
Radhika pria yang sempurna. Tampan, kaya dan memiliki segalanya. Memiliki sifat posesif dan tidak bisa menerima kekalahan.
Davina adalah wanita yang memiliki masa lalu yang begitu kelam. Memiliki sifat keras kepala dan angkuh.
Dua manusia itu dipertemukan. Ibarat dua kutub yang disatukan, dua insan itu tidak akan bisa bersama jika mereka masih menyimpan rahasia masing-masing.
Prolog
"Jadi gimana urusan bunga?"
Radhika Gibran Zahid menoleh pada sepupunya, Alfariel. "Memangnya jadi urusan gue?" Pria itu bertanya datar.
Alfariel memelotot. "Terus jadi urusan siapa? Gue?!"
"Biasa aja kali, Bang. Lo nggak perlu ngegas." Lagi-lagi Radhika menjawab dengan datar, dan dengan raut wajah yang sama datarnya.
"Lo kan tahu acaranya nanti malam. Sekarang udah jam..."Alfariel melirik pergelangan tangannya dimana arloji mahal itu melingkar. "Sial, sudah jam dua siang!" Lalu mengumpat kesal. Sedangkan Radhika masih sibuk bermain games di ponselnya."Lo denger gue nggak sih?" Alfariel menendang kaki Radhika.
"Gue nggak budek."
"Terus kenapa masih disini? Buruan!"
Radhika menoleh. "Gue benci ini." ujarnya seraya berdiri lalu mengambil kunci mobil HRV abu-abunya. Melangkah menuju pintu utama lalu menghilang disana.
"Mau kemana lo?" Rafandi baru saja memasukkan motor sport-nya ke dalam carport, satu tangannya menenteng helm.
"Bukan urusan lo." Radhika menjawab dingin.
"Ebuseet, gue nanya doang."
Radhika berhenti melangkah, menatap adiknya datar. "Sekali lagi lo buka mulut. Gue hajar." ujarnya bersungguh-sungguh.
Rafan mendumel tanpa suara dan memilih menyingkir. Jika Radhika sudah mengatakan akan menghajarnya, maka pria itu benar-benar akan menghajarnya tanpa belas kasihan. Seperti yang sudah-sudah, jangan melawan Radhika jika suasana hati pria itu sedang buruk.
Radhika masuk ke dalam mobil Honda-nya. Duduk di sana lalu mendesah. Harusnya ini menjadi pekerjaan Rafan, tapi bocah tua itu malah seenaknya kabur dan lupa tanggung jawab. Siapa yang harus mengurusi tetek bengek soal bunga?
Sial. Kemana dia harus mencari bunga-bunga itu sekarang?
***
Davina sedang menyusun beberapa vas bunga yang baru datang ke atas rak-rak kaca yang tersedia. Sambil sesekali menata bunga-bunga itu agar terlihat cantik ketika dia mendengar suara berdebatan yang terjadi di depan meja counter, meletakkan vas ke atas meja, Davina mendekati Ava yang terlihat kesal pada seorang pria.
"Kenapa?" Davina bertanya sambil melirik pria yang berdiri kaku di depan Ava. Postur tubuh tinggi dengan wajah tampan tapi dengan tatapan menyebalkan. Entah bagaimana, Davina merasa kesal melihat tatapan datar dan juga bosan yang pria itu layangkan padanya, bukan hanya padanya, tapi pada toko bunganya.
Tidak ada yang boleh menatap toko bunganya dengan tatapan menyebalkan seperti itu. Berani-beraninya pria itu.
"Mas ini mau beli bunga Lily yang sudah jadi pesanan orang lain. Ya nggak bisa dong. Meski dia bilang mau bayar dengan harga lebih mahal. Bunga itu kan sudah di bayar orang lain duluan."
Davina menatap pria di depan mereka. "Maaf, Pak. Bunga itu sudah punya orang lain."
"Saya akan bayar dengan harga yang lebih tinggi."
Davina masih berusaha terlihat ramah. "Tidak bisa, Pak. Kami sudah menjualnya kepada orang lain. Dan kami tidak mau bersikap tidak profesional seperti ini. Kalau Bapak mau, masih banyak bunga lain yang tersedia."
"Saya bayar tiga kali lipat."
Astaga. Ini orang budek apa gimana?!
Davina menatap tajam pria itu. "Saya sudah bilang kalau bunga itu milik orang lain. Apa Anda paham bahasa indonesia?!" Davina mulai naik pitam.
Pria itu hanya menatapnya bosan.
Davina menarik napas. "Maaf toko saya sudah tutup. Kamu silahkan keluar." Davina menunjuk pintu utama toko bunganya.
Pria itu masih berdiri disana. "Kalau begitu saya pilih bunga yang lain saja."
"Tidak. Toko kami sudah tutup. Silahkan Anda cari toko bunga lain." Davina berujar tegas.
"Tadi kamu menyarankan..."
"Itu tadi, sekarang tawaran itu sudah tidak berlaku. Jadi bisa Anda pergi sekarang?" Davina menyela sebelum pria itu menyelesaikan perkataannya.
Pria itu bergeming dan Davina bersidekap. Keduanya saling bertatapan tajam.
"Tunggu apa lagi?!" Davina bertanya ketus.
Pria itu masih menatapnya tanpa ekspresi. Lalu membalikkan tubuh begitu saja tanpa mengatakan apapun.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
