
CHAPTER 1
Entah aku harus memulai dari mana untuk menceritakan kisahku kali ini. Kisah yang seharusnya aku simpan saja rapat-rapat, biar hanya menjadi sebuah kenangan yang menjadi penghiburan di saat aku lagi di landa kesuntukan berkepanjangan.
Atau, aku cukup menceritakan saja dengan mengalir begitu saja, kali ya? Biar kalian bisa paham dengan detail apa saja yang terjadi dalam hidupku ini.
Well…!
Mari kita memulai….
…
…
…
Setelah seminggu lebih aku berada di kota ini, untuk menyelesaikan beberapa proyek besar yang ku menangkan kala tender di lakukan oleh pihak pemberi proyek, aku merasa - jika sudah waktunya aku pulang ke rumah. Nanti mungkin aku bakal balik lagi ke sini. Setidaknya untuk memeriksa semua hasil yang di kerjakan oleh tim ku sejauh ini.
Selain rasa penat dan lelah berada selama 10 hari di sini, salah satunya juga aku merindukan putri semata wayangku, Fadillah Putri. Biasa aku memanggilnnya Dillah.
Fadillah putri. Nama depannya, adalah gabungan namaku dan nama almarhumah istriku.
Oh iya, namaku Farhan Putra Sadikin. Cukup panggil Farhan saja, tak perlu memanggil nama lengkapku. Sangat panjang kawan.
Intinya….
Aku merindukan putriku yang aku titipkan ke babbysitternya yang juga adalah tante mudaku, adik bungsu dari almarhumah mamah. Ya, aku hanya anak tunggal dan sudah menjadi yatim piatu. Bukan itu saja, statusku pun kini yang sebagai duda di tinggal mati istri telah ku jalani 3 tahunan lebih. Sedangkan Fadillah, putriku tercinta kini beranjak di usia 7 tahun, menjalani kesibukannya bermain dan menjadi siswi kelas 1 SD di salah satu sekolah negeri yang mumpuni.
Putriku orangnya periang, dan begitu menggemaskan. Bahkan, sampai sekarang, kadang aku tidak menyangka jika putriku semakin bertumbuh dewasa. Yang selalu ada di pandanganku, dia tetap anak perempuanku yang masih balita. Sifat manja dari ibunya pun menurun ke dalam dirinya. Bahkan, banyak kemiripannya. Kedua wanita yang hampir memiliki nama yang sama dan telah hadir di kehidupanku itu, hanyalah usia yang bisa membedakan mereka berdua.
Jadi seperti itulah backgorund kehidupanku yang bisa ku ceritakan pada kalian saat ini. Masih short sih, tapi seiring dengan berjalannya waktu, kalian pasti akan paham bagaimana keseluruhan lika-liku kehidupan sebagai duda yang ku jalani sampai sekarang ini.
Saat ini aku berada di kota Malang. Dan harus berkendara sendiri untuk pulang ke Denpasar. Sengaja aku menggunakan mobil saja, biar saat di Malang aku tak perlu mengeluarkan dana tambahan buat menyewa mobil untuk kebutuhan mobilitasku selama di sana.
Singkat cerita….
Aku pun mulai berkendara selama beberapa jam lamanya. Hingga aku telah berkendara sejauh ini. Seandainya saja aku berkendara di pagi atau sore hari, di saat melewati jalan ini, tentu keindahan yang diberikan oleh pantai Pasir Putih di Jalur Pantura Jawa Timur bakal mampu ku nikmati untuk sekedar memanjakan mata yang mulai menunjukkan kelemahannya. Baca - Ngantuk.
Pantai yang terletak di antara Kota Probolinggo dan Situbondo ini telah menjadi salah satu tujuan wisata di Provinsi Jawa Timur. Di sisi kiri dan kanan, jikalau matahari masih menerangi bumi ini, kalian tentu akan di tunjukkan beberapa tampilan rumah makan dan toko cindera mata di sepanjang jalan, bahkan mungkin saja dapat menjadi alternatif tempat beristirahat bagi para pelintas dari Jawa yang menuju ke Pulau Bali ataupun sebaliknya.
Tapi sepertinya aku tak akan mampir ke manapun. Karena aku sudah sangat merindukan putri kecilku yang mungkin sudah menunggu kepulangan papahnya di rumah. Sedikit menyesal sih, kenapa juga aku harus berkendara secapek ini? Kenapa aku tidak menggunakan pesawat terbang saja untuk pulang ke Denpasar? Dan meninggalkan Fortuner ku di Malang, menitipkan ke pimpinan proyekku? Karena sejujurnya pekerjaanku di sana belum selesai 100%.
Namun...
Memang, menyetir mobil juga adalah salah satu pelampiasan diriku. Entah itu untuk sekedar menghilangkan rasa jenuh ataupun menghilangkan rasa rinduku.
Apakah kalian tahu kawan? Tapi, sepertinya kalian memang tidak akan tahu jika diriku saja belum pernah menceritakannya. Hahaha. Sebab itulah rangkaian kata dan kalimat yang ku curahkan menjadi sepenggal cerita ini yang akan menjadi jawabannya.
Biar ku ceritakan. Dulu, aku dan mendiang istriku selalu berkendara entah itu sekedar pulang pergi bekerja ataupun bertamasya bersama di tempat kesukaan kita. Wanita yang sudah dari nol bersamaku menjalin rumah tangga itu, tidak pernah bisa lepas dari ingatanku begitu saja. Setiap kali aku menengok ke arah kiri tepat di sampingku ini. Bayang-bayang sosok bidadari cantik yang biasanya suka menyenderkan kepalanya di bahuku dan merangkul pergelangan tanganku itu sering muncul tiba-tiba. Tatkala menahan rasa rindu yang mendalam saat kenyataan memberitahuku jika itu semua adalah masa lalu.
Ikhlas? Mungkin diriku antara ikhlas dan tidak ikhlas. Karena, sampai kapanpun, mungkin tidak akan ada yang bisa menggantikan posisinya di hatiku. Itulah alasannya mengapa aku belum memikirkan untuk menikah untuk kedua kalinya.
Well… terlepas dari itu semua. Kini aku juga bingung sebenarnya, kenapa aku harus memaksakan diri untuk pulang sekarang ya? Kalau masalah hanya merindukan anak, kenapa aku tidak melakukan video call saja kayak biasanya ya?
Atau mungkin… ini sudah menjadi jalan takdir? Entahlah, aku bukan sang pencipta yang mengetahui segalanya. Yang kuketahui hanyalah, rasa rindu hanya bisa hilang saat bertemu.
Lets see….
Deru mesin Fortuner hitamku kian menggeram secara perlahan menembus sunyinya malam. Buat menjaga kestabilan kendaraan, apalagi kondisi mata yang sudah mulai menunjukkan kelemahannya, maka, aku memutuskan untuk menjaga kecepatan dengan konstan.
Samar di lautan, pendar lampu perahu para nelayan terlihat seperti kunang-kunang. Selalu ada doa dan harap yang memancar dari setiap perahu agar penguasa laut berbaik hati untuk memberikan berkahnya malam ini. Tangkapan ikan atau udang yang berlimpah tentu saja menjadi harapan bagi setiap nelayan yang tengah mengarungi lautan demi sesuap nasi untuk keluarganya.
Jujur… Mengemudi seorang diri tanpa adanya kawan yang menemani perjalanan pun memiliki tantangan. Kira-kira apa ya tantangannya? Diganggu setan? Ya tidaklah kawan. Melainkan selain menimbulkan sepi, rasa kantuk pun kerap menghampiri. Untuk menangkalnya aku mengambil sebatang rokok Djarum super kegemaranku dan menyalakannya.
AC mobil sengaja kumatikan, jendela mobil pun kubuka. Seketika semilir angin malam yang dingin menyergap kabin mobil, diimbuhi aroma laut yang khas langsung menggelitik indera penciuman. Segar rasanya. Kepulan asap rokok yang kuhembuskan, berpadu sempurna dengan irama deburan ombak yang berkejaran membelai pasir pantai. Sebuah kombinasi simfoni yang menentramkan jiwa.
Sekilas kulirik Jam digital di dashboard mobil, sudah menunjukkan pukul 21.30 WIB. Hampir 5 jam aku berkendara dari kota Malang.
Rasanya aku ingin melipir, tapi buat apa?
Kalo hanya mampir buat sekedar memulihkan sepasang mata ini, aku rasa masih belum saatnya sekarang. Pekatnya malam menuju Denpasar, kota tempat tinggalku saat ini semakin menimbulkan suasana yang kurang menyenangkan.
Lantunan vokal Sabrina Carpenter yang berkolaborasi dengan Farruko dan Alan Walker mengalun lembut dari sound system mobilku. Menemani perjalanan yang terasa makin sepi. Roda-roda mobilku terus menjejak aspal hitam jalur pantura melintasi Panarukan, ujung timur jalur legendaris yang dibangun oleh Gubernur Jenderal Kerajaan Belanda Herman Willem Daendels pada masa kolonial.
Kota Situbondo yang sepi telah terlewati. Mobilku mulai mendekati kawasan Taman Nasional Baluran atau dikenal sebagai Hutan Baluran. Aku melambatkan laju mobilku mencoba mencari teman konvoi menembus hutan di ujung Timur pulau jawa yang terkenal angker ini.
Entah kenapa malam ini arus lalu lintas menuju Banyuwangi cenderung lebih sepi, mungkin karena musim liburan telah usai.
Dua mobil kecil dan satu bis malam jurusan Denpasar - Jepara akhirnya menjadi teman konvoiku malam ini.
Kubiarkan bis besar berwarna putih dan kedua Avanza itu mendahuluiku. Mereka sebagai pembuka jalan, sedangkan aku memilih berada di urutan paling belakang, penutup konvoi kecil ini.
Aku yakin yang biasa melakukan perjalanan jauh di malam hari, akan sangat paham dengan segala bentuk komunikasi tanpa verbal yang para pengendara lakukan. Kami sama-sama memahami situasi malam itu. Gila aja melewati hutan lebat ini seorang diri. Walau aspalnya mulus, tapi penerangan jalannya sangat minim. Apalagi aku sedang mengemudi seorang diri.
Anjiir…. rada merinding juga sih!
Bukan merinding karena takut ada kuntilanak yang tiba-tiba nyebrang ya. Hahaha. Tapi, rumornya area sini memang kerap kali terjadi kecelakaan tunggal.
Begitu memasuki area Taman Nasional, Permainan lampu sein menjadi alat komunikasi untuk menggambarkan situasi yang terjadi di depan. Apakah ada hambatan atau mobil lain yang berpapasan. Bagi para pelintas yang kerap melakukan perjalanan keluar kota, sedikit banyak pasti memahami bentuk komunikasi jalanan ini.
Hampir separuh hutan kami lewati. Di suatu spot setelah tanjakan, konvoi kami dikejutkan sesuatu.
Apa itu….?
Aku masih belum dapat melihat jelas, apa penyebab para mobil di depanku melakukan manuver cepat ke arah sebelah kanan. Apakah ada pengendara lain yang jalannya lambat sangat?
Dan….
Jawaban itu lantas ku dapatkan di saat giliranku mulai melakukan manuver yang sama dengan pengendara sebelum-sebelumnya.
ASTAGAAAAAA….!
Sebuah motor butut, penerangannya minim sekali. Berjalan sangat lambat melewati hutan segelap ini?
Aku sampai merinding. Awalnya aku masih mempertahankan kecepatan, namun begitu mulai melewati pengendara motor butut yang minim penerangan motornya itu, secara spontan ku injak rem hingga menyebabkan laju kendaraanku terhenti seketika.
Pengendara motor itu….
Seorang wanita?
Berhijab dan mengenakan gamis putih….?
==========================
CHAPTER 2
Anjir….
Ini di tengah hutan kayak gini, kalau bukan dedemit menjelma sebagai wanita berkerudung, apakah mungkin dia adalah Sundel Bolong?
Ah. Sepertinya bukan.
Meski memang, aku mendadak merinding di saat melihat sosok berpasminah putih tersebut.
Sumpah….
MENGERIKAN….! benarkah dia manusia?
Apa jangan-jangan... dia adalah setan penunggu Hutan Baluran?
Hahaha... bodoh! Ya jelas saja, dia itu pasti manusia. Ckckck... Farhan... Farhan... gimana sih kamu ini? Efek belum minum kopi kali ya? Yang benar aja, masa iya sih ada setan naik motor butut, pakai helm pula di kepalanya? Tidak mungkin ada kan?
Tapi...
Ya, siapa juga sih yang bakalan tidak mengira kalau pengendara motor itu setan? Bagaimana tidak, lihat saja bentukannya. Pakaiannya serba berwarna putih dari atas sampai bawah. Motor bebek dari brand Honda yakni Supra Fit butut yang berwarna hitam pun nampak samar-samar dikarenakan minimnya pencahayaan di tengah hutan, yang dipenuhi dengan pohon-pohon kering dan bebatuan.
Dari kejauhan, mungkin orang yang melihatnya akan berprasangka jika yang mereka lihat adalah sesosok putih yang tengah duduk melayang di atas aspal. Hahaha…!
Tinnn…. Tinnnn… Tinnn….!
Anjir. Aku kaget. Sumpah…..!
Bagaimana tidak kaget, selain ini di tengah hutan. Sepi melempem, tiba-tiba saja semuanya mendadak berubah. Kebisingan yang aku dengar itu, berasal dari suara klakson motor.
Asli. Suara klakson tersebut membuat gendang telingaku bergetar karena suaranya yang sangat berisik.
ASTAGAAAA!!
Ternyata dan oh ternyata, yang menekan tombol klakson tidak lain adalah pengendara motor butut itu. Dia memang seorang wanita, tentu saja. Mana mungkin seorang pria mengenakan hijab malam-malam di hutan seperti ini? Iya kan? Lagipula, masa iya ada pria yang pakai hijab, kalau ada gila sih.
Kira-kira apa yang sedang ia lakukan sekarang? Pakai nanya! Ya jelas marah lah, bodoh!
Lihat saja, nampaknya ia tengah memberhentikan motornya juga. Tentu, wanita berhijab itu akan melakukannya. Karena itu juga kan gara-gara diriku yang sembrono, asal-asalan menginjak pedal rem mobilku tanpa berpikir dua kali. Tapi, ya namanya juga kaget. Tidak salah kan?
Karena kecerobohan diriku, pengendara motor butut itu jelas hampir menyerempet Fortuner hitam kesayanganku ini.
Heyheyhey! Mobil doang kok dipikirin? Kamu masih waras kan Han?
Yang harus kamu pikirin tuh, gimana kalau pengendara itu nabrak dan kenapa-kenapa gara-gara kecerobohanmu? Bisa ribet urusannya kan? Nyawa orang coy! Orang!
Sudahlah...
Sudah...
Berdebat dengan diri sendiri hanya akan membuang banyak waktu dan pengendara itu semakin kesal akan kelakuanku. Itu sebabnya, diriku memutuskan untuk langsung menjalankan mobilku kembali. Bukan untuk kabur, melainkan diriku hanya ingin menepikan mobilku di pinggir jalan. Walaupun jalanan sangatlah sepi, namun harus tetap kulakukan agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan.
Saat mobil Fortuner hitam kesayanganku ini berada di posisi yang aman. Aku membiarkan mesin mobil menyala, lampu mobil tidak ku padamkan, biar sebagai tambahan bantuan penerangan baik posisi belakang maupun posisi depan juga.
Mungkin setelah aku balik Denpasar, sepertinya memang bagus jikalau mobil ini ku lengkapi dengan lampu strobo biar kian terang. Kan, siapa tahu di kemudian hari, aku kembali di hadapkan pada situasi seperti sekarang ini.
Setelah itu, tak lupa ku buka setengah jendela mobil bagian kemudi, karena aku sedikit punya pengalaman. Intinya pernah kunci mobil ketinggal di dalam dan posisinya sama persis. Aku menutup pintu mobil dari luar dengan keras alhasil pintunya pun tertutup secara otomatis.
Setelahnya aku membuka pintu mobil dan langsung menghampiri pengendara motor yang sedari tadi tidak berhenti untuk menekan tombol klakson.
“Assalamualaikum….” aku mencoba memberinya salam sebagai ummat muslim. Apalagi wanita itu mengenakan hijab.
“Bapak punya mata tidak sih?!!” loh he? Mampus.
Hahahaha. Aku belum siap dengan keadaan yang mendadak seperti ini. Bagaimana tidak, belum saja diriku ini menyelesaikan ucapan ku dan meminta maaf kepadanya. Eh, dia malah sudah terlebih dahulu memaki diriku habis-habisan.
“Bapak kenapa berhenti tiba-tiba seperti ini? Bagaimana kalo aku menabrak mobil bapak, dan bla … bla …. bla….!” Anjir. Seriusan? Ini seriusan, dia ngomel di tengah hutan kek gini?
Yap! Wanita berhijab itu tiada hentinya dan terus-menerus memberikan kata-kata pedes, berasa mulutnya habis makan cabe sebaskom. Pedis.!
Ya sudahlah. Aku juga gak mau berdebat dengannya. Karena pada dasarnya aku juga gak salah di sini, aku hanya kaget dan pada akhirnya menghentikan laju mobil secara mendadak.
Tapi, kalau aku juga gak menghentikan omelannya ini, telingaku rasanya sudah mulai panas. Jangan sampai, keadaan berbalik, emosiku terpancing dan pada akhirnya, aku bisa nekad melakukan sesuatu padanya. Apalagi di sini tak adanya saksi mata apabila aku mengambil tindakan, bukan?
Ah. Sudahlah. Beneran aku harus meningkatkan kesabaranku untuk menghadapinya.
“Saya minta maaf ya Mbak. Ini murni kesalahan saya, karena tidak fokus dalam berkendara” aku sengaja menggantung, hanya sekedar ingin melihat bagaimana responnya. Namun, nyatanya, matanya kian menyala.
Tapi… meski menyala. Kenapa… kenapa, malah terlihat…. Indah?
Mata yang indah….!
Tanpa sadar, aku bergumam dalam hati. Lalu jenak berikutnya aku tersadar.
Oh shit. Nope….
Kenapa aku malah mengagumi matanya yang berbinar di tengah kegelapan malam?
Stop Farhan….
Bukan waktunya untuk memperhatikan sepasang mata wanita ini.
“Mbak…. sekali lagi saya minta maaf,” kembali aku melayangkan permintaan maaf yang sungguh-sungguh, “tapi, alangkah baiknya kalau ada orang yang sedang mengucapkan salam kepada kita itu dijawab dulu Mbak. Bukankah, salam itu do'a?” ku lanjutkan ucapanku. Mungkin untuk sekedar meredakan secuil rasa dalam sana yang tiba-tiba mencoba mendobrak.
Entahlah.
Gak mungkin juga, aku terpesona hanya sekedar menatap sepasang mata berbinar dan bercahayanya itu, kan? Gak mungkin lah.
Meski, aku juga tak memungkiri, di saat ia turun dari motornya, melangkah semakin mendekatiku, silut wajahnya yang terkena pancaran cahaya keremangan dari lampu mobilku, kian menampakkan parasnya yang…. hmm, sekali lagi. Aku bergumam. Parasnya cantik.
Ahhh biji. Kenapa pula aku mengagumi wajahnya sih?
Mendengar satu kata yang sebelumnya ku lontarkan. Ia langsung menghentikan makiannya, ia pun menjawab salam ku sebelumnya. “Wa alaikumsalam,” begitulah jawabnya, meskipun agak ketus dan terkesan terpaksa.
Semakin dekat posisinya, semakin memperjelas parasnya.
“Cantik…” oh shit. Malah aku menjadikannya sebuah kata dan memperdengarkannya ke empunya. Matanya semakin menyala menatapku.
Ini seriusan? Seriusan kami bakal bertengkar di tengah hutan?
“Anda tidak sopan…”
“Anda bla… bla….” again? Dia kembali mengoceh tak jelas. Namun…. Kenapa saat diriku mendengar ucapannya yang judes ini, sontak langsung mengingatkanku pada sosok mendiang istriku saat dia ngambek kepadaku?
Sejurus kemudian, segala kenangan manis dan pahit yang sudah kita berdua lewati bersama, seakan-akan muncul kembali di benakku. Hatiku seperti terkikis saat mengingat semuanya. Apalagi, ingatan yang selama ini telah kusimpan rapat-rapat, saat di mana diriku menyaksikan langsung, istriku menghembuskan napas terakhirnya, karena gagal dalam melawan penyakit asam lambung yang diidapnya.
Sejak kepergiannya, diriku sudah menutup rapat-rapat hati yang telah rapuh ini. Meskipun, beberapa kali kucoba membuka hatiku kembali demi Dillah putri kesayanganku, mendapatkan kasih sayang dari sesosok ibu. Tapi, tidak ada perasaan yang spesial saat para wanita-wanita itu berada di dekatku.
“Bapak tau tidak? Saya hampir celaka, gara-gara Bapak mengerem mendadak!”
Masih kalimat pedas, sepedas cabe ia lontarkan. Sepertinya wanita ini masih belum puas mengeluarkan semua uneg-unegnya. Alhasil, lamunanku akan mendiang istriku dan sosok wanita yang berada di hadapanku ini pun buyar seketika di saat ia kembali mengoceh.
Aku menarik nafas dalam-dalam. “Iya Mbak, iya. Saya tahu, itu sebabnya saya.…” Aku tidak bisa melanjutkan kalimatku, karena wanita itu kembali memaki dan memaki diriku.
Ternyata, tidak semua wanita akhwat itu bertutur kata lembut. Nyatanya, ada juga yang suka mengomel. Tapi, yang anehnya nih. Omelannya semakin memperlucu sosoknya.
Saat ia masih mengomel dan diriku hanya bisa terpaksa untuk mendengarkannya.
Tiba-tiba...
Krssrrkk... Krssrrkk... Krssrrkkkk…!
Anjir…. apa itu?
Jawabannya segera kami dapatkan, serta sukses mengejutkan kami berdua. Segerombolan monyet yang tengah bergelantungan di atas pohon. Mereka meloncat dari satu pohon ke pohon yang lainnya. Beberapa di antaranya terus meloncat. Namun, ada dua monyet yang malah turun dan mendekat ke arah seorang wanita yang sedari tadi hanya mengomel dan memaki.
Tentu saja, ia sadar akan kehadiran monyet itu dan wanita berhijab itu pun langsung teriak.
“Aaaaaaaaaaa!! Mo-mo-monyet!!” dia melompat-lompat, hingga dia semakin mendekatiku. Hingga pada akhirnya………………
TAP….!
Anjir. Apa ini?
Kenyal…. lembut….!
Belum juga aku tersadar atas apa yang terjadi, tiba-tiba saja aku melihat, sepasang mata berbinar sang wanita ini, sangat dekat dengan posisi mataku. Kami bertatapan untuk sejenak, dan aku menyadari matanya kembali menyala.
“BRENGSEEEEEKKKK!”
PLAK…………..!
Fuckkk…. aku kena gampar.
BERSAMBUNG CHAPTER 3
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
