
Kirania Alvarendra tidak pernah ingin menjalin hubungan dengan laki-laki. Semakin tidak ingin ketika ada begitu banyak kerabat yang berusaha mendekatinya dan menjodohkan anak mereka dengannya. Kirania nyaman dengan kesendiriannya.
Sampai akhirnya ia bertemu dengan seorang pria, pria itu bukan dari keluarga kaya raya sepertinya, pria itu hanyalah pria sederhana. Namun, kesederhanaan itu lah yang membuat Kiran nyaman dengannya.
Zahid Generasi Ke-4.
Bab 3
“Kok, tumben ke sini?”
Kirania mendekati adiknya dan duduk di samping Danish.
“Aku pusing.”
“Kalo pusing tuh, istirahat, Kak. Bukannya malah ke klub.”
“Berisik, Dan.” Kiran merebut gelas minuman di tangan Danish dan meneguknya. Ia mengernyit saat merasakan pahitnya minuman itu di lidah dan tenggorokannya. “Apaan, nih?”
“Vodka. Kamu nggak usah minum.” Danish mengambil kembali gelasnya dari tangan Kiran dan memesankan segelas wine untuk kakaknya.
“Pahit banget.” Kiran menerima potongan lemon yang Xavier ulurkan padanya. Ia menyesap potongan buah asam tersebut untuk menghilangkan rasa pahit alkohol di lidahnya. “Kok, tumben, cuma kalian berdua, Aksa mana?”
“Kayak nggak tahu Aksa aja, paling juga di apartemennya Eve,” ujar Xavier seraya menyesap minumannya dengan santai.
“Sebenarnya Aksa sama Eve itu pacaran apa gimana, sih?” tanya Kiran penasaran. Pasalnya salah satu sepupunya itu, seperti sangat menyukai salah satu kerabat dekat mereka.
“Bisa dibilang gitu.” Danish yang menjawab. “Tapi Aksa kadang masih suka denial sama perasaannya sendiri.”
“Ngakunya nggak cinta sama Eveline, tapi ngeliat Eveline jalan sama cowok lain, udah kayak cacing kepanasan dia,” sambung Xavier.
“Tapi ya, aku lebih suka Aksa yang setia sama satu perempuan daripada kalian berdua.” Kiran menatap dua adiknya itu. “Kalian gonta-ganti pasangan kayak ganti baju, tau nggak?”
“Namanya hidup harus dinikmati,” kekeh Xavier. “Daripada kamu, dikejar tante-tante supaya dijodohkan sama anak mereka,” ledek Xavier.
Kiran memukul kepala Xavier karena merasa kesal. “Yang bikin aneh, harusnya kalian yang dikejar-kejar buat dijodohkan sama anak gadis mereka, tapi kok, malah aku yang dikejar-kejar, ya? Apa dunia ini udah terbalik?”
Xavier dan Danish hanya tertawa.
“Mungkin karena mereka tahu kalau kamu yang bakal duduk di kursi CEO setelah Papa memutuskan untuk pensiun,” ujar Danish seraya merangkul bahu kakaknya. “Makanya mereka berlomba-lomba buat dekatin kamu. Kamu umpan segar, Kak.”
Kiran bersandar di bahu adiknya. “Makanya kamu aja, Dan, yang jadi CEO. Jangan aku.”
“Nggak. Dibandingkan aku, kamu yang lebih kompeten, aku nggak mau perusahaan kita jadi bangkrut karena aku. Tapi aku siap ambil posisi Vice President buat bantuin kamu.”
Kiran hanya mendengkus seraya menoyor kepala adiknya.
Kiran dan adik-adiknya bersantai di balkon lantai VIP klub mewah itu, senyum wanita itu memudar saat melihat Pratama Budiman melangkah ke balkon dan duduk di kursi yang tidak jauh dari mereka.
“Kalau dipikir-pikir, entah kenapa aku benci ngeliat dia,” ujar Xavier memicing menatap Pratama Budiman yang duduk bersama dua temannya. “Anak manja yang cuma ngandelin harta orang tua.”
“Bedanya sama kamu apa?” cibir Kiran.
“Gini-gini, aku juga kerja, emangnya bajingan itu? Aku dengar minggu lalu dia merengek minta Rolls Royce sama kakeknya karena Dhafa baru aja beli mobil itu.”
“Aku benci sama senyumnya,” ucap Danish sinis.
Kiran hanya diam dan duduk bersandar, menikmati segelas anggur yang dipesankan oleh Danish untuknya.
“Aku mau ke toilet.” Kiran berdiri dan melangkah masuk, berjalan menuju toilet. Setelah menyelesaikan urusannya, ia hendak kembali ke tempat di mana Danish dan Xavier duduk. Namun, langkahnya terhenti saat melihat Pratama Budiman berdiri tidak jauh dari meja bar. Untuk kembali ke balkon, ia harus melewati meja bar itu. Tentu saja Pratama Budiman berdiri di sana menunggunya, meski kini pria itu tengah berusaha merayu seorang wanita dan belum melihat Kirania yang berdiri di dekat tangga.
Kirania bersandar di dinding, ia memikirkan cara bagaimana supaya Pratama Budiman menjauhinya. Saat ia tengah berpikir, tak sengaja melihat seseorang yang ia kenal, melewatinya.
“Hei.” Kiran mencegat tangan pria itu, membuat pria itu menoleh padanya. “Kamu … kerja di sini juga?” Dilihat dari seragam bartender yang pria itu kenakan, sepertinya pria itu juga bekerja di sini selain menjadi pelayan di acara pesta dan kurir pengantar makanan.
“Ya,” jawabnya singkat.
Kiran mengerucutkan bibir, ekor matanya menatap Pratama Budiman yang melangkah mendekat.
“Cium aku,” ujar Kiran panik.
“Hah?”
“Cium aku,” pinta Kiran.
Tetapi pria di depannya hanya menatapnya seolah ia sudah gila. Karena pria itu tidak kunjung bergerak, Kiran akhirnya nekat merangkul leher pria itu dan mendekatkan wajah mereka.
Bibir Kiran mengenai bibir pria itu, tapi hanya menempel karena Kiran tidak berniat untuk benar-benar berciuman dengannya. Ia melakukan itu untuk membuat Pratama Budiman berhenti mendekatinya. Melalui ekor matanya, ia melihat Pramata Budiman berhenti di tempat, urung mendekat, pria itu berbalik dan memutuskan untuk pergi.
Baguslah.
Kiran segera melepaskan bibir mereka yang melekat seraya menatap punggung Pratama menjauh. Pria itu tidak berani mendekat karena tahu bahwa klub ini adalah milik keluarga Kiran, lagi pula banyak penjaga di sekitar mereka. Ruang VIP memang memiliki penjagaan yang lebih ketat daripada lantai untuk pengunjung umum. Pratama takut membuat masalah kalau Kiran berontak.
“Thanks.” Kiran tersenyum singkat dan berniat pergi karena jelas Pratama Budiman sudah menuruni tangga menuju lantai bawah untuk mencari mangsa yang lain.
Tetapi baru selangkah Kirania beranjak dari tempatnya, tangannya dicekal oleh pria itu. Pria itu menariknya dan mengurungnya di dinding. Kirania memelotot.
“Siapa yang mengizinkan kamu pergi setelah menciumku seperti itu?” Suara rendah yang parau itu membuat Kiran menelan ludah susah payah.
“A-aku—"
Mulut Kirania terbungkam saat pria itu menunduk. Bibirnya yang lembut mencium bibir Kirania tanpa malu-malu. Tubuhnya menahan tubuh Kiran agar tetap melekat di dinding, kedua tangan pria itu memegangi tangan Kiran di sisi tubuhnya. Bibirnya mencium dengan rakus. Agak kasar pada awalnya, tapi ciuman itu berubah lembut saat Kiran mengerang pelan.
Kiran yang awalnya ingin berontak, berbalik arah menjadi membalas ciuman pria itu saat ia merasakan betapa nikmatnya lumatan dalam yang pria itu berikan. Lidah pria itu menggoda agar Kiran membuka bibirnya, tanpa berpikir panjang, Kiran membuka bibirnya dan lidah pria itu menyusup masuk. Tangan pria itu yang awalnya menahan kedua tangan Kiran kini beralih memeluk pinggang Kirania. Satu tangan memeluk pinggang sementara tangan yang lain memegangi tengkuk Kiran untuk memperdalam ciuman mereka. Kiran memeluk erat leher si pria sementara pria itu terus menyudutkannya di dinding.
Ciuman yang begitu memabukkan hingga Kiran nyaris kehabisan napas, pria itu menjauhkan wajah mereka dan membiarkan Kiran menarik napas sebanyak-banyaknya. Tubuh mereka masih menempel lekat.
Pria itu menempelkan keningnya di kening Kiran hingga membuat kedua ujung hidung mereka yang mancung bertemu.
“Aku harus kembali bekerja.” Pria itu mengecup bibir Kiran kemudian melepaskan tubuh Kiran yang lemah dengan hati-hati, setelah yakin Kiran mampu berdiri sendiri, pria itu melangkah pergi.
“Astaga.” Kiran berpegangan pada dinding. “Apa itu barusan?” tanyanya dalam kebingungan.
Kiran memejamkan katanya. Rasa bibir pria itu masih melekat di bibirnya, pelukan pria itu di pinggangnya masih terasa dengan jelas, usapan ibu jari di daun telinganya juga masih membuatnya merinding.
“Kak?”
Kiran tersentak saat Danish menghampirinya.
“Kamu ngapain berdiri di sini? Aku nungguin kamu dari tadi.”
“Ah, ya.” Kiran bersandar lagi di dinding. “Tadi aku … ketemu temen.”
“Udah hampir tengah malam. Ayo, aku antar pulang.”
Kiran mengangguk, mengikuti langkah Danish kembali ke balkon untuk mengambil tasnya. Saat melewati meja bar, ia menoleh dan menatap pria itu yang juga tengah menatapnya. Pria itu hanya menatapnya datar sembari meracik minuman, sementara itu Kiran segera memalingkan wajah, ia tidak ingin pria itu tahu bahwa ciuman mereka tadi sangat memengaruhinya.
Memang bukan ciuman pertamanya, tapi itu pertama kalinya ia mengizinkan seseorang menciumnya seintens itu. Astaga! Bahkan mereka belum saling mengenal. Kiran bahkan tidak tahu siapa nama pria itu, tapi sudah membiarkan pria itu menciumnya sedalam itu.
“Kayaknya aku mabuk,” ucap Kiran meraih tasnya. “Kamu anterin pake mobil aku aja, ya,” ucapnya pada Danish seraya menyerahkan kunci mobil pada adiknya.
Sebelum meninggalkan lantai VIP, sekali lagi Kiran menoleh ke meja bar, tapi pria itu sedang fokus bicara pada seseorang. Kiran hanya menghela napas dan melangkah pergi tanpa menyadari bahwa pria itu tengah menatapnya dari kejauhan dengan tatapan lekat.
***
“Kepala saya sakit, Mat.”
Kiran memasuki ruang kerjanya diikuti oleh Mamat.
“Bu Bos minum tadi malam?”
Kiran mengangguk. “Nggak sengaja minum alkoholnya Danish. Bangun tidur kepala saya rasanya mau pecah.”
“Bu Bos butuh pereda nyeri?”
Kiran mengangguk. “Tolong ambilin di ruang medis ya, Mat.”
“Siap, Bu Bos. Tunggu sebentar, ya.”
Kiran meletakkan tas di atas meja, ia menjambak pelan rambutnya berharap rasa sakit di kepalanya berkurang. Tetapi kemudian ia membeku saat melihat sesuatu yang tidak disangka-sangka olehnya.
Pria yang menciumnya tadi malam tengah bergelayutan dengan pengaman di luar gedung dan sedang membersihkan dinding kaca ruangannya. Mulut Kiran bahkan sampai terbuka.
“Bu Bos—"
Kiran mengangkat tangan pertanda untuk Mamat menutup mulutnya.
“Apa hari ini jadwal pembersihan kaca gedung, Mat?”
“Iya.”
Kiran mendekati dinding kaca ruangannya, berdiri tepat di depan pria yang kini membersihkan kaca dari luar. Pria itu berhenti mengelap kaca ketika menyadari Kiran berdiri di depannya.
“Bu Bos kenal orangnya?” tanya Mamat saat melihat Kiran dan pria itu saling memandang lama.
“Ya,” ucap Kiran pelan lalu menoleh kepada Mamat. “Setelah dia selesai membersihkan kaca gedung, suruh dia temui saya.”
“Baik, Bos.”
Kiran menatap pria itu sekali lagi kemudian membalikkan tubuh dan duduk di kursinya sementara pria itu kembali bekerja. Meski Kiran berusaha fokus pada pekerjaannya, sesekali ia melirik pria yang kini hampir selesai membersihkan dinding kacanya dari luar.
Dua jam lamanya Kiran duduk gelisah seraya menunggu saat akhirnya pria itu memasuki ruangannya.
“Ada apa?” Pria itu langsung bertanya tanpa basa basi.
Kiran berdiri dan menatap pria itu.
“Silakan duduk,” tunjuknya pada kursi di hadapannya.
Tetapi pria itu tetap bergeming di depannya.
Melihat pria itu tidak mau duduk di sana, Kiran akhirnya meraih ponselnya dan menyodorkannya pada pria itu.
“Apa ini?” Pria itu memandangi ponsel Kiran dengan satu alis terangkat.
“Nomor kamu, tulis di sini.”
“Untuk?”
“Supaya aku bisa menghubungi kamu.”
“Ada perlu apa sampai kamu mau menghubungi aku?” tanya pria itu curiga.
“Astaga, kamu tinggal ketik aja nomor kamu di sini, aku bukannya mau merampok kamu, kok.”
Pria itu masih memandangi ponsel mahal Kiran dengan ragu.
“Kamu bahkan sudah cium aku, tapi aku nggak boleh minta nomor kamu?” ketus Kiran jengkel.
“Ciuman itu kamu yang memulai.”
“Tapi ciuman kedua, kamu yang mulai.”
Pria itu bersedekap. “Apakah menempelkan bibir termasuk ciuman bagi kamu?”
Kiran melempar ponselnya ke atas meja. “Lalu, menurut kamu memasukkan lidah dalam mulut seseorang disebut sebagai ciuman yang sopan?”
“Siapa yang bilang kalau kita bermain sopan? Lagi pula kamu melakukannya dengan sukarela.”
Kiran mengepalkan kedua tangannya kesal.
“Nama,” desis Kirania.
“Kenapa kamu ingin tahu?”
“Astaga, kamu tinggal jawab aja nama kamu siapa?!”
Pria itu hanya tersenyum singkat.
“Aku Kirania, nah kamu?” Kiran berusaha sabar.
Namun, pria itu hanya mengangkat bahu acuh.
Kirania menarik napas dalam-dalam, memicing menatap pria itu kemudian menarik kerah kemeja pria itu.
“Kamu jangan main-main, ya.” Ancam Kiran.
Namun pria itu hanya tersenyum datar, meraih tengkuk Kiran dan mempertemukan bibir mereka.
Kali ini tidak hanya menempelkan bibir, pria itu benar-benar mencium Kiran dalam-dalam, hanya butuh waktu sebentar bagi pria itu untuk memegangi pinggangnya. Bahkan Kiran tidak menyadari saat pria itu mengangkat tubuhnya lalu mendudukkannya di atas meja. Mereka berciuman sama liarnya dengan ciuman yang mereka lakukan tadi malam. Ibu jari pria itu membelai rahang Kiran, kemudian membelai daun telinganya dengan lembut, sementara bibirnya mengisap bibir Kiran kuat-kuat.
Lidah mereka kembali bermain, Kiran memejamkan mata seraya meremas rambut pria itu dengan kedua tangannya saat pria itu mengisap lidahnya secara sensual. Erangan pelan keluar dari mulut Kiran tanpa mampu wanita itu cegah. Saat ibu jari pria itu mengusap titik di bawah telinga Kiran, saat itulah darah Kiran terpacu dan gairahnya bangkit dengan cepat.
Dada Kiran membusung indah, menempel di dada pria itu sementara keduanya saling melumat bibir masing-masing.
Pria itu menjauhkan wajah saat Kiran kehabisan napas. Wanita itu terengah-engah, berpegangan pada lengan keras di balik kemeja lusuh yang pria itu kenakan.
Pria itu menjauh sementara Kiran masih duduk di atas meja kerjanya.
Pria itu meraih ponsel Kiran, mengetikkan sesuatu di sana. Kemudian menyerahkannya kepada Kiran yang menerimanya dengan tangan gemetar akibat sensasi memabukkan yang masih menguasai tubuhnya.
Sebelum pria itu beranjak pergi, telapak tangan pria itu berada di atas kepala Kiran, mengusapnya sedikit lalu bergerak menjauh.
Kiran memandangi pria yang keluar dari ruangannya dengan tatapan linglung. Kemudian ia menunduk, menatap sederet nomor di sana dengan sebuah nama … Bastian.
Kiran tersenyum geli sekaligus kesal, ini hal yang tidak pernah ia lakukan sebelumnya, mencium pria asing hanya demi nomor teleponnya. Jika dilihat dari riwayat percintaannya selama ini, prialah yang mati-matian mengejar dan meminta nomor teleponnya, bukan malah sebaliknya.
Memastikan pria itu tidak memberikan nomor palsu, Kiran mencoba menghubungi nomor itu.
Tersambung. Hanya butuh beberapa detik sebelum pria itu menjawab.
“Ya?”
Kiran tersenyum.
“Ini aku, Kiran.”
“Aku tahu.”
“Aku … aku cuma mau cek kalau kamu nggak kasih nomor palsu ke aku.”
“Niatku tadi begitu, tapi aku berubah pikiran.”
Jawaban dengan nada datar itu membuat Kiran mendengkus kesal.
“Kamu sudah pergi dari kantorku?”
“Ya, sedang dalam perjalanan.”
“Setelah ini … kamu ngapain?”
“Mengembalikan mobil perusahaan ke tempatnya setelah itu mengambil pekerjaan sebagai kurir makanan.”
“Pelayan di acara pesta, kurir makanan, petugas kebersihan gedung, bartender, selain empat pekerjaan itu, ada berapa banyak lagi pekerjaan kamu yang lain?”
“Ada beberapa lagi.”
“Kalau begitu selamat bekerja,” ucap Kiran pelan.
“Ya.”
“Hmm … bagaimana cara memesan makanan, tapi harus kamu yang ambil orderannya?” tanya Kiran pelan.
“Aku rasa, aku juga tidak tahu. Aku hanya menerima orderan yang masuk dan tidak peduli siapa yang memesannya.”
Kiran mendengkus sebal. Karena kesal, ia memilih mematikan telepon itu begitu saja.
“Bajingan sombong!” Ia memelototi ponselnya karena kesal.
“Bu Bos? Kok, duduk di atas meja sambil ngomel, kenapa?”
Kiran tersentak saat Mamat tiba-tiba masuk ke dalam ruangannya. Ia segera melompat turun dari atas meja dan duduk di kursinya.
“Nggak ada apa-apa. Berapa menit lagi buat meeting hari ini?”
“Sekarang, Bu.”
“Sekarang?”
Mamat mengangguk.
“Oke.” Kiran melempar ponselnya ke atas meja lalu keluar dari ruangan itu dan Mamat tergopoh-gopoh mengikutinya. Kiran tidak menyadari bahwa seseorang dengan nama Bastian menghubungi ponselnya.
Sementara itu, Bastian menatap layar ponselnya. Panggilannya tidak dijawab oleh Kiran, ia hanya menatap bingung kemudian memutuskan untuk menyimpan kembali ponselnya ke saku celana.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
