.

🔥🔥🔥

Bagian 2
Kemana Uang Les?

***

Gemetar tangan Mahendra setelah menampar keras wajah anaknya. Emosi membuatnya kalap dan tak bisa menahan diri. Harga dirinya sebagai lelaki dan seorang ayah seperti diinjak-injak oleh anak sendiri, dan sama sekali tak dihormati. Ia kalut, hingga saat melihat tangis Marwah yang berusaha melindungi tubuh anaknya, Mahendra merasakan sesak yang luar biasa. Ia pergi begitu saja akhirnya.

Satu jam lalu, Mahendra diajak ngopi oleh rekan kerjanya sembari membicarakan cabang toko kue baru di Bandung nanti. Betapa terkejutnya ia ketika melihat putra sulungnya memakai seragam pelayan sedang membawa nampan berisi kopi dan cemilan ke pelanggan. Tanpa pikir panjang ia langsung menghampiri anaknya itu dan menarik lengan dengan tanya, “Sedang apa kamu di sini, Melvin?!”

Wajah Melvin terlihat kaget tapi kemudian menarik tangan dan berjalan begitu saja. Tentu saja Mahendra mengejar dan lagi-lagi menarik tangan Melvin. “Papa tanya sedang apa kamu di sini?!” Suaranya menciptakan perhatian dari semua orang di cafe, dan beberapa pelayan lain. Tapi Mahendra tak peduli ia tetap menyeret tangan Melvin untuk keluar.

Saat sudah di luar, Mahendra menatap nanar dan sekali lagi bertanya, “Kamu kerja di sini? Uang jajan yang Papa kasih emangnya kurang? Atau kamu disuruh mamamu buat bantu kerja? Bilang?!”

“Jangan nyalahin Mama!” Melvin membalas dengan bentakan yang sama. Selalu seperti itu sejak dulu jika ia sedang bertengkar dengan Marwah, Melvin akan membela bahkan tak segan untuk meninggikan suara. Mahendra seperti bercermin, melihat dirinya sendiri dalam versi muda.

“Sekarang masuk kamu. Pulang!” Mahendra menyeret tangan Melvin menuju mobil, tapi anak itu memberontak.

“Aku bisa sendiri!” sentak anak itu, lalu berjalan masuk ke cafe lagi. Mahendra mengejar dan menarik tangan Melvin tapi anak itu menyentak. “Aku cuma mau ngambil tas!”

Lihatlah anak yang dibesarkan selama ini, kini justru menjadi lawannya seolah-olah ia adalah musuh yang sangat membahayakan. Padahal dulu, ia termasuk yang sangat dekat dengan Melvin, karena anak itu sering masuk tiga besar di kelas. Nilai ulangannya tak pernah jelek. Ia kerap membanggakan Melvin di depan rekan-rekan kerja dan dengan bangga sekali mengatakan, “Melvin inilah yang akan menjadi penerusku nantinya.”

Tapi lihatlah sekarang. Anak itu justru seperti mengibarkan bendera perang seolah-olah dirinya adalah musuh yang harus dimusnahkan. Tak ada lagi rasa hormat, yang ada hanya tatapan penuh kebencian. Entah sejak kapan Melvin berubah seperti itu, tapi ia seperti tidak terima dan marah pada Marwah. Mungkin wanita itu yang membuat anak-anak akhirnya menilai dirinya sebagai tokoh antagonis di sini.

Namun, bukankah memang demikian?

Mahendra menghentikan mobil di tepi jalan dan mencoba untuk menenangkan diri lebih dulu sebelum sampai ke rumah. Rumahnya bersama Safira, istrinya. Wanita berparas ayu yang berhasil memantik rasa cintanya yang padam. Tujuh tahun lalu, ia menikahi Safira secara sah. Wanita itu yang meminta agar tidak terjadi zina. Dirinya yang sedang terlena oleh cinta semu wanita itu pun menuruti. Toh laki-laki boleh menikah lebih dari satu.

Dulu, saat Marwah tahu dirinya menikah lagi, wanita itu mengamuk, murka hingga semua barang-barang di kamar dilempar berserakan. Selama menikahi Marwah, baru saat itu ia melihat wanita itu marah sebesar itu. Sosok wanita lembut dan penurut seperti memudar. Ia tahu jika memang salahnya, hingga akhirnya ia hanya diam menerima amukan. Setelahnya, rumah tangganya dengan Marwah seperti kapal di tengah lautan yang kemasukan air, semakin hari kian tenggelam. Dirinya yang lelah dengan sikap dingin marwah, hanya bisa mengadu pada Safira yang seperti obat penenang baginya.

Pada akhirnya, Marwah menerima meski sikap wanita itu semakin dingin dan tak acuh. Hingga Mahendra tahu jika Marwah bertahan hanyalah demi anak-anak. Ia bisa saja melepaskan Marwah, tapi hati kecilnya seperti tak rela. Cintanya pada Marwah masih tetap ada, tersimpan di sudut paling kecil di hatinya, meski ruangan lainnya dihuni oleh wanita baru yaitu Safira. Wanita yang usianya sebelas tahun lebih muda darinya.

Tak pernah disangka-sangka oleh Mahendra, ketika sudah tujuh tahun berlalu, Marwah menggugat cerai dan kedua anaknya memilih ikut dengan Marwah. Awalnya Mahendra tak terima tapi Marwah bersikeras tetap ingin berpisah. Apalagi Safira pun mendukung dengan mengatakan, “Kalau Mbak Marwah minta cerai ya udah kabulin aja, Mas. Toh masih ada aku yang jadi istri kamu. Kamu hanya kehilangan satu istri yang selama ini memang sudah tak menghargai kamu sebagai suami kan?”

Mahendra menyangka jika setelah perpisahannya dengan Marwah akan terasa biasa saja. Toh ia masih punya Safira, dan juga anaknya bernama Syakila, enam tahun usianya. Hidupnya akan berjalan seperti biasa. Lagipula ia masih bisa menemui Melvin dan Mario kapan pun ia mau, karena Marwah memang tak pernah melarang. Namun ternyata, ada sisi hatinya yang seperti kosong. Rumah yang dulu ditempati oleh Marwah dan kedua anaknya itu kini ditempati oleh Safira dan Syakila. Sementara Marwah, memilih tinggal ngontrak di rumah yang sederhana. Menolak saat diminta tinggal di apartemen bekas Safira. Bahkan saat ia menawarkan akan membelikan apartemen baru, Marwah tetap menolak.

Tiga bulan berlalu setelah perceraian, tapi dirinya seperti kehilangan sebagian jiwanya. Ia sendiri tak mengerti dengan semua yang terjadi, terutama rasa penyesalan yang semakin hari seperti menggerogoti hati. Ia merindukan Marwah dan kedua jagoannya. Rindu tapi gengsi untuk ia ungkapkan, hingga yang keluar hanya amarah sebagai pelampiasan.

Mahendra menarik napas panjang dan mulai melajukan mobilnya lagi untuk segera pulang, sementara urusan dengan temannya ia batalkan. Sesampainya di rumah berlantai dua tersebut, gerbang dibuka oleh asisten rumah. Ia turun dari mobil, dan segera masuk. Ia ingin mandi untuk mendinginkan kepalanya yang terasa panas.

“Mas,” panggil Safira yang berada di sofa ruang tengah sedang menonton tivi. “Kok udah pulang, tumben?”

“Udah nggak ada kerjaan.” Mahendra berjalan ke tangga untuk menuju lantai dua tapi Safira kembali memanggil.

“Kila tadi aku daftarin les musik. Nggak apa-apa kan kalau nambah biaya les?”

Mahendra mengangguk dan kembali berjalan. Ia sama sekali tidak melarang Safira untuk mengeluarkan uang demi pendidikan anak. Termasuk Melvin dan Mario yang punya jadwal les juga. Dari mulai matematika, bahasa Inggris, pendidikan agama, renang, dan basket. Namun, ia terkejut saat tahu jika Melvin bukannya les, tapi malah bekerja. Apa sebenarnya yang anak itu cari, sedangkan uang sudah ia beri.

Sampai di kamar, ia memilih menghubungi Mario, anak kedua. Ia ingin memastikan jika anak itu tidak bekerja juga seperti Melvin. Beberapa kali telepon tidak diangkat, akhirnya ia mengirimkan pesan menanyakan keberadaan.

'Main futsal.'

Mahendra bernapas lega, karena setidaknya anak itu tidak ikut bekerja. Tapi, bukankah hari ini adalah jadwal les bahasa Inggris?

'Kenapa main futsal? Les bahasa Inggris udah selesai?'

'Les? Bukannya Papa sendiri yang udah nggak mau bayar semua les? Ngapain sekarang malah nanya.'

Mahendra tertegun dengan jawaban anaknya. Apa maksudnya? Kemana uang les yang diberikannya? Marwah menggunakan dan mengorbankan les anak-anak?

Bersambung ….

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya PEREMPUAN PEMELUK LUKA (BAB 3, 4, 5)
3
1
Selama hampir tujuh tahun lamanya, Marwah memeluk lukanya sendiri, rela dimadu demi anak-anaknya hidup tercukupi dan masa depan cerah. Ia telah membu-nuh perasaannya sendiri pada suami agar bisa tetap bertahan pada pernikahan yang terus menerus menggoreskan luka. Namun, ketika anaknya tumbuh besar dan tahu jika papanya punya istri lain selain mamanya, anak itu meminta Marwah bercerai saja dan mencari bahagia dengan cara lain.Akankah Marwah bisa membawakan kebahagiaan pada kedua anaknya?
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan