
Dikejar-kejar cowok? Aqila Renaldi sudah biasa. Tapi apa jadinya kalau dia dikejar-kejar dokter anak yang 'gila'? Playboy cap kadal yang punya banyak ceng-cengan di luar sana tiba-tiba gencar mengejar-ngejar Aqila seperti orang gila. Apa nggak kaget dan bikin takut?
"Mama kamu nggak mau punya cucu apa?"
"Nggak! Mamaku udah punya cucu."
"Ya, maksudku dari kita." dokter itu menyengir, sementara Aqila memelotot.
"Kita kenal aja nggak, gimana mau ngasih mamaku cucu?!"
Prolog
Sesosok pria tampan memasuki lobi rumah sakit dengan sebuah tas berada di tangan kirinya. Langkahnya tegap dan lugas. Tangan kanannya memegang ponsel mahal dan ibu jarinya bergerak menggulir layar.
“Pagi, Dokter Davian.” Resepsionis rumah sakit menyapanya ramah. Terlalu ramah malah.
“Pagi.” Pria itu membalas ramah.
“Dokter Davian, selamat pagi.”
“Pagi juga.”
“Dokter Davian, cerah banget pagi ini.”
“Dokter Davian, udah sarapan?”
“Dok, ganteng banget. Nggak capek apa, ganteng mulu?”
Kalimat terakhir membuat Davian mengulum senyum. Pria yang terkenal di seluruh penjuru rumah sakit besar itu menyebar senyum manis, hanya dengan satu kedipan mata, para perawat perempuan baik itu yang masih jomblo, menikah atau bahkan janda akan meleleh.
“Aaaaa, Dokter Davian, nanti mau makan siang bareng, nggak?
“Dokter, dada saya sakit, nih. Obatin dong.”
Davian Harris hanya tersenyum geli. Para perawat memang tidak pernah lelah untuk menggodanya.
“Dokter Davian, tumben banget datang cepet. Biasanya juga mepet.”
Kalimat barusan berhasil membuat senyum di wajah Davian sirna. Ia menoleh, menemukan asistennya tengah menguap.
“Kamu lembur?” Davian bertanya kepada dokter Tristan.
Dokter Tristan memicing. “Lah, yang nyuruh saya lembur kan, dokter Davian. Lupa ingatan?” Sewotnya, seraya melangkah bersama, menuju lantai tiga di mana ruang dokter Davian berada.
“Ya elah, kamu nggak perlu sewot juga, kali. Kan, saya cuma bercanda,” jawab dokter Davian santai.
“Nggak lucu.”
Davian menoleh kepada asistennya itu. “Kamu PMS?”
“Iya, kenapa? Mau beliin saya pembalut?”
“Saya ada stok tuh di laci meja kerja saya. Ambil aja, kalau kamu mau.”
“Ebuset, itu pembalut buat apaan, Dok?”
“Buat nyumpal mulut kamu itu,” jawab Davian kesal.
Tristan hanya mampu memandang sinis dengan jengkel tanpa mampu menjawab.
“Tan.”
“Ya, kenapa, Dok?”
“Lucy, Arlen atau Maria?”
“Hah?!” Tristan menatap seniornya itu. ‘Ini orang ngomong apaan, sih?’ gerutunya dalam hati.
“Di antara ketiga wanita itu ... menurut kamu, saya harus pilih yang mana?” Davian tampak bingung memandang layar ponselnya.
‘Ya pilih aja sendiri, kenapa gue yang harus milih?’ Lagi-lagi Tristan bergumam dalam hati.
“Mana saya tahu mau pilih yang mana, terserah Dokter aja.”
“Saya bingung, sih. Lucy orangnya agresif, saya suka. Tapi bokongnya palsu. Arlen cerewet, berisik, suaranya cempreng kayak kaleng rombeng. Maria ... hm ....” Davian tampak berpikir sejenak.
‘Lah anjir, sekate-kate banget, mentang-mentang cakep. Kampret banget nih senior.’ Tristan hanya mendengkus.
“Menurut kamu, Maria orangnya gimana?”
“Ya mana saya tahu, Dok. Ketemu aja belum pernah.” ‘Di kata gue ini apaan?! Juri ajang pencari jodoh?’
“Kamu pernah ketemu dia. Yang datang dua hari lalu bawain cake, yang cake-nya kamu makan itu, loh.”
“Yang mana, sih? Yang bawain cake ke sini tiga orang kalau nggak salah.”
“Yang rambutnya hitam.”
“Ya kalau rambutnya putih, berarti nenek-nenek, dong. Yang ke sini kemarin rambutnya hitam semua kali, Dok.” ‘Mulai emosi nih gue!’
“Yang tinggi itu, loh.”
Tristan menarik napas sabar. “Yang ke sini nyamperin Dokter semuanya tinggi. Nggak ada kurcaci.”
“Kok kamu sewot, sih, Tan? Kenapa? Kamu sirik, sama saya? Karena saya banyak yang nyamperin, sementara kamu nggak ada?”
‘Sabar, kalau nggak sabar udah gue cekik nih orang.’ Tristan semakin geram.
“Iya, kan, Tan?”
“Terserah Dokter aja deh. Suka-suka Dokter.” Tristan menjawab pasrah.
“Ya iyalah, kamu sirik sama saya, secara saya lebih ganteng daripada kamu.”
‘Iyain aja deh. Pusing gue.’ “Iya, Dok,” jawab Tristan kalem.
“Stamina saya juga lebih oke, daripada kamu.”
Tristan menoleh. “Memangnya, Dokter tahu stamina saya? Bisa aja stamina saya lebih oke, daripada Dokter punya!” Tidak terima jika dirinya direndahkan seperti ini. Peduli setan dengan senior.
“Lah? Emangnya, kamu udah pernah uji coba stamina kamu itu? Belum, ‘kan?” Davian tersenyum miring.
‘Anjir. Kalah telak.’
“Ya walaupun belum dicoba bukan berarti Dokter bisa katain stamina saya nggak oke,” cicitnya pelan.
“Jelas stamina saya udah terbukti, oke punya.”
‘Halaah, terserah deh. Gue ngantuk. Beneran.’ Tristan mulai bosan.
“Iya, deh. Suka-suka Dokter aja. Yang penting Dokter senang.”
“Kamu ngambek?”
“Nggak.” ‘Buat apaan ngambek? Dikira gue bocah?’
“Terus, kenapa manyun begitu kamu?”
“Dok, saya capek. Ngantuk juga, nih. Laporan ada di meja Dokter.” Tristan menunjuk laporan yang ada di meja kerja atasannya. “Saya cabut dulu, ya.”
“Eh, tunggu dulu. Kamu belum jawab pertanyaan saya.”
“Pertanyaan yang mana, sih, Dok?” Tristan masih berusaha sabar.
“Lucy, Arlen atau Maria?”
“Nggak ketiganya.”
“Loh? Kenapa?”
“Malam ini, Dokter nggak bisa pulang cepat. Ada operasi nanti sore.”
“Operasi?” Davian memicing. “Bukannya besok?”
“Dimajuin, Dokter nggak ingat? Dokter niat kerja nggak, sih, sebenarnya?”
“Kamu kenapa, sih? Judes amat. Kayak orang nggak orgasme dua minggu aja.”
“Saya cuma mau ngingetin Dokter, buat lebih fokus kerja. Kurangin deh, main-mainnya. Udah tua.”
“Sembarangan!” Davian memukul kepala Tristan dengan tangannya. “Saya ini baru tiga puluh.”
“Ya, kan, udah kepala tiga.”
“Belum termasuk dalam kategori tua.”
“Menuju tua deh, kalau gitu,” jawab Tristan cepat.
“Kamu makin lama makin nyebelin ya, Tan.”
‘Nggak ngaca? Situ yang makin lama makin ngelunjak!’ Tentu saja, Tristan hanya mampu mengucapkannya dalam hati.
“Perasaan Dokter aja kali,” jawab Tristan kalem.
“Eh, itu operasi beneran, sore ini?”
“Nggak. Besok sore.”
“Yang serius!” bentak Davian jengkel.
“Tuh jadwal ada di meja dokter. Baca sendiri, deh. Capek saya jadi pengingat mulu.”
“Terus, ngapain saya angkat kamu, jadi asisten? Kalau bukan untuk ngingatin jadwal saya?”
‘Begini banget jadi kacung. Gue sumpahin impoten juga nih lama-lama.’ Tristan semakin lelah.
“Jadi, sore ini, apa besok?”
“Besok, Dok.” Tristan menjawab sabar.
“Jadi, bisa dong, saya pulang lebih cepat, malam ini?”
‘Terserah deh. Mau pulang, mau nggak! Bukan urusan gue!’
“Terserah Dokter aja.”
“Kalau saya pulang jam lima, berarti bisa dong, ya?”
‘Terserah elu, Tong! Suka-suka elu. Elaah, emosi gue.’ “Terserah Dokter aja, mau pulang jam berapa.” Tristan menjawab kalem.
“Kalau jam empat, gimana?”
‘Astagfirullah! Ini dulu emaknya ngidam apa, sih? Sampe anaknya bentukannya begini? Ngeselin banget, jadi orang! Kalau nggak ingat dia senior gue, udah gue kasih sianida dari tahun kemarin!’
“Jam empat, boleh juga.” Tristan mulai lelah.
“Jam tiga aja, deh.”
“Ya nggak bisa jam tiga juga kali, Dok!” Sewot Tristan kali ini tidak mampu menahan emosi.
Davian menoleh tajam. “Kamu kenapa, sih? Marah-marah mulu. Putus cinta?”
‘Gue ngantuk! Capek! Mau tidur! Udah boleh pulang nggak, sih?!’ “Capek, Dok. Udah boleh pulang nggak, nih?” ‘Ngeselin ya, ini orang!’ Tristan masih melanjutkan gerutuannya.
“Ya, pulang aja. Ngapain kamu masih berdiri di sana?”
‘Ya Allah. Ya Rabb. Ya Tuhan. Ya Malik. Ya Quddus. Ya Salaam.’ Kedua tangan Tristan terkepal erat di sisi tubuhnya. Ia menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan. “Kalau gitu, saya pulang dulu, Dok.”
“Eh, tunggu dulu.”
‘Apalagi, sih?!’
“Kenapa, Dok?” Tristan masih mencoba menjawab, dengan sabar.
“Menurut kamu, saya hari ini udah ganteng, ‘kan?”
‘Adadhajhkj-watdefak!’ Tanpa mengatakan apa pun lagi. Tristan keluar dari ruang kerja Davian dan menghempaskan pintunya kencang. Hingga membuat beberapa perawat yang lewat terkejut dan menatap penasaran. Mengabaikan tatapan penasaran dari para perawat itu, Tristan melangkah cepat menuju lift. ‘Gue mau pulang! Gue capek!’
“Tristan! Kamu belum jawab pertanyaan saya!” Davian keluar dari ruang kerjanya seraya berteriak.
‘Bodo amat! Gue nggak denger! Gue budek!’
☘☘☘
Aqila membawa paper bag di tangannya. Cake kesukaan Kansha—keponakannya. Keponakannya sedang dirawat di rumah sakit akibat demam panas. Sebenarnya hanya demam biasa. Tetapi karena kakak lelakinya sangat lebai, ia membawa anaknya ke rumah sakit. Padahal cukup dokter keluarga saja tidak ada bedanya.
Saat ia tengah melangkah menuju poli anak, ponselnya bergetar. Aqila memutar bola mata.
“Kenapa, Kak?”
“Kamu udah di rumah sakit, La?” Suara Kaivan terdengar.
“Iya, ini lagi mau jalan ke ruangan Kansha.”
“Kamu tanyain sama dokter Tristan, hasil lab Kansha gimana?”
“Ya tunggu aja kali, Kak. Nanti kalau udah keluar bakal dikasih tahu, kok.”
“Tanyain aja kenapa sih, La? Kakak cemas, loh. Jangan lupa juga tanyain, dokter spesialisnya datang nggak, hari ini?”
“Kansha cuma demam. Nanti aku tanyain dokternya.”
“Tanyain aja. Nanti kalau udah ada hasilnya, kabarin Kakak. Kakak mau kerja dulu sebentar.”
Aqila menghela napas. “Iya, nanti aku tanyain.”
‘Ini orang panikan banget. Jelas-jelas Kansha cuma demam biasa.’ gumam Aqila.
Aqila melangkah menuju ke poli anak dan langsung ke bagian informasi di poli anak. “Permisi, saya mau nanya.”
“Iya, Mbak.”
“Saya mau nanya hasil lab pasien, atas nama Kansha Renaldi, udah ada?”
“Belum, Mbak. Nanti sore baru ada hasilnya.” Perawat menjawab ramah.
“Oh ya, dokter spesialis—“
“Dokter Davian.” Perawat itu berujar dengan mata menatap takjub ke koridor.
“Hah? Dokter spesialisnya, namanya dokter Davian?” Aqila bertanya bingung. Pasalnya ia tidak mengetahui tatapan mata perawat itu tertuju ke arah mana sebenarnya.
“Selamat pagi.” Seseorang mendekat ke arah mereka dan membuat perawat yang ada di depannya tersipu-sipu malu.
“Mbak, jadi dokter Davian nama dokter—“
“Kamu, nyariin aku?”
“Hah?!” Aqila menoleh pada sosok pria di sampingnya. ‘Siapa sih?’
“Kamu, nyariin aku ‘kan? Apa kita pernah ketemu, sebelumnya? Di klub? Restoran? Atau mall?”
‘Ini orang ngomong apa, sih? Mabok?’ Aqila berucap dalam hati.
Aqila benar-benar terlihat bingung, sementara pria di depannya tersenyum manis dan tanpa ragu memegangi tangan Aqila. Aqila menoleh ke kiri dan ke kanan, berusaha mencari orang yang pria itu ajak bicara. Tetapi, tidak ada orang yang berdiri di sana selain dirinya dan perawat, yang kini menatapnya dengan tatapan membunuh.
“Anda bicara sama saya?” ‘Atau ngomong sama makhluk yang nggak bisa gue lihat? Tuyul, misalnya?’ lanjutnya dalam hati.
“Kita ketemu di klub, ‘kan?” Pria itu menggenggam tangan Aqila secara tiba-tiba.
“Apaan, sih?!” Aqila menarik tangannya dari genggaman pria asing di depannya. Ia menatap tajam kepada pria yang tersenyum manis itu. ‘Eh, senyumnya manis juga.’
“Jadi? Kita ketemu di klub dan kamu nggak bisa ngelupain aku, sampai bela-belain nyari aku ke sini?” Wajah tampan itu kini tersenyum pongah.
‘Idih anjir, narsis amat. Yang nyariin dia siapa? Kenal juga nggak!’ Dalam hati Aqila menjerit kesal.
“Kamu kenapa diam aja, dari tadi? Terpesona sama ketampanan aku hari ini? Aku memang tampan, kok, orangnya. Nggak perlu kaget begitu.”
‘Gue mau muntah! Ini orang narsis banget. Gila! Siapa sih, dia? Tukang parkir di depan ya.’
“Kamu bawain aku apa, Babe? Cake?”
‘What?! Wait ... Babe? Bebek? Babi?’
“Eh, punya saya, ini!” Aqila menarik cake yang hendak pria asing itu ambil dari tangannya.
“Loh, bukannya kamu mau ngasih cake ini buat aku? Kok, diambil lagi?”
“Yang mau kasih cake ini ke kamu siapa? Ngaco kamu!” bentak Aqila kesal. “Kalau mau cake, beli sendiri sana!”
“Jadi? Apa kita gagal ciuman, waktu di klub? Makanya, sekarang kamu marah-marah?”
‘EH SINTING! INI ORANG NGOMONG APAAN, SIH?!’ Aqila mulai naik pitam.
“Kalau gitu, nanti kita bisa ciuman—“
Plak!
Aqila sendiri terkejut, begitu juga dengan perawat dan beberapa orang yang kebetulan melangkah di dekat mereka.
Kedua mata Aqila membulat. Ia sebenarnya tidak bermaksud menampar. Tetapi ketika pria itu meraih pinggangnya, tangannya reflek bergerak sendiri tanpa perintah apa pun darinya.
“S-sorry, saya—“
Pria di depannya memicing. “Fix, kemarin, kita pasti nggak jadi ciuman. Perlu kita ciuman sekarang? Biar kamu nggak nampar aku lagi?”
Kedua mata Aqila memelotot. Benaknya kosong. Matanya hanya mampu menatap lurus kepada pria yang perlahan kembali meraih pinggangnya.
“Orang gila!” Aqila berteriak seraya mendorong pria itu keras-keras hingga orang asing itu nyaris terjungkal ke belakang. Pria itu akan melakukan pelecehan kepadanya? Jangan pikir Aqila akan diam saja!
Pria di depannya tentu terkejut, karena didorong begitu kasar. Belum sempat ia pulih dari keterkejutannya, Aqila melangkah maju dan memberikan sebuah tendangan, tepat di antara kedua paha pria itu.
“Aduh!” Pria itu membungkuk. Mengerang.
Aqila menatapnya tajam. “Dasar mesum! Berengsek!” maki Aqila tajam, lalu kemudian memilih pergi.
Tidak peduli dengan beberapa perawat yang ternganga di tempatnya.
‘Siapa sih, cewek itu?! Kok berani-beraninya nendang Dokter Davian?! Dia belum tahu siapa Dokter Davian, ya?!’ Semua perawat pun melihat kejadian itu, dengan pikirannya masing-masing.
Jadilah semua perawat yang menyaksikan kejadian itu menatap Aqila dengan tatapan membunuh.
“Kok gue merinding, sih?” Aqila bergumam seraya memegangi tengkuknya dan terus melangkah cepat menuju kamar perawatan Kansha berada.
‘Sumpah, bulu kuduk gue berdiri!’
Satu
“Dok—“
“Apa?!”
‘Elah buset! Jutek amat.’ Tristan menatap Dokter Davian dengan pandangan memicing. “PMS, Dok?”
“Kalau iya, kenapa?!”
‘Duileh ... yang kemarin habis kena tendangan maut. Ketus amat.’ Tristan tersenyum di dalam hatinya. “Dok, kemarin saya dengar—“
“Kamu dengar apa, memangnya?!” Dokter Davian memelotot tajam.
Tristan mengerut di tempatnya. Ia meragukan niat awalnya, yang ingin meledek Dokter Davian. Melihat suasana hati Dokter Davian yang seperti ini, bisa-bisa seniornya itu menjajahnya seharian. Bukan hal baru lagi, kalau Dokter Davian memang suka sekali semena-mena kepadanya.
“Anu, Dok. Saya lupa mau bilang apa. Saya permisi dulu. Mau visit pasien.”
“Tristan.”
“Iya, Dok?” Tristan yang hendak membuka pintu ruang kerja Davian mendadak berhenti lalu menoleh ke belakang. Ia menatap khawatir kepada atasannya itu. Pria yang menjadi pujaan seluruh orang di rumah sakit ini terlihat pendiam hari ini. Tristan sedikit merasa cemas. “Dokter, mau nanya apa?”
Pandangan Davian menatap Tristan lurus. “Hari ini, saya masih ganteng, ‘kan?”
‘Elaaaah kampret. Rugi gue khawatir sama dia!’
Tristan menahan diri untuk tidak memutar bola mata. “Ganteng, kok.”
“Kenapa pakai ‘kok’?” Davian menatap tidak suka.
“Lah? Terus pakai apa?”
“Pakai banget dong.”
‘Buto ijo! Dia minta dipuji apa gimana, sih?’
“Iya, ganteng banget,” ujar Tristan mengalah.
‘Yang waras ngalah, deh. Kasian, sama yang sarap, kalau nggak ngalah.’
Davian tersenyum, senyum narsis seperti biasa. Tidak tersisa mendung yang ada di wajahnya beberapa detik lalu, membuat Tristan akhirnya memutuskan untuk melanjutkan niat awalnya.
“Dok, kemarin saya dengar dari beberapa perawat, ada yang nendang anunya Dokter, ya?”
“Iya.” Dokter Davian tersenyum lebar. “Kenapa?”
Tristan melongo. “Memangnya siapa, sih, Dok?” Kalau Tristan yang melakukan itu, sudah bisa dipastikan Tristan telah terkapar tak bernyawa di lantai.
“Kepo kamu.” Davian mengulum senyum.
“Salah satu TTM-nya Dokter?”
“Mungkin,” jawab Davian santai.
“Kok mungkin?”
“Ya saya juga lupa, dia siapa. Tapi kemarin, dia nyariin saya. Mau ngasih saya cake.”
‘Masa, sih? Kok gue nggak yakin, ya?’
“Oh.” Tristan hanya mengangguk-angguk. ‘Iyain aja deh. Biar cepet kelar.’
“Kamu, hari ini lembur lagi, ya.”
“Hah?!” ‘Kok semena-mena banget sih, dia sama gue?!’ “Lagi, Dok?”
“Iya.”
“Tapi kan—“
“Saya mau ke ruangan Dokter Yodi dulu.”
Setelah Davian keluar dan meninggalkan Tristan sendirian, pria itu mendesah lesu dan duduk di kursi yang ada di sana. ‘Gue kacung, apa asisten dokter, sih? Kok gue kayak diperlakukan nggak adil begini? Kayaknya asisten dokter yang lain nggak sengenes ini nasibnya. Wah kurang asem.’
“Dokter Tristan? Kok melamun?”
Dokter Tristan menoleh, menatap salah satu perawat yang memanggilnya. “Kenapa, Sus?”
“Jadi visit pasiennya?”
“Oh, iya.” Pria itu segera berdiri dan melangkah keluar dari ruangan dokter Davian.
“Dokter Tristan, sini deh.” Suster Mira menarik Tristan yang melangkah lebih dulu di hadapannya.
“Kenapa?”
“Itu tuh, perempuan yang nendang Dokter Davian kemarin.”
“Yang mana, sih?” Tristan tampak penasaran.
“Yang pakai baju kantoran itu. Yang cantik itu loh, Dok. Yang rambutnya ikal panjang.”
Tatapan mata Tristan menatap lekat satu-satunya perempuan yang melangkah anggun mengenakan setelan kantor. Rok span selutut dan blus warna peach. Tidak lupa stiletto berwarna hitam.
‘Seksi.’ Itu yang pertama kali terbesit di dalam benak Tristan ketika melihat wanita itu. ‘Bodinya oke.’ Lekuk tubuhnya indah, terlihat besar di tempat yang begitu pas. ‘Cantik.’ Jangan ditanya, cantiknya luar biasa.
“Jangan kebanyakan mangap, Dok. Nanti lalat bisa masuk.”
“Huss.” Tristan memelotot kepada suster di sampingnya yang terkekeh geli. “Beneran, perempuan itu? Yang nendang dokter Davian?” Ia masih belum percaya. Siapa yang bisa menolak pesona Dokter Davian selama ini? Nyaris tidak ada.
“Iya, saya lihat sendiri.”
‘Wah. Wanita itu patut diberi penghargaan.’ gumam Tristan.
“Cantik ya, saya jadi minder kalau bersaing sama dia.”
“He?” Tristan menatap suster Mira. “Bukannya kamu udah punya pacar, ya?”
Suster Mira tersenyum malu-malu dengan wajah merona. “Ya siapa tahu, saya sama Dokter Davian berjodoh. Kan, berharap nggak apa-apa, Dok.”
‘Mending jangan, deh. Dia kek iblis soalnya.’
“Saya saranin jangan berharap banyak.”
“Loh, kenapa?”
‘Karena kamu bukan tipe dia. Percaya deh.’ sahut Tristan dalam hatinya.
“Ya, saya ngasih saran aja,” jawab Tristan kembali melangkah.
Mata Tristan kembali menatap wanita cantik yang kini masuk ke salah satu ruang perawatan VVIP di poli anak. Tristan jadi sedikit penasaran dengan wanita itu. Segitu kebalnya wanita itu menepis pesona Dokter Davian?
Sementara itu, Davian yang tengah melangkah menuju ruang dokter Yodi terpaksa berhenti, ketika melihat siapa yang sedang melangkah menuju ke arahnya. Senyumnya terbit.
“Hai, Dav.” Wanita yang Davian tidak tahu siapa namanya itu berdiri di depannya.
“Hai, Babe. Kamu keliatan cantik hari ini.”
Senyum malu-malu dan menggoda tercetak di wajah wanita itu. Ngomong-ngomong Davian bertemu wanita ini di mana, ya? Klub malam langganannya? Atau restoran? Atau bahkan kamar hotel? Ah, entahlah.
“Kamu kerja sampai jam berapa?” Wanita itu mendekat dan memainkan dasi yang melingkari leher Davian. “Kita nanti makan siang bareng, mau, ‘kan?”
Mau, sih. Tapi Davian sudah terlanjur ada janji dengan wanita lain siang ini. “Malam aja, gimana?” Davian menarik wanita itu menuju lorong buntu di poli anak, sedikit bersembunyi agar tidak terlihat oleh perawat dan dokter yang lain.
“Kenapa? Siang ini kamu ada janji, ya?”
“Iya, aku ada operasi.” ‘Operasi menyusup masuk ke dalam lembah hangat.’
“Yaaaah.” Wanita itu semakin merapatkan tubuhnya kepada Davian yang dengan senang hati memeluk pinggangnya. “Terus, aku harus nunggu sampai malam, gitu?”
“Iya, nggak apa-apa kan, Babe?”
“Tapi, aku mau kamu, siang ini.” Wanita itu berbisik sensual, menarik tangan Davian dan tubuh mereka merapat ke dinding.
Tidak menyia-nyiakan kesempatan, Davian menghimpit wanita itu ke dinding. Tanpa mengatakan apa pun, bibirnya langsung melumat bibir wanita itu tanpa henti. Jelas, ciuman Davian bukan hanya sekadar menempelkan bibir begitu saja. Ciumannya selalu melibatkan lidah dan lumatan yang dalam.
Wanita itu melenguh, memeluk leher Davian erat. Davian menambah ritme ciumannya menjadi lebih ganas dan memeluk pinggang wanita itu lebih erat. Lidahnya bermain dengan lidah hangat yang menerimanya dengan senang hati.
“Apa Anda tahu, ini rumah sakit?”
Telinga Davian mendengar sebuah suara asing. Ia menarik wajahnya dari wajah wanita yang menatapnya protes, lalu menoleh. Matanya menemukan sesosok pria berdiri tidak jauh di belakangnya seraya bersedekap.
“Gue juga tahu, ini rumah sakit, Bro. Bukan restoran.”
“Lalu kenapa, kelakuan Anda, begitu tidak senonoh di tempat ini?”
“Suka-suka gue, dong. Kenapa lo yang sewot, sih?!”
Pria di depan sana menatapnya tidak suka. “Anda sedang berada di poli anak. Bagaimana kalau ada anak-anak yang melihat kelakuan Anda?”
“Itu bakal jadi urusan gue!” decak Davian sebal. Siapa, sih? Pria yang berani-beraninya menginterupsi kegiatan menyenangkan yang ia lakukan ini? “Lo siapa, sih? Satpam baru di sini? Lo nggak kenal gue?”
“Kenapa saya harus kenal Anda?” Pria asing itu menatapnya dengan tatapan menantang.
“Mending lo balik ke pos. Jagain aja pos lo sana. Nggak usah ganggu gue!” Davian mengibaskan tangan dengan kasar, gerakan mengusir.
“Anda dokter di rumah sakit ini?” Pria itu memicing, menatap Davian yang mengenakan snelli di tubuhnya.
“Kalo iya, kenapa?!” Davian sudah dilanda emosi. Melihat tampang pria asing di depannya saja, ia sudah merasa emosi. ‘Siapa, sih, ini orang? Ganggu banget!’
Pria di depannya berdecak. “Dokter tidak tahu adab.” Komentarnya sinis.
“Wah kampret!” Davian menggeram jengkel. “Sana lo balik ke pos satpam!” bentak Davian kasar.
Pria asing di depannya memicing, lalu tanpa mengatakan apa pun ia melangkah menjauh. Ia berdecak saat melihat Davian kembali melanjutkan aktivitasnya melumat bibir wanita seksi di depannya.
‘Dokter tidak punya otak!’ maki pria itu di dalam hati.
☘☘☘
“Udah bisa pulang hari ini, Kak?” Aqila masuk ke ruang perawatan Kansha, menemukan Anna sedang mengemas barang-barang milik Kansha.
“Iya, Kansha juga udah bosan di sini.”
“Iya, Tan. Kansha bosan. Mau pulang.” Anak berumur enam tahun itu menatap bosan ke ruangan besar yang ia tempati selama beberapa hari ini.
Tiba-tiba pintu terbuka dan seseorang masuk dengan langkah kesal.
“Kenapa sih, Kak? Kesel banget kelihatannya.” Aqila menatap kakak lelakinya dengan tatapan bingung.
“Ada dokter tidak punya otak di rumah sakit ini.” Ketus Kaivan jengkel. “Bisa-bisanya dia ….” Ucapannya terhenti saat melihat Kansha menatapnya dengan tatapan lurus. Pria itu menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya secara perlahan.
“Kamu ngomongin siapa, sih?” Anna menatapnya. Kaivan hanya menggeleng. Ia tidak mungkin memaki-maki orang di hadapan putrinya.
“Selamat siang.” Suara ramah menyapa dari pintu. Semua orang yang ada di dalam ruangan menoleh.
“Selamat siang, Dok.” Kansha tersenyum lebar.
“Wah, Kansha udah sehat?” Dokter Tristan mendekat bersama suster yang menemaninya.
Kansha mengangguk. “Kansha udah boleh pulang.”
“Jaga kesehatan ya, jangan sampai sakit lagi.” Tristan tersenyum ramah.
Kaivan yang menyaksikan itu, hanya bisa mendesah lega. Untung saja dokter Tristan yang menjadi dokter putrinya. Bukan dokter mesum sialan yang tidak tahu adab itu.
“Dokter punya hadiah buat Kansha.” Dokter Tristan mengeluarkan sebuah lolipop kecil dari saku snelli-nya. “Tapi, jangan banyak-banyak makan permen, ya. Satu ini aja.”
Kansha menerimanya dengan senang hati. “Terima kasih, Dok.”
Dokter Tristan hanya mengangguk. Lalu menatap Anna, Kaivan dan Aqila yang ada di dalam ruangan itu.
“Saya ke sini hanya untuk menyapa. Kalau begitu permisi.” Lalu dokter Tristan kembali menatap Kansha. “Jaga kesehatan ya, Kansha. Jangan sampai sakit lagi.”
“Iya, Dokter.” Kansha tersenyum.
Setelah menganggukkan kepala, dokter Tristan keluar dari ruang perawatan itu bersama suster.
‘Wah, ternyata yang nendang dokter Davian cakep banget.’ ujar Tristan dalam hati.
“Cakep banget ya, Dok. Saya sampai nggak ngedip, loh,” ujar suster di samping Tristan.
“Iya.” Tristan menyetujui.
“Tinggi, badannya bagus, bulu-bulu halus di rahangnya itu, loh. Bikin saya lumer.”
“Hah?” Tristan menatap Suster Mira. “Kamu, ngomongin siapa?”
“Itu, papanya Kansha. Saya udah beberapa kali ketemu selama Kansha di sini. Dan tetap aja, ngeliat secara langsung bikin saya meleleh.”
‘Dasar wanita!’ Tristan hanya mendengkus dan melangkah lebih cepat. Mengabaikan celotehan suster Mira yang terus mengatakan betapa ia mengagumi ketampanan orang tua pasien mereka.
“Dok, jalannya jangan cepet-cepet dong.” Suster Mira mengejar langkah Tristan.
Sementara itu Kaivan menggendong putrinya, Anna membawa tas yang berisi barang-barang milik Kansha.
“Kamu balik ke kantor, La?”
“Iya.” Wanita itu membuka ponsel, karena sebuah chat masuk dari asistennya, yang memintanya untuk segera kembali ke kantor. “Aku ada pertemuan penting, sore ini.”
“Ya udah kalau gitu, Kakak mau antar Kansha sama Anna pulang dulu.”
“Oke.” Aqila melambai kepada Kansha yang melambai kepadanya.
“Dadah Tante.”
Aqila mengangguk seraya tersenyum kemudian menjawab panggilan dari asistennya.
“Bu, jam berapa balik ke kantor?”
“Ini juga mau balik, bentar lagi.”
“Hati-hati di jalan ya, Bu.”
“Hm.” Begitu Aqila hendak kembali melangkah, ia terkejut ketika tubuhnya hampir menabrak seseorang yang rupanya sudah berdiri di depannya.
“Hai.” Pria tampan dengan senyum sensual itu tersenyum manis.
Aqila memasang wajah ketus. Ia mengabaikan sapaan pria yang kemarin ia tendang dan berniat untuk melangkah pergi, tetapi pria itu kembali menghalangi langkahnya.
“Mau apa?!” sembur Aqila ketus.
“Mau kamu.” Dokter Davian menjawab dengan senyuman pongah.
Aqila memutar bola mata. Mengamati sosok pria yang berdiri di depannya. Pria yang mengenakan snelli itu sangat tampan, menawan, rupawan, memesona, dan ….
“Kenapa? Aku terlalu tampan, sampai kamu terpesona begitu?”
Aqila mendengkus. Apa, sih, yang barusan ia pikirkan? ‘Ini dokter gila asalnya dari mana, sih? Mars?’
“Mau kamu itu apa, sih?” Aqila bersedekap.
“Loh, kan aku sudah bilang, aku mau kamu.”
Aqila memelotot. “Kamu gila?”
Davian tersenyum miring. “Iya, tergila-gila sama kamu.”
‘Hoek!’ Aqila mau muntah mendengarnya. “Apa tendangan saya kemarin, masih belum cukup?”
“Jangan ditendang dong, pedangku maunya disayang-sayang, sama kamu.”
‘Idih, mesum!’ “Otak kamu nggak waras, ya? Kok bisa, sih, jadi dokter di sini?”
“Otak aku nggak warasnya sejak ketemu kamu, gimana dong? Tanggung jawab kamu.”
“Kenapa saya?!” Aqila memelotot tidak terima. “Udahlah, ngomong sama kamu bikin saya jadi ikutan nggak waras.” Aqila hendak berlalu, tetapi Davian menahan tangannya.
“Kamu, mau ke mana?”
“Bukan urusan kamu, saya mau ke mana!”
“Duh, ketus banget. Tapi kamu tetap cantik, kok. Aku suka.”
“Lepasin!” Aqila menarik tangannya. “Kamu jangan macam-macam, ya! Saya bisa tendang kamu lagi dan kali ini saya pastikan akan lebih keras.”
Davian tersenyum miring, matanya menatap lekat wanita yang mencak-mencak di hadapannya.
“Kamu cantik,” ujarnya tiba-tiba.
“Saya juga tahu, kalau saya can—“ Aqila yang awalnya menggebu-gebu terdiam. Wajahnya seketika memerah malu.
“Iya, kamu cantik. Aku suka.” Davian menahan tawa melihat wajah yang awalnya ketus dan menggebu-gebu itu terdiam dengan wajah merona cantik.
“Apaan, sih?!” Wanita itu hendak kembali berlalu, tetapi Davian kembali menghalangi. “Pacaran sama aku, yuk,” ajaknya santai.
Aqila menoleh, matanya terbelalak. “Kamu ngomong apa, sih? Saya nggak ngerti!”
Davian tersenyum miring, mengeluarkan pesona yang biasanya mampu membuat wanita manapun luluh kepadanya. “Mama kamu, nggak pengen punya cucu apa?” tanyanya tiba-tiba.
“Mama saya udah punya cucu!” jawab Aqila ketus.
“Ya ... maksudku, dari kita.” Dokter Davian menyengir.
Aqila kembali memelotot. “Kita, kenal aja nggak! Gimana mau ngasih mama saya cucu?!” jeritnya kesal.
“Kalau begitu, kenalin.” Davian mengulurkan tangannya. “Davian Harris, calon suami kamu.” Pria itu tersenyum miring.
Sementara Aqila meringis jijik. “Cowok gila!” Setelah mengatakan itu, Aqila melangkah pergi tergesa-gesa dengan bibir yang terus berkomat-kamit memaki Davian dengan suara pelan.
Meninggalkan Davian yang tertawa santai seraya bersedekap.
“Seneng banget keliatannya, Dok.” Dokter Tristan menghampiri dokter Davian dan berdiri di sampingnya. “Perempuan itu, bukannya yang nendang Dokter kemarin?” Tristan ikut menatap ke depan, ke arah pandangan dokter Davian.
“Iya.” Davian menjawab santai dengan pandangan yang masih menatap Aqila lurus. “Kamu jangan naksir ya, dia milik saya.”
‘Yang naksir juga siapa, sih?!’ Tristan memutar bola mata. “Iya, Dok. Nggak akan.” ‘Eh, tapi dia cantik banget sih, memang.’ Tristan menoleh ketika ia merasakan aura kelam yang berasal dari sampingnya. Dan benar saja, Davian kini menatapnya tajam. ‘Tapi kalau harus saingan sama Dokter Davian, kayaknya mundur aja deh, dia kek iblis.’ “Saya nggak akan naksir, Dok. Dokter tenang aja.”
“Kalau kamu berani deketin dia, saya pastikan karir kamu stuck jadi asisten saya. Kamu paham?” Ancaman yang tidak main-main.
“Paham, Dok.” Tristan mengangguk paham. ‘Daripada seumur hidup jadi asisten iblis ini, mending ngalah aja. Lagian gue sadar diri nggak bakal bisa nyaingin dia.’
“Good.” Davian tersenyum senang lalu melangkah lebih dulu untuk kembali ke ruangannya. Dokter Tristan mengikuti langkahnya.
Siapa yang tidak kenal Davian Harris Nugraha? Apa kalian tidak pernah mendengar nama Nugraha? Pasti kalian tahu keluarga itu. Pemilik perusahaan hiburan terbesar di Indonesia saat ini. Keluarga Nugraha menguasai media pertelevisian, industri hiburan, pemilik pabrik farmasi terbesar dan juga pemilik beberapa rumah sakit besar yang tersebar di seluruh Indonesia. Kekayaan yang menyamai kekayaan milik keluarga Zahid dan keluarga Reavens.
Davian Harris Nugraha adalah anak dari keponakan Jaya Nugraha. Cucu kandung Jaya Nugraha yaitu Virza Nugraha adalah sepupu Davian, yang kini fokus mengurus bisnis di bidang industri hiburan, sementara keluarga Davian memilih fokus di bidang farmasi dan rumah sakit.
Dan Davian sendiri? Pria itu lebih dari sekadar dokter biasa. Ia lebih dari itu.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
