Treat You Better Bab 1-5

16
0
Deskripsi

Almeera Wijaya mencintai sepupunya sendiri. Sayangnya cinta itu tidak mendapatkan restu dari keluarganya dan ia juga tidak sengaja mendengar bahwa Lucas hanya menganggap Almeera sebagai saudara.

Almeera bertekad untuk move on. Saat itu lah ia bertemu dengan Ravelino Ravindra, pria dingin yang menjadi klien Almeera tapi selalu membuat Almeera kesal setiap kali bertemu dengannya. Namun, lambat laun Almeera menjadi terbiasa dengan sikap pria itu, terlebih ketika Ravel mengatakan bahwa ia jatuh cinta...

Satu

 

Jemari lentik itu bergerak menggulir layar. Tatapannya terfokus pada apa yang ia cermati sejak setengah jam yang lalu, mengabaikan seseorang yang sedari tadi mengajaknya bicara.

“Teh, dengerin aku nggak, sih?”

Vanala Rahardian, sepupu gadis itu menatap sebal.

Almeera Wijaya menoleh. “Denger, La.”

“Respon, dong,” pinta gadis yang lebih muda darinya. 

“Mau Teteh respon apa?”

“Tuh, kan!” Vanala mencebik. “Aku udah cerita sepanjang rel kereta api, tapi nggak ditanggapin. Teteh ngapain, sih?” Vanala mengintip layar ponsel Almeera. “Ck.” Gadis itu berdecak sebal. “Pantesan aku dicuekin!”

Almeera hanya mengangkat satu alis menatap sepupunya.

“Teteh beneran suka sama Bang Lucas?” Vanala menatap serius kakak sepupunya itu.

“Hm, gimana ya ….” Almeera berpikir sejenak. “Suka banget sih, nggak. Cuma ….”

“Cuma cinta doang, bener ‘kan?”

Almeera mengangkat bahu. “Nggak tahu.”

“Pikirin ulang deh.” Vanala kembali berbaring di samping Almeera. “Bang Lucas itu selama ini nggak pernah anggap Teteh lebih. Ngapain sih, bisa suka sama dia? Penjahat kelamin kayak gitu?”

“Dia baik sama Teteh—“

“Baik kalau ada maunya doang, ‘kan?” sela Vanala.

“Nggak, baik beneran.”

“Ya iyalah, baik. ‘Kan sepupu,” sinis Vanala. “Kalau dia nggak baik-baik sama Teteh, bisa-bisa dibantai sama Ayah Al.” Vanala menatap kakak sepupunya lebih seksama. “Teh, please, deh. Udahan bersikap bodoh kayak gini, jelas-jelas dia itu nggak punya perasaan yang sama buat Teteh. Kalau dia juga suka sama Teteh ….” Vanala menunjuk layar ponsel Almeera. “Nggak akan mungkin dia posting foto perempuan lain dengan caption: Love. Huek! Ngeliat tuh cewek aja, aku mau muntah!”

Almeera tersenyum. Melihat bagaimana menggebu-gebunya Vanala, terlihat lucu di matanya.

“Kok malah senyum, sih?!”

Almeera tertawa. Menepuk-nepuk puncak kepala Vanala.

“Umur kamu berapa sih, La? Teteh lupa,” tanya Almeera pura-pura lupa.

“Dua puluh sekian pokoknya. Pastinya berapa, hitung aja sendiri!” sewot Vanala.

“Kok, kayaknya kamu nggak berubah dari kamu SMA?”

Vanala mendelik. “Maksudnya?! Aku kekanakan, gitu?”

“Ih, Teteh nggak bilang gitu. Kamu sensitif banget.”

“Tahu, ah!” Vanala bangkit dari duduknya. “Ke rumah Mas Rai, yuk?!”

Almeera menahan senyum. “Kangen, Rai?”

Vanala memutar bola mata. “Aku mau minjem komik!”

Almeera kembali tertawa. “Komik Teteh juga banyak.”

“Mau pinjem yang lain juga!”

“Minjem apa sih, Dek?” Almeera berpangku dagu. “Teteh pengen tahu.”

“Hati!” jawab Vanala ketus.

Keduanya terdiam sesaat, kemudian tertawa terbahak-bahak hingga memenuhi seisi kamar dengan tawa yang membahana.

*** 

Keduanya memasuki kediaman Radhika Zahid. Langsung menuju dapur seperti biasanya, menemukan ibu Rai sedang membuat jus.

“Hai, Ma.” Almeera menyapa.

Davina mengangkat wajah, tersenyum menatap dua gadis yang kini sudah sepenuhnya dewasa memasuki dapur.

“Hai, Girls. Kalian dari mana?”

“Dari rumah Teteh.” Vanala menjawab seraya duduk di meja pantri. “Mama bikin apa?”

“Jus. Buat Rai sama Luke.”

Vanala melirik Almeera. “Bang Luke ada di sini?”

“Ada, lagi ngobrol di belakang sama Rai.”

“Ya udah sini, aku yang anter jusnya.” Almeera meraih nampan yang semua dipegang oleh Davina.

“Semangat amat,” ledek Vanala yang dibalas kerlingan mata oleh Almeera.

“Nala juga mau jus?” Davina kembali mendekati kulkas.

“Mau.” Nala menjawab semangat, sementara Almeera melangkah menuju teras samping mengantarkan jus untuk Rai dan seorang pria yang telah menjadi pujaan hatinya cukup lama.

 “… sama gue, Bang.”

Kening Almeera berkerut, ia menghentikan langkah mendengar suara Rai.

“Jujur apa?” Suara Lucas terdengar santai.

“Kenapa sih, lo terus-terusan gandeng Teh Ala ke mana-mana? Lo suka sama Teteh gue?”

‘Kok aku mendengar namaku di sebut-sebut ya?’ Pikir Almeera. Ia merapat ke dinding, tidak bermaksud menguping, tapi ia memang menguping saat ini. ‘Sesekali nggak masalah nguping, asal jangan tiap hari. Iya, kan?’ Almeera tersenyum mendengar suara hatinya sendiri.

“Suka? Sama Ala? Kamu gila, ya? Dia itu sepupu kita. Masa iya suka sama sepupu sendiri?”

Almeera menelan ludah susah payah. Apa maksud ucapan Lucas? 

‘Lucas minta dirajam, ya? Wah, ngajak berantem ini orang!’ Almeera berdiri geram di tempatnya.

“Ya terus lo ngapain gandeng Teh Ala ke mana-mana? Lo tahu akibat dari tindakan lo? Orang-orang pada nyangka lo dan Teh Ala pacaran, kalau lo emang nggak suka sama Teh Ala, stop gandeng Teteh gue ke mana-mana. Emangnya Teteh gue truk? Yang butuh gandengan?”

‘Tuh, dengerin ucapan Rai!’ Almeera membatin kesal seorang diri.

“Aku bawa Ala ke mana-mana karena dia orangnya nggak mudah baper. Dia juga bisa jadi tameng kalo ada perempuan yang deketin aku, waktu aku lagi nggak mau didekatin orang.”

Lucas bilang apa? Nggak mudah baper? Apa dia tidak tahu kalau Almeera itu sudah sangat terbawa perasaan atas tindakan pria itu? Apa dia tidak tahu kalau selama ini Almeera sudah mengartikan sikap pria itu dari sudut yang berbeda? Mendengar ucapan Lucas, rasanya Almeera ingin menyiram wajah Lucas dengan jus mangga yang sedang ia pegang saat ini. 

‘Disiram, ditinju, dilibas, ditebas, ditonjok … pokoknya semuanya deh. Huh, emosi gue!’ geram Almeera dalam hati.

“Ya udah, mulai sekarang, lo harus berhenti deketin Teh Ala kalau memang lo nggak ada maksud apa-apa sama dia. Teh Ala butuh pasangan, jadi selama lo terus gandeng dia ke mana-mana, nggak bakal ada cowok yang deketin dia. Lo harus jauh-jauh, gue nggak mau ngeliat Teteh gue jomblo sampai tua.”

Almeera menarik napas dalam-dalam. Perkataan Rai memang benar. Di antara semua sepupu gadis itu, Rai memang sepupu yang paling dekat dengannya. Sangat dekat hingga ia tahu semua rahasia Almeera dan begitu juga sebaliknya. 

‘Tapi kalimat jomblo sampai tua itu kok nggak enak banget dengernya?’ Almeera mendengkus sinis.

“Sekarang gini deh, Bang. Lo kan udah punya pacar, mending lo fokus sama pacar lo yang model itu. Dan Teteh gue juga fokus buat cari pasangan. Lo ngerti, ‘kan, Bang?”

“Hm.” Hanya itu tanggapan dari Lucas.

Almeera menghela napas. Menahan diri untuk tidak memberikan tendangan memutar ke wajah pongah Lucas. 

‘Dasar sepupu brengsek! Udah dibaperin, eh malah cuma dimainin. Kalau ada juara ngebaperin terus nge-ghosting, kurasa Lucas bakal menang! Cowok mah gitu, sakate-kate banget.’

“Kok jusnya lama, sih?” Rai berdiri, Almeera mundur beberapa langkah, kemudian memasang wajah seperti biasanya. Tepat ia memasang senyum, Rai memasuki rumah. “Loh, Teteh baru datang?” Rai tampak terkejut melihat Almeera. Wajahnya pias dan ia begitu ketakutan. Almeera tahu, Rai takut gadis itu mendengar percakapan mereka tadi.

“Iya, nih jus kamu.” Almeera menyerahkan nampan ke tangan Rai yang segera menerimanya. Sebelum ia melempar isi jus itu ke wajah Lucas yang sibuk dengan Ipad-nya.

“Teteh beneran baru datang? Atau udah lama?” Rai kembali bertanya dengan wajah takut.

“Baru datang, kok.” Almeera tersenyum. “Kalian lagi ngobrolin apa? Seru kayaknya.”

“Oh, nggak kok.” 

Almeera mengikuti Rai menuju teras belakang, tatapan matanya menusuk tajam Lucas yang sibuk dengan Ipad-nya itu sejak tadi. Tidak menoleh sedikit pun pada Almeera.

‘Dia bilang apa tadi? Aku nggak baperan?! Makan tuh baperan! Aku nggak baperan kok. Siapa bilang aku baperan?! Cuma … sering terbawa perasaan aja, sih.’ Almeera tersenyum kecut.

***

Almeera memarkirkan mobil di depan rumah Rai, mengantarkan beberapa cake buatan Bunda untuk Mama Davina. Ia membuka bagasi belakang, meraih tiga buah cake di sana, memeluknya.

Lalu, gadis itu terdiam.

‘Terus, cara nutup bagasinya, gimana? Hadeh!’

Almeera diam sejenak, menunduk, menatap pakaian yang ia kenakan sekarang. Ia mengenakan heels yang cukup tinggi dan celana untuk ke kantor hari ini.

Almeera tersenyum, teringat pada sebuah video yang pernah ia tonton di internet. Tentang bagaimana seorang wanita melakukan gerakan split dalam posisi berdiri, menutup bagasi mobilnya. Kalau tidak salah, dulu namanya fitness challenge.

Almeera tertarik untuk mencobanya.

Almeera berdiri, kemudian menaikkan satu kakinya ke atas. Beruntung, ia sabuk hitam karate. Gerakan split dalam posisi berdiri ini bukan gerakan yang sulit untuknya. Dengan ujung sepatu, ia menekan sensor untuk menutup bagasi.

Berhasil!

Almeera tersenyum bangga, pintu bagasi perlahan tertutup.

Saat ia masih terlarut dalam euphoria kebahagiaan karena berhasil melakukan hal itu, sebuah suara tawa yang serak terdengar di sampingnya. Almeera segera menoleh, menemukan Lucas tengah bersandar santai di samping mobil sport-nya.

Pria itu mengenakan kemeja berwarna navy, dengan kedua lengan yang digulung hingga ke siku, wajahnya yang tampan selalu tampak menakjubkan, rambutnya disisir ke belakang dan sedikit terlihat berantakan, ia mengenakan kacamata hitam dan tersenyum geli menatap Almeera.

Dari ujung kaki hingga ujung kepala, semuanya meneriakkan kata dolar, dolar dan dolar.

Almeera menelan ludah susah payah.

‘Ampun, Gusti. Cakep banget, sih, ini orang.

Sadar, Ala! Move on!’

Almeera berdehem. Seketika sadar, bahwa tadi ia terpana menatap Lucas yang luar biasa menawan, berdiri di samping mobil mewahnya dan tertawa geli menatapnya. 

‘Tolong, jangan katakan kalau aku tadi meneteskan air liur!’

“Ngapain ketawa?!” tanya Almeera ketus.

Lucas menghentikan tawa gelinya, membuka kacamata hitam dan menatap Almeera dengan senyuman.

“Yang kamu lakukan tadi, menarik,” ujarnya.

‘Duh, suaranya ….’

‘Fokus, La! Fokus!’

Lucas mendekati Almeera, mengulurkan tangan.

“Apa?!”

Cake-nya. Biar aku yang bawain,” ujarnya meraih cake yang gadis itu peluk di tangan. Lucas mengambil semua cake dan membawanya ke dalam rumah. Baru beberapa langkah, ia menoleh pada Almeera yang masih berdiri di samping mobilnya. “Sampai kapan kamu mau bengong di sana?” Lagi-lagi, pria itu tersenyum geli menatap Almeera.

‘Apaan sih? Ngapain ketawa mulu?! Memangnya aku badut, ya?’

“Aku mau balik ke kantor. Titip cake-nya, ya.”

“Almeera ….”

Almeera menghentikan langkah, menatap Lucas yang juga menatapnya lekat.

“Apa?”

“Nanti malam, dinner sama aku, mau?”

‘Dinner?’ 

Gadis itu berpikir sejenak. Teringat percakapan Rai dan Lucas tempo hari. Percakapan yang dipikirkan Almeera selama dua minggu ini, yang kemudian membuatnya sadar, kalau pada akhirnya, ia tidak akan bisa bersama Lucas. Pria itu tidak menyukainya dengan cara yang sama, sebagaimana ia menyukai pria itu. Almeera sadar, ia harus mulai mengejar kebahagiaannya sendiri. Dua puluh enam tahun hidupnya, sudah ia habiskan untuk mengagumi Lucas. Sudah saatnya, ia berhenti melakukan hal itu.

‘Dia ngajakin aku karena aku orangnya nggak baperan, kan? Ogah! Aku malas dimainin mulu. Aku udah bertekad move on. Lagian ngapain ngajak aku dinner, kalau dia sendiri punya pacar seorang model, yang seksinya minta ampun itu?’

Sorry, aku udah ada janji.”

“Sama siapa?” tanya Lucas cepat.

“Sama orang lah. Masa sama monyet?!”

“Ala ….” Lucas menatap Almeera seraya sedikit memiringkan kepalanya.

“Sama orang,” jawab gadis itu ketus.

“Laki-laki atau perempuan?”

“Ngapain nanya-nanya? Kepo?!” Almeera memelotot.

“Iya,” jawabnya tanpa berpikir panjang.

Almeera memutar bola mata.

“Ada deh pokoknya. Aku pergi dulu, bye.” Almeera segera masuk ke dalam mobil dan meninggalkan Lucas di sana. Sebelum pergi, gadis itu bisa melihat wajah Lucas menatapnya dengan sangat tajam.

‘Bodo amat!’


 

 

Dua

 

“Mbak, masih lama?”

Almeera menerima panggilan dari asistennya tentang pertemuan penting siang ini bersama salah satu klien utama perusahaan. Kali ini, sebuah permintaan pribadi dari klien VVIP perusahaan ayahnya. 

“Masih macet, Las,” ujarnya pada Lastri.

“Duh, kliennya udah nungguin dari setengah jam yang lalu, Mbak.”

“Saya usahain segera, ya. Ini udah mau deket, kok.”

“Usahain ya, Mbak. Katanya kalau dalam waktu sepuluh menit lagi Mbak Ala belum sampai, dia mau kerja samanya dibatalin.”

“Duh, jangan dong. Ini klien penting saya.”

“Ya, makanya Mbak Ala buruan.”

Almeera menghela napas. Salahnya sendiri yang terlalu asik dengan pekerjaannya tadi, sampai lupa jika ada pertemuan yang harus ia hadiri.

Almeera memarkirkan mobilnya di kedai kopi yang menjadi tempat pertemuan, meraih laptop dan tas, lalu buru-buru keluar dari mobil sampai nyaris menabrak petugas parkir.

“Duh, Non. Lihat-lihat dong kalau jalan.”

Almeera meringis. “Maaf ya, Pak. Buru-buru soalnya,” ujarnya segera berlari memasuki kafe sekaligus kedai kopi ini, lalu mencari-cari klien pentingnya itu. Kata Lastri, pria itu memakai kemeja hitam dan celana hitam.

Almeera mengerutkan kening. Ada tiga pria yang memakai pakaian serba hitam di dalam kafe ini. Jadi, kliennya yang mana? Sementara dia sendiri tidak memiliki nomor ponsel kliennya itu. Astaga!

Almeera menghubungi Lastri.

“Mbak Ala udah sampai?”

“Udah. Dia bilang pakai baju apa, sih, Las?”

“Baju hitam, sama celana hitam.”

Almeera mengerang frustasi. “Di sini ada tiga orang yang pakai pakaian kayak orang mau melayat. Kasih nomor ponselnya, buruan.”

“Iya, Mbak. Wait ya.”

Tidak lama, nomor ponsel klien itu dikirim oleh Lastri.

Hm, Lastri memberinya nama ‘Klien Ganteng’, really? Almeera mendengkus dan segera menghubungi nomor itu.

Seorang pria yang duduk membelakanginya terlihat meraba saku celananya. Nah, pasti dia orangnya.

Almeera segera mendekat seraya memutuskan sambungan.

“Selamat siang.”

Pria itu mendongak, menatap gadis itu datar. “Siang,” jawabnya dingin. “Almeera Wijaya?”

“Ya.” 

“Silakan duduk.”

Almeera duduk dan meletakkan tas laptop di atas meja.

“Kamu tahu pukul berapa ini? Kamu tahu berapa banyak waktu saya yang terbuang sia-sia karena kamu? Saya sudah menunggu kamu selama hampir satu jam!”

Almeera menatapnya lekat, sedikit terperangah. “Empat puluh menit,” ujarnya sewot.

“Apa?”

“Anda menunggu saya belum sampai satu jam. Tapi, empat puluh menit.”

“Saya bilang hampir,” ujar pria itu ketus.

Almeera kembali menatapnya dengan tatapan menyipit.

Pria ini tampan, sangat tampan malah. Rambutnya dipotong rapi dan disisir ke belakang, memperlihatkan dahinya yang menawan. Rambut digel rapi itu terlihat sangat cocok dengan bentuk wajahnya yang luar biasa. Bola matanya berwarna kecokelatan, garis hidungnya mancung, bibirnya yang tipis dan berwarna kemerahan, lalu jakun seksinya yang ….

“Sudah puas mengamati saya?”

Glek! Almeera menelan ludah susah payah. Menunduk dengan wajah malu. 

‘Sial, apa-apaan, sih?! Malu-maluin, aja!’ erangnya dalam hati.

“Maaf.” Almeera mengangkat dagu dengan angkuh. Menatap pria di depannya dengan ekspresi datar. Namun, tatapan mata pria itu yang mengintimidasi membuat Almeera menelan ludah susah payah. “Saya terlambat karena macet.”

“Memangnya kamu tidak tahu, kalau Jakarta setiap hari macet?”

‘Kok, nyebelin sih?!’

“Maaf, Pak. Saya tadi benar-benar sudah mengusahakan—“

“Saya tidak ingin buang-buang waktu dengan mendengar alasan nggak penting kamu itu.”

‘Ya salam …. Rasanya pengen gue gorok lehernya.’

“Baik, mari kita langsung ke pembahasan penting hari ini,” ujar Almeera seraya menahan sabar, membuka laptop. Sementara pria tampan dengan jakun seksi itu menyesap kopinya perlahan dengan wajah bosan.

‘Ugh! Cakep-cakep cadas!’

“Baik, Pak. Karena Anda sudah mengutarakan—“

“Kamu tahu nama saya?”

“Heh?” Almeera mengerjap bodoh, menatap pria di depannya. “Nama?”

“Ya, nama saya.”

Almeera menggeleng. Lastri memberi nama di kontaknya dengan sebutan ‘Klien Ganteng’. Masa iya Almeera juga harus memberinya nama yang sama?

Pria itu berdecak. “Nama klien saja kamu tidak tahu.”

‘Lastri sih, nama klien kok dikasih nama aneh-aneh!’

“Sebelum kita mulai meeting-nya. Kamu cari tahu dulu siapa nama saya,” perintahnya dengan suara arogan.

‘Hah! Penting, gitu?’

“T-tapi kita bisa—“

Pria itu bersedekap, menatap Almeera dengan satu alis terangkat.

Ah, sialan!

Almeera segera meraih ponsel, menghubungi Lastri.

“Iya, Mbak?”

“Las, klien saya ini namanya siapa, sih?” tanya Almeera dengan nada kesal. Sengaja berbicara seperti itu langsung di depan orangnya. Bodo amat jika pria itu menatap Almeera dengan tatapan tajam saat ini.

“Klien ganteng itu?”

“Iya, siapa lagi!” ketus Almeera sebal.

“Panggil aja Klien Ganteng, Mbak.”

“Jangan ngaco! Dia nggak bakal mau mulai meeting-nya sebelum saya tahu namanya. Jadi, namanya siapa? Buruan!”

Kali ini pria itu memelototi Almeera. Gadis itu balas memelotot.

“Ya ampun, Mbak. Makanya lain kali kalo saya ngomong, didengerin coba. Udah sering saya bilang kok, namanya.”

“Lupa, nggak penting soalnya,” jawab Almeera ketus.

“Sekarang jadi penting, ‘kan?”

“Las, buruan ih! Nggak ada waktu buat main-main.”

Lastri terkikik. “Namanya Ravelino Ravindra, Mbak. Umur—“

“Oke, thanks,” ucap Almeera segera menutup panggilan. Lalu menatap lekat kliennya. “Nah, Bapak Ravelino Ravindra, saya Almeera Wijaya—“

“Saya sudah tahu nama kamu,” potongnya datar.

Baiklah. Sabar. Almeera menarik napas dalam-dalam. Meski yang ia inginkan sekarang adalah menyiram kopi yang ada di cangkir itu ke wajah pria pongah itu sekarang.

“Bisa kita mulai meeting kita sekarang?” tanya Almeera dengan nada sabar. Disabar-sabarkan lebih tepatnya.

Pria itu mengangguk. “Tentu.”

Dan sepanjang meeting itu, Ravelino Ravindra selalu saja mematahkan argumen Almeera hanya dalam satu atau dua patah kata. Membuat Almeera ingin sekali membenturkan kepalanya ke dinding saking kesalnya.

“Tolong, perbaiki lagi desain kamu, saya sudah deskripsikan desain yang saya inginkan kepada asisten kamu.”

‘Ya, deskripsi yang dia maksud hanyalah kalimat elegan dan menarik. Elegan dan menarik yang seperti apa, bambang?!’ Almeera mengerang putus asa dalam hatinya.

Ia mengurut pelipis. Tiga desain yang Almeera rancang, tidak ada satu pun yang menarik di mata klien pentingnya.

“Bagaimana kalau saya lihat dulu apartemen Anda?” tawar Almeera. Untuk merancang interior yang menarik, setidaknya Almeera harus lihat dulu bentuk dan luas apartemennya. Jadi, ia bisa membayangkan desain yang cocok untuk tempat itu.

“Maksudnya kamu mau datang ke apartemen saya?”

“Apakah tidak boleh? Saya hanya ingin melihat secara langsung, kemudian baru bisa menemukan desain yang cocok untuk setiap ruangan.”

Pria itu tampak menghela napas.

“Baiklah. Dua hari lagi. Kamu bisa datang ke apartemen saya. Alamatnya sudah saya berikan ke asisten kamu. Sampai jumpa dua hari lagi.”

Belum sempat Almeera memberi respon, pria itu berdiri dan menjauh begitu saja.

‘Eh, eh!’

Almeera hanya melongo. 

‘Maksudnya apa sih? Ngeselin banget jadi orang!’ Almeera benar-benar kesal dan ingin memaki.

Sejak tadi Almeera sudah menahan diri untuk tidak meninju wajah pria pongah yang datar itu. Setiap desain yang ia tunjukkan, pria itu hanya menatapnya dengan satu alis terangkat, seolah-olah desain Almeera seperti gambar pemandangan buatan anak TK! Dan ketika Almeera bertanya, “Apakah ada yang menarik bagi Anda?”

“Tidak satu pun.”

‘What the heck!’ Desain ini Almeera buat susah payah dengan darah, keringat dan air mata! Seenaknya saja pria itu mengatakan desainnya tidak menarik.

Almeera menghempaskan punggung ke sandaran kursi.

Ah, baru setengah hari, tapi tenaganya sudah habis tak bersisa.

‘Dasar klien banyak maunya! Kusantet dia, baru tahu rasa!’

***

“Gimana, Mbak? Lancar?”

“Lancar apanya. Darah tinggi saya yang lancar naiknya.”

Almeera menghempaskan diri ke sofa, sementara Lastri duduk di sampingnya.

“Nyebelin orangnya,” sambungnya lelah.

“Cakep banget tapi, ‘kan?”

“Nggak guna cakep, kalau mulutnya tajem!”

Lastri terkikik. “Tapi cakep beneran loh, Mbak. Aku aja naksir, loh.”

“Kamunya aja yang ganjen.”

Lastri kembali terkekeh. “Jadi, gimana? Dia suka sama desainnya?”

“Ditolak semua.”

“Hah?!” Lastri menatap Almeera dengan mulut ternganga. “Desain yang keren-keren itu ditolak? Beneran?!”

“Iyalah. Masa saya bohong?!”

“Wah ….” Lastri geleng-geleng kepala. “Pasti seleranya mahal banget.”

Almeera memicing. “Maksudnya apa tuh? Selera saya murahan gitu?!”

“Ih, sensi banget, sih.” Lastri kembali tertawa. “Maksudnya mungkin dia maunya yang elegan dan menarik.”

“Ya elegan dan menarik yang dia maksud itu kayak apa, Lassssss?!” tanya Almeera gemas. “Dia nggak ngomong apa-apa. Cuma bilang elegan dan menarik. Mana saya tahu elegan yang dia maksud itu kayak apa?!”

“Iya juga, sih.”

Kalau bukan karena klien penting perusahaan, Almeera yakin sudah memelintir leher pria itu tadi!

“Lagian dia kenapa, sih? Nggak jelasin aja maksud elegan dan menarik bagi dia itu seperti apa? ‘Kan, lebih mudah untuk saya kalau dia menjabarkan secara mendetail. Bukannya bikin saya jadi menerka-nerka nggak jelas begini. Kalau udah begini, siapa coba yang susah dan repot? Saya lah! Masa setan?!”

Lastri terkikik melihat bagaimana Almeera marah-marah seperti itu.

“Ngapain kamu ketawa?!” Almeera berkacak pinggang.

Lastri menggeleng. “Habisnya Mbak Ala lucu banget kalo lagi marah-marah, kayak Pak Al. persis banget.”

“Iyalah, Pak Al kan ayah saya!”

“Saya pikir suami saya, tadi.” Lastri terkekeh genit.

“Kamu mau dimutilasi sama bunda saya?!”

“Duh jangan, masih jomblo ini, belum pernah merasakan kenikmatan duniawi.” 

Almeera hanya mendengkus sementara Lastri kembali terkikik.

***

Dua hari kemudian, Almeera melangkah memasuki lobi apartemen kelas kakap di kawasan Jakarta Selatan. Apartemen mewah yang menjadi hunian para artis, pejabat dan kaum elit. Sejujurnya, Almeera ada satu unit apartemen di tempat ini. Tapi, saat ini tempat itu masih kosong, belum pernah ditempati.

Almeera menunggu di lobi, lalu menghubungi klien menyebalkan itu.

“Halo, Pak Ravelino Ravindra. Saya sudah di lobi apartemen Bapak.”

“Tunggu di sana.” Lalu panggilan diputus begitu saja.

Almeera menghela napas. Duduk di salah satu sofa tamu, menunggu di sana. 

Namun, setelah hampir satu jam menunggu, pria itu tak kunjung datang. Almeera melirik arloji yang ada di tangan kiri, lalu menatap lift dengan tatapan kesal.

‘Ini aku dikerjai apa gimana, sih?’ Setiap hal yang berhubungan dengan Ravelino Ravindra, Almeera merasa dirinya selalu menjadi orang yang temperamental.

‘Tunggu di sana itu gimana, maksudnya? Tunggu dia datang? Atau tunggu kiamat datang? Atau tunggu tuyul, kuntilanak dan genderuwo datang?! Lama-lama jadi emosi mulu aku dibuatnya!’

Almeera hendak mengeluarkan ponsel dari tas, ketika ia melihat sosok yang familier memasuki lobi. Pria yang hari ini mengenakan kemeja berwarna abu-abu itu mendekatinya.

“Sudah lama?”

“Sudah satu jam!” ujar Almeera ketus. “Lagian Bapak dari mana, sih? Dari Mars?”

“Oh, sorry, tadi macet,” ujarnya seraya tersenyum mengejek pada gadis yang sudah kesal setengah mati itu.

Almeera memicing. Maksudnya apa? Mau balas dendam padanya, hah?

“Ayo, ke atas,” ujar Ravel seraya melangkah lebih dulu.

Tidak ada waktu untuk mengomel-ngomel kesal, Almeera melangkah mengikuti pria itu memasuki lift. Di dalam lift, hanya ada mereka berdua. Dan saat itulah Almeera baru mencium aroma parfum dari tubuh pria itu. Aroma yang mengingatkannya pada parfum yang sering ayahnya kenakan. Parfum mahal yang berasal dari Paris itu benar-benar wangi, Almeera suka sekali wangi ini.

Lift berdenting dan pintu terbuka. Ravel melangkah lebih dulu dan Almeera mengikutinya dari belakang. Ternyata apartemen yang Ravel maksud adalah penthouse gedung ini. Pria itu menekan sidik jarinya pada sensor lalu membuka pintu. Membuka lebih lebar dan mempersilakan Almeera masuk.

‘Sialan! Ini penthouse yang kuincar tahun lalu. Tapi ternyata seseorang telah lebih dulu membelinya daripada aku. Ternyata, pria ini yang membelinya. Huh, aku iri!’ Kekesalan Almeera naik menjadi berkali-kali lipat.

Almeera mengikuti langkahnya memasuki penthouse lebih dalam, dan semakin mendesah iri karena melihat betapa luar biasanya setiap ruangan. 

“Bisa Bapak beri saya gambaran sedikit, ruangan seperti apa yang Bapak mau?”

Karena penthouse ini masih kosong tanpa ada satu pun perabotan. Jelas, belum ditempati.

Pria itu memandang Almeera sejenak. Lalu, kemudian mulai menjelaskan satu persatu keinginannya untuk setiap ruangan. Almeera segera mencatatnya di Ipad tentang poin-poin penting yang Ravel tekankan. Almeera juga bertanya beberapa hal dan memberi masukan di beberapa tempat yang menurut Almeera cocok dengan gambarannya.

Satu-satunya perabotan di ruangan itu hanya sebuah sofa. Yang tidak terlalu besar, namun cukup untuk menampung dua orang untuk duduk di sana.

Almeera duduk di sofa dan memerhatikan kembali catatan di Ipad-nya.

Ketika Almeera asik dengan Ipad dan bayangannya tentang ruangan-ruangan ini, sebuah botol air mineral terulur padanya.

Almeera mendongak, menatap Ravelino Ravindra yang masih mengulurkan air mineral padanya.

Almeera meraihnya seraya menggumamkan ucapan terima kasih. Ia duduk bersandar, Ipad berada di pangkuannya. Almeera mulai membuka botol, tetapi tutupnya terlalu kuat dan tidak bisa dibuka.

Tiba-tiba, pria itu merebut botol dari tangan Almeera, memutar tutupnya dengan mudah, lalu mengulurkan kembali botol itu pada Almeera yang langsung menerimanya.

‘Oh, bisa berbuat baik juga ternyata.’ gumam Almeera dalam hatinya.

Almeera meneguk air minum itu perlahan.

“Kalau saya minta pengerjaannya nanti dipercepat bisa, ‘kan?”

Gadis itu menoleh. “Tergantung, kalau Bapak sudah setuju dengan desain yang saya buat nanti, saya bisa usahakan untuk dikerjakan lebih cepat.”

“Kalau begitu, tolong, kerjakan lebih cepat untuk desainnya.”

Almeera mengangguk. “Saya akan usahakan semaksimal mungkin.”

Pria itu berdiri dan Almeera ikut berdiri.

“Saya ada meeting setengah jam lagi.”

“Saya juga harus segera kembali ke kantor,” kata Almeera cepat. Memasukkan Ipad ke dalam tas, membawa botol air mineral yang tadi ia minum, Almeera segera melangkah menuju pintu.

“Almeera.”

Almeera menoleh. “Ya?”

“Hubungi saya kalau kamu sedikit bingung dengan desain yang saya inginkan.”

Almeera mengangguk. “Baik. Saya permisi.” Ia melangkah kembali menuju pintu dan keluar dari penthouse itu.

Menghela napas, Almeera melangkah menuju lift.

‘Ah, aku terpaksa harus lembur mengerjakan desain ini. Huft!’

“Ponsel kamu tertinggal.”

Almeera tersentak ketika tiba-tiba pria itu sudah berdiri di belakangnya. Almeera membalikkan tubuh. Karena Ravel yang terlalu dekat dengannya, Almeera terpaksa mundur selangkah. Sementara Ravel tetap bergeming di tempatnya.

Almeera meraih ponsel yang Ravelino Ravindra ulurkan. “Terima kasih,” ujarnya segera memasukkan ponsel itu ke dalam tas, lalu masuk ke dalam lift dan Ravel pun ikut masuk ke dalam. Almeera berdiri di sudut kiri, sementara Ravel di sudut kanan. 

Almeera melirik pria itu dengan ekor mata. Tubuhnya tinggi tegap, kulitnya bersih, postur tubuhnya sangat proporsional. Benar-benar pria yang menarik. Tapi, mengingat sikapnya saat pertama kali bertemu dengan Almeera, membuat Almeera mencebik.

‘Cakep, sih. Tapi mulutnya bikin sebel. Kenapa sih kalau cowok cakep itu rata-rata nyebelin? Apakah memang sudah seperti itu takdirnya, ya?’

Teringat satu lagi pria tampan tapi luar biasa menyebalkan, siapa lagi kalau bukan Lucas Algantara.

‘Hah, kalau yang satu itu, jangan ditanya. Dia luar biasa menyebalkan. Sepupu paling laknat yang pernah aku miliki!’

Kalimat ‘nggak mudah baper’ yang Lucas katakan masih membuat Almeera kesal sampai sekarang. Karena Almeera tidak pernah menunjukkannya, bukan berarti Almeera ‘nggak baper’ karena sikap Lucas padanya.

Almeera kembali menghela napas berat.

Bad day?”

Almeera menoleh, Ravelino Ravindra masih berdiri di sampingnya di dalam lift. Eh, sejak kapan pria yang awalnya berdiri di sudut kini berdiri di sampingnya?

“Iya,” jawab Almeera sekenanya. 

“Kamu sudah makan siang?”

Almeera menoleh, maksudnya apa? Modus ingin mengajak makan siang bersama? Begitukah, pemirsa?

Ravel masih menatap Almeera lekat. Menunggu jawaban dari gadis itu. Tatapan matanya terlihat jernih, kelam dan dalam. Mengingatkan Almeera dengan tatapan ayahnya. Terlihat sama persis. 

Almeera menggeleng tanpa sadar karena terlalu larut dalam tatapan pria itu.

“Mau makan siang bersama saya?”

“Ha?” Almeera mengerjap. “Bukannya tadi Bapak bilang ada meeting?”

“Oh, bisa dijadwal ulang. Nggak penting-penting amat sebenarnya.”

Almeera memutar bola mata. ‘Tadi katanya penting, sekarang nggak penting-penting amat. Ini nih, salah satu ciri-ciri omongan yang nggak bisa dipercaya. Tadi bilang A, sekarang bilang B.’

“Gimana? Ada tempat makan yang enak di sekitar sini. Ayo, masih satu gedung dengan apartemen ini.”

Dengan santainya, Ravelino Ravindra itu meraih lengan Almeera dan membawa gadis keluar dari lift, lalu melangkah memasuki jalan penghubung gedung ini dengan gedung lain. Ada pusat perbelanjaan, restoran dan tempat hiburan di gedung yang akan kami masuki.

“A-anu, Pak. Tolong lepasin tangan saya,” ujar Almeera saat lengannya masih dalam genggaman pria itu.

“Oh, maaf,” ujarnya melepaskan tangan Almeera. Tapi sebagai gantinya, tangannya kini berada di bawah punggung Almeera, membimbing Almeera melangkah.

‘Oh, holy mother baby!’ Almeera memelotot horor merasakan tangan Ravel di bawah punggungnya. Memang sih tidak menyentuhnya secara langsung, tapi Almeera langsung merinding merasakan ada yang menyentuhnya seperti ini.

Sial! Apa pria ini ingin berbuat yang macam-macam dengannya?

Tentu, Almeera tidak akan membiarkannya. Segera saja, Almeera menggeser tubuhnya lalu menatap tajam Ravelino Ravindra.

“Bapak mau macam-macam sama saya?”

“Hah?” Ravel menatap Almeera tanpa berkedip.

“Untuk seorang pria, Bapak cukup berani menggandeng orang yang tidak Bapak kenal.”

Ravel yang awalnya terkejut, kini memasang wajah datar.

“Saya hanya ingin mengajak kamu makan siang bersama,” ujarnya seraya bersedekap.

“Ya, tapi nggak perlu pegang-pegang saya, memangnya Bapak pikir, saya ini wanita murahan?!”

“Saya tidak berpikir seperti itu. Pikiran kamu yang terlalu kotor.”

“Bapak bilang apa?!” Almeera menjerit, tidak peduli dengan orang-orang yang mulai menatap mereka. “Pikiran Bapak yang kotor! Bukan saya!”

“Saya hanya mengajak kamu makan siang, tapi kamu malah nuduh saya macam-macam.” Ravel berujar dengan nada lelah. Seolah ia begitu lelah menghadapi Almeera. Dan hal itu membuat Almeera semakin berang. “Apa kamu selalu menuduh seseorang ingin berbuat macam-macam ketika mengajak kamu makan siang? Apa kamu selalu bersikap seperti ini kepada setiap klien yang mengajak kamu makan bersama?”

“Kalau nggak macam-macam, ngapain Bapak pegang-pegang tangan saya?!”

“Astaga, Almeera. Saya minta maaf kalau kamu mau.”

“Bukan kalau saya mau. Tapi harus!”

Ravel menghela napas dalam-dalam. “Jadi, kamu mau makan, tidak?”

“Nggak! Saya nggak sudi makan sama orang mesum kayak Bapak!” 

Kedua mata Ravel membesar mendengar kalimat terakhir yang keluar dari mulut Almeera.

“O-orang mesum? Saya?”

“Terus siapa lagi? Setan? Kuntilanak? Genderuwo? Tuyul?!” Almeera berkacak pinggang.

Ravel meremas rambutnya yang rapi itu, menatap Almeera dengan tatapan memicing.

“Berapa umur kamu?” tanyanya dingin.

“Ngapain nanya umur saya?!”

“Karena kamu terlihat begitu kekanakan.”

Almeera bersedekap, memicing menatap Ravel yang balas menatapnya dingin. Wanita itu kemudian mendengkus.

“Dasar orang gila!” sentak Almeera kemudian segera pergi meninggalkan Ravel dan tidak memberikan pria itu kesempatan untuk membalas ucapannya barusan.

‘Ini hari terburuk kedua gue, setelah pertemuan pertama gue sama cowok mesum itu!’

 


 

Tiga

 

Almeera melangkah memasuki rumah dengan langkah lelah. Seharian ini, ia luar bisa sibuk. 

“Capek.” Almeera menghempaskan tubuh di sofa, di sebelah Arabella.

“Udah makan?” Arabella bertanya seraya membelai kepala putrinya.

Almeera mengangguk. “Aku sudah makan di kantor tadi sama Lastri. Ayah mana, Bun?”

“Lagi pergi sama si kembar.”

“Kalau gitu, aku mau istirahat dulu. Mau langsung tidur.”

Arabella mengangguk. Almeera beranjak menuju kamarnya di lantai dua, langsung menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. 

Almeera keluar dari kamar mandi dengan rambut basah, handuk kecil membungkus rambutnya, mengetatkan ikatan jubah mandi, ia meraih ponsel yang ada di atas ranjang, bersandar nyaman di kepala ranjang.

Almeera memicing melihat sosial media milik pacar Lucas. Namanya Cherita. Story instagram-nya berisi foto-fotonya bersama Lucas hari ini. Almeera mendengkus. 

‘Apaan, sih? Pamer?’

‘Tapi wajar, sih, ‘kan mereka pacaran. Dasar aku nya aja yang baperan, huh!’

Almeera menutup akun Cherita saat satu permintaan mengikuti masuk ke akun media sosialnya. Almeera membuka profil permintaan itu. Ravelino Ravindra. Almeera membuka akun Ravel. Hanya ada lima foto di sana. Empat foto adalah pemandangan dari gedung yang tinggi, dan satu foto pria itu. Almeera menatap satu-satunya foto wajah Ravel di sana. Foto setengah wajahnya terkena sinar matahari, dan setengah wajahnya lagi terlindung dari cahaya matahari. Dan Almeera baru menyadari warna matanya. Bukannya kecokelatan, tapi hijau yang hampir mirip dengan abu-abu. Emerald green eyes. Matanya indah. Bibirnya kemerahan, dan five shadows o’clock-nya semakin membuatnya terlihat menawan.

Sial. Dia memang tampan.

Almeera mengembuskan napas dan menarik selimut lebih tinggi, ponsel kemudian berdering, ternyata Lucas.

Menghela napas, Almeera mengangkat panggilan itu.

“Belum tidur?”

“Mau tidur. Ada apa?” tanyanya ketus. Almeera masih sakit hati atas kalimat ‘nggak baperan’ tempo hari. Pokoknya masih sakit hati!

“Ketus banget.”

“Bodo. Ada apa? Aku mau tidur ini.”

“Besok malam, acara pesta keluarga Nugraha, kamu datang sama siapa?”

Ah, Almeera lupa acara pesta itu. Keluarga Nugraha adalah bagian dari keluarga Zahid semenjak Davian Nugraha menikah dengan Aqila Renaldi. Almeera dan sepupunya yang lain memanggil kepala keluarga Nugraha dengan sebutan Opa Yodi. Opa Yodi membuat pesta peresmian untuk rumah sakitnya yang baru. Opa Yodi ingin mereka semua datang.

“Nggak datang, aku sibuk banget besok.”

“Beneran nggak datang?”

“Iya.”

“Ya udah, kalau datang, berangkat sama aku ya.”

“Hm.”

‘Males, ntar ujung-ujungnya cuma dijadiin tameng biar nggak ada perempuan di pesta itu yang deketin dia. Udah nggak mau dijadiin alat, aku udah capek.’

Almeera memutuskan panggilan, memilih untuk tidur. Tetapi, otaknya terus berpikir tentang Lucas dan perasaan yang ia punya untuk pria itu.

Sepertinya, ini benar-benar sudah saatnya Almeera melupakan apa pun tentang perasaannya untuk Lucas. Lucas sepupunya, dan rasanya akan aneh, kalau ia menyukai sepupunya sendiri.

***

Hari sudah menjelang malam ketika Almeera keluar dari salah satu klub malam mewah di Jakarta Pusat ini. Almeera mendesain salah satu ruangan VVIP untuk klub itu. Dan tadi, Almeera tengah memantau pengerjaan finishing yang dilakukan oleh orang-orangnya. Pemilik klub suka dengan hasilnya dan mengangguk puas. 

Dikarenakan hari sudah menjelang malam dan para pengunjung klub sudah ada yang memenuhi ruangan, Almeera menyelinap keluar dari pintu belakang. Saat Almeera baru saja keluar dari pintu belakang, tangannya tiba-tiba ditarik oleh seseorang.

Almeera tersentak, menatap orang yang tidak kukenal memegangi erat tangannya. Bukan hanya satu orang, tetapi dua orang.

Almeera menatap dua orang itu dengan kening berkerut, bukankah terlalu dini untuk mabuk?

“Mau ke mana?”

“Lepasin,” ujarnya berusaha melepaskan tangannya dari genggaman kuat dua pria itu.

“Temani kami dong.”

“Apaan, sih!” Almeera menarik tangannya dengan kasar dan berlalu pergi, tetapi dua pria itu mengejarnya. Dan kini, bukan hanya dua, empat orang mengepungnya.

Almeera memeluk dirinya sendiri dan mulai merasa takut. Ia melirik pintu belakang klub, ke mana perginya sekuriti klub? Keluarganya memiliki klub yang seperti ini, milik Papa Dion. Tetapi, klub Papa Dion sangat aman oleh banyak penjaga, bukannya malah tidak memiliki penjaga seperti klub ini!

“Temani kami, dong.” Salah seorang pria mabuk menyentuh rambutnya.

Almeera menepis kasar tangannya. Sial, harusnya tadi ia lewat pintu depan saja. Ia pikir, klub ini aman seperti Litera, rupanya tidak.

“Jangan sentuh saya!” ancam Almeera kasar ketika tangan jahil pria mabuk ini hendak menyentuh wajahnya.

“Ayolah, jangan jual mahal. Berapa yang kamu mau? Kami akan bayar.”

Memangnya Almeera pelacur?! Almeera memelotot dan memikirkan cara, bagaimana ia bisa segera sampai ke mobilnya yang jaraknya tidak terlalu jauh ini.

“Mau ke mana, sih? Buru-buru amat.” Empat orang yang mengepungnya kembali menghalangi jalannya yang hendak menjauh, tangan mereka kini tidak segan-segan menyentuh bagian tubuh gadis itu.

“Lepas!” Almeera teriak marah. Mereka semakin gencar menyentuh Almeera. Almeera sibuk menepis tangan-tangan yang seenaknya meraba tubuhnya itu.

“Hei, lepaskan dia!” Sebuah suara membuat Almeera menoleh.

Pemilik klub datang dan berlari mendekati gadis yang sudah ketakutan itu. Menarik tubuh Almeera ke belakang tubuhnya yang kekar.

“Hei, jatah kami jangan direbut dong.” Empat pria itu kemudian maju dan memukuli pemilik klub. Hanya dalam beberapa pukulan, empat pria mabuk yang sempoyongan itu terkapar. 

Wow, Almeera bahkan belum sempat berkedip tadi.

“Kamu tidak apa-apa?”

Almeera mengangguk. “Mas Bara, terima kasih.”

“Saya minta maaf karena nggak datang tepat waktu buat nolongin kamu. Kamu beneran nggak apa-apa, Almeera?”

Almeera kembali mengangguk. “Beneran, Mas. Nggak apa-apa.” Almeera tersenyum menatap wajah Bara yang cemas. “Tapi kok di pintu belakang nggak dikasih penjaga sih, Mas?”

“Ah iya, saya kekurangan penjaga. Makanya belum ada penjaga buat di bagian belakang. Maafkan saya sekali lagi, Almeera.”

“Nggak apa-apa. Cuma agak kaget tadi.”

Bara membimbing Almeera menuju mobilnya yang terparkir. “Saya jadi nggak enak.”

“Nggak apa-apa.” Almeera tersenyum padanya. “Nanti mereka gimana?” Almeera menunjuk empat pria yang pingsan itu.

“Nanti saya suruh orang-orang saya buat urusin mereka. Kamu nggak kapok buat datang ke sini karena kejadian ini, ‘kan?”

Almeera tertawa. “Nggak kok, Mas. Tenang aja.”

“Syukurlah. Saya khawatir kamu nggak mau datang lagi karena hal ini. Padahal saya senang bisa bertemu kamu.”

Almeera hanya tersenyum malu mendengar hal itu. Sementara Bara menatapnya serius.

“Saya serius, Almeera.”

“He?” Almeera menatapnya tanpa berkedip.

“Saya senang bekerja sama dengan kamu. Dan karena kerja sama kita sebentar lagi selesai, saya merasa agak kehilangan kamu setelah ini. Apa saya tetap bisa menghubungi kamu meski pekerjaan kita telah selesai?”

Aduh, ia harus jawab apa?

“Kamu udah punya pacar?”

“Hah?” Almeera melongo. Kemudian menggeleng.

“Jadi, kalau saya hubungi kamu buat sesekali ngajak kamu makan siang atau makan malam, nggak bakal ada yang marah, ‘kan?”

Almeera menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Nggak ada sih, Mas. Hehehe.”

“Jadi, saya boleh, ‘kan, sesekali hubungi kamu?”

Almeera mengangguk seraya meringis. Nggak mungkin ia tolak begitu saja, ‘kan?

Memang, sejak awal, Bara menaruh perhatian lebih kepada Almeera. Hanya saja, Almeera tidak terlalu menanggapi. Namun, setelah kalimatnya barusan, Almeera jadi tahu kalau Bara benar-benar serius mengejarnya.

“Ya udah, kalau gitu saya pulang dulu, Mas.”

“Hati-hati di jalan, Almeera.”

Almeera mengangguk. Bara membukakan pintu mobil untuknya. Almeera masuk ke dalam mobil dan segera mengemudikan mobilnya keluar dari pelataran parkir klub milik Bara.

*** 

“Gimana sama desain apartemen waktu itu?”

Almeera menatap Rasya yang merupakan salah satu sepupunya yang menetap di Sydney saat ini. Rasya sedang berkunjung ke Jakarta beberapa minggu ini karena urusan pekerjaan. Almeera sempat berdiskusi dengannya tentang apartemen Pak Ravel.

“Desainnya masih kukerjain, Mas. Orangnya nyebelin. Cerewet, nggak jelas.”

Budget?”

Unlimited.” Almeera tersenyum. Ravel memang menegaskan bahwa tidak ada limit untuk make over apartemennya ini. Dia menginginkan yang terbaik. Hanya hal itulah yang membuat Almeera menyukai kerja sama mereka saat ini.

“Wow, Mas yakin kamu bakal bikin dia muter otak karena ngeliat budget-nya nanti.”

Almeera terkikik. “Dia sendiri yang bilang nggak ada limit, Mas. Dia mau yang terbaik. Jadi, aku juga nggak mau ngasih yang abal-abal. Ini proyek solo yang besar untuk aku.” Ya, sekaligus Almeera ingin sedikit balas dendam, biar saja Ravelino Mesum itu melihat tagihan proyek ini nanti! Rasakan!

Rasya mengangguk-angguk. 

“Ngomong-ngomong, kabar kamu gimana?”

“Baik, seperti yang Mas lihat.”

“Masih stuck sama pilihan yang cuma jadiin kamu tameng?”

Almeera tertawa, memukul lengan Rasya. Sialnya, waktu itu Almeera pernah keceplosan bercerita padanya tentang perasaannya kepada Lucas. Dan hasilnya, seperti ini, Rasya terus-terusan meledeknya karena itu.

Move on, Mas.”

Rasya duduk di sebelah Almeera, menepuk-nepuk puncak kepalanya. “La, stop wasting time and get your happiness, udah cukup rasanya.”

I know.” Almeera tersenyum, meletakkan kepalanya di bahu Rasya. “Kalo kata Rai: What a waste of energy.” Almeera terkikik.

True.” Rasya membelai kepala adik sepupunya. “Kamu pasti bisa menemukan yang lebih baik.”

Almeera dan Rasya asik bercengkerama di dalam ruangan gadis itu, kepala Almeera bersandar di bahu Rasya, sedikit bermanja-manja seperti yang biasa ia lakukan kepada kakak sepupunya itu. Mereka membicarakan hal-hal random seperti biasanya. Dari satu topik pembahasan ke topik lain tanpa jeda. Banyak hal yang Almeera suka dari Rasya, terutama sikapnya yang dewasa.

Pintu ruang kerja Almeera terbuka dan Lastri berdiri di sana bersama seseorang yang Almeera kenal. Pria di depan sana menatap Almeera lekat, membuat Almeera salah tingkah. Almeera segera bergeser dari Rasya.

“Maaf, Mbak Ala, Mas Rasya, tapi kata Pak Ravel butuh ketemu Mbak Ala, penting.”

Almeera berdiri sementara Rasya masih duduk santai di ruangan itu.

“Nggak apa-apa, Las.” Almeera tersenyum canggung. “Silakan masuk, Pak Ravel.” Almeera hanya ingin menjaga kesopanan karena pria itu adalah kliennya.

“Maaf kalau saya mengganggu,” ujar pria itu datar.

‘Iya, ganggu banget.’ Namun kata-kata itu hanya mampu Almeera ucapkan di dalam hatinya.

Almeera melirik Rasya yang masih asik duduk. “Psstt, Mas!”

Rasya menoleh. “Kenapa?”

Almeera memberinya kode untuk keluar. 

“Kamu ngusir, Mas?”

“Iya, buruan. Aku ada kerjaan.” Almeera mengibas-ngibaskan tangannya.

“Mas mau di sini aja.” Rasya bersikeras tetap duduk di sofa.

“Massssss.” Almeera memelotot gemas. Suaranya terdengar manja, ia menarik tangan Rasya. “Sana ke ruangan Ayah atau siapa gitu.”

Rasya menggerutu seraya melangkah keluar dari ruangan adiknya. Setelah Rasya benar-benar telah keluar dari ruangannya, Almeera mempersilakan Ravel untuk duduk.

 “Silakan duduk,” ujar Almeera menunjuk sofa.

Ravel bergeming di tempatnya. “Pacar kamu?”

Almeera memicing, bersedekap. Sama seperti yang Ravel lakukan.

“Apa Bapak baru saja menanyakan hal yang privasi buat saya?”

“Hanya sekadar bertanya.” Jawaban singkat dan nada yang datar itu membuat Almeera memutar bola mata.

“Kalau begitu, saya menolak menjawab.” Almeera duduk di sofa, tidak peduli Ravel akan duduk atau tetap berdiri di tempatnya.

Ravel tampak menarik napas dalam-dalam. Lalu memilih duduk di depan Almeera.

“Saya ke sini ingin meminta maaf atas sikap saya tempo hari.”

Satu alis Almeera terangkat.

“Saya hanya tidak ingin hasil kerja sama kita menjadi buruk. Jadi, saya minta maaf atas kata-kata dan tindakan saya yang menyinggung perasaan kamu.”

Almeera bersandar di punggung sofa, menghela napas.

“Saya juga minta maaf atas kata-kata saya,” ujar Almeera setengah hati.

“Apa itu tulus?”

Almeera memicing. “Bapak pikir, ucapan maaf Bapak tadi tulus?!”

Ravel menautkan kedua alisnya. “Kenapa tidak?”

“Hah!” Almeera berdecak. “Bapak minta maaf cuma karena nggak mau saya bikin desain yang asal-asalan buat apartemen Bapak, ‘kan?”

Pria itu diam sejenak. “Tidak sepenuhnya benar.”

Tuh, ‘kan!

“Tapi saya memang ingin minta maaf, rasanya sikap saya sangat tidak sopan sama kamu. Terlebih kamu adalah partner kerja saya. Jadi, saya benar-benar minta maaf,” sambungnya, kali ini dengan nada yang bersungguh-sungguh. “Almeera, saya benar-benar minta maaf. Apa saya dimaafkan? Please ….”

Almeera kembali diam beberapa saat, lalu mengangguk. “Permintaan maaf Bapak, saya terima.” Ia mengucapkan itu hanya karena tidak ingin Ravel mengatainya kekanakan lagi, seperti sebelumnya.

“Jadi, tidak ada masalah lagi di antara kita?” Ravel bertanya hati-hati.

“Nggak. Udah selesai,” jawab Almeera singkat.

“Oke, saya bukan musuh kamu lagi, 'kan?”

“Memangnya saya ngeliat Bapak, kayak ngeliat musuh?”

“Ya, tadi kamu natap saya seperti itu.”

Almeera menghela napas. “Oke, Bapak bukan musuh saya. Dan masalah kita sebelumnya, udah selesai sampai di sini. Ada lagi?”

Ravel mengangguk. “Tujuan lain saya datang ke sini, saya ingin memberi tahu beberapa hal yang berkaitan dengan apartemen saya, ada hal-hal yang saya inginkan untuk kamar pribadi saya.”

“Tunggu!” Almeera berdiri, seketika melangkah cepat menuju meja kerjanya untuk mengambil Ipad. “Oke, silakan Bapak katakan,” ujarnya setelah duduk dan memegang Ipad. 

Ravel menatapnya sejenak, lalu tersenyum kecil melihat wajah serius Almeera.

“Apa kamu selalu berwajah seperti ini ketika bekerja?”

“Hah?” Almeera menatapnya dengan wajah bingung.

“Cara kamu bertindak. Ketika memegang Ipad itu, kamu seketika berubah menjadi seorang profesional.”

“Itu pujian atau …?” Almeera sengaja menggantung kalimatnya.

“Itu pujian, Almeera. Percayalah.”

“Oke.” Almeera mengangguk. Agak canggung dengan percakapan ini. “Bisa kita lanjutkan?”

“Ah, ya.” Ravel kemudian duduk lebih santai di depan Almeera. 

Pria itu mulai menjelaskan hal-hal yang ia inginkan untuk apartemennya, dan Almeera mendengarkannya dengan seksama seraya mencatat poin-poin penting di Ipad-nya.

Setidaknya, diskusi kali ini cukup santai tanpa adanya adu mulut dari keduanya.

Dan Almeera sedikit menyadari, bahwa Ravel bukan pria yang sepenuhnya menyebalkan. Pria itu cukup baik dan sopan. Meski kesan pertama dari pertemuan mereka sangat tidak menyenangkan bagi Almeera, namun, setelah sesi saling meminta maaf tadi, Almeera lebih bisa melihat Ravel dengan cara yang sedikit berbeda.

Pria itu hanya seorang perfeksionis dan penuh wibawa.

Juga tampan.

Ah, poin terakhir memang tidak bisa dibantah.

“Oke, saya simpulkan, untuk warna, Bapak lebih suka abu-abu yang mendominasi di bagian kamar, sementara untuk kamar mandi, Bapak lebih suka perpaduan abu-abu dan hitam. Benar?”

Ravel mengangguk. 

“Boleh saya kasih saran?” Almeera menatap Ravel.

“Tentu, silakan.” 

Jemari Almeera bergerak di layar Ipad-nya. Lalu, ia mengulurkan Ipad tersebut ke hadapan Ravel.

“Saya punya satu desain, saya pikir ini cocok untuk kamar di apartemen Bapak. Silakan dilihat, jika tidak suka, jangan sungkan untuk beri tahu saya. Akan saya buat desain yang lain.”

Ravel menerima Ipad Almeera kemudian menatap layarnya.

“Untuk kamar tidur, dengan lantai berwarna cokelat hangat, dinding berwarna abu-abu dan sedikit sentuhan berwarna hitam, saya pikir desain ini perpaduan yang sempurna. Apalagi, kamar pribadi Bapak memiliki dinding kaca yang sangat besar, saya akan membuat balkon kamar menjadi lebih hangat dan nyaman untuk tempat bersantai.” 

Ravel menatap lekat desain itu, mengangguk. 

“Untuk kamar mandi, Bapak bisa geser layarnya.”

Ravel melakukan apa yang dikatakan Almeera. Lalu terpesona pada desain kamar mandi yang sangat dia sukai. Dengan nuansa hitam dan abu-abu gelap. Sangat pas dengan apa yang ia bayangkan.

“Saya baru memberitahu kamu hari ini tentang apa yang saya inginkan, tapi kamu sudah menyiapkan desain seperti yang saya bayangkan.” Kalimat Ravel terdengar takjub.

Sejujurnya, desain ini Almeera dapatkan karena terinspirasi dari foto-foto gedung yang ada di Instagram Ravel. Sepertinya pria itu menyukai sesuatu yang berwarna gelap, dan juga, Almeera bisa melihat dari kepribadian pria itu, bahwa Ravel orang yang tidak terlalu suka dengan hal yang mencolok.

Dingin namun elegan. Itulah yang bisa menggambarkan apa yang Ravel sukai.

“Bapak suka?”

“Ya.” Ravel menjawab tanpa berpikir panjang. “Saya suka dengan desain kamar tidur dan kamar mandinya.”

“Tidak ada yang perlu saya ubah?” Almeera bertanya untuk memastikan.

“Tidak. Saya suka. Sepenuhnya.”

Almeera tersenyum lebar. Pertama, karena pria itu menyukai desainnya, kedua, karena pria itu menatap desainnya dengan tatapan takjub. Dan hal itu membuat Almeera sedikit merasa … tersanjung.

Ia tahu, tidak mudah membuat pria itu takjub, dan Almeera berhasil melakukan itu melalui desainnya.

“Untuk ruang tamu, dapur dan ruang santai, secepatnya akan saya tunjukkan desainnya.”

Ravel mengangguk. “Saya sudah tidak sabar melihat desain itu. Saya harap, tidak kalah menakjubkannya dari ini.”

Almeera kembali tersenyum.

“Akan saya usahakan.”

Ravel tersenyum. Ia tahu, Almeera pasti bisa melakukannya dengan baik.

 

 


Empat

 

Almeera tengah bersantai setelah makan malam ketika ponselnya berdering, ia meraih dan menatap Id Caller

“Halo, Mas Bara.”

“Halo, Almeera.”

“Ya, kenapa, Mas?”

“Apa … saya ganggu kamu?”

“Nggak, kebetulan saya juga lagi nyantai.”

“Syukurlah.” Bara mendesah lega di seberang sana. “Saya takut ganggu waktu istirahat kamu.”

“Nggak, kok.” Almeera duduk bersandar di sofa.

“Lusa ada peresmian kafe baru saya, saya mau undang kamu untuk datang. Kamu bisa?”

“Acaranya jam berapa, Mas?”

“Jam lima sore.”

Almeera diam sejenak. “Saya usahain ya, Mas. Kalau nggak lembur.”

“Iya, kamu juga boleh ajak teman. Nanti saya share alamatnya sama kamu.”

“Oke, makasih banyak udah undang saya.”

“Saya pengen banget kamu bisa datang.”

“Saya usahain datang. Hehehe.” Almeera menjawab canggung.

Keduanya kemudian terdiam.

“Hm … kalau gitu, saya tutup dulu. Selamat malam, Almeera,” ujar Bara ketika ia merasa tidak lagi menemukan bahan pembicaraan karena terlalu gugup. Ini pertama kalinya ia menghubungi Almeera di luar konteks pekerjaan.

“Selamat malam, Mas Bara.”

“Siapa?” Alfariel tiba-tiba datang dan duduk di samping Almeera.

“Astaga, Ayah! Ngagetin aja.”

“Yang nelepon barusan, siapa?”

“Itu, klien aku.”

Alfariel memicing. “Nelepon jam segini?”

“Memangnya kenapa nelepon jam segini? Masih jam delapan, kok.”

Alfariel memicing. “Klien kamu laki-laki?”

Almeera mengangguk.

Alfariel berdecak. “Yakin, nggak modus sama kamu?”

Almeera tertawa. “Ayah, apaan, sih? Kalau emang modus, kenapa? Ayah keberatan?”

“Iya, dong.”

“Idih, Ayah lebai.”

“Ayah cuma nggak mau kamu diganggu cowok nggak jelas.”

“Ini jelas, kok. Dia klien aku. Aku kenal sama dia udah beberapa bulan.”

“Hati-hati ya, Nak. Jangan terlalu dekat sama klien—“

Ucapan Alfariel terputus karena ponsel Almeera kembali berdering.

“Siapa?” Alfariel bertanya dengan nada tajam.

“Klien.”

“Klien lagi? Kok klien kamu doyan sih ganggu jam segini? Sini, biar Ayah yang jawab.” Alfariel hendak merebut ponsel dari tangan putrinya, namun Almeera dengan cepat berdiri dan menjauh, memeluk ponselnya erat-erat.

“Ayah apaan, deh,” ujarnya kemudian berlari menaiki rangkaian anak tangga, menghindari Alfariel yang berkacak pinggang melihat kelakuan putrinya.

“Kamu itu nggak pernah berubah.” 

Alfariel menoleh, menemukan istrinya tengah menatapnya seraya menggeleng-gelengkan kepala.

“Nggak ada klien yang nelepon jam segini, Bun.” Alfariel membela diri.

“Ada. Banyak malah. Kamunya aja yang nggak suka dihubungi kalau udah lewat jam kerja,” sindir Arabella seraya duduk di sofa.

“Ya, tapi tetap aku nggak suka.” Alfariel berujar seraya melangkah menuju tangga.

“Mau ke mana?”

“Mau ke kamar Ala.”

“Buat apa?!”

“Nguping,” jawab Alfariel polos.

“Astaga, Ayah!” Arabella menggeleng gemas. “Mending kamu sini, temanin aku nonton drama.”

“Tapi, Bun—“

“Sini!”

Seraya tersenyum kecut, Alfariel menghampiri Arabella dan duduk di samping istrinya.

Sementara itu, di kamar Almeera, gadis itu tengah berbaring santai di ranjang.

“Kenapa, Pak?”

“Kamu sibuk? Belum tidur?”

Almeera tertawa. “Baru jam delapan.”

“Ah ya ….” Ravel diam sejenak. “How was your day?” tanyanya pelan.

Almeera terdiam. “Hm, sibuk, banget.” 

“Ngerjain desain?”

“Yap, Bapak bilang mau cepat selesai untuk apartemennya. Jadi, saya juga harus ngerjain lebih cepat.”

 “Take your time. Tidak harus terburu-buru.”

Kening Almeera berkerut. “Bapak hubungi saya buat?” Ia bertanya hati-hati.

“Mengobrol.” Jawaban lugas Ravel membuat kerut di kening Almeera semakin dalam. “Keberatan kalau saya mau ngobrol sama kamu?”

“Ng …. Nggak, sih. Cuma tumben.”

“Anggap saja, saya sedang berusaha menjalin pertemanan sama kamu.”

Almeera tertawa singkat. 

“Ada yang lucu?” Ravel bertanya pelan.

“Nggak. Cuma agak aneh aja. Sebelumnya saya dan Bapak bertengkar—“

“Ralat. Kamu yang selalu mengajak saya bertengkar.”

“Enak aja, Bapak juga nyolot sama saya.”

“Bukankah saya sudah minta maaf atas sikap saya itu? Dan kamu sudah memaafkan. Kamu lupa?”

Almeera berguling hingga berbaring miring di ranjang. 

“Bapak tipikal orang yang suka mengungkit sebuah tindakan atau perkataan orang lain, ya.”

Nope. Saya hanya mengingatkan,” jawab Ravel santai.

Almeera kembali tertawa singkat.

“Nggak keberatan kalau kita ngobrol lagi?”

“Nggak sama sekali.”

Almeera tersenyum. 

‘Norak ih!’ 

‘Bodo amat!’

“Sejak kapan kamu belajar desain?”

Almeera berpikir sejenak. “Dari kecil.”

“Kamu punya tutor yang luar biasa pastinya.”

Almeera mengangguk. Ayahnya memang tutor yang luar biasa, ia belajar menggambar dan mendesain semuanya dari ayahnya. “Keluarga saya, rata-rata arsitek. Jadi … ya gitu. Kayaknya kalau nggak jago desain, malah aneh.” Almeera diam sejenak. “Ayah juga arsitek sebenarnya, tapi ketika masuk dalam perusahaan, Ayah lebih fokus ke manajemen, sementara yang bertahan menjadi arsitek sampai detik ini, adalah saudara kembar Ayah. Aaron Wijaya. Mungkin Bapak pernah dengar namanya.”

“Bukan pernah, tapi sering.” Ravel diam sejenak. “Hm … saya paling suka bangunan di Kota Tua yang di desain oleh kakek kamu, Keenan Renaldi. Pembangunan museum unik itu bikin saya selalu betah setiap ke sana.”

“Oh ya? Saya juga paling suka bangunan itu. Kata Opa, itu juga bangunan yang paling disukai sama Opa Keenan.”

“Dan bangunan yang ada di Yogyakarta, Museum Keris. Saya juga suka.”

Sepertinya pria itu tahu banyak tentang keluarga Almeera.

“Bapak tahu banyak tentang keluarga saya, ya?”

“Tidak terlalu banyak. Saya suka arsitektur, jadi setiap bangunan yang menarik perhatian saya, saya cari informasinya. Dan nggak nyangka, semua bangunan arsitektur yang saya kagumi, semuanya di desain oleh keluarga kamu.”

“Kalau Bapak sendiri, kerja di bidang apa?”

Jujur, Almeera tidak tahu Ravel bergelut di bidang apa.

“Saya cuma karyawan biasa.”

“Karyawan biasa yang punya apartemen super mewah?”

“Tidak ada yang spesial dengan pekerjaan saya. Tidak seperti pekerjaan kamu yang menarik. Pekerjaan saya monoton.”

“Seperti?” kejar Almeera.

“Yah … berhubungan dengan satu perusahaan dan perusahaan lain, tidak ada yang benar-benar menarik. Saya lebih tertarik dengan pekerjaan kamu.”

“Ya udah, kalau gitu Bapak pindah profesi aja.”

Untuk pertama kali, Almeera mendengar Ravel tertawa. Dan suara tawa itu, untuk sejenak, membuat Almeera terpana.

“Saya takut tidak bisa menyaingi kamu di bidang desain. Jadi, saya memilih tetap seperti ini saja.”

“Bapak takut kalah saing?” ledek Almeera.

“Hm, sepertinya iya.”

Almeera tersenyum. “Kalau gitu, mending Bapak jangan jadi desainer interior, deh. Takutnya nggak dapat job.”

Lagi-lagi, Ravel tertawa.

“Kalau gitu, terpaksa saya melamar pekerjaan jadi asisten kamu.”

Almeera tertawa. “Maaf, Pak. Selera saya untuk asisten itu tinggi.”

“Seperti?”

“Elegan dan menarik,” jawab Almeera setengah menyindir. Dan jawaban itu membuat Ravel tertawa.

“Apa saya tidak cukup menarik?” Tiba-tiba pria itu bertanya.

“Hm ….” Almeera diam sejenak. “Perlu saya jawab?”

“Ya, karena jawaban kamu menentukan rasa percaya diri saya ke depannya.”

“Sedikit.” Almeera mengulum senyum. “Bapak sedikit menarik.”

“Dalam skala satu sampai sepuluh, saya berada di angka berapa?”

Almeera tertawa. “Tiga, maybe?”

“Wah.” Ravel langsung berdecak. “Kamu ternyata bisa bersikap kejam.”

Almeera tersenyum lebar. “Jawaban jujur.” 

“Kalau begitu, saya harus lebih bisa terlihat menarik di depan kamu ke depannya.”

Almeera mengulum senyum, menggigit bibirnya agar tidak tertawa.

“Sejujurnya … Bapak menarik. Skala satu sampai sepuluh. Bapak berada di angka delapan,” ujar Almeera pelan.

Tidak terdengar apa-apa di ujung sana, hingga Almeera pikir sambungan sudah diputuskan, hingga akhirnya Ravel bersuara.

“Saya pikir, saya di angka sepuluh.”

Tawa Almeera meledak. Ia tertawa seraya membekap mulutnya.

“Ternyata selain angkuh, Bapak juga sangat percaya diri.”

“Penilaian kamu yang pertama, sudah meruntuhkan kepercayaan diri saya tadi.”

“Berhati-hatilah, ke depannya, mungkin saya akan cukup sering meruntuhkan kepercayaan diri Bapak.”

Terdengar tawa renyah di seberang sana. “Saya akan lebih berhati-hati. Karena sepertinya, kamu berbahaya.”

Almeera mengulum senyum. 

Ternyata, Ravel adalah orang yang cukup menyenangkan. 

*** 

Almeera tengah mengemudikan mobilnya dengan santai ketika ponselnya berdering, ia merogoh tas dan menatap siapa yang menghubunginya.

“Pak Ravel.”

“Almeera. Sedang di mana?”

“Oh, ini baru pulang kerja. Kenapa, Pak?”

“Saya mau ajak kamu makan malam,”

Almeera mengerutkan kening. “Makan malam?”

“Iya. Bagaimana?”

“Hm ….” Almeera berpikir sejenak. “Boleh, deh. Kita langsung ketemu di tempat makan?” Kebetulan sekali, ia juga sedang lapar dan ada yang ingin ia bicarakan dengan Ravel mengenai desain untuk ruang makannya.

“Saya akan jemput kamu.”

“Apa nggak sebaiknya kita ketemuan langsung di tempat aja, Pak?” tawarnya sekali lagi.

“Almeera, saya akan jemput kamu,” ujar pria itu tegas.

“Oh, kalau gitu, jemput saya di apartemen saya saja, Pak.” Almeera juga akan mandi di apartemen. Terlalu malas pulang ke rumah orang tuanya hari ini. Almeera lalu menyebutkan alamat apartemennya.

“Baiklah, saya jemput setengah jam lagi, cukup waktunya?”

Almeera tersenyum. “Cukup, ini saya juga udah hampir sampai di apartemen,” jawabnya membelokkan mobil memasuki basemen apartemen. 

Almeera memang masih tinggal bersama ayah dan ibunya, tetapi, ia punya apartemen pribadi. Terkadang, ia terlalu malas untuk pulang, dan memilih di apartemen saja. Sesekali, Almeera butuh me time tanpa gangguan adik-adiknya yang luar biasa usil itu.

“Malam, Mbak Ala.”

Almeera tersenyum kepada Pak Toni yang bekerja sebagai sekuriti di apartemen ini.

“Malam, Pak Toni.”

“Baru pulang kerja, Mbak?”

“Iya, mari, Pak. Saya ke atas dulu.”

“Silakan, Mbak Ala.”

Almeera masuk ke dalam lift, menekan lantai dua puluh lima di mana unit apartemennya berada.

Almeera langsung mandi dan memakai dres sederhana. Seraya menunggu Ravel datang, ia merias wajahnya dengan riasan sederhana.

 

Ravelino Ravindra: Saya sudah di lobi.

 

Almeera segera meraih tas dan turun ke lobi, menemukan Ravel duduk di sofa seraya bermain ponsel. Saat melihat Almeera keluar dari lift, pria itu mengantongi ponselnya dan berdiri. Hari ini, Ravel mengenakan kemeja yang tangannya digulung hingga ke siku, mengenakan celana hitam dan sepatu berwarna hitam. Terlihat kasual namun tetap menawan.

“Ayo.” Ravel membimbing Almeera menuju mobilnya yang terparkir di depan lobi, seperti yang pernah dia lakukan, tangannya berada di bawah punggung Almeera, membimbing melangkah. Kali ini, Almeera tidak berpikir macam-macam, karena tangan itu tetap sopan berada di tempatnya.

Ravel membukakan pintu untuk gadis itu, Almeera masuk ke mobil mewah pria itu dan duduk di dalam. Sama seperti pemiliknya, mobilnya terasa begitu manly.

Almeera memasang sabuk pengaman saat Ravel masuk ke kursi pengemudi, duduk dan menatap gadis itu.

“Kamu keliatan capek,” ujarnya mulai menjalankan mobil keluar dari kawasan apartemen.

“Iya, hari ini kerjaan saya banyak banget.”

“Kamu setiap hari memang sibuk seperti ini?”

“Biasanya sih, memang begini.” 

“Jangan terlalu diforsir, kamu juga butuh istirahat. Bekerja terlalu keras tidak baik buat kesehatan.”

Almeera tersenyum. “Akan saya ingat,” ujarnya pelan. “Ngomong-ngomong, saya mau bahas tentang ruang makan apartemen Bapak.”

“Kenapa?”

“Saya menemukan desain yang cukup menarik untuk konsep yang Bapak inginkan.”

“Bisa kita diskusikan masalah ini, besok saja?”

“Oh.” Almeera mengangguk. 

“Sesekali, kita butuh untuk tidak membicarakan bisnis,” ujarnya seraya tersenyum.

Almeera mengangguk kembali. Terkadang, ia sendiri juga muak bicara tentang bisnis. Tapi, karena pekerjaan, mau tidak mau, Almeera harus membicarakan tentang bisnis setiap hari.

“Saya suka dengan rambut kamu,” ujar pria itu tiba-tiba tanpa menatap gadis itu.

Eh, Almeera menunduk, menatap rambutnya. Rambutnya memang sedikit ikal di bagian ujung, dan malam ini, karena punya waktu yang cukup, ia menatanya sedikit.

“Seingat saya, rambut kamu memang ikal, tapi tidak seikal ini. Apa saya salah?”

“Oh, tadi memang sedikit di-curly.”

Nice, saya suka.” Ravel tersenyum dan Almeera pun ikut tersenyum.

‘Duh, senyumnya ternyata manis banget.’ Tanpa sadar Almeera berujar dalam hatinya.

Mobil berhenti di sebuah restoran western di kawasan Jakarta Pusat. Mereka berdua turun dari mobil mobil, dan kali ini, Ravel meraih tangan Almeera dan menggenggamnya. Almeera menatapnya dengan sebelah alis terangkat sementara pria itu hanya tersenyum.

Membiarkan tangannya di genggaman Ravel karena sepertinya Ravel menolak melepaskan, Ravel membimbing Almeera masuk ke dalam restoran. Menuju rooftop

Saat itulah, Almeera menatap seseorang yang ia kenal juga sedang berada di restoran ini. Dan pria itu segera mendekati Almeera.

“Kamu bilang sibuk sampai nggak datang ke pesta Opa Yodi.” Lucas mendekati Almeera.

“Hai, Bang. Sama siapa?” Almeera menyapa, menyamarkan nada canggungnya karena Lucas datang begitu saja ke meja mereka.

“Sayang.” Cherita datang dan memeluk lengan Lucas. “Hai, Ala.”

“Hai.” Almeera tersenyum. “Oh, ya, kenalin. Ini Pak Ravel.”

Ravel mengulurkan tangan. Lucas menjabatnya dingin, sementara Cherita tersenyum manis.

“Kamu sibuk sampai—“

“Duh, sorry banget nih, Bang. Ngomelnya nanti aja, ya. Aku lapar banget. Kalian juga pasti lapar, ‘kan?” Almeera menatap Lucas dengan mata memelotot, Lucas balas memelototi Almeera.

“Yuk, Luke, jangan ganggu Ala sama pacarnya.” Cherita dengan cepat menarik kekasihnya pergi meski Lucas enggan untuk beranjak dari hadapan Almeera. Sejak dulu, Cherita memang tidak menyukai Almeera. Dan Almeera pun juga tidak menyukainya. Bagus, perasaannya berbalas!

Almeera menghela napas. ‘Kok dia bisa di sini, sih? Bukannya di pestanya Opa Yodi?’

“Maaf, Pak Ravel. Tadi sepupu saya.”

“Tidak masalah.” Ravel tersenyum. “Mari kita pesan makanan, kamu pasti udah lapar.”

Almeera mengangguk, membuka buku menu seraya diam-diam melirik meja di mana Lucas dan Cherita berada.

‘Duh, kok aku masih kesel sih kalo ngeliat mereka bersama?’

‘Ah, Almeera! Udah ya, berhenti ngebaper nggak jelas.’

“Ada masalah?”

“Eh?” Almeera mengangkat kepala, menatap Ravel yang menatapnya lekat. Almeera menggeleng. “Nggak ada, Pak.”

Ravel mengangguk dan Almeera kemudian menyebutkan menu yang ia inginkan, begitu juga Ravel.

Pelayan lain datang menuangkan anggur ke masing-masing gelas Ravel dan Almeera.

“Saya sedikit terkejut ketika kamu menyetujui ajakan makan malam saya tadi, saya pikir kamu bakal menolak.”

“Saya kebetulan lagi lapar, Pak,” jawab Almeera apa adanya.

Ravel terkekeh. 

“Ada yang lucu memangnya dari jawaban saya barusan?” tanya Almeera penasaran.

Ravel menggeleng. “Kamu benar-benar menarik, Almeera. Dan kamu membuat saya sangat tertarik,” ujarnya seraya menatap langsung ke kedua mata Almeera.

Almeera menelan ludah susah payah. 

Benaknya sibuk berpikir tentang ucapan Ravel barusan.

‘Apa aku ini benar-benar menarik, baginya?’

Tapi, Almeera tidak merasa dirinya semenarik itu di mata orang lain.

“Kenapa?”

Almeera menggeleng. “Nggak apa-apa,” jawabnya seraya tersenyum canggung.

Tidak lama, pesanan mereka diantar oleh pelayan. Keduanya memilih fokus pada makanan masing-masing. Sepertinya Ravel tahu bahwa Almeera menjadi canggung karena ucapannya tadi, maka dari itu, ia mengajak Almeera untuk membicarakan bisnis. Biasanya, bisnis bisa membuat Almeera menjadi bersemangat.

“Desain yang kamu bilang untuk ruang makan saya, gimana?”

“Ah ya, simpel seperti yang Bapak mau. Tapi … saya lupa bawa Ipad saya.”

Ravel tersenyum. “Besok saja kalau begitu.”

Almeera mengangguk.

“Besok kamu ada waktu?”

“Besok saya sibuk seperti biasanya.”

“Pulang kerja?”

“Saya ada undangan dari seorang klien untuk menghadiri peresmian kafe barunya.” Almeera menatap Ravel. “Kenapa, Pak?”

“Saya mau ajak kamu lihat-lihat beberapa furnitur di IKEA.”

“Ah ….” Almeera mengangguk. “Besok saja, setelah makan malam. Saya juga nggak akan lama-lama di tempat peresmian kafe itu.”

“Kamu datang sendirian ke sana?”

Almeera mengangguk. Atau mungkin dia bisa mengajak Lastri. Bukankah Bara bilang, ia boleh membawa teman?

“Kalau saya temani, boleh?”

Gerakan Almeera yang hendak menyuap makanan terhenti. Ia meletakkan sendok dan menatap Ravel lekat. Pria itu balas menatapnya.

“Biar setelah itu kita bisa pergi ke IKEA. Jadi, menghemat waktu.”

Almeera berpikir sejenak, kemudian mengangguk. Apa yang Ravel katakan itu benar. Mereka bisa pergi ke IKEA setelah acara itu. Jadi, tidak perlu repot untuk mengatur rencana lagi.

“Saya jemput kamu di kantor besok? Jam empat?”

Almeera mengangguk.

Melihat itu, Ravel tampak tersenyum senang.

 


 

Lima

 

“Mbak, gimana sama klien ganteng kita?” Lastri mengekori Almeera menuju ruang pertemuan.

“Gimana, apanya?” tanya Almeera pura-pura tidak mengerti.

“Itu loh, pura-pura nggak paham, deh. Hasil Pak Ravel mampir ke sini kemarin, apa?”

“Nggak ada hasil apa-apa.”

“Mbaaaak.” Lastri menatap gemas Almeera. “Jangan bikin penasaran deh.”

“Kamu doang yang kepo.”

“Ya habisnya gimana ….” Lastri tersenyum. “Mbak, Pak Ravel udah punya pacar belum, sih?”

“Tanya sendiri ke orangnya.”

“Nggak berani.”

Almeera menoleh kepada Lastri. 

“Iya, ya. Dia udah punya pacar belum, ya?” tanyanya pada diri sendiri.

“Mbak juga naksir, ‘kan?”

Almeera memelotot. “Siapa bilang?”

“Tuh, buktinya penasaran juga.”

“Kan cuma penasaran, bukan berarti saya harus nanya ke orangnya.”

“Nggak apa-apa, tanya aja. Nanti kasih tahu saya.” Lastri kemudian terkekeh geli, sementara Almeera hanya mendengkus.

“Kerja aja yang bener.”

Lastri hanya mengerucutkan bibir seraya mengikuti langkah Almeera memasuki ruang pertemuan dengan para arsitek dan desainer interior yang berada di satu perusahaan yang sama dengannya.

Tepat pukul empat sore, saat Almeera tengah fokus dengan laptopnya, ponselnya berdering. Almeera menoleh, tersenyum saat melihat nama Ravel di layar ponselnya.

“Pak Ravel.”

“Sudah siap?”

“Siap?” Kening Almeera berkerut. “Siap ke mana?”

“Bukankah ada acara peresmian kafe klien kamu sore ini?”

“Astaga!” Almeera tertawa pelan seraya memukul kepalanya. “Lupa. Bapak udah di mana?”

“Di lobi.”

“Oh, kalau gitu saya tunggu di kantor—“

“Lobi kantor kamu, Almeera.”

“Hah?!” Almeera berdiri panik. “Kok nggak bilang?”

“Ini barusan bilang,” ujar Ravel.

Almeera memutar bola mata. “Maksud saya kenapa nggak bilang dari tadi, sih?”

“Saya juga baru sampai lobi, kok.”

“Ya udah, tunggu bentar.” Almeera mulai membereskan barang-barangnya. Tapi kemudian teringat bahwa para wanita di kantornya ini sangat ‘ganjen’ kalau masalah pria tampan, ia yakin, Ravel akan jadi santapan lezat jika menunggunya di lobi. “Bapak ke ruangan saya aja.”

“Kenapa?”

“Ya ….” Tidak mungkin Almeera mengatakan bahwa ia tidak mau jika Ravel digoda. Sebenarnya, bukan urusannya sih, Ravel digoda atau tidak. Hanya saja, sepertinya Ravel bukan tipikal pria yang suka digoda. “Ya terserah Bapak kalau tetap mau di lobi. Sepuluh menit lagi saya turun.”

“Oke.”

Tersenyum kecut, Almeera meletakkan ponsel di atas meja. 

Ia kembali duduk di kursi. Menyimpan semua pekerjaannya dan tidak lupa untuk selalu membuat salinan pekerjaannya di drive lain, ia mulai merapikan meja kerjanya.

Suara pintu diketuk dan dibuka dari luar tidak membuat Almeera mengangkat kepalanya dari merapikan map-map yang ada di atas meja.

“Las, kamu nggak perlu lembur malam ini, pulang aja.”

“Biasanya kamu lembur?”

Suara serak itu membuat Almeera mengangkat kepala, menemukan Ravel berdiri di ambang pintu sementara Lastri berdiri penasaran di belakangnya.

“Masuk, Pak.” Almeera berdiri 

Ravel masuk, menutup pintu di depan wajah Lastri yang tersenyum kecut. Wanita itu sangat penasaran sekali dengan apa yang akan Almeera dan Ravel bicarakan.

“Katanya mau di lobi aja? Kok, ke sini?”

“Memangnya, saya pernah bilang kalau saya mau di lobi, aja?”

Almeera mendelik. “Tadi, ‘kan bilang gitu, lupa?”

“Nggak. Saya nggak bilang begitu. Kamu kali yang lupa.”

Almeera berkacak pinggang. “Bapak nyebelin, ya.”

Ravel tersenyum, mendekati Almeera dan berdiri di depan gadis itu.

“Kamu kurang tidur?”

“Hah?” Almeera mendongak, karena perbedaan tinggi badan mereka, membuat Ravel jauh lebih tinggi darinya, hingga ia harus mendongak ke atas karena Ravel yang berdiri terlalu dekat dengannya.

“Lingkaran di bawah mata kamu. Kamu kurang tidur?”

“Oh.” Almeera mundur selangkah. “Iya, tadi malam lembur.”

“Bukannya saya udah bilang kalau kamu perlu menjaga kesehatan?”

“Habisnya, saya nggak suka kalau kerjaan saya nggak selesai.” Almeera memasukkan ponsel ke dalam tas, begitu juga dengan Ipad-nya. “Yuk, jalan sekarang. Nanti macet. Mas Bara juga udah share lokasi ke saya.”

“Kamu panggil klien dengan panggilan Mas?”

Almeera mengangkat bahu. “Orangnya yang minta dipanggil Mas. Jadi, saya panggil Mas aja.”

Ravel hanya diam, melangkah di samping Almeera keluar dari ruangan gadis itu.

“Las, saya duluan, ya.”

“Oke, Mbak. Hati-hati.” Lastri mengerling sementara Almeera hanya memutar bola mata.

Kedua masuk ke dalam lift bersama dengan beberapa karyawan lain yang ikut turun menuju lobi. Almeera berdiri di sudut kotak persegi itu, sementara Ravel berdiri di sampingnya. Lift berhenti di beberapa lantai, hingga kotak kecil itu penuh sesak. Almeera semakin melekat ke dinding, sementara Ravel juga semakin menempel padanya.

Ravel melirik Almeera yang juga tengah menatapnya, pria itu kemudian berpindah ke hadapan Almeera dengan posisi saling berhadapan ketika lift semakin penuh. Ravel meletakkan tangannya di samping kepala Almeera yang merapat di dinding, menahan tubuhnya agar tidak menekan tubuh Almeera. Sementara Almeera menelan ludah susah payah di depan Ravel. Ia tidak berani mengangkat kepala, matanya menatap lurus ke dada Ravel yang berada tepat di depan matanya.

“Sori,” bisik Ravel ketika seseorang bergerak dan membuat tubuhnya terdorong semakin rapat ke arah Almeera.

Almeera mengangguk, berharap lift yang penuh itu segera membawa menuju lobi.

Rasanya perjalanan dua satu menit itu, menjadi perjalanan paling lama bagi Almeera. Lift terasa bergerak sangat lambat menuju lobi. Hingga akhirnya pintu lift terbuka dan beberapa orang keluar dari tempat sempit itu, Almeera baru bisa menghela napas lega, karena sejak beberapa detik lalu, ia menahan napas.

Aroma tubuh Ravel yang khas sangat mengusik kinerja jantungnya hingga membuatnya berdetak tidak karuan.

Mereka melangkah bersamaan menuju mobil Ravel yang terparkir di tempat khusus untuk tamu. Ravel membukakan pintu mobil mewahnya dan Almeera menggumamkan ucapan terima kasih sebelum masuk dan duduk di dalamnya.

Ravel mengemudikan mobilnya dengan santai menuju tempat yang sudah diberitahu oleh Almeera. Berhubung jam pulang kerja Jakarta akan selalu macet parah, mobil bergerak cukup lambat.

“Mau hidupin radio? Atau player saya?”

Almeera menoleh. “Player Bapak apa aja?”

Ravel mengangkat bahu. “Saya tidak punya player khusus, jadi musik random yang saya dengarkan. Yang rasanya cukup menarik bagi saya.”

Almeera tersenyum, mulai menghidupkan sound system mobil Ravel.

“Mau saya bikinin player lagu-lagu yang biasanya saya dengarkan?”

Sure.” Ravel tersenyum.

Almeera balas tersenyum, kemudian fokus memasukkan lagu-lagu kesukaannya ke dalam player musik Ravel.

“Love Song Secret?” Ravel menoleh ketika sebuah lagu diputar.

Almeera mengangguk seraya tersenyum. “My favorite song.”

“Ada story di dalamnya?”

Almeera mengangkat bahu. “Terkadang cinta nggak bisa diungkapkan karena berbagai hal.”

“Maksud kamu, cinta kamu bertepuk sebelah tangan?”

Almeera menoleh. “Kenapa Bapak bisa menyimpulkan begitu?”

“Just feeling.”

Almeera menghela napas dalam-dalam kemudian bersandar, lalu menatap Ravel. “Kalau saya cerita, janji nggak akan ngetawain saya? Ngeledek saya?”

“Apa saya tipikal orang yang suka menertawakan orang lain, bagi kamu?”

“Bapak tipikal orang yang suka nyolot bagi saya.”

Ravel tertawa. “Saya janji nggak akan ketawain kamu. Just tell me.”

“Saya suka sama seseorang hampir seumur hidup saya.”

“Hah?” Ravel menoleh dengan tatapan tidak percaya. “Serius?”

Almeera mengangguk. “Saya suka sama sepupu saya sendiri, dari saya kecil sampai sekarang.”

“Ah.” Ravel mengangguk. “Sepupu yang ketemu sama kita tempo hari?”

“Kok Bapak tahu?” Almeera menoleh dengan tatapan terkejut.

Ravel tertawa serak. “Almeera, saya ini laki-laki. Saya bisa menilai karakter laki-laki lain hanya dalam satu kali pandangan. Dan saat itu, sepupu kamu menatap saya, seolah hendak memenggal kepala saya.”

“Berita baik atau buruk?”

Ravel mengangkat bahu. “Saya nggak tahu. Tapi yang jelas, dia peduli sama kamu. Untuk perasaan yang spesifik, saya tidak tahu. Mungkin kamu perlu cari tahu sendiri.”

Almeera menghela napas. “Saya sudah pernah dengar kalau dia cuma anggap saya saudara. Katanya, saya orangnya nggak mudah baper, makanya dia suka ajak saya ke mana-mana seolah-olah saya pacarnya.”

“I’m so sorry to hear that.”

“Bapak pernah suka sama seseorang?”

“Pernah. Sekali.”

“Cuma sekali?” Almeera terkejut karena fakta itu.

“Ya, sekali. Saat saya baru masuk kuliah.”

“Lanjutannya?”

“She didn’t love me back. Case close.”

“Dan Bapak patah hati?”

Ravel tertawa. “Maybe yes, maybe no. Saat itu, bagi saya, cinta bukan segalanya.”

Almeera memicing, menilai Ravel. “Tapi bagi saya, Bapak lebih terlihat kayak playboy cap kakap.”

Ravel tertawa pelan. “Saya ini pria baik-baik.”

Almeera mencibir. “Mana ada orang baik yang ngaku dirinya baik secara terang-terangan."

“Kenapa tidak? Nggak ada juga orang jahat yang ngaku dirinya jahat secara terang-terangan.”

“Saya masih penasaran deh, Bapak kerja di mana?”

“Sudah saya bilang, saya cuma karyawan biasa.”

“Karyawan biasa nggak ada yang punya mobil semewah ini, please deh.”

Ravel hanya tersenyum saja.

“Senyumnya bikin pengen nampol.”

Ravel kali ini tertawa keras.

“Al ….” Tangan Ravel tiba-tiba terulur dan menepuk puncak kepala Almeera. “Kamu orang yang menarik.”

“Dan Bapak tertarik?”

Satu detik kemudian, Almeera mencubit pahanya sendiri. Pertanyaan macam apa itu?

“Maksud saya, saya—“

“Ya.”

Jawaban Ravel membuat Almeera menoleh. “Ya, apa?” tanyanya dengan suara setengah berbisik.

“Saya tertarik sama kamu.”

Almeera menelan ludahnya susah payah, terlebih saat Ravel kembali menepuk-nepuk puncak kepalanya.

“Saya nggak akan nanya apa kamu juga tertarik sama saya atau tidak. Karena, saya hanya ingin jujur sama kamu.”

“Sori,” bisik Almeera pelan.

Maaf untuk apa? Entahlah. Ia sendiri tidak tahu. Maaf untuk apa yang ia ucapkan barusan?

It’s okay.” Ravel tersenyum. “Tapi Almeera, apa saya boleh minta satu hal?”

Almeera menoleh. “Apa?”

“Kalau saya ingin dekatin kamu, lebih dekat lagi, kamu akan izinkan saya?”

“Saya ….” Almeera menggaruk lehernya yang tidak gatal. “Saya nggak tahu.”

“Kenapa?”

Ia menggeleng lemah. “Nggak tahu aja.” Ia menoleh, menatap kembali Ravel. “Bapak serius mau dekatin saya?”

“Ya.” Ravel menatapnya serius. “Kamu tidak suka?”

“Saya mungkin nggak bisa janjikan apa-apa buat Bapak.”

“Saya nggak perlu janji.” Ravel tersenyum. “Cukup izinkan saya dekatin kamu dan kamu jangan menjauh. Untuk hal selanjutnya, kita bicarakan nanti.”

“Tapi kita baru kenal beberapa minggu.”

“Justru itu, justru karena saya baru kenal kamu, makanya saya ingin kenal kamu lebih dalam lagi.”

“….” Almeera tidak mampu berkata-kata.

“Atau kamu masih mengharapkan sepupu kamu itu?”

Almeera mendesah. “Seperti yang Bapak lihat hari itu. Dia sudah punya pacar, dan dia cuma anggap saya saudara.”

“Kalau begitu, peluang saya cukup besar, ‘kan?”

Bukan cukup. Tapi sangat.

“Saya nggak mau nanti Bapak mikirnya dijadikan pelarian.”

Ravel tertawa. “Tenang saja, saya pastikan, saya tidak akan kamu jadikan pelarian.”

“Duh, percaya diri banget.”

Ravel tersenyum. “Ini bukan percaya diri, tapi usaha untuk meyakinkan diri sendiri,” kekehnya, membuat Almeera ikut tertawa.

Tidak lama, mereka sampai di tempat acara yang dituju.

“Kamu yang desain kafe ini?” tanya Ravel ketika ia memarkirkan mobilnya di pelataran parkir.

“Bukan, saya mendesain interior dalam untuk klub malam pemilik kafe ini.”

Ravel menoleh. “Klub malam? Jadi, kamu sering ke klub itu?”

“Selama pengerjaan? Cukup sering. Kenapa?”

Ravel menggeleng. “Lain kali, kalau pergi ke tempat seperti itu, ajak saya.”

Almeera tertawa. “Bapak tahu, ‘kan? Keluarga saya juga punya klub malam seperti itu.”

“Litera dan beberapa klub lain. I know.” Pria itu menoleh dan menatap Almeera lekat. “Tetap saja, ajak saya kalau kamu pergi ke tempat seperti itu lagi.”

“Lain kali, saya akan ajak Bapak.”

Ravel mengangguk. “Omong-omong kamu panggil pemilik kafe ini dengan panggilan, Mas?”

“Ya, kenapa?” Almeera menatap polos.

Tatapan polos itu membuat Ravel berkeinginan untuk mengusap pipi yang lembut itu.

“Nggak, apa menurut kamu panggilan itu tidak terlalu akrab?”

“Nggak juga. Karena Mas Bara memang lebih tua dari saya. Jadi nggak apa-apa dong dipanggil Mas?”

Ravel menghela napas. “Ya sudahlah, terserah kamu aja,”

“Kenapa, sih, Pak?”

“Nggak apa-apa.”

“Pasti ada apa-apanya, nih.”

“Kenapa bisa begitu?”

“Ya biasanya kalau cewek bilang nggak apa-apa, berarti ada apa-apa.”

“Tapi saya bukan perempuan.”

“Ya siapa tahu sama.”

Ravel mendelik, sementara itu Almeera tertawa.

“Sinis banget ngeliatinnya.”

“Jelas. Kamu baru saja menyamakan saya ini dengan seorang perempuan.”

“Ya ampun, gitu doang, loh.”

“Kamu menyentil ego saya.”

“Astaga, Pak.” Almeera tertawa terbahak-bahak. “Gitu doang padahal. Udah yuk, masuk.”

Keduanya keluar dari mobil, saat hendak melangkah, Ravel meraih tangan Almeera dan menggenggamnya.

Almeera menoleh, sebelah alisnya terangkat.

“Yuk, masuk. Klien kamu pasti udah nunggu.”

Tanpa menunggu jawaban dari Almeera, Ravel membawanya masuk, dengan tangan masih bertaut.

“Mas Bara!” Almeera melambaikan tangan yang tidak digenggam oleh Ravel.

Pria yang dipanggil, menoleh dan tersenyum menatap Almeera. Namun, begitu melihat tangan Almeera yang digenggam oleh Ravel, senyumnya sedikit memudar. Meski ia berusaha keras untuk mempertahankan senyum itu di bibirnya.

“Hai, Almeera.”

“Selamat ya, Mas. Kafenya bagus.”

“Terima kasih.” Pandangan Bara menatap Ravel yang juga menatapnya dingin. “Kamu sama ….?”

“Oh, ini—“

“Saya, Ravelino Ravindra. Kekasihnya Almeera.”

“T-tapi kita belum bicara—“

Ravel menoleh dan menatap Almeera. “Kamu sendiri yang bilang tadi, kamu lupa?”

Hah? Ravel bicara apa? Almeera menatap pria itu tanpa berkedip. Bilang apa? Memangnya ada pembicaraan mengenai status pacaran, tadi? Jelas-jelas pria itu hanya minta izin untuk dekat dengannya lebih jauh. Bukan pacaran!

“Yuk, masuk.” Bara yang lebih dulu buka suara, melangkah lebih dulu.

Almeera memiringkan kepala, menatap Ravel dengan sebelah alis terangkat.

“Kita bicarakan nanti,” bisik Ravel seraya membimbing Almeera masuk ke dalam kafe.

Tidak punya kesempatan untuk mendebat saat ini, Almeera memilih mengikuti langkah Ravel masuk ke dalam kafe.

*** 

“Maksudnya, tadi apa?”

Serbu Almeera ketika mereka memasuki mobil. Mereka berada di kafe itu setidaknya satu jam demi menghargai Bara yang sudah mengundang Almeera. Selama di kafe, tangan Ravel selalu menggenggam tangannya.

“Saya nggak mau ada saingan aja.”

“Bapak ngomong apa, sih?” Almeera memasang sabuk pengaman.

“Pria tadi, sepertinya menyukai kamu.”

“Terus?” tanya Almeera ketus.

“Dan saya tidak mau dia memiliki peluang untuk mendekati kamu.”

Almeera menoleh, memicing. “Itu tindakan curang.”

I know.” Ravel tersenyum singkat. Lalu mengulurkan tangan untuk membelai puncak kepala Almeera ketika Almeera hanya menatapnya dengan tatapan kesal. “Saya minta maaf,” ujarnya bersungguh-sungguh. “Saya hanya tidak ingin pria itu mendekati kamu. Maaf, kalau saya bertindak curang dan egois.”

Almeera menghela napas. “Bapak serius mau kenal lebih jauh sama saya?”

“Ya, apa saya terlihat main-main.”

“Ih, kenapa, sih? Setiap saya nanya, pasti nanya balik?”

“Terus, saya harus gimana?”

“Tau ah! Nyebelin!”

Ravel tersenyum, membelai pipi Almeera yang menggembung karena kesal. “Saya dimaafkan?”

“Menurut, Bapak?”

“Kali ini, saya tidak berani menerka-nerka.”

Almeera melirik Ravel yang menatapnya lekat. Gadis itu tidak bisa menahan senyum lebih lama.

“Dimaafkan.”

Ravel tersenyum. “Thank you so much.”

“Tapi ada syaratnya.”

“Syarat?”

“Bapak jangan pernah kenalin diri kayak tadi lagi. Kalau keluarga saya dengar saya punya pacar, mereka bakal heboh. Saya nggak mau mereka interogasi Bapak padahal kita tidak pacaran.”

“Belum, bukan tidak.”

Almeera memutar bola mata. “Terserah Bapak, deh. Yuk, ke IKEA sekarang. Keburu tutup nanti.”

Mereka menuju IKEA. Almeera suka sekali berkeliling IKEA seraya makan es krim. Ia suka melihat-lihat berbagai jenis furnitur dan membayangkan tempat-tempat yang cocok untuk meletakkan benda-benda itu dalam bayangannya.

 “Bapak mau?” Almeera menawarkan es krim kepada Ravel yang menggeleng seraya tersenyum geli karena melihat Almeera yang sibuk dengan es krim semenjak mereka memasuki IKEA. Pria itu hanya tertawa seraya melangkah di samping Almeera.

 “Berantakan tuh,” ujar Ravel menatap Almeera.

“Hm, di mana?”

Almeera baru hendak mengusap bibirnya, tetapi Ravel lebih dulu mengusap bibir bawah gadis itu dengan ibu jarinya, lalu menjilat jarinya sendiri.

“Manis,” ujarnya seraya tersenyum.

Sementara Almeera hanya berkedip beberapa kali menatap pria itu. Tiba-tiba rasa panas menjalar ke wajahnya.

“Ayo.” Ravel menarik tangan Almeera dan kembali melangkah. Almeera hanya menelan ludah susah payah seraya melanjutkan kegiatannya memakan es krim.

‘Duh, jantung. Kenapa malah deg-degan, sih?’

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Treat You Better Bab 6-8
8
0
Almeera Wijaya mencintai sepupunya sendiri. Sayangnya cinta itu tidak mendapatkan restu dari keluarganya dan ia juga tidak sengaja mendengar bahwa Lucas hanya menganggap Almeera sebagai saudara.Almeera bertekad untuk move on. Saat itu lah ia bertemu dengan Ravelino Ravindra, pria dingin yang menjadi klien Almeera tapi selalu membuat Almeera kesal setiap kali bertemu dengannya. Namun, lambat laun Almeera menjadi terbiasa dengan sikap pria itu, terlebih ketika Ravel mengatakan bahwa ia jatuh cinta pada Almeera dan bersedia menunggu Almeera membuka hatinya.Saat Almeera membuka hati untuk Ravel, tiba-tiba Lucas datang dan ingin berjuang untuk hubungan mereka. Siapakah yang akan Almeera pilih? Pria yang ia cintai atau pria yang tulus mencintai dan bersedia menunggunya?Zahid Generasi Ke-4
Komentar dinonaktifkan
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan