
"Jika menyakitiku bisa membuatmu sedikit meringankan luka di hatimu, maka lakukanlah, Abang. Ternyata rasanya jauh lebih menyakitkan melihatmu hancur seperti ini dibandingkan menghadapi sikap dinginmu padaku."
Tania selalu berusaha untuk mengerti keadaan Fawwaz. Ia selalu mengalah dan tak banyak menuntut. Tapi tetap saja, setahun menjalani pernikahan, Fawwaz tak bisa membuka hati untuknya. Hingga akhirnya kata cerai keluar dari bibir lelaki itu tepat saat Tania ingin memberikan kejutan test pack...
APA KABAR MANTAN SUAMIKU
Popy Novita
Jakarta, 2023
Apa kabar mantan suamiku? Tengah malam begini, aku tiba-tiba kepikiran kamu. Ah, bukan aku rindu, tapi cuma pengen ngasih tau sesuatu sama kamu. Anakmu hari ini ulang tahun ke tujuh lho. Dia tumbuh menjadi anak yang tampan, sehat, dan pintar. Oh tentunya juga tumbuh menjadi anak yang sangat baik dan bisa dibanggakan.
Nama anak kita Satria Arsenio, yang artinya satria gagah berani. Aku berharap dia menjadi anak yang berani menghadapi kejamnya dunia ini. Satria yang kuharap bisa menjaga dan melindungiku saat dia dewasa nanti.
Kamu nggak tau apa-apa tentang anakmu, kan? Maaf ya, aku nggak ngasih tau. Soalnya, dulu pas aku tau kalau aku hamil, kamu lebih dulu ngirim surat cerai buatku. Akhirnya aku memilih merahasiakan kehamilanku, dan setelah kita resmi bercerai, aku pun milih buat pergi jauh. Sejauh mungkin dari kamu.
Aku cuma nggak mau jadi penghalang kamu dan wanita yang kamu cintai itu. Aku bebasin kamu, biar kamu bahagia sama perempuan itu. Aku mah apa, cuma istri yang nggak pernah dianggap sama sekali. Di rumah udah kayak pajangan, diajak ngobrol nggak pernah, apalagi diajak mesra-mesraan. Bodohnya aku bertahan sama kamu lebih dari satu tahun.
Sekarang aku sudah lebih bahagia hidup berdua sama Satria. Nggak overthinking setiap hari mikirin kamu. Nggak lagi sibuk cari cara supaya kamu bisa cinta sama aku. Aku masih ingat, saat kamu marah-marah karena aku potong rambut mirip sama perempuan yang kamu cintai itu. Saat kamu maki-maki aku karena aku buka isi chat kamu dengan kekasihmu itu. Saat kamu bentak-bentak aku saat aku ngadu ke kakakmu tentang apa yang kamu lakukan padaku.
"Mau kamu tuh apa sih sebenernya? Mau apa dari aku? Nggak cukup nyiksa aku dengan pernikahan ini? Asal kamu tau, aku sudah punya pacar dan rencana menikah dengannya. Biar kamu tau sekalian. Semua rencanaku hancur karena dipaksa nikahin kamu! Sekarang, saat aku minta waktu buat bisa nerima kamu, kamu lapor ke Kak Fero. Kamu obrak-abrik privasiku. Nggak bisakah kamu kasih aku ruang buat bisa napas sebentar aja?!”
Duh bahkan kalimat ucapanmu pun aku masih ingat dengan jelas. Sakit banget rasanya, karena apa pun yang kulakukan tetap salah di mata kamu. Kamu nggak pernah sedikit pun mau lihat perjuanganku buat dapetin hati kamu. Hatimu benar-benar tertutup buatku, istrimu sendiri.
"Nggak usah berharap cinta dari aku. Dari awal kita nikah kamu juga udah tau kalau aku nggak cinta sama kamu. Tapi kamu tetep mau nerima perjodohan dari kakakku. Resiko buatmu."
Ah, ucapanmu itu masih teringat jelas di otakku. Suara datarmu dan ekspresi bencimu pun aku masih ingat. Sedalam itu luka yang kamu tancapkan di hatiku, sampai aku trauma buat jatuh cinta apalagi menikah lagi.
Satu hal yang kamu nggak tau, kenapa aku mau nikah sama kamu padahal tahu kalau kamu nggak cinta sama aku. Itu karena dulu sebelum ibumu meninggal, beliau menitipkan amanah buatku untuk mau menikah denganmu. Amanah yang tak pernah memberatkanku karena dari dulu aku memang sudah mengagumi sosok sepertimu.
Tapi sayang, sekeras apa pun usahaku membuatmu luluh, ternyata sia-sia, karena memang hanya aku yang berjuang. Pada akhirnya aku menyerah dan menerima keputusanmu buat berpisah.
Aku nggak pernah dendam sedikit pun sama kamu. Meski kalimat-kalimat ucapanmu yang menyakitkan itu seperti masih membekas di hatiku. Tapi percayalah aku tak pernah membencimu, justru kudoakan agar kamu bahagia selalu setelah aku pergi dari hidupmu.
Lagipula, harusnya aku berterima kasih sama kamu. Karena kamu, aku jadi punya Satria. Anak yang entah mengapa begitu mirip denganmu. Mata coklatnya, hidung mancungnya, alis tebalnya, bibirnya, semua menurun dari kamu. Nggak ada sedikit pun dariku yang ada pada tubuhnya. Tapi aku tetap bersyukur, dia tampan sepertimu.
Dulu sat usia Satria lima tahun, setiap sebelum tidur menanyakan dimana ayahnya. Aku bingung menjawabnya, jadi kubilang saja kalau ayahnya sudah di surga hahahaha kamu nggak tersinggung kan? Karena kuharap, kamu masih hidup dan bahagia, seperti yang kurasakan saat ini.
Meski aku nggak benci dan nggak dendam, aku masih sakit hati dengan satu ucapanmu setelah malam panas kita dulu. Padahal kamu yang memulai, dan aku tak pernah meminta apa lagi memaksa. Tapi kamu dengan entengnya bilang, "Jangan memancingku lagi. Dan jangan berpikir aku sudah cinta sama kamu hanya karena aku mau menyentuhmu."
Ya Tuhan, sakit sekali. Padahal aku sudah sangat bahagia malam itu, dimana setelah hampir satu tahun akhirnya kamu mau menyentuhku. Tapi ternyata, kamu tak menganggap malam itu adalah kebahagiaan, justru sebaliknya. Apalagi saat melihat sorot penyesalanmu setelah menyentuhku, rasanya aku nggak rela kamu tahu ada janin yang tumbuh di rahimku. Toh kamu tak menginginkannya.
Sebenarnya bisa saja aku membawa Satria ke Bandung, di rumahmu. Tapi, pasti kamu juga nggak akan percaya kalau Satria itu anakmu kan? Sudah bisa kutebak, jadi lebih baik aku tidak pernah memperkenalkannya sama kamu. Kasihan dia kalau sampai tidak diakui sama ayah kandungnya sendiri.
Sebenarnya aku kepikiran buat nikah lagi, supaya Satria merasakan punya sosok ayah. Tapi aku belum siap nikah lagi. Trauma yang kamu kasih masih membekas. Padahal udah lama berlalu. Tapi rasa sakitnya masih seperti baru mengalami. Jadi lebih baik aku sendiri saja, toh aku bisa menghidupi anakku tanpa bantuan laki-laki.
Terima kasih ya atas luka yang kamu kasih, karena sekarang aku jadi sosok perempuan yang jauh lebih kuat. Nggak cengeng lagi kayak dulu. Bahagia selalu buatmu, biar kepergianku nggak sia-sia. Tenang, aku nggak mengangap ini adalah pengorbanan, karena pada kenyataannya, kamu memang lebih bahagia tanpa adanya aku.
~ Mantan Istrimu ~
Tania tersenyum meski air matanya mengalir dengan derasnya. Ia menarik napas panjang, dan mengembuskan secara perlahan. Ia menutup bukunya setelah puas mengeluarkan isi hatinya lewat tulisan. Ia jarang melakukannya, hanya ketika hatinya benar-benar sesak. Seperti malam ini, setelah acara syukuran ulangtahun anaknya. Tiba-tiba saja ia teringat dengan mantan suaminya.
Tania memandangi wajah Satria yang sudah terlelap dengan dengkuran halus. Ia tersenyum, betapa Tuhan mahal adil. Saat dirinya tidak beruntung dalam pernikahan, ada sosok anak yang bisa menjadi penyemangat hidupnya. Anak laki-laki yang pasti bisa menjaganya kelak saat ia sudah renta.
Tak mengapa ia gagal dalam percintaan dan pernikahan. Asalkan ia berhasil mendidik dan membesarkan anaknya dengan baik.
Ponselnya berdenting. Tania mengusap air mata lalu melihat siapa yang mengirimkannya pesan selarut ini. Ia tersenyum, karena ternyata dari Adam.
'Mbak, aku udah sampai di Kalimantan.'
🍁🍁🍁
Bagian 2
Demam Tinggi
***
“Bunda … Bunda ….”
Tania membuka mata seketika dengan napas tersendat-sendat. Keringat dingin membasahi dahinya apalagi kipas angin memang tidak dinyalakan.
“Bunda mimpi buruk, ya?”
Tania menoleh dan mendapati putranya yang bernama Satria Arsenio tengah menatap penuh kekhawatiran. Ia lalu duduk dan tersenyum setelah mengusap wajah.
“Bunda lupa berdoa ya pasti sampai mimpi buruk begitu?” Satria kembali berkata sembari membantu mengusap keringat di leher Tania.
Tania tersenyum dan mengangguk lalu memeluk Satria. Seorang putra berusia tujuh tahun yang menjadi obat dari segala sakitnya. Bahkan saat ia mengalami mimpi buruk seperti sekarang, ada putra kecilnya yang bisa dipeluk agar ia kembali tenang.
Rasa syukur selalu ia panjatkan pada Tuhan karena telah memberinya kesempatan untuk hidup. Jika dulu dirinya mati tertabrak bus, mungkin saat ini ia tak akan merasakan bahagianya memiliki seorang putra yang sangat tampan dan cerdas.
Dulu, saat dirinya selangkah lagi akan menuju jalanan dimana bus akan melintas, tiba-tiba saja ada pengendara motor yang menyalip dan menyenggol bus. Di depan matanya sendiri ia melihat pengendara motor itu terseret sejauh lima meter. Entah apa yang terjadi selanjutnya karena seketika matanya pening dan ia merasa mual melihat darah berceceran di jalan.
Tania tersadar saat mencium aroma minyak kayu putih begitu menyengat. Ia membuka mata dan melihat ada banyak orang di hadapannya. Semua orang terlihat menghela napas lega dan bersyukur. Kemudian ada yang memberinya teh hangat dan ia meminumnya sampai tandas.
“Dah itu, Tong. Gua mau gawe lagi. Urus sendiri ya, coba beliin nasi bungkus siapa tau dia lapar.” Seorang wanita berbadan gemuk menepuk remaja tanggung di sebelahnya. Orang-orang yang lainnya pun satu persatu pergi.
“Mbak, mau saya beliin nasi bungkus?” tanya remaja tanggung itu.
Tania menggeleng dan bangun dari kursi kayu.
“Oh, mbak mau langsung pulang?”
Gerakan kaki Tania terhenti. Ia ingat sekarang bahwa sudah tidak punya siapa-siapa dan tidak punya apa-apa. Seketika ia mengutuk semesta mengapa membiarkannya hidup. Mengapa bukan dirinya saja yang terseret di jalanan dengan darah berceceran?!
“Apa mau saya anter pulang, Mbak? Saya hafal lho daerah sini.”
Tania menggeleng lalu beranjak dari kursi dan keluar dari depan ruko yang tutup tersebut.
“Mbak! Nanti kalau pingsan lagi gimana?”
Tania tak peduli dengan seruan remaja tanggung itu dan memilih terus melangkah.
“Seenggaknya ucapin makasih kek!”
Seketika langkah tania terhenti dan menoleh. Remaja tanggung itu terlihat gelagapan tapi tetap maju dan berkata, “Nemu orang baik di kota besar ini susah, Mbak. Seenggaknya kalo udah ditolongin itu ucapin makasih. Saya yang umurnya di bawah Mbak aja ngerti caranya bilang maaf, tolong, dan makasih.”
Tania terdiam, dan tentunya ia merasa bersalah. Dirinya pun tahu caranya mengucapkan maaf, tolong, dan terima kasih. Hanya saja saat ini pikirannya sedang kacau dan tidak ingin diganggu siapa pun.
Remaja tanggung itu berdecak dan memilih melangkah pergi. Tania mengejar dan meraih tangan remaja itu.
“Kenapa, Mbak?”
Tania mencari bolpoin dan buku yang selalu dibawanya dan ia letakkan di tas.
“Mbak saya harus kerja. Jangan buang-buang waktu saya. Mending mbak langsung ngomong aja deh mau apa biar cepet.”
Tania tetap menuliskan sesuatu di buku, lalu menunjukkan pada remaja itu.
“Maaf karena tidak sopan dan terima kasih sudah menolongku.” Remaja itu membaca tulisan Tania kemudian menatapnya dengan kerutan di dahi.
“Mbak nggak bisa ngomong?”
Tania mengangguk.
Seketika remaja itu tergagap. “Maaf ya, Mbak. Saya nggak tau soalnya.”
Tania tersenyum dan mengangguk mengerti.
“Mbak mau pulang? Mau saya anterin?”
Tania menulis lagi di kertas lalu menunjukkan pada remaja itu.
“Aku baru saja ditipu. Uangku dibawa kabur. Dan aku nggak punya tempat tinggal di sini.” Remaja itu membaca dan menatap Tania prihatin.
“Wah kok bisa, Mbak. Terus gimana sekarang?”
Tania menggeleng.
“Mbak sama sekali nggak ada uang?”
Tania membuka tas dan mengambil dompet. Ia menunjukkan pada remaja itu sisa uangnya yang tak seberapa.
“Itu cukup buat ngekost satu bulan sih. Saya bisa bantu cariin kost yang murah di daerah sini. Mbak mau?”
Tania mengangguk lalu menuliskan sesuatu lagi dan menunjukkan pada remaja itu.
“Terima kasih atas bantuannya. Namaku Tania. Siapa nama kamu?”
Remaja itu tersenyum dan menyebutkan namanya. “Namaku Adam, Mbak.”
***
Satria bangun dan mendapati bundanya menggigil. Tangannya menyentuh dahi Tania dan terkejut karena terasa panas. Ia berinisiatif mengambil baskom berisi air dan handuk kecil lalu mengompres seperti yang biasa Tania lakukan saat dirinya demam.
Samar-samar Tania membuka mata meski terasa berat, menggerakkan bibir menyuruh Satria bersiap untuk sekolah. Namun, Satria menggeleng dan menjawab, “Satria mau jaga Bunda aja hari ini. Satria nggak sekolah dulu ya, Bunda.”
Tania hanya tersenyum dan mengangguk samar kemudian memejamkan mata lagi. Sementara Satria mengambil ponsel Tania dan menghubungi Adam. Tak butuh waktu lama untuk sambungan telepon akhirnya terhubung.
“Assalamuallaikum, Satria.”
“Waalaikumussalam, Om Adam. Om, bunda badannya panas banget, terus juga menggigil. Satria bingung harus ngapain.”
“Udah dikompres kening Bunda?”
“Udah, Om. Bunda tadi nyuruh Satria sekolah tapi Satria nggak mau.”
“Satria bisa buatin Bunda teh hangat?”
“Bisa, Om.”
“Ya udah, sekarang Satria bikinin Bunda teh hangat dulu, nanti Om telpon Bidan Santi buat periksa Bunda, ya. Nanti Om juga bakal telepon Pak Rahman buat anterin bubur ayam buat Bunda sama Satria.”
“Iya, Om. Terima kasih.”
“Sama-sama, Satria. Satria jagain bunda ya, nggak apa-apa nggak sekolah sehari, besok pas berangkat biar bunda yang kasih tau Miss.”
“Iya, Om. Makasih ya. Sekarang Satria mau bikin teh dulu buat Bunda. Assalamualaikum, Om Adam.”
“Waalaikumussalam, Satria. Nanti Om telpon lagi ya.”
“Oke, Om.”
Sementara itu, di luar pulau Jawa tepatnya di Kalimantan, Adam langsung menghubungi tukang bubur ayam dan bidan yang biasa memeriksa saat Satria atau Tania ketika sakit.
"Udah kayak bapaknya aja kamu, Dam." Toni, rekan kerja Adam berkomentar ketika Adam selesai telepon.
Adam tersenyum. "Satria juga udah kuanggap kayak anakku sendiri, Bang."
"Halah ini mah si Adam yang emang ngarep emaknya Satria," sahut Riko, rekan kerja lain. Mereka masih ada di kontrakan karena memang masih jam enam pagi.
Adam hanya terkekeh. Tak mengelak, karena memang itu kenyataannya.
"Umur berapa emangnya ibunya Satria?" Toni kembali bertanya.
"Sekarang itu kalau nggak salah 29 tahun."
"Ah nggak terlalu jauh jaraknya sama kamu. Kamu 24 tahun kan?" Toni yang sedang fokus pada ponsel seketika menatap penuh tanya Adam.
"Iya, Bang. Selisih lima tahun sih." Adam menggaruk lehernya meski tidak gatal. Malu sendiri dia.
"Mantan suaminya Tania emang nggak pernah ada kabar?" tanya Riko kemudian.
"Nggak ada sama sekali. Aku kenal Mbak Tania pas baru hamil muda, dan selama itu nggak pernah tau tentang suaminya."
"Wah jangan-jangan—"
"Surat nikahnya ada kok, Bang," sahut Adam dengan cepat, tak rela jika Tania dicap buruk. "Aku pernah lihat surat cerainya waktu bantu pindahan."
Toni melempar bantal pada Riko. "Mikir apa kamu tuh!"
"Aelah, jangan-jangan mantan suaminya Tania tetanggaku gitu. Adam pernah cerita kan, kalau dulunya Tania juga tinggal di Bandung?"
Adam mengangguk. "Iya, kata Mbak Tania mantan suaminya orang Bandung."
"Wah siapa namanya? Bandungnya mana?"
"Nggak tau juga. Mbak Tania nggak mau ngasih tau. Katanya, itu masa lalu yang nggak harus diingat lagi, dia cuma pengen ngejalani hidup sekarang dengan tenang."
"Pengennya Tania apa pengenmu, Dam. Biar kamu nggak ada saingan buat dapetin Tania." Riko menggoda.
Adam hanya menggeleng dan tak menanggapi, karena nyatanya ia memang takut jika suatu saat Tania bertemu dengan si mantan suami. Bisa saja mereka kembali merajut asmara, apalagi ada Satria anak kandung mereka.
Bersambung ….
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
