
VERSI BUKU.
Menikah …. Kupikir menikah itu mudah. Cukup hanya dengan saling mencintai. Tapi benarkah menikah semudah itu?
Lalu bagaimana dengan egoku dan egonya yang masih saling bertentangan?
Generasi Zahid Ke-3.
Satu
“Han, lo beneran mau nikah?”
Aku memandang Mbak Tasya dan Mas Bayu yang kini makan siang bersamaku di Amuz—restoran favoritnya Mbak Tasya.
Aku hanya tersenyum simpul.
“Lo nggak liat berlian segede gaban di jarinya?” celetuk Mas Bayu, tampak asik dengan makanannya, sementara Mbak Tasya fokus padaku. Perkataanku tentang pernikahan beberapa menit lalu, membuat Mbak Tasya kehilangan selera makan dan lebih tertarik untuk mengulik berita itu.
Mbak Tasya segera memeriksa tanganku dan menatap cincin itu lekat.
“Cincin baru? Kayaknya cincin lo yang kemarin bukan yang ini, deh.”
Aku hanya tertawa. Pak Rafan memang memberiku cincin baru kemarin. Alasannya karena lamaran butuh cincin. Sementara, dia sudah pernah memberiku cincin sebelumnya, bahkan pernah melamarku juga. Tapi tetap kekeh untuk memberiku cincin lagi. Karena takut dia akan merajuk kalau aku tidak memakainya. Jadi, mau tidak mau, aku harus memakai cincin dengan berlian yang cukup besar itu. Yang terasa cukup berat di jariku.
“Elaaah, ketawa mulu lo.”
Aku tertawa semakin kencang.
“Begini nih, bikin gue inget sama Bella. Diem-diem makan temen, diem-diem pacaran, diem-diem tunangan, jangan sampai diem-diem lo bunting. Ck ck.” Mbak Tasya berdecak. “Bella nurunin peletnya sama lo?”
“Iya,” jawabku sekenanya.
“Lah si kampret.” Mbak Tasya memutar bola mata sementara aku terus tertawa.
“Udah deh, Tas. Lo kepo banget.” Mas Bayu menjauhkan piringnya yang telah kosong. Tampak puas dengan traktiranku kali ini.
“Bohong banget kalau lo nggak kepo, Bay.”
“Gue udah tahu endingnya si Jihan bakal nikah sama Pak Rafan, cerita lama terulang kembali. Gue udah belajar dari kisahnya Bella dulu. Lo aja yang nggak mikir sampe ke sana. Lo nggak pernah belajar dari pengalaman, Tas.”
“Tapi gue nggak nyangka secepat ini.”
“Ya terus? Namanya jodoh, ngapain ditunda, daripada zina?”
“Tumben otak lo lurus,” sinis Mbak Tasya.
Mas Bayu hanya tersenyum jemawa. “Lo-nya aja yang kebanyakan ghibah sama anak pemasaran.”
“Kan, gue nyari info.” Mbak Tasya membela diri. “Gitu-gitu lo juga suka dengerin gosip dari gue.”
Aku kembali tertawa. Mereka tidak berubah dari dulu. Tetap jadi teman yang selalu bertengkar tapi sangat kompak.
“Ya lo ngomongnya di depan muka gue, mau nggak mau gue denger.”
“Alasan lo aja, Bay.” Mbak Tasya menatap Mas Bayu cemberut. Lalu kembali menoleh padaku. “Jadi, lo nikah kapan? Mana undangannya? Ini traktiran buat ngerayain rencana pernikahan lo?”
Aku menggeleng. “Ini traktiran karena aku kangen sama Mbak dan Mas Bay, udah lama banget kita nggak makan bareng sejak aku pindah.”
“Kurang Bella aja, nih,” gumam Mas Bayu.
“Nyonya sultan mah nggak bisa diharepin datang ngumpul sama rakyat jelata kayak kita.” Mbak Tasya lalu menoleh cepat padaku, memandangku tajam. “Awas ya, kalau lo berubah songong karena udah jadi nyonya sultan juga, gue santet lo, Han.” Mbak Tasya memelotot galak.
“Mbak Tasya mah nggak seru, mainnya santet.”
“Santet lebih cepet daripada azab.”
Aku dan Mas Bayu tertawa.
“Eh, betewe lo udah denger gosip baru, belum?” Mbak Tasya tersenyum simpul padaku.
“Gosip? Gosip apaan?”
“Lo belum denger? Emangnya Pak Rafan nggak bilang sesuatu sama lo?”
Aku menggeleng. “Emang apaan, sih, Mbak?”
“Udah deh, Tas. Lo jangan ngadi-ngadi.”
“Ngadi-ngadi gundul lo.” Mbak Tasya memukul kencang lengan Mas Bayu. “Gue wajib kasih tahu ini biar Jihan waspada.”
“Elo ngomporin namanya, oneng.”
“Diem aja deh lo, Bay. Lo nggak usah ikutan urusan perempuan.”
Mas Bayu memutar bola mata. “Kalau aja lo bukan temen gue, udah gue buang lo ke laut.”
“Kalau aja lo bukan temen gue, udah dari dulu gue santet.”
“Emang apaan, sih, Mbak?” Aku semakin penasaran. Maklum, jiwa kepoku masih sangat tinggi. Apalagi tentang sesuatu yang berhubungan dengan Pak Rafan.
“Jadi gini—”
“Udah deh, Han. Lo nggak usah dengerin,” sela Mas Bayu.
“Apa sih, Bay?! Gue belum selesai ngomong ini.” Mbak Tasya memelotot kesal.
“Lo jangan racunin pikiran Jihan dong, Tas. Dia udah mau nikah, jangan nambah-nambahin beban.”
“Serius deh, apaan?!” Aku sudah tidak sabar menunggu mereka selesai bertengkar.
“Di divisi kita ada karyawan baru, pindahan dari Bandung. Cantik banget. Dan kayaknya dia tertarik sama Pak Rafan.”
“Lo nggak usah dengerin, Han.” Mas Bayu menatapku cemas. “Itu menurut Tasya doang. Menurut gue, dia nggak tertarik sama Pak Rafan. Pak Rafan juga nggak tertarik sama dia.”
“Jelas-jelas gue lihat si kunyuk itu natap Pak Rafan mulu kalau meeting,” tukas Mbak Tasya.
“Ya iyalah natap Pak Rafan kalau meeting, namanya juga meeting, kalau Pak Rafan lagi ngomong elo-nya buang muka, bisa dipecat saat itu juga.”
“Tapi gue bisa lihat kalau tatapannya beda!” Mbak Tasya bersikukuh pada pendapatnya.
“Beda dari Hongkong? Sama aja!” Nada suara Mas Bayu terdengar jengkel.
“Lo yang telmi itu nggak bakal bisa—”
“Udah deh, stop!” ucapku tegas. Bisa-bisa pertengkaran mereka nggak akan selesai sampai tahun depan. Perasaan makin tua, mereka makin sering adu bacot. “Udah, nggak usah bertengkar lagi. Capek aku dengernya.”
“Han, lo jangan—”
“Iya, Mas. Aku nggak negative thinking, kok,” ujarku berusaha meyakinkan Mas Bayu yang menatapku khawatir. “Aku tahu kok, gimana Pak Rafan, nggak usah cemas. Dia nggak bakal tertarik sama orang lain.”
“Tuh, dengerin, Tas. Lo jangan ngomong sembarangan, lama-lama jadi fitnah. Lagian teman apaan lo sampai ngomporin segala.”
Mbak Tasya menendang kaki Mas Bayu di bawah meja. “Gue bukan ngomporin, kampret.”
Aku menghela napas. Aku tahu maksud Mbak Tasya itu baik agar aku hati-hati, tapi terkadang kita nggak perlu dengerin hal yang nggak penting, karena itu cuma bakal buang-buang tenaga dan nambah-nambahin beban pikiran aja, otak sudah mumet mikirin kerjaan dan cicilan, jangan ditambah sama hal-hal unfaedah lainnya. Pusing ntar.
“Han, sori gue nggak bermaksud bikin lo kesel.” Mbak Tasya akhirnya bersuara saat melihatku yang hanya diam saja.
“Iya, nggak apa-apa, Mbak. Udah ah, jangan bahas itu lagi. Mending bantuin aku pilih gaun yang mau aku pake buat resepsi nanti.”
Aku mengeluarkan ponsel dari tas dan menunjukkan beberapa desain gaun yang dikirim oleh Tante Tita padaku untuk kupakai di acara resepsi pernikahanku nanti.
“Wah anjir, Anne Avantie ….” Mbak Tasya berdecak kagum ketika kutunjukkan beberapa rancangan itu. “Keren banget.” Ia menggeser layar ponsel untuk melihat-lihat lima rancangan yang Tante Tita kirimkan.
“Aku bingung, Mbak. Takut pilihanku norak dan malu-maluin,” desahku pelan.
“Semuanya keren, Han. Kenapa nggak pake semuanya aja?”
Aku dan Mas Bayu tertawa. “Lo pikir Jihan mau ngebadut? Ya mana bisa lah, pakai semuanya. Ogeb lo, Tas.”
“Lo yang bego!” sergah Mbak Tasya.
“Serah lo, deh. Yang waras ngalah.” Mas Bayu mendesah pelan.
Mbak Tasya kembali fokus pada ponselku. “Kayaknya ini keren, Han.”
Aku ikut menatap layar. “Apa belahan dadanya nggak terlalu ke bawah, Mbak?”
“Ya nggak apa-apa, cantik kok.”
Aku hanya meringis. Kemudian diam-diam menunduk menatap dadaku. Dadaku yang rata tidak akan cocok mengenakan gaun seperti itu.
“Yang menurut lo nyaman aja,” ujar Mas Bayu sepertinya menyadari kekhawatiranku. “Apa pun pilihan lo, nggak bakal ada yang ngetawain, Han. Karena ini pernikahan lo, jadi lo bebas ngatur sesuka hati, nggak perlu takut kalau selera lo dihina, gue yakin kok, keluarga Pak Rafan nggak kayak gitu. Gue nggak pernah denger mereka menghina menantu mereka. Malah jadi kesayangan, kayak Bella noh.”
Mas Bayu memang selalu mengerti apa yang kupikirkan, sejak dulu, Mas Bayu selalu tahu kekhawatiranku terhadap keluarga Zahid, dia akan marah kalau orang lain menghinaku karena aku miskin, dan sekarang, lagi-lagi Mas Bayu membuktikan kalau dirinya mengerti apa yang kutakutkan selama ini.
“Bayu bener.” Mbak Tasya meletakkan ponselku di atas meja. “Ini bukan ranah gue buat ikut campur, ini semua tergantung elo, Han. Pilih apa pun yang lo suka, yang lo pengen. Nggak perlu ikutin saran dari orang lain kalau lo nggak suka. Wujudkan pernikahan impian lo.”
Sebenarnya, pernikahan impianku sangat sederhana. Menikah di rumah Abah dan Ambu di kampung, mengundang warga desa untuk merayakannya. Memang terdengar udik dan kampungan, tapi rasanya aku lebih nyaman jika menikah di kampung halamanku, di rumah aku dibesarkan oleh Abah dan Ambu.
Tapi … apa keluarga Pak Rafan bisa menerima itu? Sementara mereka adalah konglomerat terkaya saat ini. Apa pendapat mereka jika harus mengadakan pesta di kampung seperti itu? Terlebih dengan tamu-tamu yang ingin mereka undang. Sangat tidak mungkin mengadakan pesta di desa sementara mereka terbiasa mengadakan pesta di hotel-hotel mewah milik mereka.
Aku mendesah pelan. Dan hal itu membuat dua orang di depanku menatapku iba.
“Lo omongin sama Pak Rafan apa yang lo pengen. Jangan takut, Han. Karena yang mau nikah itu elo, bukan orang lain.”
Tapi aku benar-benar tidak ingin membuat mereka malu.
***
“Hai, Yang.” Pak Rafan mengecup pipiku ketika memasuki apartemen. Sementara aku tengah mencuci peralatan yang kugunakan untuk memasak barusan.
Pak Rafan akhir-akhir ini mulai memanggilku, Yang, Sayang, Babe, dan sejenis panggilan lain. Aku masih belum terbiasa dengan panggilan itu, namun harus bisa membiasakan diri karena ia menolak memanggilku dengan panggilan lain.
“Jadi kamu mau dipanggil apa kalau bukan Yang? Mama? Bunda? Umi? Ambu?”
Aku memukul gemas lengannya waktu itu saat berdebat mengenai panggilan.
“Ya aku malu, A.”
“Malu kenapa? Emangnya kamu telanjang?”
“Ih, serius dikit napa sih, A!” Aku memukul lagi lengannya. Sementara dia tertawa kencang.
“Lagian dipanggil sama suami malah malu.”
“Calon!” Aku mengoreksi ucapannya.
“Suami, calon. Apa bedanya?”
“Ya bedalah.”
“Ah ya, beda ya. Kalo suami udah bisa nyoblos, kalau calon belum boleh—” Aku memukul kuat dadanya karena ucapan itu, sementara tawanya terdengar lagi.
“Sekarang aja malu-malu, ntar juga ketagihan,” celetuknya asal.
“Idih, apaan, sih!” Wajahku kini sudah merona karena kalimat itu.
“Udah, nggak usah malu begitu. Biasanya juga digrepe-grepe pasrah aja.”
“Aa!” Aku memelotot.
Pak Rafan tertawa terbahak-bahak di sampingku. “Astaga, Yang. Udah sering digrepe-grepe masih aja malu-malu, kayak nggak pernah aja.”
“Astagfirullah!” Aku memukul kepalanya dengan bantal sofa. “Ngucap, A!”
Namun, dia hanya terus tertawa seraya tangannya menyusup masuk ke dalam kaus yang kukenakan, aku dengan cepat menepis tangannya dengan mata memelotot, sementara Pak Rafan menyengir lebar menggodaku.
Semakin hari, kadar kemesumannya semakin tinggi, sering kali membuat aku olahraga jantung dengan tingkah-tingkah nyelenehnya.
“Kamu masak apa?”
Suara dari belakang menyadarkan aku dari kenangan beberapa hari lalu. Aku menoleh dan menemukan Pak Rafan datang dengan rambut basah, ia memegang handuk kecil untuk mengeringkan rambutnya.
“Semur ayam,” jawabku mengelap tangan dengan lap setelah mencuci semua perkakas memasak. Aku melangkah dan mengambilkan segelas air dingin untuknya.
“Duh, begini rasanya dilayani istri, jadi nggak sabar,” godanya seraya menerima air mineral yang kusodorkan.
“Apaan, sih.” Aku memalingkan wajah karena malu.
“Masih aja malu-malu.” Tangannya menarik pinggangku hingga aku terduduk di atas pangkuannya.
“A!” Aku memelotot saat ia memeluk erat pinggangku.
“Hm.” Pak Rafan bergumam, memeluk dan meletakkan dagunya di bahuku. “Kamu wangi,” ujarnya pelan. “Wangi semur ayam,” kekehnya saat aku mencubit lengannya. Pak Rafan memeluk erat pinggangku. “Yang.”
“Hm.” Aku hanya bergumam seraya bersandar di bahu bidangnya.
“Kamu mau punya anak berapa? Kalo aku mau lima.”
Aku memelotot. Udah mikirin anak aja? Nikah juga belom!
“Dua,” ujarku pelan.
“Kedikitan, Yang. Lima aja, deh.”
“Ih, nggak mau. Kebanyakan, A. Dua aja.”
“Dua doang mah nggak rame. Sepi.”
“Ya kalo mau rame di mall,” jawabku sekenanya.
“Lima aja, ya,” bujuknya seraya mengendus leherku.
Aku waspada, jika sudah begini, biasanya dia akan menciumku habis-habisan, aku akan kewalahan menghadapinya.
“Makan aja yuk, A.” Aku hendak berdiri tapi Pak Rafan mengunci tangannya mengelilingi pinggangku.
“Makan kamu boleh nggak?”
Astaga, Tuhan, kenapa sih, pacar hamba harus semesum ini?
‘Halaaah, gitu-gitu lo suka, ‘kan?’ ledek hati kecilku.
‘Hm suka, sih. Hehehe.’
“Makan nasi, A. Aku udah capek-capek masak, ntar makanannya dingin.”
“Tinggal angetin aja,” ujarnya kembali mengendus leherku. “Perkutut aku nih yang kedinginan, udah nggak sabar dapatin kehangatan.”
“Astagaaaaa, kamu kenapa sih, A? Menjurus ke sana mulu perasaan.”
“Kan latihan, ntar nggak perlu kagok,” jawabnya santai.
Dia, sih, santai, aku yang nggak santai.
“Ya, tapi itu mulu yang dipikirin.”
“Terus mikirin apa? Masa iya aku mikirin kerjaan sekarang? Mana bisa, Yang. Kalau udah deket kamu tuh bawaan aku pengen yang anget-anget mulu.”
“Ya udah, aku bikinin teh anget kalau gitu.”
Pak Rafan mencebik, melepaskan pinggangku.
“Kamu mah pura-pura nggak ngerti mulu,” gerutunya dengan bibir mengerucut sebal.
Aku hanya tertawa seraya bangkit dari pangkuannya. Kalau aku juga terseret dalam obrolan ini, dijamin di antara kami berdua tidak akan ada yang bisa menahan diri. Terlebih setiap kali berciuman, tangan Pak Rafan tidak pernah diam selama ini. Kalau bukan aku yang memaksa berhenti, dia tidak akan berhenti. Bisa-bisa aku digunduli Abah kalau sampai hamil duluan.
“Jadi teh angetnya?” tanyaku seraya mengulum senyum.
“Nggak, udah nggak nafsu.”
Aku tertawa pelan seraya mengambil nasi dari rice cooker, kemudian menghidangkannya di depan Pak Rafan.
“Kalau gitu nih, nasi anget aja,” godaku.
“Ini mah panas, bukan anget,” ujarnya sewot melihat nasi yang masih panas dengan asap mengepul.
Aku hanya tertawa geli melihatnya. Tapi kemudian tawaku terhenti saat mengingat tentang pesta pernikahan yang akan diadakan sebentar lagi. Pak Rafan menginginkan menikah satu minggu sejak lamarannya. Tapi Tante Tita melarang sambil menjewer telinganya.
“Kamu pikir nikah nggak perlu persiapan? Emangnya nikah itu kayak beli junkfood? Bisa pesan langsung jadi?”
“Nggak usah ribet-ribet kenapa, sih, Ma.” Pak Rafan meringis saat telinganya ditarik semakin kuat. “Nikah mah yang penting sah terus malam pertama.”
“Yang ada dipikiran kamu cuma itu doang!” Tante Tita memelotot dan menarik telinga putranya semakin kuat.
“Aduh, aduh, Ma! Sakit!”
“Makanya! Kamu jangan mikirin nyoblos aja terus.”
“Lah gunanya nikah apa kalau bukan buat beranak pinak? Ngapain aku nikah kalau bukan buat anak?”
Dan Tante Tita menarik telinga Pak Rafan semakin kuat sementara Pak Rafan sendiri mengaduh dan meronta-ronta kesakitan.
“Astaga, Jihan. Malang banget nasib kamu jadi pacarnya Rafan.”
“Hush, sembarangan. Malang apaan? Mama pikir aku ini musibah?” Pak Rafan memelotot seraya mengusap telinganya yang memerah setelah Tante Tita melepaskan jewerannya. Pak Rafan mendekati aku yang sejak tadi hanya tertawa-tawa. “Yang, usapin, sakit loh, ini, Yang.”
“Hueeek! Mama mau muntah dengernya!”
“Halaaah, sirik bilang, Bos,” jawab Pak Rafan seraya mendekat padaku. “Yang …,” panggilnya manja.
“Idih, jijik!” Tante Tita mendengkus jijik seraya melangkah pergi. Aku hanya tertawa melihat wajah Pak Rafan yang menatap ibunya sinis.
“Bilang aja nggak pernah dimanja-manjain Papa.”
“Heh, sembarangan kamu, ya.” Tante Tita menoleh dengan wajah galak. “Mama udah puas manja-manjaan sama papa kamu!” sergahnya tidak terima.
“Kalau Mama puas, nggak bakal ngomel-ngomel kayak kucing kurang kawin.”
“Rafandi Zahid! KAMU MAU MAMA KEBIRI?!”
Tawaku meledak karena teriakan itu. Mereka adalah anak dan ibu yang sangat mirip. Tidak heran Pak Rafan selalu membantah perkataan Tante Tita, karena Tante Tita juga seperti itu. Buah memang jatuh tidak jauh dari pohonnya.
“Jangan heran, mereka berdua emang kayak tarzan,” ujar Om Rayyan yang duduk di sampingku, tidak lagi heran melihat pertengkaran istri dan anaknya. Fokus dengan buku di tangannya.
“Rame ya, Om,” ujarku seraya tertawa kecil.
“Berisik yang ada, Han. Kuping Om kadang sampe capek dengerin mereka perang.” Om Rayyan berujar dengan suaranya yang datar.
Aku lagi-lagi hanya tertawa.
Anak Om Rayyan dan Tante Tita ada tiga orang. Pak Radhika yang merupakan anak tertua sama persis dengan Om Rayyan, dingin, pendiam dan tidak banyak ulah. Begitu juga dengan anak bungsu mereka, Verenita. Vee juga tidak banyak bicara, dan selalu berwajah datar dan sinis. Meski tidak pernah menatapku dengan wajah sinis itu, tapi kepada orang asing, ia akan menatap mereka seolah Vee sangat bosan. Orang yang tidak mengenal bagaimana kepribadian Vee yang sebenarnya, akan menyangka ia adalah orang yang sombong dan menyebalkan, tapi sebenarnya dia memang seperti itu sejak kecil. Nah, Pak Rafan yang merupakan anak tengah, persis seperti ibunya. Kalau kata Om Rayyan, berisik, banyak ulah dan banyak tingkah.
Tapi aku tahu Om Rayyan sangat mencintai istri dan anak-anaknya. Teramat sangat.
Dua
Semakin aku diberi pilihan-pilihan mengenai acara pernikahanku dengan Pak Rafan, semakin aku takut untuk membicarakan mengenai keinginanku kepada Tante Tita.
“Jihan udah pilih gaun resepsinya?”
Aku menggeleng pelan. “Belom, Tan. Bingung.”
“Mau Tante yang pilihin?”
Aku menatap Tante Tita lekat. Kemudian mengangguk.
“Tante beneran nggak apa-apa kalau Abah dan Ambu nggak ikut ngurusin pernikahan ini?” tanyaku pelan. Kondisi Abah agak memburuk akhir-akhir ini, aku sudah memaksa Abah untuk istirahat lebih banyak, tapi Abah memang bukan tipikal orang yang bisa diam saja tanpa melakukan apa-apa.
“Iya, nggak apa-apa, kok. Tante bisa sendiri.”
Aku hanya kembali diam. Jika sudah begitu, aku harus bilang apa lagi? Lagi pula aku yakin, selera Abah dan Ambu sangat berbeda dengan selera Tante Tita dan Om Rayyan. Ambu pasti hanya akan memilih dekorasi sederhana bukannya gedung mewah yang penuh dengan bunga asli. Menghabiskan uang belasan juta hanya untuk bunga asli, padahal sebenarnya itu tidak perlu. Ambu pasti akan mengatakan hal itu hanya akan buang-buang uang. Mubazir.
Terus kenapa lo nggak bilang? Kenapa lo cuma diam aja? Suara dalam kepalaku bertanya-tanya.
Karena aku takut menyinggung mereka.
“Apa pun pilihan lo, nggak bakal ada yang ngetawain, Han. Karena ini pernikahan lo, jadi lo bebas ngatur sesuka hati, nggak perlu takut kalau selera lo dihina.” Kata-kata Mas Bayu terus saja mengusikku, tapi aku tidak mempunyai keberanian untuk mengutarakannya secara langsung. Aku terlalu pengecut.
“Kamu lagi ada masalah di kantor?” Tante Tita duduk di sampingku.
“Nggak kok, Tan.”
“Kok diam aja?”
“Aku … aku cuma bingung.” Aku meringis. Tidak bermaksud berbohong, tapi aku tidak punya pilihan lain.
‘Lo punya! Jujur! Tapi lo terlalu takut. Cemen,’ cibir suara hatiku.
“Ya udah, kamu pulang aja dulu, istirahat. Kayaknya kamu capek banget.”
“Aku mesti balik ke kantor, banyak kerjaan.”
“Nanti Tante bilangin sama Marcus—”
“Jangan, Tan.” Aku menyela cepat. “Nggak enak kalau aku pulang gitu aja. Nggak enak sama karyawan lain, nanti mereka nyangka Pak Marcus pilih kasih.”
“Tapi kan kamu—”
“Please.” Mohonku.
Tante Tita mendesah pelan, “Ya udah, kamu boleh balik ke kantor, tapi dianter supir Tante, ya.”
Aku mengangguk, setelah menyalami Tante Tita, aku keluar dari butik mewah itu, sementara Tante Tita masih di sana mengurus pakaian keluarga. Aku mendesah pelan. Rasanya seperti menjadi pernikahan orang lain, aku sama sekali tidak antusias karenanya. Sedikit merasa bersalah atas apa yang aku rasakan, tapi sejujurnya, aku benar-benar ingin menikah di rumah Abah dan Ambu di kampung. Hanya itu yang kuinginkan.
“Ambu ….”
“Kenapa, Teh?”
Aku duduk di sofa seraya mendesah pelan, Pak Rafan lembur dan akan pulang setelah pukul sepuluh malam. Biasanya jika lembur, Pak Rafan tidak akan mampir ke sini dan langsung pulang ke apartemennya sendiri. Katanya takut mengganggu aku yang istirahat kalau dia datang tengah malam ke sini.
“Teteh ada masalah sama Aa?”
Aku lagi-lagi mendesah pelan. “Nggak.”
“Terus?”
“Bingung aja,” ujarku pelan, “Masalah pernikahan.”
“Sini cerita sama Ambu.”
Aku berbaring di sofa. Kemudian menceritakan kegelisahanku kepada Ambu, tanpa ada yang aku tutupi. Aku hanya ingin mencurahkan sedikit perasaanku, aku tidak bermaksud mengeluhkan apa pun.
Ambu terdiam ketika aku selesai bercerita. Beliau ikut menghela napas pelan.
“Ambu takut malu-maluin kalau bikin acara di kampung, Teh. Kamu tahu sendiri rumah kita seperti apa,” ujar Ambu pelan. “Bukannya Ambu nggak ngertiin perasaan kamu, Ambu hanya takut membuat malu kita di depan keluarga Aa Rafan.”
“Aku juga tahu,” ujarku pelan. Tiba-tiba mataku memanas tanpa bisa aku cegah. “Tante Tita juga keliatan semangat banget buat ngurus pernikahan ini, aku jadi makin nggak bisa bilang kalau pengen nikah di kampung, takut menyinggung dan bikin kecewa.”
“Maaf ya, Nak.” Ambu berujar serak. “Maaf kalau keadaan kita kayak begini, kamu jadi tertekan.”
“Bukan salah Ambu.” Suaraku bergetar serak.
Bukan salah siapa-siapa kalau kami memang miskin. Tidak ada yang salah. Ini memang takdir. Aku dari keluarga miskin, dan Pak Rafan dari keluarga kaya raya. Kami sangat berbeda di segala kondisi. Aku yang terbiasa hidup sederhana, sementara Pak Rafan yang terbiasa dengan segala kemewahannya. Aku tidak mungkin memaksa Pak Rafan mengikuti gaya hidupku, terlebih dia lah yang akan menjadi pembimbing dan pendampingku nanti. Meski tinggal berbulan-bulan di apartemen mewah, naik turun kendaraan yang tidak kalah mewah, mulai memakai pakaian-pakaian dan tas mewah, tak lantas membuat aku terbiasa begitu saja. Aku berusaha keras untuk terbiasa hanya karena tidak ingin membuat malu Pak Rafan. Aku yang terbiasa berbelanja di pasar biasa, selalu gugup jika memasuki butik mewah hanya untuk membeli sebuah pakaian atau bahkan hanya sepasang sepatu. Semakin hari, segala kesederhanaan yang kujalani dulu, berganti dengan segala kemewahan yang perlahan-lahan memasuki hidupku.
Bukankah harusnya aku bersyukur dan menikmati?
Aku bukannya tidak bersyukur, hanya tidak terbiasa.
Aku tidak terbiasa menghabiskan ratusan juta hanya untuk sebuah tas, tidak terbiasa menghabiskan puluhan juta hanya untuk sepasang sepatu. Aku memang norak, udik dan kampungan. Tapi itulah diriku. Setiap kali berdiri di depan cermin dan menatap diriku dengan pakaian, sepatu dan tas mewah yang melekat di tubuhku, seolah aku menatap orang lain yang wajahnya mirip denganku.
Apaan, sih? Kenapa aku makin ngelantur begini? Aku mulai memikirkan hal-hal yang tidak seharusnya kupikirkan.
Apa ini yang dinamakan ujian sebelum menikah?
Kenapa aku sekarang sangat terusik dengan segala kemewahan ini? Padahal dulu aku tidak terlalu anti dengan segala ini.
Karena semakin mengenal keluarga Zahid dengan jet-jet mewah mereka, semakin menyadari bahwa ternyata hidup yang kami jalani selama ini sangat berbeda. Mereka duduk di kursi besar sementara aku dulu pergi ke sawah untuk menanam padi. Perbedaan yang dulu terlihat samar di mataku, kini tampak begitu jelas.
Apa benar upik abu bisa bersanding dengan pangeran?
Tiba-tiba rasa rendah diri menguasaiku dan membuatku semakin khawatir.
Ada apa denganku sekarang?
***
“Sebenarnya kamu kenapa?”
Aku menatap Pak Rafan yang duduk di depanku, sudah menghabiskan makan malamnya sementara aku bahkan belum menyentuh makananku sama sekali.
“A, aku—”
“Aku tahu kamu sembunyiin sesuatu dari aku. Sudah seminggu ini aku merhatiin kamu yang sering bengong. Kamu kenapa sih, Yang?”
Aku menelan ludah susah payah.
“Nggak apa-apa. Aku cuma capek.”
“Capek nggak akan bikin kamu kayak orang mau mati besok.”
“A ….”
“Kalau ada yang mengganggu pikiran kamu, ngomong sama aku. Jangan disimpan sendiri.”
“Aku nggak apa-apa,” jawabku dengan suara kesal.
“Nggak apa-apa, gimana maksudnya? Jelas-jelas ada apa-apa.”
“Aku udah bilang nggak apa-apa!” bentakku kesal.
Pak Rafan terdiam, menatapku dengan mata menyipit.
“Pasti ada apa-apa.” Nada suaranya berubah dingin.
Aku menunduk menatap makananku yang masih utuh, aku tidak sadar sudah berapa lama duduk melamun di meja makan ini, sampai-sampai makanan di atas meja sudah dihabiskan Pak Rafan sementara hanya makanan di piringku yang masih utuh.
“Apa Mama bikin kamu tertekan?”
Aku menggeleng cepat. “Nggak, bukan itu,” sergahku panik.
“Lalu?” Pak Rafan memicing, bersedekap dan menatapku tajam.
Aku teringat dengan caranya mengintimidasi karyawan ketika di kantor, dan hal itu masih berhasil membuatku takut sampai sekarang.
“A-aku ….” Aku menelan ludah gugup. “Aku … aku nggak apa-apa, A.” Lagi-lagi aku berbohong.
“Omong kosong.” Pak Rafan mendengkus sinis kemudian berdiri begitu saja.
“A, mau ke mana?” Aku mengejarnya yang melangkah menuju sofa di ruang santai untuk mengambil kunci motornya.
“Pulang,” jawabnya dingin.
Nada dingin itu membuat napasku tersentak, dan entah kenapa mataku kembali memanas.
“A, tunggu.”
Pak Rafan menoleh, menatapku.
“Kalau kamu nggak mau ngomong apa yang mengusik kamu akhir-akhir ini, aku mending pulang aja. Buat apa aku di sini kalau kamu nggak mau cerita?”
“A-aku nggak bermaksud—”
“Sebenarnya kamu kenapa?” Ia bertanya dengan nada frustrasi. “Aku pikir kamu capek karena kerjaan, tapi waktu aku tanya ke Marcus, dia bilang pekerjaan kamu sudah dikurangi karena nggak mau bikin kamu kecapekan karena sebentar lagi kita menikah. Terus kupikir karena masalah pernikahan, aku tanya Mama dan Mama bilang semuanya baik-baik aja, Mama nggak minta kamu terlibat banyak biar kamu nggak pusing. Jadi, sebenarnya kamu kenapa?!”
Aku tidak tahu kalau Pak Rafan sampai melakukan hal sejauh itu hanya untuk mencari tahu apa yang terjadi padaku.
Kepalaku tertunduk. Tidak mampu mengatakan kalau masalah pernikahanlah yang membuat aku gelisah. Aku sudah berusaha untuk menerima semuanya. Semua yang sudah disiapkan oleh Tante Tita. Tapi … tetap saja, ada hal yang kuinginkan, tapi tidak mampu untuk kuutarakan.
“Sudahlah, kamu boleh diam selama yang kamu mau.”
Dia melangkah menuju pintu tapi aku dengan cepat menahan tangannya.
“P-pernikahan,” ujarku terbata menahan tangis. Gelisah, tidak bisa tidur, terus merasa khawatir dan rendah diri, pikiran-pikiran tidak penting yang tiba-tiba terlintas dalam benakku, dan nada dingin dari suara Pak Rafan berhasil membuatku menahan tangis.
“Kenapa dengan pernikahan?” Pak Rafan menatap tajam.
“A-aku ….” Aku mengusap pipiku yang basah. “Aku … aku nggak mau menikah di Jakarta, A.”
“Maksud kamu?”
Kepalaku tertunduk semakin dalam. “Aku mau menikah di kampung,” ujarku dengan suara bergetar. “Di rumah Ambu.”
“Dan kamu nggak pernah bilang karena?” Nada suaranya semakin dingin.
“Karena … karena aku … aku nggak ….”
“Kamu anggap apa aku?”
Aku mendongak karena nada suara Pak Rafan yang terdengar marah.
“Kenapa kamu nggak pernah bilang apa-apa? Apa selama ini aku nggak pernah nanya kamu kepengan apa? Kepengen yang gimana? Apa selama ini aku nggak pernah nanya ke kamu, maunya kamu yang gimana?” Sepertinya dia benar-benar marah.
Aku menggeleng dengan mata memburam oleh air mata.
“Kamu selalu jawab, ‘aku suka, nggak apa-apa, iya aku mau’. Kamu nggak pernah bilang apa yang kamu mau dan milih simpan semuanya sendiri. Kenapa? Nggak percaya sama aku?”
“Bukan itu ….” Kali ini aku benar-benar menangis dan Pak Rafan terlihat marah dan lelah.
“Kalau kamu cuma diam-diam begini, mana aku tahu yang kamu mau itu apa, Jihan. Aku bukan cenayang yang bisa baca pikiran kamu gitu aja, kalau kamu nggak pernah bilang!”
“Aku nggak pengen bikin keluarga kamu kecewa!” bentakku dengan air mata. “Aku nggak pengen malu-maluin diri aku di depan keluarga kamu. Aku ini dari keluarga miskin, seleraku udik, rendahan, dan kampungan—”
“Apa aku atau keluargaku pernah bilang kamu udik, rendahan dan kampungan?!”
Suaranya menggelegar marah. Aku terkesiap dan mundur selangkah. Wajahnya yang dingin dan sorot menyala dari matanya membuatku takut.
“Apa aku pernah merendahkan keluarga kamu? Merendahkan asal usul kamu?”
Aku hanya mampu menatapnya dengan airmata.
“Jawab, Jihan!” bentaknya kasar.
Aku terkejut dan menggeleng panik. Menangis semakin kencang.
Pak Rafan mengumpat dan menyugar rambutnya yang masih lembap. Wajahnya terlihat pucat dan lelah.
“Aku kerja mati-matian biar bisa cuti panjang di hari pernikahan kita. Aku lembur setiap malam supaya aku siap di hari yang aku tunggu. Tapi kamu? Kamu bahkan nggak mau bilang pernikahan seperti apa yang kamu mau. Yang mau nikah bukan cuma aku sendiri. Kamu juga!”
Aku menunduk dengan bahu bergetar menahan isak.
“Kalau ada sesuatu yang kamu pengen, bilang,” ujarnya lelah. Ia mendesah keras, “Bukannya bungkam dan diam-diam stres sendiri. Kamu tahu? Komunikasi itu penting. Aku nggak mau kita bertengkar setiap hari selama pernikahan kita, karena kamu milih diam dan aku yang bingung dengan apa yang kamu mau. Setiap aku tanya, selalu jawabnya nggak apa-apa.”
Pak Rafan lagi-lagi menghela napas keras.
“Sekarang, kamu mau yang gimana?” tanyanya pelan.
Dengan terbata-bata, dengan tangis yang berusaha kuredam, aku mengungkapkan apa yang kuinginkan. Permintaan sederhana yang ingin menikah di rumah Abah dan Ambu. Tidak masalah seperti apa pun dekorasi pernikahan atau acaranya, aku hanya ingin menikah di rumah yang menjadi tempat aku tumbuh dan dibesarkan.
Aku tahu Pak Rafan tengah menatapku lekat sementara aku tidak berani mengangkat kepala.
Ia mendesah lagi.
“Kenapa nggak bilang dari awal sih, Yang?” tanyanya lembut setelah aku selesai bercerita dengan terbata-bata.
Pak Rafan mendekat dan memelukku erat, mengusap punggungku yang bergetar, meletakkan dagunya di puncak kepalaku dan membelai rambutku. Sementara aku memeluknya dengan rasa bersalah yang besar.
“Kenapa, sih, kamu diam aja selama ini?”
“Aku … aku takut, A. Takut keluarga kamu nggak setuju. Kamu tahu sendiri rumahku seperti apa.”
“Mereka akan setuju apa pun yang aku putuskan tentang pernikahan kita. Karena ini pernikahan kita, bukan pernikahan mereka.”
Ya Tuhan, betapa bodohnya aku ….
Aku memeluknya semakin erat dengan rasa bersalah. Menangis sesenggukan di dadanya, membasahi kausnya dengan air mataku. Sementara dia berusaha menenangkan aku yang menangisi kebodohanku sendiri.
“Jadi ini yang bikin kamu kayak orang mau mati seminggu ini?”
Aku mencubit pinggangnya karena kalimat itu.
“Siapa yang mau mati emangnya?” tanyaku dengan suara serak.
“Ya itu, kamu pucat, nggak nafsu makan, keliatan capek terus kayak ada hutang miliaran sama rentenir, beneran kayak orang mau mati, tahu nggak?”
“Ih, Aa!” Aku mencubit lagi pinggangnya.
Suasana yang tadi terasa tidak menyenangkan, kini sudah mencair. Nada kemarahan yang tadi sempat terdengar dari suara Pak Rafan, sudah menghilang.
“Kalau ada apa-apa tuh, ngomong.” Pak Rafan menyentil keningku, membuatku merengut seraya mengusap dahiku yang terasa sakit. “Jangan disimpan sendirian. Mana aku tahu yang ada di sini tuh, apa,” tunjuknya pada kepalaku.
Aku memberengut menatapnya. “Aku kan takut, A.”
“Yang kamu takutin itu apa?”
“Semuanya,” jawabku pelan.
“Ya semuanya itu apa?”
Aku menatapnya. “Tiba-tiba aja aku takut dengan segala kemewahan ini, aku takut dengan barang-barang mewah yang kamu kasih—”
“Tapi kamu nggak takut jadi istriku, ‘kan?” selanya dengan nada cemas.
Aku tersenyum. “Nggak lah.”
“Syukurlah.” Ia mendesah lega, “Gawat kalau kamu sampe takut jadi istri aku.”
“Ih, aku serius, A.”
“Loh, kamu pikir aku nggak serius apa?” Ia menatapku lekat. “Kamu tahu nggak apa yang kupikirin seminggu ini? Aku takut kalau kamu tiba-tiba bilang nggak mau nikah sama aku terus mutusin aku.”
“Mana mungkin aku begitu.”
“Bisa aja, aku takut kalau tiba-tiba kamu sadar kalau orang yang kamu inginkan jadi suami kamu, bukan aku orangnya.”
“Ih, aku nggak mungkin gitu, A.” Aku memeluknya manja.
“Kamu nggak tahu aja ketakutan aku.” Pak Rafan kembali memelukku. “Kenapa kamu takut dengan barang-barang mewah yang kukasih?”
Aku menggeleng. “Nggak tahu, tiba-tiba aja takut. Aku ngerasa kayak nggak cocok aja pakai itu semua. Aku tuh dari dulu hidup hemat, makan juga harus hemat-hemat, terus tiba-tiba ngabisin duit puluhan juta cuma buat sepatu, aku jadi takut.”
“Di mana-mana cewek tuh seneng, dikasih barang mewah. Ini istriku malah takut. Besok deh, aku beliin kamu sepatu emperan yang lima puluh ribu dapat dua,” ledeknya.
“Calon, A. Calon.”
“Iya. Calon. Istri. Nggak ada bedanya. Bedanya aku belum bisa tidur telanjang sama kamu—sakit, Yang!” teriaknya di akhir kalimat karena aku mencubit dadanya kuat-kuat.
“Kamu tuh kalau ngomong yang bener dong, A.”
“Bagian mana yang nggak bener? Yang aku bilang bener, ‘kan? Kita nggak bisa telanjang bareng karena belum kawin—eh, nikah maksudku.”
“Ih, ngeres mulu otaknya.” Aku mengurai pelukan dan melangkah menuju sofa. Pak Rafan mengikutiku.
“Ya harus dong, kalau aku nggak ngeres deket kamu dan malah ngeres ngeliat si Bayu, ‘kan gawat, Yang.”
“Ya tapi ngeresnya nggak tahu tempat.”
“Nggak tahu tempat gimana? Bener dong ini tempatnya,” sanggahnya.
“Tahu, ah. Capek.”
Aku duduk di sofa dan Pak Rafan duduk di sampingku.
“Yang.”
“Hm.”
“Besok kalau kamu kepengen dikelon, kamu jangan diem-diem, ya. Ngomong sama aku.”
“Astagfirullah, Aa!” Aku mencubit lagi dadanya.
“Yang, aku serius. Kalau nggak bilang, kasih kode aja. Aku pasti ngerti.”
“Nggak perlu bilang pasti akunya dikelon tiap hari,” gerutuku sebal.
Wajah Pak Rafan langsung tersenyum lebar. “Jadi nggak masalah dong dikelon tiap hari?”
“Tau, ah!” Wajahku memerah sekarang.
Pak Rafan tertawa geli.
“Aku jadi penasaran, besok kalo ditelanjangi, kamu bakal malu-malu gini juga apa nggak?”
“Ih!” Aku memukul kuat lengannya.
Tawanya semakin kencang.
“Aku serius, Yang.”
“Nggak. Kamu nggak serius, A.”
Pak Rafan kembali tertawa, semenit kemudian menatapku serius. “Jadi mau nikah di rumah Ambu? Di Bandung?”
Aku mengangguk.
“Oke, aku bilang sama Mama nanti.”
“T-tapi kamu ngomongnya hati-hati ya, A. Jangan sampe Tante Tita salah paham. Aku nggak enak nanti.”
“Iya, tenang aja. Aku tinggal bilang. Ma, menantu Mama mau nikah di Bandung aja. Udah, kelar.”
“Ih, A, nggak gitu cara ngomongnyaaaa.”
“Tetap aja intinya sama, nikah di Bandung. Udah, nggak usah pikirin. Biar jadi urusan aku. Kamu jangan kayak orang stres ditinggal laki lagi. Makan yang bener, istirahat yang bener juga. Kalau pengen dikelon, bilang aja. Aku bisa kok—aduh, Jihan! Sakit, tahu!”
Ia meringis seraya mengusap dadanya yang aku cubit kuat-kuat.
“Nanti cubit-cubitannya malam pertama aja, cubit aja sepuas kamu. Cubit burung aku juga boleh—kampret, sakit!” Pak Rafan membentak marah karena aku mencubit dadanya dengan kedua tanganku.
“Kalau ngomong yang bener makanya!” balasku membentak sebal.
“Aku perkosa juga nih, lama-lama!” Ia menjauh ke sudut sofa seraya mengusap dadanya dengan kedua tangan.
Aku memelotot sementara dia balas memelotot.
“Udah, sana pulang. Aku mau makan.” Aku bangkit dari sofa menuju dapur.
“Halaaah, tadi aja kayak orang diselingkuhi, sekarang baru deh, laper,” cibirnya.
Aku mengabaikan cibiran itu dan duduk di kursi.
“Lain kali kalau kamu diem-diem begitu lagi, aku cari istri baru, ya!” serunya dari ruang TV.
“Heh, ngomong bismillah dulu!” teriakku dari dapur.
Hanya terdengar suara Pak Rafan yang tertawa kencang dari sofa.
Diam-diam, aku mendesah lega. Astaga, Jihan. Bodoh banget, sih, aku. Kenapa aku nggak jujur aja dari awal? Harusnya aku tahu Pak Rafan itu akan mewujudkan apa pun keinginanku kalau aku bilang apa yang aku mau. Aku memukul keningku sendiri.
Kayaknya aku masih sebego dulu. Astaga!
Tiga
“Jadi Jihan mau nikahnya di Bandung aja?”
Aku menunduk, merasa bersalah karena Tante Tita sudah mempersiapkan semuanya, tapi aku malah mengacaukannya.
“I-iya, Tan. Maaf, aku nggak jujur dari awal,” ujarku takut.
Tante Tita terdiam beberapa menit, sementara aku menunggu dengan jantung berdebar tidak karuan. Jangan sampai hal ini membuatnya membenciku, belum apa-apa, aku sudah membuat masalah. Astaga, Jihan! Dasar bego!
“Astaga, Sayang ….”
Kupikir Tante Tita akan marah, tapi ia malah tertawa geli.
“Kalau kamu nggak bilang, Tante nggak bakal tahu, Han. Untung aja Rafan bilang, kalau nggak, ‘kan, gawat.”
“Maaf, Tan.” Kepalaku tertunduk semakin dalam.
“Buat apa minta maaf? Angkat kepala kamu.”
Perlahan, aku mengangkat kepalaku.
Tante Tita tersenyum padaku. “Nggak apa-apa, Tante nggak masalah. Di Jakarta atau di Bandung, sama aja.”
“R-rumah Ambu di Bandung kecil, Tan. Aku takut bikin malu keluarga Tante.”
“Sstt, ngomong apa kamu. Siapa yang malu? Nggak ada.” Tante kemudian meraih tanganku dan menggenggamnya. “Sekarang bilang sama Tante, kamu mau yang gimana?”
Kali ini aku memilih jujur, mengatakan apa yang kumau. Terserah dengan dekorasi ataupun pestanya. Tapi aku ingin akad nikah dengan mengenakan kebaya dan Siger Sunda di kampung halamanku. Hanya itu.
“Dekorasinya?”
“Terserah, aku nggak masalah.”
Tante Tita tersenyum. “Ya udah, Tante bakal ngobrolin ini sama Ambu kamu. Buat lamarannya tetap di Bandung, ‘kan?”
Aku mengangguk.
“Tapi Tante boleh minta satu hal nggak?” tanya Tante Tita dengan hati-hati.
“Apa, Tan?”
“Kalau Tante bikin resepsi lagi di Jakarta, boleh nggak? Tante pengen aja bikin acara buat kamu dan Rafan, kalau kamu nggak mau besar-besaran, kita buat yang sederhana aja.”
Aku tersenyum lembut. “Tentu aja boleh, Tan. Mau acara besar, ataupun sederhana, aku nggak masalah. Aku cuma pengen akadnya di Bandung. Itu aja.”
Senyum Tante Tita tampak secerah matahari. “Kalau resepsinya besar-besaran, boleh?”
Kalau Tante Tita sudah menuruti keinginanku dengan acara akad di Bandung, maka aku juga tidak akan menolak keinginannya untuk resepsi di Jakarta.
“Boleh, Tan.”
“Makasih ya, Jihan. Tante janji, nggak bakal yang ribet dan bikin kamu capek. Eh, ngomong-ngomong, kamu harus belajar manggil Mama.”
Perasaanku jauh lebih ringan sekarang. Ternyata tidak semenakutkan yang kubayangkan. Ternyata benar, apa pun yang menjadi pilihanku, mereka tidak akan menghina ataupun merendahkan apa yang kumau. Aku yang menilai mereka dengan picik sementara mereka sangat menghargai aku dan keluargaku.
Aku malu pada diriku sendiri.
“Kita bikin resepsi juga di Bandung, ‘kan, sayang kalau cuma akad aja, anak perempuan di keluarga kamu, ‘kan, cuma kamu sendiri.”
“Iya, Tan—eh, Ma.” Lidahku kelu dengan panggilan baru itu. “Nanti Tante—maksudku Mama obrolin sama Ambu aja.”
Tante Tita terlihat semakin bersemangat.
“Gitu dong, ungkapin aja apa yang kamu mau. Jangan takut. Lagian ini pernikahan kamu. Cuma sekali seumur hidup. Jangan bikin hal itu jadi hal yang menyedihkan buat kamu.”
Aku mengangguk, semakin merasa malu atas apa yang kurasakan belakangan ini.
Kenapa akhir-akhir ini otakku mikirin hal yang nggak penting, sih? Kayaknya aku butuh yoga buat menyegarkan otakku yang mulai nyeleneh.
***
“Tuh, ‘kan. Kalau semuanya diomongin, nggak bakal susah.”
Aku hanya menatap Pak Rafan cemberut.
“Sini, yoganya sama aku aja. Aku bisa kok, jadi instruktur kamu.”
Aku memutar bola mata.
“Yang ada kamu grepe-grepe, bukannya latihan.”
Pak Rafan tertawa santai.
“Kan, sekalian.”
Aku hanya mendengkus. Dasar otak ngeres, apa-apa pasti larinya ke hal-hal yang menjurus ke sana.
“Nggak, aku mau latihan sama instruktur beneran.”
“Yang perempuan.”
“Emangnya kenapa kalau laki-laki?” Aku tersenyum menggoda.
“Aku gorok lehernya.” Pak Rafan memelotot. “Nggak apa-apa kalau laki-laki, tapi kamu yoganya pakai gamis.”
“Itu bukan mau yoga, A. Mau yasinan, itu mah.”
“Bodo, pokoknya perempuan, kalau laki-laki, kamu pakai gamis.”
“Sekalian aja pakai APD,” cibirku.
“Nah, bisa dicoba.”
“Ngaco kamu.”
Pak Rafan hanya tertawa santai dan beringsut mendekat. Seketika aku waspada. Kalau tingkahnya sudah seperti ini, aku patut waspada. Biasanya dia suka menyerangku secara tiba-tiba.
“Kenapa, sih? Kayak mau diperkosa aja. Aku perkosa beneran nanti.” Pak Rafan menarik tanganku untuk mendekat padanya.
“Ngapain nempel-nempel?” Aku memelotot.
“Elaaah, Yang. Nempel doang ini, belum nyoblos.”
Aku memukul pelan lengannya.
“Anget,” ujarnya seraya memeluk tubuhku.
Aku hanya membiarkan, bahkan bersandar di dadanya.
“Nggak sabar mau nikah.”
“Hm.” Aku hanya bergumam.
“Kamu kayaknya biasa aja, aku yang ngebet.”
“Lah, ‘kan, emang kamu yang ngebet, A.”
“Jihan, beneran ya, kamu.”
Aku tertawa, mengurai pelukan dan menatap wajahnya. “Kamu yakin mau nikah sama aku, A?”
“Kalau nggak yakin, ngapain aku ngelamar anak orang?”
“Siapa tahu kamu kesurupan waktu ngelamar aku.”
“Aku gigit nih, ya!” Pak Rafan memelotot.
“Mainnya gigit-gigitan, kayak buaya kamu. Eh, lupa deng, kamu, ‘kan, mantan buaya darat,” sinisku.
“Enak aja aku disamain sama buaya, aku loh, pangeran berkuda,” ujarnya bangga.
“Pangeran kodok yang iya.”
“Sembarangan.”
Aku dan Pak Rafan tertawa.
Seperti inilah keseharian kami setelah pulang bekerja. Pak Rafan akan menghabiskan waktunya di apartemen ini sampai waktunya untuk tidur, kadang dia pulang ke apartemennya sendiri, kadang menginap. Meskipun dia menginap, Pak Rafan masih bisa mengontrol diri. Sementara aku sendiri terkadang khawatir kalau kami akan melewati batas. Terlebih dengan celetukan-celetukan mesum yang acap kali keluar dari bibir Pak Rafan, tapi syukurlah, Pak Rafan masih memegang janjinya kepada Abah bahwa dia akan benar-benar menjagaku sampai waktunya kami sah di mata hukum dan agama.
“Yang, besok mau tinggal di rumah apa di apartemen?”
Pak Rafan tiba-tiba bertanya tentang hal itu padaku.
“Nggak tahu.” Karena aku tidak memikirkan hal itu sampai sekarang. Yang kupikirkan hanyalah tentang pernikahan yang akan berlangsung sebentar lagi.
“Rumah aja, ya. Nggak nyaman kalau apartemen, ntar anak kita nggak bebas main-main.”
“Anak? Udah mikirin anak aja? Jangankan anak, mikirin nikah aja kakiku masih gemetaran. Lah kamu, bisa-bisanya udah mikirin anak. Dasar omes!”
“Salah satu tujuan nikah itu punya anak, ‘kan, sayang kalau warisanku nanti diambil sama Radhi dan Vee,” celetuknya asal.
“Ih, otaknya nggak beres mulu. Nggak bakal diambil warisan kamu, A. Takut banget miskin,” cibirku.
Pak Rafan tertawa geli.
“Kalo aku miskin, nanti kamu kabur.”
“Heh, bismillah dulu buruan. Enak aja nuduh aku begitu, emangnya aku matre?” Aku memelotot.
“Bercanda, Yang. Kamu sensian amat. Kayak orang hamil aja, padahal belum diapa-apain, loh.”
“Ih, mulutnya!” Aku mencubit mulutnya yang suka bicara asal itu.
“Sakit, ih!” Pak Rafan mengusap bibirnya yang kucubit. “Cium, bukannya dicubit.”
“Ogah.”
“Cium, nggak?”
“Nggak!”
“Cium, nggak?!” Pak Rafan menarik tanganku.
“Nggak!” Aku tertawa saat tangannya menarik-narik bajuku. “Ampun, A!” Aku tertawa semakin kencang saat tangannya menggelitik pinggangku.
“Cium, nggak?”
Aku menatapnya. Dan baru tersadar bahwa aku sudah terbaring di sofa sementara Pak Rafan di atasku. Jika dalam posisi ini, biasanya aku sudah waspada atas apa yang akan terjadi selanjutnya. Tapi tatapan Pak Rafan yang menatapku penuh sayang, membuat aku fokus padanya dan lupa apa dengan sekelilingku.
Pak Rafan mengusap kepalaku kemudian mengecup keningku lembut.
“Kamu tahu? Aku nggak pernah seyakin ini sama seseorang selain kamu.”
Kata-kata lembutnya membuat wajahku merona, jantungku berdebar kencang dan kakiku terasa gemetar.
“Aku cinta kamu, Jihan.”
Kemudian kepalanya menunduk untuk mempertemukan bibir kami. Ciumannya terasa lembut dan memabukkan seperti biasanya. Aku mengalungkan kedua tanganku di lehernya dan memejamkan mata seraya membalas ciumannya.
Jika dia tidak pernah seyakin ini sama seseorang selain aku, maka aku juga ingin mengatakan bahwa tidak ada yang pernah bisa membuat aku melambung tinggi seperti ini selain dia. Dari bos menyebalkan yang galak dan bermulut pedas, menjadi pacar yang jahilnya luar biasa dan suka bicara asal, aku sangat menyadari perubahannya kepadaku. Dia selalu berusaha membuat aku nyaman dengan segala hal yang dia miliki.
Dan hal itu berhasil. Dia selalu berhasil membuat aku nyaman bersamanya.
Karena percuma cinta tapi tidak membuat nyaman. Tapi ketika kita sudah merasakan kenyamanan, kita pasti akan mencintai.
***
“Sadar nggak, sih, kalau dia tuh penjilat?”
Aku menghentikan langkah yang hendak memasuki toilet kantor ketika mendengar suara itu. Suara dari salah satu asisten Pak Marcus. Pak Marcus memiliki tiga asisten, salah satunya adalah aku, dua di antaranya adalah Mbak Santi dan Mbak Bulan. Yang kini bicara adalah Mbak Santi yang memang sejak awal aku bekerja di sini, selalu bersikap sinis padaku.
“Iya, gue udah muak ngeliat muka pura-pura polosnya.” Mbak Bulan yang bicara.
Aku menghela napas perlahan. Aku tahu, banyak yang tidak menyukai kehadiranku di kantor ini. Aku pindah dari Renaldi Corp ke Algantara Group karena hubunganku dengan Pak Rafan. Renaldi Corp membuat peraturan bahwa sesama rekan kerja tidak boleh menjalin hubungan.
“Yang gue denger, dia dipindahin ke sini karena dia pacaran sama bosnya di kantor lamanya. Dan yang jadi bosnya itu sepupu CEO kita.”
“Pantes,” cibir Mbak Santi. “Gue udah nyangka dari awal pasti ada apa-apanya, sampe dia bisa jadi asisten utama gitu aja. Nepotisme rupanya.”
“Gue juga ada feeling begitu, sih, terus jadi anak emas Pak Marcus lagi. Hati-hati aja, dia ngegodain Pak Marcus.”
“Tampang boleh polos, gue yakin dia nggak sepolos itu.”
Aku keluar dari toilet dan tidak jadi melangkah masuk, memilih menuju toilet lain. Aku terduduk di atas kloset dan menghela napas dalam.
Di kantor lama, ada Mbak Amelia yang selalu mengusikku, di sini ada Mbak Santi yang selalu sinis padaku, di mana pun aku berada, akan selalu ada yang mengusikku. Terlebih karena hubunganku dengan Pak Rafan, pasti ada saja yang selalu tidak suka denganku.
“Memang begitu, jangan heran.” Mbak Bella menatapku iba sewaktu aku menceritakan padanya tentang sikap-sikap karyawan di kantor lamaku. “Gue juga ngerasain itu kok, dulu. Cuekin aja. Mereka cuma sirik. Nggak perlu lo pikirin.”
Andai aja semudah itu. Andai saja aku sekuat Mbak Bella, tentu sangat mudah bagiku mengabaikan semua ini. Tapi aku bukan Mbak Bella. Aku yang lemot dan sangat udik ini tidak bisa mengabaikan hal itu begitu saja, rasa rendah diri selalu mengikutiku seperti bayangan. Meski aku mengenakan barang mewah dari ujung rambut ke ujung kakiku, tetap saja dibalik semua itu, aku hanyalah putri seorang petani. Tidak lebih.
“Duh, aku mikir apaan, sih.” Aku memukul pelan kepalaku. Kenapa, sih, aku suka banget mikirin hal-hal yang nggak penting belakangan ini?
Aku keluar dari toilet dan kembali ke meja kerjaku. Lebih baik aku fokus pada pekerjaanku sekarang, karena sebentar lagi aku akan mengambil cuti untuk pernikahanku.
“Han, ikut saya meeting.”
Pak Marcus keluar dari ruangannya dan melangkah menuju lift, aku segera meraih tablet dan laptop lalu buru-buru mengikutinya menuju lift.
Aku berdiri di sampingnya.
“Kenapa?”
Aku menoleh dan menatap Pak Marcus bingung.
“Kenapa apa, Pak?”
“Kamu, mendesah kayak ada beban berat gitu. Masalah pernikahan?”
Pak Marcus sampai tahu barusan aku menghela napas lelah? Wah, aku jadi merinding.
Aku menggeleng. “Saya nggak apa-apa kok, Pak.”
Pak Marcus bersedekap, menatapku.
“Han, kamu sadar, ‘kan, kalau sebentar lagi kita bakal jadi sepupu? Kamu tahu kedekatan saya dan Rafan gimana?”
Aku mengangguk.
“Rafan bakal menghajar saya habis-habisan kalau bikin kamu nggak nyaman di kantor ini, jadi, kamu kenapa?”
Di mana pun aku berada, aku pasti akan membuat orang-orang di sekelilingku khawatir.
“Beneran, Pak. Saya baik-baik aja.”
Pak Marcus mendesah pelan. Kemudian kembali menatap lurus ke depan.
“Kalau ada apa-apa, ngomong sama saya. Gimanapun, kamu adalah keluarga saya, saya nggak mau kalau kamu diusik.”
“Terima kasih, Pak.”
Sebaik ini keluarga Pak Rafan padaku, dan aku sempat berpikir mereka akan menghina seleraku? Dasar aku yang tidak tahu diri!
Ayo semangat, Jihan! Abaikan semua yang menghinamu. Karena kamu di sini bukan untuk bermuram durja, tapi untuk bekerja! Ingat itu!
***
“Kusut amat.”
Aku berbaring di sofa, memerhatikan Almeera yang tengah bermain di atas karpet.
“Capek, Mbak,” ujarku pelan.
“Capek kenapa lo?”
Aku menoleh, menatap Mbak Bella.
“Orang-orang di kantor, semuanya gosipin aku.”
“Udah gue bilang, cuekin aja.”
“Maunya gitu,” desahku pelan, “Tapi nggak bisa, Mbak. Kalau denger, aku nggak bisa nggak sakit hati. Nusuk.”
“Elaaah, kalau lo nikah ntar, bakal makin banyak yang ngomongin elo. Udah, biarin aja.”
Aku berbaring miring dan menatap Mbak Bella yang duduk di ujung sofa.
“Mbak, gimana rasanya nikah sama orang kaya?”
“Biasa aja.”
“Ih, aku serius.”
“Kenapa? Lo minder? Nggak percaya diri? Ngerasa miskin? Jelek?”
“Elaaah, lengkap amat.”
Mbak Bella hanya tertawa. “Gue, ‘kan, cuma ngomongin fakta.”
“Ya tapi nggak perlu dengan bumbu menghina juga keleees.”
Mbak Bella lagi-lagi hanya tertawa.
“Bawa santai, Han. Makin lo pikirin, makin nyakitin. Udah, anggap kayak anjing aja mereka. Beres.”
“Ih, enteng banget ngomongin orang anjing. Aku mana bisa begitu.”
“Lo bego, sih.”
“Mbak!”
Mbak Bella tertawa terbahak-bahak. “Jangan polos-polos amat makanya, dipolosin Rafan juga ntar ketagihan.”
“Astagfirullah, kenapa sih, orang-orang pada mikirin itu mulu?” Aku mengelus dada.
“Halaaah, liat aja ntar. Yang gue omongin bakal jadi kenyataan,” cibirnya.
“Ya tapi nggak perlu ngomonginnya sekarang. Ntar aku jadi pengen, loh.”
Mbak Bella kembali tertawa. Melempar kepalaku dengan bantal sofa.
“Rafan udah ngajarin apa aja sama lo?”
“Ngajarin apaan?” tanyaku bingung.
“Pura-pura polos dia.”
“Ih, serius. Ngajarin apaan?”
“Ngajarin posisi enak di ranjang, Yang.” Sebuah suara menjawab.
Aku menoleh dengan mata memelotot. “Mulutnya, ya ….”
Pak Rafan hanya menyengir lebar.
“Ntar kalau Ala denger gimana?” Aku menatap galak Pak Rafan yang duduk di sampingku.
“Ala mah udah sering denger dari orang tuanya.” Pak Rafan tertawa. Sementara Mbak Bella hanya duduk santai.
Dasar ya mereka, orang-orang dewasa yang sama sekali tidak berperi-anak-kecilan, bisa-bisanya ngomongin hal mesum gitu di dekat anak kecil. Untung aja Almeera asik dengan mainannya dan tidak peduli pada percakapan di sekitarnya.
Kalau sempat anak itu bertanya apa itu posisi ranjang? Mereka bakal jawab apa, coba?
Mungkin Pak Rafan bakal jawab, “Itu loh, La, posisi buat bikin adik kamu.”
‘Kan, gila.
Empat
Tidak terasa, aku kembali menginjakkan kaki di kampung halamanku. Aku pulang ke Bandung untuk acara lamaran yang akan diadakan di rumah Abah dan Ambu. Dan saat aku turun dari mobil yang mengantarku, aku terpana pada perubahan rumah masa kecilku.
Aku mengerjap, aku nggak salah rumah, ‘kan?
Aku menatap teras di mana sangkar burung perkutut Abah tergantung di sana, juga ada motor butut Abah. Tapi rumah siapa yang tampak rapi dan bagus ini?
“Teh? Kok, bengong?”
Ambu keluar dari pintu dan menyongsongku yang berdiri di dekat pagar. Bahkan rumahku punya pagar.
Daebak!
“Ambu, ini rumah siapa?”
Ambu tampak tersenyum malu.
“Ambu ceritain di dalam. Yuk, masuk.”
Aku membiarkan sopir membawa barang-barangku masuk ke dalam rumah sementara Ambu membimbingku ke dalam. Bukan hanya tampilan luar rumah yang tampak berbeda, tampilan dalam juga berubah drastis.
Benar ini rumahku?
“Ambu, rumah—”
“Aa Rafan,” ujar Ambu menarikku duduk di sofa. Kemana perginya kursi kayu yang menjadi kursi tamu di rumahku? Kenapa berganti dengan sofa modern ini? “Waktu itu A Rafan datang sama orang tuanya, ngomongin keinginan kamu yang ingin menikah di sini. Jujur, Ambu malu banget waktu itu, nerima mereka duduk di kursi reyot kita. Dan saat mereka mau pulang, Aa bawa Ambu ke dapur, kita ngobrol di dapur. Aa bilang, pengen renovasi rumah kalau Ambu dan Abah mengizinkan. Ambu dan Abah udah nolak, Teh. Beneran. Tapi Aa bilang, kamu mati-matian cemas mikirin kondisi rumah di kampung, Aa cuma pengen kamu nggak khawatir lagi dengan kondisi rumah. Jadi, Ambu dan Abah mengizinkan. Maaf ya, Teh. Selama ini Ambu nggak bilang apa-apa. Aa bilang ini kejutan buat kamu.”
Aku hanya bisa melongo mendengar cerita itu.
Kapan Pak Rafan dan orang tuanya datang ke sini? Kok, aku nggak tahu?
“Teteh jangan marah, Aa bilang, Teteh mungkin bakal marah ngeliat rumah kita begini, tapi Ambu dan Abah nggak bisa nolak, Teh. Aa pengen banget bikin rumah kita jadi bagus. Katanya Ambu dan Abah adalah orang tuanya juga, sudah jadi kewajibannya untuk mikirin Abah dan Ambu. Gitu.”
Aku mendengkus. Siapa, sih, yang nggak luluh dengan jurus merayu dari Pak Rafan? Dari bocah kecil seperti Almeera sampai nenek tua juga bakal luluh.
‘Lo salah satu di antaranya,’ cibir hati kecilku.
Aku mendesah dan bersandar di sofa empuk ini.
“Ambu seneng?”
“He?”
Aku menatap Ambu. “Ambu seneng nggak rumahnya jadi bagus?”
Ambu mengangguk malu-malu.
Aku tersenyum dan memeluk Ambu.
“Aku juga seneng kalau Ambu dan Abah jadi seneng. Aku nggak marah.”
“Ambu sama Abah jadi keliatan serakah, ya, Teh.”
“Nggak.”
Bukan salah Ambu kalau Ambu ingin sekali punya rumah bagus. Aku pun juga ingin membuatkan rumah terbagus untuk Ambu dan Abah, namun aku belum bisa mewujudkan impian itu karena kondisi keuanganku yang masih pas-pasan. Dan kalau Pak Rafan-lah yang menjadi orang yang mewujudkan itu semua, mungkin saja … mungkin ini memang rezeki Abah dan Ambu. Mereka sudah berkorban banyak untuk aku dan Jojo. Sudah saatnya Abah dan Ambu menerima semua ini.
Meski aku merasa sungkan kepada Pak Rafan. Biaya renovasi rumah kecilku yang jelek menjadi rumah yang sebagus ini pasti tidak sedikit.
“Kamar Abah dan Ambu sekarang punya kamar mandinya, Teh.” Ambu malu-malu menceritakannya. "Aa bilang, kalau kamar mandi di belakang kejauhan, kalau ada di dalam kamar, ‘kan, enak. Jadi kalau sakitnya Abah kumat, Abah nggak capek jalan ke belakang kalau mau mandi.”
Aku tersenyum menatap wajah Ambu. Jangan lupa ingatkan aku untuk berterima kasih kepada Pak Rafan. Sejak kami memulai hubungan, dia selalu memberikan semuanya tidak tanggung-tanggung. Apartemen dan mobil untukku, uang bulanan untukku, Jojo dan orang tuaku. Padahal aku sudah bilang, aku tidak ingin merepotkannya dan tidak mau bersikap matre.
“Yang, salah satu keuntungan kamu punya pacar kaya tuh ya ini, nikmatin aja. Lagian kenapa, sih? Siapa juga yang anggap kamu matre. Aku mau ngasih uang sama adik dan orang tua aku, kenapa kamu yang sewot. Durhaka kamu, nggak boleh ngeliat orang tuanya seneng.”
Aku terfokus pada kata orang tua yang keluar dari bibir Pak Rafan. Dia tidak menganggap ayah dan ibuku orang asing, tapi menganggap mereka orang tuanya. Itu yang membuat aku luluh.
Saat aku masuk ke dalam kamarku. Kamarku menjadi luas. Semua barang-barang di sana tampak sama dengan barang-barang di apartemen yang aku tempati di Jakarta. Ranjang besar plus dengan kasur empuknya, meja rias dan juga lemari besar. Dan tidak lupa kamar mandi di dalamnya.
Rumah kecilku dulu berubah menjadi empat kali lipat lebih besar. Ini bukan renovasi lagi namanya. Tapi membangun ulang dari awal.
Aku duduk di sofa panjang yang ada di dekat jendela, mengeluarkan ponsel untuk menghubungi Pak Rafan.
“Yang ….”
“A—”
“Jangan ngomel.” Pak Rafan menyela, “Aku bangun rumah Ambu bukan buat kamu. Tapi buat Ambu dan Abah, mereka aja nggak ngomel. Jadi kamu nggak berhak ngomel,” ucap Pak Rafan seakan tahu apa yang hendak aku katakan. “Jojo juga nggak ngomel, kok.”
Aku tersenyum, tiba-tiba sangat ingin memeluknya.
“Makasih ya, A,” ucapku pelan, “Makasih atas semuanya. Aku nggak tahu mau bilang apa lagi.”
“Kupikir kamu bakal mencak-mencak.”
Inginnya begitu. Tapi setelah melihat wajah Abah dan Ambu yang tampak berseri. Mungkin kami terlihat seperti orang tidak tahu diri, menikmati semua ini. Tapi aku tidak bisa berbohong bahwa aku bahagia melihat Abah dan Ambu sangat menyukai rumah mereka. Meski aku yakin kami menjadi gosip sekampung karena hal ini, tapi aku akan berusaha tidak memikirkannya. Yang penting Abah dan Ambu bahagia.
“Pasti kamu ngeluarin banyak duit buat bangun ulang rumah ini.”
Aku menatap keramik mahal yang kini kupijaki.
“Kamu lupa Renaldi Corp bergerak di bidang konstruksi dan arsitekur? Aku tinggal suruh mereka buat bangun ulang dan semuanya beres.”
Aku tersenyum. Aku tahu itu. Tapi tetap saja. Semua itu butuh biaya. Tidak ditanggung oleh perusahaan.
“Ngomong-ngomong, kamu suka kamarnya?”
Aku menatap sekeliling kamarku. Seribu kali berbeda dengan kamarku dulu.
Ah, tiba-tiba aku merindukan ranjang kayuku yang buluk itu.
“Suka,” jawabku pelan. Aku harus menghargai semua ini. Pak Rafan sudah bersusah payah untukku, aku tidak boleh mengeluhkan apa yang sudah ia berikan.
Harusnya aku bersyukur, dan bukannya mengeluh.
“Ya udah, aku ada meeting lima menit lagi. sampai ketemu di hari lamaran, Yang. Nggak sabar mau ketemu kamu lagi. Belum apa-apa aku udah kangen.”
“Aku juga kangen.”
“Tumben jujur, biasanya gengsi,” cibirnya.
Aku hanya tertawa.
Setelah Pak Rafan mengakhiri obrolan kami, aku keluar dari kamar menuju dapur. Kini, Ambu memiliki kitchen set, kompor gas dan meja makan mahal.
“Barang-barang lama Ambu kemanain?” tanyaku berdiri di samping Ambu.
“Ada di belakang.”
Aku tersenyum melihat Ambu yang sudah luwes memakai kompor gas setelah terbiasa dengan tungku kayu selama puluhan tahun.
“Nggak kangen masak pakai kayu bakar?” godaku seraya tersenyum geli.
“Ambu bikin tungku di belakang, Aa yang bantu bikin.”
“Masa, sih?”
Aku membuka pintu belakang, dan menatap teras belakang rumah terlihat rapi. Ada tungku kayu dengan bentuk yang lebih modern di sana. Belakang rumahku juga memiliki kanopi. Kandang ayam Abah dan Ambu juga tampak lebih rapi, begitu juga kebun sayur Ambu, kini memiliki pagar pembatas dengan kebun tetangga.
Pak Rafan tidak setengah-setengah dalam melakukan sesuatu.
“Kita digosipin sekampung, ‘kan?” tanyaku kembali ke dapur.
Ambu mengangguk. “Kata Abah biarin aja, jadi Ambu juga nggak ambil pusing. Sejak kamu dan Aa pacaran, kita emang udah sering digosipin. Jadi, Ambu udah mulai terbiasa.”
“Abah ke mana?”
“Sawah. Sekarang ada orang yang bantu Abah ke sawah. Jadi Abah nggak sendirian lagi.”
Rasanya seperti mimpi. Dalam sekejap mata, semuanya berubah drastis. Seperti kisah Cinderella yang bertemu ibu peri yang baik hati. Tiba-tiba baju lusuhnya berubah menjadi gaun dari kain sutera. Ini bukan kisah seribu satu malam, namun rasanya kini aku berada di negeri dongeng.
Terakhir kali aku pulang kampung, semuanya masih sama. Rumah kecil kami, meja makan dari kayu yang dibuat sendiri oleh Abah, kompor dari kayu bakar. Kini, saat aku kembali lagi. Semuanya berubah menjadi berkilau indah.
Sudahlah, Jihan. Jangan pikirin itu terus. Ingat, bersyukur.
***
Aku memperhatikan orang-orang yang memasang tenda di halaman depan. Aku duduk di dekat jendela kamar, mengamati orang yang hilir mudik mendekorasi rumahku untuk acara lamaran lusa. Rencananya, akad nikah langsung dilaksanakan satu minggu setelah acara lamaran. Abah tidak mau jarak yang terlalu jauh dari acara lamaran. Tidak baik, begitulah yang Abah katakan.
Acara lamaran, akad nikah dan juga resepsi di kampung ini sepertinya juga akan besar-besaran. Aku tidak tahu ini ide siapa, tapi sudah bisa menduganya. Sepertinya, acara pernikahanku akan menjadi acara terbesar dan termewah di kampung ini setelah sekian lama. Tenda besar yang entah berapa unit kini sedang ditegakkan di depan rumah, sudah menjadi bukti kalau belum pernah ada yang menggunakan tenda sebesar itu sebelumnya di kampung ini.
Aku tertawa geli melihat Pak Kades hilir mudik di depan rumahku. Berdiri berkacak pinggang tampak seperti seorang mandor kuli bangunan. Sementara Abah hanya duduk kalem di teras, mengobrol bersama beberapa tetua kampung yang datang ke rumah. Sejak hubunganku dan Aa diketahui oleh orang sekampung, Abah berubah menjadi sok berwibawa. Bukannya aku mengejek, aku malah terharu karena kini Abah tampak benar-benar bisa berdiri tegak tanpa merasa malu dengan kondisi kami. Abah tidak tampak berlebihan, yang berubah menjadi orang sombong karena mendapatkan menantu seorang konglomerat. Abah masih tetap seperti ayah yang kukenal. Tampak sangar dengan kumis Pak Raden-nya, tapi diam-diam selalu memperhatikan istri dan anak-anaknya penuh sayang.
Yang berubah hanya pandangan orang-orang terhadap keluarga kami. Rasanya kini orang-orang lebih menghormati Abah ketimbang Pak Kades yang selalu berwajah cemberut menatap Abah itu. Semua itu karena uang. Orang yang dulunya menghina, bisa berbalik menyanjung karena uang.
Aku bersyukur Abah dan Ambu tidak gelap mata karena uang. Abah masih tetap ke sawah, Ambu juga masih berkebun sayur di belakang rumah. Mereka tetap seperti dulu. Hanya saja, rumah dan kondisi keuangan mereka yang berubah. Tidak dengan kepribadian mereka.
Karena mereka sadar, semua ini hanyalah titipan dari Tuhan. Abah selalu bilang, harta bukan untuk dipamerkan kepada orang lain, karena harta hanya titipan, bukan milik kita secara permanen. Kalau Allah berkehendak, semua itu akan hilang dalam sedetik. Untuk apa memamerkan titipan yang bisa diambil kapan saja oleh pemilik-Nya?
Dari merekalah aku belajar bagaimana cara menghargai apa yang kumiliki selama ini. Meski tinggal di rumah kecil yang jelek, tidak sekalipun Abah dan Ambu mengeluh.
Lagi-lagi aku merasa tidak tahu diri karena merasa malu dengan rumahku. Rumah yang menjadi tempat berlindungku. Rumah yang dibangun sendiri oleh Abah dengan keringat dan air matanya. Yang menjadi tempat aku dan Jojo kembali.
Astaga, aku pasti benar-benar tidak tahu diri!
“Teh, Aa nanya, kamu mau dibawain apa aja dari apartemen?”
Aku menatap Ambu yang masuk ke dalam kamar.
“Kok Aa hubungi Ambu?” Aku menatap ponsel yang ada di tangan Ambu. Satu-satunya yang tidak berubah hanyalah ponsel itu. Ambu masih tetap memakai ponsel lamanya meski Pak Rafan sudah menawarkan ponsel terbaru. Katanya sudah terbiasa, pusing nanti kalau ganti-ganti.
“Aa bilang, kamu ditelepon nggak diangkat-angkat.”
Aku melirik ponselku yang di-charge di atas nakas yang ada di samping tempat tidur.
Dengan sibuknya suara-suara di sekelilingku, aku tidak sadar dengan suara ponselku karena panggilan dari Pak Rafan.
“Nih, ngomong sendiri. Ambu balik ke dapur dulu.”
Aku meraih ponsel yang Ambu sodorkan.
“A.”
“Yang, aku telepon nggak diangkat-angkat. Kamu mau dibawain apa dari apartemen? Ada yang ketinggalan, nggak?”
Aku menatap lemariku, tidak banyak yang kubawa pulang kemarin. Aku jadi kekurangan beberapa pakaian santai untuk di rumah.
“Baju-baju santai aku, A. Aku cuma bawa dikit kemaren.”
“Ada lagi?”
“Nggak sih, cuma itu aja.”
“Pakaian dalam?”
“A!” Aku memelotot gemas pada jendela.
Di seberang sana. Pak Rafan tertawa.
“Mau dibawain sekalian nggak?”
“Nggak, aku beli di sini aja,” ujarku menahan malu.
“Aku bawain beberapa, ya,” ujarnya seraya tertawa geli. “Astaga, Yang. Beha kamu kok kecil banget? Kayaknya dada kamu udah agak besar, deh.”
“Aa! Kamu lagi di mana emangnya?” tanyaku panik.
“Apartemen, nih lagi megangin beha kamu.”
“Ih! Lepasin nggak?”
“Nggak, aku udah lama nggak pegang dada kamu. Jadi pegang ini aja.”
“Ih, kamu, ya. Mesum. Lepasin!”
Pak Rafan tertawa kencang.
“Busanya kurang tebal, Yang.”
“Astagfirullah, Aa! Kamu, ya! Keterlaluan banget. Ngapain kamu pegang-pegang dalaman aku?!”
“Sstt, ntar tetangga kamu denger, loh,” ujarnya dengan nada geli.
Aku mendesah pelan, tidak tahu lagi harus bicara apa. Ada saja tingkahnya yang membuat aku geleng kepala.
“Ya udah, terserah kamu, deh.” Aku hanya bisa pasrah.
“Nah, gitu, dong. Pasrah aja. ‘Kan, enak.”
Aku hanya mendengkus.
“Lagian ntar juga aku bakalan sering lepasin dalaman kamu.”
“Terserah deh, terserah,” jawabku ketus.
“Galak banget. Kurang jatah ciuman?”
“Tahu, ah.”
“Ntar puas-puasin kalau udah nikah, ya.”
“Bodo.”
Yang ada, dia yang bakal puas-puasin aku, bukan sebaliknya.
“Kenapa nikahnya nggak besok aja sih, Yang?”
“Sabar.”
“Mana bisa sabar—eh, kamu punya lingerie juga?”
“Kamu bongkar laci dalaman aku, A?!” Sumpah, aku tidak tahu bagaimana merahnya wajahku sekarang.
“Nggak sengaja, Yang,” jawabnya santai.
“Bohong banget,” tukasku.
“Kan, penasaran. Aku bawain lingerie ini, ya? Ngomong-ngomong kapan kamu belinya, sih?”
“Bukan aku yang beli, Mbak Bella yang kasih.”
“Kirain kamu yang beli gitu, hitung-hitung buat nyenengin suami.”
“Idih ….”
“Nyenengin suami dapat pahala, loh.”
“Belum jadi suami,” jawabku sewot.
“Kan, lusa lamaran, minggu depan kawin.”
“Nikah, A. Nikah.”
“Nikah, kawin. Sama aja. Ujung-ujungnya juga bakal kawin.”
“Udah ah, pusing aku ngomong sama kamu.”
“Ini mau dibawain berapa banyak?”
“Terserah kamu.”
Pak Rafan hanya tertawa geli saat aku tidak berhenti menggerutu. Aku sudah bisa membayangkan bagaimana pernikahan kami nanti. Sepertinya akan dipenuhi oleh hal-hal berbau mesum darinya.
‘Halaaah, lo ngomel, tapi diem-diem ngarepin juga, Han.
Ih, nggak!
Halaaah, preeet! Bohong banget.’ Suara hatiku berperang satu sama lain.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
