
Aku mencintainya dalam diam. Menatapnya dari kejauhan.
Ketika dia tersenyum, aku ikut tersenyum. Ketika dia menangis, tangisku lebih keras dari tangisnya.
Dia terasa dekat, namun tak bisa kujangkau.
Dia terasa jauh, namun kehadirannya bisa kurasakan.
Dia terlarang, namun hatiku pandai abai pada larangan.
Jika cintaku tak mampu bertumpu, mengapa Tuhan tak mau membantu?
Tidakkah manusia sepertiku berhak mendapatkan keajaiban itu?
The Last Page
Aku mencintainya dalam diam. Menatapnya dari kejauhan.
Ketika dia tersenyum, aku ikut tersenyum. Ketika dia menangis, tangisku lebih keras dari tangisnya.
Dia terasa dekat, namun tak bisa kujangkau.
Dia terasa jauh, namun kehadirannya bisa kurasakan.
Dia terlarang, namun hatiku pandai abai pada larangan.
Jika cintaku tak mampu bertumpu, mengapa Tuhan tak mau membantu?
Tidakkah manusia sepertiku berhak mendapatkan keajaiban itu?
***
“Mami!”
Aku tersenyum dan merentangkan kedua tangan, dua anak berumur tujuh tahun berlari kencang, keduanya merentangkan tangan begitu lebar dan menubruk tubuhku. Aku hampir terjungkal namun masih bisa menguasai diri, kupeluk kedua malaikat kecil ini erat-erat.
”Mami kangen. Kangeeeeeen banget.”
”Aga juga!”
”Rega juga!”
“Aga paling kangen sama Mami!”
“Mas Rega paling paling paling kangeeeen sama Mami!” Rega tak mau kalah dengan adiknya.
“Gede kangennya Aga loh, Mi.”
“Lebih gede kangennya Mas Rega, Mi! Sampe kebawa mimpi.”
Aga berdecak kesal sementara Rega tersenyum menang.
Aku menahan senyum. Mengecup kepala si kembar bergantian.
“Lebih gede kangennya Mami dong, sampe kepikiran terus sama kalian. Lagi makan kepikiran, lagi tidur kepikiran, sampe kebawa mimpi juga.” Aku menahan senyum geli di bibir.
Keduanya tersenyum lebar dan kembali memelukku erat-erat.
”Oh, ya. Mami tadi Mbak Uma ngasih permen.” Ucap Aga.
”Aku udah bilang sama Aga jangan makan permen, tapi Aga bandel.” Sahut Rega cepat.
”Mas Rega juga makan, kok, Mi. Dua lagi!”
”Aku cuma makan satu!”
”Dua!”
”Satu!”
”Dua!”
”Aku bilang satu!” Rega melotot.
”Aku lihat Mas Rega ambil dua!” Aga ikut melotot juga.
”Cukup, cukup.” Aku mengangkat kedua tangan ke atas, menghentikan perdebatan yang akan terjadi. “Bicaranya satu-satu, jangan rebutan, Mami jadi bingung.”
”Aga makan permen.” Rega mengambil langkah pertama untuk bicara. “Aku udah bilang jangan makan, tapi dia malah makan permen.”
”Mas Rega juga diam-diam makan, aku lihat bungkus permen di kantong celananya.”
Aku menatap Rega dan Aga bergantian.
“Maaf, Mi. Rega makan satu doang, kok.” Rega menunduk dengan wajah malu. “Padahal Mami udah larang buat nggak makan permen dulu.” Rega memeluk leherku erat. “Maafin Mas Rega, ya, Mi.”
”Aga juga minta maaf.” Aga ikut memelukku seperti kakak kembarnya. “Aga lupa kalau Mami udah larang kami makan permen, ingatnya pas permennya udah di mulut, mau dibuang tapi sayang, Mi. Mubazir. Mami bilang nggak boleh buang-buang makanan.”
Aku ingin tertawa tetapi menahan diri, aku berusaha keras mempertahankan ekspresi datar di wajahku.
”Mami nggak marah sama kami, ‘kan?” Rega menatapku dengan mata memerah.
Aku menghela napas dibuat-buat. “Padahal Mami pergi cuma sehari, tapi kalian malah nggak ikutin perintah Mami.”
”Rega beneran minta maaf, Mi.” Air mata turun di pipi Rega.
”Aga jugaaaaa.” Aga yang menangis keras karena merasa bersalah.
Aku membiarkan keduanya menangis, membiarkan mereka merasakan penyesalan itu, mereka memelukku sambil terisak-isak, kutunggu sampai tangis mereka reda dengan sendirinya sampai mereka selesai mengekspresikan diri.
”Sudah?” Aku bertanya sambil menghapus air mata di wajah kedua putraku ini.
Rega dan Aga mengangguk bersamaan. “Udah.”
”Dengarin Mami, Mami melarang Mas Rega dan Aga buat makan permen, karena minggu lalu kalian sakit gigi, ingat dokter bilang apa? Jangan makan permen lagi. Mami melarang karena ada sebabnya, Nak.”
Dua malaikatku itu mengangguk, aku mengusap sisa-sisa air mata di wajah keduanya.
”Janji sama Mami kalau nggak akan makan permen diam-diam lagi?”
”Janji.” Keduanya berujar kompak.
”Jangan ingkar lagi sama Mami, ya.” Aku mengangkat kedua kelingkingku ke arah mereka, dan masing-masing dari mereka mengaitkan jari kelingkingnya ke jariku.
”Rega nggak akan makan permen lagi. Janji.”
”Aga juga janji.”
Aku tersenyum lebar, memeluk mereka dengan penih sayang. Rega dan Aga mengusap wajah dengan telapak tangan, mata mereka masih merah karena sisa tangis. Aku masih berjongkok ketika sosok itu datang.
”Loh, kenapa Mas Rega dan Aga nangis? Kangen banget sama Mami?”
Mataku terpaku menatapnya, aku masih belum bisa mengalihkan pandangan saat tangan pria itu mengusap kepala Rega dan Aga. Ikut menyeka sisa air mata yang ada di sana.
”Mami cuma pergi sehari, loh. Superhero, kok, nangis?” Ucapnya sambil tertawa pelan.
”Om Elang, kok, pulang cepat? Bukannya Oma bilang pulangnya nanti sore?” Tanya Rega mendekat dan memeluk kaki pria itu.
”Kerjaan Om selesai cepat hari ini.” Tangan pria itu meraih tubuh Rega dan memeluknya, ia juga mengulurkan tangan kepada Aga agar bisa menarik Aga ke dalam pelukannya. Dia mengangkat kedua putraku dengan mudah, menggendongnya di tangan kanan dan kiri.
Tatapan pria itu kemudian terarah padaku. “Kamu dari bandara langsung ke sini, Fa?”
Aku mengangguk. “Iya, Mas. Mau jemput anak-anak sekalian.”
”Nanti aja pulangnya, aku antar. Yuk, ke dalam dulu. Mama pasti juga mau ketemu sama kamu.”
Aku berdiam ragu, biasanya setiap ke sini, aku hanya sampai di teras, bahkan ketika mengantar Rega dan Aga ke sini, aku hanya berdiri di teras rumah.
“Ayo, Fa. Masuk aja dulu.” Dia menoleh padaku ketika aku tak kunjung bergerak dari tempatku berdiri.
Mau tidak mau, aku menyeret langkah mengikuti pria itu yang menggendong kedua anakku. Aku menatap rumah ini dengan perasaan sedih. Lalu pada punggung yang menjauh dan sedang tertawa bersama kedua anakku.
Dia … sosok yang berada dekat, namun tidak akan pernah bisa kugapai. Dia terlarang karena dia adalah … paman dari kedua putraku.
Dia adalah kakak dari ayah anak-anakku.
“Om Elang, besok Mas Rega mau lomba di sekolah!”
“Oh, ya? Lomba apa?” Pria itu menurunkan Rega dan Aga dari gendongannya di teras rumah.
“Tarik tambang. Aga juga ikut.” Sahut Aga.
“Kalian pasti menang.” Pria itu berjongkok di depan Rega dan Aga, “Tapi ingat, jangan sampai tangannya luka, ya.”
“Siap, Om!” Rega dan Aga memberi hormat, lalu ketiganya tertawa.
Menyadari aku yang berdiri kaku di dekat teras, Mas Elang menoleh.
“Kenapa cuma berdiri di sana? Ayo masuk.”
“Hmm, Mas, kami pulang aja, gimana? Rega dan Aga mau lomba besok, mereka harus tidur lebih cepat.”
Mas Elang bisa melihat kegelisahanku yang berdiri di dekat teras, aku menggenggam tas lebih erat.
Banyak alasan mengapa aku tidak ingin masuk ke rumah ini, salah satunya karena neneknya Rega dan Aga. Beliau tidak menyukaiku, bahkan setelah aku berpisah dari putranya, beliau masih membenciku.
Aku sadar bahwa tempatku bukanlah di sini, aku tak akan pernah bisa diterima baik dulu maupun sekarang. Ayah Rega dan Aga menganggap bahwa kelahiran mereka adalah kesalahan, tapi bagiku, mereka adalah penyelamat hidupku.
Menjadi orang tua tunggal untuk putra kembar membuatku sadar bahwa menjadi dewasa adalah pilihan. Proses pendewasaan dalam hidup ini adalah melalui ujian-ujian yang terjadi di dalam hidupmu.
Sorry for typo. 💜
Niatnya mau bikin cerita yang complicated, tapi nggak tahu gimana jadinya ini nanti. Ikutin ide aja.😁
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
