HAURA (Catatan Kelam Pendosa) season 2 - Bab 1, 2, 3

0
0
Deskripsi

"Sebenarnya mau kau apa?!" geram Haura sambil melangkah mundur, tetap hati-hati dengan tangan merambat di pohon-pohon yang hampir berdempetan.

"Mengulang malam itu."

Haura mengernyitkan dahi. Mencoba menerka-nerka tapi sama sekali tidak menemukan jawaban.

"Mungkin kau harus diingatkan lebih dulu baru tahu siapa aku." Lelaki itu melangkah mendekat. Tersenyum puas di balik maskernya melihat wajah ketakutan Haura.

Haura masih terus mundur, sesekali menoleh ke belakang mencari celah untuk kembali berlari....

Bagian 1
Kembalinya Kenzie

***

Dokter di ruangan VVIP itu memeriksa pemindai medis yang melilit tubuh pasien. Pasien pemilik bisnis besar yang tengah meraksasa. Ken's Donuts. Dokter itu mencatat sesuatu. Memastikan semuanya baik-baik saja. Menoleh pada rekan kerjanya. Rekannya mengangguk pendek. Dokter itu melipat catatan kemudian keluar ruangan.

Dua lelaki di luar ruangan berdiri bersamaan. Bertanya. Dokter mengatakan bahwa pasien semakin membaik. Progres yang menarik, setelah hampir tiga hari melewati masa kritis. Setelah sembilan hari tak sadarkan diri. Benar-benar kejutan. Berharap esok atau secepatnya, pasien akan segera siuman.

Raga membiarkan Kenzie berjalan lebih dulu setelah dua dokter itu pergi. Kenzie masuk ruangan di mana Haura dirawat. Sudah terbiasa. Terbiasa dengan mengalah. Selama seminggu ini, Kenzie yang lebih dominan menemani Haura. Raga hanya menggantikan saat Kenzie ada keperluan.

Raga menarik napas panjang. Tertawa miris menertawakan diri sendiri yang harus pura-pura biasa saja walau sejujurnya hati begitu terluka. Luka sebab lelaki yang dicintai Haura sesungguhnya kini kembali.

Haruskah ia akan ikhlas melepaskan wanita yang sangat dicintainya?

***

Hujan tengah mengguyur bumi malam ini. Tidak deras. Tapi kilat di langit berkali-kali bersahutan. Angin pun bertiup kencang. Daun-daun berjatuhan. Kendaraan jarang berlalu-lalang. Orang-orang kota sepertinya lebih memilih diam di rumah bergulung selimut dibanding berada di luar.

Seorang gadis justru berdiri di pertigaan jalan, membiarkan dirinya diguyur hujan. Tatapannya lurus ke depan. Menatap lelaki berpayung hitam berdiri di seberang. Langkahnya pelan berjalan dengan dada berdebar dan tubuh gemetar.

Lelaki itu pun mulai melangkah pelan. Tatapannya juga tak lepas pada gadis yang semakin dekat terlihat, tengah menahan tangisan. Semakin dekat, dekat, dan dekat.

Kini mereka berdiri berhadapan dan saling bertatapan. Gadis itu semakin gemetar mengulurkan tangan menyentuh wajah lelaki itu dan menyebut lirih, "Mas Ken?"

"Ya, Haura?"

Bibir Haura bergetar. Menggeleng lemah dan air mata yang tertahan akhirnya terjatuh. Tangannya menyentuh pipi Kenzie. Merabanya. Kembali menyentuh dengan kedua tangan.

"Mas Ken?" tanyanya lagi meyakinkan.

"Ya. Ini aku, Haura."

"Sungguh?"

Kenzie mengangguk.

Pecah sudah tangis Haura. Tanpa menunggu lagi langsung memeluk lelaki yang selama ini ia rindukan.

"Mas Ken jangan pergi."

"Mas Ken …."

"Haura!"

"Mas Ken jangan pergi."

"Haura! Ini aku di sini. Aku di sini, Haura. Buka mata kamu."

Raga yang baru saja membuka pintu ruangan, membelalak tak percaya. Haura sadar? Ia ingin keluar lagi untuk memanggil dokter, tapi terhenti saat melihat Haura membuka mata. Tak perlu berpikir dua kali untuk Raga berlari mendekati.

"Haura!" Raga berseru. Memegang tangan kiri Haura, menciumnya. "Kamu sadar, Sayang?"

Haura masih mencoba mencerna apa yang terjadi dan di mana sekarang ini. Bukankah tadi ia kehujanan dan memeluk Mas Ken?

Mas Ken?

Haura menoleh ke kanan saat namanya dipanggil oleh suara yang tidak asing. Haura mengerutkan dahi, menatap wajah lelaki yang memiliki garis wajah sama dengan Mas Ken.

Mas Ken?

"Ini aku, Haura. Ini aku." Ucapan lelaki ini membuat Haura membuka mulut dan tangannya terulur menyentuh wajah itu.

Kenzie menangkap tangan Haura yang berada di pipinya. Tersenyum dengan mata berkaca-kaca.

"Mas Ken?" serak suara Haura bertanya.

Kenzie mengangguk antusias. "Iya!"

"Ini bukan mimpi?" Mata Haura pun mulai memanas seiring dada yang berdebar kencang.

Kenzie menggeleng dan ia pun menyentuh wajah Haura. "Bukan. Ini bukan mimpi. Ini nyata."

Seolah-olah masih tak percaya dengan apa yang dilihat dan didengar, Haura berusaha bangun. Kenzie membantu dan bertanya, "Kamu mau apa? Hm?"

Setelah duduk, Haura bertanya dengan suara serak penuh luka. "Boleh aku peluk?"

"Kenapa harus tanya?" Bukan Haura yang memeluk, tapi Kenzie yang lebih dulu membawa Haura dalam pelukan.

"Kamu bebas meluk aku, Haura. Bebas."

"Mas Ken jangan pergi."

"Maaf."

Tangis keduanya pecah. Mereka saling memeluk melepas kerinduan. Rindu yang selama sepuluh tahun dipendam begitu dalam. Mencoba melupakan tapi nyatanya rasa rindu itu semakin kuat. Kini pecah sudah segalanya. Sakit, luka, rindu, terlepas semua. Mencair segala beban di dada.

Raga tersenyum miris. Menarik napas panjang untuk memberikan ruang di dadanya yang begitu sesak terasa. Langkahnya pelan mundur. Mundur dari ruangan, juga mundur dari perasaan.

"Kenapa Mas Ken jahat!" Haura memukul lemah lengan Kenzie. "Kenapa Mas Ken pergi!"

"Maaf. Maaf. Maaf."

"Aku benci Mas Ken. Aku benci!" isaknya dan kini mencengkeram kaus Kenzie.

"Maaf."

"Aku nyari Mas Ken ke mana-mana selama ini. Aku terus mencari walau semua orang bilang Mas Ken sudah mati. Aku terus berharap Mas Ken kembali."

"Maaf …."

Haura merenggangkan pelukan. Mengusap mata dan wajah yang basah dengan kasar. Menatap lekat wajah di hadapan. Wajah lelah dengan mata memerah. Tangan Haura terulur menyentuh kembali wajah Kenzie.

"Mas Ken ke mana aja? Kenapa pergi begitu lama? Aku udah punya rumah sendiri sekarang. Rumahnya besar. Jauh lebih besar dari rumah yang dulu kita tinggali. Nanti Mas Ken nggak perlu lagi tidur di alas tipis. Tidur di lantai. Nanti Mas Ken bisa tidur di ranjang besar. Yang nyaman. Mas Ken juga nggak perlu kerja kasar lagi nanti. Aku udah punya …."

Haura teringat sesuatu. "Nama perusahaanku Mas Ken tau apa? Aku kasih nama Ken's Donuts. Aku kasih nama Mas Ken. Supaya semua orang tahu siapa Mas Ken. Betapa hebatnya Mas Ken. Keren kan?"

Kenzie mengangguk sambil mengusap kasar matanya. Sesak di dada sialan sekali membuat air mata terus berjatuhan. Sedangkan ia tak ingin terlihat lemah dengan menangis di hadapan Haura.

"Aku tau semuanya, Haura. Aku tau kamu hebat! Sangat hebat!" Kenzie kembali memeluk Haura dan menciumi puncak kepalanya. "Kamu tetap yang terhebat. Tetap adikku yang paling aku sayang."

"Mas Ken jangan pergi." Lagi, Haura terisak meminta.

"Nggak akan. Aku nggak akan pergi-pergi lagi."

"Aku sayang Mas Ken."

"Tidak ada yang bisa menandingi rasa sayangku ke kamu, Haura. Kamu tau itu."

Raga mendengkus kasar. Apa katanya? Tidak ada yang bisa menandingi rasa sayangnya Kenzie ke Haura? Lalu dirinya? Selama sepuluh tahun menemani Haura. Walau ditolak berkali-kali tapi tetap berusaha menunjukkan cintanya, disebut apa?

Raga memilih keluar sekarang juga daripada melihat kemesraan Haura dan Kenzie. Terlalu menyakitkan. Siapa yang tak cemburu melihat gadisnya berpelukan dan sayang-sayangan dengan lelaki lain?

Setelah menutup pintu kembali, Raga menyandarkan tubuh di dinding dan memejamkan mata. Menikmati luka.

"Den …."

Suara lembut dan juga sentuhan di lengan Raga, membuat Raga membuka mata. Menoleh dan tersenyum pada wanita paruh baya. Pengasuhnya sejak ia kecil dulu.

"Aku nggak apa-apa, Mbok." Raga masih tersenyum, tangannya menyentuh tangan Simbok.

"Ikhlas, Den?" Mata tua itu berkaca-kaca seolah-olah paham bagaimana perasaan Raga.

Raga tak kuasa lagi menahannya. Di depan Simbok, ia berani menunjukkan kelemahannya. Air matanya terjatuh walau ia usap dengan cepat.

"Haura kembali, Mbok. Haura telah kembali." Raga berucap dengan senyum penuh luka ia tunjukkan.

Haura telah kembali. Kembali menjadi sosok Haura yang sesungguhnya. Mungkin, hanya Kenzie obat dari segala luka yang Haura derita selama ini.

Raga tertawa.

Ikhlas itu tidak ada. Yang ada hanya terpaksa menerima dan pada akhirnya terbiasa dengan luka.

🍁🍁🍁

Bagian 2

Aku Pasrahkan Jiwa dan Ragaku Padamu

❣❣❣

Diiringi suara gemericik hujan, malam ini Haura menghentakkan tubuh Raga pada sofa panjang. Laksana pemabuk yang menginginkan kehangatan dari sebotol minuman. Kembali Haura berikan hangat dengan cara mendekat tanpa sekat. Tangan Raga memeluk tubuh Haura erat. Menyambut sentuhan bibir Haura yang kemudian Raga sesap dengan nikmat.

Haura serupa kaca yang hancur berantakan. Lalu Raga hadir menyusun kembali kepingan demi kepingan. Tak acuh dengan jemarinya yang tergores oleh serpihan kaca, hingga membuat darah mengalir tanpa jeda. Merangkai lagi dan lagi menjadi kaca yang tak ternilai harganya.

Tangan Haura bermain di dada Raga, membuka satu persatu kancing kemeja. Sementara Raga mengecupi setiap inci belakang telinga. Saat Haura menyentuh kulit dada Raga, lelaki itu menarik tubuh Haura dan membanting dengan lembut di sofa. Kemeja basah itu terlepas, dibuang sembarangan.

Hilang sudah segala gelisah, digantikan dengan suara penuh gairah. Haura membiarkan Raga menikmati apa yang seharusnya sejak dulu disuguhkan. Sebagai ganti seluruh cinta yang lelaki itu berikan. Meskipun itu tak sebanding dengan seluruh pengorbanan yang Raga lakukan.

Haura merasakan jemari Raga menggelitik perut, serupa candu yang gadis itu rindu. Sementara bibir Raga masih bermain di ceruk leher Haura. Namun, sayup terdengar Raga berucap, "Tolong hentikan aku, Haura."

Mata Haura yang tadinya terpejam menikmati setiap sentuhan Raga, kini terbuka. "Lakukan apa pun yang kamu inginkan, Kak," balasnya berbisik yang kemudian mengecup telinga Raga.

"Hentikan aku, Haura. Kumohon." Suara Raga serak seolah-olah menahan gairah yang membuncah.

Haura menyeringai tipis, memahami diri Raga yang tak pernah mau menyentuh wanitanya terlalu dalam sebelum halal. Haura tertawa. Menertawakan lelucon tentang bercinta yang seharusnya dilakukan setelah pernikahan.

"Haura …." Suara Raga semakin menyiratkan permohonan, kala lelaki itu mulai turun mengecupi sesuatu yang tak pernah ingin disentuhnya.

"Berhenti!" perintah Raga.

Suara deru napas yang memburu terdengar bersahutan. Buru-buru Raga menarik diri dari tubuh Haura. Duduk di pinggiran sofa dengan memejamkan mata. Mengusap wajah hingga rambutnya sedikit kasar. Menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan.

"Terima kasih," ucap Raga masih mencoba mengendalikan diri.

Haura bangkit dan duduk. Memandang wajah Raga yang masih berusaha menahan diri agar tak lagi menyentuhnya. Haura mencoba menyelami sorot mata yang selalu memancarkan cinta. Memasuki dunia lelakinya. Dunia yang tak pernah Haura jelajahi, karena matanya tertutup oleh kebencian dan dendam yang mendalam.

Sudah seharusnya Haura membuka hati, untuk lelaki yang mencintainya setengah mati.

Tangan Haura kembali menyentuh dada Raga. Perlahan, hingga membuat Raga membuka mata. Namun Haura justru tersenyum dan menyandarkan kepala di dada itu.

"Kamu membuatku gila, Haura!" desis Raga yang masih berusaha keras menahan diri untuk tak menyentuh wanitanya lagi.

Haura tersenyum lebar. Satu hal yang Haura kagumi dari Raga. Seingin apa pun lelaki itu menyentuh dan menikmati tubuhnya, tetap saja akan menyuruh Haura menghentikan. Tak ingin memasuki sesuatu yang tak seharusnya diterobos sebelum waktunya.

"Kita harus segera menikah," bisik Raga sambil mengecup puncak kepala Haura.

Haura menyeringai tipis. Pernikahan adalah hal yang sama sekali tak pernah Haura pikirkan. Mengingat bagaimana hancurnya ia sebab keegoisan orangtua hingga menyebabkan dirinya terlunta-lunta. Namun, terkadang, ia juga menginginkan sebuah keluarga seperti pada umumnya. Menikah, memiliki anak, hidup bahagia.

Bahagia?

Bisakah ia bahagia dengan menikah?

"Kapan kamu siap?" tanya Raga lagi.

"Kapan pun kamu mau, Kak. Aku pasrah."

Sejujurnya, Haura tak tahu langkah apa yang tepat untuk kedepannya. Ia sudah tak memiliki tujuan lagi. Tujuan hidupnya adalah membalas dendam atas kematian Kenzie.

Namun, kini semuanya telah berakhir. Telah usai! Ia benar-benar ingin melupakan semua kepahitan masa lalu. Masa kelamnya ingin sekali ia hapus bersih. Dan sekarang, ia menggantungkan hidupnya pada Raga. Sepenuhnya. Apa pun keputusan Raga, Haura pasrah saja.

"Besok balik ke Jakarta mau? Aku kenalin ke Mama. Kebetulan Mama lagi ada di Jakarta."

Mamanya Raga?

Haura terdiam seketika. Teringat bagaimana dulu ia beradu argumen pada mamanya Raga. Bahkan dengan lantang bahwa Haura tak butuh restu dari perempuan itu. Mungkinkah ….

"Aku nggak yakin, kalau mamanya Kak Raga bakal suka sama aku."

"Mama emang keras kepala, tapi percayalah. Dia baik aslinya. Mungkin karena kalian belum saling kenal aja."

"Kuharap begitu," jawab Haura dan merapatkan pelukan sambil memejamkan mata. "Aku ngantuk, Kak," ujarnya kemudian.

"Mandi dulu gih, ganti baju. Masuk angin nanti kamu."

Haura merenggangkan pelukannya. "Tapi aku juga laper," ungkapnya sambil memasang wajah memelas.

"Aku tau." Raga menyentuh dagu Haura. "Kamu mandi. Aku masakin sesuatu buat kamu. Oke?"

"Siap!"

***

Haura keluar kamar sudah mengenakan piyama warna putih motif bunga, sambil menggosok rambutnya yang basah dengan handuk, ia mendekati Raga yang sibuk di dapur. Tanpa pikir panjang, Haura memeluk Raga dari belakang.

"Jadi baper aku, kamu peluk peluk gini," ucap Raga sambil menahan senyum. Sedangkan tangannya sibuk menggoreng nugget.

"Kan aku udah jadi calon istrinya Kak Raga. Masa masih baper?" Haura dengan santai meletakkan dagu di bahu Raga.

"Justru itu. Karena masih calon. Udah jadi istri, dari tadi kamu kumakan."

Haura terkekeh pelan. "Padahal aku pasrah. Kenapa nggak dimakan aja tadi?"

Setelah mengangkat nugget yang matang, dan mematikan kompor, Raga membalikkan badan. Menangkup kedua pipi Haura. Tersenyum dan mengatakan, "Kamu berlian bagiku. Dan aku nggak mau membuat berlian itu jadi nggak berharga hanya karena keegoisanku. Aku hanya akan menyentuhmu, ketika kamu sudah menjadi istriku."

"Kalau begitu, nikahi aku secepatnya."

"Pasti, Bi, pasti!"

"Makasih."

"Apa pun untukmu, Bi."

"Maksudnya, makasih udah dimasakin!" Haura menjulurkan lidah lalu mencomot nugget dan duduk di kursi. Di meja sudah ada mie goreng dalam piring besar. Haura mencium aromanya dan tersenyum lebar.

Raga tertawa. Mendekat dan mencubit pipi Haura. Yang dicubit mengerucutkan bibir, membuat Raga semakin ingin menggoda.

"Kak, aku laper!" Haura protes.

"Iya, Sayang. Mau makan sendiri atau disuapin?"

"Makan sendiri aja. Kak Raga pasti juga laper, kan?"

"Makasih pengertiannya." Raga mengusap rambut Haura, kemudian ikut duduk setelah mengambil piring.

"Kak …." Haura memanggil pelan di sela makan.

"Ya?"

"Setelah nikah, kita tinggal di sini aja, ya?"

"Kenapa?"

"Aku nggak mau di Jakarta lagi."

Raga tersenyum dan mengusap pipi Haura. "Apa pun yang membuatmu bahagia."

Haura tersenyum dan menyentuh tangan Raga yang berada di pipinya. Menatap lekat dengan tatapan penuh rasa … entah! Haura sulit mengartikan perasaannya. Benarkah ia telah mencintai Raga?

"Terimakasih," ucap lirih Haura. "Makasih udah jadi lelaki yang begitu menyayangiku. Makasih udah selalu ada untukku selama ini. Makasih karena udah menemaniku di saat-saat terpurukku. Makasih karena selalu memastikan kebahagiaanku. Sekarang, giliranku yang memberikan kebahagiaan untukmu, Kak. Aku pasrahkan jiwa dan ragaku padamu."

Raga tersenyum dengan mata berkaca-kaca ia hanya bisa mengatakan bahwa dirinya sangat mencintai Haura. Cinta yang teramat besar, hingga membuat Haura takut.

Takut jika suatu saat akan menyakitinya.

🍁🍁🍁

Bagian 3

Double Six Beach, Seminyak, Kuta Bali

***

Bagi Raga, tak ada yang lebih membahagiakan selain mendapatkan yang selama ini diimpikan. Lebih dari sepuluh tahun, ia berjuang untuk mendapatkan hati dan diri Haura. Kini akhirnya gadis itu ada dalam dekapannya. Memasrahkan diri pada Raga.

Sudah dari jam tujuh pagi Raga bangun. Mandi dan membuat sarapan. Kemudian membawanya ke kamar Haura. Kini, ia duduk di pinggir ranjang sambil memotret wajah Haura yang masih terlelap.

Raga tersenyum menatap hasil fotonya di kamera. Tak lama lagi, wajah yang sejak dulu ia kagumi, akan menjadi bagian dari hidupnya. Akan bisa ia lihat setiap paginya. Sepanjang hari dan sesuka hati.

Teringat saat masih duduk di bangku sekolah dulu. Saat ia bermain basket, tanpa sengaja tatapannya bertemu pada salah satu gadis yang menontonnya. Gadis itu menyesap es dalam gelas plastik. Padahal, gadis itu diam saja, tak seantusias gadis lainnya. Hanya saja, wajah ayunya mengalihkan perhatian Raga. Ia terpesona pada tatapan pertama.

Jika gadis-gadis lain mencoba mendekatinya, Haura berbeda. Gadis itu selalu menolak ketika Raga mencoba mendekati. Membuat Raga semakin gencar ingin meraihnya. Membeli cokelat atau novel dan meletakkan di meja Haura sebelum gadis itu datang.

Raga pun ingat ketika dirinya ulang tahun dan meminta Haura menemani makan dan jalan-jalan ke pantai. Gadis itu mulai luluh, hanya saja, tak mendapat izin dari abangnya.

Kenzie.

Entah mengapa, Raga selalu sakit hati pada lelaki itu semenjak tahu bahwa Kenzie bukanlah kakak kandung Haura. Sikap berlebihan lelaki itu menunjukkan bahwa dia punya rasa. Rasa lebih dari sekedar adik dan kakak. Lalu sikap Haura yang terlihat menyayangi Kenzie, pun membuat Raga selalu cemburu.

Terlebih lagi, ketika Haura harus mengalami depresi berat karena kematian Kenzie. Raga tak tega, tapi juga terluka. Terluka karena Haura selalu menangisi kematian Kenzie. Membuat gadis itu dendam pada semua orang yang menyakitinya.

Apalah daya, perasaan Raga begitu kuat pada Haura. Persetan dengan semua masa kelam Haura. Bagi Raga, gadis itu tetaplah berharga. Secinta itu ia pada Haura. Tak pernah berubah, bahkan semakin menggila setiap harinya. Meskipun ia kerap dibuat kesal oleh sikap keras kepala Haura. Namun, cinta mengalahkan segalanya. Tak ada yang Raga inginkan sekarang selain membuat Haura bahagia.

Raga kembali mengangkat kamera, tapi Haura mengeliat, membuka mata dan menutup wajah dengan tangan.

"Apaan sih, Kak!" protesnya.

Raga tertawa, tetap jahil memotretnya.

"Kak Raga!" Haura memalingkan wajah, membelakangi Raga.

Raga masih tertawa, tapi kemudian meletakkan kamera di samping bantal. Bergerak menyentuh lengan Haura.

"Tuan Putri mau bangun jam berapa? Sarapan udah dingin lho."

"Masih ngantuk," jawab Haura masih memejamkan mata.

"Ngantuk mulu. Udah jam sepuluh nih."

"Lima menit lagi."

Raga terbahak, mendekap tubuh Haura dan mengecupi rambutnya. Haura protes dengan berdecak dan menggeliatkan badan.

"Bangun nggak heh bangun! Cium nih!"

"Kak Raga nyebelin banget sih!"

"Nyebelin tapi ngangenin kan?"

Kini Raga memainkan pipi Haura, mencubitnya.

"Kakkkk!" Haura menarik tangan Raga.

"Bangun, Sayang. Sarapan dulu."

"Males."

"Aku bikin salad buah nih, kamu suka kan?"

"Iya ntar."

"Sayang, nanti sore ke pantai yuk. Mau?"

Haura hanya menggumam. Namun seketika, Haura menjerit karena Raga menggelitik tubuhnya.

"Kak Ragaaa!"

***

Pantai, selalu memiliki kenyamanan tersendiri. Duduk dengan memandang air yang bergerak naik turun, serta orang-orang yang terlihat bahagia bersama pasangan, adalah hal yang menyenangkan.

Haura mengenakan celana kulot panjang warna putih dipadu dengan baju lengan pendek yang memiliki tali bagian perut, hingga memperlihatkan sedikit bagian perut Haura. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai, ditutup topi lebar warna senada.

Raga sibuk memotret, lebih tepatnya memotret Haura sejak tadi. Sudah banyak pose yang Haura lakukan, Raga bersemangat sekali memotretnya. Mungkin karena biasanya Haura tidak terlalu suka berpose di depan kamera, tapi kini dia dengan senang hati ketika Raga menyuruhnya menjadi modelnya.

"Cantik banget calon istriku," ucap Raga ketika ia duduk di samping Haura sambil memandangi hasil foto.

Haura tersenyum. "Kita belum foto bareng," katanya.

"Nanti kita prewedding di Bali aja gimana?"

Haura terkekeh pelan. "Terserah kamu aja, Kak."

"Terserah mulu."

Haura menyandarkan kepala di lengan Raga. "Aku nurut aja sekarang gimana baiknya. Asal Kak Raga bahagia."

"Tapi, Bi, aku maunya kamu juga bahagia."

"Aku bahagia kalau Kaka Raga bahagia."

Raga mengulum senyum. "Ini seriusan apa modus nih?"

"Modus."

"Ohhh modus!"

Raga mulai menggelitik tubuh Haura. Haura menggeliat dan tertawa. Berdiri dan berlari ke arah air di pantai. Raga mengejar. Tertangkap. Mereka tertawa. Raga mengangkat tubuh Haura. Terjatuh. Haura menyipratkan air pada Raga. Dibalas sama. Tapi, Haura mengecup bibir Raga sekilas. Kecupan yang mampu membuat Raga terdiam. Haura tertawa dan kembali berlari.

"Haura, curang kamu ya!"

***

Matahari di kaki cakrawala itu mulai tenggelam digantikan gelapnya malam. Haura dan Raga sudah meninggalkan pantai Double Six Beach, Seminyak, Kuta Bali. Di dalam mobil, Raga menyetel lagu dari Alicya Keys yang berjudul 'If I Ain't Got You'.

Some people want it all

But I don’t want nothing at all

If it ain’t you, baby

If I ain’t got you, baby

Raga ikut menyanyikan dengan semangat, sambil melirik Haura. Mengedipkan mata dan tersenyum lebar. Pancaran bahagia itu nyata dari sorot mata lelaki itu. Kebahagiaan yang tak pernah Haura lihat sebelumnya. Sebahagia itukah Raga karena bisa mendapatkan Haura?

Some people want diamond rings

Some just want everything

But everything means nothing

If I ain’t got you, yeah

Kini Raga bahkan mengelus pipi Haura. Senyumnya terus mengembang. Melihat lelaki bak malaikat ini sebegitu bahagianya, tanpa terasa hati Haura juga merasakan kebahagiaan yang sama.

Haura merasa bodoh karena selama ini mengabaikan lelaki sebaik Raga. Memilih mengedepankan dendam dengan masa kelamnya. Memilih berlarut-larut pada kebencian yang justru melukai. Padahal bahagianya ada di depan mata. Hanya saja tertutup oleh dendam dan kebenciannya sendiri.

"Sayang mau makan apa? Jangan bilang terserah ya?" Raga bertanya setelah lagu berganti lagu lainnya.

"Aku nurut aja deh."

"Tuh kan?"

"Serius, Kak. Aku nggak ada ide mau makan apa. Aku ngikut aja."

"Oke, kalau gitu kita mampir di pasar malem gimana? Mau nggak makan di pinggiran, sekalian jalan-jalan."

"Pasar malem? Emang ada?"

"Lah nggak liat tadi pas kita berangkat, ada yang lagi masang-masang permainan buat pasar malam?"

Haura menggeleng.

"Oke!" Raga menjentikkan jari. "Kita ke sana. Nggak boleh protes, karena udah bilang ngikut."

Haura hanya tersenyum tipis, dan Raga kembali bernyanyi.

Ketika sampai di pasar malam, Haura seperti merasakan sesak di dada. Tangan Raga menggandeng tangan Haura, membawa masuk di sela-sela banyak orang. Haura memandangi sekitar. Melihat penjual harum manis, melihat wahana permainan, melihat penjual aksesoris rambut.

"Mau main nggak?" tanya Raga berbisik di telinga Haura.

Haura diam karena sedang mengingat sesuatu yang tak asing. Tanpa sadar menyentuh perutnya. Rasa sakitnya seperti nyata. Haura menggeleng mengingat mimpinya kala itu.

Di pantai Double Six Beach, Seminyak, Kuta Bali. Bersama Mas Ken. Kemudian mampir di karnaval pasar malam. Membeli harus manis. Menaiki beberapa wahana permainan. Lalu membeli bando. Kemudian, seseorang menusuk perut Haura. Darah di mana-mana.

"Sayang kenapa?" Raga menangkup wajah Haura yang terlihat gugup dan takut.

"Aku mau pulang aja, Kak. Pulang!"

"Kenapa?"

"Aku nggak mau di sini. Nggak!"

"Oke oke. Kita pulang, ya. Kita cari tempat makan lain, mau?"

Haura mengangguk. Raga merangkul bahu Haura dan membawanya keluar dari pasar malam.

Seseorang memakai hoodie hitam dengan penutup kepala, serta masker hitam menutup wajah itu, kembali menghantui pikiran Haura.

Seperti dendam pada Haura.

Siapa dia?

Bersambung….

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya HAURA (Catatan Kelam Pendosa) season 2 - Bab 4, 5, 6
0
0
Sebenarnya mau kau apa?! geram Haura sambil melangkah mundur, tetap hati-hati dengan tangan merambat di pohon-pohon yang hampir berdempetan.Mengulang malam itu.Haura mengernyitkan dahi. Mencoba menerka-nerka tapi sama sekali tidak menemukan jawaban.Mungkin kau harus diingatkan lebih dulu baru tahu siapa aku. Lelaki itu melangkah mendekat. Tersenyum puas di balik maskernya melihat wajah ketakutan Haura.Haura masih terus mundur, sesekali menoleh ke belakang mencari celah untuk kembali berlari.Kemarilah, Haura!Tidak! Masih terus hati-hati Haura mundur, tapi ranting pohon patah justru menggores lengannya. Haura memekik, reflek memegang lengannya yang kini mengeluarkan darah.Lelaki itu mendekat lebih cepat. Mengunci tubuh Haura dengan kedua tangannya. Haura memberontak, tapi tenaganya jelas kalah telak dengan lelaki itu.Petir di langit berkilatan. Memberi terang hutan yang mulai gelap karena sore segera menghilang digantikan malam.Hahaha ayolah, Haura! Lelaki itu mulai mencium rambut Haura dan turun ke leher.Siapa kau sebenarnya?! Di sela ia melawan, Haura masih bisa berteriak.Sudah kubilang, kita ulangi malam itu, maka kau akan ingat siapa aku.Jangan bertele-tele, Brengsek!Kau manis. Lelaki itu mulai menjilat leher Haura, membuat Haura memekik dan terus memberontak.Apa kau ingin aku bermain secara kasar? Lelaki itu mendorong secara kasar tubuh Haura hingga membentur tanah basah.Haura menggigit bibir karena sakit di tubuhnya. Belum sempat ia bangun, lelaki itu sudah lebih dulu menindihnya. Kembali beringas menciumi setiap inci leher Haura.Haura ingin sekali menangis kali ini. Ia sudah berjanji tidak akan memberikan tubuhnya untuk lelaki asing lagi. Tapi lagi-lagi takdir justru kembali menyeretnya menemui peristiwa yang tak diinginkan.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan