Trapped By You: Bab 1, 2

8
0
Deskripsi

Sebagai seorang artis, Marsha Anastasia memiliki segalanya. Uang, ketenaran dan sederet pria yang bersedia mengemis untuk menjadi kekasihnya. Namun, satu hal yang tidak dimiliki oleh Marsha, yaitu hati.

Lucas Algantara selalu berhasil mendapatkan apa yang ia mau. Uang, tender bernilai triliunan rupiah dan sederet wanita yang bersedia menghangatkan ranjangnya. Namun, satu hal yang tidak berhasil Lucas dapatkan, yaitu cinta.

Hati dan cinta selalu berpasangan dalam permainan asmara. Ketika seseorang...

Satu

 

“Marsha!” Suara teriakan itu disertai dengan ketukan pintu yang lama-lama berubah menjadi gedoran yang terdengar cukup kencang. “Marsha!” Seseorang yang sedang mengetuk pintu itu menekan-nekan bel dengan kesal. Sesekali melirik jam yang melingkari tangannya. “Ya Tuhan, Marsha …!” Ia mengabaikan orang-orang yang mulai memperhatikannya, wanita yang masih menekan-nekan bel itu berdecak kesal.

Cukup sudah! Wanita itu menendang kencang daun pintu dengan sepatu yang ia kenakan. Ia melangkah menuju lift dan langsung turun menuju lobi hotel yang mewah itu. Mengabaikan petugas hotel yang tadi mengantarnya menuju lantai tujuh.

“Tolong panggilkan Manajer Hotel. Segera!” perintah Arinda—wanita yang sejak tadi menekan-nekan bel salah satu kamar hotel berbicara dengan nada kesal, membuat resepsionis hotel menatap ke arahnya dengan tatapan mendelik.

“Maaf Ibu, kami—”

“Saya bilang panggil Manajer Hotel. Segera!” Arinda memukul kesal meja resepsionis dengan mata memelotot. Membuat resepsionis segera meraih telepon dan menghubungi Manajer Hotel. Tak lama orang yang ditunggu oleh Arinda datang dan menghampiri Arinda. Sementara wanita yang bertubuh gempal itu tengah menahan makian di bibirnya.

“Ada yang bisa dibantu, Ibu?” 

Arinda memutar bola matanya kesal. Ia paling benci dipanggil dengan sebutan Ibu padahal umurnya baru dua puluh tujuh tahun. “Saya asisten Marsha Anastasia. Saat ini Marsha berada di kamar 708. Tolong berikan kunci duplikatnya, sekarang!”

Mendengar nama Marsha Anastasia, sang resepsionis segera memberikan kunci duplikat kamar yang diminta oleh Arinda. Arinda segera meraih keycard itu dan menatap Manajer Hotel yang masih berdiri di depannya. “Ayo, ikut saya!” Manajer Hotel mengangguk dengan patuh dan mengikuti langkah Arinda menuju lift. Sambil menunggu pintu lift terbuka, Arinda melirik jam tangannya, sambil mengetuk-ngetukkan sepatunya ke lantai.

Ya Tuhan, ia hanya punya waktu dua puluh menit lagi.

Mendesah sambil diam-diam memaki Marsha, Arinda masuk ke dalam lift diikuti oleh Manajer Hotel. Begitu mereka sampai di depan pintu kamar yang ditempati oleh Marsha, Arinda segera masuk diikuti oleh Manajer Hotel. Bau alkohol dan seks menyengat, membuat Arinda menahan napasnya.

Sial, ia sudah kelabakan mencari-cari di mana Marsha berada, sedangkan orang yang dicari sedang enak tertidur di lengan seorang pria yang entah ia temui di mana. 

“Bangun!” Arinda menyentak selimut yang menutupi tubuh Marsha dan lelaki yang sedang tidur bersamanya. Arinda tidak peduli meski Manajer Hotel kini tengah memalingkan wajahnya dengan jengah sambil berdiri di dekat pintu. “Marsha, bangun!” Arinda meraih bantal dan memukul kepala Marsha dan juga lelaki yang berbaring bersamanya. “Dan lo juga, bangun!” Arinda kali ini memukul-mukul punggung lelaki yang tidur bersama Marsha.

“Em ….” Marsha melenguh dan mengerjapkan matanya, begitu ia menatap Arinda yang berdiri di sampingnya, Marsha berdecak. “Pergi, Ar, gue masih pengen tidur.” Marsha kembali menarik selimut yang tadi disibak oleh Arinda, tapi Arinda menahannya.

“Bangun, Mar! Lo ada pemotretan dua puluh menit lagi. Apa lo lupa? Kali ini lo ada proyek bersama perusahaan Zahid-Renaldi!” Marsha mendelik mendengar panggilan ‘Mar’ yang diucapkan Arinda. Ia benci panggilan itu.

“Pergi dan biarin gue tidur! Persetan dengan Zahid atau siapalah mereka!” Marsha kini kembali menarik selimut, tapi Arinda masih menahannya. Kali ini Arinda mulai memukul kepala lelaki yang masih terlelap itu dengan tangan besarnya.

“Hei, brengsek! Bangun dan angkat kaki lo dari sini!” Arinda memukul dengan sekuat tenaga. Dan membuat lelaki yang masih terlelap itu akhirnya terbangun, menatap Arinda dengan tatapan memicing. “Apa, brengsek?! Bangun dan angkat bokong lo sekarang juga!” Arinda meraih pakaian lelaki yang berserakan di lantai, melemparkannya ke wajah lelaki yang Arinda tidak tahu siapa namanya.

What the hell?!” Lelaki itu memelotot menatap Arinda beserta Manajer Hotel yang masih berdiri di dekat pintu.

“Lo tuli, ya?! Gue bilang bangun dan nyungsep aja lo ke neraka!” Arinda menarik lelaki itu hingga lelaki itu duduk di kasur. “Masih belum bangun juga, lo?!” Arinda mulai melepaskan sepatu yang ia kenakan, dan lelaki itu menatap Arinda dengan tatapan tajam. “Ck, gue nyuruh lo pergi, bukannya malah ngeliatin gue. Bangke!” Arinda melayangkan sepatunya hingga hinggap di kepala lelaki yang seketika langsung mengumpat dan bangkit berdiri dengan terhuyung.

Mengabaikan ketelanjangan lelaki itu, Arinda berdiri sambil berkacak pinggang.

“Sialan, lo mau main-main sama gue?” Lelaki itu mendekat dengan langkah goyah sambil sesekali memegangi kepalanya dan menatap Arinda dengan tajam. Arinda mengangkat dagu.

“Maju kalo lo punya nyali dan bakal gue buat benda lo yang kecil itu mati suri untuk beberapa minggu!”

Jangan macam-macam dengan Arinda, ia adalah wanita dengan tubuh yang memiliki bobot delapan puluh lima kilogram, dengan satu hantaman kuat dari kepalan tangannya, ia bisa dengan mudah memukul pria kurus itu.

Lelaki itu mengabaikan ucapan Arinda dan malah merangsek mendekat. Arinda mengayunkan kakinya menendang junior milik lelaki yang setengah mabuk itu. Lelaki itu segera tersungkur sambil mengumpat dengan mata terpejam. Pasalnya kepalanya sangat sakit dan juga selangkangannya terasa sakit. “Wanita sialan!” Lelaki itu mengumpat. Arinda hanya berdecak, mengapit sebuah kondom yang masih berisi cairan bening di dalamnya dengan ujung jari kakinya, melemparkan kondom bekas itu ke wajah lelaki yang kini terbaring di lantai.

“Makan tuh sperma lo!” ujarnya lalu naik ke atas ranjang dan memukul kepala Marsha dengan bantal. “Berhenti ketawa lo!” Arinda berteriak kesal.

Marsha yang sejak tadi tertawa melihat adegan Arinda dan lelaki yang Marsha sendiri tidak tahu siapa namanya itu akhirnya tidak bisa menahan tawa. Marsha terbahak kencang menatap Arinda yang kini sibuk memukul kepalanya dengan bantal.

“Oke. Oke gue bangun. Berhenti mukulin kepala gue!” Marsha bangun sambil menahan selimut di tubuhnya, matanya menatap Manajer Hotel yang kini tersenyum kikuk di sudut ruangan. “Hai, Pak Jon,” sapa Marsha sambil menurunkan selimutnya dengan sengaja, membuat Manajer Hotel itu kembali memalingkan wajahnya, dan Marsha menahan tawanya, senang setiap kali berhasil menggoda manajer hotel yang sudah ia kenal lama itu.

“Berhenti bersikap seperti jalang, Mar. Bangun dan bersihin diri lo. Lo punya waktu cuma—” Arinda menatap jam tangannya. “Oh, brengsek! Lo cuma punya waktu sepuluh menit lagi!” Arinda mendorong Marsha turun dari ranjang. Sedangkan Marsha bergerak dengan malas-malasan.

“Gue bisa sendiri.” Marsha menepis tangan Arinda yang mendorong tubuhnya. “Memangnya apa yang bakal gue lakuin sepuluh menit lagi?”

Arinda memukul kencang kepala Marsha. Membuat Marsha mengaduh lalu balas memukul kepala Arinda.

“Lo ada janji pemotretan dengan perusahaan Zahid-Renaldi sepuluh menit lagi, Jalang!” ucap Arinda dengan kesal.

Bukannya pergi ke kamar mandi, Marsha malah berdiri dengan angkuh di tengah-tengah ruangan. “Perusahaan Zahid-Renaldi? Konglomerat itu?”

“Iya, Bodoh!” ucap Arinda kesal sambil menendang kaki lelaki teman tidur Marsha yang kini sepertinya pingsan di lantai dalam keadaan telanjang. “Ck, barang kecil begini, apa enaknya, Mar?” Arinda memperhatikan selangkangan lelaki itu yang terpampang jelas di depannya.

Marsha melongokkan kepala, menatap teman tidurnya dengan kening berkerut. “Pantas aja gue nggak orgasme tadi malam. Sosis saja lebih gede daripada itu,” tunjuknya pada benda yang berada di selangkangan teman tidurnya. Arinda yang mendengarnya hanya mendengus. Lalu menatap Marsha yang masih berdiri santai di tengah ruangan.

“Tunggu apa lagi?!” pekiknya kesal setengah mati. Marsha hanya menyeringai.

“Gue lagi malas ngelakuin apa pun hari ini. Batalin aja pemotretannya,” ujarnya angkuh, lalu masuk ke dalam kamar mandi, meninggalkan Arinda yang sedang mencari sesuatu untuk melampiaskan amarahnya. Tapi ia tidak menemukan apa pun. Dan matanya melirik lelaki yang masih berbaring pingsan di lantai. Merasa mendapatkan sasaran, akhirnya Arinda menendang-nendang lelaki itu sambil mengumpati Marsha yang selalu seenaknya.

“Ck, mentang-mentang menjadi artis dan model top, dia pikir ngebatalin kontrak segampang mengeluarkan upil dari hidung?” Arinda kembali menendang paha lelaki yang hanya diam tak bergerak itu. Pasalnya Arinda sudah sering harus membatalkan kontrak dan membayar ganti rugi kepada rekan kerjanya. Tidak masalah dengan uang ganti rugi karena yang ia keluarkan bukanlah uangnya sendiri, melainkan uang milik Marsha. Tapi ia bisa stress terus-terusan membatalkan kontrak. Alasan apalagi yang harus ia keluarkan?

Minggu lalu Arinda sudah membatalkan pemotretan dengan salah satu brand kecantikan, hanya karena saat itu Marsha merasa, bahwa pakaian yang mereka sediakan tidak cocok dengan seleranya. Marsha memilih pergi begitu saja dan meninggalkan Arinda yang harus menerima cacian dari pihak brand kecantikan itu dan membayar uang ganti rugi dua kali lipat kepada mereka. Tiga hari setelah kejadian itu, Marsha lagi-lagi tidak ingin melakukan pemotretan hanya karena tempat yang mereka pilih tidak sesuai dengan keinginannya. Mereka akan melakukan pemotretan untuk sebuah bikini, mereka menyediakan sebuah kolam renang tapi Marsha menginginkan sebuah pantai. What the hell! Pantai? Di Jakarta? Apa Marsha mau mereka melakukan pemotretan bikini di Ancol? 

Dan sekarang?

Membatalkan pemotretan bersama dengan perusahaan Zahid-Renaldi? Apa Marsha tidak tahu bahwa bisa menjadi model dari perusahaan itu adalah sebuah anugerah bagi para model-model yang ada di Negara ini? Perusahaan Zahid sangat pemilih dalam melakukan pemotretan, tidak mau memotret sembarang model. Dan beruntunglah saat mereka menyetujui proposal yang dikirim oleh pihak manajemen Marsha. Dan kini Marsha seenaknya saja menyuruh membatalkan?

Ck. Artis sombong tidak punya perasaan.

 

✾✾✾

 

“Ayo pergi.” Marsha mengibaskan rambutnya. Berjalan mantap sambil mengangkat dagu. Dan di belakangnya Arinda mengikuti sambil memegangi pinggangnya yang penuh lemak.

Arinda gadis dua puluh tujuh tahun itu memang memiliki tubuh yang besar. Dengan ukuran pakaian yang selalu XXL. Memiliki lingkar pinggang yang begitu besar. Gadis keturunan Batak itu pun memiliki wajah yang cukup sangar bagi wanita. Wajah khas Batak yang berasal dari ayahnya. Cukup letakkan seorang bocah di hadapan Arinda, dan Arinda tidak perlu berbuat apa pun untuk membuat anak kecil itu menangis kencang.

Tubuh bongsor dan wajah sangar plus dengan sifat galak miliknya cukup membuat beberapa orang enggan untuk berhadapan dengan gadis itu. Bahkan Arinda masih ingat sampai saat ini ketika ia pertama kali mengikuti tes untuk menjadi asisten Marsha empat tahun yang lalu. Saat itu ia beserta empat orang lainnya melamar menjadi asisten Marsha. Arinda sendiri tidak yakin akan terpilih menjadi asisten model top itu. Tapi ia sangat butuh pekerjaan. Plus dengan bentuk tubuh dan wajah yang ia miliki, tidak satu pun perusahaan yang mau menerimanya sebagai karyawan.

Dengan modal nekat Arinda mengikuti tes. Dan siapa sangka?

Saat ia dan empat gadis lainnya berdiri di sebuah ruangan menunggu kedatangan Marsha, dan Marsha masuk dengan wajah sombong dan angkuhnya. Saat tatapan Marsha terpaku pada wajah Arinda. Saat itulah Marsha mengatakan. “Dia.” Marsha menunjuk Arinda dengan dagunya. “Dia yang kupilih menjadi asistenku.” Setelah mengatakan itu Marsha pergi begitu saja tanpa mengatakan apapun.

Arinda sendiri sampai mencubit pipi besarnya beberapa kali, untuk meyakinkan dirinya bahwa ia tidak bermimpi. Model top itu memilihnya sebagai asisten.

Dan ketika suatu hari setelah hampir setahun Arinda bekerja sebagai asisten Marsha, Arinda memberanikan diri untuk bertanya kepada Marsha, apa alasan Marsha memilihnya.

“Gue kasihan sama lo. Dengan tubuh besar dan wajah jelek lo, gue yakin nggak ada yang mau nerima lo sebagai karyawan. Dan kebetulan banget, saat itu gue lagi berbaik hati untuk milih lo menjadi pembantu gue. Maka dari itu berterima kasihlah sama gue, Babon!” Jawaban Marsha membuat Arinda mengumpat kencang dalam hatinya dan sejak itu ia tidak pernah lagi bertanya pada Marsha alasan gadis itu memilihnya sebagai asisten.

Sedikit banyak Arinda sudah mengenal Marsha. Bosnya itu memiliki keangkuhan yang luar biasa, berteman baik dengan sifat sombong dan selalu memandang rendah orang lain. Siapa pun itu.

Bertahan dengan gajinya yang memang besar dibanding bekerja di sebuah perusahaan sebagai karyawan, Arinda menahan kesabaran menghadapi sifat Marsha yang membuatnya diam-diam mempunyai niat untuk menaburkan racun dalam kopi yang di minum Marsha setiap pagi.

“Heh, Jelek! Gue nyuruh lo nyetir mobil. Bukannya malah ngeliatin gue kayak gitu.” Arinda mengerjapkan matanya. Lalu mendengkus sambil menghidupkan mesin mobil Ferrari milik Marsha. “Kalau lo diam-diam mau campurin sianida ke dalam minuman gue. Maka lo cuma bisa ngimpi. Gue tahu pasti niat busuk lo itu. Tertulis jelas di jidat lo!” 

Arinda hanya tersenyum masam. Sedangkan Marsha duduk santai di bangku penumpang. Memainkan ponselnya.

“Ayo kita makan. Gue lapar.” Mendengar kata makan, Arinda tersenyum lebar, membuat Marsha mendengkus. “Lo cuma punya jatah satu piring Sushi. Lihat lemak lo, Ar. Jangan sampai lo mati karena kebanyakan lemak.” Marsha menatap tubuh bongsor Arinda dengan tatapan meremehkan.

“Kalau gue mati, siapa lagi yang mau menjadi asisten manusia ular kayak lo?”

Marsha melayangkan tatapan tajam pada Arinda. “Wah mulut lo manis banget, Ar. Sudah pernah cium aspal?”

“Jangankan cium aspal. Cium mobil truk aja sudah sering,” ujar Arinda singkat membuat Marsha tertawa.

“Ck ck. Gue kasihan banget sama lo. Ayo kita ke Litera malam ini. Gue traktir minum. Dan bakal gue cariin cowok yang bersedia cium lemak di tubuh lo itu.” Litera salah satu klub malam yang sering dikunjungi oleh Marsha.

“Nggak, Mar. Terima kasih atas kebaikan hati lo. Sungguh gue tersanjung banget, ternyata Marsha Anastasia sangat perhatian kepada asistennya yang jelek ini.” 

Marsha tertawa sambil meletakkan ponselnya di atas dashboard mobil.

“Setidaknya, gue tahu kalau lo sadar diri.”

Arinda mengumpat. “Jalang nggak punya perasaan,” ujarnya pelan sambil menekan pedal gas semakin dalam.


 

 

Dua

 

“Mar! Astaga, Mar! Gawat!” Arinda datang tergopoh-gopoh memasuki apartemen Marsha. Marsha yang tengah berbaring di sofa membuka matanya, ia menatap melalui masker wajah yang ia kenakan.

“Kenapa lo?”

“Lo harus ke kantor agensi, sekarang! Ini penting banget!”

“Hm.” Marsha bergumam malas. “Gue mau tidur.”

“Lo harus bangun!” Arinda menarik tangan Marsha hingga wanita itu bangkit duduk. “Pak Radit yang nyuruh lo ke kantor!”

Radit Nugraha adalah anak dari pemilik perusahaan.

“Mati gue,” desah Marsha.

Jika hanya manajernya yang memanggil, Marsha tidak akan peduli. Tetapi jika sang pemilik perusahaan yang turun tangan secara langsung, maka pasti ia telah membuat kesalahan yang fatal.

Marsha bangkit dan buru-buru berlari ke dalam kamarnya untuk mengganti pakaian. Sementara Arinda sibuk menerima telepon yang terus masuk tanpa henti.

“Iya, Pak. Ini sebentar lagi kita ke kantor, kok. Marsha lagi ganti pakaian.”

“Nggak perlu ganti pakaian! Langsung aja ke kantor, Pak Radit udah nunggu dari tadi,” bentak manajer Marsha.

“I-iya, Pak. Ini udah mau otewe.”

Arinda mematikan sambungan dan memilih mematikan ponselnya sekalian. Ia kemudian masuk ke kamar Marsha.

“Buruan!” teriak Arinda ketika menatap pintu kamar mandi Marsha yang tertutup.

“Aduh, Ar! Perut gue sakit banget! Gue mau pup dulu!” Suara Marsha terdengar berteriak dari kamar mandi.

“Nggak ada waktu, Bego! Ntar aja pupnya. Ke kantor dulu!” Arinda balas berteriak gemas.

“Sebentar aja!”

Arinda hanya bisa menghela napas dalam-dalam. Ini bukan waktunya untuk main-main. Marsha tidak bisa menghindari masalah ini dengan berbagai macam alasan.

“Keluar nggak lo!” Arinda mulai menggedor pintu kamar mandi. “Kalau lo nggak keluar, gue dobrak, nih!” ancamnya. Berancang-ancang untuk mendobrak pintu kamar mandi itu dengan tubuhnya yang bongsor.

“Sebentar!”

“Gue hitung sampai lima, Mar! Satu … dua … lima!”

Pintu tiba-tiba terbuka dan Marsha berdiri di sana. Tercium bau asap rokok dari dalam kamar mandi.

“Masih sempet-sempetnya lo ngerokok. Gue tahu lo cuma alasan doang sakit perut.”

“Gue panik,” ujar Marsha pelan, melangkah menuju ruang pakaiannya, lalu menyambar salah satu dress dan mengenakannya.

“Baru sekarang lo panik? Kemarin-kemarin ke mana aja?!”

Marsha hanya memutar bola mata.

Marsha sangat menghormati Radit Nugraha. Karena bagaimanapun, pria itu telah menyelamatkan hidupnya. Jika sampai Radit Nugraha memanggilnya, itu berarti ada dua kemungkinan.

Pertama, pria itu akan memberinya proyek besar.

Kedua, pria itu akan memarahinya habis-habisan.

Marsha memang terkenal sebagai artis dan model yang selalu bersikap seenaknya. Tetapi, jika berhubungan dengan Radit Nugraha, Marsha tidak ingin membuat pria itu mengamuk padanya.

“Ayo!”

Marsha membiarkan Arinda menarik tangannya untuk keluar dari kamar. Ia hanya bisa pasrah. Ia menyambar ponselnya yang ada di atas meja ruang TV, satu panggilan tak terjawab dari Radit Nugraha.

Jelas, pria itu memanggil bukan untuk memberinya proyek besar. Radit tidak akan menghubunginya kalau Marsha tidak membuat sebuah kekacauan. Dan ini tentu kekacauan yang sangat besar.

Kira-kira kesalahan apa yang telah Marsha perbuat? Tapi ngomong-ngomong, ia memang selalu membuat masalah untuk agensinya.

Duh, sialan!

 

✾✾✾

 

“Siang, Pak.” Marsha tersenyum kaku melihat Radit Nugraha yang duduk di kursinya. Pria itu mengangkat kepala dan menatap Marsha datar.

“Kamu tahu apa salah kamu?”

Marsha menggeleng dan menampilkan wajah polos.

“Marsha, kenapa kamu batalkan pemotretan dengan perusahaan Zahid begitu saja?”

Ah, ternyata karena itu rupanya.

“Saya ….”

“Sedang malas? Sedang sakit kepala? Butuh istirahat? Butuh tidur siang? Butuh belanja?”

Marsha meringis karena Radit sudah hafal sekali dengan alasan-alasannya selama ini.

 “Selama ini, saya tidak pernah mempermasalahkan sikap kamu. Kamu bersikap seenaknya, saya tidak pernah mempermasalahkannya. Tapi satu hal ini ….” Radit menatap Marsha kecewa. “Saya kecewa karena kamu tidak profesional.”

Marsha hanya bisa berdiri di depan meja kerja Radit dengan kepala tertunduk.

“Perusahaan ini adalah bagian dari perusahaan Zahid. Saya memercayai kamu untuk menjadi model mereka, karena saya yakin dengan kemampuan kamu. Tapi kamu ….” Radit menghela napas lelah.

“Maafkan saya, Pak,” ujar Marsha pelan.

“Meski mereka adalah bagian dari keluarga saya, bukan berarti mereka tidak mempermasalahkan hal ini. Mereka menuntut ganti rugi. Dan kamu tahu? Bagi mereka bisnis adalah bisnis, tidak mencampurinya dengan urusan keluarga.”

“S-saya akan mengganti rugi—”

“Kamu yakin? Kamu bisa mengganti dua puluh miliar kepada mereka?”

Kepala Marsha terangkat. “Dua puluh miliar?” Bahkan tabungannya tidak sampai dua puluh miliar, karena ia terlalu banyak mengganti rugi selama ini.

“Ya, dan saya tidak mau mengeluarkan uang untuk ganti rugi itu. Kamu yang harus tanggung jawab sesuai kesepakatan.”

“Pak ….” Marsha mengerang. “Miskin dong saya, Pak.”

“Bukan urusan saya.”

“Saya nggak mau miskin, Pak ….” Marsha mulai merengek.

“Saya tidak peduli.”

“Pak, tolong saya—”

Radit mengibaskan tangan, mengusir Marsha.

“Paling lama waktunya satu minggu. Siapkan uang kamu.”

“Pak ….”

Radit tidak mendengarkan dan kembali mengusir Marsha dari ruangannya.

Dua puluh miliar? Uang semua? Astaga! Dari mana Marsha mendapatkan uang dua puluh miliar? Ia memiliki tabungan paling hanya … entahlah. Ia sendiri tidak tahu berapa tabungannya. Uang yang ia dapatkan selama ini, dihabiskan untuk memenuhi gaya hidup, untuk liburan ala kalangan jetset di luar negeri, untuk belanja barang-barang yang sebenarnya tidak ia butuhkan, untuk berfoya-foya dan untuk … mengganti rugi atas kontrak-kontrak yang ia batalkan secara sepihak. 

Jelas, uang tabungannya tidak seberapa.

Seraya mengacak rambut panjangnya yang biasanya tergerai indah, Marsha keluar dari ruang Radit seraya menghentakkan kaki.

Apa ia perlu menjual apartemen dan mobil yang ia punya? Jika ia menjual keduanya, ia pasti bisa mengganti rugi.

Lalu, akan tinggal di mana dirinya nanti?

“Gimana?” Arinda yang duduk di sofa menatap Marsha.

“Gue miskin, Ar ….” Marsha segera merengek, “Gue miskin …. Gue nggak mau miskin ….”

Arinda menghela napas. “Pak Radit bilang apa?”

“Ganti rugi …. Dua puluh miliar.”

“Ebuset! Dua puluh miliar? Duit semua itu?”

“Bukan! Daun, Bego!” sentak Marsha duduk di sofa. Mengacak-acak rambutnya. “Masa gue harus jual apartemen dan mobil? Gue tinggal di mana dong, nanti?”

“Ngekos aja.”

Marsha menoleh dengan mata memelotot. “Gue? Ngekos? Lo nggak waras?!”

Arinda mengangkat bahu. “Terus?”

“Nggak tahu ….” Marsha menghempaskan punggungnya ke sofa, menatap putus asa pada meja. Sekali Radit mengatakan tidak, maka pria itu tidak akan membantunya. Ia tahu sekali bagaimana Radit Nugraha.

Dua puluh miliar sialan! Marsha merasa menyesal telah membuang-buang uang selama ini. 

Ah, brengsek! Kenapa, sih, penyesalan selalu datang belakangan?

Tatapan Marsha jatuh pada majalah bisnis yang ada di atas meja. Matanya menatap satu kata yang menjadi judul sampul, yang menarik perhatiannya.

Zahid! Ada nama Zahid di sampul itu!

Ia menyambar majalah itu dan menatap cover depan majalah yang menampilkan wajah lelaki tampan—ralat, sangat tampan. Dengan mata biru dan garis wajah yang dimiliki oleh pria-pria yang bukan dari Indonesia. Pria dengan kulit sedikit kecokelatan itu memiliki rahang tegas dan tatapan mata mematikan. Bibirnya yang kemerahan tampak begitu sensual dan memukau.

Mata Marsha membaca kata-kata yang ada di sana.

‘Salah satu pemilik dari perusahaan Zahid’.

“Ar! Siapa ini?” Marsha menunjukkan cover majalah itu kepada Arinda.

“Lo nggak bisa baca? Salah satu pemilik perusahaan Zahid. Kalau nggak salah, keturunan Italia.”

“Lo cari informasi di mana kantornya. Sekarang!”

“Buat apa?”

“Nggak usah banyak tanya! Cepetan cari kantor orang ini. Gue tunggu lima belas menit. Buruan!”

Menghela napas, Arinda membuka tasnya untuk mengambil ponsel, menghubungi seseorang yang biasanya menjadi sumber informasi terpercaya.

Sementara Marsha menatap foto sampul majalah itu dengan senyum terkulum. Ia menemukan satu cara untuk membuat dirinya tidak jatuh miskin. Jika dilihat dari tampang salah satu pemilik perusahaan Zahid itu, wajah playboy-nya tidak bisa diabaikan.

Marsha pasti bisa melakukannya.

“Nih, informasinya.” Arinda menunjukkan ponselnya.

“Kirim ke gue.” Marsha berujar tanpa menoleh sama sekali. Ia berdiri dan melangkah menuju lift.

“Mau ke mana lo?” Arinda mengejarnya.

“Pulang.” Marsha tersenyum.

“Ngapain?”

“Ganti baju.” Marsha masuk ke dalam lift.

“Ngapain lo ganti baju?”

Marsha hanya tersenyum dengan mengerlingkan sebelah matanya sebelum pintu lift tertutup di depannya.

Dua jam kemudian, Marsha memasuki kantor milik Algantara dengan langkah anggun, ia mengibaskan rambutnya yang ditata sedemikian rupa, aroma parfumnya semerbak di lobi yang besar dan mewah itu. Dengan mengenakan heels yang tinggi, ia terlihat begitu cantik dan menawan. Tidak salah, semua orang tengah menatapnya. Dan memotretnya dengan kamera ponsel mereka.

Marsha Anastasia tidak peduli itu. Matanya menatap lurus ke depan dan dagunya terangkat angkuh.

Ia berdiri di depan meja resepsionis.

“S-selamat siang, Mbak Marsha.” Gadis yang berdiri di balik meja resepsionis terpesona melihat Marsha Anastasia secara langsung.

Marsha tersenyum tipis. Semua orang di lobi kantor ini mengenalinya.

“Saya perlu bertemu dengan CEO perusahaan ini.”

“Sudah ada janji sebelumnya, Mbak?”

“Sudah.” Marsha berbohong, ia tidak memiliki janji sama sekali. Ia datang secara mendadak.

“Baik, kalau begitu mari saya antar.”

Marsha mengangguk, mengikuti langkah salah satu resepsionis menuju lift, membiarkan wanita itu mengantarnya ke lantai 35 di mana ruangan CEO berada.

Tanpa mengucapkan terima kasih, Marsha keluar dari lift dan langsung menuju ruangan CEO.

Sangat mudah menemukan ruangan itu. Karena di lantai ini, hanya memiliki dua buah ruangan. Salah satunya ruang rapat direksi yang mana tertulis dengan huruf kapital di sana, dan satunya lagi pasti ruang sang CEO.

“Selamat siang—”

Marsha mengabaikan sapaan sekretaris CEO dan langsung masuk ke dalam ruangan tanpa mengetuknya.

“Maaf, Nona. Anda tidak—”

Marsha menoleh, membuka kacamata hitamnya dan menatap tajam sekretaris itu.

“Biarkan saja.”

Sebuah suara terdengar.

Marsha tersenyum dingin dan menutup pintu di depan hidung sekretaris itu.

“Selamat siang.” Marsha mendekat dan berdiri di depan meja besar sang bos. Menatap pria di depannya dengan senyum sensual.

“Selamat siang. Anda siapa?”

Senyum itu lenyap dari wajah Marsha. Ia menatap pria itu dengan tatapan lekat.

“Anda tidak mengenali saya?”

“Apa saya harus mengenali Anda?” Pria itu balik bertanya.

Sialan. Marsha mengembuskan napas kesal. Siapa, sih, yang tidak kenal Marsha Anastasia? Ia adalah Brand Ambassador dari brand-brand mewah internasional maupun lokal. Ia adalah super model yang melenggang indah di catwalk fashion week dunia. Hanya orang buta dan orang yang tinggal di gua yang tidak mengenalinya.

Namun, pria di depannya benar-benar menatapnya bingung.

Dobel sialan.

Baiklah. Marsha bisa melakukan ini. Demi hidup nyaman. Ia tidak mau jatuh miskin.

“Aku Marsha Anastasia.” Marsha meletakkan tas ratusan jutanya di atas meja pria itu dan meletakkan kacamata yang juga dengan harga fantastis di samping tasnya.

Marsha melangkah anggun mengelilingi meja dan duduk di atas meja, di depan sang CEO

Satu alis pria itu terangkat. Wajahnya menatap datar.

Marsha berusaha menahan kekesalannya karena respons yang tidak ia duga itu. Biasanya, jika ia duduk dengan mengenakan gaun super pendek ini, semua pria akan langsung menatapnya penuh nafsu. Namun, lelaki di depannya hanya menatapnya tanpa minat.

“Aku seorang super model.” Tangan Marsha membelai bahu kokoh itu dengan jemari lentiknya. Kukunya yang terawat sempurna tampak berkilau indah. “Berada di bawah naungan Agensi Nugraha.”

“Ah, Nugraha.” Pria itu mengangguk-angguk. “Lalu?” Ia lagi-lagi menatap Marsha dengan tatapan tidak tertarik.

Setengah mati Marsha ingin menjambak rambutnya yang disisir rapi itu. Apa benar pria ini tidak mengenalinya? Really? Dia tidak tahu siapa itu Marsha Anastasia?!

“Aku membatalkan pemotretan dengan perusahaan ini, tanpa sengaja.” Marsha duduk di atas pangkuan pria itu.

“Woaa. Apa ini, Nona?” Pria itu hanya menjauhkan kepalanya. Tapi tidak mendorong Marsha menjauh .

“Perusahaan Zahid menggugat ganti rugi pada perusahaanku.” Marsha memainkan dasi pria itu. “Aku ingin perusahaan Zahid membatalkan gugatan itu.”

“Aku tidak mendengar kata tolong di sini.”

Marsha tersenyum, membelai leher pria itu. “Sebagai gantinya ….” Marsha mendekatkan bibirnya ke telinga pria itu. “Aku bersedia memberimu kenikmatan saat ini.”

Pria itu hanya mengangkat satu alisnya.

“Kenikmatan?”

“Ya.” Marsha berdiri. Ia pernah melakukan hal seperti ini sebelumnya. Hanya saja saat itu situasinya berbeda. 

Marsha perlahan menurunkan tali gaunnya. Membiarkan gaun super pendek itu jatuh ke lantai dan ia berdiri hanya dengan pakaian dalam berenda yang sangat seksi. Bra yang ia kenakan membuat dadanya membusung indah, sementara celana dalamnya hanya menutupi sedikit bagian tengahnya.

Pria itu menatapnya lekat. Tampak berminat. Dan hal itu membuat senyum di wajah Marsha terkembang sempurna.

Sudah ia katakan sebelumnya, tidak ada yang mampu menolak seorang Marsha Anastasia.

Marsha melangkah percaya diri mendekati pria itu.

Namun, tiba-tiba pria itu tertawa terbahak-bahak. Membuat langkah Marsha terhenti dan matanya menatap pria itu dengan tatapan syok. Pria itu tertawa? Menertawakannya?

“Sayang, kenapa kamu berdiri di sana dengan wajah jijik seperti itu?” Pria itu masih terus tertawa terbahak-bahak.

Marsha yakin, bukan dengan dirinya pria itu bicara. Karena jelas, yang ia tunjukkan dari wajahnya adalah senyum sensual. Bukan senyum menjijikkan.

Ia segera menoleh ke pintu dan seorang wanita berdiri di sana. Bersandar di dinding, bersedekap dan menatapnya jijik.

Marcus Algantara lagi-lagi tertawa, karena untuk kedua kalinya Marsha memelotot syok.

“Jangan tertawa, Mark. Kamu membuat pelacur itu kehilangan harga diri.” Lily Bagaskara masih berdiri di sana dengan wajah datar. “Dia sudah menawarkan dagangannya padamu, kenapa tidak kamu beli?”

Dagangan? Apa maksud wanita itu? Memangnya Marsha sedang menjual diri?

Ah, tapi memang ia sedang menjual diri demi dua puluh miliar, bukan?

“Ah, aku tidak tertarik.” Marcus melirik Marsha dengan ekor matanya. “Dagangannya biasa saja, tidak ada yang istimewa,” ujar pria itu dengan nada santai. Benar-benar tampak tidak tertarik. “Ngomong-ngomong sejak kapan kamu berdiri di sana?”

“Sejak pelacur itu mulai menjajakan vaginanya padamu.”

Dan Marcus lagi-lagi tertawa terbahak-bahak atas kalimat istrinya.

Marsha merasa tertampar atas kalimat santai namun sangat menghina itu. Untuk ketiga kalinya, ia berdiri syok.

Lily Bagaskara tertawa mengejek. Wanita yang sangat cantik itu melangkah mendekati suaminya. Dan untuk pertama kali, Marsha merasa rendah diri. Wanita itu jelas jauh lebih tua darinya. Tapi tubuh yang ia miliki nyaris sama dengan tubuh Marsha. Bahkan lebih berlekuk dan padat. Dan wajahnya …. Marsha memalingkan wajah. Wajah cantik yang tidak biasa. Sangat cantik sampai Marsha sendiri merasa begitu kalah dan insecure saat ini.

Lily duduk di pangkuan suaminya yang segera memeluk pinggangnya. Wanita itu mengangkangi suaminya. Dan kemudian melumat bibir suaminya dan Marcus langsung menyambar dan balas melumat penuh nafsu.

Sudah berapa kali dalam beberapa menit ini Marsha berdiri dengan wajah syok?

Lily kemudian menoleh, menatap Marsha datar.

“Kalau kamu masih ingin di sini dan menonton aku dan suamiku bercinta, boleh saja. Kamu bisa gunakan sesuatu untuk memuaskan dirimu sendiri.”

What the hell!

Marsha menyambar gaunnya, memakainya cepat. Tanpa mengatakan apa pun ia menyambar tas dan kacamatanya lalu keluar dari ruangan itu dengan membanting pintunya.

Sialan! 

Ia tidak pernah diperlakukan seperti ini sebelumnya! Marsha benar-benar merasa murka, terhina, rendah diri, dan … putus asa.

Pria yang memiliki wajah khas para playboy cap kakap itu bahkan tidak meliriknya sedikit pun. Benar-benar tampak tidak tertarik barang secuil pun. Meski Marsha nyaris telanjang di depannya. Namun, begitu istrinya duduk di atas pangkuannya, Marcus Algantara segera memeluk istrinya penuh nafsu.

Fuck you, Zahid! Marsha mengumpat dalam hatinya. Ternyata, berita yang ia dengar tentang keluarga ini benar adanya. Keluarga yang penuh kelicikan. FUCK YOU!

Marsha melangkah menuju lift. Begitu sampai di dalam lift, ia mengerang dan berjongkok.

Ia akan miskin! Benar-benar miskin ….

 

✾✾✾

 

“Mar! Udah, lo udah mabuk.”

Marsha menatap Arinda dengan tatapan tajam. Marsha tidak menceritakan kejadian siang tadi kepada siapa pun. Karena kejadian itu hanya membuat luka di hatinya semakin menganga. Penghinaan yang ia dapatkan dari keluarga Zahid, benar-benar membuatnya muak namun sekaligus merasa rendah diri.

“Gue bakal miskin, Ar ….” Marsha kembali merengek, “Gue nggak mau miskin ….”

“Kita pasti punya cara lain.”

Marsha menggeleng. Radit tidak akan mau membantunya. Dan ia harus mengganti uang ganti rugi itu dengan uangnya sendiri. Karena itulah perjanjian yang ia sepakati bersama Radit. Radit tidak akan peduli jika Marsha bersikap seenaknya asal ia yang menyelesaikan sendiri masalah yang ia buat.

Dan sekarang, ia harus mengganti dua puluh miliar kepada keluarga Zahid sialan!

Rasanya kepala Marsha ingin meledak saking pusingnya memikirkan hal ini. 

“Lo pulang, gue mau senang-senang.” Marsha melempar kunci mobilnya kepada Arinda. “Gue mau di sini dulu.”

“Tapi—”

“Pulang!” bentak Marsha kasar. Ia benar-benar tidak ingin ditemani oleh siapa pun. Dan Marsha sedang tidak ingin mendengar kata-kata penghiburan, dari siapa pun itu.

Yang ia butuhkan saat ini adalah seks! Seks yang luar biasa! Yang akan membuatnya mengerang dan mendesah hebat. Yang akan membuatnya melupakan masalah ini barang sejenak saja.

Arinda bangkit dan melangkah menjauh, sementara Marsha mulai mencari mangsa di lantai VVIP klub yang bernama Litera itu.

Langkahnya tidak sengaja tersandung karena tingginya hak sepatu yang ia kenakan, ia hampir tersungkur ke depan namun sebuah tangan memeluk pinggangnya.

Marsha terkesiap saat tangan itu memeluknya erat. Ia segera membalikkan tubuh. Dengan pandangan mulai tidak fokus karena mabuk, Marsha memicing, berusaha menatap wajah pria yang telah menyelamatkannya.

Tampan. Sangat tampan. Dan …. Tangan Marsha dengan lancang terangkat untuk meraba dada bidang yang menempel pada dadanya. Tegap. Pria sekekar ini pasti bisa memuaskannya di ranjang.

Segera saja, Marsha mendekatkan wajah dan mencium bibir sensual itu. Tidak disangka, ciumannya dibalas dengan penuh antusias. Marsha mengerang, mengalungkan kedua tangannya di leher pria itu dan membiarkan pria itu melumat bibirnya rakus.

“Kita butuh kamar,” ujar Marsha terengah-engah ketika pria itu melepaskan bibirnya sejenak dan membiarkannya menarik napas terburu-buru. Namun hanya sebentar, pria itu kembali meraup bibirnya dan melumatnya lagi, dalam-dalam, penuh nafsu dan menuntut.

Marsha membiarkan pria itu meraup tubuhnya dan menggendongnya. Ia tidak peduli ke mana pria itu akan membawanya.

Selagi pria itu bisa memberinya seks yang hebat malam ini, Marsha tidak peduli apa pun lagi.

Sementara itu, Lucas Algantara melumat bibir wanita asing itu dengan penuh nafsu.

Ia butuh seks dan wanita itu melemparkan diri padanya. Tentu, Lucas tidak akan menolaknya.

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Trapped By You
Selanjutnya Trapped By You: Bab 3, 4, 5
10
0
Sebagai seorang artis, Marsha Anastasia memiliki segalanya. Uang, ketenaran dan sederet pria yang bersedia mengemis untuk menjadi kekasihnya. Namun, satu hal yang tidak dimiliki oleh Marsha, yaitu hati.Lucas Algantara selalu berhasil mendapatkan apa yang ia mau. Uang, tender bernilai triliunan rupiah dan sederet wanita yang bersedia menghangatkan ranjangnya. Namun, satu hal yang tidak berhasil Lucas dapatkan, yaitu cinta.Hati dan cinta selalu berpasangan dalam permainan asmara. Ketika seseorang yang tidak memiliki hati bertemu dengan seseorang yang tidak bisa lagi mencintai, permainan apakah yang akan terjadi?
Komentar dinonaktifkan
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan