
“Gue yang kasar atau lo yang murahan?”
Aku membulatkan mataku, “Bangsat! Jaga ya omongan lo.”
“Seneng 'kan lo sekarang Adin sama Sara udah putus? Seneng udah bisa bebas deketin cowo idaman lo itu? Seneng udah berhasil ngerebut cowonya temen lo sendiri?”
Sepulang kami sekolah, aku, Ziana, dan Adit sudah membuat rencana yang kami buat sejak beberapa hari yang lalu untuk mencoba kedai es krim baru yang tidak jauh dari sekolah kami. Ziana sejak tadi sudah sibuk melingkarkan lengannya di lenganku membawa kami untuk segera berjalan keluar dari kelas. Adit mengekori kami dibelakang tanpa banyak suara, laki-laki itu sudah lebih dulu protes sebelumnya yang akhirnya mendapat amukan dari Ziana yang sangat ingin mencoba es krim ini.
“Gue mau cobain yang Sorbet Raspberry, kata orang-orang enak.” Ziana berucap senang seraya menggoyang-goyangan lenganku.
“Iya, nanti dicobain semua yang lo mau.”
Setelah merespon ucapan Ziana, mataku tertuju pada seorang perempuan dengan seragam berbeda dengan milik kami sedang berdiri memeganggi tali ranselnya di gerbang sekolah. Perempuan dengan rambut terurai dan bandana berwarna pink kesukaannya itu, kini menatap ke arahku dengan mata bahagianya.
“Mau nyari Adin, Sar?” Aku basa-basi pada Sara yang sudah berada dihadapanku dan Ziana.
“Adit!” Sara tak menanggapiku sama sekali dan memilih untuk berjalan melewatiku. Ia menghampiri Adit yang berada dibelakang kami dengan senyumnya yang merekah.
“Lo ga bales chat gue. Padahal gue mau ajak lo main.” Ucap Sara dengan intonasi yang terdengar manja.
“Gue udah janji pergi sama temen-temen gue.”
“Kemana?"
“Kemana aja, lo ga usah kepo.”
“Gue ikut dong.” Sara bergelayut manja memegangi lengan kanan Adit.
Aku memandang Sara jengah, sikap Sara yang seperti ini tidak pernah kulihat sebelumnya. Aku tak pernah menemukan Sara yang akan bersikap manja, terlebih pada laki-laki yang belum lama ini ia kenal.
“Kita mau makan es krim." Adit kembali merespon Sara dengan memberitahu rencana kami.
Jujur saja aku sedikit marah mendengar Adit dengan mudahnya memberitahu bahwa kami akan makan es krim pada Sara. Aku tidak suka laki-laki itu membawa Sara dalam agenda kami. Siapa Sara sampai dia bisa ikut makan es krim bersama kami? Walaupun Sara teman lamaku, tetapi aku tidak mau membawanya di antara aku, Ziana, dan Adit. Sudah cukup muak aku melihat Sara yang bersikap manja seperti itu pada Adit dan akhirnya malah mengabaikanku. Padahal akulah orang yang membawa Adit untuk dikenalkan padanya dan Adin.
“Gue mau ikut.” Sekali lagi Sara mengeluarkan suara manjanya. “Boleh 'kan?”
Aku menggeleng sedikit memberi kode pada Adit yang kini menatapku dan Ziana. Adit kebingungan, matanya berlari-lari menatapku dan Ziana lalu bergantian menatap Sara yang masih menunggunya untuk menjawab.
Aku tidak sabar, tidak bisa lagi menunggu Adit untuk menjawab pertanyaan manja perempuan itu, “Gue ga jadi ikut. Badan gue tiba-tiba ga enak, next time ya, Zi.”
Entah mengapa aku begitu sensitif kali ini. Begitu kecewa dengan sikap Sara yang seperti orang berbeda di mataku. Akhirnya kupilih untuk berjalan meninggalkan mereka dan menaiki angkutan umum yang lewat di depan sekolah. Aku sungguh tidak peduli apabila Sara memang benar-benar menyukai Adit, tetapi apakah dirinya harus bertindak sejauh ini kepadaku? Apa maksudnya?
Aku berhenti di sebuah danau yang dahulu sering kudatangi bersama Adin dan Sara. Memang ternyata kehidupanku dahulu sering dipenuhi oleh dua manusia itu, sehingga kemanapun aku pergi sepertinya aku hanya mengingat tempat-tempat yang pernah kudatangi bersama mereka. Aku mendekati penjual minuman keliling di tepi danau, kupilih segelas es jeruk instan sebelum berjalan menuju salah satu kursi panjang hitam di pinggir danau.
“Ada masalah apa tiba-tiba ke sini?” Seseorang dengan seragam yang sama denganku kini menempati tempat kosong di kursi ini. “Tumben banget sendirian ke sininya?”
Aku tersenyum pada Adin yang mulai menyandarkan punggungnya pada kursi, “Mau jernihin pikiran dari orang jahat.”
“Siapa?”
“Ada orang jahat yang dulunya baik, sekarang berubah jahat sampe gue ga kenal lagi sama orang itu.”
“Sara, ya?” Adin memperbaiki posisi ransel yang berada di pahanya sebelum menoleh padaku, “Gue tadi liat dia di gerbang sekolah.”
Aku menunduk menatap sepasang sepatu di kakiku karena secara tiba-tiba merasakan perasaan bersalah pada Adin, “Gue kira dia mau nyamperin lo.”
“Gue kira juga gitu. Tapi dia nyariin Adit 'kan?"
Aku menoleh menatap raut wajah Adin, “Lo ga pa-pa?”
“Sedikit kecewa sih, tapi akhirnya gue ngerti kenapa dia minta putus tiba-tiba.”
“Bukan salah Adit, Din. Dia juga keganggu sama Sara yang tiba-tiba kayak gini.”
“Gue tau. Emang Sara yang udah ga mau gue ada di hidupnya.”
“Maafin Sara, ya?”
Adin menatap mataku dalam lalu tersenyum dengan cukup manis, “Bukan tanggung jawab lo buat gantiin Sara minta maaf.”
Aku tertawa canggung dan juga sedikit salah tingkat dengan perlakuan Adin barusan. Memilih untuk memutar kepalaku dan mencari hal lain untuk kuperhatikan agar tidak ketahuan bahwa aku gugup karenanya. Sepertinya sudah lama aku tidak melakukan quality time bersama Adin. Semasa kami di Sekolah Dasar, masih sering untuk kami bermain bersama entah berdua atau dengan teman-teman SD lainnya. Setelah kami mengenal Sara di SMP, akhirnya waktu itu kami habiskan bertiga. Baru kali ini, aku bisa menghabiskan waktu bersama Adin setelah dirinya putus, tentunya dengan perasaan gugup dan debar jantung yang sebelumnya kucoba untuk lupakan.
Kami menghabiskan waktu dengan mengobrol ringan hingga langit sudah sedikit gelap. Adin mengantarku pulang dan bertemu Mama sebentar karena kebetulan Mama sedang menyirami tanamannya di pekarangan rumah. Mama mengenal Adin cukup dekat karena antara Mama dan Bunda Adin sering bertemu dan pergi bersama dengan ibu-ibu dari teman SD kami. Sehingga tidak pernah sekalipun Mama menaruh curiga apabila aku dan Adin terlihat pergi ataupun pulang bersama.
“Adit tadi nyariin kamu.” Mama berucap kala kami sudah memasuki rumah. “Tumben-tumbenan kalian ga pulang bareng.”
Aku hanya mengangguk-angguk mengerti apa yang Mama sampaikan dan meninggalkannya pergi ke kamar. Kulempar tubuhku di atas tempat tidur melepas lelah yang terjebak di tubuhku seharian ini. Setelah beberapa saat merasa lelahku hilang, kulangkahkan kaki untuk membuka pintu kacaku dan membiarkan angin sore menerpa tubuh dan menerbangkan anak rambutku yang tak dapat kuikat
“Yang kayak gitu ga enak badan namanya?” Aku menoleh pada asal suara dari balkon sebelah, disana Adit sedang duduk di kursinya dan memainkan handphone. “Berani buat batalin janji, soalnya mau pergi sama cowo yang berhasil direbut dari temennya sendiri.”
“Apa ya maksud lo?” Aku berjalan mendekati balkonnya, “Kasar banget mulut lo ngomong kayak gitu.”
“Gue yang kasar atau lo yang murahan?”
Aku membulatkan mataku, “Bangsat! Jaga ya omongan lo.”
“Seneng 'kan lo sekarang Adin sama Sara udah putus? Seneng udah bisa bebas deketin cowo idaman lo itu? Seneng udah berhasil ngerebut cowonya temen lo sendiri?”
“Apa sih maksud semua omongan sampah lo ini?”
“Kalo lo batalin janji sama kita karena emang sakit, gue oke. Tapi ternyata lo bohong, malah pergi sama Adin? Kayak gini asli lo?”
Aku menatap Adit heran, “Lo yang tadi mau ajak perempuan itu. Lo biarin dia ikut sama agenda kita.”
“Ga ada.” Adit menatapku tajam, “Ga ada yang ngajak Sara. Kapan coba gue ajak Sara ikut kita? Lo denger gue ngomong ke dia buat ikut kita main? Ga ada yang ngomong kayak gitu.”
“Bacot lo! Kalo emang udah suka sama Sara, ga usah sok ngomong sampah ke orang lain kayak gitu.”
Aku menyudahi ucapanku dan memilih untuk pergi meninggalkan Adit. Sedikit penyesalanku untuk membuka pintu balkon tadi, seharusnya aku tidak perlu membukanya sama sekali agar tidak perlu terlibat diperdebatan aneh bersama laki-laki itu. Tak habis pikirku Adit mampu secara lancang mengeluarkan kata-kata kasar seperti itu padaku? Mengapa dengan mudah ia bisa menilaiku seperti itu?
‘Adit sampah. Mulut sampah.’
***
Aku mengedarkan pandangan ke seisi rumah dan menyalakan lampu ruang tamu hingga dapur karena langit sudah gelap dan rumahku kosong tidak ada seorangpun yang akan melakukan itu selain diriku. Mama sempat menelponku sebentar saat istirahat siang, ia dan Papa akan pergi ke rumah Tanteku karena Tante secara tiba-tiba masuk ke rumah sakit karena penyakit maag-nya. Aku akan ditinggal oleh Papa dan Mama hingga larut malam nanti karena rumah Tante cukup jauh dan tidak dapat ditempuh dalam perjalanan singkat. Tidak perlu menanyakan kemana kakakku yang hanya satu itu, karena sudah pasti ia akan berada di kampusnya karena seminggu ini ia terus sibuk untuk membuat project akhir salah satu mata kuliahnya.
Aku menuju wastafel dan menatap cucian piring yang belum dibersihkan. Sepertinya Mama tadi terburu-buru hingga tidak sempat untuk menyelesaikan cucian piring ini. Akupun memilih untuk membersihkan seisi dapur yang ditinggal Mama dalam kondisi berantakan sebelum berpikir akan makan apa malam ini.
“Kak Keyla.” Aku menoleh ke belakang ketika mendengar suara Arin, adik Adit, memanggilku. “Kata Mama makan di rumah, Kak.”
“Aku?”
“Iya, Kak. Bareng-bareng, yuk.”
“Aku beli makan sendiri aja, Rin.” Aku mengelap tangan basahku setelah menyelesaikan sendok terakhir yang harus kucuci. “Nanti aku pesen online.”
Arin mengibaskan kedua tangannya, “Makan sama kita aja, Kak. Sayang uangnya buat beli, Mama udah nyiapin piring buat Kakak di rumah itu.”
“Ga pa-pa?”
“Ga pa-pa, udah ditungguin Papa juga, ayo.” Gadis mungil itu menarik tanganku agar segera mengikutinya.
Akhirnya kuikuti langkah Arin untuk makan di rumahnya. Terlihat Om Ardi, Tante Luna, dan Adit sudah duduk di meja makan dan seperti menungguku untuk datang ke rumah mereka. Kupilih kursi yang bersebelahan dengan Adit karena hanya tinggal kursi itu yang kosong untuk bisa aku tempati.
Adit sama sekali tak menyapaku seperti biasanya. Sejak perdebatan kita kemarin, Adit mendiamkanku bahkan tidak menawariku untuk berangkat dan pulang sekolah bersama. Akupun bersikap sama seperti yang ia lakukan, perkataannya kemarin masih terngiang dikepalaku dengan jelas. Jika harus jujur, aku cukup tersinggung mengingat kalimat-kalimat kasar yang ia ucapkan padaku.
Selama kegiatan makan kami, hanya ada obrolan ringan dan basa-basi yang keluar dari mulut Om Ardi, Tante Luna, dan Arin. Adit hanya diam dan sibuk pada makanannya. Sesekali aku menanggapi candaan Om Ardi yang seperti layaknya bapak-bapak pada umumnya.
“Adit udah selesai. Adit duluan ke kamar mau kerjain PR, ya.” Adit bersuara untuk pertama kalinya di meja makan ini dan hanya untuk berpamitan pada kami.
Om Ardi dan Tante Luna hanya merespon untuk mengiyakan apa yang Adit ucapkan. Laki-laki itu meninggalkan kami yang masih menikmati masakan Tante Luna.
“Kakak kenapa, Ma?” Arin bertanya pada Tante Luna saat Adit sudah tak terlihat. Ternyata diamnya Adit tidak hanya dirasakan olehku, Arin pun mampu untuk merasakan bahwa Adit menjadi lebih pendiam dari biasanya.
“Cewe yang waktu itu, tadi ke rumah lagi sebelum Kakak pulang sekolah.”
Aku menatap Tante Luna dengan wajah bertanya tanpa mengucapkan apapun.
“Yang waktu itu ke kamar Kakak? Siapa Ma, namanya itu? Arin lupa.”
“Sara.” Tante Luna menyuapkan sesendok makanan dan mulai mengunyah. “Mama tadi juga kaget dia tiba-tiba dateng. Mama coba sambut aja 'kan, tapi Kakak kayak mulai bete dari situ.”
“Centil banget sih dia, Ma. Masa tiba-tiba dateng ke rumah cowo.”
Tante Luna mengernyitkan dahinya dan menggeleng, “Jangan kenceng-kenceng, bisa jadi itu pacarnya Kakak. Nanti dia denger, kamu diomelin.”
‘Sara datang lagi?’
Aku benar-benar tidak habis pikir dengan Sara akhir-akhir ini. Mengapa perempuan itu seperti sangat terobsesi untuk dekat dengan Adit? Bahkan datang dua kali ke rumah Adit begitu saja? Atau mungkin memang benar Sara dan Adit sudah berpacaran hingga perempuan itu seberani ini? Mungkin jika tidak berpacaran pun, apakah mereka sudah berkomitmen menjalin hubungan?
“Emang cewe itu pacar Kak Adit ya, Kak Key?” Arin bertanya padaku dengan penasaran.
Aku mengerjap terkejut, “Ga tau aku, Adit ga cerita apa-apa tentang cewenya.”
Aku mencoba untuk mengatur ekspresi wajahku agar tak terlihat mencurigakan. Jika ditanya, akupun memang tidak tahu siapa Sara bagi Adit saat ini. Aku sendiri sedang bertanya-tanya apakah memang sebenarnya Adit kini menjalin hubungan dengan Sara atau tidak. Karena melihat segala sikap berani Sara, bukannya tidak mungkin jika Adit tidak memberi harapan pada perempuan itu bukan?
‘Jadi, apakah Adit sudah membuka hatinya untuk Sara?’
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
