Hidden Love - Chapter 6

1
0
Deskripsi

“Jangan sering-sering ngobrol sama Keyla, Dit.”

“Kenapa?” Kini Adit mulai merespon Sara.

“Takut aja. Keseringan ngobrol sama dia, nanti lo jadi suka sama Keyla.”

Aku menaruh kedua lengan terlipatku pada dinding balkon lalu menatap beberapa anak kecil yang kini sedang bermain petak umpet di bawah sana. Seorang anak laki-laki sedang menutup kedua matanya menggunakan satu lengan dengan empat orang temannya yang sibuk berusaha bersembunyi. Aku tertawa kecil melihat anak laki-laki sedang bersembunyi di pekarangan rumahku dan menatapku panik seraya menaruh jari telunjuknya di mulut. Aku mengangguk mengerti dan membuat gerakan pada jari kananku mengatakan ‘OK’. 

“Key!” Adit dari kamar sebelah secara tiba-tiba berjalan menuju dinding balkon yang berdekatan dengan balkonku. “Temen lo kenapa deh nge-chat gue terus?”

Aku menghampiri Adit, menerima handphone miliknya yang ia berikan untuk menunjukkan room chat Sara dengan dirinya. Terakhir kali memang Adit bertukar kontak whatsapp dengan Adin dan Sara saat kami menonton film bersama. Namun, aku tidak tahu bahwa di antara Adit dan Sara akan memiliki kelanjutan seperti yang sedang Adit tunjukkan.

post-image-66f94e83ae1cf.jpeg

Pesan-pesan yang dikirimkan oleh Sara mampu membuatku cukup tercengang. Tidak sampai dalam pikirku bahwa Sara akan mengirimkan pesan-pesan pada Adit seperti ini. Bukankah ia baru saja putus dengan Adin? Bahkan belum ada seminggu sejak Adin memberitahuku tentang kabar putus mereka berdua. 

“Dia mau ke rumah lo hari ini?” Aku bertanya pada Adit seraya mengembalikan handphone-nya. 

“Gue males banget kalo sampe dia dateng. Lagian ya, kenapa dia ga pacaran aja sama cowonya? Hari minggu gini malah gangguin orang lain."

“Adin sama Sara udah putus, Dit.”

“Sumpah lo??” Adit mendengus sebal. “Bukan gue ya, yang bikin mereka putus.”

“Atau mungkin lo alasan dia mutusin Adin?"

“Kenapa gue?”

“Dari chat yang dikirim Sara sih, kayak orang lagi naksir lo, ya."

Adit menggeleng ketakutan, “Ga mau ya, anjir. Dia bukan tipe gue.”

Aku menarik kursi balkonku untuk mendekati balkon Adit lalu mulai duduk untuk melanjutkan obrolanku dengan Adit. Aku menaruh daguku di atas lipatan lenganku yang kutaruh di balkon seraya mengamati Adit yang masih memasang wajah sebalnya.

 “Kenapa dia langsung to the point mau ke rumah lo ya, Dit? ‘Kan bisa ke rumah gue gitu? Temen dia ’kan gue?” Tanyaku pada Adit yang kini menyandarkan satu lengannya pada dinding balkon dan sibuk memainkan handphone-nya.

“Itu anehnya. Kenapa harus gue yang dia datengin? Kita cuma ketemu dua kali kemarin. Harusnya gue bukan jadi orang yang dia datengin tiba-tiba kayak gini."

“Berarti bener kalo dia naksir lo, Dit.”

“Gue ga mau banget ya, Key. Tolong banget ini, gue tau gue ganteng, tapi ga mau.”

Aku menertawakan tingkah panik Adit. Sepertinya laki-laki itu benar-benar merasa terganggu dengan apa yang Sara lakukan. Aku sebenarnya sedikit mengerti mengapa Adit begitu terganggu, mereka bukanlah teman yang bisa untuk saling mengganggu seperti ini, mereka hanyalah sebatas kenalan. Pertemuan merekapun hanyalah sebuah kebetulan karena ada aku di dalamnya. Lalu mengapa Sara harus memaksa membuat pertemuan lainnya tanpa aku? Padahal yang mengenalkan Adit padanya adalah aku?

Setelah beberapa waktu aku mengobrol, kuputuskan untuk masuk ke dalam kamarku. Kubiarkan salah satu pintu kacaku terbuka agar bisa kurasakan angin masuk ke dalam kamar. Aku mengamati sebuah story instagram milik Adin yang menunjukkan dirinya sedang bersepeda dengan beberapa teman. Sejak terakhir aku dan Adin bertemu di warung penjual es kelapa muda, tidak terjadi interaksi lebih antaraku dan laki-laki itu. Kami hanya sesekali bertemu di selasar kelas tanpa adanya percakapan berarti. 

Aku sengaja membiarkan Adin melakukan itu, memberi dirinya ruang untuk sendiri terlebih dahulu seperti apa yang ia katakan terakhir kali. Walau di dasar hatiku terkadang ingin membuat langkah terlebih dahulu, membuat pergerakan agar setidaknya ada perkembangan nyata di dalam anganku. Namun, seharusnya aku lebih bisa menghargai waktu sedihnya akibat patah hati bukan? 

“Gue udah sering main di balkon Keyla, sih. Tapi enak ya punya balkon gini.” 

Aku terperanjat dari posisi tidurku ketika mendengar suara di balkon kamar Adit. Pintu kacaku yang tidak tertutup mampu membuat suara siapa saja di balkon Adit terdengar begitu jelas dari tempat tidurku. 

“Sering ketemu sama Keyla di balkon ini, Dit?”

Kembali Sara membuka suara, yang tidak mendapatkan jawaban dari Adit sang lawan bicara selama beberapa waktu menunggu. Aku menajamkan pendengaranku penasaran dengan interaksi antara Sara dan Adit saat ini sambil berpikir bagaimana bisa Sara berani untuk bertindak sejauh ini. 

“Jangan sering-sering ngobrol sama Keyla, Dit.”

Aku mengangkat kedua alisku heran mendengar pernyataan seperti itu bisa keluar dari teman yang sudah kukenal sejak lama. Apa maksud dirinya memerintah Adit untuk seperti itu? Lalu apa maksudnya ia secara sengaja berkata di kamar yang dekat dengan kamarku? Apakah ia tidak berpikir bahwa mungkin saja aku akan mendengar ini semua?

“Kenapa?” Kini Adit mulai merespon Sara.

“Takut aja. Keseringan ngobrol sama dia, nanti lo jadi suka sama Keyla.”

‘..nanti lo jadi suka sama Keyla. Dih???’ 

Aku memutar bola mataku jengah saat mendengar suara Sara sedikit tertawa setelah mengucapkan kalimat terakhirnya.

“Apa maksud lo?” Tanya Adit.

“Gue ga mau lo nanti suka sama Keyla.”

“Kenapa ga boleh?”

“Dibanding Keyla, masih ada gue yang pantes buat lo suka 'kan?”

Aku sudah tak sanggup mendengar segala ucap Sara yang semakin lama semakin memuakkan. Aku bangun dari tempat tidurku dan berjalan menuju pintu kaca yang masih terbuka. Kututup pintu kaca itu dengan cukup kuat lalu menutup tirainya hingga tak lagi menyisakan ruang untuk cahaya masuk. 

Aku menghentakkan kakiku turun ke lantai bawah rumahku dan berjalan menuju lemari pendingin yang berada di dapur. Aku mengambil air dingin di dalam lemari pendingin dan meminumnya, mencoba untuk mendinginkan diriku dari emosi setelah mendengar apa yang Sara ucapkan tadi. 

Aku masih tidak mengerti bagaimana Sara mampu berucap begitu mudahnya seperti itu? Apakah aku bukan temannya lagi? Kami saling mengenal setidaknya selama tiga tahun, apakah itu kurang untuknya bertindak lebih manusiawi? Atau, apakah sebelumnya ia seperti ini juga ketika bersama Adin? Apa ini caranya agar Adin bisa menjadi pacarnya? 

‘Perempuan ular.’

Aku menyalakan televisi yang berada di ruang keluarga. Hari ini aku kembali ditinggal sendiri oleh seisi rumahku. Mama dan Papa harus menghadiri pernikahan anak rekan kerja Papa dan mungkin akan jalan-jalan dengan Mama nanti, sedangkan Mas Aldan sejak pagi buta sudah pergi karena ada acara di kampusnya dan ia yang merupakan panitia harus sampai disana lebih pagi.

Aku menyendokkan puding keju yang Mama buat semalam seraya menonton episode terbaru drama Korea yang sedang kuikuti. Drama itu menceritakan tentang kisah cinta dua sahabat sejak kecil yang tinggal dengan rumah bersebelahan. Sesekali aku tersenyum kala adegan yang ditampilkan cukup manis dan membuatku tersipu sendiri melihatnya. 

“Key.” Aku menoleh ketika Adit dengan seenaknya kini telah duduk di sebelahku. “Nonton yang lain dong.”

“Kapan lo masuk rumah? Gue ga denger.” 

“Gue udah manggilin lo dari tadi, terus pas gue coba buka pintunya bisa kebuka, jadi gue masuk aja.”

“Tamu lo mana?”

“Udah gue suruh pulang.”

Aku tak merespon dan memilih untuk fokus menatap televisi kembali. Aku seperti tak ingin mendengar lebih jauh apa yang terjadi antara Sara dan Adit tadi. Jika dipikir kembali, aku cukup tersinggung dengan perkataan terakhir Sara yang tak sengaja kudengar. Memangnya apa kurangku sampai dia berkata seperti itu?

“Tadi pintu kamar lo ketutup kenceng banget.” Adit memulai percakapan setelah beberapa waktu kami saling terdiam.

“Angin kali.”

“Gue kira lo yang nutup, soalnya kenceng banget.”

“Gue tadi langsung turun ke bawah pas tau Sara beneran dateng terus kalian ngobrol di balkon.”

“Lo ga dengerin gue sama Sara ngobrol?”

Aku menggeleng dengan cepat, “Ngapain dengerin lo berdua? Kayak ga ada hal lain yang lebih bermanfaat.”

“Gue kira dengerin.” Adit bersandar di sofa dengan tangannya yang mulai memainkan rambut panjangku yang tergerai. “Lo udah sarapan? Gue ditinggal Mama, Papa, sama Arin juga. Mereka lagi cari sepatu buat Arin.”

“Belum, males masak. Mama tadi ga ninggalin apa-apa buat gue sarapan.”

“Ayo makan ketoprak di lapangan yang ada latihan SSB itu, Key.”

“Lapangan karang?”

Adit mengangguk, “Gue keluarin motor dulu. Nanti langsung ke depan ya?”

Setelah mengucapkan itu, Adit keluar dari rumahku seperti yang ia katakan. Aku pun mengambil beberapa barang penting seperti dompet dan handphone sebelum keluar menemui Adit yang sudah menungguku di depan rumah. Kami melaju menuju lapangan yang Adit maksud. Pagi ini masih cukup banyak orang yang berlari memutari lapangan itu dan masih ada satu club Sekolah Sepak Bola dengan rata-rata berisi anak dengan umur 10-13 tahun yang sedang berkumpul di pinggir lapangan mendengar arahan pelatih. 

Aku dan Adit duduk di selasar yang memang sengaja dibuat melingkari lapangan untuk para pedangan di lapangan ini. Di depan kami terdapat penjual ketoprak seperti yang Adit katakan tadi. Sebelumnya aku sudah memesan terlebih dahulu pada sang penjual sebelum aku dan Adit kini memandang anak-anak SSB sedang melakukan pendinginan seraya menunggu ketoprak kami selesai dibuat.

“Lo secinta itu sama bola ya?” Aku menggeser es teh manis yang baru saja diberikan oleh sang penjual. “Berbinar banget mata lo liat anak-anak itu.”

“Suka banget gue sama bola. Kayak kalo lo belah dada gue, lo temuin itu bola.”

“Serem banget?? Yang berdetak di dada lo itu bola selama ini? Kalo deg-degan jadinya karena detak bola, bukan detak jantung.”

“Lucu banget?” Adit mengejekku dengan wajah konyolnya.

Aku tertawa merespon Adit yang menatapku sebal. Kami akhirnya menikmati ketoprak yang kami pesan setelah menunggu selama sepuluh menit. Adit tadi memilih untuk menggunakan telur dadar sebagai tambahan, sehingga isi piring Adit kini terlihat lebih penuh daripada milikku yang hanya berisi bihun, lontong, tahu, dan tauge. 

Sambil menikmati ketopraknya, mata Adit masih saja tertuju pada sekumpulan anak-anak SSB di lapangan. Aku menggeleng cukup heran dengan ketertarikan Adit yang sepertinya berlebihan. Aku lebih seperti sedang menemaninya untuk menonton latihan SSB dibandingkan makan bersamanya, karena selama kami makan ia sama sekali tidak mengajakku mengobrol dan tetap fokus pada lapangan. 

“Besok berangkat sama gue aja.” Adit menaruh piring kosongnya di samping tikar tempat kami duduk. “Tapi berangkat lebih pagi ya?”

“Tumben baik?”

“Kasian gue liat Mas Aldan nganterin lo mulu. Lagian rumah kita sebelahan, kayak jahat banget gue ga nebengin lo."

“Harusnya lo sadar lebih cepet sih.”

“Gue udah baik, ga usah dicela.”

“Ya abisnya, lo dminta tebengan pas pulang aja suka ga mau.”

“Iya, abis ini 'kan gue jadi baik. Biar citra gue juga bagus di kalangan ibu-ibu kompleks.”

Aku mengernyit heran, “Aneh banget??”

“Kalo gue baikin lo, nanti Mama lo pasti muji-muji gue di depan ibu kompleks yang lain.”

Aku memukul lengannya kuat, “Udah gila! Lo baik cuma buat dapet pujian ibu-ibu kompleks?"

“Itu salah satu standar yang susah buat didapetin, Key. Kalo ibu-ibu kompleks udah approve, berarti gue valid emang keren.”

“Gila!” Aku mencibir heran dengan semua alasan yang keluar dari mulut Adit. 

Tidak mengerti dengan jalan pikir aneh di kepala laki-laki itu. Lebih tidak mengerti kenapa laki-laki seperti Adit ini bisa membuat Sara tertarik dan memilih untuk meninggalkan Adin. Sepertinya memang si gila akan bersama dengan si gila yang lainnya.

***

Aku berdiri di balik kumpulan siswa yang sedang menunggu giliran membeli minuman dingin. Sebuah lengan secara sengaja berada di atas pundakku seperti membuat pundakku menopang tubuhnya melalui lengan itu. Aku menatap sinis Adit yang masih saja menyebalkan dengan segala tingkahnya. Kutarik lengannya dari pundakku dengan kuat karena ia tetap saja mencoba untuk mempertahankannya.

“Berat, anjir.” Umpatku padanya yang kini menyilangkan kedua lengan di dada.

“Lo pendek sih, jadi pas banget buat naroh tangan gue.” 

Aku memukul lengannya, “Lo nyebelin."

“Ga usah marah-marah, makin pendek nanti.”

“Ga ada korelasinya.”

“Badan lo minder buat nambah tinggi, soalnya lebih tinggi amarah lo.”

“Yang mancing amarah gue, 'kan cuma lo.”

“Kalo ga ada gue, hidup lo sepi.”

Aku melangkah maju semakin mendekat dengan penjual minuman dingin karena barisan di depanku sudah lebih sepi. “Ga usah banyak bacot. Kasian Ziana udah bengong-bengong nungguin kita.”

Ziana memang memilih untuk menunggu di salah satu meja kantin setelah kami menyelesaikan kelas olahraga sepuluh menit sebelum bel istirahat. Perempuan itu menyerah untuk ikut mengantre bersama kami setelah tadi kami diharuskan lari mengelilingi lapangan basket oleh guru olahraga. Ziana terlihat sangat lelah dan tak memiliki tenaga, sehingga mau tak mau aku dan Adit yang harus berjuang di tengah kerumunan satu sekolah ini.

“Gue ga sanggup banget kalo minggu depan tes lari kayak gini.” Ziana langsung menarik segelas es jeruk titipannya.

“Lebay lo, Zi. Padahal lari segitu doang.” Adit mendorong kepala Ziana yang sedang lemas hingga perempuan itu secara tidak sadar terdorong begitu saja. “Kata gue juga, olahraga tiap minggu.”

“Kita udah ada pelajaran olahraga seminggu sekali, ga usah ditambahin lagi.”

Aku tertawa dibalik es teh milikku, memang materi olahraga kali ini bisa dibilang cukup melelahkan. Bukan hanya Ziana saja yang kelelahan, banyak teman perempuan sekelas kami juga yang menyerah dan memilih langsung ke kelas untuk beristirahat. Adit mungkin mampu berkata bahwa itu mudah karena ia merupakan anggota futsal yang notabenenya senang untuk berlari kesana kemari. Namun, hal itu berbeda dengan kebanyakan perempuan lainnya yang tidak biasa melakukan itu. 

“Key, Sara masih nge-chat gue. Bisa bilangan ke dia ga sih, Key? Gue keganggu banget.” Adit lagi-lagi menyerahkan isi pesan-pesan yang dikirimkan Sara padaku. 

Aku mengangkat kedua bahuku dan menggeleng. Bukan kuasaku untuk menghentikan Sara melakukan itu. Bahkan sejak beberapa hari yang lalu, saat ia datang ke kamar Adit, tidak ada apapun yang terjadi antara aku dan Sara. Perempuan itu bahkan tidak memberikanku pesan sama sekali walau hanya untuk meminta maaf karena berucap asal di balkon kamar Adit. Mungkin ia tidak mengira aku akan mendengarkannya saat itu karena akupun tak menunjukkan diriku, tetapi tetap saja ia seperti tidak memiliki rasa bersalah dengan berucap hal yang seharusnya tidak keluar dari mulut seseorang yang sudah berteman selama bertahun-tahun.

“Sara pacarnya Adin?” Ziana berbisik takut ada yang mendengar percakapan ini.

Aku mengangguk, “Tapi sekarang udah ga pacaran.”

“Kok bisa? Cepet banget pacarannya udah putus aja.”

“Udah naksir temen lo malah.” Aku menunjuk Adit dengan mulutku. “Di chat terus tuh. Kemarin sempet main ke rumah Adit lagi.”

“Hah?” Ziana menoleh pada Adit untuk meminta penjelasan. “Gue ga mau nanggung lagi ya, kalo cewe lo gila kayak sebelumnya."

“Bukan cewe gue.”

“Ya, calon?”

“Buset, gue ga suka sama dia, Zi. Gue aja keganggu di chat terus sama dia.”

Aku tertawa meledek, “Banyak interaksi juga, lama-lama jadi suka.”

“Engga, sumpah.” Adit mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnnya. “Walaupun gue emang biasa banyak yang naksir, tapi buat yang satu ini gue ga mau. Gue geli banget liat cara dia selalu chat gue caper kayak gitu. Apalagi pas gue tau dia baru putus, kayak makin geli.”

“Sara cantik tau, Dit.” Aku melebihkan sengaja untuk meledek Adit.

“Cantik bukan tolak ukur buat orang lain jadi jatuh suka.”

“Kalo seandainya lo nanti jadi suka sama dia gimana?”

“Ga bakal.”

“Seandainya aja, Dit.”

Adit menarik gelas plastik milikku dan Ziana yang sudah kosong lalu menumpuk dengan miliknya, “Sekalian aja jodohin gue, anjir. Udah gue bilang ga mau, ya udah ga mau. Ga usah ada seandainya-seandainya segala.”

Adit mendengus sebal seraya membuang sampah gelas plastik kami di tong sampah dan berjalan terlebih dahulu ke kelas. Aku dan Ziana yang berada di belakangnya hanya mampu tertawa pelan karena sepertinya kali ini Adit sangat sebal dengan apa yang Sara lakukan padannya.

‘Tapi, apa iya rasa suka Sara itu beneran sama Adit?’

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Langit Senja - Chapter 1
1
0
Jaja sayang, mau nyanyi apa? Tanya Langit pada Senja tanpa menghiraukan ucapan Akash.Mendengar panggilan dari Langit, Senja melempar tissue yang telah ia gunakan kepada Langit, Nama gue Senja, bangsat!Senja.. Akash memperingati Senja dan mengubah intonasi suaranya ketika perempuan itu mengeluarkan kata haram dari mulutnya.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan