
Menikah dengan salah satu anggota keluarga konglomerat?
Arabella tak pernah tahu hidupnya akan berubah drastis. Dari orang biasa menjadi orang yang nyaris memiliki segalanya.
Tapi apakah itu benar? Apakah ia bisa memiliki semua yang wanita impikan? Yang seorang istri impikan?
Apakah ia memiliki kesempatan untuk menjadi seorang...ibu?
Prolog
“Kapan kamu mau mengambil alih perusahaan ini?”
Aku yang tengah membaca laporan mendongak, menatap Om Khavi yang duduk di sofa yang ada di seberangku. “Kenapa?”
“Ck,” Om Khavi berdecak. “Om mau pensiun, Al.”
Aku hanya menatapnya datar. “Sudah capek jadi bos?”
Om Khavi memutar bola mata. “Ngomong sama kamu, kayak ngomong sama tembok.” Om Khavi bangkit berdiri dan kembali duduk di kursi kebesarannya. “Lalu siapa yang bakal menjalankan perusahaan ini kalau bukan kamu?”
Aku hanya mengangkat bahu acuh.
“Aaron atau kamu. Hanya itu pilihannya sebelum Kaivan bisa membantu.” Om Khavi menghela napas.
“Aku masih betah di posisi sekarang.” Jawabku singkat sambil berdiri. Melirik arloji yang melingkari pergelangan tangan. “Om bisa pensiun kalau sudah saatnya. Tapi ini belum saatnya.” Ada pertemuan penting yang harus aku hadiri.
“Lalu kapan?” Om Khavi menggeram.
Aku hanya mengangkat bahu. “Mungkin sepuluh tahun lagi.” Jawabku sekenanya.
“Sialan kamu, Al.” jawabnya sambil melemparku dengan pulpen, aku hanya tersenyum singkat dan keluar dari ruang kerjanya. Melangkah menuju lift dan menunggu disana. Saat pintu lift terbuka, ada seorang perempuan di dalamnya, tengah asik memegang ponsel di tangan kanan, dan memeluk sebuah map di tangan kiri. Aku melangkah masuk dan berdiri di sampingnya.
Perempuan di sampingku tertawa pelan dan membekap mulutnya sambil terus menatap layar ponsel. Aku tidak bermaksud mengintip, tapi di layar ponselnya tertera jelas sebuah video konyol dimana segerombolan orang tengah mengerjai seorang laki-laki.
Ck, apa menariknya?
Aku meliriknya dan kembali menatap ke depan.
Dan perempuan di sampingku tertawa kencang, lalu menutup mulutnya dan masih terkikik geli.
Apa untungnya menonton video tidak berguna seperti itu? Apa dia tidak tahu jika video itu hasil rekayasa? Aku heran jika ada orang-orang yang sangat menyukai video-video amatiran, tidak berguna seperti itu, lebih baik membaca berita atau portal bisnis.
Aku meraih ponsel saat sebuah panggilan masuk. Dari bagian HRD. Aku memilih mengabaikannya dan terus mengenggam ponsel ketika lift berhenti di lantai dua puluh dan aku melangkah keluar.
“Kalau jalan pake mata makanya!” aku berhenti melangkah, menatap ke belakang dimana perempuan tadi tengah membereskan kertas-kertas yang berserakan. Aku menatapnya bingung? Dia kenapa? “Udah nabrak nggak pake minta maaf lagi!” suara ketusnya kembali terdengar.
“Excuse me?” aku bertanya padanya.
Dia mengangkat wajahnya dan berdiri dengan wajah kesal, melangkah keluar dari lift sambil terus memeluk map itu di dadanya, berjalan dengan kaki menghentak dan sengaja menabrak lenganku.
“Dimana-mana kalo ada orang yang sudah nabrak orang itu minta maaf, bukannya berdiri disana kayak orang yang berdosa begitu!” aku masih bisa mendengar gerutuannya. Menatap dirinya yang masuk ke salah satu kubikel dan duduk disana.
Aku hanya mengangkat bahu dan melangkah ke ruangan, saat aku melewati kubikelnya, dia sama sekali tidak mengangkat wajahnya, terlihat sibuk dengan ponsel.
Aku baru duduk sekitar lima menit saat seseorang yang tidak kuketahui namanya datang dan membawa sebuah berkas di tangannya.
“Saya Lita dari bagian HRD. Tadi kami sudah telepon ke ponsel Bapak, tapi tidak di angkat.”
“Hm,” Aku hanya bergumam sambil meraih berkas yang dia serahkan.
“Ada seorang pegawai baru di divisi Bapak, baru masuk hari ini.”
“Hm,”
“Perlu saya panggil ke sini sekarang?” Perempuan yang mengenalkan dirinya sebagai Lita menatapku.
“Tidak periu. Kamu boleh keluar sekarang.”
Lita menunduk, dan segera keluar dari ruangan. Aku membuka berkas itu dan mataku tertuju pada sebuah foto yang ukuran tiga kali empat yang ada disana. Potret seorang perempuan muda yang tadi kulihat mengomel saat keluar dari lift, yang menuduhku telah menyenggolnya sedangkan aku sama sekali tidak merasa menyenggol tubuhnya.
Perempuan aneh.
Arabella Zahra Kirana. Itulah nama yang tertulis disana. Aku tersenyum, meletakkan berkas itu ke atas meja dan segera keluar dari ruangan, melangkah dan berdiri di depan kubikelnya.
Aku berdehem dan dia mendongak, matanya melotot jengkel.
“Selamat pagi, Arabella. Saya Alfariel, manajer keuangan disini. Selamat bergabung di tim saya.” Ujarku datar.
Mulutnya terbuka, lalu kembali tertutup dan dia segera berdiri. Menatapku pucat. Tidak ada raut jengkel yang tersisa di wajahnya. “S-selamat pagi, Pak. Saya Arabella, baru bekerja hari ini.” Kepalanya menunduk dengan mulut mengomel tanpa suara. “Mohon bimbingannya.” Ujarnya pelan.
Aku tersenyum singkat. Tentu saja aku akan membimbingnya.
⋆⋆⋆
“Nggak berguna!” aku melemparkan laporan itu ke lantai, menatap perempuan yang baru bekerja dua hari ini di divisiku. “Apa kamu tidak bisa mengerjakan laporan dengan baik? Hanya menginput data saja tidak becus!”
Dia menunduk. “Maaf, Pak. Saya akan memperbaiki—“
“Ini sudah perbaikan yang ke sepuluh tapi tidak ada perubahan.” Aku menyela cepat.
Dia mengangkat wajah, menatapku dengan sorot kesal tapi mulutnya terkatup rapat. “Saya akan mencoba lagi besok—“
“Sekarang!”
Matanya membulat, mulutnya mengumpat tanpa suara. Aku bersidekap, menunggu dia membantah, tapi dia hanya menghela napas kuat-kuat lalu mengangguk. “Kalau begitu saya permisi.” Ujarnya lalu membalikkan tubuh tanpa menunggu jawabanku.
Ck, dasar tidak sopan! “Siapa yang bilang kamu boleh pergi?!”
Dia berhenti melangkah, menatapku dari balik bahunya. “Bukannya saya harus kerjakan laporan itu sekarang?” tanyanya sinis.
Oh great! Dia punya cukup nyali rupanya. “Tentu saja.” Aku meraih tiga map yang ada di atas meja lalu menyerahkan itu ke tangannya. “Sekalian periksa laporan ini dan saya tunggu satu jam lagi.”
“Satu jam?!” dia memekik kencang.
“Ya, satu jam.”
Dia kembali membuka mulut dan kembali menutupnya. Memeluk tiga map itu erat-erat di dadanya seolah ingin meremukkan map itu secepatnya. Lalu tanpa mengatakan apapun, dia keluar dari ruanganku.
“Dasar iblis, bos setan! Nggak punya perasaan!” aku masih bisa mendengar dia mengomel dengan suara kencang di luar sana, sama sekali tidak peduli meski dia tahu aku akan mendengarnya.
Aku bersandar pada daun pintu. Tersenyum geli.
Sepertinya hal ini akan menyenangkan. Sejak pertemuan pertama, dia punya nyali untuk mengomel dan menuduhku menyenggolnya. Kita lihat saja, sejauh mana dia mampu bertahan. Kalau dia bisa bertahan satu tahun saja di divisi ini…
Maka dia adalah… perempuan hebat.
Aku terus bersandar dan menatapnya melalui pintu kaca yang tertutup. Mulutnya terus bergerak, mungkin mengumpat atau mengomel, aku juga tidak tahu. Tapi meski ia tampak kesal, ia tetap mengerjakan pekerjaannya dengan cekatan.
Aku tersenyum tipis.
Untuk ukuran perempuan. Dia cantik. Sangat cantik.
Dan dia juga…menarik.
⋆⋆⋆
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
