
“Susah nyari yang kayak lo.” Adin tertawa seraya membalas tatapanku, “Kasih gue yang persis kayak lo dulu, kalo lo emang mau ilang dari hidup gue.”
“Gombal banget omongannya, kayak udah latihan.”
“Emang gombalnya ngaruh buat lo?”
Aku menggeleng pelan, “Ga ngaruh tuh, ya kali.”
“Ya kali… gue ngaku? NGARUH BANGET GILA!”
Setelah pertemuan dengan Sara dan Adit di toko aksesoris, kami berempat akhirnya memutuskan untuk menghabiskan waktu bersama di tempat hiburan ini. Beberapa kali kami mencoba wahana yang disajikan dan dalam beberapa kali pula aku melihat bagaimana Adit dan Sara yang sibuk memerkan kemesraan. Seperti yang terjadi saat ini, tangan Sara melingkar dengan apik di lengan kanan Adit yang berjalan di depanku dan Adin. Sesekali dapat kulihat Sara menoleh pada Adit seperti sedang melakukan pembicaraan dengan posisi yang tetap sama.
Sinar matahari kini tak sepanas siang tadi saat kami baru saja tiba disini, tetapi laki-laki di sampingku masih saja terus berusaha memastikan topi yang ia beli terpasang dengan benar di kepalaku. Kami berempat berniat untuk istirahat terlebih dahulu di sebuah restoran Jepang karena sepertinya sudah terlalu lama kami menghabiskan waktu untuk bermain. Sedari tadi Sara terus merengek mengatakan bahwa ia lapar dan sangat menginginkan salah satu menu di restoran itu. Hal itu mau tak mau membuat aku dan Adin hanya dapat menuruti keinginannya dan berjalan mengekor di belakangnya dan Adit.
“Jangan jauh-jauh.” Adin menarikku yang sebelumnya memberi jarak dengan dirinya, tangannya ia lingkarkan di pundakku memastikan bahwa aku tetap berada cukup dekat dengannya. “Nanti kalo ilang susah nyarinya.”
“Gue bukan anak kecil lagi.”
“Tapi tetep bisa ilang juga.”
Aku menaikkan padanganku menatapnya, “Kalo gue ilang, pasti lo juga bakal pulang duluan."
“Susah nyari yang kayak lo.” Adin tertawa seraya membalas tatapanku, “Kasih gue yang persis kayak lo dulu, kalo lo emang mau ilang dari hidup gue.”
“Gombal banget omongannya, kayak udah latihan.”
“Emang gombalnya ngaruh buat lo?”
Aku menggeleng pelan, “Ga ngaruh tuh, ya kali.”
“Ya kali… gue ngaku? NGARUH BANGET GILA!” Aku mengerjapkan mataku beberapa kali seraya memutar pandangan ke sekitar, menghindari tatapan Adin yang masih mencurigaiku.
“Kalo ga ngaruh jangan salting.” Adin menarik kepalaku yang menoleh ke arah berlawanan dan membawa kepalaku untuk kembali menatap dirinya. “Sekarang lo udah bisa dibikin salting gini, ya?”
“Lo ternyata nyebelin juga, ya?”
“Lo beneran salting sama omongan gue tadi?”
Aku melepaskan rangkulan Adin di pundakku dan sedikit memukul lengannya. “Ga jelas, pede banget!”
Setelah mengatakan hal itu, kulipat kedua tanganku di dada dan melangkah lebih cepat darinya. Tak kusadari setelah beberapa saat sibuk berkecamuk dengan salah tingkahku, kulihat Adit menoleh menatapku dari arah depan. Ia melihat diriku dengan tatapan tanyanya, mungkin karena mendengarku yang begitu ribut dengan Adin di belakang.
Selagi aku menggeleng pada Adit untuk memastikan bahwa tidak ada yang terjadi, Adin sudah menyamakan langkahnya denganku dan malah menarik tanganku untuk bergandengan dengannya. Adin tertawa dengan cukup bahagia kala jemariku sudah berada diantara jemari miliknya. Aku tak memberikan reaksi lebih dan hanya mampu menatap tanganku yang sudah digenggamnya dengan cukup erat.
“Kalo gandengan kayak gini, lo salting juga ga?” Adin sekali lagi menggodaku seraya tersenyum meledek.
“Lo tuh ga malu ya kayak gini di depan mantan lo?”
“Dia aja udah mesra-mesraan sama orang lain, gue juga harus bisa.”
Aku mengangguk-angguk dan berusaha untuk melepaskan genggaman Adin yang sulit untuk dilepaskan, “Jadi, lo kayak gini cuma buat manas-manasin Sara?”
“Ga usah dilepas, gue mau gandengan sama lo di Dufan.”
“Cukup, deh. Kata gue kalo lo emang mau manasin mantan lo, jangan jadiin gue tumbal.”
Adin semakin mengeratkan genggamannya, “Ga ada yang mau manasin dia, gue emang mau gandengan sama lo. Emang lo ga mau gandengan kayak gini sama gue di Dufan? Kita diliatin sama orang-orang tuh dari tadi,"
“Soalnya lo gila, mereka pasti kasian sama gue.”
“Bukan, pasti mereka mikir kita cocok banget. Iri mereka tuh, pasti ga bisa gandengan sama pacarnya kayak gini.”
“Tapi gue bukan pacar lo, jadi ga usah gandengan kayak gini.”
“Ya udah jadi pacar gue aja sekarang.”
Napasku tiba-tiba terhenti di tenggorokan selepas Adin berucap. Aku tertawa canggung setelahnya seraya melayangkan beberapa pukulan pada lengan Adin, “Lo jangan asbun, nanti orang-orang percaya.”
“Bagus dong, kalo percaya." Adin menarikku sedikit mendekat pada sekumpulan ibu-ibu yang tengah duduk di salah satu bangku panjang, “Bu, pacar saya cantik 'kan? Dia ga pede katanya, Bu, padahal menurut saya cantik."
“Cantik kok, Neng." Seorang perempuan paruh baya dengan kacamata hitam dan kerudung merah merespon permintaan asal Adin.
Aku mengibaskan tanganku merasakan malu dan menarik Adin untuk menjauh selagi laki-laki itu mengucapkan terimakasih pada ibu tersebut. Aku membulatkan mataku seraya kami kembali berjalan mengekor dibelakang Adit dan Sara. Aku memukul lengan Adin kembali dan melampiaskan rasa kesalku karena ia ternyata bisa cukup jahil seperti itu.
“Tobat sumpah, Din!”
“Kenapa sih?” Adin tertawa seraya tangannya menyelipkan anak rambutku yang keluar dari balik telinga. “Ibu tadi aja percaya lo pacar gue.”
“Udah diem, deh. Gue mau makan aja, laper.”
Bertepatan dengan ucapanku, kami memasuki restoran yang penuh dengan manusia-manusia yang mengunjungi tempat hiburan ini. Untungnya pada saat itu salah satu meja baru saja ditinggalkan oleh pemiliknya dan kami memutuskan untuk menempati meja tersebut. Aku duduk disamping Adin dengan Sara yang berada di hadapanku. Raut wajah Sara tidak terlihat begitu menyenangkan ketika kami berempat sudah menempati tempat kami, begitupun Adit yang malah menatapku dengan tatapan tajamnya.
Seperti biasa Adin sibuk menanyakan pesanan yang akan kami pesan sebelum dirinya melangkah menuju kasir. Selagi menunggu Adin mengantre, tidak ada percakapan berarti diantara kami bertiga. Aku sibuk memainkan handphone milikku dan tidak memedulikan apa yang terjadi pada Adit ataupun Sara.
“Repot banget itu Ibu disana bawa anak balita, kasian.” Adin berucap ketika sudah kembali dan duduk di kursinya. “Pasti panas banget, jadi anaknya rewel.”
“Iya, kasian banget.” Aku merespon Adin dengan mengikuti arah pandangannya.
Adin menarik bahuku untuk berhenti memperhatikan, “Udah jangan diliatin, nanti Ibunya jadi canggung malah makin panik.”
Aku mengangguk-angguk setuju dengan yang ia katakan. Kukembalikan arah dudukku kembali menghadap Sara dan Adit di depanku. Kedua manusia itu masih berkutat dengan handphone masing-masing sejak Adin belum kembali dari kasir. Aku tidak mengerti dengan apa yang terjadi di antara keduanya. Padahal saat di jalan tadi mereka masih terlibat dalam percakapan, tetapi seperti berubah ketika memasuki restoran ini.
“Gue ke toilet ya.” Pamitku pada mereka bertiga.
Aku memasuki toilet yang hanya terisi beberapa orang yang sedang bercermin. Kupilih salah satu bilik untuk menuntaskan apa yang sedari tadi sudah kutahan. Ketika selesai dan membuka pintu bilik, kudapati Sara berdiri di depan cermin tanpa ada seorangpun di sekitarnya. Aku berjalan menuju wastafel untuk mencuci tangan lalu berdiri bersebelahan dengan Sara yang juga melakukan hal yang sama.
“Gue ga ngerti ya sama lo.” Sara menyandarkan tubuhnya pada tembok di sampingnya dan mengeringkan tangannya dengan tisu. “Ga cukup ya lo rebut Adin dari gue? Kenapa harus godain Adit juga sih, Key?”
“Gue rebut Adin dari lo?”
“Iya, lo rebut dia.”
Aku mengambil beberapa lembar tisu dan mengeringkan tanganku, “Ga ada yang rebut Adin dari lo. Gue sama Adin udah temenan dari lama, kita emang kayak gini dari dulu dan lo tau itu. Yang harusnya bingung tuh gue sama Adin, kenapa lo tiba-tiba putusin dia dan harus pacaran sama Adit?”
Sara tertawa meledek, “Tanya sama semua orang, mana ada orang temenan kayak lo sama Adin gitu? Siapa sih orang yang temenan pake gandeng-gandengan kayak tadi?”
“Kenapa? Lo cemburu sama mantan lo sendiri?”
“Sorry? Gue udah punya Adit. Gue ga butuh cowo yang terus-terusan terjebak sama perasaannya sendiri.”
“Kalo lo udah emang cukup sama Adit, kenapa harus ngomong kayak gini ke gue?”
“Karena lo serakah! Gue udah terima lo ambil Adin, ga usah coba-coba ngegodain Adit gue!”
“Ga ada yang godain Adit.”
“Lo bikin Adit goyah! Lo selalu serakah kayak gini, Key! Lo emang selalu obsesi buat rebut cowo-cowo yang deket sama gue 'kan?”
Aku mengernyit, “Lo halu? Buat apa gue kayak gitu?"
“Lo emang selalu kayak gitu, Key.”
Aku membuang sampah tisuku dengan cukup kencang di tempat sampah yang berada di sebelah Sara, “Lo terusin aja deh naskah drama di otak kosong lo. Gue cape dengerinnya.”
Tanpa menunggu respon Sara, aku berjalan mendahuluinya keluar dari toilet. Masih merutuki perempuan yang sialnya pernah menjadi teman terdekatku di SMP. Lagi-lagi aku terheran mengetahui Sara mampu bersikap seliar ini. Aku tidak tahu bahwa perempuan itu bisa membuat karangan cerita yang jauh dari kenyataan seperti itu.
Namun, baru saja aku melangkah keluar dari pintu toilet, tanganku sudah ditarik oleh seseorang. Ia menarikku berusaha menjauh dari restoran tempat kami makan. Genggaman eratnya di tanganku ia lepaskan ketika kami sampai di salah satu tempat yang tidak begitu ramai. Laki-laki di depanku yang tak lain adalah Adit, kini memejamkan matanya mencoba mengatur napas yang memburu. Kedua tangannya ia kepal mencoba melampiaskan emosi yang sedang ia tahan.
Aku menunggu Adit beberapa saat, memilih untuk terus menatap dirinya berharap mata kami dapat bertemu. Namun sepertinya emosinya kali ini sulit untuk dikendalikan. Aku memegang kepalan tangannya pelan, mencoba untuk memberikan afeksi bahwa ia bisa tenang sekarang.
“Kenapa?” Tanyaku pelan.
Setelah mendengar pertanyaanku, Adit membuka matanya membalas tatapanku dengan sendu. Sorot matanya kali ini tidak cukup dapat aku artikan. Banyak emosi yang ia berikan di dalam matanya, seperti memendam banyak makna yang sepertinya ingin sekali ia ungkapkan.
Adit menarik napasnya pelan, “Gue denger apa yang lo obrolin sama Sara tadi. Gue cuma mau ngehindarin lo dari Sara.”
Adit menyelesaikan ucapannya dan pergi meninggalkanku. Aku menatap bingung punggung Adit yang mulai menjauh. Alasan yang ia berikan itu, apakah sesuatu yang benar-benar ingin ia katakan? Namun, mengapa sepertinya aku merasakan ada hal lain yang ingin laki-laki itu ungkapkan padaku? Lalu mengapa Adit pergi begitu saja dengan alasannya yang terdengar begitu basi?
***
“Diem mulu.” Ziana menyenggol lenganku dengan sikunya.
Mata pelajaran terakhir kami hari ini menjadi jam kosong karena guru yang bertugas sedang sibuk menyambut tamu dari dinas pendidikan. Akhirnya kelas kami hanya diberi beberapa soal sebagai tugas untuk dikerjakan hingga jam pulang hari ini.
“Cape kali dia, kemarin abis pacaran full seharian.” Adit yang duduk dengan arah terbalik di kursinya menyahuti ucapan Ziana.
“Lo yang pacaran.” Aku membalas ucapan Adit. “Mana nih jawaban nomer 10, lo udah nyalin dari Azmi 'kan?”
Aku menarik buku Ziana setelah perempuan itu mengangguk dan menyelesaikan pekerjaannya. Ziana merapikan alat tulis miiliknya karena memang jam pelajaran akan selesai sebentar lagi.
“Kalian ke Dufan ga ajak-ajak gue, sih? Gue juga mau main padahal.” Rengek Ziana.
“Jangan mau, Zi. Nanti lo liat orang pacaran mulu." Adit mengibaskan tangannya pada Ziana. “Eneg banget gue ngeliat mereka pacaran.”
Aku membulatkan mataku menatap Adit dan menunjuk wajah laki-laki itu dengan pulpen di tanganku, “Lo yang pacaran ya, anjir. Kemana-mana berduaan terus.”
“Lo gandeng-gandengan sama dia.”
“Emang lo pikir, lo sama Sara engga?”
“Tapi, kalian pake rangkul-rangkulan.”
“Terus kemarin pas tangan lo di pundak Sara ngapain? Nanem singkong?”
Ziana membuka kedua telapak tangannya di depan wajahku dan Adit, “Stop, ini lo berdua emang sengaja mau pamer kalo kalian punya pacar di depan gue ya?”
“Temen lo tuh, Zi. Nyebelin." Aku melanjutkan tulisanku yang hampir selesai. “Ga ngaca kalo ngomongin orang.”
“Berantem mulu lo berdua, heran.”
Aku menutup buku tulis milikku seusainya menyelesaikan tulisan dan menumpuk buku tulis itu di atas buku tulis milik Adit dan Ziana. Setelah menjadi satu, Adit mengambil tumpukan buku tulis itu dan membawanya ke meja guru di depan kelas. Adit kembali duduk di mejanya dan kembali untuk bergabung dalam percakapan denganku dan Ziana.
Tak berselang lama dengan obrolan kami, bel jam pulang akhirnya berbunyi. Ziana buru-buru meninggalkan kelas saat salah seorang teman OSIS-nya menghampiri untuk mengajaknya rapat classmeeting semester ini. Sebelum Adit juga pergi dari kelas, aku menahan tasnya dari arah tempat dudukku memaksanya untuk terhenti.
“Nebeng pulang, dong. Sara hari ini ada les biola 'kan?” Pintaku pada Adit yang kini malah memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana.
“Ga boleh pelit sama tetangga." Ucapku lagi mencoba meyakinkan Adit karena tak mendapatkan responnya sama sekali.
Adit mendorong kepalaku hingga aku sedikit terdorong ke belakang, “Kalo diliat sama Adin, bisa bonyok nanti gue.”
“Ga usah lebay, ngapain Adin bikin lo bonyok?"
“Lo tuh beneran ga ada takut-takutnya ya nebeng sama cowo lain, padahal pacar lo sendiri satu sekolah.”
“Gue ga punya pacar.” Aku mendorong punggung Adit untuk segera berjalan menuju parkiran. “Ayo pulang, udah mendung nanti kita keujanan.”
Adit menyerah dan mempersilakanku untuk duduk di jok belakang motornya. Kami membelah jalanan kota sore ini yang sedikit gelap karena awan mendung memenuhi langit. Adit sedikit mengencangkan laju motornya mengejar waktu agar kami berdua tidak terjebak di tengah hujan. Namun, sepertinya itu hanya mampu menjadi sebagian rencana kami yang tidak direstui oleh semesta. Rintik hujan yang sebelumnya masih mampu kami toleransi perlahan mulai menambahkan volumenya. Adit mau tak mau harus menepikan motornya di salah satu warung kecil yang sudah tutup.
“Kalo gue sendirian, udah gue terusin sampe rumah.” Adit menggumam ketika ia mendekatiku di teras warung yang sempit dan meninggalkan motornya yang kini sudah mandi hujan.
“Ga usah gila, lo nanti kebut-kebutan malah jadi celaka.”
“Tapi, gue jadi cepet nyampe rumahnya.”
“Tapi, lo bisa sakit kalo ujan-ujanan."
“Gue ga gampang sakit, tenang aja.”
Aku mendorong tubuh Adit yang sedikit basah, “Batu banget diomongin. Mending neduh dulu kalo ujan, tunggu sampe reda ujannya. Ga usah bahayain diri sendiri, deh."
Adit mengangguk dengan senyumnya, kakinya sedikit menendang genangan air di bawahnya sebelum menatapku cukup dalam. Tangan Adit kemudian terjulur menyisir rambut teruraiku yang basah sebelum menyilangkan kedua lengannya di dada.
Aku mencoba untuk mengeluarkan handphone berusaha untuk menghubungi Mas Aldan, sedikit mencoba peruntungan apakah ia bisa menjemputku saat ini dan membawakan jas hujan untuk Adit agar kami berdua bisa segera pulang. Namun, sepertinya memang semesta sedang tidak berpihak padaku, handphone milikku sudah tidak dapat menyala karena kehabisan baterai. Aku lupa bahwa aku menggunakannya sedari pagi karena banyak jam kosong akibat dari pegawai dinas pendidikan yang datang ke sekolah.
“HP gue juga mati.” Sebelum aku bertanya, Adit sudah lebih dahulu memberikan jawaban. “Tunggu reda sedikit, nanti kita jalan lagi.”
Aku mengangguk menyetujui ajakannya seraya memeluk diriku sendiri ketika angin bertiup cukup kencang membawa rintik hujan memercik hingga teras warung tempatku berteduh. Melalui ujung mataku, terlihat bahwa Adit menatapku cukup lama sebelum ia membuka jaket yang ia kenakan. Kemudian tak berselang lama jaket itu sudah melekat di atas bahuku, laki-laki itu menarik kedua lengan jaket yang tak terpasang hingga ke depan tubuhku dan mengikatnya.
Aku memperhatikan dengan lekat wajah serius Adit ketika melakukan hal tersebut di depanku. Kalau bertemu Adit dalam versi seperti ini, sepertinya Sara membuat keputusan yang cukup baik memiliki Adit sebagai pacarnya. Aku menggigit bibir bawahku ketika Adit sudah kembali pada posisinya menyilangkan kedua tangan di dada dengan hanya berbalut seragam SMA.
Hujan lebat yang mengguyur kota ini sepertinya sengaja untuk menghabiskan pasokan airnya di awan. Dapat kuhitung hanya beberapa kendaraan yang lewat di tengah lebatnya hujan. Mungkin kebanyakan dari mereka seperti kami berdua yang tidak punya keberanian menerjang hujan dengan angin yang menerpa cukup kencang.
Ditengah pikiranku menatap hujan di depan kami, Adit menarik tubuhku untuk berada dalam dekapannya. Ia memelukku dengan cukup erat hingga aku dapat merasakan hangat ditubuhku karena perbuatannya.
“Lo udah gue pinjemin jaket, gantian gue juga kedinginan.”
Aku tersenyum mendengar alasannya yang terdengar basi ditelingaku. Namun, sepertinya akupun menyukai apa yang sedang ia lakukan untuk menghangatkan tubuhnya ini. Setidaknya pada posisi ini kami berdua sama-sama diuntungkan, jadi aku tidak akan banyak protes tentang apa yang tengah Adit lakukan.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
