
“Kenapa ga telpon Mama gue kalo lo sakit sendirian kayak gini? Gila kali ya lo, udah tau sendirian di rumah, sakit kayak gini juga, tapi ga ngabarin Mama gue ataupun gue, temen lo? Kalo lo kenapa-napa gimana??"
Mendengar omelanku, Adit tersenyum dengan sedikit matanya yang kini mulai terbuka. Dapat kulihat matanya kini memerah dan berair, tetapi dengan tenangnya ia masih bisa tersenyum mendengarku berbicara dengan panik?
Setelah menunggu hingga langit sudah gelap, aku dan Adit akhirnya dapat pulang ke rumah dengan menerjang hujan yang belum benar-benar berakhir. Kami sama-sama memasuki rumah tanpa berpamitan serius dan sibuk untuk menghangatkan diri dari tubuh yang sudah basah kuyup. Setibanya di rumah, Mama langsung menyambutku dengan sebuah handuk dan menyuruhku untuk segera membersihkan diri. Aku tidak memiliki tenaga lagi setelahnya, memilih untuk menggulung selimut ke tubuhku di atas kasur karena tak henti merasa kedinginan padahal pendingin ruangan sama sekali tak kunyalakan.
“Key, ada Adin.” Mama muncul di balik pintu kamar diikuti laki-laki dengan sebungkus makanan di tangannya. “Mama tinggal, ya.”
Setelah Mama berpamitan, Adin masuk ke kamarku dan duduk di pinggir tempat tidurku. Aku memilih untuk duduk bersandar pada kepala tempat tidur untuk menyambutnya. Sebelum memulai sebuah percakapan, Adin sudah sibuk membuka makanan yang ia bawa dan menyerahkannya padaku.
“Gue cari lo tadi di sekolah, kata yang lain lo udah pulang. Padahal tadi udah mendung banget, kalo kayak gitu mending lo pulang bareng gue biar ga keujanan, Key.” Adin berucap lebih dulu dengan cukup panjang seraya mengaduk bubur ayam di tanganku.
Adin memang tahu bahwa aku lebih menyukai jika makan bubur yang diaduk. Ia pastinya akan lebih paham dengan segala kesukaanku melalui tahun-tahun yang telah kita lewati bersama. Hampir setengah kehidupanku ada Adin di dalamnya, tidak heran hal sekecil ini sudah diluar kepalanya untuk bisa ia mengerti,.
Merasa sudah tercampur semua, tangan laki-laki itu kemudian memindahkan sendok untuk kupegang dan mengisyaratkan diriku untuk segera memakannya. “Tadi gue telpon Tante, mastiin lo udah di rumah apa belum soalnya ujannya deres banget. Gue sempet cariin lo di sepanjang jalan ke rumah tapi sama sekali ga nemuin lo. Terus barusan Tante nge-chat gue bilang lo udah pulang.”
Aku menelan suapan pertamaku yang kumakan selagi mendengarkan Adin, “Makasih ya, Din.”
“Besok berangkat sama gue aja." Adin merapikan rambut di dahiku dan menyentuh dahi itu dengan punggung tangannya, “Tapi kalo lo masih panas kayak gini, besok izin sakit, ya? ”
“Iya, Adin.”
“Ga ada lagi kejadian kayak gini, Key.”
“Gue ga kenapa-napa, Din. Tenang aja.”
Adin menghela napasnya cukup kasar, “Ga boleh ceroboh kayak gini lagi besok-besok, Key. Selain karena lo yang berakhir sakit kayak gini, lo harus inget kalo Adit udah jadi cowonya Sara sekarang.”
“Lo mantannya.” Aku tertawa meledek seraya melanjutkan suapanku.
“Gue ga bercanda, Keyla.” Adin menatapku dengan serius. “Lo harus bisa jaga jarak sama Adit sekarang.”
“Ga semudah itu, Din. Gue sama dia satu circle di kelas, kita juga tetanggaan. Sebelumnya gue sama dia pernah berantem, akhirnya semua orang udah sibuk nanyain kita kenapa. Kalo gue harus jaga jarak, apa ga bakal jadi pertanyaan orang-orang?"
Adin terdiam untuk sesaat, “Walaupun gue yang minta, itu tetep susah buat lo lakuin?”
Aku menghentikan kegiatanku memakan bubur ayam dan membalas tatapan serius Adin dengan penuh tanda tanya. Laki-laki itu malah menarik salah satu tanganku yang bebas dan mengusapnya pelan. Ia menaikkan kedua alisnya untuk kembali memastikan bahwa aku mampu untuk menuruti permintaannya.
***
Hari ini kuputuskan untuk tidak masuk sekolah seperti apa yang disarankan Adin semalam. Selepas Adin berpamitan pulang, aku tertidur sebentar dengan menahan pusing di kepalaku. Namun, di pagi buta demam yang kembali datang membuatku terbangun dan terisak karena tak mampu menahan rasa panas di tubuhku. Mas Aldan sempat mendengarku menangis dan mencoba untuk mengambil kompres untuk meredakan panas tubuhku.
Seharian aku terus berada di atas tempat tidur bermaksud untuk istirahat secara penuh agar cepat membaik dan bisa kembali sekolah. Dengan mata menyipit karena pusing di kepalakunya masih bersisa, aku melihat jam yang menempel di dinding kamarku. Sudah pukul lima sore saat ini, menandakan aku tertidur cukup lama sejak terakhir meminum obatku saat makan siang.
Aku berjalan menuju balkon kamar dengan sedikit tertatih karena pusing. Pikirku akan merasa segar apabila aku bisa menghirup udara sore ini ataupun mendapatkan energi lebih apabila melihat kumpulan anak kecil bermain di jalanan kompleks. Aku menoleh pada kamar Adit yang sepi, sejak kepulangan kami kemarin aku sama sekali tak menerima kabar darinya ataupun ia yang menanyai kabarku. Namun, melihat kamarnya yang masih sepi, sepertinya ia baik-baik saja dan masih berada di sekolah saat ini.
Bersamaan dengan lamunanku, sebuah mobil berhenti di depan rumah Adit menampakkan Sara yang keluar dari mobil itu. Perempuan itu berjalan dengan panik di pekarangan rumah Adit dan terhenti kala melihatku berada di balkon. Sorot mata Sara menatapku dengan begitu tajam. Setelahnya kembali ia langkahkan kakinya memasuki rumah Adit dengan terburu-buru.
“Kenapa di luar?”
Aku menoleh ke dalam kamarku ketika mendengar sebuah suara menyapa. Di sana sudah ada Adin yang masih dengan seragam sekolah kami dan tas di pundaknya. Ia membawa satu kantung plastik putih dengan wangi makanan yang kusukai.
“Kapan datengnya?” Aku bertanya seraya menerima kantung plastik yang dipegang Adit. “Dimsum pertigaan SMP?”
Adin mengangguk, “Biar lo cepet sembuh, gue bawain yang lo suka.”
“Baik banget?”
“Bukannya gue emang selalu baik?” Adin tertawa dengan begitu renyah yang mendapat pukulan pelan dariku.
Aku membuka plastik di tanganku dan mencoba menghirup wangi makanan yang cukup menenangkan itu, “Kalo gini ceritanya gue pasti bakal sembuh besok.”
Adin tersenyum dan menepuk kepalaku dengan pelan. Setelahnya ia langkahkan kakinya mempersempit jarak di antara kami sebelum membawa tubuhku untuk jatuh ke dalam pelukannya. Adin mengelus rambutku dengan pelan seperti memberikan afeksi yang berbeda.
“Gue ternyata ga suka liat lo sakit.” Adin semakin mengeratkan pelukannya, “Dari pagi gue chat lo tapi ga dibales, gue datengin Ziana katanya lo ga masuk. Pulang tadi gue buru-buru buat ke sini, mau pastiin kalo lo udah baik-baik aja.”
Aku memegang kantung plastik dimsum dengan cukup erat di dalam pelukan Adin. Rasanya selama dua hari ini tubuhku menjadi pilihan terbaik untuk Adin maupun Adit memberikan pelukan mereka. Walaupun kedua laki-laki itu memberikan pelukan yang sama, tetapi aku merasakan hal yang berbeda. Pelukan Adin kali ini terasa cukup berbeda dengan yang dilakukan Adit kemarin.
Ditengah apa yang terjadi antara Adin dan diriku, secara tiba-tiba suara cukup kencang dan mengagetkan terdengar dari balkon Adit. Hal itu membuat Adin melepaskan pelukannya dan menatap ke arah yang sama denganku. Tirai pintu balkon Adit yang sedikit terlihat kini nampak bergoyang seperti menandakan bahwa suara kencang yang baru saja terjadi kemungkinan besar berasal dari pintu balkon milik Adit.
“Gue kira ga ada orang di rumah Adit.” Ucap Adin setelah aku mengajaknya untuk masuk ke dalam dan membuka dimsum yang ia bawa untuk kami makan.
“Tadi gue liat Sara dateng ke rumah Adit, sih. Mungkin emang lagi sama Sara.”
Adin mengangguk, “Sara juga jengukin Adit kayaknya, dia ga masuk juga hari ini. Makanya waktu tadi gue nyamperin Ziana, dia sendirian di mejanya."
“Adit juga sakit?”
Adin menggigit satu buah dimsum seraya mengangguk. Satu jawaban tanpa suara yang diberikan Adin mampu membuat pikirku melayang tak tentu arah. Sedikit merasakan rasa bersalah karena sama sekali tidak mengetahui bahwa Adit sedang sakit karena hujan yang mengguyur tubuh kami kemarin. Merasakan pula rasa bersalah karena Adit malah meminjamkan jaketnya padaku dan ia hanya berlapiskan seragam menerjang hujan saat mengendarai motor pulang ke rumah.
Adin menemaniku hingga langit sudah hampir gelap. Aku sedikit mengusirnya untuk segera pulang ke rumah dan berjanji bahwa aku akan kembali sehat agar bisa masuk sekolah esok hari. Laki-laki itu menyetujui pendapatku setelah akupun menyetujui ajakannya untuk berangkat bersama besok. Setelah membersihkan diri, aku buru-buru untuk turun ke lantai bawah rumahku dan mencari Mama.
“Ma?” Aku memanggil Mama yang sedang menuangkan sayur bayam ke dalam mangkuk sayur di atas meja. “Keyla ke rumah Adit ya, Ma?”
“Ngapain? Kamu masih ga enak badan, lho.”
“Adit sakit tau, Ma. Keyla ga enak, soalnya kemarin pulangnya sama Keyla, tapi Adit ikutan sakit.”
Sebelum aku melangkah menjauh Mama menahan tanganku, “Seriusan kamu Adit sakit? Kok dia ga bilang-bilang sih? Sekeluarganya lagi ke Malang nganterin Arin lomba.”
“Dia sendirian dong dari semalem, Ma?”
“Mama ga tau kalo dia sakit, padahal semalem pas kamu pulang Mama telpon dia suruh makan di sini, tapi katanya Mamanya udah siapin buat makan malem sebelum pergi. Jadi ya udah, Mama ga tanya-tanya lagi."
Aku mengangguk paham, “Keyla ke rumah Adit dulu ya, mau liat dia udah baikan apa belum.”
“Sebentar.” Mama mengambil satu mangkuk kosong dan memindahkan sayur bayam ke dalam mangkuk itu. “Bawa ini buat makan Adit, ya. Siapa tau dia belum makan juga.”
Aku kembali mengangguk dan menerima mangkuk yang Mama berikan. Kulangkahkan kakiku terburu-buru setelah berpamitan pada Mama. Aku sampai di depan pintu rumah Adit yang terlihat begitu gelap, seperti Adit tidak menyalakan lampu-lampu rumahnya bahkan untuk lampu di luar.
“Dit?” Aku memanggilnya seraya mengetuk pintu rumah. “Buka pintunya dong, Dit.”
Tak mendapatkan balasan pasti, aku kembali mengetuk pintu rumahnya lebih kencang agar Adit tahu bahwa aku sedang berada di depan rumahnya. Setelah beberapa lama, kudengar derap langkah kaki di dalam berlanjut dengan suara kunci yang berputar dan pintu yang terbuka.
“Dit!” Aku sedikit memekik kala Adit bersandar dengan lemas pada pintu rumahnya.
Tanpa pikir panjang kuambil lengannya dan membawa tubuh Adit untuk segera bersandar di sofa ruang tamunya. Kututup pintu rumah Adit setelah kuletakkan mangkuk sayur bayam yang telah kubawa. Aku berjalan ke seluruh penjuru rumah untuk menyalakan lampu satu persatu agar rumah ini sedikit terlihat lebih bernyawa. Setelah selesai melakukan berbagai hal yang diperlukan, aku kembali mendekati Adit yang kini memejamkan matanya di sofa. Kujulurkan punggung tanganku dan memeriksa suhu tubuhnya yang ternyata sudah sangat panas.
“Kenapa ga telpon Mama gue kalo lo sakit sendirian kayak gini? Gila kali ya lo, udah tau sendirian di rumah, sakit kayak gini juga, tapi ga ngabarin Mama gue ataupun gue, temen lo? Kalo lo kenapa-napa gimana??"
Mendengar omelanku, Adit tersenyum dengan sedikit matanya yang kini mulai terbuka. Dapat kulihat matanya kini memerah dan berair, tetapi dengan tenangnya ia masih bisa tersenyum mendengarku berbicara dengan panik?
“Udah makan?” Aku mencoba untuk menurunkan intonasiku.
Adit mengangguk pelan, “Tadi sama mie instan.”
“Lo tuh emang beneran gila, ya? Gue tadi liat Sara dateng kok, masa lo makan mie instan. Lo bohong 'kan?”
Adit menggeleng dengan lemas, “Dia bawain gue nasi goreng, ga napsu makan makanan yang kering."
Aku mengusap wajahku dengan kasar. Jika saja aku tidak mengingat bahwa Adit sakit karena kami berdua nekat hujan-hujanan kemarin, mungkin sudah kutinju muka laki-laki ini. Sepertinya kali ini aku memang harus lebih bersabar menghadapi Adit karena salahku juga ia bisa sampai sakit seperti ini.
“Makan sama sayur bayam mau, ya? Mama baru aja masak.”
“Gue udah makan.”
“Mie instan doang, apa kenyangnya?”
“Gue ga mau makan lagi.”
“Lo tuh lagi sakit gini, ga usah keras kepala, deh.”
“Gue udah makan, Key.”
Lagi-lagi aku menghela napasku berusaha untuk tetap bersabar, “Minum obat udah?”
“Belum.”
“Ada obatnya, ga?”
“Ada di kamar gue, tadi Sara udah beliin.”
Mendengar petunjuk yang Adit berikan, aku pergi menuju kamar Adit dan mengambil obat yang ternyata berada di atas meja belajar Adit. Sepertinya Sara memang sudah mengetahui kabar bahwa laki-laki itu sedang sakit saat ini, sehingga kedatangannya tadi sudah dipersiapkan terlihat dari begitu lengkap obat-obatan yang Sara bawa untuk Adit.
“Diminum obatnya.” Aku menyerahkan obat yang kubawa dengan segelas air.
Adit menuruti perintahku dan menyelesaikan kegiatannya untuk meminum obat. Ia kembali menyandarkan tubuhnya pada sofa dan memeluk tubuhnya sendiri. Adit memejamkan matanya dan mulai bernapas teratur. Aku memutuskan untuk tetap berada di samping Adit setidaknya hingga laki-laki itu tidak lagi selemas ini.
“Dingin, Key.” Gumam Adit.
“Gue ambilin selimut dulu di kamar.”
Ketika aku sudah berniat untuk berdiri dan pergi mengambil selimut, Adit menarik tanganku agar kembali duduk. Laki-laki itu malah memeluk lengan kiriku yang berada di sampingnya dan menenggelamkan wajahnya dibalik lenganku.
“Lama kalo ambil selimut.” Adit masih memejamkan matanya dan memeluk lenganku. “Gue mau dipeluk aja biar tenang.”
Aku menimang berulang kali tentang apa yang harus kulakukan. Permintaan Adit mungkin cukup sederhana, tetapi mengapa sepertinya aku menjadi salah tingkah untuk memberikan bantuan padanya? Dan bagaimana pula laki-laki yang biasanya begitu menyebalkan bisa bersikap begitu manja saat ini? Bahkan raut wajah yang biasanya dapat memancing emosiku kini berganti dengan begitu damai bersamaan dengan napas teraturnya.
Akhirnya kuputuskan untuk melingkarkan lengan kananku untuk memeluk tubuh Adit. Kutaruh daguku di atas kepalanya yang terbenam di lenganku seraya mengelus punggung laki-laki itu. Setidaknya mungkin panas Adit bisa menurun karena mampu menerima suhu tubuhku yang sudah normal ini. Setidaknya pula, aku membalas untuk kesalahanku membuatnya sakit bukan? Setidaknya, akan ada begitu banyak alasan yang mampu kubuat untuk menjelaskan tentang apa yang tengah terjadi di antara kami.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
