
Rasya Bagaskara didesak untuk menikah secepatnya di usianya yang hampir tiga puluh empat tahun oleh ibunya. Sementara ia tidak pernah berpikir untuk menjalin hubungan karena sudah nyaman dengan kesendiriannya. Suatu kejadian tidak disengaja membuatnya bertemu seorang gadis berusia sembilan belas tahun di sebuah klub malam, gadis itu membutuhkan uang dan berniat mencari seorang sugar daddy.
Hal tergila yang pernah Rasya pikirkan adalah mengajukan diri menjadi sugar daddy gadis itu.
Apa Rasya sudah...
Satu
“Kok pulang nggak ngabarin, Mas?”
Rasya Bagaskara mengapit ponsel di bahu seraya membawa barang-barangnya keluar dari terminal tiga Bandara Internasional Soekarno-Hatta menuju taksi yang telah menunggu.
“Iya, Rai tiba-tiba minta aku pulang, katanya ada proyek penting. Di sana ada Gibran sama Nick.”
“Mama jemput, ya.”
“Nggak usah, Ma. Ini aku udah di dalam taksi.” Rasya membiarkan sopir taksi memasukkan kopernya ke dalam bagasi sementara ia memasuki taksi dan duduk di kursi belakang.
“Ya udah, Mama masakin masakan kesukaan kamu.”
Rasya tersenyum hingga lesung pipinya tercetak sempurna. “Makasih, Ma.”
“Pake makasih segala.”
Rasya masih tersenyum, memperbaiki letak kacamatanya. Sebenarnya pandangannya tidak terlalu buruk, tapi karena selama perjalanan dari Sydney menuju Jakarta ia sibuk dengan Ipadnya, membuat matanya terasa perih dan kering. Jadi ia membutuhkan kacamata agar matanya tidak semakin perih. Karena masih banyak hal yang harus ia periksa di Ipad-nya.
Perjalanan dari Cengkareng menuju Kelapa Gading membutuhkan waktu yang cukup untuk membuat Rasya menyelesaikan satu laporan yang harus ia periksa dengan seksama di dalam taksi. Begitu turun dari taksi, ibunya sudah menunggu di teras rumah. Rasya tersenyum dan menghampiri ibunya dan memeluknya erat.
“Mama kangen banget, Mas.”
“Aku juga.”
Elvina menatap putra sulungnya lekat, membelai wajah berlesung pipi itu.
“Minusnya makin parah?” Rasya jarang menggunakan kacamata kalau bukan sedang bekerja.
“Nggak, kok.” Rasya tersenyum kecil.
Rasya menarik kopernya masuk ke dalam rumah sementara Elvina bergelayut manja di lengannya.
“Kok lengannya makin gede dan keras aja?”
Rasya hanya tertawa kecil saat ibunya memeriksa bisepnya yang semakin berotot.
“Rajin banget olahraganya.” Sambung Elvina.
“Kerja, tidur dan olahraga. Nggak ada hal lain yang bisa aku lakuin selain itu.”
“Pacaran?”
Rasya menoleh, lalu tertawa geli. “Pancingan Mama nggak berhasil.”
Elvina hanya tertawa tanpa suara. Putranya terlalu sibuk hingga tidak memiliki waktu untuk mencari pacar meski usianya sudah matang.
“Masa kalah sama Alby? Alby aja udah nikah lagi sama Jess.”
“Mereka emang nggak seharusnya cerai, sebenarnya.” Gumam Rasya. Ia teringat dengan masa-masa di mana ia menjaga Alby yang patah hati di Sydney. Adiknya itu meski selalu mengatakan ia baik-baik saja, tapi ia tidak bisa membohongi Rasya. Setiap kali mabuk, Alby akan menangis seperti anak kecil karena terlalu merindukan Jess.
Rasya selalu menjadi pendengar dan siap sedia menenangkan adiknya yang tersedu-sedu. Tapi begitu Alby dalam kondisi normal tanpa pengaruh alkohol, adiknya bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Dan Rasya juga bersikap demikian. Ia tidak mau mencampuri urusan Alby, namun selalu siap sedia ketika Alby membutuhkannya.
“Kamu terlalu rajin jagain adik-adik kamu sampe kamu lupa sama diri sendiri.”
Rasya duduk di meja makan sementara Elvina menyajikan makanan.
“Mereka adik-adikku, Ma. Sudah seharusnya aku jagain mereka.”
“Terus? Yang jagain kamu siapa?”
“Kenapa aku perlu dijaga?”
“Mas, maksud Mama bukan gitu ….”
Rasya tahu pasti apa maksud ibunya. Namun ia hanya pura-pura tidak mengerti. Mereka sudah sering kali membahas ini.
“Mama ‘kan juga pengen gendong cucu.”
Rasya hanya makan dalam diam tanpa berkomentar.
“Kamu dengar Mama ‘kan, Mas?”
“Dengar.” Rasya mengunyah santai.
“Terus?”
“Terus, apa?”
“Kapan kamu nikah?” Tanya Elvina gemas.
“Nanti, kalau sudah waktunya.”
“Umur kamu udah tiga puluh lebih. Nunggu waktu apa lagi?”
Rasya memilih bungkam. Ia menghabiskan makanannya dalam diam sementara Elvina menatapnya cemberut dari seberang meja. Setelah menghabiskan makanannya, Rasya berdiri dan mendekati ibunya. Mengecup sisi kepala ibunya.
“Makanannya enak banget, makasih, Ma. Aku istirahat dulu, ya.”
Tanpa menunggu jawaban ibunya, Rasya melangkah menuju lantai dua di mana kamarnya berada. Sementara Elvina semakin cemberut di tempatnya.
Rasya melepaskan kacamatanya dan meletakkannya di atas nakas, lalu melangkah menuju kamar mandi. Ia butuh mandi dan tidur yang cukup. Karena sepanjang perjalanan, ia belum tidur sama sekali.
Rasya berdiri di depan wastafel dan menatap dirinya sendiri, lalu menghela napas. Hari-harinya di Jakarta mungkin akan terasa berbeda dengan hari-hari yang ia jalani di Sydney, ia pasti harus menahan telinga dari rengekan ibunya tentang ‘cucu ataupun pacar’.
***
“Jadi gimana, Mas?”
Rasya mengangguk. “Oke. Kira-kira berapa lama proyeknya?”
“Kalau lancar delapan bulan, maksimal satu tahun.”
Rasya berpikir sejenak sementara Rai menunggu. Proyek ini begitu besar dan sayang kalau dilepaskan. Tapi karena semua orang sudah sibuk dengan proyek masing-masing, Rai terpaksa menghubungi Rasya dan bertanya apa Rasya bisa datang ke Jakarta untuk proyek ini? Rasya cukup sibuk tapi beberapa proyek sudah ia selesaikan di Sydney, berhubung ada Gibran dan Nick yang sama-sama gila kerja sepertinya, Rasya merasa bisa meninggalkan Sydney untuk sementara karena ia yakin dua adik sepupunya itu bisa diandalkan.
“Oke, aku usahain dalam delapan bulan semuanya selesai.” Putus Rasya.
Rai tersenyum. Ia tahu Rasya selalu bisa diandalkan. Kakak sepupunya itu sangat mahir dalam hal proyek seperti ini.
“Aku udah siapin ruangan buat Mas. Tepat di sebelah ruangan aku.”
“Thank you, Rai.”
“Aku yang harusnya ngucapin itu.”
Rasya hanya tersenyum seraya memperbaiki letak kacamatanya.
“Aku juga udah siapin tim buat bantu Mas. Aku jamin, mereka orang-orang yang kupilih khusus, mereka ahlinya. Aku nggak pernah kecewa dengan hasil kerja mereka.”
“Aku yakin pilihan kamu selalu yang terbaik.”
Rai tertawa kecil.
“Ngomong-ngomong, malam ini Vanala ngadain makan malam bersama. Mas datang, ‘kan?”
“Sure. Kalau nggak, Nala bakal ngomel-ngomel selama seminggu penuh. Kamu tahu sendiri istri kamu itu kalau udah ngomel nggak kelar-kelar.”
Lagi-lagi Rai hanya tertawa. Ia sangat tahu tabiat istrinya kalau sudah mengomel panjang lebar.
“Ayo, aku kenalin ke tim barunya, Mas. Mereka udah nunggu di ruang meeting.”
Rasya memicing. “Kamu udah siapin semuanya, ya?”
Rai tertawa. “Karena aku yakin Mas nggak bakal nolak.”
Rasya mendengkus. “Tahu begitu aku tolak aja tadi, biar bisa balik ke Sydney sore ini.” gerutu Rasya.
“Ngapain balik ke Sydney cepet-cepet, kayak ada yang nungguin aja.”
“Ada,”
Rai menoleh, meski ia tidak bertanya terang-terangan, tapi tatapan matanya menyiratkan rasa penasaran yang besar.
“Kerjaan.” Rasya tersenyum kecil.
Rai memutar bola mata seraya melangkah keluar dari ruang kerjanya diikuti oleh Rasya.
“Kupikir diam-diam Mas udah nikah di Sydney.”
“Kayak aku punya waktu aja buat ngelakuin itu.”
Rai hanya tertawa kecil. Sambil mengobrol ringan, mereka berdua melangkah menuju ruang pertemuan.
“Tante El nggak ngeluh minta cucu? Pasti ngeluh, ‘kan?”
“Tahu dari mana kamu?”
Rai tersenyum singkat. “Dua minggu lalu waktu lagi ngumpul di rumah Papa, Tante El ngeluh karena Mas belum nikah-nikah juga.”
Rasya menghela napas. “Aku nggak sempat mikirin itu sekarang.”
Rai menoleh, menatap dengan satu alis terangkat.
“Apa?” Rasya bertanya bingung.
Rai menggeleng. “Menikah itu bukan hal yang buruk, malah rasanya sangat membahagiakan. Mas harus coba.”
“Aku mau nikah sama siapa? Hantu?”
Rai tergelak.
“Hantu pun males kalau nikah sama orang gila kerja kayak Mas.”
“Kayak kamu nggak aja.” Gerutu Rasya yang malah membuat tawa Rai semakin keras terdengar.
“Tapi aku serius. Nikah itu beneran bikin bahagia.”
“Hanya kalau dengan orang yang tepat.” Sela Rasya.
Rai menoleh, menatap kakak sepupunya. “Mas pasti bisa nemuin orang itu.”
Rasya hanya mengangkat bahu. “Kita lihat nanti. Karena lebih baik kita fokus dulu ke proyek ini.”
Rai kembali tertawa. “Taktik jitu buat ngalihin pembicaraan.”
Rasya hanya diam sambil tersenyum kecil. “Kamu bisa bilang ke Mama kalau aku mau fokus kerja dulu.”
Rai tertawa semakin lebar. “Ketahuan, ya?” kekehnya malu.
Rasya hanya memutar bola mata. “Siapa lagi yang bisa bikin kamu ngomongin dan promosiin soal pernikahan kalau bukan karena bujukan seseorang? Karena Rai yang aku kenal nggak akan mau ikut campur urusan saudaranya. Terlebih urusan asmara.”
Rai menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Rasya bukan anak kecil yang bisa ia bohongi, sejak awal Rai sudah tahu kalau cara ini akan diketahui oleh Rasya, tapi permintaan dari Tante Elvina sungguh tidak bisa ia tolak.
Rai menghela napas perlahan. “Tante El terus merengek sama aku. Buat ngomongin soal ini. Aku sudah bilang kalau Mas nggak akan mempan dibujuk begini. Tapi Tante El bilang aku harus coba.”
“Well, karena kamu sudah nyoba dan hasilnya gagal. Aku harap cukup di percobaan pertama. Jangan ada yang kedua atau seterusnya.”
Rai tertawa pelan, kembali melangkah menuju ruang meeting. “Oke, aku nggak akan ikut campur lagi. Setidaknya aku udah memenuhi janji aku sama Tante El.”
“Good boy.” Puji Rasya sambil tersenyum singkat.
Keduanya melangkah memasuki ruang meeting di mana sudah ada orang-orang yang dipilih oleh Rai untuk membantu Rasya menunggu di sana. Karena proyek ini cukup besar, maka tim yang bekerja juga akan cukup banyak. Mereka segera berdiri ketika Rai dan Rasya masuk ke dalam ruangan.
“Selamat pagi, semua.” Sapa Rai datar dan segera duduk di kursi. Rasya ikut duduk di sebelahnya. “Seperti yang sudah saya katakan di pertemuan sebelumnya, proyek ini akan dipimpin oleh Pak Rasya.” Rai menoleh ke samping di mana Rasya duduk. “Saya harap kalian bisa bekerja dengan maksimal untuk proyek yang besar ini.” Rai memang tidak suka berbasa basi ketika bekerja. “Aku harus pergi. Mas bisa mulai meeting-nya dengan mereka.” Ucapnya pada Rasya.
Rasya mengangguk dan membiarkan Rai pergi. Setelah Rai menutup pintu dari luar, Rasya menatap satu persatu orang-orang yang akan bekerja dengannya.
“Saya Rasya Bagaskara. Kalian mungkin sudah mengenal saya. Tolong, perkenalkan diri kalian agar saya bisa tahu bagian-bagian penting yang kalian kerjakan.”
***
Rasya memandang fokus pada layar laptopnya ketika adiknya menyerbu masuk ke dalam ruangan.
“Kok pulang nggak ngabarin aku?”
Rasya mendongak, lalu tersenyum singkat. “Mas lupa.”
“Lupa atau sengaja?”
“Lupa, Kay.”
“Alesan.” Mikayla mendekat dan duduk di depan kakaknya. “Makan siang sama aku, ya.”
“Kayaknya Mas nggak bisa.”
“Ayolah, Mas. Cuma makan siang doang. Di restorannya Opa.”
“Mas banyak kerjaan, Kay.”
“Mas pikir aku nggak?” Mikayla berdiri dan mendekati Rasya, menarik tangan kakak laki-lakinya agar berdiri. “Mau makan bareng pokoknya. Meski harus aku seret dulu.” Dan Mikayla benar-benar menyeret Rasya menuju pintu. Pria itu dengan cepat menyambar dompet dan ponsel di atas meja.
Mikayla memeluk lengan Rasya menuju lift.
“Kata Mas Rai, Mas bakal lama di Jakarta. Bener?”
“Hmm, delapan bulan atau satu tahun. Tergantung proyeknya nanti.”
Senyum Mikayla melebar saat keduanya masuk ke dalam lift. “Kangen banget sama Mas. Apalagi Mas jarang ke Jakarta.” Pelukan Mikayla mengerat di lengan kakaknya. “Aku kangen masa-masa kita di Sydney.”
“Ya udah, pindah lagi aja ke Sydney,”
Mikayla menggeleng. “Nggak mau, maunya di sini aja. Di Sydney aku nggak punya banyak teman, di sini banyak sepupu kita.”
Rasya tersenyum kecil seraya mengusap rambut adiknya. Mereka memang menghabiskan masa kecil mereka di Sydney sejak orangtua mereka memilih menetap di Sydney mengurusi bisnis keluarga. Setelah sangat lama di Sydney, tiba-tiba kedua orangtua mereka merindukan Jakarta dan memutuskan untuk kembali ke tanah air. Mikayla tentu saja memilih ikut, hanya Rasya yang memilih bertahan di sana. Dengan besarnya tanggung jawab di sana, Rasya tidak memiliki waktu luang untuk mengunjungi kedua orangtuanya kalau bukan karena keadaan terdesak atau ada sesuatu yang penting.
Rasya ikut tersenyum singkat, mengikuti adiknya menuju mobil Mikayla. Ia meraih kunci mobil dari tangan adiknya dan masuk ke pintu pengemudi.
“Mas.”
“Hmm.”
“Kapan punya pacar?”
Rasya menoleh sementara Mikayla tersenyum lebar.
“Kamu jangan sekongkol sama Mama ya, Kay.”
“Ih, fitnah.”
“Terus?”
“Ya kepengen aja ngeliat Mas punya pasangan. Ingat loh, umur Mas udah tua.”
“Baru tiga puluh tiga.”
“Tuh, udah tua loh, beberapa bulan lagi udah tiga puluh empat. Ya ampun, Mas, udah tua beneran loh itu.”
“Lebai kamu.”
Mikayla terkekeh. “Beneran pengen ngeliat Mas punya pacar, Mas belum pernah pacaran. Normal ‘kan, Mas?”
Rasya melirik datar. “Kayaknya semua orang yang nggak punya pacar, kamu anggap nggak normal.”
Lagi-lagi Mikayla tertawa. “Mas belum pernah pacaran selama tiga puluh tiga tahun Mas hidup di dunia ini. Melvin aja udah bongkar pasang tiap minggu, padahal dia masih bocah. Sementara Mas?”
“Itu Melvinnya aja yang doyan bongkar pasang.”
“Ya makanya, pacaran dong, Mas. Hidup tuh dibawa santai. Mas jangan kebanyakan kerja, nanti mati sendirian.”
“Semua orang juga mati sendirian. Nggak ada mati ngajakin orang sekampung.”
“Nggak gitu maksudnya, Bambang!” Mikayla mencubit lengan kakaknya kesal. “Ngomong sama Mas nyebelin, ya!”
Rasya hanya tertawa kecil seraya mengacak rambut adiknya.
***
“Kamu jangan menghindari Mama terus, Mas.”
Rasya baru saja masuk ke dalam rumah ketika suara ibunya terdengar. Diam-diam, ia menghela napas lelah.
“Aku nggak menghindari Mama.” Rasya membuka sepatunya, memakai sandal rumahan, ia melangkah dan menjatuhkan diri di sofa, melonggarkan dasi yang terasa mencekik.
“Terus apa namanya pergi pagi-pagi buta dan pulang larut malam begini?”
“Ma, aku kerja.”
“Tapi nggak harus pergi pagi-pagi begitu, ‘kan?”
“Ma.” Rasya mencintai ibunya. Sungguh. “Jarak rumah ini ke Menara Zahid itu lumayan jauh. Kalau nggak pagi-pagi, aku bisa terlambat setiap hari. Kecuali kalau Mama setuju kalau aku buat tidur di apartemen aku.”
“Nggak ada yang ngurusin kamu kalau kamu tinggal di sana.”
“Nggak ada yang ngurusin aku juga setelah Mama pindah ke Jakarta, tapi selama di Sydney aku bisa ngurus diri aku sendiri.”
Elvina terdiam, menatap putranya lekat.
Sekelebat perasaan bersalah menusuk dada Rasya. Ia menghela napas, meraih tangan ibunya dan mengenggamnya.
“Mama tahu kalau bukan seperti aku maksud aku.”
Elvina mengulurkan tangan untuk membelai rambut putranya. “Kamu tahu, Mas? Mama terbiasa ngurusin kamu dari kamu lahir. Meski kamu dewasa dan bisa ngurus diri kamu sendiri, tapi Mama tetap aja khawatir. Selama kamu sendirian di Sydney, nggak sekalipun Mama lupain kamu.”
“Aku tahu.” Rasya tersenyum singkat. “Maaf kalau perkataan aku tadi menyinggung. Tapi aku serius, aku nggak menghindari Mama.”
“Kamu cucu tertua di keluarga Bagaskara, siapa sih yang nggak khawatir kalau kamu masih sendiri sementara sudah banyak dari sepupu kamu yang menikah?”
Here we go. Kembali ke topik yang sudah dihindari Rasya selama satu bulan ini.
“Aku boleh istirahat nggak? Aku capek banget.”
“Mas.”
“Kita bicarain nanti ya, Ma. Aku beneran butuh mandi dan istirahat. Besok pagi-pagi mesti ke lokasi proyek.” Rasya berdiri dan mengecup puncak kepala ibunya. “Good night, Ma.”
Mau tidak mau, Elvina terpaksa membiarkan Rasya beristirahat karena raut wajah putranya memang menunjukkan kelelahan yang teramat sangat. “Good night, Mas.”
Rasya tersenyum dan melangkah menuju lantai dua di mana kamarnya berada. Begitu ia masuk ke dalam kamarnya, ia menghela napas panjang.
Pembicaraan tentang pernikahan ini tidak akan ada habisnya sampai ia membawa seseorang ke hadapan ibunya untuk diperkenalkan sebagai kekasih. Kenapa para ibu sangat khawatir tentang pernikahan anak-anaknya sementara anak-anak itu sendiri tidak pernah memikirkannya? Rasya tidak habis pikir dengan yang satu itu.
Kesokan paginya, demi menghargai ibunya, Rasya memilih untuk sarapan di rumah setelah satu bulan lamanya ia terbiasa sarapan di kantor.
“Tumben nggak pagi-pagi perginya, nggak takut telat?” sindir ibunya.
Rasya hanya diam saja dan duduk di meja makan, melirik ayahnya yang juga tumben sekali bangun sepagi ini.
“Papa tumben pagi banget bangunnya.”
“Hari ini papa mau lari keliling kluster.” Rafael melipat koran yang ia baca lalu menatap putranya.
Rasya hanya mengangguk, meraih sepotong roti dan mulai mengolesnya dengan selai cokelat.
“Mas.”
“Ya,” Rasya melirik ayahnya.
“Nanti malam kamu pulang jam berapa?”
“Hmm, belum tahu, pekerjaanku banyak. Larut malam kayaknya.”
“Bisa pulang lebih cepat buat makan malam?”
Gerakan Rasya yang mengoles selai terhenti, ia menatap ayahnya. Kali ini benar-benar menatapnya lekat-lekat.
“Ada hal penting apa?”
Rafael menggaruk tengkuknya, melirik gelisah pada Elvina yang kini tiba-tiba fokus membuat sarapan. Rasya memicing dan ikut melirik ibunya. Pria itu lalu meletakkan rotinya ke atas piring, melihat hal itu, Rafael buru-buru menggeleng. Memberi peringatan untuk putranya tetap duduk di sana, tapi Rasya berdiri.
“Aku berangkat.”
“Loh … tapi kamu belum sarapan.” Rafael menatap roti yang diabaikan putranya.
“Aku mau ke lokasi proyek dan jaraknya jauh banget dari sini, kayaknya mulai minggu ini aku bakalan nginep di apartemen sesekali, weekend baru aku ke sini.”
“Mas.” Rafael ikut berdiri ketika Rasya menjauh.
Rasya menghela napas. Menatap ayahnya. “Kita bahas hal ini nanti.”
“Kapan?” sela Elvina. “Kapan kamu mau bahas hal ini? Setidaknya kamu tuh cari pacar.”
“Ma.”
“Perlu Mama yang cariin?”
“Nggak.” Rasya menggeleng tegas.
“Kalau gitu, Mama kasih waktu seminggu buat cari pacar.”
“Ma, mana bisa nyari pacar cuma dalam waktu seminggu.” Sanggah Rasya.
“Papa kamu dulu bisa,” ketus ibunya. Rafael menggaruk tengkuknya salah tingkah. “Belajar sama Papa kamu.”
Setelah mengatakan itu, Elvina melangkah pergi meninggalkan dapur, sementara Rasya dan Rafael berdiri canggung.
“Papa ….”
“Harusnya Papa dulu jangan jadi playboy.” Rasya meraih tas kerjanya dan melangkah pergi begitu saja setelah menggerutu.
“Mas, itu ‘kan bukan salah Papa.” Hanya itu yang bisa Rafael ucapkan sementara Rasya sudah menjauh dari ruang makan itu. Pria itu menghela napas panjang. “Kenapa aku yang salah?"
Dua
“Sudah satu minggu, Mas.”
Astaga, kapan neraka ini akan berakhir? Rasya begitu lelah mendengar kalimat itu. Tidak bisa kah ibunya membiarkannya hidup tenang selama di Jakarta?
Rasya menarik napas sabar dan menatap ibunya. “Ma—“
“Malam ini Mama mau ngenalin kamu ke anak temannya Papa.”
“Maksud Mama, Mama mau jodohin Mas Rasya?” Mikayla yang tengah duduk di sofa menatap ibunya lekat.
“Ya, Masmu udah mulai karatan.”
Rasya hanya diam menahan diri. Sabar. Seemosi apa pun dirinya, ia harus tetap sabar, ibunya memang jenis ibu yang sangat cerewet, untuk menghindari perdebatan, ia harus mengalah.
Mikayla menatap wajah kakaknya seraya meringis. “Tapi Mas Rasya belum mau menikah, Ma.” Mikayla mencoba membela kakaknya.
“Terus sampai kapan Mas kamu dibiarin jomlo? Sampai tua? Terus kapan Mama bisa punya cucu?”
“Ew,” Mikayla menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Topik tentang cucu adalah topik yang membuat Rasya maupun Mikayla mengerutkan kening.
“Mas kamu itu paling tua dari semua cucu Zahid, malah dia yang belum nikah.”
Mikayla dan Rasya saling bertatapan. Rasya dengan tatapan pasrah sementara Mikayla dengan tatapan prihatin.
“Malam ini kamu jangan ingkar janji, Mas. Mama tunggu di Black Roses jam tujuh.”
Ngomong-ngomong, kapan sih Rasya berjanji pada ibunya? Apa isi janjinya? Rasya bahkan tidak tahu ia pernah menjanjikan sesuatu kepada Elvina. Tapi karena tidak ingin membuat Elvina lebih marah lagi, Rasya hanya mampu mengangguk, kemudian melangkah pergi menuju garasi.
“Mas nggak serius mau dijodohin Mama, ‘kan?” Mikayla mengejarnya ke garasi.
“Mau nggak mau, Mas udah nggak tahan lagi dengerin rengekan Mama.” Rasya berdiri di samping mobilnya. “Rasanya Mas pengen pulang aja ke Sydney, tapi udah terlanjur ambil pekerjaan di sini.”
“Mas itu bukan anak kecil yang mesti dijodohin.”
Pria itu hanya tersenyum kecil. “Kalau dijodohin bisa bikin Mama berhenti marah sama Mas, Mas terima itu.” mungkin hanya itu satu-satunya cara.
Mikayla menggelengkan kepalanya tidak habis pikir. “Nggak harus dijodohin, Mas. Mas bisa nikah kalau emang udah waktunya.”
“Tapi bagi Mama, ini udah waktunya. Mas bentar lagi tiga puluh empat tahun.”
“Umur itu cuma angka.”
Rasya hanya menatap adiknya penuh sayang, mengacak rambut Mikayla penuh kasih. “Bagi Mama, umur Mas itu udah masuk tahap karatan.” Ucapnya sambil tertawa pelan lalu masuk ke dalam mobilnya.
Mikayla hanya mampu menghela napas dan masuk ke dalam mobilnya sendiri. Tidak ada yang bisa ia lakukan ketika Rasya sudah memutuskan sesuatu. Ia tahu betapa kakaknya itu sangat mencintai ibu mereka meski terkadang ibu mereka bersikap menyebalkan, Mikayla sendiri sangat mencintai orangtuanya, sama seperti yang Rasya rasakan. Jadi … Mikayla sedikit bisa mengerti bahwa Rasya akan melakukan apa pun demi ibu mereka.
Terlebih dengan apa yang dulu dirasakan oleh Rasya ketika kecil. Mikayla mendengar cerita ini dari ayahnya, saat-saat di mana ayah mereka tidak tahu tentang kehadiran Rasya di dunia ini. Selama bertahun-tahun Rafael tidak mengetahui keberadaan anaknya karena Elvina menyembunyikan diri di Kuala Lumpur, suatu keajaiban bagi Rafael ketika Elvina kembali ke Jakarta untuk suatu pekerjaan dengan membawa Rasya bersamanya. Mikayla tahu, Rasya masih sangat ingat dengan masa-masa itu meski tidak sedikitpun kakaknya itu menyimpan dendam terhadap ayah mereka, tapi tetap saja, masa kecil yang hanya dilalui Rasya berdua dengan Elvina membuat cinta Rasya terhadap Elvina jauh lebih besar dari yang mampu Rasya ucapkan. Rasya juga tetap mencintai ayahnya, tapi tetap saja ada perbedaan dari apa yang Rasya rasakan terhadap Elvina dan Rafael. Dan bagi Rasya, Elvina adalah dunianya. Jika dengan mengikuti perjodohan mampu membuat Elvina bahagia, tanpa ragu Rasya akan melakukannya.
Seumur hidup Rasya, ia berusaha membuat bangga kedua orangtuanya, melakukan apa pun demi orangtuanya. Dan kini, ia bisa membuat ibunya lebih bahagia meski mungkin hal itu tidak membahagiakan bagi Rasya. Tapi ia sendiri tidak peduli pada kebahagiaannya karena kebahagiaan Elvina berada jauh diatas kebahagiaannya sendiri.
***
“Alana!”
Alana mengerang kuat, ia tetap duduk di lantai seraya memeluk lututnya.
“Alanaaa! Saya tahu kamu di dalam!”
“Brengsek!” maki Alana pelan.
”Saya udah kasih kamu waktu ya, Al! Kamu jangan pura-pura budek!”
Alana hanya bisa bersandar di dinding, menatap pintu kosannya tanpa ekspresi.
“Kalau hari ini kamu nggak bayar juga! Besok kamu angkat kaki dari kosan ini! Kamu dengar?!”
Alana hanya diam dan tidak menjawab.
Suara gedoran pintu dan teriakan dari pemilik kosan sudah menghilang, namun Alana masih tetap duduk di lantai menatap kosong pada daun pintu yang tertutup rapat itu.
Getaran ponsel membuat gadis itu menunduk.
“Hmm.” Ia bergumam, menjawab panggilan dari sahabatnya.
“Lo nggak masuk?”
“Masuk.”
“Terus lo di mana, Al? Udah jam berapa ini? Lo mau gagal di mata kuliah Pak Narend?”
“Nggak.”
“Kalau gitu angkat bokong lo dari kosan sekarang!”
“Iya, Mi. Gue lagi siap-siap, kok.”
“Jangan iya-iya aja, lo udah nggak masuk beberapa kali. Gue nggak bakal bisa bantu kalau lo gagal di mata kuliah ini, Al. Lo tahu sendiri kejamnya Pak Narend gimana.”
“Iya, bentar lagi gue ke sana.”
“Buruan! Jangan sampe telat!”
“Iya, bawel!”
Alana bangkit berdiri, melangkah pelan menuju jendela dan mengintip ke luar. Tidak ada siapa-siapa di luar kamarnya. Gadis itu mendesah lega. Alana meraih tas ranselnya, ia kemudian memasang sepatu. Alana membuka pintu, memerhatikan sekelilingnya lebih dulu sebelum keluar dan cepat-cepat mengunci pintu itu.
“Alana!”
“Mampus gue.” Desahnya mengantongi kunci dan berlari kabur.
“Kamu bisa kabur hari ini! Tapi nggak bisa kabur lagi besok!” Bu Wati berteriak marah sementara Alana menuju motornya, memasang helm lalu mengendarai motor itu secepat mungkin meninggalkan pelataran parkir kosan itu.
“Hidup tuh kayak kampret.” Desah Alana meletakkan tasnya di atas meja, duduk di samping Ami.
Ami menoleh, menatap wajah kusut temannya. “Kenapa lagi lo?”
“Gue pikir lo nggak nongol, Al.” Sebuah suara lain terdengar. Alana menoleh, Bagas duduk di sampingnya seraya menyerahkan sebotol air mineral kepada Alana. Alana menyambarnya, menghabiskan air mineral itu hingga setengah lalu menyerahkan botol itu kembali kepada Bagas.
“Selamat siang.”
Alana yang tadinya duduk bersandar, kini memperbaiki posisi duduknya saat dosen sekaligus dekan di kampusnya memasuki ruangan.
Lupakan dulu soal kosan, lupakan dulu soal lainnya. Alana harus fokus pada mata kuliah yang satu ini, karena mata kuliah ini sangat penting dan ia tidak boleh gagal dalam hal ini.
***
“Kampus sudah memberi kamu waktu, Alana. Dan saya berharap kamu mengerti, kamu harus melunasi UKT kamu besok.”
Alana mengangguk. “Baik, Pak.”
“Kamu boleh keluar.”
“Terima kasih, Pak.”
Alana melangkah keluar dari ruangan itu dengan wajah lesu.
“Gimana? Pak Rido bilang apa?” Ami dan Bagas mendekat.
Alana menghempaskan dirinya di kursi yang ada di sana. “Gue harus lunasin UKT gue besok.”
Bagas dan Ami mendesah pelan.
Ketiganya duduk termenung menatap langit-langit koridor.
“Gue punya tabungan, Al—“
“Jangan, Gas, hutang gue yang lama aja masih numpuk sama lo. Lagian itu tabungan lo, kalau nyokap lo tahu, dia bisa marah.”
“Gue punya—“
“Nggak!” Alana menggeleng tegas pada Ami yang menunjukkan cincin di jari manisnya pada Alana. “Itu punya mendiang nyokap lo.”
“Digadein aja, Al. Ntar kalo punya duit, ditebus lagi.”
“Masalahnya gue nggak tahu kapan gue punya duit, Mi. Kalau nggak ketebus gimana? Jangan deh, lagian itu juga belum cukup. Gue … gue juga harus bayar kosan. Udah nunggak tiga bulan. Gue udah dikejar-kejar sama Bu Wati.”
Dua sahabatnya kembali mengerang.
“Gimana sih biar gue bisa dapat duit banyak dalam satu hari?” Alana mengacak rambutnya frustrasi. “Pusing banget gue. Apa gue jual diri aja?”
“Jangan!” kedua sahabatnya menggeleng kuat.
“Lo jangan macem-macem ya, Al.” Bagas memelotot.
“Mumpung gue masih perawan, ‘kan lumayan, bisa naikin harga.” Ucap Alana enteng.
“Otak lo udah rusak, ya, Al?” Ami memelotot.
“Terus gue mesti gimana? Nggak ada lagi cara lain.”
“Pasti ada.”
“Kapan? Tunggu gue diusir dari kosan? Tunggu gue di DO dari kampus?”
“Ya pasti ada, mungkin nggak—“
“Nggak ada, Mi. Udah buntu, nggak ada jalan lain lagi.”
Ami menghela napas. “Lo nggak sayang sama diri lo sendiri?”
“Duit lebih penting, nggak ada duit, gue bisa mati. Lagian jual diri nggak akan bikin gue kehilangan apa-apa.”
“Keperawanan elo, Al.” ucap Ami pelan.
“Keperawanan doang, punya nggak punya, nggak ada bedanya. Selagi bisa ngasilin duit, gue nggak peduli.”
“Al—“
“Terus gue mesti gimana?” Alana menatap Ami lekat. “Gue harus ngapain? Sesayang-sayangnya gue sama diri gue, nggak ada gunanya kalau gue nggak punya duit. Gue sayang sama tubuh gue, tapi gue diusir dari kosan. Terus gue mau tinggal di mana? Kolong jembatan? Sama aja bohong, dong.”
“Minta ke bokap—“
“Dia pasti juga bakal ngusulin hal yang sama!” bentak Alana marah. “Apa sih yang bisa dia kasih ke gue? Otaknya yang nggak berguna itu? Apa perhiasan perempuan simpanannya?!”
Ami tidak bisa memberikan jawaban.
“Gue nggak kayak kalian.” Ucap Alana tercekat. “Kalian masih punya seseorang yang bisa kalian andalkan? Sementara gue? Gue cuma punya diri gue sendiri. Pertahanin keperawanan gue tapi di DO dari kampus, itu sama aja nggak ngotak. Gue nggak bakal punya masa depan. Lagian keperawanan nggak menentukan masa depan gue nantinya.”
“Jual diri bakal bikin lo hancur.”
“Nggak masalah, selagi gue bisa dapatin duit.”
“Nggak gitu jalan keluarnya, Al.”
“Ya udah, kalau gitu lo jadi gigolo dan duitnya kasih ke gue, lo mau?” Sinis Alana pada Bagas.
Bagas bungkam.
Alana menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan.
“Sorry, guys, gue tahu niat kalian baik. Tapi di dunia ini, kebaikan aja nggak akan bisa ngasih kita makan dan tempat tinggal. Sorry, otak gue emang udah rusak. Mungkin kalian harus jauh-jauh dari gue mulai sekarang. Gue bawa pengaruh buruk buat kalian.” Alana berdiri dan melangkah menjauh.
“Al—“
Namun gadis itu berlari menuruni tangga menuju kantin. Meninggalkan Bagas dan Ami yang mengerang frustrasi.
Alana memasuki kantin kampus untuk mencari-cari seseorang. Saat berhasil menemukan orang yang ia cari, Alana termenung sejenak. Lalu ia menarik napas dan melangkah menghampiri orang tersebut.
“Sya.” Panggilnya pelan.
Tasya menoleh, menatap Alana yang berdiri di sampingnya.
“Apa?” jawab Tasya ketus.
“Gue … gue mau ngomong sama lo sebentar, bisa?”
“Ngomong aja.” ucap Tasya angkuh.
Alana menatap teman-teman gadis itu. “Bentar aja, Sya.” Bujuk Alana. “Please.”
Tasya menghela napas, meraih tasnya dan berdiri. “Bentar, gengs.” Ucapnya meninggalkan teman-temannya dan melangkah menjauh dari kantin. Alana mengikutinya dari belakang.
Ia memperhatikan penampilan Tasya. Dari ujung kaki hingga kepala, temannya mengenakan barang bermerk. Bahkan tas yang Tasya genggam itu harganya bisa mencapai ratusan juta, Alana menelan ludah menatap tas itu.
“Lo mau ngomong apa?” Tasya bersidekap saat mereka sampai di taman samping kantin.
“Gue … gue ….”
“Buruan, Al! gue nggak punya waktu!”
“Gue tahu lo punya sugar daddy.”
Tasya memelotot. “Terus? Lo ngajak gue ngomong cuma mau bahas ini?!”
“Sya, tunggu.” Alana menahan tangan Tasya saat gadis itu hendak menjauh karena marah.
“Apalagi?!” bentak Tasya.
“Gue … gue butuh duit, Sya.” Ucapnya pelan.
“Bukan urusan gue!” ketus Tasya.
Alana menghela napas. “Bisa nggak lo kenalin gue ke salah satu sugar daddy yang lo kenal?” tanya Alana dengan suara pelan.
“Lo? Nyari sugar daddy?!”
“Jangan keras-keras, Sya.” Pinta Alana memelas. “Iya, gue butuh duit.”
Tasya menatap Alana dari ujung kaki hingga ke ujung kepala, berulang kali.
“Lo masih perawan?”
Alana mengangguk.
“Hmm ….” Tasya bergumam sejenak, terus memerhatikan wajah Alana.
Alana cantik, tentu saja. Kulitnya bersih dan putih meski tidak dirawat dengan baik. Hidungnya mancung dan bibirnya sempurna. Diam-diam, Tasya selama ini iri melihat kecantikan teman satu kelasnya itu. Alana tidak perlu merawat diri tapi ia sudah cantik luar biasa. Meski hanya mengenakan kemeja lusuh dan jeans pudar, tidak membuat kecantikannya tertutupi. Bahkan dengan tampilan paling sederhana sekali pun, Alana tetap jauh lebih cantik darinya.
“Lo bisa ‘kan bantuin gue?” pinta Alana dengan suara pelan.
“Simpan nomor lo di sini.” Tasya menyerahkan ponsel mahalnya pada Alana. Dengan cepat Alana mengetikkan nomornya di sana.
“Gue butuh secepatnya, Sya. Kalau bisa malam ini.”
“Gue cari dulu, Al. Karena hampir semua sugar daddy yang gue kenal sudah punya baby.”
“Please, gue butuh secepatnya. Atau nggak perlu jadi baby-nya. Satu malam aja, cariin yang mau beli keperawanan gue. Please ….”
“Lo seputusasa itu?” sinis Tasya.
Alana mengangguk. “Gue butuh buat bayar UKT dan kosan gue. Gue bisa jamin kalau gue masih perawan, satu malam aja.”
“Ntar gue kabarin.”
“Secepatnya ya, Sya. Please ….”
“Iya, lo tunggu aja kabar dari gue.” Tasya melangkah pergi sementara Alana duduk di kursi taman seraya mendesah perlahan.
Peduli setan dengan yang lainnya, ia lebih butuh uang daripada keperawanan. Ia bisa hidup tanpa keperawanan, tapi ia tidak akan bisa hidup tanpa uang. Bekerja paruh waktu tidak mencukupi kebutuhannya. Hanya mampu membeli makanan dua kali sehari, tidak lebih dari itu.
Alana masih duduk di kursi taman karena ia tidak tahu harus ke mana. Pulang ke kosan hanya akan membuatnya bertemu Bu Wati, ia pasti diusir hari ini juga jika pemilik kosan itu melihatnya.
Ponsel Alana bergetar saat nomor baru memanggilnya. Dengan cepat Alana menjawabnya.
“Halo.”
“Gue Tasya.” Ucap Tasya.
“Lo udah ada kabar, Tas?”
“Lima puluh juta buat keperawanan lo, gimana?”
“L-lima puluh juta?!”
“Iya, kalau lo mau, ntar malam gue bikinin janji sama Omnya.”
“Mau! Gue mau banget!” Alana tidak bisa membayangkan yang lebih dari itu.
“Ya udah, lo siap-siap aja buat nanti malam. Nanti gue kirimin alamatnya.”
“Thanks, Sya. Gue beneran berterima kasih.”
“Hmm.”
“Dan buat lo, gue—“
“Gue bukan mucikari!” ketus Tasya. “Gue cuma mau bantu karena lo bilang butuh duit dan kebetulan aja gue banyak kenalan. Nggak perlu kasih apa-apa ke gue, duit gue udah banyak.”
“Thanks.” Bisik Alana pelan.
Tanpa menjawab, Tasya mematikan sambungan. Alana mendesah lega. Memegangi ponselnya erat-erat.
Tak lama, sebuah pesan masuk dari Tasya.
Tasya: Litera lantai VVIP. Temani dulu Omnya minum. Habis itu terserah kalian. Gue udah kasih kasih nomor lo ke dia. Simpan nomornya. Tuh gue kirim fotonya juga.
Bersamaan dengan pesan dari Tasya, temannya itu juga mengirim sebuah kontak dan sebuah foto. Alana menatap lekat foto itu. Apa Alana membayangkan pria tampan rupawan sebagai pembeli keperawanannya?
Salah besar! Seorang pria nyaris botak yang gendut dan berperut buncit tampak di foto itu. Tapi siapa yang peduli pada fisik jika dompet pria itu lebih tebal daripada rambut di kepalanya?
Sorry for typo :)
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
